Anda di halaman 1dari 227

PENDIDIKAN ISLAM MASA HINDIA BELANDA

(Studi Tentang Pengaruh Pendidikan Belanda Terhadap Pendidikan Islam


Tahun 1900-1940)

TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama
dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam

OLEH :
SUPARHUN
NIM: 08.2.00.1.03.01.0006

Pembimbing:
Prof. Dr. H.M. Husni Rahim

SEKOLAH PASCA SARJANA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis berjudul ”PENDIDIKAN ISLAM MASA HINDIA BELANDA:


Studi Tentang Pengaruh Pendidikan Belanda Terhadap Pendidikan Islam
Tahun 1900-1940”, yang ditulis oleh Saudara Suparhun, NIM: 08.2.00.1.03.01.0006
dapat disetujui untuk diajukan pada sidang Ujian Tesis.

Pembimbing,

Prof. Dr. H.M. Husni Rahim

ii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI

Tesis berjudul “PENDIDIKAN ISLAM MASA HINDIA BELANDA:


Studi Tentang Pengaruh Pendidikan Belanda Terhadap Pendidikan Islam
Tahun 1900-1940)” yang ditulis oleh Saudara Suparhun, NIM: 08.2.00.1.03.01.0006
telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2010 dan
telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI:

Ketua Sidang/Penguji, Pembimbing/Penguji,

Prof. Dr. Suwito, MA Prof. Dr. H.M. Husni Rahim

Penguji, Penguji,

Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan Muhammad Zuhdi, M.Ed., Ph. D.

iii
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama : Suparhun
NIM : 08.2.00.1.03.01.000
Tempat, Tanggal lahir : Bangka, 20 Mei 1968

Dengan ini menyatakan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul


“PENDIDIKAN ISLAM MASA HINDIA BELANDA: Studi Tentang Pengaruh
Pendidikan Belanda Terhadap Pendidikan Islam Tahun 1900-1940” adalah benar
karya orisinil saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila
terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab
saya yang dapat berakibat pembatalan gelar kesarjanaan saya.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, Juli 2010

Suparhun

iv
ABSTRAK

Suparhun, ”Pendidikan Islam Masa Hindia Belanda: Studi Tentang Pengaruh


Pendidikan Belanda Terhadap Pendidikan Islam Tahun 1900-1940”, Jakarta: SPs
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberadaan pendidikan Belanda pada


awal abad ke-20 telah mempengaruhi pendidikan Islam pada dua sisi. Pada satu sisi,
pendidikan Belanda merupakan sumber inspirasi dalam pembaruan pendidikan Islam.
Pada sisi lain, ia menjadi pesaing dalam perkembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Sebagai inspirasi, pendidikan Islam mengadopsi model pendidikan Belanda dengan
mendirikan madrasah dan sekolah, memasukkan mata pelajaran umum, dan
menggunakan sarana belajar dan metode pembelajaran modern ke dalam sistem
pendidikan Islam. Sebagai pesaing, pendidikan Islam mempertahankan sistem
pendidikan tradisional dengan memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam di
berbagai daerah guna memberikan pelayanan pendidikan kepada semua lapisan
masyarakat.
Penelitian ini didasarkan atas pernyataan Snouck Hurgronje yang
menyatakan bahwa dalam kompetisi antara pendidikan Barat dan pendidikan Islam
dan dalam pergaulan budaya, pendidikan Islam tidak mampu bersaing dan kehilangan
pengaruhnya di masyarakat. Dengan demikian, pendidikan barat lebih diminati
masyarakat dan pendidikan Islam menjadi mundur. Sedangkan pendapat lain
menyatakan bahwa akhir abad 19 dan permulaan abad ke-20 merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan pesantren/madrasah hampir di seluruh wilayah
Indonesia dengan nama dan tingkatan yang bervariasi. Hal ini dikemukakan oleh
Karel A. Steenbrink dan Zamakhsyari Dhofier.
Posisi tesis ini pada dasarnya menolak pernyataan Snouck Hurgronje yang
menyatakan bahwa dengan didirikannya lembaga pendidikan Barat oleh Kolonial
Belanda telah menghilangkan pengaruh pendidikan Islam. Tesis ini juga sekaligus
mendukung pendapat Karel A. Steenbrink dan Zamakhsyari Dhofier yang
berdasarkan data dan fakta bahwa lembaga pendidikan Islam, baik madrasah maupun
pesantren, tetap tumbuh dan berkembang hampir di seluruh wilayah Indonesia hingga
sekarang ini. Sumber-simber yang digunakan untuk mengungkapkan fakta ini adalah
arsip-arsip dan dokumen pemerintah pada masa Hindia Belanda yang berada di Arsip
Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Nasional dan Museum Nasional di
Jakarta sebagai sumber primer serta tulisan-tulisan berbentuk buku-buku maupun
majalah-majalah yang berhubungan dengan sejarah pendidikan Islam masa Hindia
Belanda. Dari data-data tersebut dilakukan analisa dengan pendekatan historis dan
penafsiran atas peristiwa sejarah serta dipertajam dengan pendekatan multidisipliner,
yakni merekonstruksi sejarah dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial.

v
ABSTRACT

Suparhun, ”Islamic Education in the Netherlands East Indies: A Study of Influence of


Western Education on Islamic Education, 1900-1940”, Jakarta: Graduate School of
State Islamic University, 2010.

This research concludes that the existence of Dutch education in the early
20th century influenced Islamic education in two sides. On the one hand, the Dutch
education became a source of inspiration for the renewal of Islamic education. On the
other hand, it became a competitor in the development of Islamic education. As a
source of inspiration, Islamic education adopted the Dutch educational model by
establishing madrasah and school, teaching general subjects, and using modern
learning fasilities and methods in the Islamic educational system. As a competitor,
Islamic education maintained the traditional educational system by increasing the
number of Islamic educational institutions in varied areas for the purpose of
providing educational service to all segments of society.
This Thesis is based on Snouck-Hurgronje’s view that Islamic education
could not compete and lost its influence in society in the competition with Western
education. So, western education became more populer and interesting. The other
view pointed by Karel A. Steenbrink and Zamakhsyari Dhofier is that the later part of
the 19th and the early 20th centuries was the period of growth and development of
Islamic education throughout the country.
This thesis refuses what Snouck-Hurgronje has shown that Islamic education
could not compete and lost its influence in society when compete with Western
education and Islamic education but supports Karel A. Steenbrink and Zamakhsyari
Dhofier’s view with the data and the facts that Islamic education: Qur anic school,
boarding school and madrasah grew and developed continuously in all over the
archipelago until now. The data sources used in this study are based on primary
sources such as archives, official documents in National Archive of Republic of
Indonesia, National Library and National Museum in Jakarta, and contemporary
sources as well as secondary sources such as writings and research on Islamic
education. To deepen the analysis, this study uses multidisciplinary approach; history
and interpretive approach on written sources to uncover the relevance of Dutch
education and Islamic education by reconstructing history using social sciences
approach.

vi
‫اﻟﻤﻠـــــــــﺨــﺺ‬

‫ﺴ ﻓ ﺤ ‪ :‬ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼ ﻓﻲ ﻋﺼ ﻫﻨ ﻟﻬ ﻟﻨ ) ﺴﺔ ﺜﺎ ﻟﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﻬ ﻟﻨ ﻓﻲ‬


‫ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼ ﻤ ﺨﻼل ﺴﻨﺔ ‪ ،(1940-1900‬ﻜﻠﻴﺔ ﻟ ﺴﺔ ﻟﻌﻠﻴﺎ ﺠﺎﻤﻌﺔ ﺸ ﻴ ﻫ ﻴﺔ ﷲ‬
‫ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻟﺤﻜ ﻤﻴﺔ‪ ،‬ﺠﺎﻜ ﺘﺎ‪2010 :‬‬

‫ﻴﻜ ﻫ ﻟﺒﺤ ﻟﻌﻠﻤﻰ ﻴﺴﺘﻨﺘﺞ ﺒﺄ ﺤﻀ ﻟﺘﻌﻠﻴ ﻟﻬ ﻟﻨ ﻓﻲ ﺒ ﻴﺔ ﻟﻘ ﻋﺸ ﻴ ﻗ‬


‫ﻜﺎﻨ ﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﻬ ﻟﻨ ﻤﻠﻬﻤﺎ ﻓﻲ‬ ‫ﺘﺄﺜ ﻋﻠﻰ ﻟﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻤ ﻨﺎﺤﻴﺘﻴ ‪ .‬ﻤ ﻨﺎﺤﻴﺔ ﻷﺨ‬
‫ﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﻬ ﻟﻨ ﻗ ﺼﺒﺢ ﻤﻨﺎﻓﺴﺔ ﻋﻠﻰ‬ ‫ﻴﻀﺎ‬ ‫ﺘﺠ ﻴ ﻟﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ‪ ،‬ﻤ ﻨﺎﺤﻴﺔ ﻷﺨ‬
‫ﻴ ﺒﻨﺎ ﻤ‬ ‫ﻟﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ‪ .‬ﻗ ﺨ ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻨ ﻋﺎ ﻤ ﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﻬ ﻟﻨ ﻋ‬
‫ﺴﺎﺌل ﻟﺘﻌﻠﻴ ﺘﺨﺎ ﻤﻨﺎﻫﺞ ﻟﺘﻌﻠﻴ ﻟﻌﺼ ﻴﺔ ﻓﻲ‬ ‫ﻟﺤﻜ ﻤﻴﺔ ﺴﺘﺨ‬ ‫ﻤ ﺴﺴﺔ ﺘﻌﻠﻴ ﻤ‬
‫ﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﻜﻼﺴﻴﻜﻴﺔ ﺒ ﻴ‬ ‫ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ‪ ،‬ﻤﺎ ﻤﻨﺎﻓﺴﺔ‪ ،‬ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﺘ ﻓﻊ ﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﻘ ﻴ‬
‫ﻤﻨﻬﺎ ﺨ ﻤﺔ ﻋﻠﻰ‬ ‫ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻤ ﻜل ﻤﻨﺎ ‪ ،‬ﻏ‬ ‫ﻟﻤ‬ ‫ﻋ ﻤ ﻟﻤ ﺴﺴﺎ‬ ‫ﺜ‬
‫ﻟﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﺘﻌﻠﻴ ﻟﺠﻤﻴﻊ ﻫل ﻟﻘ ‪.‬‬
‫ﻫ ﻟﺒﺤ ﻟﻌﻠﻤﻲ ﻴﺼ ﺒﻤﺎ ﻗﺎل ﺴﻨ ﻫ ﺠ ﻨﺤﻪ )‪ (Snouck Hurgronje‬ﻋﻠﻰ‬
‫ﻟﻰ‬ ‫ﻟﻤﻨﺎﻓﺴﺔ ﺒﻴ ﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﻐ ﺒﻲ ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼ ﺘ ﺨل ﻜ ﻟ ﻓﻲ ﻤﻴﺎ ﻴ ﻟﺜﻘﺎﻓﻴﺔ ﺘ‬
‫ﻓﻲ ﻟﻤﺠﺘﻤﻊ‪ .‬ﻟﻬ‬ ‫ﺘﺘﻨﺎﻓ ﺒﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﻐ ﺒﻰ ﻋ ﻟﻤ ﺜ‬ ‫ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼ ﻻ ﺘﺴﺘ ﻴﻊ‬
‫ﺘ ﺒﻴﺔ ﻟﻐ ﺒﻲ ﺤ ﻋﻨ ﻟﻤﺠﺘﻤﻊ ﻓﻀﻼ ﻋ ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼ ﺒل ﺼﺒﺤ ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼ ﻨﺤ ﺎ ﺎ‬
‫ل ﻤﻨﺸﺄ ﻓﻲ‬ ‫ﻟﻌﺸ ﻴ‬ ‫ﻟﺘﺎﺴﻊ ﻋﺸ ﺒ ﻴﺔ ﻟﻘ‬ ‫ﺒﺄ ﺨ ﻟﻘ‬ ‫ﺘﺄﺨ ‪ ،‬ﻴﻘ ل ﻵﺨ‬
‫ﺤﺘﻰ ﺘﺼل ﻟﻰ ﻨﺤﺎ ﻨ ﻨﺴﻰ ﺒﺄﺴﻤﺎ‬ ‫ﻟﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻤﺎ ﻤ ﻟﻤﻌﺎﻫ ﻟﻤ‬ ‫ﺘ‬
‫‪.‬ﺴﺘﻨﺒﺎ ‪.‬‬ ‫ﻟ ﻔﻴ‬ ‫ﻟﻤﺘﻨ ﻋﺔ ﻤﺴﺘ ﻴﺎ ﻤ ﺘﺒﺔ‪ ،‬ﻫ ﻨ ﺎ ﻤ ﻓﻘﺎﺒﻤﺎ ﻋﺒ ﻫﺎ ﻤﺨﺸ‬
‫ﻫ ﺠ ﻨﺤﻪ ) ‪Snouck‬‬ ‫ﻗ ﻻ ﺴﻨ‬ ‫ﻟ ﺴﺎﻟﺔ ﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﻫ ﺘ ﻓ‬ ‫ﻜﻟ‬
‫ﻤ ﺴﺴﺔ ﺘ ﺒﻴﺔ ﻓﻔﻘ‬ ‫ﻤ ﺴﺔ‬ ‫‪(Hurgronje‬ﺤﻴ ﻗﺎل‪ :‬ﺤﻴﻨﻤﺎ ﺒﻨﻲ ﻟﻤﺴﺘﻌﻤ ﻟﻬ ﻟﻨ‬
‫ﻫ ﻟ ﺴﺎﻟﺔ ﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﺘ ﻜ ﺘ ﻴ ﻨ ﺎ ‪.‬ﺴﺘﻨﺒﺎ‬ ‫ﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ‪ ،‬ﻜ ﻟ‬ ‫ﻟﻤ ﺜ‬
‫ﻟﻤ ﺴﺔ ﻹﺴﻼ ﻤ ﺴﺴﺔ‬ ‫ﻟﻤ ﻴ ﻋﻠﻰ‬ ‫ﻵ‬ ‫ﻔﻴ ﻋﺘﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﻟ ﻗﺎﺌﻊ‬ ‫ﻤﺨﺸ‬
‫ﻨﺎﺸﺌﺔ ﻓﻲ ﻜل ﻨﺤﺎ ﻹﻨ ﻨﻴﺴﻰ‬ ‫ﻤﺎ ﻤ ﻤﺘ‬ ‫ﻟﻤ‬ ‫ﻟﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻤﺜل ﻟﻤﻌﺎﻫ‬
‫ﺒل ﺤﺘﻰ ﻵ ‪ ،‬ﻟﻤﺼﺎ ﻟﺘﻰ ﺘﺘﻌﻠ ﺒﺘﺎ ﻴﺦ ﻟﺘ ﺒﻴﺔ ﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻓﻲ ﻋﺼ ﻫﻨ ﻟﻬ ﻟﻨ ‪ ،‬ﺘﻠ‬
‫ﻟﻤﺼﺎ ﺘﺤﻠل ﺒﺎﻟﻤﻨﻬﺞ ﻟﺘﺎ ﻴﺨﻰ ﺜ ﺒﺎﻟﺘﻔﺴﻴ ﻋﻠﻰ ﺤﺴ ﻟ ﻗﺎﺌﻊ ﻟ ﻫ‬ ‫ﻟﻤ ﻗ‬ ‫ﻵ‬
‫ﻟﺘﻰ ﺤ ﺜ ﻤ ﺨﻼل ﻟﺘﺎ ﻴﺦ ﺤﻴﻨﺌ ‪ ،‬ﻜ ﻟ ﺴﺘﺨ ﻟﺒﺎﺤ ﻋ ﻟﻤﻨﺎﻫﺞ ﻤﻨﻬﺎ‪:‬ﺒﻨﻴﺎ ﻟﺘﺎ ﻴﺦ‬
‫ﻟ ﻨﻬﺞ ﻋﻠﻰ ﻤﻨﻬﺞ ﻹﺠﺘﻤﺎﻋﻰ‪.‬‬

‫‪vii‬‬
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipersembahkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan hidayah, kesungguhan dan kemudahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penyelesaian disertasi ini terdapat banyak hambatan dan kesulitan, mulai dari
informasi keberadaan data, pencarian dan pengumpulan data, seleksi data hingga
analisis data, dan pada penulisan laporan penelitian. Namun berkat arahan dari
pembimbing dan semua pihak yang telah ikut memberi kontribusi, sehingga semua
hambatan dan kesulitan tersebut dapat diatasi dengan baik.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis berkenan mengucapkan terima kasih
dan penghargaan kepada pihak-pihak tertentu dan tanpa mengurangi penghormatan
penulis kepada pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam
pengantar ini. Secara khusus, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya, penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Husni Rahim yang telah banyak
memberikan petunjuk dan arahan dengan penuh kesabaran sehingga tesis ini dapat
diselesaikan. Juga ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Bapak Prof. Dr. Azyumardi
Azra, MA. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan kepada segenap Deputi, Bagian Akademik, Administrasi Keuangan dan
teristimewa kepada bagian perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, juga Frank Dhont,
kolumnis asal Belgia yang telah banyak membantu dalam memahami tulisan-tulisan
berbahasa Belanda, petugas Arsip Nasional Republik Indonesia dan Perpustakaan
Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia serta Museum Nasional di Jakarta atas
semua pelayanan yang diberikan. Juga Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan

viii
(LPMP) Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah memberi beasiswa penuh
dalam menyelesaikan studi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingginya penulis sampaikan
kepada istri tercinta Dra. Suarni, M.Pd.I., dan kedua putri tersayang Rifdah dan
Hafizoh yang menjadi daya dorong dan sumber inspirasi pada situasi sulit dan telah
bersedia ditinggalkan dalam waktu yang cukup lama serta selalu berdoa untuk
penyelesaian studi ini, keluarga besar penulis yang tidak henti-hentinya memberi
semangat dan mendo’akan penulis dalam menjalani studi ini, juga rekan-rekan
seperjuangan dan senioritas; Dr. Zayadi Hamzah, M.Ag., Zulkifli, MA., Ph.D., serta
rekan-rekan lain yang telah banyak menyumbangkan pemikiran dalam penyelesaian
tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya adanya kemungkinan-kemungkinan terdapat
kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan tesis ini. Oleh sebab itu penulis sangat
menghargai kritikan konstruktif dalam upaya penyempurnaan tulisan ini di masa
mendatang. Penulis berharap, semoga Allah memberikan imbalan pahala yang
setinggi-tingginya terhadap apa yang telah dilakukan oleh semua pihak yang telah
berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis. Amiin.

Penulis,

Suparhun

ix
Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan

A. Translitersi
= ` = z = q

= b = s = k

= t = sh = l

= th = ṣ = m

= j = ḍ = n

= ḥ = ṭ = w

= kh = ẓ = h

= d = ‘ = y

= dz = gh = t

= r = f
Mad dan Diftong
1 a panjang = ā

2 i panjang = ī

3 u panjang = ū

4 diftong = Au
= uw

= Ai

Iy

5. huruf “ ” ditulis al- seperti “‫ ” ﳊﻤﺪ‬ditulis al-hamdu

x
6. Nama orang, nama-nama dan istilah-istilah yang sudah dikenal di Indonesia tidak
masuk dan tidak terkait dengan pedoman ini, contoh: Fatimah, fitnah, shalat, dan
lain-lain.

DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………….. i
Persetujuan Pembimbing…………………………………………………….. ii
Persetujuan Tim Penguji…………………………………………………….. iii
Surat Pernyataan …………………………………………………………….. iv
Abstrak………………………………………………………………………. v
Kata Pengantar………………………………………………………………. viii
Pedoman Transliterasi……………………………………………………….. x
Daftar Isi……………………………………………………………………... xi

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…................................................................... 1
B. Permasalahan…………………………………………………………. 11
1. Identifikasi Masalah………………………………………… 11
2. Batasan Masalah……………………………………………. 11
3. Perumusan Masalah………………………………………… 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………….. 13
1. Tujuan Penelitian…………………………………………… 13
2. Manfaat Penelitian………………………………………….. 13
D. Definisi Operasional………………………………………………….. 14
E. Metodologi Penelitian………………………………………………… 15
1. Pendekatan Penelitian………………………………………. 15
2. Jenis Data…………………………………………………… 15
3. Sumber Data………………………………………………... 16
4. Teknik Pengumpulan Data…………………………………. 16
5. Teknik Analisa Data………………………………………... 17
F. Tinjauan Pustaka……………………………………………………… 18
G. Sistimatika Pembahasan……………………………………………….. 20

BAB II. SISTEM PENDIDIKAN BELANDA


A. Sejarah Hindia Belanda………………………………………….. 22
B. Politik Etis Hindia Belanda……………………………………… 28
1. Transmigrasi……………………………………………………. 30
2. Irigasi…………………………………………………………… 32
3. Edukasi………………………………………………………….. 33

xi
C. Sistem Pendidikan Belanda…………………………………….... 34
1. Karakteristik Pendidikan………………………………………… 34
2. Tipologi Pendidikan…………………………………………….. 41
D. Perluasan Pendidikan Pribumi…………………………………... 60
E. Faktor-
Faktor Perluasan Pendidikan Pribumi…………………… 67

BAB III. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN ISLAM MASA


HINDIA BELANDA
A. Kelahiran Pendidikan Islam……………………………………. 75
1. Langgar ………………………………………………………. 79
2. Pesantren……………………………………………………… 83
3. Sekolah dengan Muatan Agama Islam……………………….. 95
4. Madrasah ………………………………………………… 98
B. Pendidikan Pergerakan Nasional………………………………... 109
1. Motivasi Pendidikan…………………………………………. 109
2. Lembaga Pendidikan………………………………………… 111
a. Taman Siswa……………………………………………… 112
b. Muhammadiyah…………………………………………… 117
c. Nahdlatul Ulama………………………………………….. 120

BAB IV. PENGARUH DAN RESPON TERHADAP PENDIDIKAN BELANDA


A. Pendidikan Belanda sebagai Inspirator ………………………… 123
1. Kurikulum……………………………………………………. 124
2. Sarana………………………………………………………… 127
3. Metode Pengajaran…………………………………………... 128
B. Pendidikan Belanda sebagai Kompetitor ………………………. 130
C. Problematika Pendidikan Islam Pada Awal Abad ke-20……….. 143
D. Respon Terhadap Pendidikan Belanda ………………………… 149
E. Tantangan Pendidikan Islam Masa Depan……………………… 172

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


A. Kesimpulan………………………………………………………….. 179
B. Rekomendasi………………………………………………………... 189

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 184


LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii
xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran pendidikan Islam pada dasarnya telah dimulai sejak kehadiran


Islam itu sendiri. Karena ajaran yang pertama kali diturunkan memerintahkan
umatnya untuk senantiasa belajar.1 Pada masa permulaan Islam, meskipun
bentuknya baru pada tahap mendakwahkan ajaran, namun pada hakekatnya dalam
penyebaran Islam tersebut telah terjadi proses pendidikan, walaupun hanya dalam
bentuk pengajaran membaca, menghafal ataupun memahami ajarannya. Hal ini
dapat difahami ketika Nabi Muhammad menerima wahyu dan menyampaikannya
kepada para sahabat untuk menghafal dan mengamalkan ajaran yang
diterimanya.2 Beliau juga berdakwah, baik secara diam-diam maupun terang-
terangan. Karena memang kebutuhan utama pada saat itu baru pada tahap
mendakwahkan ajaran Islam3 dan dengan prinsip akan menyampaikan ajarannya
meskipun hanya satu ayat saja.4
Pada masa Nabi, proses pendidikan dilakukan dengan sangat sederhana.
Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, namun di masjid juga
dilaksanakan berbagai aktivitas sosial lainnya seperti tempat pengajaran, rumah
pengadilan, aula pertemuan bagi para tentara dan penyambutan para duta.5

1
QS: 96: 1-5.
2
Helen N. Boyle, Qur anic Schools: Agents of Preservation and Change (New York:
Routledge Falmer, 2004), 11.
3
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), 53- 54.
Lihat juga: Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 6.
4
Muhammad Ibn Isa Abu Isa al-Turmudzi, al-Jāmi‘ al-Ṣahih al-Turmudzi (Beirut: Dār
ilyā al-Turāth al-‘Arabī, tt. jilid 4), 40.
5
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), 53-54.

1
Dengan sistem halaqah6 Nabi memberikan pengajaran kepada para sahabat, baik
tentang ketuhanan maupun dalam rangka menghafal ayat-ayat yang diturunkan.
Meskipun telah berkembang dalam bentuk klasikal, dengan didirikannya
Madrasah Nizamiyah di Bagdad pada tahun 457 H/1065 M oleh Raja Saljuk
bernama Nizam al-Mulk, 7 sistem pendidikan tradisional ini masih dapat dijumpai
di negara-negara Islam, termasuk Indonesia.
Semenjak periode awal kedatangannya hingga sekarang, Islam dengan
berbagai aspeknya merupakan kajian yang sangat menarik. Tidak hanya menjadi
daya tarik sarjana muslim, tapi juga sarjana-sarjana Barat yang notabene
nonmuslim. Wilayah kajian tidak hanya di tanah kelahirannya, Arab, tapi juga di
wilayah-wilayah yang telah tersentuh dan berkembangnya ajaran Islam. Tidak
hanya tentang ajarannya, tapi juga pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan di
dunia Barat.8 Khususnya pada aspek pedagogik yang unik dan sederhana hingga
sistem modern, telah menjadi kajian sejarah oleh banyak ilmuan. Di Indonesia
seperti Zamakhsyari Dhofir yang meneliti dunia pesantren dengan berbagai
aspeknya.9 Karel A. Steenbrink, sarjana berkebangsaan Belanda, yang juga
meneliti tentang pendidikan Islam dalam kurun modern dan beberapa aspek
tentang Islam abad 19. 10 Professor berkebangsaan Belanda, Snouck Hurgronje,
yang menyamar sebagai jemaah haji dan mempelajari bahasa Arab dan ke-

6
Pengajaran dengan posisi duduk melingkar (learning circle) sehingga memungkinkan
guru dan murid saling berhadapan.
7
Josep E. Lowry dkk., Law and Education in Medieval Islam; Studies in Memory of
George Makdisi (The EJN Gibb : Memorial Trust, 2004), 174. Lihat juga: George Makdisi,
Religion, Law and Learning in Classical Islam (Great Britain: Variorum, 1991), 1.
8
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), 20-21.
9
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES, 1994).
10
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994) dan
Beberapa Aspek Tentang Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang,
1984).

2
Islaman di Makkah.11 Clifford Geertz yang meneliti kebudayaan masyarakat Jawa
kurang lebih selama 4 tahun. 12 Harry J. Benda yang meneliti Islam pada masa
imperialis Jepang.13 Dan banyak lagi sarjana-sarjana yang lain yang menulis
tentang Islam sejak awal hingga sekarang. Meskipun demikian, Islam di Indonesia
seakan-akan menjadi bahan kajian yang tak pernah ada ujungnya.
Mengkaji hasil penelitian para ilmuan di atas, tampaknya peran umat
Islam dengan lembaga pendidikan Islamnya, tak dapat dipisahkan dari sejarah
perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Seringkali pemberontakan-pemberontakan terhadap penjajahan Kolonial Belanda,
bahkan sejak kedatangan Portugis tahun 1541, dipimpin oleh para kyai dan santri
suatu pondok pesantren. Sejarah mencatat bahwa dalam kurun waktu 1820-1880
telah terjadi empat kali pemberontakan besar oleh para santri. Pertama, kaum
Padri di Sumatera Barat tahun 1821-1828. Kedua, Pangeran Diponegoro di Jawa
Tengah tahun 1826-1888. Ketiga, Beberapa kali terjadi pemberontakan di Banten
tahun 1834, 1836, 1842, 1849, 1880 dan 1888. Keempat, pemberontakan di Aceh
tahun 1873-1903.14 Indikasi lain pengaruh Pendidikan Islam di Indonesia dapat
dilihat pada jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Padahal
letak Indonesia sangat jauh dari negeri kelahiran Islam (Mekkah).15

11
Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje (terjemahan: Soedarso
Soekarno), 14 jilid, (Jakarta: INIS, 1993).

12
Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press, 1960) dan Islam
Observed Religious Development in Marocco and Indonesia (Chicago Press, 1968).
13
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun (The Huge and Bandung: W. Van
Hoeve, tt).
14
Clifford Geertz, Islam Observed Religious Development in Marocco and Indonesia
(Chicago: Yale University Press, 1968), 68. Lihat juga: Harry J. Benda, The Crescent and the
Rising Sun (The Huge and Bandung: W. Van Hoeve, tt), 18.
15
M. Dawam Raharjo, Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), 225.

3
Selain itu, Pendidikan Islam di Indonesia secara tradisional maupun
modern telah memposisikan diri sebagai agen dinamika perkembangan intelektual
muslim. Sesuai dengan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri yakni
terbantuknya insan yang baik, dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan
alam ciptaan Allah untuk kepentingan manusia, juga hubungan dengan sesama. Ia
selalu berlaku adil dan ihsan. Lulus dalam setiap ujian hidup yang dilalui di dunia
dan mempersiapkan dirinya menghadapi hari kiamat, sebagai hari berhisab dan
hari menerima balasan yang setimpal. Sedangkan tujuan akhir dari pendidikan
Islam adalah untuk mendapatkan; 1) kebahagiaan dunia dan akhirat, 2)
menghambakan diri kepada Allah, 3) memperkuat ikatan ke-Islaman dan
melayani kepentingan masyarakat Islam dan 4) akhlak mulia.16 Adapun menurut
Muhammad Quthub bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk
manusia yang sejati, yakni manusia yang benar-benar menghambakan diri kepada
Tuhan, melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Intinya
adalah terwujudnya manusia yang paripurna.17
Dari pendidikan berbentuk pesantren, meunasah, surau, masjid atau
sejenisnya selama berabad-abad telah menjadi pusat sosialisasi berbagai
pemikiran ke-Islaman. Lembaga-lembaga ini juga telah menunjukkan
eksistensinya sebagai basis kekuatan sosial, politik, kultural dan keagamaan.
Kesemuanya memiliki andil besar dalam membentuk wajah ke-Islaman di
Indonesia sekarang ini.18 Kehadiran madrasah sebagai sistem pendidikan Islam
klasikal pada awal abad ke-20 tercatat sebagai salah satu jenis institusi Pendidikan

16
Majid Irsan al-Kailani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyah (Makkah: Maktabah al-Hādi,
1988), 81. Lihat juga: Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islāmiyah Uṣulihā wa
Taṭawwurahā fī al-Bilād al-‘Arabiyyah (Qahirah: Dār al-Ma‘arif, 1986), 53.
17
Muhammad Quṭub, Manhadju al-Tarbiyah al-Islāmiyah (Kairo: Dār al-Syurūq, 1993),
cet. 14, 19.
18
Hasan Madmarn. Review buku The Pondok and Madrasah in Patani, oleh tim editor
Studia Islamika, Volume 8, No. 1, 2001, 185. Lihat juga: Manfred Ziemek, Pesantren Dalam
Perubahan Sosial (Jakarta; LP3ES, 1995), 2.

4
Islam yang telah memainkan peran signifikan dalam menghasilkan sumber daya
manusia berkualitas yang telah mengisi posisi di berbagai jabatan strategis seperti
birokrat di pemerintahan, hakim agama, tokoh agama, pimpinan pondok pesantn,
guru agama dan sebagainya. Beberapa nama besar yang dapat dikemukakan
seperti; Abdullah Ahmad, Rahman El-Yunusiah, Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Mahmud Yunus, Muhammad Natsir, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari,
KH. Abdullah bin Nuh, KH. Imam Zarkasih, Zakiah Daradjat, Abdurrahman
Wahid, HM. Quraish Shihab dan Panji Gumilang.19 Mereka merupakan sebagian
kecil dari putra terbaik bangsa yang pernah digodok melalui Pendidikan Islam
dengan berbagai bentuknya.
Dalam sejarah perkembangannya, aktivitas pendidikan Islam di
Indonesia mengalami berbagai macam tantangan. pendidikan Islam tradisional
yang terpusat pada pesantren, surau, masjid, dayah atau sejenisnya masih
terpinggirkan.20 Berbagai kebijakan diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda
dalam rangka mempersempit ruang gerak perkembangan pendidikan Islam, baik
tradisional maupun klasikal (madrasah). Lembaga pendidikan Islam dengan
berbagai jenisnya merupakan suatu kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda
yang akan melahirkan generasi penentang kekuasaannya.21 Oleh karena itu, pada
tahun 1882 Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu badan yang bernama
priesterraden.22 Melalui badan ini, pada tahun 1905 dikeluarkan kebijakan bahwa

19
Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Era Global (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
166. Lihat juga: Abuddin Nata, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta; UIN Jakarta
Press, 2006), 83.
20
Azyumardi Azra dalam makalah seminar “Masa Depan Madrasah”, oleh INCIS di
Jakarta, Kamis, 22 Juli 2004, 47.
21
Muh. Idris, “Reformasi Pendidikan Islam Dalam Pendidikan Nasional”, Indo Islamika,
vol. 4. No. 1, 2007, 121
22
Badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam di
Hindia Belanda yang dikepalai oleh Snouck Hurgronje selaku penasehat kementerian di Hindia
Belanda, berperan besar dalam menentukan kebijakan Belanda di tanah jajahan. Lihat: Zuhairini,
dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 149). Lihat juga: Studia Islamika,
vol. 8. No. 2, 2001, 189.

5
yang memberi pengajaran agama harus punya izin dari Pemerintah Hindia
Belanda. Tahun 1925 keluar kebijakan bahwa tidak semua kyai boleh mengajar
mengaji. Tahun 1932 keluar lagi peraturan yang menutup madrasah atau sekolah
yang tidak punya izin. 23 Kebijakan–kebijakan ini dikenal dengan istilah ordonansi
guru dan sekolah liar.
Dengan beberapa kebijakan di atas, tampaknya Pemerintah Hindia
Belanda belum berhasil melenyapkan peran dan pengaruh Pendidikan Islam. Oleh
karena itu, selain membuat kebijakan-kebijakan dalam rangka menyaingi dan
mempersempit ruang gerak, peran dan pengaruh tersebut, pada tahun 1900
Pemerintah Hindia Belanda juga membangun sistem sekolah Barat dan mendanai
sekolah misi (Kristen). Bernhard Dahm, sebagaimana yang dikutip oleh
Zamakhsyari Dhofir, menyatakan bahwa beberapa tahun kemudian, jumlah
sekolah misi ini telah meliputi sepertiga dari sekolah-sekolah di Indonesia.
Dengan usaha tersebut penduduk beragama Kristen berkembang pesat pada abad
ke-20.24 Terlebih sejak abad ke-16 pengaruh Kristen sudah masuk ke sejumlah
wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan
Irian Jaya. Kristenisasi besar-besaran terjadi di Sumatera Utara tahun 1880-1890
di awal abad ke-20. Sedangkan di Irian Jaya pada tahun 1907.25 Meskipun
demikian bukan berarti kristenisasi ini tidak mendapat perlawanan dari komunitas
muslim. Seiring dengan itu pula bermunculan organisasi-organisasi berbendera
Islam yang selalu siap membenteng kaum muslim dari pemurtadan. Sebagai
contoh organisasi keagamaan besar yang gigih melawan arus misi ini adalah
Muhammadiyah yang didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan pada tahun 1912. Selain

23
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 149.
24
Zamakhsyari Dhofier, “Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia”, Prisma, No. 2,
1986, Th.XV, 24. Lihat juga: Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Mutiara, 1979), 33.
25
Kumpulan Prisma 1975-1984, Agama dan Tantangan Zaman (Jakarta: LP3ES, 1985),
123.

6
sarana pendidikan, ormas ini juga membangun fasilitas sosial lainnya seperti
rumah sakit.26
Dari aspek lain, kebijakan tertuju pada umat Islam yang menunaikan
ibadah haji. Kebijakan dilakukan dengan berbagai persyaratan bagi umat Islam
yang menunaikan ibadah haji. Buku-buku atau tulisan-tulisan dari Timur Tengah
dilarang masuk ke Indonesia. Kebijakan ini diberlakukan mengingat jemaah haji
tidak hanya melakukan ibadah ke tanah suci Makkah, namun mereka bertemu dan
bergaul dengan ulama-ulama di Timur Tengah seperti Iran, Pakistan dan negara-
negara muslim lainnya yang memang sejak abad ke-17 ulama Indonesia sudah
terlibat dalam Jaringan Ulama yang berpusat di Haromain.27 Pertemuan dengan
ulama Timur Tengah ini pada intinya dapat meningkatkan rasa nasionalisme dan
menentang imperialisme. Semua kebijakan yang diberlakukan tidaklah membuat
surut jumlah jamaah yang menunaikan ibadah haji, bahkan setiap tahun
mengalami peningkatan. 28 Clifford Geertz mendapatkan data jemaah haji tahun
1860 sebanyak 2.000 orang, tahun 1880 sebanyak 10.000 orang dan tahun 1926
meningkat 50.000 orang. Peningkatan jumlah jemaah haji setiap tahunnya ini tak
dapat dipisahkan dari pertumbuhan pesantren.29
Di antara para jemaah haji yang sekaligus mempelajari Islam di
Makkah dan kembali ke tanah air membawa pemikiran modernis dan reformis.
Selain itu, pelajar-pelajar Indonesia dari Al-Azhar Mesir juga membawa
pemikiran para ilmuan muslim seperti Muhammad Abduh, Jamaliddin Al-
Afghani dan Muhammad Rasyid Ridho. Tokoh-tokoh reformis dan modernis ini

26
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 2-3.
27
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Jakarta: Rosda, 1999), 148.
28
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980),
30.
29
Clifford Geertz, Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia
(Chicago: Yale University Press, 1968), 67.

7
seperti Muchtar Luthfi, Ilyas Ya’kub dari Minangkabau dan lainnya. Mereka
mendirikan madrasah dan organisasi-organisasi Islam, baik di Jawa maupun
Sumatera.30
Dengan berbagai tantangan di atas, pendidikan Islam tetap eksis dan
kokoh. Justru pendidikan Islam tradisional di pesantren, masjid-masjid dan
sejenisnya semakin meluas. Sebelum kehadiran pendidikan Islam sistem
madrasah, Zamakhsyari Dhofir mendapatkan laporan dari dokumen Pemerintrah
Belanda bahwa pada tahun 1831 lembaga Pendidikan Islam berjumlah 1.835 buah
dengan jumlah murid sebanyak 16.556 orang. Data ini hanya di pulau Jawa saja.
Pada tahun 1885 angkanya berlipat ganda menjadi 14.929 buah dengan siswa
222.663 orang.31 Azyumardi Azra mendapatkan data tentang sekolah yang
didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah
dengan jumlah siswa sekitar 16.606 orang. Pada tahun 1892 meningkat menjadi
515 sekolah dengan siswa sekitar 52.685 orang.32
Sistem pendidikan Barat yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda
pada akhir abad ke-19 memang berkembang pesat, meskipun pada awalnya
pendidikan ini sebagai usaha melatih kalangan priyai rendahan untuk menjadi
pegawai pemerintahan.33 Karena pendidikan ini dinilai berorientasi pada lapangan
kerja sehingga sekolah ini banyak diminati orang-orang yang memiliki
kesempatan untuk belajar. Sistem yang diterapkan berbentuk klasikal dan dengan
kurikulum pelajaran umum tanpa memasukkan Pelajaran Agama Islam. Selain itu,

30
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh
Islam Dalam Penyusunan UU. No.2/1989 (Jakarta: INIS, 2004), 37.
31
Zamakhsyari Dhofier, “Lembaga Pendidikan Islam Dalam Perspektif Nasional” Prisma,
Nov. 1982, No.11, Th. XI, 16.
32
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Ciputat: Logos, 2002), 97.
33
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,
1988), 755.

8
pada akhir abad ke-19 juga dibangun Sekolah Angka Satu untuk anak-anak di
kalangan priyai dan Sekolah Angka Dua untuk anak-anak pribumi di pedesaan.34
Akan tetapi, dengan perkembangan sistem pendidikan Barat tersebut,
bukan berarti Pendidikan Islam menjadi surut. Meskipun tidak secepat
perkembangan sistem sekolah Barat, Pendidikan Islam juga mengalami
peningkatan, terlebih setelah diperkenalkan sistem pendidikan madrasah sejak
awal abad ke-2035. Pada tahun 1900, lembaga Pendidikan Islam, baik pesantren,
madrasah atau sejenisnya, selalu berkisar 20.000-25.000 buah dengan siswa
sekitar 300.000 orang. Ini hanya lembaga pendidikan Islam yang besar saja
dimasukkan dalam data statistk. Di wilayah lain, angka statistik bisa sepuluh kali
lipat. Sartono Kartodirdjo, sebagaimana dikutip Karel A. Steenbrink,
menyebutnya sebagai “rapid expansion of traditional institutional of Islamic
education “pada dasawarsa terakhir abad ke-1936. Meskipun tanpa data statistik,
Hasbullah, dalam hal ini mengemukakan bahwa awal abad ke-20 adalah masa
pertumbuhan dan perkembangan madrasah hampir di seluruh wilayah Indonesia.37
Realitas perkembangan pendidikan Islam di atas bertolak belakang
dengan pernyataan Snouck Hurgronje, Profesor asal Belanda sekaligus sebagai
Penasehat Kementerian Pemerintah Belanda, yang menyatakan bahwa sampai
tahun 1890 jumlah pesantren bertambah. Sedangkan 20 tahun kemudian sekolah-
sekolah tipe Belandalah yang dapat menarik murid lebih banyak.38 Berpedoman
pada pernyataan Snouck Hurgronje di atas Harry J. Benda mengemukakan bahwa

34
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 146.
35
Robert W. Hefner dan Mohammad Qosim Zaman, ed., Schooling Islam: The Culture
and Politic of Modern Muslim Education (New Jersey: Princetone University Press, 2007), 174.
36
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 9-10. Versi
Bahasa Belanda: Pesantren Madrasah Sekolah: recente ontwikkelingen in Indonesisch
Islamonderrch (Netherland: W. Van Hoeve, 1958), 293.
37
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintas Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 169.
38
E. Gobee dan Adriaanse, ed., Nasehat-Nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda, Terjemahan: Sukarsih, (Jakarta: INIS,
1993).

9
dalam kompetisi antara sistem pendidikan Barat dan pergaulan budaya,
pendidikan Islam tidak mampu dan kehilangan pengaruhnya.39 Oleh karena itu,
dalam rangka meluruskan sejarah, tugas utama dari sejarawan muslim tidaklah
hanya sekedar menulis , melainkan lebih dari itu yakni mengevaluasi sejarah, wal
tandur nafsun mā qaddamat. Hasilnya akan dituangkan dalam bentuk tulisan yang
akan membentuk budaya pembacanya di masa yang akan datang. 40 Selain itu,
dengan melakukan penelitian sejarah ke-Islaman tentunya dapat memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa ke-Islaman, juga sebagai bahan
rujukan dan perbandingan bagi para pengelola Pendidikan Islam di masa yang
akan datang.41 Penelitian-penelitian maupun tulisan-tulisan tentang ke-Islaman,
khususnya pendidikan Islam, memang sudah banyak dilakukan. Namun karena
panjangnya masa sejarah dan luasnya aspek ke-Islaman yang dapat diteliti,
peluang untuk melakukan penelitian tentang sejarah pendidikan Islam ini masih
cukup luas. Khususnya abad ke-19, dimana banyak peristiwa dan perkembangan
Islam yang belum diselidiki.42 Seseorang yang ingin memahami keadaan
sekarang dan ingin berusaha untuk mencapai kemajuan hendaklah ia memahami
hal-hal dari yang telah lampau.43 Oleh karena itu, kajian sejarah pendidikan Islam
pada awal abad ke-20 ini juga dinilai layak dan baik untuk dilakukan.

39
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun (The Huge and Bandung: W. Van
Hoeve, tt), 27. Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, Terjemahan: S. Gunawan, (Jakarta:
Bhratara Karya Aksara, 1983), 32.
40
Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 31.
41
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), 20, 21.
42
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-
19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 3.
43
I. Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV. Ilmu, 1976), 2-3.

10
B. Permasalahan

1. Identifikasi masalah
Kajian mengenai pendidikan Belanda dan pengaruhnya terhadap
pendidikan Islam pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda cukup luas. Oleh
karena itu, masalah-masalah yang memungkinkan dapat diteliti sangat beragam.
Beberapa masalah tersebut adalah:
a) Pendidikan Islam dari aspek kelembagaan, baik berupa jumlah, sejarah
berdiri maupun perkembangannya.
b) Pendidikan Islam dari aspek siswa, baik prilaku maupun lulusannya.
c) Pendidikan Islam dari aspek kurikulum dan kebijakan pemerintah.
d) Pendidikan Islam dari aspek tenaga pendidik maupun kependidikan.
e) Pendidikan Islam dari aspek pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar.
f) Pendidikan Islam dari aspek tingkatan; usia dini, dasar, menengah atau
pendidikan tinggi.
g) Pendidikan Islam dari aspek modelnya seperti pesantren, madrasah atau
sekolah Islam.
h) Pendidikan Islam dari aspek formal, nonformal atau informal.
i) Pendidikan Islam dari aspek waktu; sebelum penjajahan, masa
penjajahan Belanda, Jepang atau masa setelah kemerdekaan.

2. Batasan masalah
Mengingat luasnya masalah dalam pendidikan Islam ini, untuk lebih
terfokusnya penelitian ini, maka masalah dalam penelitian ini terbatas pada aspek
pendidikan formal dan nonformal serta sejarah kelembagaan yang dipadukan
dengan keadaan siswa. Adapun dari kurun waktu yang panjang akan dibatasi pada
awal abad ke-20 (1900-1940). Hal ini sesuai dengan penyataan Snouck Hurgronje
yang mengatakan bahwa pada kurun waktu tersebut pendidikan Islam tidak
mampu bersaing dengan sistem sekolah Barat sehingga sekolah tersebut banyak

11
menarik simpati masyarakat.44 Demikian juga yang dikemukakan Harry J. Benda
bahwa pendidikan Islam pada saat itu kehilangan peran dan pengaruhnya.45 Selain
itu, meskipun banyak tulisan mengenai sejarah pendidikan Islam, biasanya belum
ada yang membantah pernyataan itu. Seakan-akan membenarkan sejarah tersebut
tanpa adanya bantahan, meskipun pada umumnya mereka menyatakan bahwa
peran dan pengaruh serta perkembangan pendidikan Islam pada masa itu terus
berkembang. 46 Alasan lain bahwa periode awal abad ke-20 merupakan titik balik
dalam sejarah. Pada tahun 1900 merupakan tindakan menggebu-gebu untuk
memperluas administrasi efektifnya ke seluruh wilayah kepulauan dan mulai
mencurahkan perhatian atas pengajaran di kalangan bumi putra. Pada waktu itu
imperialisme Belanda baru mencapai puncaknya dengan menguasai seluruh
kepulauan di Indonesia.47 Sedangkan batas hingga tahun 1940 karena pada tahun
tersebut Negeri Belanda diduduki Pasukan Hitler. Dengan demikian kebijakan
khususnya pendidikan di Hindia Belanda terabaikan hingga pendaratan Jepang di
Hindia Belanda tanggal 10 Januari 1942.48

44
Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, Terjemahan: S. Gunawan (Jakarta:
Bhratara Karya Aksara, 1983), 32.
45
Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun (The Huge and Bandung: W. Van
Hoeve, tt), 27.
46
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 9-10. Versi
Bahasa Belanda: Pesantren Madrasah Sekolah: recente ontwikkelingen in Indonesisch
Islamonderrch (Netherland: W. Van Hoeve, 1958), 293. Juga: Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia: Lintas Sejarah Pertunbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), 169.
47
Karel A. Steenbrink, Beberapai Aspek Tentang Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-
19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 14.
48
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Terjemahan: Samsudin Berlian
(Jakarta: PT. Gramedia, 2006), 445-446.

12
3. Perumusan masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka penelitian ini
akan menjawab perumusan masalah adalah bagaimanakah pengaruh pendidikan
Belanda terhadap pendidikan Islam pada masa Hindia Belanda?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan umum dari penelitian ini
adalah untuk mengungkapkan pengaruh pendidikan Belanda terhadap pendidikan
Islam. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk membuktikan
ketidakbenaran pernyataan Snock Hurgronje dan Harry J. Benda yang
menyatakan bahwa dengan didirikannya lembaga pendidikan Barat oleh
Pemerintahan Hindia Belanda telah menghilangkan peran dan pengaruh
Pendidikan Islam karena tidak mampu bersaing dalam pendidikan dan pergaulan
budaya.

2. Manfaat penelitian
Setelah penelitian ini berakhir, secara teoritis dapat bermanfaat; pertama,
bagi para ilmuan, khususnya yang bergerak dalam bidang sejarah pendidikan,
dalam rangka meluruskan sejarah pendidikan Islam di Indonesia; kedua, bagi
umat Islam maupun di luar Islam serta para peduli pendidikan dalam rangka
menambah khazanah ke-Islaman, khususnya dalam bidang pendidikan Islam;
ketiga, bagi para peneliti sebagai bahan kajian lebih lanjut tentang sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia; keempat, bagi penyelenggara pendidikan,
khususnya pendidikan Islam, dalam rangka menentukan kebijakan dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam; kelima, bagi peneliti pribadi dalam rangka
menambah wawasan sejarah pendidikan Islam dan aktualisasi tanggung jawab
sarjana Muslim dalam rangka menjaga dan meluruskan sejarah ke-Islaman,
khususnya di Indonesia.

13
Adapun secara praktisnya, penelitian ini bermanfaat dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan guna penyelesaian program studi penulis pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Definisi Operasional

Pendidikan Islam dapat kategorikan atas: yakni; pertama, pendidikan


langgar yang merupakan pengajaran Islam yang dilaksanakan di langgar atau
surau atau masjid yang merupakan pendidikan Islam tingkat dasar atau elementer.
Di tempat ini diajarkan membaca huruf al-Qur an. Iuran pendidikan tidak
ditentukan, tapi berdasarkan kerelaan orang tua anak didik. Pendidikan biasanya
berlangsung beberapa bulan atau umumnya selama setahun; kedua, pendidikan
pesantren yang merupakan kelanjutan dari pendidikan langgar. Pada pendidikan
ini biasanya sudah ada bangunan pondok untuk asrama siswa. Pembangunan
biasanya oleh seorang kyai atau dengan bantuan masyarakat sekitarnya. Tempat
belajarnya di masjid atau di aula asrama. Ilmu yang diajarkan sudah cukup luas
seperti nahwu, sharaf, hadits dan lain-lain yang umumnya mata pelajaran yang ada
di mdrasah-madrasah Mesir. Lama pendidikan tergantung kecerdasan siswa,
malahan ada yang lebih dari 10 tahun. Kalau sudah selesai mereka akan
mendapatkan diploma Shahadah al-Ālimiyah li al-Ghurabak49; ketiga, pendidikan
madrasah yang dilakukan dengan sistem klasikal. Selain mempelajari ilmu-ilmu
agama juga mempelajari ilmu-ilmu umum. Tingkatannya terdiri dari Ibtidaiyah
(dasar), Tsanawiyah (menengah) dan Āliyah (atas). Sistem pendidikan madrasah
ini muncul pada awal abad ke-20; keempat, sekolah dengan muatan agama Islam
merupakan sekolah yang didirikan oleh tokoh-tokoh nasionalis maupun ulama-
ulama reformis melalui organisasi Taman siswa, Muhammadiyah dan lainnya.

49
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 54.
Lihat juga: Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 9-10. Versi
Bahasa Belanda: Pesantren Madrasah Sekolah: recente ontwikkelingen in Indonesisch
Islamonderrch (Netherland: W. Van Hoeve, 1958), 161.

14
E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah. Penggunaan


pendekatan ini menjadi penting untuk dilakukan dalam mengamati dinamika dan
karakter setiap periode perkembangannya. Ada dua model pendekatan yang
digunakan, seringkali disebut juga sebagai strukturalisme histories atau total
history, yakni perpaduan dua model pendekatan diakronik (periodik) dan
sinkronik (melebar). Pola pendekatan diakronik, yakni periodesasi perkembangan
nampaknya akan menjadi unsur utama dari pola penelitian ini secara
keseluruhannya. Sedangkan pola pendekatan sinkronik, yakni tinjauan melebar
dan mensistematiskan faktor-faktor yang ada dalam setiap periode adalah menjadi
kerangka dan pola analisis bagi setiap fakta sejarah untuk melihat perkembangan
pendidikan Belanda maupun pendidikan Islam sehingga dapat dipahami secara
holistik.

2. Jenis data

Data dalam penelitian terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif berupa corak dan sistem pendidikan Belanda maupun sistem
pendidikan Islam pada awal abad ke-20. Selain itu berupa data kuantitatif yang
mengungkapkan perkembangan jumlah lembaga maupun siswa sekolah yang
diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda maupun data lembaga dan siswa
pendidikan Islam dan respon umat Islam terhadap kebijakan pendidikan
Pemerintah Hindia Belanda serta analisis tantangan pendidikan Islam menghadapi
era modernisasi pendidikan di masa depan.

15
3. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.
Sumber primer50 yang diperoleh dari dokumen, catatan, dan arsip Pemerintah
Hindia Belanda yang berada pada Arsip Nasional RI dan Museum Pusat di Jakarta
maupun di Perpustakaan Nasional RI serta tulisan-tulisan orang yang sezaman
berupa data sistem sekolah Belanda, perkembangan lembaga maupun siswa dari
pendidikan Belanda maupun pendidikan Islam pada awal abad ke-20.
Sedangkan sumber sekunder51 yang diperoleh dari rekonstruksi tulisan-
tulisan atau hasil penelitian sebelumnya berupa buku-buku, artikel maupun bentuk
tulisan lainnya yang berisikan data-data sejarah perkembangan pengajaran Islam
di Hindia Belanda maupun perkembangan sistem pendidikan Belanda dan kondisi
umum perkembangan pendidikan Islam pada masa Pemerintah Hindia Belanda.
Sumber ini akan digunakan jika sumber primer tidak ditemukan setelah segala
upaya sudah dilakukan untuk mendapatkannya. Dan dengan keterbatasan
kemampuan berbahasa Belanda, maka selain menggunakan tulisan terjemahan
juga dilakukan dengan bekerjasama dengan tenaga penerjemah yang punya
kompetensi dalam berbahasa Belanda.

4. Teknik Pengambilan Data

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa


metode seperti metode dokumentasi, yakni mempelajari secara cermat dan
mendalam segala catatan atau dokumen tertulis. Selain itu digunakan juga metode

50
Cerita atau penuturan atau catatan para saksi mata, atau data yang dilaporkan oleh para
pengamat atau partisipan yang benar-benar menyaksikan suatu peristiwa. Lihat: John W. Best,
Metodologi Penelitian Pendidikan, Penyunting: Sanapiah Faisal dan Mulyadi Guntur Waseso,
(Surabaya; Usaha Nasional., 1982), 391.
51
Cerita atau penuturan atau catatan mengani suatu peristiwa yang tidak disaksikan
sendiri oleh pelapor, tapi tidak termasuk saksi mata. Sumber ini dapat digunakan jika memang
sumber primer tidak ditemukan. Lihat: John W. Best, Metodologi Penelitian Pendidikan,
Penyunting: Sanapiah Faisal dan Mulyadi Guntur Waseso (Surabaya: Usaha Nasional., 1982), 391.

16
komparatif dengan membandingkan fakta-fakta perkembangan pendidikan
Belanda maupun pendidikan Islam yang terjadi dan berkambang pada waktu
tertentu. Adapun metode deskriptif digunakan untuk menguraikan perkembangan
sejarah pendidikan Belanda dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam.

5.Teknik analisa data

Setelah semua data terkumpul akan dilakukan analisa kritik, eksternal


maupun internal,52 terhadap sumber maupun jenis data, selanjutnya dilakukan
analisis historis mengenai aspek-aspek perkembangan pendidikan Islam yang
dideskripsikan berdasarkan urutan sejarah guna menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan. Selain pendekatan historis, penelitian ini juga dilakukan
dengan pendekatan penafsiran dan pemahaman terhadap tulisan-tulisan Snouck
Hurgronje untuk mengetahui relevansi pernyataannya dengan kondisi riil di
lapangan berdasarkan data-data yang tersedia, baik dokumen-dokumen maupun
penelitian-penelitian di bidang pendidikan Islam. Untuk mempertajam analisa
juga digunakan pendekatan multidisipliner, yakni merekonstruksi sejarah dengan
menggunakan pendekatan ilmu sosial. 53 Dengan tafsiran dan analisis tersebut
diharapkan dapat menyajikan suatu pemahaman yang kongkrit dalam uraian yang
sistimatis yang pada akhirnya dapat memberikan informasi riil tentang pengaruh
pendidikan Belanda terhadap perkembangan pendidikan Islam pada awal abad ke-
20.

52
Kritik eksternal adalah mengkritik apakah sumber maupun data yang digunakan asli dan
memiliki integritas tekstual. Sedangkan kritik internal adalah proses mengkritisi apakah data yang
diseleksi tersebut layak dan sesuai atau tidak dalam penelitian yang dilakukan. Lihat: Consuelo G.
Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, Terjemahan: Alimuddin Tuwu, (Jakarta: UI Press,
1993), 55-59.
53
U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktek (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006 ), 152.

17
F. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang pendidikan Islam di Indonesia cukup banyak, baik yang


dilakukan sarjana-sarjana Indonesia maupun Barat. Beberapa karya yang dianggap
penting adalah sebagai berikut:

1. H. Akib Suminto melalui disertasinya beliau meneliti tentang kebijakan


Pemerintah Hindia Belanda dalam menentukan kebijakan dan mengelola
masalah-masalah ke-Islaman di wilayah jajahannya, khususnya Indonesia
dalam kaitannya dengan Kantor Urusan Agama (het kantoor
voorinlandsche zaken), organisasinya, para pemimpinnya hingga
peranannya dalam masyarakat Islam Indonesia. Namun beliau tidak
menguraikan hubungan kebijakan tersebut dengan aktivitas pendidikan
Islam.54
2. Karel A. Steenbrink, sarjana asal Belanda yang banyak mencurahkan
kemampuannya dalam menyingkap tabir pendidikan Islam tradisional di
Indonesia. Namun penelitian ini tidak memberikan data tentang
pendidikan Islam secara lengkap pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20. Setelah mengunjungi beberapa Pondok Pesantren di Sumatera dan
Jawa, akhirnya Pondok Pesantren Gontor yang menjadi obyek penelitian.
Penelitiannya terfokus pada kehidupan di lembaga pendidikan Islam
tradisional dengan berbagai elemennya, baik kyai, santri maupun
kurikulumnya juga kehidupan masyarakat disekitarnya. Demikian pula
dengan karyanya yang lain meneliti tentang aspek-aspek pendidikan Islam
yang difokuskan hanya pada abad ke-19.55

54
H. Akib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1984).
55
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), dan
Beberapa Aspek Tentang Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang,
1984).

18
3. Clifford Geertz, ilmuan yang gigih melakukan penelitian tentang Islam di
Pulau Jawa. Meskipun hanya mengambil lokasi di Mojokerto Jawa Timur,
penelitian yang dilakukan kurang lebih selama empat tahun mengupas
tentang kebudayaan masyarakat Mojokerto dengan berbagai macam ritual
keagamaannya dan klasifikasi masyarakatnya. Meskipun sekarang banyak
menuai kritik tentang kelompok abangan yang dikemukakanya, paling
tidak karyanya menjadi suatu contoh bagi para peneliti lain dalam hal
melakukan suatu penelitian yang komprehensif. Ia berusaha melakukan
penelitian ini secara mendalam dan sedetil mungkin sehingga istrinya juga
dilibatkan dalam penelitiannya. Beliau juga mempelajari bahasa Jawa agar
tidak terjadi kesalah fahaman dalam menafsirkan suatu kebudayaan
masyarakat. Selain dilakukan pada pertengahan abad ke-20, penelitiannya
sedikit sekali menguraikan tentang Pendidikan Islam.56
4. Harry J. Benda juga salah satu peneliti asing yang concern dengan ke-
Islaman di Indonesia. Namun fokus penelitiannya pada masa penjajahan
Jepang, beberapa tahun sebelum Indonesia Merdeka. Meskipun
penelitiannya tentang masyarakat Indonesia di pertengahan abad ke-20,
penelitian ini juga sedikit membahas pendidikan Islam, yang tentunya
pada saat itu sudah banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan Islam
dengan klasikal (madrasah).57

5. Zamakhsyari Dhofir, salah satu sarjana muslim yang melakukan penelitian


tentang pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Penelitian yang terfokus
pada tradisi pesantren ini juga mengupas dunia pesantren dengan berbagai
aspeknya, termasuk elemen-elemen yang ada dalam pondok pesantren.

56
Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press, 1960) dan Islam
Observed Religious Development in Marocco and Indonesia (Chicago: Yale University Press,
1968).
57
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun (The Huge and Bandung: W. Van
Hoeve, tt).

19
Selain itu menyajikan peran kyai dalam pondok pesantren serta pengaruh
kyai tersebut terhadap perkembangan suatu pondok pesantren.58
6. Alwi Shihab, cendekiawan muslim dalam disertasinya mengungkapkan
secara luas tentang peran dan pengaruh organisasi keagamaan
Muhammadiyah dalam meredam arus kristenisasi di Indonesia pada awal
abad ke-20. Dengan mendirikan berbagai fasilitas sosial seperti sekolah
dan rumah sakit, organisasi ini dinilai paling aktif melawan misi Kristen
dan paling berpengaruh dalam kancah politik Indonesia. Kajian tentang
Muhammadiyah ini cukup luas, dari latar belakang hingga eksistensinya
sekarang ini. Namun tulisan ini tidak mengkritik tentang eksistensi
pendidikan Islam akhir abad ke-19 yang dikemukakan Snouck Hurgroje. 59
Selain karya-karya di atas, ada beberapa karya lain yang sebagian besar
berbentuk essay seperti “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” karya Mahmud
Yunus (1982), “Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru” karya Azyumardi Azra (1999), “Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret
Perjalanan” karya Nurcholis Madjid (1997), “Sejarah Pedidikan Indonesia”
karya S. Nasution (1995), “Sejarah Pendidikan Islam” karya Zuhairini dkk.,
(2001), Ahmad Syalabi dalam “ at-Tarbiyah al-Islamiyah” (1908) dan lain-
lainnya.

G. Sistimatika Pembahasan

Penulisan tesis ini diawali dengan bab pendahuluan yang menguraikan


tentang munculnya permasalahan, esensi serta data dan fakta yang mendukung

58
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES, 1994).
59
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998).

20
perlunya penelitian ini dilakukan, yang dituangkan dalam sub latar belakang
masalah. Selain itu juga diuraikan permasalahan yang membahas tentang
identifikasi, batasan dan rumusan masalah yang berhubungan dengan pendidikan
Islam di Indonesia. Pada bab ini juga dikemukakan tujuan dan manfaat penelitian,
dan metodologi penelitian. Untuk mengetahui dan membandingkan dengan
penelitian terdahulu, disajikan dalam bentuk kajian pustaka yang berisikan
ringkasan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Intinya, pada
bab ini merupakan gambaran yang mengacu pada penelitian yang akan dilakukan.
Pada bab selanjutnya diuraikan tentang sistem pendidikan Belanda yang
berkaitan dengan sejarah Hindia Belanda, kebijakan politik etis, perluasan
pendidikan untuk pribumi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perluasan
pendidikan untuk pribumi.
Bab berikutnya akan menguraikan tentang pendidikan Islam masa Hindia
Belanda termasuk jenis-jenis pendidikan Islam seperti langgar, pesantren, sekolah
dengan muatan agama dan madrasah. Selain itu diuraikan juga tentang pendidikan
yang didirikan oleh tokoh-tokoh nasional yang dikenal dengan pendidikan seperti
Taman Siswa, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Pada bab keempat akan menguraikan tentang pengaruh pendidikan
Belanda, baik sebagai inspirator maupun kompetitor dan respon umat Islam
terhadap didirkannya sekolah-sekolah Belanda serta uraian tentang tantangan
pendidikan Islam di masa depan dalam menghadapi era modernisasi pendidikan
sebagai cerminan dari pendidikan Islam pada awal abad ke-20. Selain itu akan
diuraikan tentang evaluasi dari kebijakan politik etis dan kondisi pendidikan Islam
pada awal abad ke-20 guna mengetahui perannya dalam mencerdaskan kehidupan
rakyat Pribumi saat itu.
Bab terakhir merupakan bab kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan
dirumuskan berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis yang ditawarkan.
Sedangkan dengan memahami dari kesimpulan dari penelitian ini, diajukan
berbagai rekomendasi sehubungan dengan perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia, khususnya pada masa penjajahan Belanda.

21
22
BAB II

SISTEM PENDIDIKAN BELANDA

Pada bab ini diuraikan tentang sejarah Hindia Belanda, Politik Etis, sistem
pendidikan Belanda, perluasan pendidikan Pribumi dan faktor yang
mempengaruhi perluasan pendidikan Pribumi. Uraian ini akan memberikan
pemahaman tentang bahwa istilah Hindia Belanda adalah nama suatu
pemerintahan yang berkuasa saat itu yang merupakan bagian dari Negeri Belanda.
Dengan kekuasaanya, pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai kebijakan
di tanah jajahannya termasuk politik etis dengan berbagai sistem pendidikannya,
baik yang berhubungan dengan masyarakat Pribumi maupun non-Pribumi.
Dengan uraian ini dapat dilakukan penafsiran terhadap apa dan bagaimana sistem
pendidikan Belanda yang diterapkan di Hindia Belanda.

A. Sejarah Hindia Belanda

Kekayaan alam pulau-pulau di Nusantara1 telah mengundang bangsa-


bangsa asing, khususnya negara-negara Eropa untuk memajukan perekonomian
negara mereka. Terbukti dengan banyaknya hasil rempah-rempah dari sejumlah
pulau di Nusantara membuat jalur perairan ini ramai akan kapal-kapal
perdagangan asing. Bahkan jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa datang, jalur
perairan selat Malaka telah diramaikan oleh kapal-kapal saudagar dari Timur
Tengah seperti Arab, India dan Cina.2 Atas aktivitas itu juga sehingga Islam

1
Wilayah Nusantara terletak antara persilangan jalan, antara Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik, atau lebih khusus antara Teluk Benggala dengan Laut Cina. Denys Lombard,
Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 2008), 11.
2
Hal ini dapat difahami melalui sejarah masuknya Islam ke Nusantara melalui para
pedagang Gujarat dan Cina pada abad 11-12 Hijriyah. Bangsa Eropa menganggap Cina merupakan
saingan dalam perdagangan karena sebelumnya Cina telah mendahului mereka sejak ratusan
tahun. Khususnya abad ke-13 hingga abad ke-15 merupakan adanya peningkatan perniagaan besar
22
menjangkau wilayah yang sekarang dikenal dengan Indonesia.3 Kekayaan sumber
daya alam ini juga telah merubah niat berdagang untuk menguasai bahkan
menjajah wilayah-wilayah di Nusantara yang pada saat itu masih berupa negara-
negara kecil berbentuk kerajaan.4

Bangsa Eropa yang pertama kali datang ke wilayah Nusantara ini adalah
bangsa Portugis pada tahun 1511 di Pulau Banda. Kedatangannya ke Nusantara
juga karena tertarik akan rempah-rempah terutama yang berasal dari kepulauan
Maluku. Kurang lebih sepuluh tahun kemudian (1521) menyusul bangsa Spanyol
dengan dua buah kapal melalui Philipina, Kalimantan Timur, Tidore, Bacan dan
Jailolo. Sewaktu mereka pulang, beberapa di antara mereka tinggal di Tidore.
Dengan kedatangan Spanyol ini Portugis merasa tersaingi dan terjadilah
penyerangan atas kapal-kapal dagang Spanyol oleh Portugis. Namun konflik
tersebut dapat dihentikan setelah melalui perundingan dimana Spanyol harus
meninggalkan Malaka. Dengan demikian, Portugis dengan bebasnya melakukan

di wilayah Nusantara. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 2008), 29-
32. Arus Islam abad ke-12 yang sampai ke Nusantara telah bercampur dengan tanah India yang
dilaluinya. Kemudian baru abad ke-17 mereka berkenalan dengan sumber aslinya Mekkah. Ini
berarti bahwa pedagang antar benua, khususnya di Nusantara sudah berlangsung jauh sebelum
kedatangan Bangsa Eropa. Snouck Hurgronje, Arabic on Oost-Indie (Leiden: 1907), 22.
3
Nama Indonesia berarti “pulau-pulau India” kepada kepulauan itu oleh seorang etnolog
Jerman yang telah digunaan sejak 1884. Awalnya, Indonesia adalah nama geografis untuk
menyebutkan semua pulau antara Australia dan Asia, termasuk Filipina. Gerakan Nasionalis
Indonesia mengambilnya dan menyebutnya menjadi nama resmi untuk republik mereka pada tahun
1945 dan 1949. Lihat: Bernard HM. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta: Gramedia,
2008), 6. Versi lain menyebutkan bahwa kata “Indonesia” merupakan penemuan dua orang sarjana
Inggeris , Earl dan Logan, pada tahun 1850. G.J.Resink, Raja dan Kerajaan yang Merdeka di
Indonesia 1850-1910 (Jakarta: Djambatan, 1987), 45.
4
Kerajaan-kerajaan ini dulunya dikenal dengan negara-negara Indonesia, seperti kerajaan
Sriwijaya di Sumatera yang berdiri selama kurang lebih 600 tahun, abad 7-13. Kerajaan Majapahit
di Jawa yang berdiri tahun 1292, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten dan lain-lain. Dikarenakan
mereka saling berperang untuk kekuasaan keadaan tidak kondusif dan pada saat yang tepat
Belanda datang, dengan politik adu dombanya, maka wilayah Nusantara dapat mudah dikuasai
Belanda. Akan tetapi dengan kejatuhan kerajaan-kerajaan tersebut, timbul semangat bersatu dan
sekaligus menjadi bumerang bagi Belanda. Semangat jihad melawan kaum kafir inilah yang
menjadi perlawanan Belanda selanjutnya. Bernard HM. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia
(Jakarta: Gramedia, 2008), 9-10. Lihat juga: Donald Wilhelm, Indonesia Bangkit (Jakarta; UI
Press, 1981), 12.
23
monopoli perdagangan rempah-rempah tersebut.5 Portugis memang sangat mudah
menjangkau daerah ini karena sebelum kedatangan bangsa Spanyol, mereka sudah
menduduki wilayah Malaka. Dari Malaka inilah mereka dapat menjangkau
wilayah-wilayah lain dengan mudah seperti tanah Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan pulau-pulau lain di Nusantara. Di Jawa Timur yang menjadi tempat
persinggahan mereka adalah wilayah Gersik kemudian ke Malaka, yakni wilayah
yang terkenal sebagai tempat pengumpulan rempah-rempah.6

Pada awal abad ke-17 kekuasaan Portugis di Nusantara digantikan oleh


Belanda. Oleh Belanda istilah Nusantara diganti dengan Hindia Belanda.7
Perhatian Kerajaan Belanda terhadap pendidikan penduduk Pribumi8 sudah
dimulai sejak zaman VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)9. Akan tetapi,

5
Uka Tjandrasasmita, ed., Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1981/1982),
39.
6
MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terjemahan: Dharmono, (Yogyakarta: Gajah
Mada, 1995), 34-35.
7
Hindia Belanda adalah nama kepulauan yang merupakan bagian dari wilayah jajahan
Belanda. Nama ini berlaku hingga berakhirnya pendudukan Belanda di wilayah yang sejak tahun
1945 dikenal dengan Negara Republik Indonesia. Sebelum tahun 1942 sebetulnya belum ada
istilah sejarah Indonesia, yang ada adalah Hindia Belanda atau sejarah Nederlands Indie atau
sejarah bangsa Belanda di tanah Hindia Nederland. Tanggal 8 Maret 1942 dikenal sebagai
peristiwa runtuhnya Hindia Belanda di Nusantara. R. Muh. Ali, Pengantar Sejarah Ilmu
Indonesia (Jakarta: LkiS, 2005), 113, 118.
8
Semasa pendudukan Hindia Belanda yang dianut dalam Algemeene Bevalingen tahun
1848 pasal 6-10 yang membagi kelompok Eropa dan Bumiputra. Kelompok Eropa termasuk orang
asing dan lainnya. Ukuran yang dipakai adalah apakah penganut Kristen atau bukan. Maka yang
menganut Kristen disamakan dengan Eropa. Lihat: Algemeene Bevalingen Van Wetgeving tahun
1848 pasal 6-10 dalam Poesprojo, Jejak-jejak Sejarah 1908-1926 (Jakarta: Remaja Karya, 1984),
19-20. Namun sejak tahun 1800 hingga awal abad 20 Hindia Belanda membagi penduduk atas tiga
kategori, yakni; Eropa, Timur Asing dan Bumiputra (Pribumi). Awalnya diterapkan di Jawa pada
abad ke-17 dan ke-18, khususnya Batavia. Para pegawai Kompeni Belanda menduduki kelas sosial
paling atas yang di bawahnya terdapat warga bebas yang di antaranya orang Kristen (orang
Belanda, Indo dan budak-budak Kristen yang telah diberi hak suara). Setelah itu terdapat orang-
orang Cina dan terakhir sekaligus menduduki kelas terendah adalah Pribumi. Lihat: WF.
Wertheim, Indonesian Society Intransition (Bandung: Sumur, 1956), 68.
9
VOC singkatan dari “Vereenigde Oostindisch Compagnie” yang berarti Serikat
Perseroan Hindia Timur, yakni suatu badan yang mengawasi perdagangan Belanda tidak hanya di
Nusantara bahkan Srilangka dan kawasan dari Tanjung Harapan hingga ke Jepang yang dipimpin
dan dikontrol dari Amsterdam Belanda oleh sebuah badan persero. Sarikat dagang ini didirikan
pada tahun 1602 dan bubar pada tahun 1799. Tujuan utamanya adalah mencari keuntungan
24
pendidikan saat itu bukan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat Pribumi, tapi
untuk menyebarluaskan ajaran agama Kristen Protestan dan melenyapkan
pengaruh agama Katholik pada masyarakat Pribumi yang sebelumnya
dikembangkan oleh para misionaris dibawah pimpinan Franciscus Xaverius. Misi
Kristenpun berhasil sehingga agama Katholik dapat dilenyapkan dan agama
Kristen Protestan pun berkembang. Meskipun akhirnya pendidikan ini berjalan
kurang baik, namun kekuasaan VOC di Gorontalo telah berhasil menyebarkan
ajaran ini sejak tahun 1705, khususnya di wilayah Atinggola.10 Dari sinilah agama
Kristen mulai melebarkan sayapnya dan dengan didirikannya sekolah-sekolah
sejak pertengahan abad 19 sampai dengan awal abad 20 seperti di Minahasa, di
Sonder didirikan sekolah guru zending tahun 1852 yang mendidik calon pembantu
pendeta. Perkembangan ini mengantarkan pada kenyataan bahwa banyak guru-
guru jama’at Kristen pada tahun 1926 dikirim ke Gorontalo. Selain itu juga
dikirim ke daerah lain seperti Donggala, Sulawesi Barat Daya, bahkan keluar
Sulawesi seperti Kepulauan Kai, Aru, Tanimbar, Timor, Irian Barat dan
Kalimantan Barat. Namun perkembangan agama Kristen di Donggala tidak
secepat daerah lain. Hal ini dikarenakan agama Islam jauh sebelumnya telah
berkembang dengan pesat sebagai agama resmi kerajaan.11

Dari masa VOC kekuasaan di Nusantara beralih ke tangan Belanda sejak


awal abad 19, tepatnya tahun 1816.12 Prinsip utama Belanda atas wilayah

sebanyak-banyaknya dan mengalang kekuatan untuk menghadapi saingannya Spanyol dan


Portugis. Akibat kebangkrutannya semua harta bendanya diambil alih oleh Bataafsche Republiek.
Lihat: Oesman Raliby, Kamus Internasional, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 553. Denys
Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 2008), 61.
10
Mukhlis P. dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi (Jakarta: Depdiknas, 1995), 102.
11
Tentang perkembangan sekolah-sekolah Kristen seperti sekolah guru zending dan
lainnya dapat dibaca dalam Mr. SC Graff Van Rondwijh Oegst gesst, Kebijakan Lembaga-
Lembaga Pekabaran Injil yang bekerjasama, 1907-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 86.
12
Versi lain mengatakan tahun 1798, karena saat itu campur tangan VOC dalam perebutan
kekuasaan yang terjadi di kerajaan-kerajaan di Nusantara, satu sisi menjadikan VOC dapat
menguasai daerah-daerah strategis, tapi di sisi lain mengakibatkan kerugian yang cukup besar,
sehingga pada tahun 1795 ijin VOC dihentikan dan tahun 1798 VOC dibubarkan dengan
menanggung kerugian sebesar 134,7 juta Gulden. Selanjutnya kekuasaan atas Hindia Belanda
jatuh ke tangan pemerintah Belanda. Untuk menutup kerugian tersebut, Belanda menerapkan
25
pendudukannya tidak jauh berbeda dengan masa VOC dimana tanah jajahan harus
dapat memberi keuntungan sebesar mungkin atas usaha perdagangan dan Negeri
Belanda. Atas perintah Menteri Jajahan tahun 1842 agar Gubernur Jenderal
memaksimalkan usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
bagi kemakmuran Negeri Belanda. Meskipun ada usaha untuk memakmurkan
wilayah jajahannya, prinsip bahwa negeri yang direbut (Hindia Belanda) harus
memberi keuntungan semaksimal mungkin kepada Negeri Belanda sebagai
pendudukan tersebut.13 Oleh karena itu, usaha yang dilakukan pemerintah Hindia
Belanda masih mengikuti cara-cara yang lazim digunakan pada masa VOC.

Selain itu, pendudukan Belanda atas Hindia Belanda ini telah menciptakan
sejarah yang cukup panjang dan sepanjang itu pula penderitaan rakyat dan
kekayaan alam terkuras.14 Paling tidak, sejak runtuhnya VOC tahun 1816 Belanda
telah menjadikan Hindia Belanda sebagai wilayah jajahan kurang lebih 126 tahun.
Tidak sedikit kekayaan alam yang dikuras. Begitu pula nyawa rakyat melayang
dalam rangka melepaskan diri dari belenggu penjajahan untuk meraih kehidupan
yang merdeka dari penindasan bangsa asing. Masa inipun berakhir setelah Jepang
dapat menguasai wilayah Hindia Belanda tahun 1942. Untuk menguatkan

sistem Tanam Paksa dimana masyarakat Pribumi diwajibkan menanam tanaman yang dibutuhkan
pemerintah Belanda dan pada saat panen diharuskan menjual kepada Belanda dengan harga
murah dengan maksud untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di negeri Hindia Belanda
yang berjalan antara tahun 1815-1870. Dengan kebijakan ini Belanda sempat mendapat tuduhan
sebagai pelaksana politik immoral bahkan perampok yang tidak tahu malu. Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid 5, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1984), 1-13.
13
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1994), 8.
14
Beberapa hal yang menyebabkan rakyat di Nusantara ini terjajah adalah karena berabad-
abad rakyat di kepulauan ini tidak mempunyai roh dan semangat yang kuat. Kedaulatan hanya
berada di tangan kaum ningrat. Contohnya adalah kerajaan Majapahit yang besar yang
kekuasaannya meliputi seluruh Nusantara bahkan Malaka dan Philipina. Kerajaan ini tidak kekal
karena ia bergantung kepada kemauan dan akal orang seorang dan tidak bersendi kepada semangat
rakyat serta terperintah oleh bangsa asing. Rakyat tidak pernah diberi kesempatan bermusyawarah
dengan raja tentang urusan negeri. Oleh karena itu, ketika robohnya kekuasan Majapahit, rakyat
tidak mempunyai organisasi dan roh, kemerdekaan menjadi terlantar dan jatuh pada kekuasaan
lain. Hilang feodalisme, tapi timbul kolonialisme. Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan I
(Jakarta; Balai Buku Indonesia, 1953), 79.

26
hegemoninya, Jepang merubah berbagai unsur yang berbau Belanda seperti nama
Hindia Belanda berubah menjadi Negara Timur Raya, memasyarakatkan bahasa
Jepang dan lain-lain. Tujuan pendudukan Jepang juga tidak jauh bedanya dengan
bangsa-bangsa Eropa sebelumnnya, yakni menguras sumber daya alam untuk
membiayai perang dengan sekutu. Pada tahun 1945 baru muncul istilah Indonesia
secara resmi dengan status baru sebagai negara merdeka dan berdaulat, tepatnya
tanggal 17 Agutus 1945 dimana Jepang berhasil dipukul mundur oleh Sekutu dan
meninggalkan wilayah yang dikuasainya selama kurang lebih tiga tahun.

Dari sejarah Hindia Belanda di atas, dapat diklasifikasi atas masa feodal
(1511-1799) dan masa kolonial (1799-1945). Untuk lebih rinci dapat dilihat
susunan kronologis pada bagan berikut:

Tahun Peristiwa

1511 Kedatangan bangsa Portugis di Pulau Banda


1521 Kedatangan bangsa Spanyol di Kalimantan Timur, Todore,
Bacan dan Jailolo melalui Philipina
1596 Kedatangan bangsa Belanda di Nusantara
1602 Belanda mendirikan organisasi dagang VOC untuk menyaingi
perdagangan yang telah dilakukan Portugis dan Spanyol
1795 Izin VOC dicabut
1799 VOC dibubarkan karena mengalami kebangkrutan
1819 Belanda menerapkan Tanam Paksa, selanjutnya secara berangsur
dihapuskan dan diganti dengan perkebunan yang diusahakan oleh
para pengusaha Eropa
1901 Penerapan Politik Etis yang sebelumnya terjadi Revolusi Politik
di Eropa tahun 1840 dan diikuti oleh Belanda tahun 1848
1940 Berakhirnya Politik Etis akibat pengaruh dari pendudukan
pasukan Hitler atas Negeri Belanda
1942 Tepatnya 10 Januari pendaratan tentara Jepang di Hindia
Belanda
1942 Tepatnya tanggal 8 Maret berakhirnya pemerintah Hindia
Belanda
1945 Tepatnya tanggal 17 Agustus Proklamasi Kemerdekaan RI
setelah pasukan Jepang meninggalkan Hindia Raya

27
B. Politik Etis Pemerintah Hindia Belanda

Belanda mengalami revolusi politik tahun 1848.15 Orang-orang yang


berfaham liberal lebih dominan menguasai pemerintahan. Kelompok faham liberal
ini berhasil merubah undang-undang yang lebih bersifat liberal. Hal ini sangat
membawa pengaruh besar terhadap perkembangan di Hindia Belanda. Bidang
yang cukup besar pengaruhnya adalah dalam hal politik ekonomi. Prinsip politik
ekonomi mengamanatkan bahwa kerajaan tidak campur tangan dan harus menarik
diri dari segala kegiatan perekonomian dan dialihkan pada pihak swasta. Bantuan
kepada pihak swasta harus dihentikan dan Hindia Belanda terbuka bagi pihak-
pihak swasta. Dengan politik ini maka muncullah perusahaan-perusahaan yang
bergerak di bidang industri seperti gula, tembakau dan penambangan timah.
Tanam paksa16 berangsur-angsur dihapuskan dan diganti dengan perkebunan yang
diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta.

15
Gerakan ini dimulai dengan revolusi demokrasi di Eropa sekitar tahun 1840. Kondisi
ini direspon cepat oleh kelompok liberal di parleman di bawah pimpinan Jan Rudolf Thorbecke,
yakni dengan mengubah Undang-Undang Dasar Belanda dari konservatif ke liberal delapan tahun
dari revolusi di Eropa tersebut, yakni tahun 1848. Dengan UUD tersebut, maka Belanda berubah
menjadi sebuah negara monarki konstitusional dimana Ratu bertanggung jawab pada parlemen.
Ini berarti Belanda berubah dari kekuasaan otoritas absolut menjadi kekuasaan dengan hukum.
Dengan tatakenegaraan seperti itu, kelompok liberal mampu mengintervensi parlemen tentang
persoalan-persoalan di negara jajahan. Dalam bidang pendidikan UUD mengamanatkan dan
menjamin bahwa setiap orang di negeri Belanda bebas mendapatkan pendidikan termasuk di
Hindia Belanda yang merupakan wilayah jajahan Belanda. Dengan dukungan dari para pengusaha
yang sadar politik, kelompok liberal ini dapat berperan penting dan menentukan dalam kebijakan
di Negeri Belanda melalui parlemen. R.N. Stromberg, European Intelectual History since 1789
(New York: Appleton-Century-Crofts, 1968), 72-78. Lihat juga: P.T. Simbolon, Menjadi
Indonesia (Jakarta: Kompas, 1995), 126.
16
Kebijakan Sistem Tanam Paksa dilakukan setelah Pemerintah Belanda mengirimkan
Gubernur Jenderal baru, yakni Johannes van den Bosch, sistem ini merupakan hasil pemikirannya
guna menanggulangi biaya yang besar akibat perang Diponegoro di Jawa (1825-1830) dan Perang
Padri di Minangkabau (1815-1824). Sistem yang dikenal dengan cultuurstelsel ini memungkinkan
eksploitasi pedesaan Jawa secara maksimal dan membuktikan bahwa koloni ini dapat memberikan
hasil yang melebihi biayanya. Setiap desa harus menyisakan seperlima dari lahan yang subur
untuk pemerintah dan setiap petani dewasa harus meluangkan seperlima dari waktu kerjanya.
Sistem ini berakhir setelah mendapat banyak kritikan, terutama sejak pembukaan terusan Suez
tahun 1869 yang memudahkan kedatangan banyak pengusaha Belanda dan negara Eropa lainnya,
sedikit demi sedikit sistem tersebut dapat diubah menjadi sistem perkebunan swasta yang pada
akhirnya memunculkan kolonisasi penduduk Jawa ke luar Jawa. Denys Lombard, Nusa Jawa:
Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 2008), 75.
28
Dalam hal administrasi pemerintahan di Hindia Belanda juga terlihat dari
adanya perluasan administrasi pemerintahan dengan membuka departemen-
departemen baru yang disesuaikan dengan faham liberal. Demikian pula dalam
kebijakan pendidikan, khususnya pendidikan bagi masyarakat Pribumi. Secara
umum, dalam hal kebijakan pendidikan ini tertuang dalam kebijakan “Politik
Etis”.17 Politik etis secara resmi berlaku sejak Ratu Belanda yang bernama
Wilhelmina pada pidato tahunan kerajaan pada September 1901. Ia menghimbau
adanya suatu kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di
Hindia Belanda. Selain itu, dengan memburuknya situasi perekonomian di Hindia
Belanda saat itu telah menimbulkan keprihatinan di pihak Belanda. Oleh karena
itu, Ratu Belanda menginstruksikan agar dibentuk suatu komisi guna mempelajari
gejala-gejala memburuknya perekonomian di Hindia Belanda tersebut.

Kehadiran politik etis ini juga tak terlepas dari suatu gerakan yang muncul
sebagai aliran etika di Belanda. Salah satu tokohnya adalah Baron Van Hoevell,
seorang pendeta Protestan yang meminta perbaikan nasib rakyat Pribumi di
Hindia Belanda dalam sidang-sidang parlemen. Usaha ini diikuti oleh para tokoh
lain seperti Van Kol dan Van Deventer. Setelah bekerja di Hindia Belanda Van
Kol kembali ke Belanda dan menjadi anggota parlemen. Sebagaimana Van
Hoevell, Van Kol yang berusaha untuk memperjuangkan nasib masyarakat
Pribumi Hindia Belanda di parlemen Belanda. Demikian juga Van Deventer,
sekembalinya dari Hindia Belanda, beliau menulis artikel yang berjudul “Een

17
Istilah Etika diambil dari bahasa Belanda ‘ethisch’ yang berarti ajaran bersendikan
ketinggian jiwa manusia. Dalam membuat kebijakan politik etis, Belanda telah mengirimkan
beberapa anak para pejabat antara lain keturunan para raja dan bupati supaya belajar di Negeri
Belanda. Belakangan sebagian besar mereka ini pada satu sisi menjadi golongan masyarakat baru
yakni Menak Intelektual, juga menjadi aktivis Pergerakan Nasional, justru menyatakan bahwa
menjelang tahun 1900-an berkembang pemikiran liberalisme dengan para tokohnya Dr. Ibraham
Kuyper yang pernah menulis dalam sebuah selebaran dengan judul: One Program. Tulisan ini
diterbitkan pada tahun 1880. Isi tulisan tersebut di antaranya agar Pemerintah Belanda harus
menjalankan politik tanggung Jawab moral bagi kemakmuran orang Pribumi. Gagasan ini
ditumbuhkan dalam “Suara Dari Mahkota Kerajaan” pada tahun tersebut. Sejak itu pula
diberlakukan politik Pemerintah Belanda atas negara jajahan dengan istilah ‘Politik Etis’. Nana
Lubis, 1998), 276.

29
Eereschuld” (Sebuah Hutang Kehormatan) dalam majalah “De Gids” yang
diterbitkan pada tahun 1899. Inti dari tulisan ini adalah himbauan kepada
Pemerintah Belanda untuk mengalokasikan dana bagi wilayah jajahan di Hindia
Belanda sebagai ganti atas eksploitasi sumber alam yang telah memberi
sumbangsih besar atas kekayaan Negeri Belanda selama berabad-abad
pendudukannya di wilayah tersebut. Bentuk penghormatan itu adalah dengan jalan
memajukan pendidikan dan pengajaran rakyat Pribumi di Hindia Belanda serta
membangun sarana lain untuk kepentingan umum. 18 Adapun tujuan dari politik ini
adalah usaha untuk mencapai kesejahteraan melalui irigasi, transmigrasi,
reformasi, pendewasaan, perwakilan dan dalam semua pendidikan memainkan
peranan yang penting.19

1. Transmigrasi

Salah satu bidang dalam politik etis adalah melakukan pemindahan


penduduk Jawa yang dianggap padat20 kemudian disebarkan ke luar Jawa seperti
Sumatera. Transmigrasi adalah istilah yang digunakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia setelah kemerdekaan. Sedangkan pada masa Pemerintah Hindia
Belanda digunakan istilah kolonisasi. Kebijakan ini dilaksanakan dengan alasan
bahwa pada awal abad 20 dikhawatirkan akan adanya bahaya kelaparan akibat
terus bertambahnya jumlah penduduk di Pulau Jawa. Pelaksanaan kebijakan

18
J.S. Furnivall, Nederlands Indie, A Strory of Plural Economy, (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1983), 313-315. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004
(Jakarta: Serambi, 2005), 320.
19
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 16.
20
Menurut H. Craandijk dalam tulisannya yang dikutip oleh M. Amral Syamsu bahwa
tujuan transmigrasi untuk mengalihkan kelebihan penduduk dari Jawa ke Sumatera tidak tercapai,
karena penduduk Jawa tidak berlebihan sebagaimana yang dikhawatirkan pemerintah. Bahkan
sebaliknya bahwa usaha-usaha kerajinan di Jawa membutuhkan lebih banyak tenaga. Demikian
juga yang dinyatakan EC. Schalkwijk yang menyatakan bahwa alasan kolonisasi penduduk Jawa
ke Sumatera adalah alasan yang tidak benar. Hal itu dilakukan tidak lain karena politik ekonomi
jajahanlah yang mendorong terjadinya kolonisasi penduduk Jawa ke Sumatera. M. Amral Syamsu,
Dari Kolonisasi ke Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), 122-123.
30
kolonisasi pada awalnya banyak mendapat hambatan. Hal ini dikarenakan
memerlukan dana yang cukup besar.21 Oleh karena itu kebijakan ini sempat
ditunda. Hambatan lain adalah mental masyarakat Jawa yang merasakan bahwa
mereka merasakan di Jawa belum ada masalah dengan mata pencarian sehingga
banyak yang enggan untuk merantau keluar Jawa. Oleh karena itu, dibutuhkan
propaganda-propaganda dan bujukan-bujukan agar program ini dapat terlaksana
termasuk biaya transportasi dan bahkan kebutuhan hidup mereka sebelum mereka
dapat mandiri di wilayah kolonisasi.22

Perluasan lahan kolonisasi tidak hanya di Lampung, melainkan Sumatera


Selatan dan Bengkulu. Di wilayah Lampung dapat ditemukan di daerah
Gadingreja yang dibuka selak tahun 1906, di Karang Anyar tahun 1907,
Purworeja tahun 1909, Wonodadi pada tahun 1910. Pada tahun 1910 ini juga
dibuka lahan koloni di desa Purwosari, Tegalsari dan Karangrejo serta Kutoarjo.
Sedangkan pada tahun 1911 dibuka lahan di daerah Wonosari. Di Sumatera
Selatan dapat dijumpai di wilayah Belitang yang dibuka pada tahun 1937 dan
Tugu Mulyo juga pada tahun 1937. Di Bengkulu mulai dibuka lahan koloni pada
tahun 1909 di tiga wilayah, yakni Rejang Lebong, di Desa Permu Air Sompiang

21
Pada bulan Desember 1903 keluarlah semacam anggaran belanja dari Heyting untuk
keperluan penyelenggaraan kolonisasi di 5 daerah di pulau Jawa dan 6 di luar daerah luar Jawa.
Akan tetapi dikarenakan akan menghabiskan dana yang cukup besar, yakni kurang lebih £ 7
Milliun, maka proyek tersebut batal dilaksanakan. Alasan lain bahwa pemerintah hanya
menginginkan untuk pertama kali hanya satu daerah saja sebagai percobaan. Setelah dilakukan
daerah percontohan, maka pada tahun 1905 baru dilakukan program kolonisasi ke daerah
Lampung.
22
Ada 3 sistem kolonisasi pada saat itu, yakni sistem cuma-cuma, pinjam dan sistem
bawon. Sistem cuma-cuma dilakukan sejak tahun 1905 hingga 1911. Dengan sistem ini
Pemerintah Hindia Belanda membutuhkan dana yang cukup besar karena semua biaya ditanggung
pemerintah, bahkan biaya hidup di wilayah koloni selama 2 tahun ditanggung pemerintah juga.
Oleh karena itu, sistem ini tak dapat dipertahankan dan sejak tahun 1912 diterapkan sistem
pinjam. Para koloni tidak lagi ditanggung sepenuhnya, tapi mereka diberi pinjaman untuk
membayar hutang-hutang di Jawa sebelum keberangkatan dan untuk persediaan makanan selama
perjalanan. Dengan kata lain, pemerintah hanya menyediakan biaya trasnportasi , penyediaan
lahan termasuk irigasi dan jalan-jalan. Sistem ini berjalan hingga tahun 1922. Adapun sistem
bawon merupakan permintaan dari para koloni yang sudah berhasil dan meminta kepada
pemerintah mendatangkan keluarga maupun teman mereka yang masih berada di Jawa untuk
membantu pekerjaan di tanah koloni. Para pendatang ini diupah dan dibiayai para koloni yang
sudah lama selama mereka belum mandiri. Sistem ini dimulai sejak tahun 1932. Lihat: M. Amral
Syamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), 106-107.
31
dan Talang Benih. Wilayah koloni terus dikembangkan hingga ke Jambi,
Sumatera Utara bahkan ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Sulawesi.23

2. Irigasi

Untuk memberdayakan wilayah koloni yang notabene lahan perkebunan


dan persawahan, Pemerintah Hindia Belanda juga mengembangkan pembangunan
irigasi di wilayah-wilayah tersebut. Pembangunan irigasi ini dilakukan setelah
dilakukan berbagai survey atas tanah yang akan ditempati oleh para koloni.
Setelah tanah dinilai subur dan sumber pengairan yang bagus, maka dibangun
irigasi dan pembukahan lahan yang disusul dengan penempatan para koloni yang
didatangkan. Akan tetapi pembangunan irigasi ini tidak sepenuhnya dibiayai
Pemerintah Hindia Belanda. Ini dikarenakan pemerintah merasakan rakyat yang
butuh untuk mendapatkan lahan usaha yang baru, sehingga rakyat di Jawa
maupun yang sudah berada di wilayah koloni harus secara mandiri
menggarapnya.24 Semua ini dilakukan dalam rangka menghemat anggaran
pemerintah. Dengan demikian, semua biaya harus ditanggung sendiri meskipun
dalam bentuk pinjaman. Dengan kata lain, Pemerintah Hindia Belanda
menerapkan sistem niets voor niets (tak ada yang cuma-cuma). Bahkan bagi
koloni yang baru yang ingin membuka lahan baru harus dilakukan dengan biaya
sendiri.

Baik kebijakan transmigrasi maupun irigasi pada dasarnya hanya untuk


memperkaya Pemerintah Hindia Belanda. Hasil perkebunan maupun pertanian

23
M. Amral Syamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), 19-62.
24
Umpamanya untuk membangun irigasi di Sulawesi, para koloni harus memberi bantuan
tenaga cuma-cuma, karena dengan demikian sebagian biaya dapat dikurangi. Irigasi yang dibangun
pemerintah hanya 2700 meter dan pengerjaan irigasi lain dikerjakan oleh koloni sendiri. Dalam
tiga tahun pertama setiap orang laki-laki memberikan tenaga untuk bekerja sebanyak 75 hari.
Dengan kata lain, ia harus bekerja 75 hari dalam tiga tahun untuk pemerintah. Hari kerja itu dibagi
atas 15 hari tahun pertama, 30 hari tahun kedua dan ketiga. Selain itu, semua peralatan harus
dibeli sendiri dan biaya pemindahan harus diganti kepada pemerintah. Lihat: M. Amral Syamsu,
Dari Kolonisasi ke Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), 108.
32
yang melimpah dimonopoli oleh pemerintah. Koloni yang berhasil juga tidak
sepenuhnya dapat menikmati hasil jerih keringatnya. Karena penduduk cina
sebagian besar pemilik pabrik penggilingan selalu menerapkan praktek ijon.
Belum lagi pungutan-pungutan lain dari pemerintah dan hutang atas pembiayaan
keberangkatan mereka ke wilayah koloni. Hal ini jauh berlawanan dengan tujuan
politik etis yang sebelumnya, yakni balas budi atas eksploitasi alam dan
masyarakat Jawa yang sejak pendudukannya telah menyumbangkan kekayaan
yang luar biasa dan membuat Belanda menjadi negara Eropa terkemuka saat itu.
Politik ini tidak ubahnya sebagai “kata-kata indah ratapan harimau”, dan
sebagaimana yang dikatakan Van Kol bahwa sesungguhnya tidak ada politik etis
di tanah jajahan. Karena tujuan politik kolonial adalah eksploitasi bangsa yang
terbelakang, walaupun tujuan yang sebenarnya sering disembunyikan di belakang
kata-kata indah.25

3. Edukasi

Lahirnya kebijakan politik etis sering dianggap angin segar bagi


kesejahteraan dan kemajuan rakyat Hindia Belanda. Dengan perluasan lahan
pertanian dan pembangunan irigasi di luar Jawa serta pengadaan pendidikan bagi
rakyat Pribumi diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja serta mencerdaskan
kehidupan rakyat. Kebijakan ini benar-benar diharapkan menjadi politik balas
budi setelah eksploitasi alam dan rakyat selama ratusan tahun. Terlepas dari niat
tulus atau tidak dari para bapak penggerak etis, Van Deventer, atau pemerintah
memang tidak maksimal menerapkannya, yang jelas kebijakan dalam pendidikan
tidak jauh berbeda dengan kebijakan transmigrasi dan irigasi.

Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda memang gencar mendirikan


sekolah-sekolah untuk Pribumi, meskipun hanya pada tingkat rendah/dasar dan

25
http//rohadieducation,wordpress.com. Akses tanggal 23-11-2009.

33
sedikit sekolah lanjutan. Dan dengan alasan tidak mau mencampuri urusan agama,
maka pendidikan Islam tidak pernah mendapat respon positif dari Pemerintah
Hindia Belanda. Akan tetapi dalam prakteknya, meskipun secara tidak langsung
kesan diskriminatif sangat menyolok. Dengan biaya yang mahal, sekolah-sekolah
Belanda ini hanya diperuntukkan bagi keluarga mampu yang berasal dari keluarga
ningrat26 maupun priyai27. Selain itu, kebijakan dalam hal pendidikan terkesan
untuk mengembangkan hegemoni Belanda melalui pengembangan sekolah misi,
sekaligus menghilangkan kesan religius Islam di kalangan rakyat yang notabene
beragama Islam.

C. Sistem Pendidikan Belanda

1. Karakteristik Pendidikan Belanda

Perhatian Pemerintah Belanda terhadap pendidikan di tanah jajahan,


khususnya Hindia Belanda sudah dimulai sejak masa VOC. Akan tetapi, tujuan
pendidikan pada saat itu bukan untuk mencerdaskan rakyat Pribumi, melainkan
untuk menyebarkan agama Kristen Protestan dan melenyapkan pengaruh agama
Katholik pada rakyat Pribumi. 28 Setelah agama Katholik dapat dilenyapkan dan

26
Gelar ini pada dasarnya sudah resmi dihapuskan sejak kemerdekaan RI bahkan sistem
administrasi kolonial seperti dulu pun tidak ada lagi. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya
(Jakarta: Gramedia, 2008), 103.
27
Secara harfiah berarti “adik” raja. Pada prinsipnya, tinggi rendahnya prestise mereka
tergantung dengan kedekatan mereka dengan keturunan raja. Kelompok ini dikenal juga dengan
kaum bangsawan, aristokrasi yang dekat hubungannya dengan raja-raja di Jawa. Mereka adalah
penghubung antara raja dengan masyarakat bawah. Peperangan dan pemberontakan terhadap
Belanda terkadang didalangi oleh mereka. Dengan demikian Belanda cukup kualahan dan pada
akhirnya berinisiatif merangkul mereka menjadi pembantu setia dan menyingkirkan yang
membangkang dan itupun berhasil yang kemudian menjadi pendukung kepentingan Belanda.
Mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah dan merekapun merasa sangat terhormat jika dapat
mengabdi pada Ratu Belanda. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia,
2008), 103.
28
Sebelum VOC berhasil menggeser Portugis yang membawa misi agama Katolik, pada
saat Purtugis berkuasa di Maluku telah berhasil menyebarluaskan agama katolik kepada penduduk
setempat. Misionaris yang cukup terkenal saat itu adalah Fransuscus Xaverius yang bertekad
34
agama Protestan berkembang, keberadaan sekolah-sekolah itupun tidak berlanjut.
Perhatian Kerajaan Belanda pada pendidikan masyarakat Pribumi kembali muncul
pada pertengahan abad ke-19. Sejak itu hingga masuknya Jepang terjadi
perkembangan kebijakan terhadap pendidikan masyarakat Pribumi dan terhadap
pendidikan di Hindia Belanda umumnya.

Sehubungan dengan itu, terdapat beberapa ciri umum kebijakan


pendidikan di Hindia Belanda, yakni gradualisme dalam penyediaan pendidikan
bagi masyarakat Pribumi, dualisme, kontrol yang ketat, keterbatasan tujuan
pendidikan Pribumi , prinsip konkordansi yang mengakibatkan sekolah di Hindia
Belanda sama dengan sekolah di Negeri Belanda, tidak adanya perencanaan yang
sistimatis untuk pendidikan masyarakat Pribumi serta sifat pendidikan yang
netral.29

a. Gradualisme

Pendidikan bagi masyarakat Pribumi sangat lamban perkembangannya.


Pemerintah Hindia Belanda membatasi kesempatan belajar bagi masyarakat
Pribumi. Keadaan ini dapat dilihat dari penyelenggaraan sekolah yang berbeda
antara penyelenggaraan sekolah untuk bangsa Eropa dan untuk bangsa Pribumi.
Pendidikan dasar untuk bangsa Eropa sudah diadakan sejak tahun 1817, yakni
hampir setahun sejak Kerajaan Belanda menguasai kembali Hindia Belanda.
Sedangkan sekolah dasar untuk masyarakat Pribumi baru diadakan sejak tahun
1849, yakni sejak Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan anggaran sebesar £.
25.000 untuk menyelenggarakan pendidikan bagi rakyat Pribumi pada tahun
1848. Begitu juga halnya dengan pendidikan menengah. Bangsa Eropa sudah
dapat menikmati pendidikan menengah sejak tahun 1860, tapi untuk bangsa

mengkristenkan seluruh rakyat di kepulauan Nusantara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


RI, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur (Jakarta: P dan K, 1980/1981), 108.
29
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 20.

35
Pribumi pendidikan menengah ini baru bisa dirasakan 54 tahun kemudian, yakni
tahun 1914.30

Ada beberapa alasan yang menyebabkan keterlambatan perkembangan


pendidikan bangsa Pribumi. 31 Pertama, Pemerintah Belanda enggan
mengeluarkan biaya untuk menyelenggarakan pendidikan bagi bangsa Pribumi.
Kedua, dengan alasan tidak mau mengganggu adat istiadat setempat, sehingga
Belanda menyerahkan urusan penduduk Pribumi kepada pemimpin Pribumi
masing-masing, termasuk pendidikan Pribumi. Pada prakteknya peminpim-
pemimpin Pribumi setempat tidak dapat berbuat banyak dalam bidang pendidikan,
khususnya pendidikan model Barat. Ketiga, adanya keinginan dari pembesar-
pembesar di Hindia Belanda untuk mempertahankan keadaan masyarakat Pribumi
seperti yang ada saat itu. Mereka tidak menginginkan adanya perubahan dalam
masyarakat Pribumi akibat dari pendidikan. Keempat, adanya anggapan dari orang
Belanda bahwa dengan mengadakan pendidikan bagi masyarakat Pribumi akan
membahayakan eksistensi tanah jajahan. Kelima, ada perasaan takut di kalangan
orang Belanda apabila masyarakat Pribumi menguasai bahasa Belanda akan
merasa sama dengan bangsa Belanda, yang pada akhirnya mereka akan
menantang superioritas bangsa Eropa.

b. Dualisme

Dualisme menjadi ciri yang dominan pada sistem pendidikan di Hindia


Belanda. Pendirian sekolah didasarkan pada penggolongan rasial dan sosial,

30
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 21.
31
Sebagian besar pejabat tinggi seperti Gubernur Jenderal Van Heutz dan Snouck
Hurgronje menentang keras rencana Fock memperluas pendidikan bagi penduduk Pribumi karena
selain biaya yang besar akan menimbulkan rasa tidak puas, di samping membahayakan di bidang
politik pemerintah kolonial karena timbulnya golongan terpelajar tingkat rendah yang banyak.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur, (Jakarta: P
dan K, 1980/1981), 124.

36
sehingga adanya bentuk sekolah Eropa, Cina, Pribumi32 dan ada sekolah untuk
golongan masyarakat kelas tinggi dan rendah. Sekolah untuk bangsa Eropa seperti
ELS (Europe Lagere School), ELS Kelas Satu, dan HBS (Hogere Burger School).
Sekolah untuk bangsa Cina seperti HCS (Hollands Chinese School). Sekolah
untuk bangsa Pribumi seperti Sekolah Kelas Satu , Sekolah Kelas Dua, Sekolah
Desa, HIS (Hollands Inlandse School),33 MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs), AMS (Algemene Middelbare School), Vervolgschool dan
Schakelschool. Sekolah untuk golongan masyarakat tinggi misalnya ELS Kelas
Satu yang diperuntukkan bagi kelas tinggi bangsa Eropa; Sekolah Kelas Satu,
HIS, MULO, AMS yang diperuntukkan bagi kelas tinggi bangsa Pribumi. Sekolah
untuk golongan masyarakat kelas rendah bangsa Eropa misalnya ELS biasa.
Sekolah Kelas Dua, Sekolah Desa, Vervolgschool dan Schakelschool yang
diperuntukkan bagi kelas rendah bangsa Pribumi.34

32
Berdasarkan Aturan yang baru Pemerintah Hindia Belanda No. 75 dan 15 pasal 163
bahwa masyarakat di Hindia Belanda sangat berlapis dan secara hukum terbagi atas tiga
kelompok, yakni: pertama, Eropa (kelas tertinggi). Pada tahun 1856 orang Eropa berjumlah lebih
dari 4000 orang, 3000 di antaranya Belanda (tak termasuk militer). Pada tahun 1940-an jumlah
menjadi 80.000 Belanda totok dan 200.000 Belanda campuran (Indische Nederlander) dan
mendapat kebangsaan Belanda tahun 1892. Kedua, Timur Asing (kelas menengah termasuk Cina,
Arab dan lainnya). Di Jawa saja tahun 1860 berjumlah 150.000 orang. Tahun 1930 berjumlah
600.000 di Jawa dan 650.000 di luar Jawa. Tahun 1940 jumlah orang Arab kurang lebih 50.000
dan bangsa asing lainnya yang kebanyakan melayu dan India Inggeris tahun 1940 berjumlah
20.000 orang Arab semuanya muslim sunni yang sangat dihormati orang Pribumi. Usahanya di
bidang dagang, pembangunan dan perbankan. Ketiga, Pribumi (kelas terendah).Tahun 1940
berjumlah 68.000.000 jiwa. Nico JG. Kaptein, ed., Pan-Islamisme (Jakarta: INIS, 2003), 72-73. B.
Ter Haar, Adat Law in Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1962), 151. Koentjaraningrat, Beberapa
Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), 182-283.
33
Sekolah ini sudah ada sejak tahun 1893 yang memberikan kesempatan anak-anak
Bumiputra untuk masuk sekolah rendah kelas satu, sekolah ini juga dimasuki oleh anak-anak
Belanda. Pada saat itu adanya pembagian Sekolah Rendah Kelas Satu dan Sekolah Rendah Kelas
Dua. Staatsblad Tahun 1893 No. 125.
34
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 24.
37
c. Kontrol sentral yang ketat

Pemerintah Hindia Belanda memainkan peran yang sangat penting dalam


segala masalah pendidikan. Segala masalah pendidikan seperti kurikulum, buku
pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah dan pengangkatan guru
yang kesemuanya ditentukan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Gubernur
Jenderal atau Direktur Pendidikan yang bertindak atas nama Gubernur Jenderal.
Dengan demikian tidak ada perubahan sekecil apapun tanpa persetujuan Gubernur
Jenderal. Oleh karena itu, guru-guru dan orang tua siswa tidak mempunyai
pengaruh langsung dalam kebijakan pendidikan di Hindia Belanda. Sebagai
contoh dengan dikeluarkannya kebijakan pada tanggal 17 Septerber 1932 berupa
Ordonansi Sekolah Liar yang isinya bahwa; pertama, sekolah partikelir yang tidak
mendapat bantuan dari pemerintah harus minta izin terlebih dahulu sebelum
memulai aktivitasnya; kedua, guru-guru di sekolah tersebut harus lulusan sekolah
yang disubsidi dan dinilai baik oleh pemerintah; dan ketiga, ordonansi ini tidak
berlaku bagi lembaga pendidikan agama.35

35
Staatsblad tahun 1932 No. 495. Ordonansi sekolah liar ini adalah salah satu masalah
yang diperdebatkan di Dewan Rakyat. Sebagian besar mereka menganjurkan agar sekolah liar
diberantas karena memberi pendidikan dengan biaya yang besar dengan tujuan mengejar
keuntungan semata. Selain itu berpendapat bahwa perlu toleransi terhadap sekolah-sekolah
tersebut dan jika perlu didukung dengan alasan bahwa hal itu merupakan prakarsa dari rakyat
Bumiputra, lagi pula pemerintah sendiri tidak mampu melaksanakan pendidikan dengan
memuaskan. Pada tahun 1929 semasa J. Hardeman menjabat Direktur Pendidikan dan Agama
dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal De Graeft saat itu dimana ia setuju jika kualitas guru di
sekolah nonsubsidi ditingkatkan dengan mengadakan sarat-sarat tertentu dan tidak menyetujui
adanya ordonansi sekolah liar dengan alasan; pertama, tidak bijak melarang berdirinnya sekolah-
sekolah yang diprakarsai putra Pribumi seperti yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dan
kawan-kawan karena tidak merongrong pemerintah, minta bantuan pemerintah yang seharusnya
diberi kebebasan mengejar cita-cita pendidikannya menurut konsepsi sendiri; kedua, meskipun
pemerintah menganggap sekolah itu rendah mutunya, besar biayanya tapi tetap dihargai orang tua
murid; ketiga, perlunya pengakuan ijasah atas tamatan sekolah tersebut agar mereka dapat
mengajar walaupun dengan gaji yang kecil, tapi maksud mereka baik yakni memberikan kepada
murid-muridnya pengetahuan yang dimilikinya meskipun sedikit. SL. Van der Wal, Het
Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1940 (Groningen: JB. Wolters, 1963), 463-465.
Sebelumnya juga pada tahun 1925 semasa JFW. Van der Meulen menjabat Direktur Pendidikan
dan Agama juga telah dibahas tentang penyebab pesatnya perkembangan sekolah partikelir, yakni
dikarenakan oleh; pertama, untuk pemenuhan kebutuhan akan sekolah oleh pemerintah belum
memuaskan; kedua, pendirian sekolah tersebut ada yang betujuan untuk mata pencaharian; ketiga,
pendirian sekolah dengan motif propaganda. SL. Van der Wal, Het Onderwijsbeleid in
Nederlands-Indie 1900-1940 (Groningen: JB. Wolters, 1963), 380.
38
d. Pendidikan untuk penyediaan pegawai

Pendidikan bagi masyarakat Pribumi di Hindia Belanda diarahkan untuk


mempersiapkan menjadi pegawai, baik pegawai pemerintah maupun pegawai di
perusahaan swasta barat. Sekolah pertama untuk masyarakat Pribumi yang
didirikan Pemerintah Hindia Belanda setelah tahun 1848 bertujuan untuk
mempersiapkan mereka menjadi pegawai perkebunan pemerintah dalam rangka
pelaksanaan Tanam Paksa. Dengan berlakukan agrarische wet tahun 1870, maka
kebutuhan akan pegawai yang murah, baik oleh pemerintah maupun perusahaan-
perusahaan swasta barat semakin besar. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan
perluasan pendidikan bagi masyarakat Pribumi.36

e. Prinsip konkordansi37

Prinsip ini bertujuan untuk menjaga agar sekolah-sekolah di Hindia


Belanda memiliki kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah-sekolah yang
ada di Negeri Belanda. Hal itu bertujuan agar dapat mempermudah perpindahan
murid-murid dari Hindia Belanda ke sekolah-sekolah di Negeri Belanda. Karena
prinsip konkordansi tersebut, maka kurikulum sekolah di Hindia Belanda tidak
mempunyai fleksibelitas untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang khas di
Hindia Belanda.38

36
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007), 118. Lihat: Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2000), 17-22.
37
Uraian tentang konkordansi dapat ditelusuri dalam B. Ter Haar, Adat Law in Indonesia.
Jakarta: Bhratara, 1962), 154. L.M. Penders, Indonesia Selected Documents on Colonialism and
Nationalism 1830-1942 (Queensland: Queensland University Press, 1977), 154.
38
Pada hakekatnya kebijakan ini memiliki motif lain, yakni dalam rangka westernisasi dan
kristensasi rakyat Pribumi. Sebagaimana asimilasi budaya yang dicanangkan oleh Snouck
Hurgronje guna melenyapkan budaya Islam yang sudah mengakar di masyarakat Pribumi. Dalam
Konferensi Zending keempat di Batavia tahun 1885, Colijn mengatakan bahwa membangun
sekolah barat untuk kaum Muslim adalah bagaikan mengubah panas matahari menjadi hujan lebat
di atas tanah yang keras. Hujan akan menjadi unsur yang menghancurkan kesatuan Islam.
39
f. Tidak ada perencanaan pendidikan yang sistimatis

Hingga tahun 1910 antara sekolah Pribumi yang satu dengan yang lainnya
tidak ada hubungan. Sekolah-sekolah tersebut masing-masing berdiri sendiri tanpa
hubungan organis antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada jalan untuk
melanjutkannya, sehingga siswa tak dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi. Keadaan ini berbeda dengan sekolah bagi bangsa Eropa. Sekolah-sekolah
untuk bangsa Eropa sejak tahun 1860 sudah mempunyai hubungan antara sekolah
yang satu dengan sekolah yang lain, sehingga siswa dapat melanjutkan ke sekolah
yang lebih tinggi, baik yang ada di Hindia Belanda maupun yang ada di Negeri
Belanda.

g. Sifat pendidikan yang netral

Sesuai dengan faham liberal yang berkembang di Belanda, pendidikan


yang diselenggarakan pemerintah harus bersifat netral, dengan pengertian bahwa
pendidikan yang diselenggarakan tidak didasarkan pada aliran agama tertentu.

Integritas dan kekuatannya akan lemah. Oleh sebab itu, akan mudah bagi mereka untuk menerina
misi Kristiani. Alting von Geusau yang dikutip dalam Akib Suminto, Politik Islam Hindia
Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 45. Gerakan kristenisasi dimulai munculnya ketika
diintroduksinya politik etis tersebut guna mengganti prinsip laisez faire liberalism dengan campur
tangan Pemerintah Belanda dalam soal ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kenyataan ini
dimungkinkan karena adanya perubahan politik di Nederland dengan kalahnya partai liberal dalam
pemilihan tahun 1901. Kelompok agama dan kanan membentuk pemerintahan koalisi. Netralitas
reigius diganti dengan rencana-rencana dimasukkannya prinsip Kristen ke dalam politik
pemerintahan. Selain itu, hal tersebut memang sudah menjadi kebijakan di Negeri Belanda sendiri
berdasarkan pidato Ratu Belanda dalam pidato tahunannya yang dengan tegas menyatakan, bahwa
sebagai negara kristen, Pemerintah Belanda berkewajiban mengatur lebih baik kedudukan hukum
rakyat kristen yang berada di kepulauan Hindia Belanda, memperkuat zending kristen, meneruskan
kebijakan Pemerintah Belanda harus mengisi panggilan moral terhadap negeri jajahan. Dengan
landasan pidato ini Pemerintah Belanda menyusun suatu politik kristenisasi di Hindia Belanda.,
sebab diyakini bahwa politik inilah satu-satunya jalan yang dapat melangsungkan penjajahan di
negeri ini. Dalam menjalankan politik pendidikan pemerintah Belanda berlandaskan politik
nasional Belanda yang menegaskan bahwa penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda sebagai
dasar peradaban yang tingi adalah tugas politik utama. Mahcnun Husein, Pendidikan Islam Dalam
Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Nurcahaya, 1985), 5.

40
Oleh karena itu, pelajaran agama tidak dilaksanakan pada sekolah di Hindia
Belanda.39

2. Tipologi Pendidikan Hindia Belanda40

a. Pendidikan untuk masyarakat Eropa

Selama kekuasaannya di Hindia Belanda, Portugis tidak pernah berkiprah


dalam pendidikan untuk bangsa Eropa. Hal ini dikarenakan pada saat itu anak-
anak Eropa belum banyak sehingga mereka beranggapan bahwa belum perlu
untuk mendirikan pendidikan untuk bangsa Eropa. Ketika kekuasan Portugis
digantikan oleh VOC, pada tahun 1630 di Batavia didirikan sekolah untuk
mendidik semua anak tanpa membedakan kebangsaan, termasuk juga anak-anak
Eropa. Tujuan didirikannya pendidikan itu adalah untuk memenuhi kebutuhan
akan tenaga kerja yang berpendidikan. Tidak ada kurikulum yang baku di sekolah
tersebut. Biasanya hanya mengajarkan tentang katekismus, agama, membaca,
menulis dan bernyanyi. Lama belajarnya pun tidak ditentukan dan belum ada
pengajaran klasikal sehingga kenaikan kelas tahunan belum ada. Proses belajar
mengajarnya didasarkan pada pengajaran individual. Para siswa datang orang
perorang ke meja guru untuk menerima pelajaran. Pada tahun 1636 jumlah
sekolah ini bertambah menjadi tiga buah.41

Setelah VOC dibubarkan dan Hindia Belanda dikuasai oleh Pemerintah


Bataafsche Republiek sampai tahun 1808.42 Pada tahun 1806 Bataafsche

39
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900; Dari Imporium
Sampai Imperium (Jakarta: Gramedia, 1987), 353.
40
D.G. Stibbe, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (Leiden: E.J. Brill, 1921), 90.
41
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Bandung: Jemars, 1983), 5.
42
Pada tahun 1795 di Belanda terjadi perebutan kekuasaan terhadap Raja Belanda,
Williem V, yang dilakukan oleh kelompok Patriots (suatu kelompok yang berpihak pada Perancis).
Raja Williem V melarikan diri ke Inggeris. Dan Kelompok Patriots kemudian membentuk negara
41
Republiek dihapuskan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte dan bentuknya diganti
menjadi Kerajaan Belanda di bawah pimpinan Raja Louis Napoleon, adik dari
Kaisar Napoleon Bonaparte. Dengan demikian, maka Hindia Belanda menjadi
bagian dari Kerajaan Belanda. Raja Louis Napoleon mengangkat Herman Williem
Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Perkembangan
selanjutnya, pada tahun 1811, Hindia Belanda dikuasai oleh Inggeris dan
diangkatlah seorang Gubernur Jenderal bernama Thomas Stanford Raffles.
Selama Hindia Belanda dikuasai Bataafsche Republiek hingga Inggeris tidak ada
sekolah untuk anak Eropa. Mereka tidak memperhatikan pendidikan bagi anak
Eropa dikarenakan masih sedikitnya anak Eropa pada saat itu sehingga dianggap
belum mendesak untuk didirikan sekolah bagi orang Eropa.

Perhatian pada pendidikan bangsa Eropa kembali muncul pada masa


Pemerintahan Komisaris Jenderal. Pada masa ini didirikan sekolah pertama bagi
anak-anak Eropa di Hindia Belanda. Sejak masa itu, baik kualitas maupun
kuantitas, pendidikan bagi bangsa Eropa berkembang pesat hingga pendudukan
Jepang pada tahun 1942. Secara garis besar, pendidikan bagi masyarakat Eropa di
Hindia Belanda dapat dikelompokkan atas pendidikan dasar dan pendidikan
lanjutan. Untuk pendidikan tinggi, meskipun sudah didirikan perguruan tinggi di
Hindia Belanda, tapi mayoritas bangsa Eropa lebih senang belajar di Perguruan
Tinggi di Eropa.

1) Pendidikan Dasar

Sekolah pertama kali didirikan untuk masyarakat Eropa di Hindia


Belanda didirikan pada tanggal 24 Februari 1817 di Batavia dengan nama
Europesche Lagere School (ELS). Sistem sekolah ini adalah adopsi dari sekolah

baru yang bernama Bataafsche Republiek. Lihat: Schoffer, Ivo, A Short History of Netherlands
(Amsterdam: Allert de Lange, 1973), 105.

42
dasar yang ada di Negeri Belanda dengan masa studi enam tahun.43 Sekolah untuk
bangsa Eropa pertama kali didirikan di Batavia mengingat anak-anak Eropa,
khususnya dari Negeri Belanda banyak yang tinggal di Batavia. Mereka
memerlukan pendidikan yang sama dengan pendidikan yang ada di Negeri
Belanda. Diharapkan dengan kembalinya mereka ke Negeri Belanda, mereka
dapat melanjutkan pendidikan di negeri asalnya.

Guna menertibkan pendidikan bagi anak-anak Eropa ini, Pemerintah


Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang memuat peraturan umum mengenai
persekolahan dan sekolah rendah pada tahun 1818. Peraturan ini berisikan tentang
ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan penyelengaraan pengajaran.
Untuk pengawasan ini diangkat seorang Inspektur Pendidikan. Peraturan tersebut
berisikan bahwa sekolah-sekolah harus dibuka di tiap tempat bila diperlukan oleh
penduduk Belanda dan diizinkan oleh keadaan. Secara khusus peraturan itu
mengamanatkan bahwa sekolah harus didirikan jika jumlah murid mencapai 20
orang untuk di pulau Jawa dan paling sedikit 15 orang untuk di luar Pulau Jawa.44
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, jumlah ELS terus meningkat. Pada
tahun 1820 ELS bertambah menjadi tujuh buah, masing-masing dua buah di
Batavia, Cirebon, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Gersik. Beberapa tahun
kemudian, tepatnya tahun 1826, dengan alasan penghematan keuangan negara,
pendidikan ini sempat terhambat dan urusan pendidikan disederhanakan.
Perkembangan kembali membaik sejak masa Gubernur Jenderal Van Den Bosch.
Untuk mengembalikan kondisi keuangan Belanda yang hancur akibat peperangan
Diponegoro dan pemberontakan Belgia yang ingin memisahkan diri dari Kerajaan
Belanda, Gubernur Jenderal ini menjalankan kebijakan Tanam Paksa di Hindia
Belanda. Dan untuk kelancaran program ini sangat dibutuhkan tenaga kerja yang
terdidik. Dengan demikian, perhatian dalam bidang pendidikan ditingkatkan, baik

43
SL. Van der Wal, Het Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1940 (Groningen: JB.
Wolters, 1963), 248.
44
I. Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan (Bandung: Ilmu, 1981), 121.

43
untuk golongan Eropa maupun untuk golongan Pribumi. Akibat dari kebijakan ini
jumlah sekolah Eropa semakin bertambah. Selama kebijakan Tanam Paksa
dijalankan, yakni tahun 1830 hingga 1865, jumlah ELS sebagai berikut: 19 buah
tahun 1833, 25 buah tahun 1845 dan 57 buah pada tahun 1858.45

Pertambahan penduduk Eropa di Hindia Belanda mencapai puncaknya


ketika diberlakukannya Agrarische Wet pada tahun 1870. Untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan bagi anak-anak keturunan Eropa, jumlah lembaga
pendidikan untuk orang Eropa semakin ditingkatkan. Berdasarkan data tahun
1920, sekolah ini sudah mencapai 196 buah.46 Dari 144 buah pada tahun 1890
menjadi 159 pada tahun 1895. Pada tahun 1902 meningkat menjadi 173 buah dan
184 buah pada tahun 1905. Lima tahun berikutnya, tahun 1910 terdapat 191 buah
dan 195 buah lima tahun berikutnya lagi tahun 1915 hingga 196 buah pada tahun
1920.47 Pembangunan Sekolah ELS ini hanya diperuntukkan kepada semua anak-
anak Eropa, terutama anak Belanda dan keturunannya, baik golongan masyarakat
tinggi maupun rendah. Hal ini menimbulkan ketidaksenangan bagi golongan
masyarakat tinggi karena kualitas tersebut dianggapnya menjadi rendah. Orang
tua dari golongan masyarakat tinggi tidak menginginkan anaknya bercampur
dengan anak-anak dari golongan masyarakat rendah. Oleh karena itu, mereka
lebih suka mengirimkan anak mereka untuk bersekolah di Negeri Belanda atau
sekolah swasta. Untuk memenuhi keinginan golongan masyarakat tinggi ini, pada
tahun 1833 didirikan ELS Kelas Satu dengan pungutan uang sekolah cukup tinggi
namun kualitasnya juga lebih tinggi dari ELS biasa.

45
Djohan Makmur, Sejarah Pendidikan Indonesia Jaman Penjajahan (Jakarta: Proyek
Investasi dan Dokumentasi Sejarah Indonesia, 1993), 61.
46
Sejak tahun 1890 berjumlah 144 buah, tahun 1895 menjadi 159 buah, tahun 1902
menjadi 173 buah, tahun 1905 sebanyak 184 buah, lima tahun kemudian, yakni tahun 1910
berjumlah 191 buah dan hingga tahun 1920 mencapai 196 buah. Lihat: S. Nasution, Sejarah
Pendidikan Indonesia (Bandung: Jemars, 1983), 91.
47
Djohan Makmur, Sejarah Pendidikan di Indonesia Jaman Penjajahan (Jakarta: Proyek
Investasi dan Dokumentasi Sejarah Indonesia, 1993), 61.

44
Selain ELS yang merupakan sekolah dasar negeri, juga terdapat dua
sekolah dasar Eropa swasta. Keduanya terdapat di Batavia yang dikhususkan bagi
siswa pria dan yang satunya untuk anak dari anggota militer. Kualitas kedua
sekolah ini lebih baik dari ELS biasa. Sekolah ini didirikan pada tahun 1828 di
komplek Zeni, sedangkan guru-gurunya berasal dari anggota militer.

Semua sekolah tingkat dasar yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda


pada awalnya hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa atau yang
dipersamakan, sedangkan anak Pribumi rendahan sama sekali tidak diperbolehkan
untuk memasuki sekolah tersebut. Menjelang tahun 1848 sejumlah kecil anak-
anak Pribumi dari kelas bangsawan tinggi yang diperbolehkan masuk ELS biasa.
Adapun ELS Kelas Satu sama sekali tidak diperbolehkan bagi anak Pribumi
meskipun dari kelas bangsawan tinggi. Ketika Pemerintah Hindia Belanda
membuka sekolah bagi masyarakat Pribumi dari tahun 1848, anak-anak Pribumi
tidak lagi diperkenankan memasuki ELS. Akan tetapi, setelah reorganisasi
pendidikan tahun 1864, anak-anak Pribumi baru diperkenankan kembali
memasuki ELS biasa. Setelah reorganisasi pendidikan tahun 1892 Pemerintah
Hindia Belanda memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Pribumi
untuk memasuki ELS dengan persyaratan bahwa nantinya mereka mau memasuki
STOVIA.

2) Pendidikan Lanjutan48
Dengan semakin banyaknya jumlah sekolah dasar untuk anak-anak
Eropa, maka semakin banyak pula anak-anak Eropa yang sudah mengecap
pendidikan dasar. Oleh karena itu, sejak tahun 1839 telah dipikirkan tentang
perlunya sekolah lanjutan bagi lulusan ELS, sehingga mereka tidak perlu pergi ke

48
Sekolah lanjutan yang dimaksud bukanlah seperti sekolah lanjutan dalam arti sekolah
menengah seperti sekarang, akan tetapi istilah tersebut merupakan terjemahan dari ‘vervolg’ yang
maksudnya kelanjutan dari sekolah desa 3 tahun. (Penulis).

45
Belanda untuk melanjutkan pendidikannya. Pada tahun1848 tokoh-tokoh di
Hindia Belanda mengadakan rapat di Batavia untuk mengajukan permohonan
kepada Raja Belanda agar mendirikan sekolah menengah di Hindia Belanda. Pada
tahun 1860 Raja Belanda menyetujui pendirian sekolah menengah di Hindia
Belanda. Sekolah tersebut diberi nama sesuai dengan nama Raja Belanda saat itu,
yakni Gymnasium Koning Williem III. Adapun tujuan dari sekolah ini adalah
untuk mempersiapkan siswanya memasuki universitas dan untuk mempersiapkan
siswanya memegang jabatan yang tidak memerlukan ijasah univrsitas.
Berdasarkan sasaran tersebut, maka sekolah ini dibagi atas dua bagian, yakni
bagian A dan B. Bagian A adalah bagian yang mempersiapkan siswanya untuk
melanjutkan pendidikannya ke universitas. Isi pendidikannya adalah pendidikan
klasik dengan masa pendidikan selama enam tahun. Bagian B adalah bagian yang
mempersiapkan siswanya untuk memasuki akademi militer di Delft dan Akademi
Perdagangan dan Industri dengan lama pendidikan empat tahun. Akan tetapi
dalam perkembangannya, pengajaran klasik yang diberikan pada sekolah bagian
A kurang memperlihatkan hasil yang baik karena tidak banyak diminati siswa.
Oleh karena itu secara resmi sekolah bagian ini ditutup pada tahun 1868.
Sebelumnya pada tahun 1867 dilakukan reorganisasi terhadap sekolah ini dan
menghasilkan kebijakan bahwa sekolah bagian B diubah menjadi sekolah bentuk
baru dengan nama Hugre Burger School (HBS). Dengan demikian, HBS pertama
resmi berdiri pada tahun tersebut di Batavia. Perkembangan selanjutnya dibuka
HBS di beberapa kota di Pulau Jawa, seperti di Surabaya pada tahun 1875 dan di
Semarang pada tahun 1877. Pada mulanya masa pendidikan selama tiga tahun,
namun perkembangan selanjutnya masa pendidikan diubah selama lima tahun
sejak tahun 1879. HBS untuk anak wanita didirikan sejak tahun 1882 di Batavia
dengan masa pendidikan selama tiga tahun.
Sebagaimana pada ELS, sekolah HBS juga mempersiapkan siswa untuk
menjadi pegawai tinggi. Karena pada saat itu jika seseorang ingin menjadi
pegawai tinggi maka ia harus memiliki ijasah pegawai tinggi. Sebelumnya
wewenang untuk mempersiapkan pegawai tinggi ini adalah Akademi Delft.
Sekolah ini berlangsung hingga tahun 1913. HBS yang didirikan di Hindia
46
Belanda ini juga meniru HBS yang ada di Negeri Belanda. Dengan demikian,
kurikulumnya sama dengan kurikulum yang ada di Negeri Belanda. Standar guru
untuk mengajar juga disamakan dengan standar guru yang ada di Negeri Belanda.
Hanya mereka yang memilki ijasah Ph.D atau Doktor atau diploma MO49 yang
berwenang mengajar di HBS tersebut.

a. Pendidikan untuk masyarakat Pribumi


Pendidikan untuk masyarakat Pribumi hanya dilakukan oleh bangsa Eropa
pertama kali adalah Bangsa Portugis. Namun sebagaimana yang diuraikan
sebelumnya bahwa pendidikan yang dimaksud hanyalah untuk menyebarkan
agama Katholik. Tujuan tersebut merupakan salah satu tujuan kedatangan bangsa
tersebut di Hindia Belanda. Dengan demikian, kedatangan mereka selalu disertai
oleh misionaris yang akan bertugas menyebarkan agama Katholik yang akan
mengkatholikkan penduduk di suatu wilayah yang di datanginnya. Misionaris
Portugis yang datang ke Hindia Belanda salah satunya berasal dari Ordo Jesuit50
dibawah pimpinan Franciscus Xaverius. Dia beranggapan bahwa pendidikan
adalah alat yang ampuh untuk menyebarkan ajaran Katholik. Oleh karena itu,
pada tahun 1536 penguasa Portugis di daerah Maluku, Antonio Galvano,
mendirikan sekolah seminari untuk anak-anak para pemuka Pribumi di Ternate.
Selain itu didirikan juga di Solor. Adapun mata pelajaran yang diberikan seperti
membaca, menulis, berhitung dan bahasa Latin.51

49
Sejenis ijasah sebagai sarat agar dapat menjadi tenaga pengajar. Selain itu ada juga MO-
A sebagai ijasah untuk mendapat kewenangan mengajar pada tiga tahun pertama di HBS.
50
Ordo Jesuit (Society Jesus) didirikan oleh Ignatius de Loyola (1491-1556) pada tahun
1534 di Paris. Pada mulanya tujuan Ordo Pesuit ini adalah membangun ordo baru bagi pelayanan
tugas misi agama Katholik di Palestina. Pada perkembangan selanjutnya menjadi sebuah
organisasi yang sangat militan untuk memperjuangkan dan menyebarluaskan agama tersebut ke
seluruh dunia. Salah satu sarana bagi kegiatannya adalah bidang pendidikan. William Boyd, The
History of Western Education (London: Adam and Charles Black, 1952), 203. Lihat juga: A.
Ahmadi, Pendidikan dari Masa ke Masa (Bandung: Armico, 1987), 17.
51
William Boyd, The History of Western Education (London: Adam and Charles Black,
1952), 203. Lihat juga: A. Ahmadi, Pendidikan dari Masa ke Masa (Bandung: Armico, 1987), 17.
47
Sejak runtuhnya kekuasan Portugis di Hindia Belanda dan digantikan oleh
kekuasan Belanda, kekuasaannya diwakili oleh VOC. Namun VOC tidak
melibatkan diri dalam bidang pengadaan sekolah di Hindia Belanda. Masalah
pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada gereja. Pada tahun 1607 pihak gereja
mendirikan sekolah-sekolah untuk mendidik guru-guru injil di Ambon yang
muridnya berasal dari kalangan penduduk Pribumi. Tujuan dari sekolah ini adalah
untuk menyingkirkan sekolah Katholik dan menyebarkan agama Kristen
Protestan. Pertumbuhan sekolah tersebut cukup cepat.52 Akan tetapi, pada abad
ke-18 sekolah ini mengalami penurunan dikarenakan pada saat itu pengikut agama
Katholik hampir hilang.
Dari Portugis ke VOC bahkan Pemerintahan Baataafsche Republiek pada
tahun 1806, masalah pendidikan dapat dikatakan sangat kurang mendapat
perhatian. Baru pada tahun 1807 Negeri Belanda dipimpin oleh Raja Louis
Napoleon dan Herman Williem Daendels sebagai Gubernur Jendera di Hindia
Belanda, perhatian dalam bidang pendidikan mulai berkembang. Pendidikan yang
pada masa VOC didasarkan pada penyebaran agama Kristen Protestan
ditinggalkan dan berusaha kembali untuk menghidupkan pendidikan yang sudah
lama mengakar pada masyarakat Pribumi Hindia Belanda, khususnya di Jawa.
Atas dasar keinginan tersebut, pada tahun 1808 Daendels menginstruksikan
kapada para bupati di Jawa bagian Utara dan Timur agar mendirikan sekolah atas
biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan sendiri.
Namun instruksi ini kurang mendapat respon dari para bupati sehingga kebijakan
pendidikan inipun mengalami kegagalan.
Demikian juga halnya saat Raffles berkuasa di Hindia Belanda. Masalah
pendidikan juga kurang mendapat perhatian dari pemerintah hingga berakhir
kekuasaannya pada tahun 1816. Dikarenakan Raffles tidak mau menyerahkan

52
Pada tahun 1632 telah ada 16 buah sekolah di Ambon. Tahun 1645 bertambah menjadi
33 buah dengan jumlah siswa 1300 orang. Pada akhir abad ke-17 jumlahnya mencapai 54 buah
dengan jumlah siswa sebanyak 4700 orang. Lihat: S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia
(Bandung: Jemars, 1983), 4.

48
Hindia Belanda kepada Pemerintah Belanda, maka ia diganti dengan Fendall yang
kemudian menyerahkan Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda pada tanggal
19 Agustus 1816. Sebagai penguasa di Hindia Belanda maka diangkat Komisaris
Jenderal. Pada masa Pemerintahan Komisaris Jenderal masalah pendidikan
masyarakat Pribumi pada umumnya tidak mendapat perhatian. Perhatian
pendidikan hanya diberikan pada masyarakat Pribumi yang beragama Nasrani.
Perhatian pendidikan untuk masyarakat Pribumi baru muncul kembali sejak masa
Gubernur Jenderal Van Der Capellen (1819-1823). Pada tahun 1820 ia
menginstruksikan kepada bupati-bupati untuk membangun sekolah untuk
penduduk Pribumi yang akan mengajarkan membaca, menulis dan mengenal budi
pekerti yang baik. Instruksi ini juga kurang mendapat respon yang baik dari para
bupati sehingga kebijakan ini juga tidak berjalan dengan baik. Hingga tahun 1849
hanya terdapat dua sekolah yang didirikan oleh bupati saat itu.53
Sementara itu, hingga tahun 1849 Pemerintah Hindia Belanda tidak
menyediakan satu sekolahpun bagi masyarakat Pribumi. Hal ini dikarenakan
selain Belanda tak mau masyarakat Pribumi pintar, juga adanya kesulitan
keuangan yang dialami kerajaan Belanda akibat peperangan Diponegoro sejak
tahun 1825-1830 dan peperangan melawan Belgia tahun 1830- 1839. Kemunculan
kebijakan pendidikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sangat erat hubungannya
dengan kebijakan Tanam Paksa tahun 1840-an. Kebijakan yang dicetuskan oleh
Gubernur Jenderal Van Den Bosch ini adalah suatu aturan yang memerintahkan
kepada penduduk Pribumi di beberapa daerah untuk menanam sebagian dari
tanahnya dengan tanaman yang laku dijual di Eropa seperti kopi, tebu, kapas, teh,
tembakau dan sebagainya. Dari hasil tanaman tersebut harus diserahkan kepada
Pemerintah Hindia Belanda sebesar 20%. Akan tetapi dalam prakteknya,
kebijakan Tanam Paksa ini sangat menyengsarakan penduduk Pribumi karena
tidak sesuai dengan apa yang telah dijanjikan.

53
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Bandung: Jemars, 1983), 11.

49
Untuk kelancaran pelaksanaan kebijakan Tanam Paksa tersebut diperlukan
pegawai-pegawai yang berpendidikan dan upah yang murah untuk mengisi
jabatan-jabatan rendah. Hal itu hanya bisa dipenuhi apabila menggunakan tenaga
Pribumi yang berpendidikan. Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 1848 keluar
Keputusan Raja Belanda No.95 Tanggal 30 September 1848 yang memberikan
wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menyediakan dana sebesar £ 25.000
pertahun guna mendirikan sekolah-sekolah bagi masyarakat Pribumi di Pulau
Jawa dengan tujuan untuk mendidik pegawai Pribumi. Pada tahun 1849 didirikan
sekolah untuk pendidik Pribumi di Jepara dan Pasuruan dengan bahasa Jawa
sebagai pengantarnya. Jumlah tersebut bertambah menjadi 15 buah pada tahun
1852 yang kesemuanya merupakan sekolah tingkat dasar. Berdirinya sekolah
khusus penduduk Pribumi ini, maka sekolah-sekolah Belanda tidak lagi menerima
siswa yang berasal dari penduduk Pribumi. 54
Seiring dengan bertambahnya sekolah untuk penduduk Pribumi, maka
semakin besar kebutuhan akan tenaga guru di sekolah tersebut. Untuk memenuhi
kebutuhan tenaga guru itu maka pada bulan April 1852 didirikan Sekolah Guru
(Kweekschool) yang pertama di Surakarta. Namun di sekolah ini para siswa
terbatas pada anak-anak priyai saja. Pada tahun 1856 didirikan sekolah guru di
Bukit Tinggi. Dengan adanya kebijakan ini pendidikan untuk masyarakat Pribumi
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, baik jumlah maupun jenisnya.
Pendidikan untuk penduduk Pribumi ini terdiri dari pendidikan dasar umum,
pendidikan lanjutan, pendidikan kejuruan dan pendidikan tinggi.

1) Pendidikan Dasar Umum


Sesuai dengan kebijakan pendidikan dualismenya, Pemerintah Hindia
Belanda mengadakan bermacam-macam sekolah dasar bagi masyarakat Pribumi.

54
J.S. Furnivall, Nederlands Indie: A Story of Plural Economy (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1983), 296-297.

50
Ada sekolah dasar untuk masyarakat kelas atas dan sekolah dasar untuk
masyarakat kelas bawah/rendah. Sekolah dasar untuk golongan mayarakat kelas
atas adalah Sekolah Kelas Satu (Eerste Klasse School) yang kemudian berubah
menjadi HIS. Sedangkan sekolah dasar untuk golongan masyarakat kelas bawah
sangat beragam, seperti Sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse School), Sekolah
Desa (Volkschool, Sekolah Lanjutan (Vervolgschool) dan Sekolah Peralihan
(Schakelschool).
Sekolah Kelas Satu didirikan sejak dikeluakannya Keputusan Raja
Belanda tanggal 28 September 1892 di wilayah ibukota keresidenan, kabupaten,
kota-kota yang menjadi pusat perdagangan dan kota-kota lain yang dianggap
perlu.55 Siswa-siswa yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak dari golongan
masyarakat kelas atas seperti anak-anak bangsawan dan tokoh-tokoh Pribumi
yang terkemuka. Siswa sekolah ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
administasi pemerintahan, perdagangan dan perusahaan. Lama belajar pada
mulanya lima tahun dengan bahasa pengantarnya bahasa melayu dan daerah.
Namun setelah bahasa Belanda diajarkan pada tahun 1912, lama belajar
diperpanjang selama enam tahun. Perkembangan selanjutnya setelah bahasa
Belanda dijadikan bahasa pengantar pada kelas satu, maka lama belajar
diperpanjang lagi menjadi tujuh tahun.56
Sedangkan HIS adalah perubahan dari Sekolah Kelas Satu yang berubah
pada tahun 1914, adalah sekolah dasar yang diperuntukkan bagi golongan dari
masyarakat rendah. Perbedaan antara Sekolah Kelas Satu dengan HIS adalah

55
Staatsblad Tahun 1893 No.125.
56
Staatsblad Tahun 1908 No.312. Dalam hal ini Direktur Pendidikan dan Kerajinan, MS.
Koster, meskipun bukan pendukung perluasan penerimaan murid Bumiputra di Sekolah Rendah
Eropa, berpendapat bahwa perlu diambil tindakan untuk memenuhi keinginan dan kepentingan
orang Bumiputra yang sungguh-sungguh memerlukan pendidikan rendah Eropa bagi anak-
anaknya. Bagaimana cara pelaksanaan sehingga tanpa merasa kekurangan akibat masuknya
murid-murid Bumiputra pada sekolah terlalu dirasakan. Caranya adalah mengubah sekolah
Bumiputra kelas 1 yang direorganisir sesuai dengan usul-usul direktur PAK MS. Koster, yakni
;pertama, waktu belajar dari 6 dijadikan 7 tahun; kedua, jumlah pengajar Eropa 2 jadi 3 orang;
ketiga, menempatkan guru-guru Bumiputra diharapkan menguasai bahasa Belanda dengan baik;
keempat, perubahan ini hanya berlaku di ibukota keresidenan di Jawa dan Madura.

51
bahwa pada Sekolah Kelas Satu bagi lulusannya tak dapat melanjutkan ke MULO,
namun bagi tamatan HIS dapat melanjutkan ke MULO. Selain itu ada Sekolah
Kelas Dua yang didirikan bersamaan dengan berdirinya Sekolah Kelas Satu di
distrik-distrik atau kewedanan-kewedanan, sehingga sekolah ini sering juga
disebut Sekolah Distrik. Maksud pendirian sekolah ini adalah untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan masyarakat Pribumi pada umumnya dan untuk mendidik
calon-calon pegawai rendah. Lama belajar di Sekolah Kelas Dua ini adalah tiga
tahun dengan bahasa pengantarnya bahasa daerah.
Pendidikan dasar umum lainnya adalah Sekolah Desa yang didirikan
pada tahun 1907 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutz. Sekolah-sekolah ini
didirikan di desa-desa dan diselenggarakan oleh desa, baik guru, bangunan dan
biaya operasionalnya. Semua penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung
jawab pemerintah desa, bukan Pemerintah Hindia Belanda. Baru pada tahun 1920
Pemerintah Hindia Belanda memberikan subsidi pada sekolah desa tesebut. Lama
belajar disekolah desa ini adalah tiga tahun. Pelajaran yang diberikan hanya
terbatas pada membaca, menulis dan berhitung dengan bahasa pengantarnya
adaah bahasa daerah. Selain itu pada tahun 1914 didirikan sekolah lanjutan dari
Sekolah Desa dengan lama belajar selama dua tahun. Lulusan sekolah ini dapat
disamakan dengan lulusan sekolah kelas dua. Jenis pendidikan dasar lainnya
adalah Sekolah Peralihan yang pertama kali didirikan pada tahun 1921 di
Bandung dan Padang. Sekolah ini bertujuan menghubungkan pelajaran Pribumi
dan Barat. Setelah tiga tahun di sekolah kelas dua atau setelah menyelesaikan
Sekolah Desa, anak-anak Pribumi dapat melanjutkan pelajarannya ke Sekolah
Peralihan ini. Lama belajarnya adalah lima tahun dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda. Sekolah ini akan membawa siswa-siswanya pada tingkatan yang sama
dengan HIS.

2) Pendidikan Lanjutan
Pendidikan lanjutan bagi siswa-siswa Pribumi yang telah menyelesaikan
pendidikan dasarnya baru diadakan pada tahun 1914, yakni dengan didirikannya
52
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)57 dan AMS (Algemene Middelbare
School) pada tahun 1919. Pada awalnya MULO adalah pendidikan dasar yang
diperluas dan bukan sekolah menengah. Pada mulanya ia adalah suatu kursus
lanjutan bagi lulusan ELS, sekolah untuk anak-anak Eropa yang dibuka pada
tahun 1903 di Bandung dan Yogyakarta. Pada tahun 1914 kursus MULO diubah
menjadi MULO yang berdiri sendiri, lepas dari sekolah rendah Belanda (ELS) dan
menerima siswa dari berbagai golongan termasuk masyarakat Pribumi. Siswa
yang dapat diterima di sekolah ini adalah siswa dari lulusan ELS, HCS, HIS dan
sekolah peralihan yang harus ditempuh dalam waktu empat tahun karena mereka
harus masuk kelas pendahuluan (voorklas) terlebih dahulu. Pada kelas
pendahuluan ini, para lulusan ELS, HIS dan Schakelschool diajarkan secara
intensif bahasa Belanda karena bahasa Belanda akan menjadi pengantar di sekolah
MULO tersebut. Lulusan MULO dapat disamakan dengan siswa HBS yang telah
menyelesaikan tahun ketiga.
Adapun AMS adalah sekolah menengah yang didirikan Pemerintah
Hindia Belanda untuk mengatasi permintaan lulusan MULO akan sekolah
lanjutan. Untuk pertama kali AMS didirikan pada tanggal 5 Juli 1919 di
Yogyakarta dengan nama AMS Afdeling B yang mengutamakan ilmu pasti dan
alam. Kemudian pada tahun 1920 dibuka juga di Bandung dengan nama AMS
Westersch Klaasiek Afdeling (AMS A-2) yang mengutamakan pendidikan klasik
barat. Pada tahun 1926 dibuka di Surakarta dengan nama AMS Oostersch
Letterkunde (AMS A-1). Sekolah ini mengutamakan pendidikan sastra timur
khususnya kebudayaan Jawa. Tujuannya adalah untuk memberikan pendidikan
tingkat menengah dan mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke
tingkat pendidikan tinggi. Siswa yang diterima di sekolah ini adalah mereka yang
telah menyelesaikan MULO dengan lama belajarnya tiga tahun dan bahasa

57
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke
Jaman (Jakarta: Departemen PK. BP3K, 1974), 63. Sugianto, Sedjarah Perkembangan Sekolah
Lanjutan Umum Tingkat Atas di Indonesia (Jakarta: Widjaya, tt), 12. M. Vastenhouw, Sejarah
Pendidikan di Indonesia, Terjemahan: Abdul Murod dan M. Benyamin Achdiat, (Bandung:
Jemmars, tt.), 53.

53
pengantarnya adalah bahasa Belanda. Lulusan ini dapat disamakan dengan lulusan
HBS.

3) Pendidikan Kejuruan
Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan tenaga pegawai yang terlatih dan
murah, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan sekolah-sekolah kejuruan seperti
Sekolah Guru, Sekolah Teknik, Sekolah Dagang, Sekolah Pertanian, Sekolah
Keputrian, Sekolah Kedokteran, Sekolah Pangreh Praja dan Sekolah Hukum.
Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang sudah ada sejak abad ke-17 yang
didirikan oleh kalangan gereja untuk menyebarkan agama. Sekolah Guru
pemerintah yang pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Pada abad ke-
20 pendidikan guru ini mengalami perkembangan . Hal ini sejalan dengan adanya
perluasan pendidikan bagi penduduk Pribumi. Meskipun demikian, sekolah guru
yang didirikan masih terbatas pada guru tingkat sekolah dasar. Dengan
bervariasinya sekolah dasar bagi penduduk Pribumi ini, maka Sekolah Gurupun
bermacam-macam seperti CVO (Cursus Volks Onderwijzer),58 NS

58
CVO merupakan kursus yang menerima siswa dari Sekolah Kelas Dua dan
Vervolgschool dengan lama belajar selama dua tahun dengan bahasa pengantar bahasa daerah.
Lulusan ini mempunyai wewenang mengajar di Sekolah Desa.

54
(Normaalsschool),59 KS (Kweekschool),60 HKS (Hogere Kweekschool)61 dan HIK
(Hollands Inlandse Kweekschool).62
Sekolah Teknik yang diperuntukkan bagi penduduk Pribumi ada beberapa
macam seperti; kursus pertukangan (Ambachts Leergang), Sekolah Pertukangan
(Ambachtsschool) dan Sekolah Teknik. Kursus pertukangan merupakan
perpaduan antara Sekolah Pekerjaan Tangan (Handwerjschool) dan Sekolah
Kerajinan Tangan (Nijverheidsschool) yang didirikan pada tahun 1881. Sekolah
ini bertujuan untuk mendidik tukang-tukang seperti montir mobil, tukang listrik,
tukang meubel dan tukang tembok (bangunan). Siswa yang diterima berasal dari
lulusan sekolah kelas dua dan vervolgschool dengan masa belajar selama tiga
sampai empat tahun dengan rincian; dua tahun pertama diajarkan pengetahuan
dasar perkayuan dan besi dan satu atau dua tahun berikutnya diberi tambahan
keterampilan khusus mengenai montir mobil, listrik, meubel dan tembok. Bahasa
pengantarnya adalah bahasa daerah.
Adapun Sekolah Pertukangan didirikan pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1885 di Surabaya. Pada mulanya sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak
Eropa, namun dalam perkembangan berikutnya anak-anak Pribumi juga

59
Sekolah ini didirikan pada tahun 1914. Siswanya merupakan lulusan dari Vervolgschool
atau Sekolah Kelas Dua. Lama belajarnya selama empat tahun dengan bahasa pengantarnya
adalah bahasa daerah. Lulusannya punya wewenang untuk mengajar di sekolah kelas dua sampai
kelas yang tertinggi.
60
Sekolah ini menerima siswa lulusan dari HIS yang sederajat. Lama belajarnya selama
empat tahun dengan bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Lulusan Kweekschool memiliki
wewenang untuk mengajar di Sekolah Kelas Dua sampai kelas yang tertinggi.
61
Sekolah ini didirikan pada tahun 1914 dan ditutup pada tahun 1932. Pada mulanya HKS
menerima lulusan KS, namun selanjutnya diberikan pula kesempatan kepada lulusan MULO.
Lama belajarnya adalah tiga tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda dan memiliki
wewenang untuk mengajar di HIS.
62
Sekolah ini didirikan pada tahun 1927 dan merupakan pembaruan dari HKS. Pendidikan
ini dibagi atas dua bagian, yakni bagian rendah dan atas. Berdasarkan pembagian tersebut , siswa
yang diterimapun dibagi atas dua, yakni lulusan HIS untuk bagian rendah dan lulusan MULO
untuk bagian atas. Lama belajarnya pun berbeda, yakni enam tahun untuk lulusan HIS dan tiga
tahun untuk lulusan MULO. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Lulusan ini memiliki
wewenang untuk mengajar di HIS sampai kelas yang tertinggi.

55
dibolehkan untuk memasuki sekolah ini. Tujuan sekolah ini adalah untuk
mendidik para mandor atau pengawas lapangan dengan jurusan antara lain montir
mobil, mesin, listrik, kayu dan penata batu. Siswa yang diterima adalah lulusan
HIS, HCS dan Schakelschool dengan lama belajarnya tiga tahun dan bahasa
pengatarnya bahasa Belanda.
Sehubungan dengan sekolah teknik yang pertama kali didirikan pada tahun
1906 di Batavia dengan nama Koningin Wilhelmina School (KWS) yang terdiri
dari dua bagian, yakni bagian sastra/ekonomi dan bagian teknik. Pada tahun 1911
bagian sastra/ekonomi dipisahkan menjadi sekolah tersendiri, sehingga KWS
menjadi Sekolah Teknik pertama di Hindia Belanda. KWS mempunyai tiga
jurusan, yakni; ilmu bangunan, ilmu pesawat dan ilmu teknik dengan masa studi
selama lima tahun dan sederajat dengan HBS. Bahasa pengantarnya adalah bahasa
Belanda dan siswa yang diterima adalah lulusan Ambachtsschool. Sekolah teknik
ini bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Pribumi untuk menjadi pengawas,
sejenis tenaga teknik menengah di bawah insinyur.
Salah satu dari Sekolah Kejuruan lainnya adalah Sekolah Dagang. Sekolah
ini terdiri dari tiga jenis, yakni Sekolah Malam, Sekolah Dagang Rendah dan
Sekolah Dagang Menengah. Sekolah Malam berdiri pada tahun 1914 di Surabaya
bagi mereka yang telah lulus HBS tiga tahun atau yang sederajat. Sekolah Dagang
Rendah didirikan pada tahun 1922 di Semarang yang menerima lulusan HIS, HCS
dan Schakelschool dengan lama studi tiga tahun. Sekolah Dagang Menengah
(Middelbaar Handelsscool) didirikan pada tahun 1935 di Batavia dengan lama
belajar tiga tahun dan hanya menerima lulusan MULO.
Sekolah kejuruan yang lain adalah Sekolah Pertanian yang diadakan dalam
rangka memenuhi kebutuhan pengusaha-pengusaha perkebunan Eropa akan
tenaga Pribumi yang terdidik. Untuk memenuhi itu Pemerintah Hindia Belanda
mendirikan Sekolah Pertanian (Landbouwschool)63 pada tahun 1903 di Bogor

63
Pendirian ini atas usulan Menteri Jajahan, Cremer, yang mengharap perhatian
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan pendidikan pertanian praktis. Hal tersebut mendapat
sambutan baik dari Direktur Kebun Raya (M. Treub) dan Direktur Pendidikan Agama dan
Kerajinan (O. van der Wijck). Hal ini karena dipandang sangat mendesak mengingat wilayah
56
sekaligus menampung lulusan sekolah dasar dengan bahasa pengantarnya adalah
bahasa Belanda. Kemudian tahun 1911 didirikan dua sekolah pertanian, yakni
Cultuurschool dan Middelbare Landbouwschool. Cultuurschool didirikan di
Bogor dengan masa belajar tiga tahun dan menerima lulusan sekolah dasar yang
berbahasa pengantar bahasa Belanda. Sekolah ini mempunyai dua jurusan, yakni
jurusan kehutanan dan pertanian. Sedangkan Middelbouwschool didirikan di
Bogor juga dengan masa studi tiga tahun dan menerima siswa dari lulusan MULO
dan HBS tiga tahun. Pada tahun 1920 didirikan juga Sekolah Tani (Landbouw
Bedrijfsschool) yang menerima siswa dari lulusan Sekolah Kelas Dua dengan
lama beajar dua tahun dan bahasa pengantar bahasa daerah.
Jenis sekolah kejuruan lain adalah Sekolah Keputrian. Sekolah ini pertama
kali didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1918 dengan nama
Lagere Nijverheidschool Voor Meisjes. Selain Pemerintah Hindia Belanda, pihak
swasta juga mendirikan sekolah ini dengan nama Huishoud School (Sekolah
Rumah Tangga). Lama belajar di sekolah ini adalah tiga tahun dan menerima
lulusan dari sekolah HIS, HCS dan Schakelschool.
Untuk memenuhi tenaga medis, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan
Sekolah Kedokteran pertama yang didirikan pada tahun 1851 di Batavia dengan
nama Dokter Djawa School. Tujuan sekolah ini adalah untuk mendidik calon
mantri cacar (vaksinateur). Lama belajar dua tahun dan menerima siswa dari
golongan masyarakat atas yang dapat membaca dan menulis. Sekolah ini
merupakan sekolah rendah. Dalam perkembangannya sekolah kedokteran ini
mengalami beberapa kali perubahan. Di antaranya yang cukup berpengaruh terjadi
pada tahun 1902. Pada masa ini Dokter Djawa School diubah namanya menjadi
STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandse Artsen). Lama belajarnya
bertambah dari dua tahun menjadi sembilan tahun dengan rincian tiga tahun di
bagian persiapan dan enam tahun di bagian kedokteran. Untuk memasuki sekolah

Hindia Belanda yang subur untuk lahan pertanian. Usulan ini diuraikan dalam Surat Gubernur
Jenderal, Rooseboom, kepada Menteri Jajahan, Cremer tertanggal 6 Juli 1900 No. 1257/16.

57
ini harus lulusan dari ELS. Tujuan STOVIA tidak lagi untuk mendidik mantri
cacar namun untuk mendidik dokter Pribumi. Setelah lulus mereka akan
menyandang gelar Inlandse Art. Pada tahun 1913 terjadi lagi reorganisasi
pendidikan pada STOVIA. Kata Inlandse pada STOVIA diganti Indische. Lama
pendidikannya pun bertambah menjadi sepuluh tahun dengan penambahan satu
tahun pada bagian kedokteran. Siswa yang diterima harus lulusan MULO untuk
bagian persiapan dan bagi lulusan HBS lima tahun atau AMS dapat langsung
memasuki bagian kedokteran. Pada tahun 1913 di Surabaya didirikan pula sekolah
kedokteran yang sama dengan STOVIA dengan nama NIAS (Nertherlands
Indische Artsen School).
Untuk mendidik calon pegawai Pribumi yang akan menjadi pegawai
administrasi Pemerintahan di Hindia Belanda, maka didirikanlah Sekolah Pangreh
Praja yang bernama Hoofdenschool yang didirikan di Tondano pada tahun 1865.
Sekolah ini disediakan bagi anak-anak Pribumi yang orang tuanya menjadi kepala
daerah atau tokoh-tokoh Pribumi lainnya. Bahasa pengantar di sekolah ini adalah
bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Pada tahun 1878 sekolah jenis ini didirikan di
Bandung, Magelang dan Probolinggo. Namun pada tahun 1892 sekolah ini
dihapus kecuali di Magelang dan pada tahun 1900 sekolah di Magelang pun
diubah menjadi OSVIA (Opleiding School Voor Inlansche Ambtenaaren). Lama
belajar adalah lima tahun dengan bahasa pengantarnya bahasa Belanda. Berbeda
dengan Hoofdenschool yang merupakan sekolah bagi anak-anak bangsawan,
OSVIA terbuka bagi masyarakat umum. Pada tahun 1929 OSVIA ditingkatkan
menjadi sekolah menengah dengan nama MOSVIA (Middelbare Opleiding
School Voor Inlandsche Ambtenaaren).
Selain sekolah-sekolah kejuruan di atas, Pemerintah Hindia Belanda juga
mendirikan Sekolah Hukum guna memenuhi kebutuhan tenaga jaksa dan hakim di
pengadilan. Sekolah ini didirikan pada tahun 1909 dengan nama Rechtsschool.
Siswa yang diterima di sekolah ini adalah lulusan dari ELS. Sekolah ini juga
terbagi atas dua bagian, yakni bagian persiapan dan bagian pendidikan kejuruan
yang masing-masing ditempuh dalam waktu tiga tahun. Bahasa pengantar yang

58
digunakan adalah bahasa Belanda. Lulusan dari sekolah ini untuk dijadikan jaksa
maupun hakim di pengadilan.

4) Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi di Hindia Belanda baru didirikan pada tahun 1920.
Sebelumnya, jika ada yang berminat melanjutkan pendidikan ke pendidikan tinggi
harus ke Negeri Belanda. Karena desakan akan kebutuhan tenaga insinyur, maka
pada tahun 1920 pihak swasta membuka suatu sekolah teknik tinggi di Bandung
dengan nama THS (Technische Hoge School)64. Sekolah ini merupakan satu-
satunya pendidikan tinggi pertama di Hindia Belanda dengan lama masa
belajarnya adalah lima tahun dan bahasa pengantarnya bahasa Belanda.
Siswannya adalah lulusan HBS lima tahun dan AMS. Lulusan sekolah ini
mendapat gelar insinyur (Ir) sebagaimana gelar yang diproleh bagi lulusan
sekolah teknik yang ada di Negeri Belanda. Pada tahun 1924 THS ini diambil alih
pengelolaannya oleh Pemerintah Hindia Belanda.65
Pendidikan tinggi di bidang hukum didirikan pada 28 Oktober 1924 di
Batavia yang merupakan kelanjutan dari sekolah hukum pada tingkat sekolah
kejuruan yang bernama Recht Hoge School (RHS). Dengan didirikannnya RHS,
maka sekolah hukum ditutup. Lama belajarnya adalah lima tahun dengan bahasa
pengantar bahasa Belanda. Siswa yang diterima adalah lulusan AMS dan HBS
lima tahun. Lulusan dari RHS berhak mendapat gelar Meester in de Rechten (Mr),
yakni gelar yang sama dengan lulusan sekolah tinggi hukum di Negeri Belanda.

64
Dengan berdirinya sekolah ini, maka lengkaplah sistem pendidikan di Hindia Belanda
yang akan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk menempuh pendidikan dari tingkat
rendah hingga ke tingkat tertinggi. Satu-satunya putra Pribumi yang pertama kali lulus dari
sekolah ini tahun 19923/1924 adalah Ir. Sukarno, Presiden Pertama RI. S. Nasution, Sejarah
Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 144.
65
Staatsblad tahun 1924, No. 456
59
Di bidang tenaga kesehatan didirikan Sekolah Tinggi Kedokteran pada
tahun 1927 di Batavia dengan nama Geneeskundige Hoge School (GHS).66
Sebenarnya, GHS adalah STOVIA yang hanya diganti namanya. Semua
kurikulunya sama dengan kurikulum STOVIA. Lama belajarnya adalah tujuh
tahun, sedikit berbeda dengan STOVIA yang masa belajarnya sepuluh tahun. Di
STOVIA ada bagian persiapan yang cukup lama belajarnya, yakni tiga tahun dan
bagian kedokteran yang lama belajarnya tujuh tahun. Di GHS bagian persiapan
dihapuskan, sehingga siswa dapat langsung masuk ke bagian kedokteran dengan
masa pendidikan selama tujuh tahun, sama dengan masa pendidikan di STOVIA.
Siswa yang diterima di GHS ini adalah lulusan AMS dan HBS lima tahun.
Lulusannya mendapat gelar “Arts” (dokter). Gelar ini juga sama dengan gelar
yang diberikan pada lulusan sekolah tinggi kedokteran di Negeri Belanda.

D. Perluasan pendidikan Pribumi

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa pendidikan untuk


penduduk Pribumi baru dimulai sejak tahun 1848 dengan maksud untuk
memenuhi kebutuhan tenaga yang terdidik dan murah dalam rangka pelaksanaan
kebijakan Tanam Paksa. Pada tahun tersebut didirikan dua sekolah dasar di Jawa,
yakni di Jepara dan Pasuruan. Pada tahun 1852 sekolah dasar Pribumi sudah
bertambah menjadi 15 buah. Sekolah ini diinspeksi oleh badan yang bernama
Hoofdcommissie atau Komisi Pusat dengan dibantu oleh komisi sekolah setempat.
Siswa yang diterima pada sekolah dasar Pribumi adalah dari golongan masyarakat
kelas atas, terutama dari kalangan aristokrasi. Ironisnya, banyak guru yang
mengajar di sekolah tersebut tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru.
Pegawai gudang atau pegawai pemerintah Hindia Belanda bisa menjadi guru.
Ironisnya lagi, di antara guru-guru itu bahkan ada yang tidak lancar membaca dan

66
R. Murray Thomas, A Crhronicle of Indonesian Higher Education – the First Half
Century 1920-1970 (Singapore: Chropment Interprise, 73), 19. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakarta: Dep. P dan K BP3K, 1974),
73.

60
berhitung.67 Oleh karena itu untuk mengatasi kebutuhan akan tenaga guru di
sekolah dasar tersebut, maka pada tahaun 1852 didirikan sekolah guru di
Surakarta dan pada tahun 1856 didirikan juga di Bukit Tinggi. Di samping itu,
pada tahun 1851 dibentuk pula sekolah untuk mendidik juru cacar yang diberi
nama Dokter Djawa School.
Bersamaan dengan adanya perhatian akan pendidikan masyarakat Pribumi
di Hindia Belanda, pada tahun 1848 terjadi perubahan besar dalam bidang politik
di Negeri Belanda. Undang-undang diganti dengan yang baru yang lebih bersifat
liberal, karena memang kaum liberal menguasai pemerintahan saat itu. Salah satu
perubahan di Hindia Belanda saat itu adalah terformulasi dalam Regeerings
Reglement baru yang dibentuk pada tahun 1855 yang mulai diberlakukan pada
tanggal 1 Mei 1855. Salah satu yang diatur dalam kebijakan itu adalah
peningkatan pendidikan bagi penduduk Pribumi. 68
Pengaruh liberalisme dalam pendidikan di Hindia Belanda nampak pada
tahun 1864. Sejak itu terjadi perubahan dalam kebijakan pendidikan di Hindia
Belanda yang disesuaikan dengan faham liberal. Perubahan tersebut nampak
dalam beberapa hal, seperti; pertama, tujuan pendidikan sekolah tidak lagi untuk
mendidik calon pegawai, namun untuk mendidik rakyat pada umumnya. Dengan
dibekali pendidikan diharapkan rakyat akan bahagia. Jika hal itu terwujud maka
Belanda akan bertambah makmur. Kedua, Menteri Tanah Jajahan saat itu, Fransen
van de Pute menghapuskan batas biaya bagi pendidikan masyarakat Pribumi
sebagaimana yang ditetapkan oleh Pemeriantah Hindia Belanda tahun 1848.
Ketiga, untuk mengawasi sekolah-sekolah Pribumi, maka diangkat seorang
Inspektur Pengajaran Pribumi. Inspektur ini diberi wewenang langsung untuk
mengajukan usul-usul kepada Gubernur Jenderal tanpa melalui komisi pusat.
Keempat, anak-anak penduduk Pribumi dan Cina diberi kesempatan kembali

67
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Bandung: Jemars, 1983), 40-48.
68
Clive Day, The Policy and Administration of the Dutch in Java (New York:, The
MCMillan Company, 1904), 327.

61
untuk memasuki sekolah-sekolah Belanda. Kelima, semua jabatan-jabatan negeri
terbuka bagi setiap orang tanpa mempermasalahkan keturunan dan bangsa,
termasuk juga bagi bangsa Pribumi asal memenuhi syarat, yakni lulus dalam ujian
pegawai. Ujian bagi pegawai ini ada dua, yakni ujian untuk pegawai rendah dan
ujian untuk pegawai menengah. Keenam, pada tahun 1867 dibentuk Departemen
Onderwijs, Eredients en Nijverheid (Departemen Pengajaran, Agama dan
Industri) yang bertugas menyelenggarakan sekolah-sekolah di Hindia Belanda.
Namun pada tahun 1911 departemen ini diubah menjadi Departemen van
Onderwijs en Eredients.
Dengan adanya perubahan kebijakan dalam pendidikan di Hindia Belanda,
jumlah sekolah bertambah, baik kualitas maupun jenisnya. Bertambahnya jumlah
sekolah ini juga didukung oleh adanya perubahan dalam bidang ekonomi pada
tahun 1870, dimana mulai diberlakukannya undang-undang hak tanah yang
memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menyewakan tanah yang
bukan tanah milik desa atau sawah masyarakat Pribumi kepada siapa saja,
khususnya kepada bangsa Belanda. Akibatnya, banyak pengusaha-pengusaha
yang datang dari Negeri Belanda untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda
dengan membuka perusahaan-perusahaan di bidang perkebunan. Dengan
demikian tuntutan akan tenaga pegawai yang berpendidikan dan murah semakin
bertambah. Kondisi inilah yang mendorong Pemerintah Hindia Belanda membuka
sekolah-sekolah bagi masyarakat Pribumi.
Penambahan sekolah akibat dari kedua hal di atas tampak dengan semakin
meningkatnya jumlah sekolah yang didirikan. Pada tahun 1864, ketika faham
liberal mulai berkembang di Negeri Belanda, jumlah sekolah untuk masyarakat
Pribumi di Hindia Belanda berjumlah 186 buah. Pada tahun 1873 jumlah
meningkat menjadi 229 sekolah. Siswa yang belajar di sekolah Pribumi tersebut
berjumlah 16.788 orang. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1883 meningkat menjadi
447 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 34.908 orang.69 Seiring dengan

69
I. Djumhur dan Danusaputra, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV. Ilmu, 1976), 130.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Imporium Sampai
Imperium (Jakarta: Gramedia, 1987), 353.
62
perluasan pendidikan tersebut, biaya untuk pendidikan Pribumi pun semakin
meningkat £. 25.000 tahun 1848 menjadi £. 1.196.000 pada tahun 1883 untuk
seluruh Hindia Belanda.70
Jenis sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda berkembang
menjadi lima jenis, yakni Sekolah Dasar, Sekolah Guru, Sekolah Kedokteran,
Sekolah Istimewa dan Sekolah Pangreh Praja. Sekolah Dasar didirikan di wilayah
perkotaan. Sekolah Guru pertama kali didirikan di Surakarta pada tahun 1852, di
Bukittinggi tahun 1856, Tapanuli tahun 1864, di Bandung tahun 1866, Tondano
tahun 1873, di Ambon tahun 1874, Probolinggo tahun 1875, Banjarmasin 1875,
Makasar tahun 1876 dan Padang Sumatera Utara tahun 1879. 71 Sekolah
Kedokteran didirikan di Batavia pada tahun 1851 dengan nama Dokter Djawa
School. Sekolah Istimewa atau Speciale School adalah sekolah yang merupakan
bentuk peralihan antara sekolah Belanda dan sekolah Pribumi, serta merupakan
sekolah Pribumi yang beragama Kristen. Sekolah ini didirikan di Ambon pada
tahun 1869, di Depok tahun 1873 dan Magelang tahun 1879. Sekolah Pangreh
Praja pertama kali didirikan di Tondano (Minahasa) tahun 1865 dengan nama
Hoofdenschool. Setelah dianggap berhasil di Tondano, sekolah ini didirikan juga
di beberapa wilayah seperti Bandung, Magelang dan Probolinggo.
Perluasan pendidikan72 Pribumi yang dilakukakn Pemerintah Hindia
Belanda sejak tahun 1864 mengalami hambatan sejak tahun 1885. Pada tahun
tersebut terjadi krisis gula yang menyebabkan keadaan perekonomian Hindia
Belanda menurun. Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda membatasi biaya
pengeluaran termasuk untuk biaya pendidikan. Pengurangan biaya pendidikan itu
hanya untuk sekolah penduduk Pribumi, sedangkan untuk masyarakat Eropa tidak

70
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan dari Jaman ke Jaman 1900-1942
(Jakarta: Depdiknas, 1974), 56.
71
I. Djumhur dan Danusaputra, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV. Ilmu, 1976), 130.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Imporium Sampai
Imperium (Jakarta: Gramedia, 1987), 131.
72
Perluasan pendidikan adalah penambahan jumlah sekolah-sekolah yang telah didirikan,
penambahan jenis sekolah, dan peningkatan kualitas pada sekolah-sekolah yang telah didirikan.
63
ada penurunan biaya pendidikan bahkan mengalami peningkatan.73 Akibat adanya
pengurangan biaya pendidikan untuk Pribumi ini, Pemerintah Hindia Belanda
tidak lagi mendirikan sekolah bagi masyarakat Pribumi. Bahkan sekolah yang
telah didirikan banyak yang ditutup, seperti Sekolah Guru di Magelang ditutup
tahun 1885, Tondano tahun 1885, di Padang tahun 1891, di Banjarmasin tahun
1893 dan Makasar tahun 1895.74
Pada tahun 1887 muncul usulan untuk memperbaiki sekolah dasar bagi
masyarakat Pribumi. Usulan tersebut datang dari Direktur Pengajaran, Agama
dan Industri, W.P. Groenevelt, yang melihat adanya dua kelemahan dalam
penyelenggaraan sekolah Pribumi, yakni; pertama, sekolah-sekolah yang
didirikan tidak sesuai dengan kebutuhan. Bagi mereka yang akan dipersiapkan
menjadi pegawai mendapat pendidikan terlalu sedikit, sedangkan rakyat biasa
terlalu banyak. Kedua, sekolah-sekolah itu tidak disebarkan menurut pentingnya
daerah, seperti di Jawa yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan luar
Jawa. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, diusulkan dua jenis sekolah dasar
Pribumi, yakni Sekolah Kelas Satu untuk golongan atas yang akan menjadi
pegawai dan Sekolah Kelas Dua untuk masyarakat umum. Usulan tersebut
disetujui oleh Gubernur Jenderal dan Menteri Jajahan, yang kemudian dituangkan
dalam Keputusan Raja tanggal 28 September 1892.75 Atas dasar pelaksanaan
keputusan tersebut, maka dilakukan perubahan pada beberapa sekolah dasar
Pribumi menjadi Sekolah Kelas Satu dan yang lainnya menjadi Sekolah Dasar
Kelas Dua. Sedangkan Sekolah Kelas Satu berubah menjadi HIS pada tahun 1914.
Perkembangan Sekolah Kelas Satu dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Namun pendirian Sekolah Kelas Satu di luar Jawa sangat lambat jika
dibanding dengan di Jawa. Sekolah kelas satu pertama di luar Jawa baru didirikan

73
Pada tahun 1883 sebesar £.1.196.000 menurun £. 990.000 tahun 1886. Tahun 1889
berkurang lagi menjadi £. 978.000. Sedangkan biaya untuk sekolah Eropa meningkat dari £.
1.631.000 tahun 1883 menjadi £. 1.746.000 pada tahun 1886 dan terus meningkat menjadi £.
1.934.000 pada tahun 1889.
74
Djohan Makmur, Sejarah Pendidikan Indonesia Jaman Penjajahan (Jakarta: Proyek
Investasi dan Dokumentasi Sejarah Indonesia, 1993), 70.
75
Staatsblad Tahun 1892 No. 125
64
pada tahun 1910, pada waktu Jawa telah mempunyai 67 sekolah. Hal ini
disesuaikan dengan usulan dari Groenevelt. Dengan demikian, biaya pendidikan
untuk Pribumi pun ditingkatkan. Perluasan pendidikan bagi masyarakat Pribumi
kembali meningkat pada abad ke-20. Pada tahun 1901 ada usulan dari Direktur
Pengajaran, Agama dan Industri, J.H. Abendanon kepada Gubernur Jenderal
untuk mengadakan perluasan pendidikan bagi masyarakat Pribumi, khususnya
perluasan Sekolah Kelas Dua. Akan tetapi usulan ini tidak disetujui, sehingga
sampai tahun 1907 pendidikan bagi masyarakat Pribumi ini tidak mengalami
perubahan. Meskipun demikian, awal abad ke20 ini Pemerintah Hindia Belanda
memfokuskan pendirian sekolah-sekolah kejuruan. Terdapat beberapa sekolah
kejuruan yang ditingkatkan mutunya. Sekolah-sekolah kejuruan tersebut seperti
Sekolah Pertanian tahun 1903, Sekolah Perkebunan tahun 1911, Sekolah
Pertanian Menengah tahun 1911 dan Sekolah Hakim tahun 1909. Sekolah-sekolah
yang ditingkatkan mutunya seperti Hoofdenschool tahun 1900 yang diganti
dengan OSVIA. Sekolah Dokter Djawa School diubah menjadi STOVIA. Selain
itu, masyarakat Pribumi diberi kesempatan yang lebih luas untuk memasuki
sekolah Eropa seperti ELS dengan tujuan agar lulusannya dapat melanjutkan ke
STOVIA.
Usulan Direktur Abendanon untuk meluaskan pendidikan dasar bagi
masyarakat Pribumi tersebut baru terlaksana ketika masa Gubernur Jenderal van
Heutz, setelah terjadi perdebatan, baik di Belanda maupun di Hindia Belanda.
Pada tahun 1907 van Heutz membuka sekolah dasar untuk masyarakat Pribumi
kelas bawah dengan nama Sekolah Desa, yang mengadopsi sistem pendidikan di
Negeri Belanda. Semua pembiayaan sekolah seperti pengadaan sarana, prasarana
dan gaji guru dibebankan pada desa. Pemerintah Hindia Belanda hanya
memberikan subsidi. Dengan demikian, sejak tahu 1907 ada dua jenis sekolah
dasar bagi masyarakat Pribumi kelas bawah, yakni Sekolah Kelas Dua dengan
lama belajar lima tahun dan Sekolah Desa dengan lama belajar tiga tahun.
Perkembangan kedua sekolah ini sejak tahun 1931 menunjukkan angka
peningkatan. Namun setelah tahun tersebut jumlahnya semakin berkurang,
khususnya Sekolah Kelas Dua. Pada tahun 1935, jumlah sekolah tersebut tinggal
65
64 buah. Sejalan dengan kurangnya jumlah sekolah tersebut, jumlah siswa pun
berkurang . namun pada Sekolah Desa, jumlahnya semakin bertambah dan tidak
terpengaruh dengan pengurangan jumlah sekolah. Salah satu penyebab
berkurangnya jumlah sekolah tersebut adalah adanya depresi ekonomi yang
melanda dunia, termasuk di Hindia Belanda. Sedangkan adanya kebijakan
pengurangan Sekolah Kelas Dua dan penambahan Sekolah Desa setelah tahun
1933 menunjukkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan mengganti sekolah
dasar untuk masyarakat Pribumi kelas bawah dari Sekolah Kelas Dua menjadi
Sekolah Desa. Penggantian sekolah itu akan mengakibatkan pengeluaran biaya
untuk sekolah Pribumi kelas bawah menjadi berkurang karena pembiayaan
Sekolah Desa dibebankan pada desa. Dengan demikian, Pemerintah Hindia
Belanda tetap melaksanakan pendidikan bagi masyarakat Pribumi kelas bawah
dengan hanya mengeluarkan biaya sedikit.
Pada tahun 1914 Pemerintah Hindia Belanda kembali mengadakan
perluasan pendidikan bagi masyarakat Pribumi. 76 Perluasan pendidikan yang
diakukan pada tahun 1914 dan sesudahnya itu tidak hanya terbatas pada
pendidikan dasar, tetapi meluas ke pendidikan menengah dan tinggi. Pada masa
itu didirikan pula pendidikan sekolah-sekolah baru. Di samping itu, beberapa
sekolah ditingkatkan kualitasnya. Sekolah yang didirikan pada tahun 1914 dapat
dikategorikan atas tiga jenis pendidikan, yakni Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan
dan Perguruan Tinggi. Sekolah dasar yang didirikan antara lain HIS77 yang
merupakan perubahan dari Sekolah Kelas Satu pada tahun 1914, Vervolgschool

76
Berdasarkan Surat Keputusan Ratu Belanda tertanggal 16 Februari 1914 no. 23, yang
tercantum dalam Staatsblad Tahun 1914 No. 359.
77
Untuk dapat memasuki HIS ini ada kriteria guna menentukan status sosial seseorang
oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah; keturunan, jabatan, kekayaan dan pendidikan. Juga
bedasarkan penghasilan yakni; Kategori A termasuk kaum bangsawan, pejabat tinggi, dan swasta
kaya yang berpenghasilan 75 Gulden perbulan. Kategori B adalah orang tua yang lulusan MULO
dan kweekschool ke atas. Kategori C adalah pegawai, pengusaha kecil, militer, petani nelayan dan
orang tua yang pernah mendapat pendidikan HIS. Kategori C ini dianggap kelas menengah ke
bawah. Sedangkan kategori A dan B merupakan kelas atas dan mendapat prioritas utama untuk
memasuki HIS. Staatsblad Tahun 1914 No. 359.

66
yang merupakan sekolah sambungan bagi lulusan Sekolah Desa pada tahun 1914,
dan pada tahun 1921 didirikan Schakelschool yang merupakan sekolah yang
menghubungakan pengajaran Pribumi dengan pengajaran Barat, sehingga anak-
anak dari golongan masyarakat Pribumi kelas bawah bisa melanjutkan ke sekolah
lanjutan. Sekolah lanjutan didirikan Pemerintah Hindia Belanda dapat
dikelompokkan atas dua, yakni Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas. Sekolah lanjutan tingkat pertama yang didirikan di
antaranya adalah MULO tahun 1914 yang merupakan lanjutan umum.
Normaalschool tahun 1914, Sekolah Pertanian tahun 1920, sekolah pertukangan
tahun 1922 yang kesemuanya merupakan sekolah lanjutan kejuruan. Adapun
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang didirikan di antaranya AMS yang merupakan
sekolah lanjutan umum didirikan tahun 1919, NIAS tahun 1913, Hogere
Kweekschool tahun 1927 dan Middelbare Handelsschool tahun 1935 yang
kesemuanya adalah sekolah lanjutan kejuruan. Perguruan tinggi yang didirikan
Pemerintah Hindia Belanda dimulai tahun 1920, yakni THS tahun 1920, RHS
tahun 1924, GHS tahun 1927, Faculteit der Letteren tahun 1940 dan Landbouw
Hoge School tahun 1941.

E. Faktor-Faktor Perluasan Pendidikan Pribumi

Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemerintah Hindia Belanda


mengadakan perluasan pendidikan terhadap penduduk Pribumi ada dua, yakni
faktor internal dan eksternal di Hindia Belanda.

1. Faktor internal
Salah satu kemenangan besar dari kaum liberal di Negeri Belanda adalah
diterimanya undang-undang hak tanah pada tahun 1870.78 Dalam undang-undang

78
Gerakan ini dimulai dengan revolusi demokrasi di Eropa sekitar tahun 1840. Kondisi ini
direspon cepat oleh kelompok liberal di parleman di bawah pimpinan Jan Rudolf Thorbecke, yakni
dengan mengubah Undang-Undang Dasar Belanda dari konservatif ke liberal delapan tahun dari
revolusi di Eropa tersebut, yakni tahun 1848. Dengan UUD tersebut, maka Belanda berubah
67
ini dinyatakan bahwa semua tanah yang bukan milik Pribumi dinyatakan sebagai
tanah domein negara. Selain itu juga diatur tentang hak-hak orang Pribumi untuk
memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha swasta. Dengan demikian,
pengusaha dapat menyewakan tanah dari gubernemen dalam jangka 75 tahun.
Pengusaha tanah adalah warga negara Belanda yang ada di Negeri Belanda atau di
Hindia Belanda atau kepada perusahaan yang terdaftar di Hindia Belanda. Tanah
Pribumi yang dikuasai berdasarkan hukum adat hanya dapat disewa selama lima
tahun, sedangkan tanah milik mereka untuk 20 tahun.
Bersamaan dengan diberlakukannya pajak tanah ini, politik perdagangan
di Hindia Belanda juga diubah ke arah perdagangan bebas, yang lebih dikenal
dengan “Politik Pintu Terbuka” karena pengusaha-pengusaha diperkenankan
masuk dengan bebas. Berdasarkan politik tersebut banyak pengusaha Belanda
yang datang ke Hindia Belanda untuk menanamkan modalnya dalam bidang
perkebunan seperti teh, kopi, tebu, kopra, kina dan tembakau yang merupakan
komoditi sangat laku di pasaran dunia. Supaya perkebunan ini mendatang
keuntungan bagi pemiliknya dibutuhkan pengelolaan yang baik. Selain itu, unsur
pendukung seperti lembaga yang mengirim hasil pertanian ke negara tujuan
ekspor harus ada beserta unsur-unsur pendukung lainnya. Untuk mengelola
perkebunan yang baik dan untuk mengisi jabatan-jabatan pada lembaga
pendukung tersebut diperlukan tenaga-tenaga yang terdidik. Dengan semakin
berkembangnya perkebunan dan perusahaan di Hindia Belanda, maka
keuntunganpun semakin besar bagi Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad
ke-20. Dengan keuntungan yang diperoleh dari ekspor tersebut, Pemerinah Hindia
Belanda mampu untuk membiayai perluasan pendidikan untuk masyarakat
Pribumi. Adapun faktor internal lain yang mempengaruhi perluasan pendidikan

menjadi sebuah negara monarki konstitusional dimana Ratu bertanggung jawab pada parlemen.
Ini berarti Belanda berubah dari kekuasaan otoritas absolut menjadi kekuasaan dengan hukum.
Dengan tatakenegaraan seperti itu, kelompok liberal mampu mengintervensi parlemen tentang
persoalan-persoalan di negara jajahan. Kelompok liberal ini dapat berperan penting dan
menentukan dalam kebijakan di Negeri Belanda melalui parlemen. R.N. Stromberg, European
Intelectual History since 1789 (New York: Appleton-Century-Crofts, 1968), 72-78. Lihat juga:
P.T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Kompas, 1995), 126.

68
bagi masyarakat Pribumi adalah perluasan administrasi di Hindia Belanda. Pada
tahun 1855 departemen-departemen yang ada di Pemerintahan Hindia Belanda
berupa Departemen Keuangan, Departemen Sarana dan Hak Guna Tanah,
Departemen Produksi dan Cadangan Sipil, Departemen Budidaya, dan
Departemen Pekerjaan Umum. Pada tahun 1966 diadakan reorganisasi
administrasi pemerintahan yang kemudian menghasilkan penambahan departemen
baru seperti Departemen Dalam Negeri, Departemen Pengajaran, Agama dan
Industri dan Departemen Kehakiman pada tahun 1870.79
Memasuki abad ke-20 keadaan Hindia Belanda bertambah kompleks dan
memerlukan pengaturan administrasi yang semakin luas. Jika sebelumnya tugas
Pemerintah Hindia Belanda hanya menyangkut soal-soal pengawasan
ketentraman, pengadilan dan perkebunan, maka pada abad ke-20 Pemerintah
Hindia Belanda dibebani tugas untuk memelihara kesejahteraan penduduk. Untuk
melaksanakan kesejahteraan tersebut diadakan departemen-departemen baru
dengan kedinasan-kedinasan yang besifat teknis khusus dengan cabangnya di
daerah-daerah. Selain itu, pada tahun 1904 dibentuk Departemen Pertanian yang
selanjutnya berkembang menjadi Departemen Pertanian, Perindustrian dan
Perdagangan. Dinas-dinas baru yang bersifat khusus berupa dinas yang
menangani masalah medis dan penyakit hewan, perluasan pertanian, kredit untuk
rakyat, rumah-rumah gadai, telepon dan telegraf.80
Minat masyarakat Pribumi, terutama dari kalangan priyai untuk
memasukkan anaknya ke sekolah Eropa juga mempengaruhi adanya perluasan
pendidikan bagi masyarakat Pribumi di Hindia Belanda. Memasuki abad ke-20
minat masyarakat Pribumi untuk memasuki anak mereka ke sekolah Eropa
semakin meningkat. Motifnya adalah agar dapat menguasai bahasa Belanda dan
dengan lulusannya nanti mereka akan mudah menjadi pegawai pada dinas-dinas
pemerintahan. Sedangkan bagi masyarakat kelas rendah diharapkan akan

79
Heather Suttherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Jakarta: Sinar Harapan,
1983), 49.
80
R.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950
(Jakarta: Akademika, 1985), 15-16.
69
meningkatkan status sosial mereka sebagai kelas priyai jika bisa menjadi pegawai
pemerintahan.81 Meningkatnya minat masyarakat Pribumi memasuki sekolah
Eropa menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang-orang Belanda bahwa
nantinya orang-orang Pribumi ini akan menentang superioritas orang-orang
Belanda. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1907 di sekolah Kelas Satu
diajarkan bahasa Belanda dan pada tahun 1914 Sekolah Kelas Satu diubah
menjadi HIS yang lulusannya disamakan dengan lulusan ELS. Di samping itu,
untuk meredam masuknya masyarakat Pribumi ke HBS dibuka MULO untuk
menampung lulusan HIS dan AMS untuk menampung lulusan MULO. Lulusan
AMS disamakan dengan lulusan HBS.
Faktor lain yang mendorong perluasan pendidikan di Hindia Belanda
adalah dengan munculnya organisasi-organisasi pergerakan yang pada umumnya
memperjuangkan pendidikan bagi masyarakat Pribumi. Organisasi pergerakan
pertama dan dianggap sebagai organisasi modern adalah Budi Utomo yang
didirikan oleh para pelajar STOVIA tingkat atas di bawah pimpinan Sutomo pada
tanggal 20 Mei 1908.82 Organisasi ini bertujuan untuk memperluas dan
mengambangkan pendidikan bagi masyarakat Pribumi di Hindia Belanda agar
mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Dasar tujuan dari organisasi tersebut
tampak pada hasil kongres yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 5 Oktober
1908 yang membahas masalah pendidikan bagi masyarakat Jawa (Pribumi),

81
Pada mulanya status priyai hanya dimiliki oleh para keturunan raja. Akan tetapi pada
abad ke-20 Pemeriantah Hindia Belanda memperluas status priyai, tidak hanya dimiliki oleh
keturunan raja, tapi juga dimiliki oleh orang Pribumi yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia
Belanda. Di daerah-daerah pusat kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, seperti Jawa, Sulawesi
utara, Maluku diketahui ada tiga lapisan-lapisan sosial masyarakat. Pertama, yang dikenal dengan
masyarakat jelata seperti kaum buruh yang bekerja dalam lapangan pertukangan, pelayan rumah
tangga, pegawai, perusahaan perdagangan dan buruh perusahaan industri kecil. Kedua, pegawai
yang bekerja di kantor pemerintah diakui sebagai golongan priyai. Dan ketiga adalah golongan
alim ulama. Faktor penentu pelapisan masyarakat ini dapat berupa kasta, kekayaan, pendapatan,
tingkat sosial, jabatan, pola-pola perumahan, kenikmatan, seni dan musik, konsumsi makanan dan
minuman dan lain-lain. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta:
Jambatan, 1987), 28. Lihat juga: RT. Jangam, Textbook of Political Sociology (New Delhi: Oxford
Publishing Co., 1992), 93. Lihat juga: Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1988),
57.
82
Peristiwa ini dijadikan sebagai momen nasional dalam dunia pendidikan di Indonesia,
yakni diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada setiap tanggal 20 Mei.
70
seperti pendidikan tentang perdagangan, pertanian, membuat perkakas dan
pendidikan lainnya. Untuk itu kongres mengusulkan agar mendirikan sekolah
pertukangan dan sekolah pertanian bagi masyarakat tingkat bawah. Diusulkan
juga agar sekolah guru yang sudah ada untuk ditambah jumlahnya dengan tujuan
Sekolah Kelas Dua dan Sekolah Desa dapat memperoleh guru yang lebih baik.
Demikian juga dengan penambahan OSVIA. Usaha lain adalah memperbanyak
anak-anak Pribumi untuk memasuki HBS dan perlu diadakan kursus-kursus bagi
para siswa Kweekschool dan STOVIA yang akan meneruskan studinya ke tingkat
yang lebih tinggi. Pendidikan bagi kaum wanita perlu diadakan seperti pendidikan
kesenian, pendidikan jasmani dan kerajinan tangan serta mendirikan
perpustakaan.83
Program Budi Utomo untuk memajukan pendidikan masyarakat Pribumi
itu pada perkembangan selanjutnya menjadi salah satu program dari organisasi-
organisasi pergerakan yang berdiri setelah Budi Utomo. Masing-masing
organisasi berjuang untuk mencapai kemerdekaan yang kemudian
menyelenggarakan pendidikan yang bersifat nasional. Pendidikan merupakan hal
penting dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu,
pendidikan nasional sering dicantumkan dalam program beberapa organisasi
pergerakan seperti PSI, Indonesische Studieclub, PNI dan PBI. Munculnya
organisasi pergerakan yang mencantumkan usaha untuk memajukan pendidikan
bagi masyarakat Pribumi dalam tujuan organisasinya dan usaha-usaha aktif yang
dilakukannya untuk memajukan pendidikan masyarakat Pribumi juga
mempengaruhi Pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan perluasan
pendidikan bagi masyarakat Pribumi.

83
Abdurrachman Surjomihardjo, Budi Utomo Cabang Betawi (Jakarta: Pustaka Jaya,
1980), 40-41.

71
2. Faktor eksternal
Revolusi politik84 tahun 1848 di Belanda juga membawa pengaruh pada
politik ekonomi. Politik ekonomi liberal berprinsip bahwa pemerintah tidak
campur tangan dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, kerajaan Belanda harus
menarik diri dari segala campur tangan. Segala rintangan terhadap inisiatif
individu dan kebebasan harus dihapuskan dan segala bantuan pemerintah kepada
usaha swasta harus dihentikan. Berdasarkan prinsip tersebut, Hindia Belanda
terbuka bagi pengusaha-pengusaha swasta. Oleh karena itu, bermuncullah
perusahaan-perusahaan swasta di Hindia Belanda yang bergerak dalam bidang
industri gula, timah dan tembakau. Dan dengan dihapuskannya kebijakan Tanam
Paksa secara berangsur-angsur, maka tanaman wajib yang ditentukan oleh
pemerintah harus diganti dengan perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha-
pengusaha swasta. Dengan faham liberal juga membawa pengaruh pada
administrasi pemerintahan yang dapat diketahui dengan adanya perluasan
administrasi pemerintahan, yakni dengan dibukanya departemen-departemen baru
yang disesuaikan dengan faham liberal.
Selain perubahan dalam politik ekonomi sebagai akibat revolusi politik di
Belanda juga berpengaruh pada kebijakan pendidikan di Hindia Belanda,
khususnya dalam usaha perluasan pendidikan bagi masyarakat Pribumi. Lahirnya
kebijakan Politik Etis tahun 1901 merupakan awal dari usaha Kerajaan Belanda
untuk memperluas pendidikan bagi masyarakat Pribumi, khususnya kalangan
masyarakat rendah di Hindia Belanda. Dalam pidato kerajaan, Ratu Wilhelmina
menyatakan bahwa adanya kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral
terhadap masyarakat di Hindia Belanda. Pesan ini dilanjutkan dengan pernyataan
keprihatinan terhadap perekonomian yang buruk di Hindia Belanda dan ia

84
Revolusi politik ini merupakan pengaruh dari Aufklarung (fajar/terang) yang berfaham
atas; percaya pada nalar, percaya pada sifat-sifat baik manusia dan kesempurnaannya, menuju ke
arah kemanusiaan, menjunjung tinggi akal sehat, toleransi beragama, kebebasan memilih sendiri
agama yang akan dianutnya yang sesuai dengan batin dan hati nuraninya, kemerdekaan dan
kebebasan pribadi sehingga faham ini memperjuangkan dengan gigih mengenai hak-hak asasi
manusia terhadap absolutisme negara atau pemerintah. Ari H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan
Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 13.

72
meminta agar dibentuk suatu komisi untuk memeriksa keadaan tersebut. Lahirnya
kebijakan politik etis tidak dapat dipisahkan dengan kondisi politik di Belanda,
yakni dengan munculnya aliran etika yang dimotori oleh Baron van Hoevell,
seorang pendeta Protestan. Dalam sidang-sidang di parlemen beliau selalu
meminta adanya perbaikan nasib bangsa Pribumi di Hindia Belanda. Usaha ini
juga diikuti rekannya yang lain seperti Van Kol dan Van Deventer. Sekembalinya
mereka dari Hindia Belanda dan menjadi anggota parlemen selalu berjuang untuk
memperbaiki nasib masyarakat Pribumi di Hindia Belanda. Himbauan untuk
memperbaiki nasib rakyat di Hindia Belanda ini juga tertuang dalam artikel yang
berjudul ‘Een Eereschuld’ (Suatu Hutng Kehormatan) di majalah De Gids tahun
1899. Hutang kehormatan ini harus dibayar dengan memberikan pendidikan bagi
masyarakat Pribumi.
Faktor lain yang cukup berpengaruh adalah pemikiran dari Snouck
Hurgronje.85 Dalam nasehatnya beliau menyatakan bahwa Hindia Belanda adalah
wilayah Islam karena mayoritas penduduk Pribuminya menganut agama Islam.
Islam terbagi atas tiga lapangan aktivitas, yakni keagamaan murni atau ibadah,
kemasyarakatan dan kenegaraan. Politik pemerintah dalam menghadapi mayoritas
penganut Islam di Hindia Belanda seharusnya bertolak dari ketiga aspek tersebut.
Terhadap hal yang pertama, ibadah, pemerintah harus lepas tangan dalam arti
tidak mencampuri atau menghalangi apalagi menghambat. Terhadap aspek
kemasyarakatan, hendaknya dibantu jika memungkinkan seperti pengaturan
ibadah haji dan aspek kemasyarakatan yang lain. Terhadap kenegaraan atau hal
yang bersifat politik, pemerintah harus bersikap keras. Jangan dibiarkan
kemungkinan munculnya aspirasi politik yang bersumber dari agama apalagi yang
menganut panggilan Pan-Islamisme. Untuk mengantisipasi agar aspirasi politik

85
Penasehat Pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Arab dan Pribumi berdasarkan
Surat Keputusan Pemerintah tanggal 11 Januari 1899 No. 6. Ia juga seorang Indolog yang
kemudian mempelajari Islam di Mekkah dengan nama samaran Abdul Ghoffar. Sebelumnya beliau
diangkat sebagai Penasehat Urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Muhammadan (Islam)
berdasarkan surat KeputusanYang Mulia tanggal 15 Maret 1891 dengan status Pejabat Dinas di
Hindia Belanda dan berdasarkan Lembaran Negara 1878 N0. 154 diberi gratifikasi untuk
perlengkapan sebanyak 2.500 Gulden. E. Gobee dan C. Andriaanse, Nasehat-Nasehat C. Snouck
Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda, (Jakarta: INIS, 1990),
10, 14.
73
yang bersumber dari Islam tidak berkembang, beliau mengusulkan agar
masyarakat Pribumi di Hindia Belanda diberi pendidikan dan pengajaran cara
barat. Dengan demikian, peradaban masyarakat Hindia Belanda akan sama dengan
peradaban masyarakat Eropa dan terbebaskan dari kepicikan sistem politik Islam.
Dengan adanya persatuan peradaban antara masyarakat Pribumi dan Eropa juga
akan menanggalkan seluruh kekuatan Pan-Islamisme yang mempengaruhi
masyarakat Pribumi.86
Pengaruh eksternal lain adanya upaya perluasan pendidikan bagi
masyarakat Pribumi di Hindia Belanda adalah Perang Dunia I. Meletusnya perang
Dunia I di Eropa sangat mempercepat proses perkembangan Hindia Belanda,
karena perang tersebut sempat memutuskan hubungan Kerajaan Belanda dengan
Hindia Belanda. Dengan demikian Hindia Belanda harus berdiri sendiri dalam
beberapa bidang yang salah satunya adalah bidang politik ekonomi. Akibat perang
tersebut terjadi kekurangan pegawai dan hasil-hasil produksi dari Belanda dan
harus dipenuhi dari Hindia Belanda. Oleh karena itu, didirikanlah industri-
industri. Untuk memenuhi tenaga kepegawaian di pada bidang administrasi
pemerintah maupun industri tersebut diperlukan tenaga terdidik diadakan
perluasan pendidikan yang telah ada serta membuka sekolah-sekolah baru
termasuk perguruan tinggi.
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa istilah Hindia Belanda adalah
sebutan untuk wilayah jajahannya yang sekarang Indonesia. Dalam masa kolonial
di Hindia Belanda, Belanda menerapkan kebijakan Politik Etis yang berisikan
irigasi, transmigrasi dan edukasi. Akan tetapi, pada hakekatnya edukasi yang
mereka terapkan tidak berorientasi pada penduduk pribumi melainkan penduduk
Eropa, Cina dan kelompok Pribumi yang dari golongan priyai atau pejabat-pejabat
pemerintah Hindia Belanda. Meskipun jumlah, jenis dan jenjang pendidikan yang
disediakan cukup banyak, tapi kesempatan penduduk Pribumi sangat kecil
porsinya sehingga pendidikan penduduk jajahan sulit ditingkatkan.

86
Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje (Jakarta: INIS, 1994), 5-75.

74
BAB III

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN ISLAM MASA HINDIA BELANDA

Pada bab ini diuraikan tentang sistem pendidikan Islam dengan berbagai
bentuknya seperti pendidikan langgar, pesantren, madrasah dan pendidikan umum
yang memasukkan pelajaran agama dalam sistem pendidikannya. Selain itu juga
diuraikan lembaga pendidikan yang didirikan melalui organisasi pergerakan nasional
seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan Nahdlatul Ulama. Uraian ini memberi
pemahaman tentang proses evolusi pendidikan Islam dan bagaimana kategori yang
dapat dikatakan pendidikan Islam pada masa Hindia Belanda.

A. Kelahiran Pendidikan Islam

Tak dapat diketahui dengan pasti kapan pertama kali lembaga pendidikan
Islam berdiri di kepulauan Nusantara. Meskipun ada kesepakatan yang menyatakan
bahwa lahir dan tumbuhnya lembaga pendidikan Islam di Nusantara itu tidak akan
jauh berselang setelah masuk dan tersebarnya Islam itu sendiri. Namun masuknya
Islam sendiri masih dalam perdebatan meskipun ada titik terang karena adanya bukti-
bukti sejarah yang menguatkan pendapat-pendapat tersebut.1 Terlepas dari kapan
adanya lembaga pendidikan Islam di kepulauan Nusantara ini, namun yang perlu
difahami bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam telah mengalami perkembangan

1
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa jenis pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam
masuk ke wilayah Nusantara (Indonesia) yakni kira-kira abad 12 M. Atas kesepakatan ahli sejarah,
maka agama Islam mula-mula masuk ke Pulau Sumatera bagian Utara daerah Aceh. Mengenai
masuknya Islam di Kepulauan Nusantara setengah ahli sejarah mengatakan bahwa agama Islam masuk
ke daerah Aceh pada pertengahan abad 12 M. Namun ada pula yang berpendapat sebelum abad 12 M
dengan alasan pada abad 12 M telah banyak ahli-ahli agama yang masyhur di Aceh abad 12 M
tersebut. Ini berarti bahwa Islam telah masuk ke daerah aceh sebelum abad 12 M. Karena tidak
mungkin Islam baru masuk lalu lahir ahli-ahli agama Islam. Selain itu adanya orang Arab yang
mengenal pulau Sumatera abad 9 M untuk berniaga dan ketika mereka berniaga mereka selalu
membawa al-Qur an di tangan mereka dan mereka menyebarkan ajaran agama tersebut. Lihat:
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), 10.

75
yang telah disebabkan oleh hubungan intelektual Nusantara dengan dunia Islam di
Timur Tengah. Perkembangan ini juga sedikit berbeda dengan perkembangan
lembaga pendidikan Islam di daerah lain di Nusantara yang disebabkan intensitas
hubungan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah yang ditransfer melalui para
jama’ah haji yang belajar Islam di Makkah.2 Meskipun berbeda dalam perkembangan
lembaga, kesamaannya pun cukup besar.

Lembaga pendidikan Islam yang muncul pada masa awal ada yang masih
berdiri hingga sekarang dengan segala perubahannya. Namun sebelum masuknya
proses pembaruan pendidikan ke lembaga tersebut, lembaga pendidikan Islam ini
masih sangat tradisional, belum mengenal sistem klasikal. Luasnya penyebaran
pendidikan Islam di wilayah Nusantara agak mempersulit menggambarkan
perkembangan secara rinci, baik bentuk maupun teknis pelaksanaannya. Namun
sedikit ada gambaran dengan memahami sejarah pendidikan Islam di beberapa
wilayah seperti pesantren di Jawa, meunasah, dayah di Aceh atau surau di
Minangkabau yang berkembang hingga abad ke-19 M bahkan hingga sekarang. 3
Lembaga pendidikan Islam ini pada dasarnya merupakan sarana menempa para
generasi muda Islam juga sarana dakwah Islam dalam kontek yang lebih luas. Oleh
karena itu, untuk mengkaji lembaga pendidikan Islam tidak dipisahkan dengan proses
kemunculan Islam dan para ulamanya. Pada masa awalnya, proses pendidikan Islam
mengalami dialektika kultural yang bersifat adaptif. Hal ini dikarenakan dua faktor,
yakni keberadaan agama Hindu Budha sebelum Islam dengan seperangkat budayanya
yang pada akhirnya mempengaruhi masyarakat dan para ulama Islam yang

2
Dirjen Bimbaga Depag RI, Sejarah Perkembangan Madrasah (Jakarta: Depag RI,
1999/2000), 93.
3
Dirjen Bimbaga Depag RI, Sejarah Perkembangan Madrasah, (Jakarta: Depag RI,
1999/2000), 94. Lihat juga: Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam
Dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), 8.

76
menyangkut mistisisme dan sufisme.4 Dengan demikian, corak Islam yang
disebabkan juga bercorak tasawuf. Konsekuensinya adalah Islam mudah diterima
masyarakat dan cenderung longgar dalam penetrasi dan akulturasi budaya luar.5

Lembaga pendidikan Islam juga mengalami beberapa tahapan dan


perkembangan dari model yang sangat sederhana hingga model yang relatif modern.6
Perkembangan ini menimbulkan wajah dinamika lembaga Islam pada abad ke-20
yang pada periode ini terjadi perubahan yang mendasar terhadap lembaga pendidikan
Islam. Dimana pada tahap awal pendidikan Islam berlangsung secara informal.7 Para
mubaligh memberikan contoh teladan dengan sikap hidup mereka sehari-hari,
menunjukkan akhlak yang baik sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik
untuk memeluk Islam dan mencontoh prilaku mereka lewat pergaulan dalam
masyarakat bahkan terkadang melalui ikatan perkawinan terbentuklah masyarakat
muslim. Ketika terbentuk masyarakat muslim , maka perhatian utama mereka adalah

4
Zaini Muhtarom, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta: INIS, 1998), 10.
5
Usaha pendidikan Islam membuahkan hasil yang sangat besar, bahkan menakjubkan karena
dengan berangsur-angsur tersiar agama Islam di seluruh kepulauan Indonesia dengan ribuan pulau
juga hingga ke Philipina. Ini disebabkan beberapa hal; pertama, agama Islam tidak sempit dan tidak
berat melakukan aturannya, bahkan mudah diikuti segala golongan umat manusia. Masuk Islam cukup
dengan mengucapkan syahadatain ; kedua, sedikit tugas dan kewajiban dalam Islam; ketiga, dilakukan
secara berangsur-angsur mulai dari iman kepada Allah, shalat, zakat, haji dan dilaksanakan secara
bijaksana dan; keempat, dilakukan dengan perkataan yang mudah difahami. Lihat: Mahmud Yunus,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), 14-16.
6
Fenomena perkembangan perubahan tersebut disebabkan faktor internal dan eksternal berupa
tuntutan kultur yang dihadapi yang akibatnya berpengaruh pada proses evolutif pendidikan Islam
dengan corak perkembangan dan perubahan yang berbeda , sistesis, adaptif dan responsif dengan
fenomena faktual. Seperti contoh, kontek pendidikan Islam berupa pesantren dan madrasah. Namun
model pendidikan Islam yang konservatif dan konfrontatif banyak terdapat dalam pesantren
tradisional. Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Suka Press,
2007), 76.
7
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003, pasal 1 ayat 13
bahwa pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Jika dilakukan secara
mandiri hasil pendidikan ini diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta
didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Akan tetapi hal ini masih diatur dengan
peraturan pemerintah.

77
mendirikan tempat ibadah, baik berupa masjid, langgar, atau mushalla. Sarana ini
selain untuk shalat berjama’ah juga dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan Islam
mulai dari pengajian al-Qur an maupun pengajian kitab sebagai lembaga pendidikan
Islam yang paling sederhana. Perubahan selanjutnya menjadi pesantren, madrasah
hingga pendidikan agama di sekolah umum.8 Transformsi pendidikan ini hampir
mirip dengan pendidikan Islam di Timur Tengah dimana cikal bakal madrasah berasal
dari pengajian al-kuttab yang mengajar membaca dan menulis, al-kuttab yang
mengajarkan bacaan al-Qur an dan dasar-dasar agama, pengajaran di istana, toko-
toko buku, rumah ulama sanggar sastra dan masjid.9

Akan tetapi perlu difahami tentang pengertian pendidikan Islam itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Zarkowi Soejoeti memberi pengertian bahwa yang
dikategorikan pendidikan Islam itu adalah; pertama, jenis pendidikan yang pendirian
dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk
mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya
maupun dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya; kedua, jenis pendidikan
yang memberi perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan
untuk program studi yang diselenggarakan; ketiga, jenis pendidikan yang mencakup
kedua pengertian di atas, yakni Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus
sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi yang diselenggarakan.10

8
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2007), 20-26.
9
Ahmad Shalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islāmiyah (Mesir: al-Kashshāf li al-Nashr wa al-
Hiba‘ah wa al-Tauji, 1954), 20-84.
10
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1999), 1-2.

78
1. Pendidikan Langgar

Masjid dan langgar memiliki fungsi yang hampir sama dalam kehidupan
masyarakat muslim. Perbedaan keduanya terletak pada ukuran bangunan. Fungsi
utama masjid adalah tempat shalat lima waktu dan pelaksanaan shalat jumat. Selain
itu difungsikan juga sebagai pelaksanaan shalat hari raya idul fitri dan idul adha.
Adapun langgar dikenal juga dengan mushalla yang ukuran bangunannya lebih kecil
di banding dengan masjid yang digunakan hanya untuk shalat lima waktu namun
tidak untuk shalat jumat atau dua hari raya.i Atas dasar fungsi inilah, maka pada tiap
desa di perkampungan masyarakat muslim didirikan masjid ataupun langgar sebagai
tempat shalat berjama’ah atau kegiatan keagamaan lainnya.11

Baik masjid maupun langgar,12 selain dimanfaatkan untuk shalat berjama’ah


juga digunakan untuk sarana pendidikan Islam. Di tempat ini biasanya diadakan
pengajian-pengajian buat orang dewasa maupun anak-anak. Pengajian untuk orang
dewasa berupa penyampaian ajaran Islam oleh mubaligh (kyai, ustadz atau guru)

11
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 34.
12
Di Minangkabau istilah ini dikenal dengan surau yang fungsinya tidak berubah setelah
kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali
oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini eksistensi surau di samping sebagai
tempat shalat juga digunakan sebagai tempat mengajarkan ajaran agama Islam khususnya tarekat.
Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah
gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi anak laki-laki
yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau ini semakin kuat karena didukung oleh
struktur adat Minangkabau yang menganut sistem Martilineal yang menurut ketentuan adat bahwa
laki-laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka sehingga mereka harus tidur di surau. Kenyataan
ini membuat fungsi surau semakin penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi
ilmu pengetahuan maupun keterampilan lainnya. Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran
Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), 70. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi
dan Modernisasi Menuju Millenium Baru (Ciputat: Logos, 1999), 130. Pemerintah Hindia Belanda
menganggap sekolah agama atau surau ini tidak patut disebut sekolah dengan alasan bahwa tidak
sesuai dengan pendidikan Eropa, tidak ada disiplin sekolah, hanya mengajarkan menulis dan membaca
al-Qur an tanpa pengetahuan praktis, pengetahuan guru yang minim, koservatif, fanatik agama,
bersikap bermusuhan dan curiga terhadap pemerintah serta nonkoperatif dengan pemerintah. SL. Van
der Wal, Het Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1940 (Groningen: JB. Wolters, 1963), 150.

79
kepada para jama’ah dalam bidang yang berkenaan dengan akidah, ibadah dan
akhlak. Pengajian di masjid maupun langgar merupakan bentuk pendidikan Islam
tahap awal yang sangat sederhana. Dalam proses belajarnya, anak-anak usia 6 atau 7
tahun berkumpul dan belajar mengaji (membaca huruf arab yang ada dalam al-Qur
an atau surah-surah pendek). Pengajian ini menitikberatkan pada kemampuan
membaca al-Qur an dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan. Selain itu,
anak-anak juga diberikan pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak.13

Sistem pendidikan di masjid ataupun di langgar ini tidak ada tujuan


pengajaran, atau ada metode juga tak ada kurikulum. Pengajaran berjalan secara
konvensional. 14 Indikasi keberhasilan guru dalam mengajar adalah bila murid sudah
mahir melafalkan ayat-ayat al-Qur an yang sudah diajarkannya secara fasih dan
lancar. Selain itu tak ada batasan usia anak dan lamanya belajar. Waktu belajar
biasanya malam hari sesudah shalat maghrib atau sesudah shalat subuh dan terdiri
dari anak laki-laki dan perempuan. Metode yang diterapkan secara individual, selain
di masjid ataupun langgar biasanya juga dilaksanakan di rumah guru.15 Mereka
membaca ayat al-Qur an, al-fatihah maupun surat-surat pendek juz ammah di
hadapan guru satu persatu secara bergiliran. Jika salah seorang anak membaca di
depan guru yang lain menyimak ataupun mempelajari bacaan yang perlu ia pelajari,

13
Pendidikan keimanan seperti sifat 20 dan hukum akal yang tiga, yakni wajib, mustahil dan
jaiz. Sedangkan ibadah seperti berwudhu, shalat dan doa-doa pendek. Pendidikan akhlak berupa cerita-
cerita Nabi dan orang-orang soleh serta contoh teladan yang diperlihatkan oleh guru agama setiap hari
kepada muridnya. Lihat: Mahmus Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara,
1979), 34.
14
Anak-anak belajar dengan duduk bersila tanpa bangku dan meja, demikian pula gurunya.
Mereka belajar seorang demi seorang menghadap guru tanpa ada sistem klasikal. Mula-mula mereka
diajarkan huruf hijaiyah dan jika sudah lancar baru belajar membaca ayat al-Qur an (surat-surat
pendek). Selain itu diajarkan tentang keimanan, ibadah dan akhlak. Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 34.
15
Pada kasus tertentu pengajian dilakukan di rumah orang tua murid dengan mengundang
guru mengaji mengajarkan anak-anak di sekitarnya.

80
karena bacaan masing-masing siswa berbeda sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Dengan metode ini, maka dapat dibayangkan betapa ramainya suasana proses belajar
tersebut.16 Dengan sistem ini penguasaan materi sangat tergantung pada kemampuan
anak. Anak yang lebih pintar akan lebih cepat khatamnya dan dapat menyelesaikan
pengajian dengan cepat. Pada kasus tertentu, bagi anak laki-laki biasanya diadakan
upacara khataman al-Qur an dan dilakukan khitanan sebagai indikasi ia sudah baligh
dan wajib melaksanakan shalat dan puasa.17

Pendidikan di langgar ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling


awal yang terdiri dari pengajian al-Qur an dan pengajian kitab.18 Pada pengajian al-
Qur an memiliki tingkatan atau jenjang nonformal. Pada pengajian al-Qur an
biasanya ada dua tingkatan, yakni; pertama, tingkat rendah yang belajar huruf
hijaiyah dan bacaan juz ammah, keimanan, ibadah dan akhlak, dan kedua, tingkat atas
yang sudah agak tinggi materinya, yakni melagukan bacaan dengan irama yang
bagus, tajwid yang benar, berzanji, kasidahan dan bahkan kitab perukunan.19 Namun
untuk tingkat atas agak jarang karena keterbatasan guru yang mahir akan bacaan al-
Qur an.

Selain pengajian al-Qur an sebagai tingkat awal, pendidikan di langgar juga


memiliki tingkat pengajian yang lebih tinggi, yakni pengajian kitab. Pengajian kitab
dapat diikuti jika anak sudah bisa membaca dengan baik atau setelah menamatkan
pengajian al-Qur an baik tingkat rendah maupun tingkat atas. Keberadaan pengajian
kitab tidak di setiap desa. Pengajian ini dilakukan pada desa-desa tertentu yang ada

16
Snouck Hurgronje, Verspreide Geschrifen IV, 161.
17
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 12.
18
Mahmud Yunus, Sejara Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 26-41,
juga: Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 10-12.
19
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 35.

81
kyai, guru atau ustadz yang mahir dalam mengkaji kitab. Dalam prosesnya seringkali
sistemnya berubah menjadi pesantren. Hal ini disebabkan banyaknya murid yang
berdatangan dari beberapa daerah sedangkan para siswa tersebut butuh tempat
penginapan yang tak mungkin lagi tertampung di masjid maupun rumah guru, maka
didirikanlah rumah-rumah kecil di sekitar masjid sebagai tempat tinggal hingga
bangunan-bangunan lain tempat belajar. Dengan demikian model pendidikan pun
berubah karena adanya unsur-unsur tersebut seperti masjid, asrama dan ruang belajar.
Mata pelajaran juga bertambah seperti nahwu, sharaf, figih, tafsir dan lain-lain.
Demikian pula halnya dengan waktu belajar mereka yang cukup padat dari pagi
hingga malam hari.

Pada pengajian kitab juga terdapat tingkatan rendah dan tingkat tinggi. 20 Pada
tingkat rendah murid diajarkan kitab tertentu dengan cara seorang demi seorang,
sedangkan pada tingkat tinggi dengan sistem halaqah21 yang terdiri dari murid yang
berstatus guru bantu atau murid yang merasa sanggup mengikuti kajian kitab-kitab
tertentu, baik membaca, menterjemah maupun menjelaskannya, sedangkan yang lain
menyimak. Baik mengajian al-Qur an maupun pengajian kitab memiliki ciri dan pola
yang hampir sama di seluruh wilayah Nusantara. Kesamaannya dapat dilihat dari pola
pengajaran hingga perkembangan ke bentuk pola lain seperti dari pendidikan masjid,
langgar hingga ke bentuk pesantren. Sistem pendidikan ini telah berjalan sejak
masuknya Islam ke Nusantara hingga abad ke-19 dan ke-20 sebagai puncak
pembaruan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Bahkan meskipun di bawah
kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, pendidikan Islam di surau-surau, masjid-

20
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 56-57.
21
Sistem halaqah di sumatera, bandongan di Jawa Barat atau juga Wetonan adalah guru
membaca teks baris demi baris, menterjemah bahkan memberi penjelasan makna bacaan tersebut.
Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yakni sebelum atau sesudah melaksanakan shalat
fardhu. Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 14. Lihat juga:
Samsul Nizar, ed., Sejarah Penddikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 287.

82
masjid ataupun langgar ini tetap tegak berdiri dan tak pernah mati walaupun
Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan sekolah-sekolah barat sebagai
22
saingannya.

2. Pesantren

Secara terminologi, kata ‘pesantren’ berasal dari kata ‘santri’. Pesantren adalah
tempat belajar para santri atau pesantren merupakan tempat berkumpulnya para
santri. Istilah ‘pesantren’ seringkali dirangkaikan dengan kata pondok yang
merupakan sebutan untuk asrama santri di lingkungan pesantren, sehingga menjadi
kalimat majemuk ‘pondok pesantren’ untuk menggambarkan tempat tinggal dan
tempat belajar agama bagi para santri.23 Dengan demikian, pesantren dapat diartikan
sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama yang umumnya dengan cara
nonklasikal, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada para santri
berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama abad pertengahan
dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) di lingkungan pesantren
tersebut.24

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia selain


pendidikan di langgar maupun masjid. Pesantren difungsikan sebagai suatu lembaga
yang dipergunakan untuk penyebaran agama dan tempat mempelajari agama Islam.
Pesantren juga mengusahakan pembinaan tenaga-tenaga bagi pegembangan agama.

22
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 33.
23
Antom M. Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 1990),
783.
24
Sudjoko Prasodjo, dkk., Profil Pesantren , dalam buku yang diedit Abuddin Nata, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Grasindo, 2000), 104.

83
Kemampuan pondok pesanten bukan hanya dalam pembinaan pribadi muslim,
melainkan dalam usaha mengadakan perubahan sosial dan kemasyarakatan. Pengaruh
pondok pesantren tidak hanya terlihat pada kehidupan santri dan alumninya,
melainkan juga meliputi kehidupan masyarakat sekitarnya.25 Pesantren menjadi
bagian integral sistem pendidikan nasional berarti merupakan pendidikan keagamaan
Islam yang juga diatur dalam Sistem Pendidikan Nasional.

Pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan tapi juga sebagai lembaga
sosial dan penyiaran agama. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren
menyelenggarakan pendidikan formal berupa madrasah, sekolah umum dan
perguruan tinggi dan pendidikan nonformal yang secara khusus mengajarkan fiqh,
hadits , tafsir, tauhid dan tasawuf yang bersumber dari kitab-kitab kuning dan
mempelajari bahasa arab berupa, nahwu, saraf, balaghah dan tajwid, mantiq dan
akhlak.26 Selain itu, lembaga pesantren dianggap lembaga yang paling menentukan
watak ke-Islaman dari kerajaan-kerajaan Islam dan memegang peranan yang paling
penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga pesantren
ini juga diperoleh asal usul manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara,
meskipun terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara dari perusahaan
dagang Belanda dan Inggeris sejak akhir abad ke-16. Untuk dapat memahami secara
mendalam tentang sejarah Islamisasi di Nusantara harus memulai dengan
mempelajari lembaga-lembaga pendidikan pesantren ini karena pesantrenlah yang
menjadi sarana penyebaran Islam di wilayah Nusantara khususnya.27

25
Dawam Rahardjo, ed., Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1988), 125.
26
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 49.
27
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta:
LP3ES, 1985), 17-18.

84
Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan
masyarakat muslim, tanpa membeda-bedakan tingkat sosial ekonomi orang tuanya.
Dengan fungsi tersebut, pesantren memiliki integritas tinggi dengan masyarakat
sekitarnya. Salah satu pergeseran nilai di pesantren adalah semakin besarnya jenis
pendidikan formal yakni madrasah dan sekolah umum serta perguruan tinggi
diselenggarakan oleh pesantren sehingga porsi pesantren sebagai lembaga pendidikan
nonformal yang hanya mengajarkan agama amat kecil. Dalam perjalannnya,
pesantren telah mengalami pergeseran nilai yang menuntut kepada pesantren untuk
melakukan reorientasi tata nilai dan tatalaksana penyelenggaraan pesantren untuk
mencari bentuk baru yang relevan dengan tantangan zaman.

Meskipun demikian, dari perspektif pendidikan, pesantren merupakan satu-


satunya lembaga pendidikan yang dapat bertahan terhadap berbagai gejolak
modernisasi dalam dunia pendidikan.28 Hingga sekarang pesantren masih tetap
survive meskipun terjadi gejolak modernisasi dan perubahan dalam pendidikan yang
terjadi di berbagai belahan dunia Islam. Sebagai bukti bahwa dengan gencarnya
pendidikan barat oleh Pemerintah Hindia Belanda justru membuat pesantren
berkembang dan tetap eksis dengan ciri khas dan unsur-unsur yang dimilikinya.29
Bahkan dengan mengadopsi model pendidikan modern tersebut, pesantren mampu
bersaing dan bersanding dengan sistem pendidikan modern tersebut.

Ditinjau dari jenisnya, pesantren dapat dikasifikasikan atas; pertama, jenis


pesantren yang sangat sederhana yang hanya terdapat bangunan masjid sebagai
tempat aktivitas belajar mengajarnya; kedua, adanya masjid ditambah dengan
pemondokan para santri yang mukim; ketiga pesantren dengan komponen-komponen

28
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), 157.
29
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Ciputat: Logos, 2002), 95.

85
klasik yang diperluas dengan suatu madrasah (sekolah normal) yang kurikulumnya
berorientasi pada kurikulum pemerintah yang resmi; keempat, pesantren yang selain
memiliki masjid , pondok dan mengikuti kurikulum pemerintah juga ada program
pelengkap dalam pendidikan seperti keterampilan dan ilmu terapan bagi para siswa
dari wilayah sekitar pondok seperti praktek pertanian, peternakan dan kursus-kursus
keterampilan ; kelima, jenis pesantren yang menyelenggarakan semua tingkat sekolah
formal dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. 30 Dengan demikian dapat difahami
bahwa pendidikan Islam sebelum diperkenalkan pendidikan modern yang bersifat
klasikal atau dalam pendidikan Islam dikenal dengan sistem madrasi baru memiliki
jenis pesantren jenis pertama dan kedua, yakni dengan fasilitas masjid dan pondok.
Sedangkan pesantren jenis ketiga, keempat dan kelima baru muncul setelah adanya
pengaruh pendidikan barat yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang
lebih dikenal dengan masa pembaruan pendidikan Islam. Khususnya di Jawa, masa
awal abad ke-20 sampai permulaan kemerdekaan Republik Indonesia, pada umumnya
pesantren masih bersifat tradisional, baik menyangkut sistem, metode maupun
sarana.31

Ditinjau dari aspek fasilitas, sebuah pesantren umumnya memiliki lima unsur,
yakni pondok, masjid, santri, pengajaran kitab klasik dan kyai. 32 Pondok
diperuntukkan sebagai tempat mukim para santri mukim yang notabene berasal dari
luar daerah yang jauh dari pesantren. Sekarang dikenal dengan istilah asrama. Pondok
ini biasanya dibangun di sekitar masjid atau lingkungan pesantren. Adapun masjid
biasanya digunakan untuk shalat berjamaah sekaligus tempat belajar dengan sistem
wetonan atau halaqah. Santri merupakan istilah umum yang dipakai untuk menyebut

30
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), 104-107.
31
Samsul Nizar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2007), 73.
32
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1994), 44.

86
para pelajar. Dalam suatu pesantren bisanya santri tergolong atas santri mukim dan
santri kalong. Santri mukim adalah santri yang berasal dari daerah yang jauh sehingga
tidak memungkinkan untuk pulang pergi setiap hari maupun untuk mengikuti
kegiatan-kegitan tambahan di malam hari. Oleh karena itu mereka mukim di pondok.
Sedangkan santri kalong adalah santri yang berasal dari sekitar pondok dan
memungkinkan untuk mengikuti kegiatan tambahan lainnya. Adapun kyai merupakan
gelar bagi pendiri atau pemilik pondok pesantren yang tinggal bersama-sama santri
dan membimbingnya. Dengan kata lain, seorang alim disebut kyai jika memiliki
pondok pesantren dan santri. Kitab-kitab Islam klasik atau yang lebih dikenal dengan
kitab kuning merupakan kitab-kitab sumber pelajaran yang berisikan tentang ilmu
bahasa arab fikih dan lainnya dan berisikan faham syafi’iyah.

Pada masa pembaruan pendidikan Islam, khususnya dengan ekspansi


pendidikan barat oleh Pemerintah Hindia Belanda, banyak pesantren yang tetap
mempertahankan jati diri , namun banyak juga yang mengadopsi sistem pendidikan
barat dengan menerapkan sistem madrasi. Sejak dulu, pesantren tidak hanya
berfungsi sebagai lembaga pendidikan tapi juga befungsi sebagai lembaga sosial dan
penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan
pendidikan nonformal dan formal berupa madrasah, sekolah umum bahkan perguruan
tinggi. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari berbagai
lapisan masyarakat muslim tanpa membedakan status sosial, menerima tamu yang
datang dari masyarakat umum dengan motif yang berbeda pula. Sebagai lembaga
penyiaran agama Islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum yakni
sebagai tampat belajar agama dan ibadah bagi para jamaahnya. Pada masa penjajahan
Belanda, pesantren merupakan basis perlawanan terhadap penjajah dalam merespon
ekspansi politik imperialis Belanda.33 Perlawanan ini tercermin dengan sikap

33
Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1998), 130.
87
nonkoperatif terhadap Belanda dan bahkan pesantren menjadi sumber untuk
mengobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah dari tanah air.

Ditinjau dari aspek transformasi, pesantren memiliki corak tertentu, yakni;


pertama, pesantren tradisional yang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya
dengan pengertian lain tidak terpengaruh oleh pembaruan pendidikan modern.
Pesantren ini biasanya berlokasi di daerah pedalaman atau pedesaan. Kondisi ini
sekaligus menunjukkan bahwa desa merupakan benteng dalam mempertahankan
tradisi-tradisi ke-Islaman.34 Kedua, pesantren tradisional yang mengadopsi sistem
pendidikan modern namun tidak menyeluruh. Adopsi dilakukan secara selektif
dengan tidak menghilangkan nilai-nilai tradisional. Adopsi yang dilakukan biasanya
berupa sistem klasikal, metode, manajemen, kurikulum, pungutan biaya bahkan
lembaga yang dikelola berbentuk suatu yayasan. Ketiga, pesantren modern yakni
pesantren yang telah mengalami tranformasi yang cukup berarti baik aspek sistem
maupun kelembagaannya. Pengajaran yang berorientasi pada bakat anak dalam hal
keterampilan dan hobi juga dilakukan bahkan penguasaan bahasa asing seperti bahasa
Inggeris.35

Memasuki awal abad ke-20 banyak pesantren yang didirikan oleh para alim
ulama di berbagai wilayah di Nusantara, seperti:

a) Di Jawa Timur. Pesantren tergolong tua di Jawa Timur yang berdiri pada awal
abad ke-20 adalah Pondok Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pondok
Pesantren Pelangitan, Pondok Pesantren Terenggilis, Pondok Pesantren
Siwalan Panji di Sidoarjo, Pondok Pesantren Paculgoang, Pondok Pesantren
Watugaluh, Pondok Pesantren Ngalam, Pondok Pesantren Suara, Pondok
Pesantren Mbalonggadung, Pondok Pesantren Pojok Kulon, Pondok Pesantren

34
Laode Ida, Anatomi Konflik NU: Elit Islam dan Negara (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), 13.
35
Samsul Nizar, ed., Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 19-20.

88
Rejoso, Pondok Pesantren Ndukuhwari, Pondok Pesantren Seblak. Sebagian
besar pondok pesantren ini berada di wilayah Jombang dan yang paling tua
adalan Pondok Pesantren yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari yakni
Pesantren Tebuireng. Di luar Jombang juga banyak terdapat pesantren yang
cukup tua umurnya seperti Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Pondok
Pesantren Trayong Kertosono, Pondok Pesantren Babakan Gurah di Kediri,
Pondok Pesantren Gapoki di Nganjuk, Pondok Pesantren Termas di Pacitan,
Pondok Pesantren Tegalsari di Madiun, Pondok Pesantren Darussalam di
Gontor Ponorogo Pondok Pesantren Maskumambang di Gersik, Pondok
Pesantren Sabilil Muttaqin di Tarekan Magetan, Pondok Peasantren
Darussalam Blok Agung di Banyuwangi, Pondok Pesantren Bangkalan dan
Annu Qoyal di Madura.

b) Di Jawa Tengah. Pesantren-pesantren yang tergolong tua di Jawa Tengah


khususnya wilayah Kudus seperti Pondok Pesantren Ahiyatus Saniyah
Mua’awanatul Muslimin di Kenepan, Pondok Pesantren Kudsiyah, Pondok
Pesantren Tasywiqul Tullab, Pondok Pesantren Ma’ahidud Diniyah al-
Islamiyah al-Jawiyah. Sedangkan di Solo terdapat Pondok Pesantren Jamsaren
dan Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum. Di Purwokerto terdapat Pondok
Pesantren Kebarongan dan di Rembang terdapat Pondok Pesantren Lasem dan
Pondok Pesantren Taman Pelajar. Di daerah lain Jawa Tengah terdapat
Pondok Pesantren Kaliwungu di Semarang, Pondok Pesantren Munawwir
Krapyak di Yogyakarta, Pondok Pesantren Payaman, Pondok Pesantren Watu
Congol dan Pondok Pesantren Tegalrejo dan Pondok Pesantren Pabelan yang
terletak di wilayah Magelang.

c) Di Jawa Barat. Beberapa Pondok Pesantren di Jawa Barat khususnya di


wilayah Bogor seperti Pondok Pesantren Mulabarak36, Pondok Pesantren

89
Cipasung, dan Pondok Pesantren al-Falak Pagentongan. Di Wilayah lain
seperti Pondok Pesantren al-Khairiyah Citangkil di Banten, Pondok Pesantren
Santri Asmoro dan Pondok Pesantren Darussalam di Ciamis, Pondok
Pesantren Suryalaya dan Pondok Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi.

d) Di Aceh, sebuah perguruan agama mendirikan lembaga pesantren dan


madrasah. Pesantren yang tergolong cukup tua seperti Meunasah Rangkang
dan Dayah (sejenis pesantren). Perguruan Muhammadiyah juga mendirikan
lembaga pendidikan Mu’alimin dan Mu’alimat. Di samping itu terdapat
Organissi yang didirikan oleh Persatuan Umat Seluruh Aceh (PUSA).37 Selain
itu tedapat Pondok Pesantren Tengku H. Hasan Aceh Besar, Pondok
Pesantren H. Abubakar Cut Kota Lhok Seumaweh, Pondok Pesantren H. Arbi
di Oelee Ceue, Pondok Pesantren Baden di Paudala, Pondok Pesantren HM.
Amin, Cot Meurak di Bierun, Pondok Pesantren H. Idris Tanjongan dan
Pondok Pesantren HM. Thaib Kuta Blang di Samalanga, Pondok Pesantren
Yan Garot di Pidie dan Pondok Pesantren Abdurrahman Meunasah Meucap di
Malang Gelempang.

36
Pondok Pesantren ini dahulu cukup terkenal yang didirikan oleh seorang ulama besar yang
pernah mondok di Demak pada kurun terakhir dari periode walisongo, yakni almarhum KH.
Muhammad Ali atau yang lebih dikenal dengan Mbah Ali. Pada saat didirikan mendapat bantuan
penuh dari Bupati Sumedang dan Bupati Limbangan. Santrinya tidak hanya dari kalangan rakyat
jelata, tapi para bangsawan dan putra-putra bangsawan maupun ulama dari seluruh Jawa yang ingin
memperoleh ijasah tahasus dari KH. Muhammad Ali. Di samping itu putra para Bupati seperti Bupati
Sumedang, Bupati Cianjur, Bupati Limbangan dan lain-lain juga bermukim di pondok pesantren ini
untuk meperdalam ilmu agama Islam. Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia
(Jakarta: Dharma Bakti, 1983), 45.
37
Organisasi ini banyak mendirikan madrasah ketimbang pesantren. Jumlah madrasah yang
dikelola berdasarkan data tahun 1946 sebanyak 180 buah dengan 36.000 santri. Perguruan ini
dinegerikan dengan sebuah piagam bernama ‘Kanun Penyerahan Sekolah-Sekolah Agama Kepada
Pemerintah’ pada tanggal 1 Nopember 1946. Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia
(Jakarta: Dharma Bakti, 1983), 46.

90
e) Di Sumatera Utara terdapat beberapa Pondok Pesantren tergolong tua yakni
Pondok Pesantren Masruroh yang berdiri tahun 1912. Di wilayah ini lebih
banyak didirikan madrasah ketimbang pesantren.38

f) Di Sumatera Barat terdapat pesantren atau surau yang cukup tua yang
didirikan oleh Syekh Burhanuddin39 di Ulakan Paruiaman. Selain itu Pondok
Pesantren Tanung Suggayang yang didirikan oleh Syekh MH. Thib Umar
pada tahun 1891, Pondok Pesantren Parabek di Bukuttinggi yang didirikan
oleh Syekh Ibrahim Musa40 pada tahun 1890. Selain itu juga terdapat Pondok
Pesantren Padang Japang yang didirikan oleh Syekh Abbas Abdullah yang
lebih dikenal dengan nama Darul Funun Abbasiah, Surau Jembatan Besi
Padang yang didirikan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah tahun 1914 yang
kemudian terkenal dengan ‘Sumatera Thawalib’, Surau Candung Baso
Bukittinggi yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan kemudian
menjadi ‘Tarbiyah Islamiyah’, Surau Jaho Padang Panjang Japang yang

38
Madrasah yang cukup terkenal adalah Madrasah Mustofawiyah Purba Baru Mandailing di
Tapanuli Selatan. Madrasah ini didirikan oleh Syekh Mustofa Husein Baru pada tahun 1920. Madrasah
ini merupakan salah satu madrasah yang terkemuka di Sumatera Utara yang muridnya pernah
mencapai 3.264 orang dan dengan alumni lebih dari 10.000 orang. Marwan Saridjo, Sejarah Pondok
Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bakti, 1983), 47.
39
Syekh Burhanuddin dilahirkan di Sintuk Pariaman pada tahun 1646 dan wafat tahun 1691.
Menurut riwayat beliau belajar ilmu agama di Aceh (Kotaraja) pada Syekh Abdur Rauf bin Ali dari
Singkil. Sepulangnya dari Aceh beliau menyebarkan ilmu agama Islam baik di tempat asalnya Sintuk
maupun wilayah lain hingga beliau pindah ke Ulakan. Di Ulakan beliau membuka madrasah (surau)
yang diperkirakan merupakan surau pertama di Minangkabau. Selain itu beliau mendidik kader untuk
menggantikan beliau sebagai penerus pengajaran agama Islam. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 18.
40
Syekh Ibrahim Musa lahir di Parabek Bukittinggi tanggal 13 syawal 1301 H (1884 M).
Belajar agama dimulai pada ulama di Minangkabau dari tahun 1895-1902. Setelah itu beliau pergi ke
Mekkah dan belajar selama kurang lebih 8 tahun. Guru-gurunya yang terkenal adalah Syekh Ahmad
Khatib, Syekh Ali dan lain-lainnya. Pada tahun 1910 beliau mengajar pada surau Parabek dengan
sistem halaqah hingga tahun 1921 beliau mendirikan Sumatera Thawalib yang sekaligus merubah
sistem lama dengan sistem berkelas dan pada tahun 1940 mendirikan Kulliyatud Diniyah di Parabek.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 155.

91
didirikan oleh Syekh M. Jamil Jaho yang juga terkenal dengan ‘Tarbiyah
Islamiyah’, Surau Tabat Gadang Padang Japang yang didirikan oleh Syekh
Abdul Wahid yang juga terkenal dengan ‘Tarbiyah Islamiyah’.41 Dengan
suburnya pertumbuhan lembaga pendidikan Islam di Sumatera Barat ini
menimbulkan kekhawatiran di pihak Pemerintah Hindia Belanda akan
eksistensi mereka. Dengan demikan Pemerintah Hindia Belanda mencoba
menerapkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk menghilangkan
pengaruh pendidikan Islam yang berkembang secara signifikan, namun hal
tersebut mendapat perlawanan dari ulama-ulama pada masa tersebut.42

g) Di Jambi terdapat Pondok Pesantren paling tua yakni Pondok Pesantren Nurul
Iman yang didirikan oleh KH. Abdul Somad, seorang ulama besar awal abad
ke-20 sekitar tahun 1914, Pondok Pesantren Sa’adatul Darain yang didirikan
oleh KH. Ahmad Syakur, Pondok Pesantren Nurul Islam yang didirikan oleh
Kamas H. Muhammad Saleh dan Pondok Pesantren Jauharain yang didirikan
oleh KH. Abdul Majid tahun 1922.

h) Di Sumatera Selatan terdapat pesantren tertua yakni Pondok Pesanten Al-


Qur’aniyah yang didirikan oleh KH. Hasan Muhammad Yunus pada tahun
1920. Selain itu juga terdapat Pondok Pesantren Ahliyah Diniyah yang

41
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 60.
42
Contoh perlawanan para ulama dan masyarakat Islam adalah dengan adanya kebijakan
ordonansi sekolah liar dan ordonansi guru yang telah diterapkan di Jawa pada tahun 1905. Pada tahun
1928 datang Adviseur Inlandsche Zaken yang bernama Dr. de Vries ke Sumatera Barat dengan maksud
menerapkan kebijakan ordonansi guru yang melarang guru-guru agama dan guru ngaji mengajar kalau
belum mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda. Reaksi atas penerapan kebijakan tersebut
mendapat reaksi keras dari seluruh ulama di Sumatera Barat dengan mengadakan rapat akbar pada
bulan Agustus tahun 1928 dengan tujuan mendesak Pemerintah Hindia Belanda untuk mengurungkan
niat menerapkan kebijakan ordonansi tersebut. Demikian juga dengan ordonansi sekolah liar yang
mendapat reaksi keras, sehingga dengan semangat persatuan yang kuat di kalangan umat Islam, maka
peraturan tersebut tidak jadi diterapkan di Sumatera Barat. Hamka, Ayahku (Jakarta: Jayamurni, 1967),
149.

92
didirikan oleh KH. Masagus H. Nanang Misri pada tahun 1920, Pondok
Pesantren Nurul Falah yang didirikan oleh KH. Abubakar Al-Bastari pada
tahun 1934 di Palembang, Pondok Pesantren Darul Funun yang didirikan oleh
KH. Ibrahim pada tahun 1938 di Palembang, Pondok Pesantren Nurul Islam
Seribandung Tanjung Batu Ogan Komering Ilir yang didirikan oleh KH.
Anwar bin H. Kumpul pada tahun 1932,43 Pondok Pesantren al-Falah yang
didirikan pada tahun 1930 oleh KH. Abdul Gani Bahri.

i) Di Bali dan Nusa Tenggara Barat. Di dua wilayah ini pesantren telah muncul
sejak penjajahan Belanda, demikin juga dengan lembaga pendidikan Islam
berupa madrasah. Pondok Pesantren yang cukup terkenal di Jembaran Bali
adalah Pondok Pesantren Syamsul Huda Loloan Barat dan Pondok Pesantren
Mamba’ul Ulum Loloan Timur atau yang lebih dikenal dengan Pondok
Pesantren KH. Ahmad Dahlan Semarang.

j) Di Pulau Lombok, Pondok Pesantren termashur adalah Pondok Pesantren


Nahdatul Wathan yang berpusat di Pancor Lombok Timur di bawah pimpinan
KH. Zainuddin Pancor. Pondok Pesantren ini berada dalam suatu manajemen
yayasan yang mengasuh hampir ratusan pesantren dan madrasah serta
sekolah-sekolah Islam yang tersebar di seluruh Pulau Lombok. Organisasi
pendidikan Islam lain adalah Rabithoh di Kediri Lombok Barat.44

43
Latar belakang berdirinya Pondok Pesantren ini adalah karena dorongan masyarakat
setempat yang menghendaki pendidikan Islam berbentuk sekolah serta dukungan dari pemerintah
setempat. Tujuannya untuk mendidik dan membimbing serta membawa para santri agar menjadi
manusia muslim yang berilmu, beriman, beramal soleh serta berakhlak mulia dan kelak dapat menjadi
anggota masyarakat yang berdaya guna, berbakti terhadap agama, tanah air dan bangsa dengan jiwa
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pondok pesantren ini adalah salah satu lembaga pendidikan
yang dapat bertahan pada jaman Jepang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah
Pendidikan Daerah Sumatera Selatan (Jakarta: Dep. P dan K, 1984), 51.
44
Khusus di Kabupaten Bima sebelum terjadi peperangan di wilayah ini telah tersebar
lembaga pendidikan Islam, terutama madrasah Darul Ulum yang hampir ada di setiap desa di bawah
93
k) Di Nusa Tenggara Timur terdapat sebuah organisasi Islam yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan termasuk tertua di daerah ini, yakni Tarbiyah
Islamiyah. Organisasi ini telah mendirikan beberapa pesanten dan madrasah
yang tersebar hampir di setiap kabupaten di NusaTenggaa Timur.

l) Di Sulawesi Tengah terdapat Perguruan al-Khairat yang dirikan oleh Syekh


al-Idrus pada tahun 1930. Jumlah pesantren dan madrasah yang dikelola
kurang lebih 535 buah yang tersebar di Maluku, Irian Jaya, Kalimantan
Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Lembaga pendidikan ini sudah
tumbuh sejak masa kerajaan seperti Kerajaan Goa, Kerajaan Bone dan
Kerajaan Wajo.45 Kurun waktu berikutnya perguruan ini banyak mendirikan
lembaga pendidikan Islam dengan sistem madrasi. 46

m) Di Kalimantan terdapat pondok Pesantren tertua yang didirikan oleh Syekh


Muhammad Arsyad al-Banjari di Martapura pada tahun 1785. Pendirian

asuhan Badan Hukum Syra Swapraja Bima. Pengasuh Pondok Pesantren ini pertama kalinya adalah
lulusan madrasah salafiyah Mekkah dan masa berikutnya dilanjutkan oleh ulama-ulama keluaran
Pesantren Tebuireng Jombang dan pesantren-pesantren tua di Jawa. Kebanyakan lembaga pendidikan
Islam sebelum pecah perang di wilayah ini banyak yang dikelola oleh organisasi Muhammadiyah.
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bakti, 1983), 50.
45
Sistem dan cara pemerintahan kerajaan ini ada kemiripan dengan cara pemerintahan yang
dilakukan di jaman Khulafaur Rasyidin dan Daulah Abbasiyah. Hal ini dapat dilihat sejak kurun ketiga
kerajaan ini banyak didirikan pusat-pusat pendidikan dan pengkajian ilmu pengetahuan agama Islam
seperti pondok pesantren dan madrasah. Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia
(Jakarta: Dharma Bakti, 1983), 51.
46
Sesuai dengan hasil pertemuan yang dikenal dengan ‘Pertemuan Ulama Celebes Selatan’
yang dihadiri oleh 26 orang ulama terkemuka yang berasal dari wilayah Sulawesi selatan yang
dipimpin oleh KH. Abdullah Dahlan dengan topik ‘cara-cara pengelolaan pendidikan Islam’ dan
menghasilkan gagasan berupa; pertama, mengembangkan pendidikan Islam melalui madrasah, di
samping melanjutkan usaha para ulama yang masih ada dengan pengajian sistem tradisional seperti
pondok pesantren sistem lama dan pengajian di langgar atau di surau; kedua, madrasah mendapat dana
pengembangan dari sumber-sumber zakat fitrah dan harta dari masyarakat; ketiga, madrasah bebas dari
segenap aliran politik, dan tidak menekankan ikatan pada salah satu mazhab; keempat, madrasah yang
berkembang dapat membuka cabang-cabangnya di mana saja atas permintaan masyarakat dan; kelima,
para ulama hendaknya menghindari sejauh mungkin persengketaan dalam khilafiyah. Mattulada, Islam
di Sulawesi Selatan (Jakarta: LP3ES, 1976), 64.

94
pondok pesantren ini mendapat bantuan sepenuhnya dari Sultan Tahmidillah.
Selain menjadi pusat pengajian bagi keluarga sultan, pesantren ini juga
sebagai tempat pengkaderan para mubaligh Islam. Selain itu juga banyak
madrasah yang didirikan yang telah berjasa mencerdaskan kehidupan bangsa
bahkan ikut andil besar dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui
pemberontakan-pemberontakan.

3. Sekolah Dengan Muatan Agama Islam

Sekolah merupakan salah satu lembaga penyelenggara pendidikan secara


formal di Indonesia. Di dalamnya berlangsung proses pendidikan sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Pada masa
Pemerintah Hindia Belanda, sekolah dengan muatan agama Islam diselenggarakan
oleh Muhammadiyah. Meskipun sekolah yang diselenggarakan memiliki nama yang
sama dengan pendidikan Belanda seperti HIS, MULO, Normal School, Kweekschool
maupun AMS, namun sekolah tersebut juga memasukkan pelajaran agama.47

Setelah kemerdekaan, jenis pendidikan dikelompokkan mencakup;


pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Hal
ini dilakukan karena bagaimanapun arah pendidikan nasional adalah menyiapkan
anak-anak bagi peranannya di masa depan. Peranan anak di masa depan adalah
menjadi manusia berguna sebagai generasi penerus bagi eksistensi kehidupan bangsa.
Agar anak didik memiliki peranan yang berarti bahwa anak didik harus memperoleh

47
Alfian, Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization
under Dutch Colonialisme (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), 190.

95
bimbingan yang baik tentang norma-norma kehidupan dan sikap mulia di rumah dari
orang tua. Dan untuk mengembangkan nilai-nilai tersebut, di sekolah anak-anak
memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan keperluan untuk bisa hidup dan
menduduki peranan tertentu seperti dokter, hakim, guru, pengacara, politisi, ekonom,
birokrat, pedagang, pengusaha, wiraswasta, perawat dan lain-lain yang sesuai dengan
tuntutan zaman.

Setelah selesai dari pengajaran di sekolah anak-anak masih memerlukan


tambahan pengetahuan dan keterampilan melalui berbagai pusat latihan profesi dan
keterampilan di masyarakat. Hal ini merupakan implementasi dari ide atau konsep
pendidikan seumur hidup yang mengintegrasikan pendidikan keluarga, sekolah dan
laur sekolah termasuk pendidikan orang dewasa.

Baik bimbingan, pengajaran maupun pelatihan secara keseluruhan adalah


menjadi wahana bagi pencapaian tujuan pendidikan. Dengan kata lain, bimbingan di
rumah tangga, pengajaran di sekolah, dan pelatihan menjadi bagian integral kegiatan
atau hakikat pendidikan di Indonesia. Anak-anak memiliki potensi yang memerlukan
bimbingan pengajaran, pelatihan yang dilakukan secara sadar. Hal ini dimaksud
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan harus memiliki tujuan yang jelas,
program terpadu atau menyeluruh, pembinaan potensi berupa pikir, rasa, cipta dan
karsa harus diarahkan untuk mencapai perkembangan yang maksimal sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman.

Untuk mencapai sasaran dan fungsi dimaksud maka sistem persekolahan


menjadi salah satu wahana strategis dalam membina sumber daya manusia
berkualitas. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari
pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan. Sedangkan jenjang pendidikan
yang termasuk dalam pendidikan formal adalah sekolah dasar, sekolah menengah
pertama, sekolah menengah atas, dan pendidikan tinggi. Untuk sekolah umum,
keberadaan pendidikan agama Islam merupakan satu mata pelajaran yang wajib
96
diberikan kepada semua pelajar muslim. Sebagai partisipasi masyarakat Islam dalam
mencerdaskan rakyat Pribumi, berbagai yayasan Islam mengembangkan sekolah
agama di bawah nuansa ke-Islaman yang berkembang sejalan dengan kebutuhan
masyarakat akan pendidikan.

Sistem pendidikan Islam di beberapa tempat sedang tampil ke permukaan.


Perubahan dari sistem pesantren ke sistem pendidikan madrasah dan dari sistem
madrasah ke sistem sekolah Islam termasuk sistem pendidikan agama di sekolah
umum. Bahkan sistem pesantren berjalan berdampingan dengan sistem pendidikan
madrasah dan pendidikan sekolah Islam dalam satu kampus.48 Pada masa Pemerintah
Hindia Belanda, pendidikan agama di sekolah belum tertuang dalam suatu peraturan
pemerintah maupun undang-undang. Pemerintah hanya memberi kemungkinan
pendidikan agama di sekolah dapat diterapkan dengan sedikit pelajaran agama yang
diberikan. Sekolah yang dibiayai pemerintah sedikit sekali yang memberikan
pelajaran agama Islam, yakni kurang dari setengah persen perminggu.49

Pada masa awal kemerdekaan dan dengan terbentuknya Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan yang dijabat oleh Ki Hajar Dewantara memandang
bahwa pendidikan agama hanya sebagai pendidikan budi pekerti dan tidak setuju
dengan pendidikan agama sebagai pengantar fikih secara umum dalam agama Islam.
Atas pandangan ini, pada tanggal 27 Desember 1945, Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat mengadakan pembicaraan tentang garis besar pendidikan nasional yang
menghasilkan rumusan bahwa pelajaran agama pada semua sekolah diberikan pada
jam tertentu, guru dibayar pemerintah, pada sekolah dasar diberikan mulai kelas 6,
dilaksanakan seminggu sekali pada jam tertentu, guru diangkat oleh Departemen

48
Yusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 49.
49
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun
Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), 89.

97
Agama, guru agama harus cakap dalam pendidikan umum, penyediaan buku agama
oleh pemerintah, pelatihan bagi guru agama, perbaikan kualitas pesantren dan
madrasah dan bahasa Arab dinilai tidak dibutuhkan.50 Atas rumusan ini, maka pada
tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama. Meskipun pada masa
kolonial ada kantor agama, namun tidak mengurusi bidang pendidikan dan hanya
mengurus perkara Pribumi. Peraturan pertama kali tentang pendidikan agama di
sekolah tertuang dalam UU Pendidikan tahun 1950 no. 4.51

4. Madrasah

Kata ‘madrasah’ dapat diartikan sebagai suatu sistem dan sebagai suatu nama
bagi lembaga pendidikan dalam Islam. Pengelolaan pendidikan Islam dengan sistem
madrasi (madrasah) memungkinkan cara pembelajaran secara klasikal. Hal ini
berbeda dengan cara yang berkembang di pondok pesantren yang semula telah
membaku, yakni bersifat individual seperti terdapat pada sistem sorogan dan
wetonan. Pengelolaan sistem madrasi juga memungkinkan adanya pengelompokan
pelajaran-pelajaran tentang pengetahuan Islam yang penyampaiannya diberikan
secara bertingkat-tingkat. Pengelompokan ini sekaligus memperhitungkan rentang
waktu yang dibutuhkan. Kalau dibahasakan secara tehnis pendidikan sekarang, maka
sistem madrasi mengorganisasikan kegiatan pendidikan dengan sistem kelas-kelas

50
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun
Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), 91.
51
Peraturan bersama Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dengan
Departemen Agama yang dikeluarkan pada tanggal 20 Januari 1951 menetapkan bahwa; pertama,
pendidikan agama diberikan mulai kelas 6 Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu; kedua, pada
wilayah yang Islamnya kuat, pelajaran agama dimulai pada kelas 1 dengan tambahan 4 jam per
minggu; ketiga, di sekolah menegah pertama pelajaran agama diberikan 2 jam per minggu yang sesuai
dengan agama murid; keempat, untuk mata pelajaran ini, harus hadir sekurang-kurangnya 10 murid
untuk agama tertentu; kelima, selama berlangsung pelajaran agama, murid yang beragama lain boleh
meninggalkan ruang belajar. Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran ditetapkan oleh Menteri
Agama dengan persetujuan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Karel A. Steenbrink,
Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), 92.

98
berjenjang dengan waktu yang ditentukan untuk menyesuaikan pelajaran sudah
dipolakan. 52

Sedangkan sebagai suatu nama lembaga pendidikan Islam seperti adanya


Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah atau Madrasah Diniyah. Dalam hal ini
madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses
pembelajaran. Ini berarti bahwa di madrasah anak-anak menjalankan proses belajar
secara terarah, terpimpin dan terkendali. Secara teknis madrasah menggambarkan
proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya saja
dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi khusus. Anak-anak memperoleh
pelajaran seluk-beluk agama dan keagamaan sehingga pemakaian istilah madrasah53
lebih dikenal sebagai sekolah agama.

Madrasah juga dipandang sebagai sekolah umum yang bercirikan agama


Islam dengan tanggung jawabnya mencakup sebagai; pertama, lembaga pencerdasan
kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat muslim; kedua, pelestarian budaya ke-
Islaman masyarakat muslim; ketiga, lembaga pelopor bagi peningkatan kualitas
masyarakat muslim Indonesia.54 Oleh karena itu, madrasah perlu dikembangkan

52
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1999), 22-23.
53
Di Aceh, madrasah diistilahkan dengan meunasah, yakni tingkat pendidikan Islam terendah.
Meunasah sendiri merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap kampung atau desa tanpa memiliki
jendela atau bagian-bagian lain. Bagian ini berfungsi sebagai tempat belajar dan diskusi atau
musyawarah yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan sekaligus tempat
bermalam laki-laki yang belum beristri. Meunasah juga merupakan tempat shalat berjamaah. Fungsi
lain adalah ; pertama, sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyaluran
penyelesaian perkara agama, musyawarah dan penerima tamu. Kedua, sebagai lembaga pendidikan
Islam yang mengajarkan membaca al-Qur an. Pengajian bagi orang dewasa dilakukan malam hari
tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian pada hari jumat dipakai oleh ibu-
ibu untuk shalat zuhur berjamaah yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru
perempuan. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 284. Lihat Juga: Abuddin Nata, ed., Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Grasindo, 2000), 42.
54
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005), 209.

99
peran dan fungsinya agar pembinaan peserta didik dapat berlangsung optimal, tentu
dengan manajemen dan kepemimpinan madrasah yang baik. Dengan demikian, dapat
merespon perubahan desentralisasi pendidikan. Hanya saja, kalau di langgar atau
masjid mupun pesantren hanya diajarkan masalah-masalah keagamaan, maka di
madrasah telah mulai ditambahkan pelajaran tentang ilmu-ilmu umum seperti
anatomi, matematika dan lain-lain. Tingkatnya terdiri dari tingkat dasar, menengah
pertama dan menengah atas, ibtdaiyah, tsanawiyah dan aliyah. Sistem pendidikan
langgar, masjid, pesantren maupun madrasah ini masih tetap eksis hingga sekarang.

Madrasah memiliki sejarah panjang sebagai lembaga pendidikan Islam di


Indonesia. Keberadaan madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di
Indonesia. Madrasah tumbuh dan berkembang bersifat nonformal berkembang
menjadi lembaga pendidikan Islam yang bersifat formal berupa madrasah dari bawah,
dalam artian tumbuh dari umat Islam sendiri yang terdorong oleh rasa tanggung
jawab untuk mengamalkan ajaran Islam kepada generasi muda. Pengajaran di
lembaga madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu
Islam. 55 Kehadiran madrasah itu sendiri merupakan proses lanjutan dari pendidikan
masjid. Dalam kontek Indonesia, lembaga pendidikan madrasah merupakan miniatur
dari lembaga pendidikan madrasah Timur Tengah masa modern atau bahkan
merupakan lembaga persekolahan yang karena pengaruh barat yang diisi secara
dominan dengan kurikulum keagamaan. Meskipun demikian karena pengaruh politik
penjajah, sekolah dan madrasah dipandang sebagai pendidikan yang berbeda secara
dikotomi, sekolah bersifat sekuler dan madrasah bersifat Islam. Oleh karena itu pada
masa awal kemerdekaan, perkembangan madrasah di Indonesia mengalami konflik,
yakni di satu pihak pemerintah ingin menjadikan sebagai lembaga pendidikan
nasional dengan menambah muatan-muatan nonkeagamaan dan di lain pihak

55
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 35.

100
kalangan madrasah merasa khawatir akan fungsi pendidikan keagamaan jika
madrasah dimasukkan ke dalam jajaran pendidikan nasional.56

Proses kehadiran madrasah di Nusantara berlangsung seperti halnya di


Makkah, khususnya pada saat masuknya Islam di Jawa. Hal ini tidaklah aneh karena
kebanyakan tenaga pengajarnya keluaran dari perguruan di Makkah yang dilakukan
secara tradisional pula. Itulah sebabnya, pada umumnya pendidikan Islam di Jawa
berpusat pada pendidikan membaca huruf arab dengan tujuan dapat membaca al-Qur
an. Sesudah itu mereka diberi pelajaran bahasa seperti nahwu dan sharaf. 57 Setelah
lancar membaca al-Qur an dan memahami bahasa arab serta hukum-hukum Islam
bagi yang mampu melanjutkan kajian ke madrasah untuk memperdalam ilmu
keagamaan.58

Mengenai proses transformasi dari masjid ke madrasah, ada beberapa teori


seperti yang dikemukakan George Makdisi dimana ia berkesimpulan bahwa
perpindahan lembaga pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak
langsung, tapi melalui tahapan perantara yakni Masjid Khan.59 Teori ini
mempertimbangkan lembaga masjid khan sebelum lembaga-lembaga madrasah
berkembang secara luas pada abad pertengahan. Dalam kasus madrasah Nizamiyah
beliau mengemukakan bahwa asal muasal pertumbuhan madrasah merupakan hasil
dari tiga tahap; masjid, masjid khan dan madrasah. Tahap masjid berlangsung pada

56
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), 7-8.
57
Van Nieuwenhuijze, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia (The Hague and Bandung:
Van Hoeve Ltd., 1958), 42-43.
58
M. Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia, Membongkar Marjinalisasi Peran
Islam Dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (Jakarta: Sumbangsih Press, 2005), 7.
59
Istilah khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dengan jumlah yang
banyak dan digunakan sebagai sarana komersial yang memiliki toko-toko. Namun selain itu, khan
digunakan juga sebagai asrama untuk pelajar dari luar kota yang ingin belajar di masjid di
lingkungannya. Khan juga dapat digunakan sebagai sarana belajar privat. Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 59.

101
abad ke-8 hingga abad ke-9. Namun masjid dalam kontek ini bukanlah masjid yang
berfungsi sebagai tempat jama’ah shalat bagi seluruh penduduk kota. Masjid ini
biasanya diatur oleh negara dan tidak terbuka untuk pendidikan agama bagi umum.
Masjid yang dimaksud sebagai tempat pendidikan adalah masjid biasa yang
digunakan selain untuk shalat juga majlis ta’lim (pendidikan). Adapun tahap masjid
khan adalah masjid yang dilengkapi dengan bangunan asrama atau pondok yang
bergandengan dengan bangunan masjid. Masjid ini menyediakan tampat penginapan
bagi pelajar yang datang dari luar kota. Tahap ini mencapai perkembangan pada abad
ke-10. Sedangkan tahap madrasah yang merupakan lembaga yang dikhususkan untuk
lembaga pendidikan. Dengan demikian madasah merupakan lembaga penyatuan
lembaga masjid biasa dengan masjid khan. Komplek ini terdiri dari tempat belajar,
ruang pemondokan dan masjid sebagai sarana shalat berjama’ah.60

Adapun menurut Ahmad Syalabi menyatakan bahwa perkembangan dari


masjid ke madrasah terjadi secara langsung dan tidak melalui lembaga perantara.
Perkembangan madrasah dapat dikatakan sebagai kosekuensi logis semakin ramainya
kegiatan pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah tempat ibadah. Untuk
tidak mengganggu kegiatan ibadah di masjid, maka dibuatlah bangunan maupun
tempat khusus yang dikenal dengan madrasah.61 Hanya saja masjid yang dimaksud
telah mengalami modifikasi dengan penambahan serambi-serambi belajar dan
tempat-tempat pemondokan bagi mereka yang datang dari jauh. Kemungkinan situasi
inilah yang dimaksud Makdisi sebagai masjid khan. Akan tetapi, bagaimanapun
adanya pondok tempat penginapan merupakan suatu proses setelah para peserta didik
bertambah atau berdatangan dari luar kota. Namun sebelumnya hanyalah bangunan
masjid semata-mata tanpa adanya tempat penginapan. Syalabi mengemukakan bahwa

60
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), 57-58.
61
Ahmad Shalabi, History of Muslim Education (Beirut: Dār al-Kashshāf, 1954), 257-259.

102
sejak awal Islam banyak orang berminat untuk mempelajari Islam. Bertambah tahun,
maka semakin banyak orang yang menghadiri pertemuan untuk belajar ilmu. Dari
setiap kelompok pertemuan terdengar suara dari seorang guru yang memberikan
pelajarannya dan dari suara-suara peserta didik yang bertanya dan saling berdebat
mengakibatkan terjadinya suara gaduh dari kelompok-kelompok tersebut. Dengan
demikian akan mengganggu pelaksanaan ibadah di masjid tersebut dan sangat tidak
memungkinkan untuk menyatukan suatu tempat ibadah sekaligus tempat belajar.62

Demikian halnya di Nusantara periode sebelum kemerdekaan yang mana


bentuk pendidikan Islam berupa madrasah merupakan pengembangan dari pendidikan
dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian al-Qur an dan pengajian kitab
yang di selenggarakan di rumah-rumah, surau, langgar, masjid-masjid, pesantren
maupun di tempat lainnya. Pada perkembangan selanjutnya lembaga pendidikan
tersebut mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran,
metode maupun struktur organisasinya sehingga melahirkan suatu bentuk yang baru
yang disebut madrasah. Dalam hal ini, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
berfungsi menghubungkan sistem lama dan sistem baru dengan jalan
mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan dapat dipertahankan dan
mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat
bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya
adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelumnnya
ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang sering disebut dengan ilmu-ilmu
umum.63

62
Ahmad Shalabi, History of Muslim Education (Beirut: Dār al-Kashshāf, 1954), 113.
63
Muhammad Daud Ali, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), 49.

103
Lembaga pendidikan Islam berupa madrasah merupakan lembaga pendidikan
dengan sistem madrasi. Menculnya sistem pendidikan ini didorong oleh beberapa hal
yakni; keinginan untuk kembali kepada al-Qur an dan Hadis, semangat nasionalisme
dalam melawan penjajahan Belanda, memperkuat basis gerakan sosial, budaya dan
politik dan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.64 Akan tetapi dari beberapa
faktor ini tidak secara terpadu mendorong timbulnya pembaruan Islam melainkan
beberapa faktor saja. Khususnya mengenai sistem pendidikan Islam madrasi lahir dari
gerakan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia yang memandang perlu akan ilmu-
ilmu umum guna mempersiapkan para lulusannya untuk dapat bersaing dengan
lulusan sekolah-sekolah yang didirikan Belanda. Kemunculan dan perkembangan
madrasah ini tidak lepas dari gerakan pembaruan Islam yang diawali oleh usaha
sejumlah tokoh intelektual agama Islam yang kemudian dikembangkan oleh
organisasi-organisasi Islam, baik di Jawa, Kalimantan maupun Sumatera.65 Para
pemikir pembaruan ini menilai bahwa pendidikan yang hanya berorienasi pada
pendidikan agama yang dilakukan di langgar, masjid maupun di pesantren kurang
memberi perhatian pada masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena
itu, untuk melakukan pembaruan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat,
langkah strategis yang dilakukan adalah dengan memperbarui sistem pendidikannya.
Pemikiran ini juga didasari oleh kebijakan pendidikan Pemerintah Hindia Belanda
dengan orientasinya yang dikenal dengan 3G, yakni Glory (kemenangan dan
kekuasaan), Gold (emas yang identik dengan kekayaan), dan Gospel (upaya salibisasi
terhadap umat Islam di Nusanrtara).66

64
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 25-26.
65
Khusus mengenai pembaruan Islam termasuk pendidikannya dapat ditelusuri dalam karya
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995).
66
H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), 94.

104
Dalam menyebarkan misinya Belanda mendirikan sekolah-sekolah kristen
seperti di Ambon, Batavia dan wilayah lain Nusantara. Pada perkembangan
selanjutnya awal abad ke-20 Pemerintah Hindia Belanda memperluas sekolah desa,
meskipun hanya terbatas diperuntukkan bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun
pada masa berikutnya sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan
biaya yang murah, walaupun kenyataannya mahal. Atas kebijakan ini pendidikan
Islam mendapat tantangan yang berat dikarenakan sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah dilaksanakan dan dikelola secara modern, terutama dalam hal
kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana dan lain-lain. Perkembangan sekolah
yang demikian jauh lebih merakyat dan menyebabkan timbulnya ide-ide di kalangan
intelektual Islam untuk memberikan respon dan jawaban atas gejala tersebut dengan
tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide ini tidak hanya muncul dari tokoh-
tokoh yang berpendidikan dari Timur Tengah, bahkan alumni pendidikan barat.
Mereka mendirikan lembaga pendidikan, baik secara kelompok maupun perorangan
yang dinamakan madrasah maupun sekolah. Madrasah-madrasah maupun sekolah-
sekolah tersebut adalah:

a) Madrasah (Adabiyah School) didirikan tahun 1907 oleh Syeikh Abdullah Ahmad
di Padang Panjang.67 Akan tetapi, keberadaan sekolah ini tidak berjalan lama
karena mendapat reaksi keras dari masyarakat tradisional ketika itu. Setelah dua
tahun berjalan sejak didirikan, maka sekolah ini ditutup. Langkah yang diambil
atas penutupan madrasah ini adalah dengan melakukan studi kelayakan pada
madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah di Singapura dan mendapat ide-ide baru dari
Syekh Taher Djalaludin, maka pada tahun 1909 kembali didirikan sekolah yang
sejenis dengan nama Perguruan Adabiyah oleh Syekh Abdullah Ahmad.
Perguruan ini merupakan madrasah sekolah agama hingga tahun 1914 yang

67
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah
Era Awal dan Indonesia (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), 94.

105
kemudian pada tahun 1915 mendapat pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda
dan berubah menjadi Hollands Inlandsche School pertama di Minangkabau.68HIS
ini berbeda dengan HIS yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang
tidak memasukkan pelajaran agama. Pada HIS yang berasal dari Perguruan
Adabiyah pelajaran agama tetap mendapat porsi dalam kurikulumnya. Hanya
saja dalam perjalanannya perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap sekolah
ini sangat kecil. Pendidikan umum lebih ditekankan daripada pendidikan agama
karena pendidikan umum lebih diminati. Akan tetapi, lembaga pendidikan HIS
Adabiyah ini memiliki pengaruh tersendiri atas berdirinya lembaga pendidikan
Islam modern yang tidak hanya terbatas pada tingkat dasar, namun juga tingkat
menengah pertama, menengah atas bahkan hingga sekolah tinggi dengan
berbagai nama dan bentuknya.

b) Madrasah Diniyah School. Madrasah ini didirikan oleh Zainuddin Labai al-
Yunusi pada tanggal 10 oktober 1915 di Padang Panjang. Pengajaran dilakukan
pada sore hari dengan mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum. Sekolah ini
merupakan sekolah agama pertama yang dilaksanakan dengan sistem pendidikan
modern seperti penggunaan alat tulis, peraga maupun media lainnya.69 Melalui
lembaga pendidikan ini Zainuddin Labai melakukan pembaruan dengan
melaksanakan sistem klasikal dan memberi pengetahuan umum selain
pengetahuan agama. Beliau terinspirasi dengan sekolah Mesir modern. Sekolah
ini merupakan sekolah tingkat rendah setingkat HIS yang didirikan Pemerintah
Hindia Belanda namun dengan muatan agama Islam.

c) Madrasah Muhammadiyah. Madrasah ini didirikan oleh organisasi


Muhammadiyah dengan tokohnya KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1918.

68
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 74.
69
Hayati Nizar, Analisis Historis Pendidikan Demokrasi di Minangkabau dalam Majalah
Hadlarah, edisi Februari, 143.

106
Organisasi Muhammadiyah sendiri didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta.
Motif utamanya adalah menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada penduduk
Bumiputra dan memajukan agama Islam. 70 Pendirian Muhammadiyah melakukan
kegiatan seperti; pertama, melakukan kegiatan tabligh yakni pengajaran agama
pada kelompok orang dewasa dalam suatu kursus yang teratur; kedua,
mendirikan sekolah swasta menurut model pendidikan gubernemen dengan
menambah beberapa jam pelajaran agama perminggu; ketiga, untuk membentuk
kader organisasi dan guru-guru agama dengan cara mendirikan pondok
Muhammadiyah seperti Norma Islam di Padang. Sedangkan cita-cita
pendidikannya adalah; pertama, baik budi, alim dalam agama; kedua, luas
pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia dan ; ketiga, bersedia untuk memajukan
masyarakat dengan menerapkan dua sistem pendidikan, yakni sekolah dengan
mengikuti pola pemerintah yang ditambah dengan pengajaran agama dan
madrasah yang lebih banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama. Jenis madrasah
yang dibangun adalah Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin/Mualimat,
Mubalighin/Mubakighat dan Madrasah Diniyah. 71

d) Sumatera Thawalib. Lembaga pendidikan Islam ini merupakan lembaga


pendidikan surau yang pertama dengan menggunakan sistem kelas yang dipimpin
oleh Abdul Karim Amrullah pada tahun 1921. Pada tahun yang sama diikuti
dengan berdirinya Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi yang dipimpin oleh
Ibrahim Musa. Cikal bakal Madrasah Thawalib adalah Surau Jembatan Besi yang
didirikan oleh Abdullah Ahmad sekembalinya beliau dari Mekkah. Sistem yang
digunakan umumnya sama dengan surau-surau lain di Minangkabau. Berbeda

70
Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Indonesia, Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam Dunia Islam dan Indonesia (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), 204.
71
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 78-
79. Lihat juga: A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1999), 71.

107
dengan Diniyah School, Thawalib belum menambah pelajaran umum, namun
sudah menggunakan literatur klasik dan modern.72

e) Madrasah-madrasah lain di Sumatera seperti Madrasah Sajadah Abdiyah di Sigli


yang didirikan oleh Teuku Beureuh pada tahun 1930. Madrasah Darul Huda
didirikan pada tahun 1934. Madrasah Al-Mualim di Biereun didirikan pada tahun
1930. Madrasah Adam dan Ma’had Iskandar Muda di Lampung. Madrasah
Normal Islam berupa sekolah agama bercirikan umum yang dipimpin oleh M.
Nur Al-Ibrahim. Di Sumatera bagian Timur terdapat Madrasah Masrurah berdiri
tahun 1912 dan Madrasah Azizah berdiri pada ahun 1918. Di Medan terdapat
organisasi dengan nama Al-Jamiatu Washiliyah yang didirikan oleh para pelajar
Maktab Islamiyah Tapanuli dengan ketuanya Ismail Banda didirikan pada tahun
1913 yang kemudian berubah menjadi Madrasah Mustafawiyah Purbabaru
Tapanuli. Di Jambi berdiri madrasah Nurul Islam pada tahun 1941 dan beberapa
madrasah setelah kemerdekaan seperti madrasah As’ad berdiri pada tahun 1952
dan Madrasah Sa’adatud Darain berdiri pada tahun 1957. Di Palembang terdapat
Madrasah al-Qurainah berdiri tahun 1920 yang dipimpin oleh KH. Abu Bakar al-
Basri. Madrasah Darul Funun yang didirikan tahun 1928 oleh Ibrahim. 73

f) Di Jawa terdapat beberapa madrasah seperti Madrasah Salafiyah. Selain di


Sumatera, di Jawa juga berkembang lembaga pendidikan Islam berupa madrasah
yang tergabung dalam lembaga pendidikan Pesantren Tebuireng Jombang di
Jawa Timur yang didirikan oeh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1916.
Pengajarannya dilakukan dengan sistem madrasi, namun pengajarannya
menitikberatkan pada ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Madrasah ini mirip
dengan madrasah yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah karena lebih

72
Elwis Nazar, Norma Islam di Padang 1931-1946 (Padang: IAIN IB Press, 2001), 67.
73
Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), 54.

108
mengutamakan pendidikan sosial, tabligh, kemanusiaan bahkan politik.
Madrasah lain seperti Madrasah Mathla’ul Anwar di Menes berdiri tahun 1910.
Madrasah Khairul Huda di Banten, Madrasah Masyarikul Anwar dan Nurul
Falah di Pandeglang. Madrasah Persatuan Umat Islam di Majalengka berdiri
tahun 1917. Madrasah Al-Khairiyah di Serang berdiri pada tahun 1925,
Madrasah Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi dan Madrasah Persatuan Islam di
Bandung berdiri pada tahun 1936. Di Yogyakarta terdapat madrasah Krapyak
yang didirikan oleh KH. Munawir. Di Solo didirikan Madrasah Mambaul Ulum
berdiri pada tahun 1905 yang didirikan oleh R. Hadipati Sosrodiningrat dan R.
Penghulu Tafsiruil Anam. Di Jawa Timur terdapat madrasah yang berada di
lingkungan pesantren berupa madrasah yang cukup terkenal seperti madrasah
Pesantren Rejoso Peterongan berdiri tahun 1927 dan madrasah pada Pondok
Modern Darussalam Gontor Ponorogo yang berdiri tahun 1926. Di Sulawesi
terdapat Madrasah Wajo Arbiyah Islamiyah yang berdiri tahun 1931 di Wojo,
Madrasah Amiriyah Islamiyah berdiri tahun 1933 di Wetampone dan Madrasah
Tarbiyah Islamiyah di Mangkoso berdiri pada tahun 1938 oleh Abdurrahman
Ambodale. Di Kalimantan terdapat Madrasah al-Najah wal Falah berdiri tahun
1918 di Sei, Madrasah al-Raudhatul di Pontianak pada tahun 1936 dan Madrasah
Normal Islam berdiri tahun 1928 oleh Abdul Rasyid ulama lulusan Al-Azhar
Kairo Mesir. Sedangkan di Nusa Tenggara Barat terdapat Madrasah Nadtul
Watan yang berdiri tahun 1939 di Lombok Timur Oleh KH. Zainuddin Pancor,
Madrasah al-Ittihad di Ampean Lombok Barat serta Madrasah Darul Ulum di
Sumbawa. 74

74
Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), 54.

109
B. Pendidikan Pergerakan Nasional

1. Motivasi Pendidikan

Pendidikan pergerakan nasional yang dimaksud dalam tulisan ini adalah


lembaga pendidikan yang lahir atas inisiatif tokoh-tokoh agama maupun tokoh
nasional Pribumi dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat Pribumi.
Lembaga pendidikan yang didirikan pun bervariasi, pendidikan yang hampir serupa
dengan pendidikan yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda juga pendidikan
yang berbasis agama, namun pada intinya pendidikan yang mereka dirikan adalah
pendidikan yang disesuaikan dengan budaya dan adat istiadat yang sudah lama eksis
di Hindia Belanda seperti agama Islam. Ada dua motif pendirian lembaga pendidikan
tersebut, yakni motivasi nasional75 dan motivasi keagamaan.

Motivasi nasional berupa; pertama, adanya sistem pendidikan kolonial yang


tidak diperuntukkan bagi semua anak-anak Pribumi, tapi terbatas pada anak Pribumi
dari kalangan elit dan anak Pribumi yang dicalonkan menjadi pegawai pemerintah
kolonial yang akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan berusaha menciptakan
sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan kepentingan rakyat Pribumi. Kedua,
adanya pendidikan kolonial yang intelektualistis dan individualistis, kurang
memperhatikan keterampilan dan kepentingan hidup bersama. Apalagi yang
diperlukan oleh sebagian besar rakyat adalah pendidikan untuk anak-anak petani dan
buruh yang nantinya dapat mengabdikan tenaganya untuk kepentingan masyarakat.
Ketiga, adanya diskriminasi pendidikan yang membedakan sekolah untuk anak
Belanda dan kulit putih lainnya yang serba cukup, sedangkan sekolah untuk anak
Pribumi kurang memadai dan dengan dana serta jumlah yang sangat terbatas, seperti

75
Staatsblad tahun 1932 No. 495. Ada pendapat dari kalangan elit Pemerintah Hindia Belanda
bahwa perlu toleransi terhadap sekolah-sekolah tersebut dan jika perlu didukung dengan alasan bahwa
hal itu merupakan prakarsa dari rakyat Bumiputra, lagi pula pemerintah sendiri tidak mampu
melaksanakan pendidikan dengan memuaskan.

110
ELS, HIS dan Volkschool. Keempat, perlawanan politik yang kurang berhasil
menimbulkan perlawanan lewat pendidikan untuk menanamkan benih-benih
nasionalisme kepada anak Pribumi sebagai penerus perjuangan bangsa. 76

Sedangkan motivai keagamaan berupa; pertama, mengembalikan ajaran Islam


kepada sumbernya, yakni al-Qur an dan as-Sunnah sebagaimana yang diamanatkan
Rasulullah saw. Oleh karena itu, pendidikan Islam diperluas secara modern serta
memperteguh keyakinan tentang agama Islam. Kedua, mendirikan sekolah agama
yang tidak hanya memberikan pelajaran-pelajaran keagamaan, tapi juga pengetahuan
umum dan berbagai bahasa nasional dan internasional. Ketiga, mengerjakan apa-apa
yang menjadi kemaslahatan agama Islam. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
tersebut diadakan berbagai usaha seperti memajukan dan memperbanyak pesantren
dan madrasah. Keempat, mempersiapkan calon-calon ulama yang tidak kaku
menghadapi masyarakat dengan menghasilkan mubaligh-mubaligh yang memiliki
kemampuan serta kesanggupan, menyiarkan, membela dan mempertahankan agama
Islam. 77

2. Lembaga Pendidikan

Kehadiran lembaga pendidikan yang merupakan upaya para tokoh nasional


maupun tokoh agama sebagai respon kebijakan pendidikan Hindia Belanda yang
tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat Pribumi telah menambah dan
memperkaya khasanah pendidikan di Hindia Belanda. Semangat nasionalisme yang
tinggi juga telah menginspirasi para pendiri dalam memajukan pendidikan bangsa
Pribumi. Pendidikan yang dilaksanakan tidak hanya disesuaikan dengan budaya dan
adat istiadat setempat, namun pendidikan ala barat sebagai pengetahuan umum juga

76
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), 147.
77
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), 148.

111
diterapkan. Beberapa lembaga pendidikan yang didirikan oleh para pergerakan
nasional tersebut adalah:

a) Taman Siswa

Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara78 pada tanggal 3 Juli 1922.
Pada mulanya Taman Siswa bernama Nation Onderwijs Instituut Taman Siswa dan
pertama kali didirikan di Yogyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya nama Taman
Siswa berubah menjadi Perguruan Kebangsaan Taman Siswa yang pada mulanya
hanya membuka Taman Anak dan Kursus Guru saja.79 Dengan didirikannya sekolah
Taman Siswa ini, maka pendekatan politik dikesampingkan. Meskipun antara
pengajaran dan politik tak dapat dipisahkan.80 Usaha untuk mendidik angkatan muda
dalam jiwa kebangsaan yang merupakan keinginannya pun terwujud. Gerakan ini
juga merupakan bagian penting dari pergerakan kemerdekaan Indonesia dan dianggap
sebagai dasar perjuangan meninggikan derajat rakyat. Sekolah ini juga dianggap

78
Lahir di Yogyakarta tanggal 18 Mei 1889. Putra dari KPH Suryaningrat, cucu dari
Pakualam III. Pada mulanya ia punya nama RM. Suwardi Suryaningrat. Pada usia 39 ia beganti nama
menjadi Ki Hajar Dewantara. Setelah menamatkan ELS ia melanjutkan pelajaran ke STOVIA. Karena
aktif di bidang politik, sekolah tersebut ditinggalkannya. Karena aktivitiasnya di bidang politik, beliau
di ekstradisi ke Belanda. Di sana beliau mempelajari tentang pendidikan dan pengajaran secara
mendalam.
79
Perkembangan selanjutnya diadakan pembagian berupa; (1) Taman Indriya, TK (untuk anak
5-6 tahun). (2) Taman Anak (untuk 7-10 tahun). (3) Taman Muda (untuk 11-13 tahun). (4) Taman
Dewasa (tingkat SMP). (5) Taman Madya (tingkat SMA). (6) Taman Guru B I, B II, B III dan Taman
Guru Indriya (khusus bagi putri tamatan Taman Dewasa (SMP). . Djumhur dan Danasuparta, Sejarah
Pendidikan (Bandung: CV. Ilmu, 1976), 177.
80
Hubungan gerakan politik dan sekolah-sekolah bangsa sendiri bahwa Taman Siswa dan
segala lapangan usaha sosial lainnya merupakan ladang atau sawah dimana orang memupuk apa yang
perlu bagi keperluan hidupnya. Sedangkan gerakan politik merupakan pagar yang melindungi ladang
dari gangguan binatang yang akan memakan dan menginjak-injak tunas-tunas tanaman. Abdurrachman
Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: PT.
Upima Utama Indonesia, 1986), 94.

112
Pemerintah Hindia Belanda sebagai lembaga yang bakal mengancam eksistensi
kolonialisasi di Hindia Belanda.

Kehadiran Taman Siswa ini dinilai sebagai titik balik dalam pergerakan
sosial masyarakat Indonesia. Dikatakan demikian karena gerakan ini bergerak dalam
bidang nasionalis, protes-protes dan bidang keagamaan.81 Karena kaum revolusioner
yang mencoba menggerakkan rakyat dengan semboyan-semboyan asing dan ajaran-
ajaran Marxis terpaksa memberikan tempat untuk gerakan baru yang bebar-benar
berasaskan kebangsaan dan bersikap nonkoperatif dengan pemerintah jajahan. 82 Sejak
delapan tahun berdirinya Taman Siswa, Ki Hjar Dewantara dan pembantu-
pembantunya bekerja secara diam-diam, yakni dengan tidak melayani kritik-kritik
dari masyarakat Pribumi sendiri maupun dari pihak Belanda dimana mereka
meremehkan usaha pendidikan tersebut. Namun secara teratur gagasan dan usaha
pendidikan yang hidup itu dijelaskan melalui majalah pendidikan saat itu. Hasilnya,
banyak sekolah yang telah berdiri terlebih dahulu kemudian menyerahkan sekolahnya
kepada Taman Siswa seperti sekolah Budi Utomo di Jatibaru Jakarta dan Sekolah
Rakyat di Bandung. Catatan resmi pemerintah Hindia Belanda mencatat bahwa pada
tahun 1930 di Jawa terdapat pusat-pusat kegiatan pemeliharaan kesejahteraan
penduduk yang diusahakan oleh bangsa sendiri, yakni yang diusahakan
Muhammadiyah, Indonesische Studieclub Surabaya dan Taman Siswa.

Atas gerakan-gerakan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda menaruh curiga


dengan pengajaran partikelir dan khawatir pengajaran akan disalahgunakan dan
dipakai untuk propaganda politik melawan kekuasaan. Banyak hambatan dan
halangan yang dikenakan terhadap guru-guru dan sekolah-sekolah, baik yang

81
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986), 224-225.
82
Reymond Kennedy, The Ageless Indies (New York: Greewood Press, 1942), 226.

113
berdasarkan agama Islam maupun sekolah partikelir. 83 Hambatan dan halangan
terhadap sekolah-sekolah partikelir yang dirasakan sejak tahun 1920-an merupakan
latar belakang perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, terlebih dengan
diberlakukannya ordonansi pendidikan. Perlawanan terhadap pengawasan sekolah-
sekolah pertikelir cukup berhasil di tahun 1932/1933 yang berhubungan erat dengan
perguruan Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara merupakan simbol perlawanan
masyarakat Indonesia melawan pembatasan usaha mendidik bangsa sendiri. Semua
ini berlatar belakang sejarah politik pengajaran Hindia Belanda.84 Meskipun
kecenderungan makin bertumbuhnya sekolah-sekolah partikelir tahun 1920-an,
namun sejak tahun 1880 mulai diberlakukannya peraturan bahwa orang-orang Eropa
yang akan mengajar kepada penduduk Pribumi di sekolah-sekolah pertikelir harus
mendapat izin dari kepala daerah. Terlebih dengan berdirinya sekolah guru di
Yogyakarta yang lebih mendorong pemerintah untuk mengawasi pengajaran oleh dan
untuk orang Pribumi. Kondisi inilah yang menjadi pertimbangan pemerintah sehingga
menghasilkan peraturan pengawasan terhadap sekolah partikelir tak bersubsidi, yang
diselenggarakan oleh orang Pribumi dan orang timur asing lainnya.85 Peraturan ini
lebih dikenal dengan Ordonansi Sekolah liar.86 Ordonansi ini telah menimbulkan

83
Uraian yang lebih luas tentang sekolah partikelir ini dapat disimak pada buku karya .
Suwarsih Djojopoespito, Manusia Bebas (Jakarta: Djambatan, 1980).
84
Dokumentasi resmi yang berhubungan dengan pertimbangan Pemerintah Hindia Belanda
dalam menghadapi sekolah-sekolah pertikelir terdapat dalam Dr. S.L. Van Der Wal, ed., Het
Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1940 (J.B. Wolters: Groningen, 1963).
85
Staatsblad Tahun 1923 No. 136.
86
Isi dari peraturan itu adalah memberi kuasa kepada alat-alat pemerintah untuk mengurus
wujud dan isi sekolah-sekolah swasta yang tidak dibiayai oleh negara. Sebelum membuka sekolah
swasta harus ada izin dari pemerintah, demikian guru-gurunya. Rencana pelajaran dan aturan-
aturannya juga harus sesuai dengan sekolah negeri. Tujuan dari peraturan ini adalah agar pemerintah
mendapat kepastian tentang bentuk dan sifat pengajaran yang luar biasa ini dan selalu dapat
mengetahui keadaan sekolah tersebut. Jika ternyata sekolah itu mengambil jalan yang membahayakan
ketertiban umum dapat segera ditutup. Untuk mencapai tujuan itu dilakukan pendekatan represif, yakni
calon guru yang akan mengajar ataupun sekolah yang akan didirikan wajib untuk melapor dan wajib
pula memberikan keterangan rinci mengenai maksud mereka kepada pejabat yang telah ditentukan.
Wewenang seorang guru dapat dibatalkan jika dalam prakteknya ditemui pengajaran yang berbahaya
bagi ketertiban umum.
114
reaksi yang luar biasa dalam masyarakat Indonesia. Beberapa bulan sejak
diberlakukannya dan protes oleh Ki Hajar Dewantara melalui telegram,87 berbagai
perkumpulan mengadakan rapat-rapat protes. Hal ini dianggap bertentangan dengan
asas Taman Siswa88 sendiri dan dinilai sebagai usaha Hindia Belanda untuk
mempersempit kesempatan belajar anak Pribumi di sekolah partikelir Pribumi. Protes
oleh 27 organisasi dari berbagai perkumpulan dan partai-partai kebangsaan ini ramai
mengisi koran-koran terbitan saat itu. Protes tersebut membuahkan hasil dengan
ditunda pemberlakukannya hingga 1924. Dengan demikian, perizinan diganti dengan
pemberitahuan/laporan saja atau dari sistem preventif diganti dengan represif.
Perubahan itu belum membuat rakyat puas. Mereka menginginkan ordonansi tidak
hanya diubah bahkan dicabut. Perlawanan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah

87
Isi telegram tersebut adalah: Gubernur Jenderal, Buitenzorg (Bogor). Ekselensi, ordonansi
yang dibuat dengan tergesa-gesa dan dijalankan dengan paksaan mengenai sendi tulangnya masyarakat
dan adab, dari rencana anggaran pengajaran dari pemerintah dibatalkan oleh Volksraad, seolah-olah
membuktikan kegelisahan dan kegetaran kami pada pemerintah, yang dengan sifat berbahaya salah
mengerti dan salah bertindak terhadap kepentingan hidup dan matinya rakyat. Kalau boleh saya
peringatkan bahwa makhluk yang tidak berdaya sekalipun secara naluri akan mempertahankan diri dan
demikian pula dengan kami dengan terpaksa akan mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya meskipun
tidak dengan kekerasan. SL. Van Der Wal, ed., Het Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1940
(J.B. Wolters: Groningen, 1963), 267
88
Tujuh Asas Taman Siswa; pasal 1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan dengan pengertian
usaha mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka dalam batas-
batas tujuan mencapai tertib damainya hidup bersama, dalam pasal 1 juga mengandung makna dasar
kodrat alam dengan pengertian bahwa mewajibkan guru-guru untuk berperan sebagai pemimpin yang
berdiri di belakang tapi mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak-anak didik
mewujudkan diri sendiri. Hal ini dikenal dengan semboyan tut wuri handayani. Selain itu juga guru
diharapkan dapat membangkitkan pikiran murid jika di tengah mereka dan memberi contoh jika di
depan muridnya; asas ketiga mengandung dasar kebudayaan dalam arti menyangkut kepentingan
sosial, ekonomi dan politik. Meniru gaya hidup barat akan menimbulkan kekacauan. Pendidikan barat
menekankan pada kecerdasan pikiran tapi melanggar asas kodrati yang ada dalam budaya sendiri
sehingga tidak menjamin keselarasan; asas keempat mengandung dasar kerakyatan dengan pengertian
bahwa bagaimanapun tingginya pengajaran tidak akan berguna jika hanya diberi kepada sebagian kecil
orang. Oleh karena itu, daerah pengajaran harus diperluas dan pada usia tertentu diwajibkan mengikuti
pendidikan; asas kelima adalah asas yang sangat penting bagi semua orang yang ingin mengejar
kemerdekaan hidup sepenuhnya dengan asas pokoknya adalah percaya kepada kekuatan sendiri untuk
tumbuh; asas keenam berisikan persyaratan dalam mengejar kemerdekaan dengan jalan keharusan
untuk membiayai sendiri segala usaha; sedangkan asas ketujuh yang mengharuskan adanya keikhlasan
lahir batin bagi guru untuk mendekati anak didiknya. Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar
Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama
Indonesia, 1986), 88-89.

115
liar ini merupakan masa gemilang bagi sejarahnya, yang berarti mempertahankan hak
menentukan diri sendiri bagi rakyat Pribumi.

Adapun metode pengajaran yang diterapkan oleh Perguruan Taman Siswa89


bahwa pada tahun-tahun permulaan anak didik sebanyak mungkin dibiasakan dengan
suasana rumah serta lingkungan sendiri. Dasar bahasa dan alam pikiran sendiri
ditanamkan sekuat-kuatnya melalui nyayian dan permainan anak-anak sebelum anak
didik mendapat pengajaran dalam bahasa asing. Pendidikan diberikan untuk
menyiapkan rasa kebebasan dan tanggung Jawab agar anak-anak berkembang
merdeka dan menjadi orang yang serasi, terkait erat dengan milik kebudayaan sendiri
dan dengan demikian terhindar dari pengaruh yang tidak baik dan tekanan hubungan
kolonial, seperti rasa rendah diri, ketakutan, kebencian, keseganan dan tiruan yang
membuta. Selain itu anak dididik untuk menjadi putra untuk menjadi putra tanah air
yang setia dan bersemangat dan dengan patriotisme Indonesia memiliki rasa
pengabdian tinggi bagi nusa dan bangsa.

Guna menerapkan dasar tersebut dikembangkan sistem pondok Indonesia.


Murid laki-laki dan perempuan tinggal bersama guru pria dan wanita dalam satu
asrama. Tiap bagian perguruan harus diketuai oleh guru yang telah berkeluarga, yang
bertugas untuk memelihara suasana kekeluargaan. Murid yang lebih tua, disamping
kebebasannya yang luas dalam menggunakan waktu bebas, diberi tanggung Jawab
untuk melaksanakan tugas dalam bagian masing-masing. Sistem ini membawa serta
koedukasi yang diharapkan memberi pengaruh baik kepada anak-anak laki dengan
hadirnya anak-anak perempuan dalam kelas dan lingkungannya. Untuk anak-anak
pengajaran dengan koedukasi dilaksanakan dengan sempurna, sedangkan untuk anak
dewasa dilakukan dengan penuh kebijaksanaan. Kepada gadis-gadis diterangkan

89
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986), 94-96.

116
bahwa tugas mereka di masa depan sebagai contoh ibu akan berbeda dengan laki-laki.
Oleh karena itu mereka harus mengembangkan bakat-bakat sendiri secara serasi.

Sangat penting adalah masa tiga tahun pertama bagi anak-anak, yakni Taman
Indriya, dimana pengajaran diberikan dalam bahasa sendiri. Pengajaran terdiri dari
banyak sekali permainan dan nyanyian nasional yang diberikan guru-guru wanita
sehingga anak merasa dengan kehidupan rumah sendiri. Di kelas tinggi baru
diberikan bahasa Belanda namun tidak melupakan kesenian dan kesusastraan sendiri.
Agama diajarkan sebagai milik manusia yang paling berharga. Tiap murid
diperbolehkan menganut agama orang tuanya dan penghinaan terhadap agama lain
dilarang. Kerja tangan diagungkan dan merupakan bagian utama dalam pendidikan.
Seluruh pengajaran dilaksanakan tanpa bantuan pemerintah. Taman Siswa
membuktikan dapat membiayai sendiri seluruh usahanya dan dengan itu ditanamkan
rasa percaya kepada diri sendiri dan rasa kemerdekaan. 90

b) Muhammadiyah

Perkumpulan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 di


Yogyakarta oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan.91 Perkumpulan ini merupakan pelopor

90
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986), 96.
91
Dilahirkan pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis. Orang tuanya bernama K.H
Abubakar bin Kiyai Sulaiman, seorang khatib di masjid sultan di Yogyakarta. Beliau berasal dari
keluarga elit kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah anak H. Ibrahim, seorang penghulu. Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar di bidang nahwu, fiqh dan tafsir, KH. Ahmad Dahlan berangkat ke
Mekkah tahun 1890 dan belajar selama satu tahun di sana. Salah seorang gurunya adalah Syeikh
Ahmad Khatib. Pada tahun 1909 ia sempat masuk perkumpulan Budi Utomo dengan harapan dapat
meluaskan syiar agama melalui khotbah tentang pembaruan kepada para anggotanya, namun banyak
para pendukung yang mendesak ia untuk mendirikan organisasi sendiri. Oleh karena itu, pada tahun
1912 ia mendirikan Muhammadiyah yang memusatkan perhatian pada usaha pendidikan dan dakwah.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995), 84-95. Lihat
juga: George Mc.Turman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980), 109.

117
pembaharuan pengajaran agama Islam di Hindia Belanda.92 Pergerakan ini berusaha
mendirikan sekolah sebanyak-banyaknya karena sadar akan pendidikan yang
didirikan Hindia Belanda terbatas pada kalangan tertentu saja. Dengan tekad
mengembalikan ajaran Islam kepada sumbernya Al-Qur an dan As-Sunnah, KH.
Ahmad Dahlan mengajarkan pengajaran Islam modern di mana-mana. Tujuannya
adalah memperluas dan mempertinggi pendidikan agama Islam secara modern, serta
memperteguh keyakinan tentang agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah-
sekolah yang tersebar di seluruh wilayah Hindia Belanda di bawah pimpinan Majelis
Pengajaran.

Berdirinya Perkumpulan Muhammadiyah93 ini dilatarbelakangi oleh dua


faktor, yakni faktor ekstern dan intern. Faktor internnya adalah yang berhubungan
dengan pribadi KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri. Faktor eksternnya adalah hal-hal
yang terjadi di luar pribadi KH. Ahmad Dahlan yang meliputi aspek sosial,
keagamaan, pendidikan dan politik bangsa. Realitas sosial keagamaan terdiri dari dua
aspek, yakni masalah internal umat Islam sendiri dalam melaksanakan ajaran Islam

92
Sekolah Rakyat pertama kali didirikan adalah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah pada
tahun 1911 dengan menggabungkan sistem pendidikan Barat dan Pesantren. Pada awalnya hanya
memiliki 9 orang murid dari keluarga sendiri. Setengah tahun kemudian bertambah 20 orang. Seiring
dengan bertambahnya murid maka beberapa bulan kemudian ia mendapat bantuan seorang guru dari
Budi Utomo bernama Kholil. Melalui lembaga pendidikan ini diharapkan melahirkan individu dengan
basis keilmuan Islam mendalam seperti yang dimiliki produk pesantren dan basis keilmuan modern
yang dimiliki oleh produk pendidikan Barat. Saifullah, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam
Masyumi (Jakarta: Gramedia. 1997), 73.
93
Ada lima langkah yang dilaksanakan KH. Ahmad Dahlan sebelum mendirikan perkumpulan
ini, yakni: (1) berdiskusi dengan guru-guru Kweekschool; (2) berdiskusi dengan orang-orang dekat
untuk mencari nama yang tepat bagi organisasi yang akan didirikan; (3) mengajukan permohonan
kepada Budi Utomo agar mengusulkan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
perkumpulan Muhammadiyah; (4) mengadakan rapat-rapat persiapan peresmian berdirinya; (5)
memproklamirkan berdirinya Muhammadiyah. Sudarno Shobron, Penyunting, Studi
Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi (Surakarta: LPID UMS, 2008), 68-
69.

118
yang tidak lagi murni yang sesuai dengan al-Qur an dan as-Sunnah, penuh dengan
bid’ah dan khurafat dan tahayul. Sedangkan aspek eksternal yang berhubungan
dengan penetrasi atas misi Kristen. Realitas sosial pendidikan berupa sistem
pendidikan yang bersifat dikotomik, pendidikan tradisional pesantren dan pendidikan
modern barat. Oleh karena itu, pendidikan yang dilaksankan merupakan perpaduan di
antara kedua sistem pendidikan tersebut, yakni semangat Islam dan Barat dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Realitas politik bangsa yang dapat dibagi atas
dua masa, yakni sebelum dan sesudah Snouck Hurgronje menjabat sebagai Penasehat
Pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Pada periode pertama Pemerintah Hindia
Belanda menerapkan kebijakan agar umat Islam tidak berontak dengan mempersulit
pengamalan ajaran Islam. Periode kedua, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan
kebijakan ganda, satu pihak memberi kebebasan beragama terutama ibadah mahdhah,
di lain pihak melarang kegiatan yang bersifat percerdasan dan kesadaran politik.

Sekolah yang didirikan Muhammadiyah selain memberikan pendidikan


agama Islam juga memberikan pelajaran sebagaimana yang ada di sekolah
pemerintah. Selain mendirikan sekolah-sekolah, 94 perkumulan ini juga memperluas
pengajian-pengajian, menyebarkan bacaan-bacaan agama, mendirikan masjid-masjid,
madrasah dan pesantren. Selain itu juga di bidang sosial kemasyarakatan seperti
rumah sakit, panti asuhan dan sarana sosial lainnya. Karena memberi pelajaran yang

94
Pada zaman Hindia Belanda, Muhammadiyah menyelenggarakan bentuk sekolah seperti
Bustanul Atfal, Sekolah Desa (Volksschool), Sekolah Kelas II, Schakel School, HIS, MULO, Inheemse
MULO, Normal School, Kweekschool, Standard School, ELS, HCS dan AMS. Sekolah agama
meliputi SD dengan dasar Islam, Tsanawiyah (SMP dengan dasar Islam), Diniyah (hanya memberikan
pelajaran agama saja), SGB Islam dan SPG Islam, Sekolah putri (Aisyiah) dan Sekolah untuk orang
tua. Sebelum terbentuknya Organisasi Muhammadiyah madrasah pertama kali dibangun adalah
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah pada tahun 1911 oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan
menggabungkan pendidikan Islam dan Pendidikan Barat. Alfian, Muhammadiyah: The Political
Behaviour of a Muslim Modernist Organization under Dutch Colonialisme (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1989), 190. Lihat juga: Sudarno Shobron, (Penyunting), Studi Kemuhammadiyahan,
Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi (Surakarta: LPID UMS, 2008), 59.

119
sama seperti di sekolah pemerintah, selain agama Islam, maka sekolah-sekolah
Muhammadiyah banyak yang mendapat subsidi dari pemerintah. Selain itu,
organisasi Muhammadiyah ini dikenal sebagai organisasi yang paling aktif melawan
misi kristenisasi di tanah air.95

c) Nahdlatul Ulama

Organisasi Nahdlatul Ulama adalah salah satu organisasi keagamaan yang


terbentuk pada tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’ari bersama K.H.
Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama di Jawa Timur. K.H. Hasyim Asy’ari
menjadi Ketua Umumnya. Motif terbentuknya organisasi ini adalah sebagai usaha
untuk mempertahankan faham ahlussunnah waljama’ah yang pada saat itu terjadi
suatu peristiwa dimana khalifah Turki melepaskan jabatan khalifah dan Mesir
bermaksud mengadakan konferensi Islam internasional tahun 1924 namun terjadi
kekacauan dan Ibnu Sa’ud (berfaham wahabi bermazhab Hambali) menduduki
Mekkah dan Konferensi Internasional dilakukan atas prakarsa Ibnu Sa’ud, maka
kaum muslim di Indonesia membentuk komite yang akan menghadiri konferensi
tersebut. Namun wakil-wakil Islam Indonesia tersebut banyak berfaham Islam
reformis seperti Tjokroanimoto. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di pihak
ulama syafi’i (bermazhab Syafi’i) termasuk K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang
khawatir akan eksistensi mereka sebagaimana di Mekkah, maka bersama KH.
Hasyim Asy’ari dan kawan-kawan mendirikan Nahdlatul Ulama (kebangkitan para
ulama) pada tahun 1926 dalam rangka membela kepentingan muslim tradisional. Ide
pendirian organisasi ini merupakan hasil dari Komite Merembuk Hijas. Organisasi ini

95
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 3.

120
berpusat di Jawa Timur dan berkembang ke wilayah-wilayah lain Indonesia dengan
mendirikan pondok-pondok pesantren tradisional.96

Organisasi ini sangat cepat berkembang karena banyak guru-guru agama yang
bergabung. Mereka tergolong dalam kelompok Islam tradisionalis97 yang sangat anti
dengan kaum penjajah yang dianggap kaum kafir dan tidak patut untuk bekerjasama
maupun meniru cara-cara yang mereka praktekkan dalam segala hal. Sebagai reaksi
terhadap pendidikan yang diselengarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda, organisasi
ini mendirikan pondok pesantren di berbagai daerah. Pesantren pertama yang cukup
terkenal dan eksis hingga sekarang adalah Pesantren Tebuireng di Jombang Jawa
Timur. Sebagaimana seorang ulama yang pernah mukim dan menuntut ilmu di
Mekkah, pendiri Pondok Pesantren ini menerapkan sistem pendidikan yang
diselenggarakan di kota-kota di Timur Tengah, khususnya Mekkah.98 Oleh karena itu,
lembaga pendidikan yang diselenggarakan merupakan pendidikan Islam tradisional
dengan sistem sorogan, sepenuhnya mata pelajaran agama Islam dan tanpa klasikal
dan jenjang tertentu sebagaimana sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh
kelompok reformis.

Akan tetapi, sebelum terbentuknya Organisasi Nahdlatul Ulama, tokoh ulama


seperti KH. Wahab telah mendirikan madrasah bernama Nahdlatul Wathan pada
tahun 1916 di Surabaya. Madrasah ini diasuh oleh para ulama terkenal seperti KH.

96
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 65-68. M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Yogyakarta: Serambi, 2005), 268-269.
97
Islam yang masih terikat erat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fikih (hukum Islam),
hadis, tafsir, tauhid (teologi Islam) dan tasawuf yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES,
1994), 1. Lihat juga: Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama; Biografi KH. Hasyim Asy’ari
(Yogyakarta: LKiS, 2000), 106.
98
Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, Terjemahan: S. Gunawan (Jakarta: Bhratara
Karya Aksara, 1983), 28.

121
Mas Mansur dan kawan-kawan dan berkembang hingga di berbagai wilayah seperti
Semarang, Malang, Sidoarjo, Gresik, Lawang, Pasuruan dan wilayah lainnya. Selain
mendirikan madrasah, para ulama ini juga mendirikan pesantren seperti Tebuireng di
Jombang Jawa Timur. Pada saat KH. Ilyas menjabat Direktur Madrasah pada
Nahdlatul Wathan, baik madrasah maupun pesantren memasukkan pelajaran umum
seperti berhitung, sejarah, ilmu bumi, dan abjad latin dalam kurikulumnya.99

Dari uraian bab di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam pada masa
Pemerintah Hindia Belanda dapat dijumpai hampir di setiap desa di tanah air dalam
bentuk pengajian al-Qur an yang dilaksanakan di langgar atau masjid yang
mengajarkan cara membaca huruf Arab maupun pelaksanaan ibadah seperti shalat
dan wudu’. Bentuk pengajian ini merupakan pendidikan dasar dan seringkali dengan
banyaknya peserta dan dengan kemampuan guru yang tinggi menjadikan lembaga
tersebut sebuah pondok pesantren maupun madrasah. Pendidikan Islam juga
diselenggarakan di sekolah-sekolah umum yang didirikan oleh organisasi seperti
Muhammadiyah, Taman Siswa maupun sekolah partikelir lainnya yang didirikan atas
motivasi mencerdaskan rakyat Pribumi dari belenggu kebodohan dan penindasan.
Banyak lembaga pendidikan yang didirikan baik secara perorangan maupun melalui
organisasi yang didirikan menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat Bumiputra,
namun yang dianggap terbesar adalah Taman Siswa, Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama. Ketiga organisasi ini memiliki corak tersendiri dimana Taman Siswa bercorak
Nasionalis, Muhammadiyah bercorak modernis atau reformis, sedangkan Nahdlatul
Ulama bercorak tradisionalis. Meskipun berbeda corak pendidikan, namun
pengajaran agama merupakan pengajaran yang mereka anggap sangat penting untuk
diberikan kepada anak didik untuk menumbuhkembangkan aspek spritual di samping
intelektual.

99
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara: Mencari Isi, Bentuk dan Makna, terjemahan:
Lesmana (Yogyakarta: LkiS, 1999), 8

122
123
BAB IV

PENGARUH DAN RESPON TERHADAP PENDIDIKAN BELANDA

Pada bab ini diuraikan tentang pengaruh pendidikan Belanda sebagai


inspirator dari aspek kurikulum, sarana maupun metode pengajaran dan sebagai
kompetitor bagi pendidikan Islam. Uraian berbagai respon dan problematika
pendidikan Islam masa Hindia Belanda akan memberi gambaran tujuan politik etis
dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang sebenarnya terhadap pendidikan
Islam. Adapun bahasan tentang tantangan pendidikan Islam masa depan dapat
menjadi acuan bagaimana penyelenggaraan pendidikan Islam dalam menghadapi
berbagai tantangan modernisasi.

A. Pendidikan Belanda Sebagai Inspirator


Sistem pendidikan Belanda yang diselengarakan pada abad ke-20 merupakan
kelanjutan dari sistem pendidikan sebelumnya, yakni akhir abad ke-19, baik yang
berhubungan dengan kurikulum, sarana, buku-buku pelajaran maupun pengawasan.
Secara tidak langsung, pendidikan Belanda ini telah membentuk corak pendidikan
Islam pada awal abad ke-20. Meskipun pendidikan Islam tidak termasuk dalam satu
kesatuan pendidikan Belanda, namun pendidikan Belanda saat itu telah menjadi
inspirasi para guru maupun tokoh pendiri lembaga pendidikan, baik secara pribadi
maupun melalui organisasi yang mereka bentuk. Sebagaimana diketahui bahwa guru-
guru lembaga pendidikan Islam kebanyakan berasal dari sekolah desa dan melalui
sekolah ini mereka mengenal tujuan dan metode pengajaran Barat. Semenjak tahun
1907 sekolah desa sudah tersebar di Hindia Belanda. Berdasarkan pendapat
Brugmans sebagaimana yang dikutip Steenbrink, bahwa sekitar tahun 1938, sepertiga
dari anak usia sekolah sudah memasuki sekolah barat ini.1

1
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 25.
123
Tokoh-tokoh Islam modernis2 telah menjadikan sistem pendidikan Belanda
sebagai inspirasi untuk memajukan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional
seperti pesantren menjadi lebih netral dengan menerapkan pelajaran-pelajaran umum
ke dalam kurikulum maupun aspek-aspek pendidikan lainnya.

1. Kurikulum

Pada masa Pemerintah Hindia Belanda, pendidikan Islam bukanlah termasuk


lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah. Hal ini dikarenakan prinsip
pendidikan di Negeri Belanda yang tidak memihak salah satu agama tertentu,
meskipun kenyataannya pemerintah Hindia Belanda menyalurkan dana yang cukup
besar untuk sekolah-sekolah misi keristen di beberapa daerah wilayah jajahan. Prinsip
ini dianggap sebagai usaha untuk melemahkan pengaruh dan perkembangan Islam
dengan mengembangkan sekolah misi. 3 Selain itu dikarenakan orientasi pendidikan
yang bertujuan menciptakan tenaga kerja untuk kepentingan pemerintah kolonial,
pembentukan golongan elit yang propemerintah kolonial serta orientasi pada budaya
Barat.4 Dengan demikian pelajaran yang diberikan bersifat intelektualitas dan tanpa
spritualitas, seperti membaca, menulis, menggambar dan berhitung. Lain halnya
dengan pendidikan yang memberikan pelajaran-pelajaran yang penuh dengan muatan
spritualitas dan dinilai oleh pemerintah Hindia Belanda tidak mengembangkan aspek
intelektualitas seperti Nahwu, Sharaf, Tafsir, Hadis, Bahasa Arab, Akidah, Akhlak

2
Istilah modernis dipakai oleh Geertz dalam The Religion of Java (London: The Free Press,
1960), 133, istilah reformis dipakai Benda dalam The Crescent and The Rising Sun (The Huge and
Bandung: W. Van Hoeve, tt). Sedangkan Deliar Noer menggunakan istilah modernis dalam bukunya
The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Baik reformis maupun modernis keduanya
mengandung arti pembaruan atau perubahan.
3
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta:
LKiS, 2000), 106.
4
Ari H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 11.
124
dan hafalan-hafalan yang tidak mengembangkan kreativitas anak. Demikian pula
halnya dengan sistem pengajaran halaqah yang dinilai kurang efektif.

Melalui para tokoh pendidikan Islam, pendidikan Belanda telah mewarnai


corak pendidikan Islam saat itu seperti pendidikan Islam yang memasukan pelajaran
umum ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Sistem sorogan yang selama ini
menjadi andalan dalam lembaga pendidikan Islam tradisional telah menerapkan
sistem klasikal. Sebelumnya lembaga pendidikan Islam di surau-surau/langgar
diadakan dengan tidak berkelas dan tanpa bangku, meja, papan tulis dan kapur
sehinga para siswa dan guru hanya duduk di lantai saja. Sebagai contoh Perguruan
Adabiyah di Padang yang didirikan tahun 1909 oleh Syeikh Abdullah Ahmad, bahkan
perkembangan berikutnya pada tahun 1915 madrasah ini menjadi HIS Adabiyah tapi
dengan memasukkan pelajaran agama.5

Demikian juga halnya dengan jenjang pendidikan yang umumnya mengadopsi


HIS Belanda dari kelas 1- 7 (masa 7 tahun) untuk tingkat sekolah dasar. Namun tak
jarang sekolah yang ada hanya melaksanakan madrasah hingga kelas 4 atau kelas 5,
sedangkan untuk kelas 6 dan 7 harus melanjutkan ke madrasah lain akibat kendala
akan tenaga pengajar. 6 Pendidikan surau yang pertama-tama melaksanakan
pengajaran berkelas adalah Sumatra Thawalib Padang Panjang yang didirikan tahun
1914 oleh Syeikh Abdul Karim Amrullah. Akan tetapi belum mengalami perubahan
kurikulum. Pelajaran sepenuhnya adalah berupa ilmu-ilmu agama. Sistem klasikal
baru diterapkan pada tahun 1921. Kurikulum dalam banyak pesantren sampai awal
abad ke-20 belum digunakan. Dengan kata lain, sistem pembelajaran lebih ditekankan

5
Pada tahun 1907 pernah didirikan madrasah Adabiyah namun sempat tutup dan tahun 1909
didirikan kembali dengan nama Perguruan Adabiyah. Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan
Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia (Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), 94. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979),
63.
6
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 68.

125
pada pemahaman kitab secara apa adanya dan memberikan perbedaan arahan
pembelajaran serta pendidikan hanya didasarkan pada kategorisasi perbedaan kitab
semata. Hal ini tampaknya terpengaruh oleh periode sebelumnya dan pengajaran serta
pendidikan hanya didasarkan pada ibadah semata.7 Rencana mata pelajaran pada
Diniyah School dan madrasah-madrasah lain tidak sama, bahkan berlainan menurut
kemauan pendiri dan guru-gurunya. Meskipun sama terkadang beda nama mata
pelajarannya.8

Gambaran lain tentang pendidikan Islam dapat dilihat pada penyelenggaraan


pendidikan Islam di Palembang. Kegiatan pendidikan agama dimulai dengan belajar
membaca al-Qur an atau biasa disebut penduduk dengan mengaji al-Qur an.
Pelajarannnya mencakup pelajaran mengenal huruf, mengeja dan membaca juz
ammah. Selain itu diajarkan shalat, wudhu dan doa-doa pendek. Setelah bisa
membaca juz ammah lalu diteruskan belajar membaca juz demi juz hingga tamat.
Bila murid telah selesai belajar, maka diselenggarakan khataman. Ini adalah tingkat
dasar pendidikan agama yang diselenggarakan di langgar-langgar dan masjid serta
kadang-kadang di rumah guru. Murid yang belajar antara umur 6 hingga 10 tahun. 9
Dengan kata lain, pada lembaga pendidikan tradisional rencana pelajaran atau
kurikulum tidak jelas. Pelajaran diberikan dengan cara mengajukan kitab-kitab yang
diajarkan oleh kyai atau guru kepada para santrinya. Penggunaan jenis kitab
disesuaikan dengan lamannya santri belajar. Dengan demikian, secara operasional
kegiatan belajar suatu pelajaran diawali dari bab pendahuluan masing-masing kitab
secara berurutan hingga ke bab penutup. Demikian pula halnya dengan penggunaan

7
Abdurrahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Suka Press, 2007), 91.
8
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 69.
9
Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa
Kesultanan dan Kolonial di Palemban (Jakarta: Logos, 1989), 169.

126
bahan ajar berupa kitab-kitab yang dimulai dari kitab-kitab yang dinilai
rendah/mudah sampai pada tingkat yang paling tinggi.10

2. Sarana

Sarana pendidikan Islam tradisional pada masa abad ke-20 sangat sederhana.
Kondisi ini hampir sama di seluruh wilayah Nusantara. Dapat dibayangkan dengan
hanya memanfaatkan ruangan masjid/surau tanpa bangku dan kursi anak-anak belajar
hanya duduk mengelilingi seorang guru. Sistem ini dinilai sangat sederhana dan dapat
melangsungkan suatu kegiatan belajar dengan biaya yang sangat murah. Hal ini
dinilai wajar karena pendidikan berlangsung tanpa ada sumber keuangan yang
memadai. Anak-anak hanya membayar uang sekolah semampunya, bahkan
kebanyakan dari mereka tidak membayar karena ketidakmampuannya. Sifat
keikhlasan dari guru lebih menonjol ketimbang menjadikan lembaga pendidikan
sebagai sumber penghasilan. Dari aspek geografis, madrasah dan pesantren umumnya
berada di pedesaan, muridnya berasal dari keluarga miskin. Karena keadaan biaya,
setelah menamatkan tingkat dasar, umumnya mereka tidak melanjutkan lagi
pendidikan lanjutan umum profesional di kota. Dengan adanya lembaga ini
merupakan salah satu alternatif bagi rakyat Pribumi untuk melanjutkan
pendidikannya. Terbukti sekarang, banyak tamantan madrasah dan pesantren yang
sukses di bidangnya.11

Kondisi ini banyak berubah setelah adanya pembaruan dalam bidang pendidikan,
khususnya yang dilakukan oleh para tokoh pembaruan Islam seperti KH. Ahmad
Dahlan, Syeikh Abdullah Karim Amrullah, Abdullah Ahmad dan Syeikh Muhammad

10
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Grafindo, 2005), 166.
11
Zamakhsyari Dhofier, “Transfomasi Pendidikan Islam di Indonesia”, Prisma no. 2 Tahun
1986.

127
Jamil Jambek dari Minangkabau. Madrasah-madrasah yang mereka dirikan
merupakan sistem klasikal dengan menggunakan sarana meja, bangku, papan tulis,
kapur dan jenjang pendidikan yang jelas. Dilihat dari sistem penyelenggaraannya,
madrasah tersebut meniru sistem pendidikan sekolah model Belanda.12 Sekolah
model Belanda dianggap sebagai sekolah yang maju. Oleh karena itu, untuk
memajukan pendidikan di tanah air diperlukan cara-cara bagaimana yang digunakan
di sekolah maju. Penerapan model sekolah Belanda ini mendapat tantangan, baik
yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan maupun Abdullah Ahmad di Padang. Proses
belajar mengajar dilakukan dengan menggunakan sistem klasikal dengan sarana
sebagaimana yang biasa terdapat pada sekolah pemerintah Belanda, seperti meja,
bangku, papan tulis, kapur dan lainnya. Kelompok penentang penyelenggaraan
pendidikan secara klasikal ini adalah kelompok ulama tradisional karena dianggap
meniru cara-cara yang dilakukan oleh orang kafir. Atas reaksi ini Abdullah Ahmad
pindah ke Padang pada tahun 1906.13 Penolakan golongan tradisional terhadap sistem
pendidikan tersebut lebih didasarkan pada akidah ketimbang alasan ekonomi. Oleh
karena itu, banyak lembaga pendidikan Islam tradisional yang tetap bertahan dengan
sistem lama.

3. Metode Pengajaran

Selain aspek kurikulum dan penggunaan sarana, metode pengajaran sebagaimana


pada pendidikan Belanda merupakan hal baru bagi pendidikan Islam pada awal abad
ke-20. Metode pengajaran tradisional dalam pendidikan Islam telah berlangsung sejak

12
Suwito dan Fauzan, ed., Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung: Angkasa,
2003), 340.
13
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), 159.

128
kehadirannya di Nusantara, baik yang berlangsung di masjid-masjid, musholla, rumah
guru mengaji maupun pengajaran yang berada di istana kerajaan. Metode pengajaran
biasanya ditentukan oleh guru mengaji yang mereka peroleh dari pengalaman mereka
belajar di Mekkah dan wilayah Timur Tengah lainnya. Metode tersebut mereka
terapkan ketika mereka mendirikan pengajian atau mengajar di suatu kelompok
pengajian. Metode yang populer di kalangan pendidikan Islam pada hingga abad ke-
20 bahkan hingga sekarang adalah metode sorogan dan bandongan. Metode sorogan
adalah metode dimana santri menyodorkan sebuah kitab ke hadapan kyai, kemudian
kyai memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalnya, tentang
terjemah maupun tafsirnya. Metode bandongan adalah seorang kyai membaca dan
menjelaskan isi sebuah kitab dan dikerumuni sejumlah murid, masing-masing
memegang kitabnya sendiri, mendengar dan mencatat keterangan gurunya, baik
langsung maupun tak langsung pada lembaran kitab itu atau pada kertas cacatan
lain.14

Metode pengajaran tersebut banyak mendapat kritikan keras dari tokoh


pendidikan Islam modernis karena metode tersebut dinilai tidak efektif. Sistem ini
dianggap hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu serta bersedia
mengorbankan waktu yang banyak untuk menguasainya. Sistem inilah yang dinilai
Mahmud Yunus bahwa dari 100 santri paling-paling 1 orang yang pandai dan
menghasilkan ulama besar.15 Padahal meskipun tidak demikian, paling tidak para
santri mendapat pengaruh agamis yang kuat dari kyai melalui pengajaran formal
tersebut. Ini merupakan langkah awal sebagai bekal santri ke depan jika ingin
melanjutkan pendidikan agama di Mekkah.

14
Sudjoko Prosodjo, dkk., Profil Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), 53. Lihat juga: Samsul
Nizar, ed., Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 287.
15
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 50.

129
Kehadiran pendidikan Barat melalui Politik Etis awal abad ke-20 telah menjadi
inspirasi tokoh pendidikan Islam maupun kelompok nasionalis untuk merubah
metode pengajaran tersebut dan menerapkan metode pengajaran pada pendidikan
Barat di sekolah, madrasah maupun pesantren yang mereka dirikan. Penggunaan
sarana pendidikan seperti bangku, meja, papan tulis dan kapur telah merubah metode
pengajaran lama dalam pendidikan Islam. Namun demikian, penerapan metode ini
tidak jarang mendapat reaksi keras dari golongan ulama tradisional karena dianggap
meniru cara-cara yang dilakukan oleh orang kafir dalam pendidikan mereka.
Sehingga mereka masih tetap menggunakan metode lama selama masa penjajahan.

B. Pendidikan Belanda Sebagai Kompetitor


Selain sebagai inspirator, pendidikan Belanda juga merupakan kompetitor
bagi pendidikan Islam. Eksistensi lembaga pendidikan Islam sebelum
diberlakukannya Politik Etis diakui sebagai lembaga pendidikan yang mengalami
perkembangan cukup pesat, baik sarana maupun minat masyarakat memasuki
lembaga tersebut. Inspeksi Pemerintah Hindia Belanda tahun 1873 sebagaimana yang
dikutip oleh Karel A. Steenbrink menyebutkan bahwa jumlah pesantren cukup besar
berkisar antara 20.000 hingga 25.000 buah dengan jumlah santri kurang lebih
300.000 orang.16 Ini adalah angka yang terdata, namun diperkirakan jumlah tersebut
berlipat ganda karena di tiap-tiap desa di seluruh Hindia Belanda menyelenggarakan
pendidikan Islam di masjid atau langgar. Sebagaimana yang dikemukakan Mahmud
Yunus bahwa pendidikan Islam di masjid/musholla ini hampir ada di setiap desa-desa
di Nusantara.17 Sistem pendidikan Islam yang berlangsung secara tradisional

16
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 10
17
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 60

130
merupakan implementasi dari ide tokoh-tokoh Islam dalam mengamalkan ilmu yang
mereka miliki untuk disebarluaskan.

Kemunculan madrasah abad ke-20 dilakukan melalui organisasi keagamaan


seperti Jami’at Khair didirikan di Jakarta tanggal 17 juli 1905, al- Irsyad berdiri tahun
1913 sebagai pecahan dari Jami’at Khair di Jakarta, Perserikatan Ulama lahir di Jawa
Barat tahun 1911, Muhammadiyah lahir di Yogyakarta tanggal 10 Nopember 1912.
Persis berdiri tanggal 12 September 1923 dan NU yang berdiri di Surabaya tahun
1926. Semua organisasi ini menyelenggarakan pendidikan Islam.18 Oleh karena itu,
guru-guru di lembaga pendidikan Islam tradisional kebanyakan tokoh Islam yang
menuntut ilmu di Mekkah saat mereka menunaikan ibadah haji. Mereka menetap dan
belajar di sana untuk waktu tertentu. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran penjajah
terlebih terhadap pengaruh Pan-Islamisme yang dibawa pada jama’ah haji ketika
pulang ke tanah air.

Belanda menyadari bahwa kekuatan potensial bangsa Indonesia terletak pada


jiwa ke-Islamannya. Sebagai bukti bahwa dengan jiwa Islam sangat menentang
ketidakadilan, baik bidang politik seperti penindasan dan bidang sosial seperti adanya
kasta-kasta dalam masyarakat. Dengan mengetahui inti kekuatan tersebut, maka Islam
dikaji dan difahami sehingga dapat menemukan kelemahannya yang selanjutnya
dilakukan kebijakan-kebijakan yang dapat melumpuhkan kekuatan Islam itu sendiri.
Pada akhirnya rongrongan terhadap kaum penjajah dapat dihilangkan. Di bidang
hukum Belanda mempertentangkan hukum agama dengan hukum adat. Hukum adat
ditonjolkan guna mengurangi pengaruh hukum Islam dalam masyarakat. Dalam
bidang politik juga dipertentangkan antara para ulama dengan golongan priyai yang
kebanyakan menjadi pegawai administrasi di pemerintahan. Golongan priyai

18
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana, 1999), 139-169. Lihat
juga: Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 307-321.

131
dianggap dan digolongkan ke dalam kasta yang hampir sama derajatnya dengan
penduduk Eropa yang lebih superior martabatnya. Hal ini ditanamkan dalam pikiran
dan hati mereka sekaligus menganggap rakyat biasa termasuk para ulama dengan
martabat yang rendah.19

Selain kelompok Islam modernis, pengembangan lembaga pendidikan juga


dilakukan oleh kelompok nasionalis seperti Ki Hajar Dewantara dan lainnya.
Kelahiran usaha dalam bidang pendidikan sebagian disebabkan oleh tekanan-tekanan
dalam masyarakat kolonial dan sebagian karena perkenalan dengan unsur-unsur
kebudayaan Barat. Golongan-golongan inilah yang secara berturut-turut mendirikan
sekolah-sekolah yang berlatar belakang pengalaman mereka dalam lembaga
pendidikan modern, berpartisipasi dalam gerakan nasional, melihat serta
memperdalam pengetahuannya dari kepustakaan yang bernafas kebebasan dan
pencarian nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kebajikan. 20

Adapun pendidikan Belanda melalui Politik Etis dengan motor penggeraknya


Snouck Hurgronje berusaha tetap eksis dalam kolonialnya dengan gagasan asosiasi
hingga asimilasi. 21 Dengan gagasan ini bahwa penduduk Pribumi harus diarahkan

19
Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 13.
20
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalan Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), 25-26.
21
Istilah asimilasi lebih sering dipakai para ahli sosiologi, sedangkan para ahli antropologi
lebih suka mempergunakan istilah akulturasi. Sekalipun kedua istilah tersebut mengandung pengertian
yang sama, tetapi juga dapat menunjukkan dimensi yang berbeda. Asimilasi merupakan salah satu
bentuk proses sosial yang terkait dengan proses dan hasil pertemuan dua kebudayaan atau lebih.
Asimilasi sebagai proses sosial dapat terjadi bila ada tiga hal yaitu; Pertama, komunitas-komunitas
manusia dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Kedua, saling bergaul secara intensif dalam
waktu yang lama, dan ketiga, kebudayaan-kebudayaan komunitas tersebut masing-masing mengalami
perubahan sifat dengan ciri khas tertentu dan unsur-unsurnya berubah wujud menjadi kebudayaan
campuran. Milton M. Gordon, Assimilation in American Life: The Role of Race Religion and National
Origin (New York: Oxford University Press, 1964), 61. Hari Purwanto, Kebudayaan dan Lingkungan
dalam Persfektif Antropologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 116. Lihat juga: Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, Cetakan VII, 1989), 255.

132
menjadi bagian dari kebudayaan Barat dan menjadikan tanah jajahan sebagai struktur
sosial dan politik yang sama dengan negeri Belanda, yakni dengan menjadikannya
suatu propinsi atau suatu copy dari negeri Belanda. Namun yang dominan adalah
bahwa pendidikan yang mereka berikan dapat membimbing rakyat Pribumi ke dalam
budaya Barat. Sedangkan untuk masyarakat kelas bawah hanya untuk dijadikan
tenaga buruh di perkebunan dan pegawai rendah di kantor pemerintah. Hal ini
tercermin dalam politik pendidikan Belanda, yakni bersifat gradualisme, kontrol yang
kuat, sifat pendidikan yang netral, prinsip konkordansi serta tak adanya perencanaan
yang sistimatis.22 Salah satu alasan yang kuat lainnya di balik kebijakan pendidikan
Hindia Belanda adalah keinginan mereka untuk menampakkan keunggulan mereka
dibandingkan dengan penduduk Pribumi. Penggunaan bahasa Belanda akan
menghapuskan jurang antara penduduk Pribumi yang kampungan dan orang-orang
Belanda yang unggul.23

Gagasan ini mendapat reaksi keras dari golongan aristokrasi yang lebih tua
dan menganggap bahwa adanya bahaya dalam pendidikan Belanda yang pada
akhirnya dapat merusak adat kebiasaan lama dan generasi muda secara berangsur-
angsur akan mementang tradisi nenek moyang mereka. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah Hindia Belanda membuka sekolah-sekolah baru yang bersifat
dualisme serta adanya kelas-kelas sosial tertentu berdasarkan status sosial dalam
masyarakat.24 Untuk merealisasikan pemikiran Snouck Hurgonje tentang kebijakan

22
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 16-
20.
23
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 215.
24
Tiga stratifikasi manusia di Hindia Belanda. Kelas satu terdiri dari Belanda atau kulit putih
yang mendominasi politik dan ekonomi. Kelas dua terdiri dari Indo-Belanda beserta Cina, Arab dan
India yang dinamakan vreemde oosterlingen yang merupakan alat pemerintah kolonial yang dalam hal
politik diurus oleh penguasa Pribumi dan ekonimi diurus oleh bangsa Timur Asing khususnya Cina.
Kelas tiga terdiri dari Inlander, yakni anak-anak Pribumi. Kelas tiga ini berarti bawahan yang terus
133
asosiasinya, bahwa untuk penyatuan Hindia dan negeri Belanda, maka kepemimpinan
yang didominasi oleh kaum muslimin dan para tetua adat harus disingkirkan dengan
mengadakan pembinaan terhadap kelompok elit baru yang berorientasi Barat sebagai
motor penggerak kepemimpinan di Hindia Belanda. Kelompok ini akan dibina
sehingga rakyat tidak lagi mengikuti kelompok muslim atau tetua adat dalam urusan
kemasyarakatan tapi mereka akan berkiblat pada pemimpin yang dididik dengan
budaya Barat. Oleh karena itu, pendidikan dasar bagi anak Eropa berupa ELS, juga
diberi kesempatan kepada anak-anak kelompok priyai maupun Pribumi yang kaya.
Dengan demikian mempermudah penyatuan Hindia dan negeri Belanda. Untuk itu
pengenalan bahasa Belanda kepada kelompok priyai akan membuat jurang pemisah
antara kelompok muslim maupun tetua adat dengan kelompok yang dididik dengan
pendidikan Barat. Semua ini untuk menciptakan negeri Belanda Raya, yakni suatu
negara yang terpisah dari aspek geografis, yang satu di Eropa Barat Utara (Belanda)
dan yang satu berada di Asia Tenggara (Hindia Belanda).25

Di samping itu, caranya adalah dengan memberi bantuan kepada sekolah misi
Kristen. Sedangkan pendidikan Islam maupun pendidikan partikelir lainnya dibatasi
dengan berbagai ordonansi agar tidak berkembang dan menjadi saingan pendidikan
Belanda. Hal ini dinilai bahwa pendidikan Islam dan pendidikan partikelir lainnya
akan menumbuhkan semangat nasionalisme dan spritualisme Islam yang pada
akhirnya mengancam eksistensi kolonialisme. Intinya, Islam merupakan sumber
ketakutan pemerintah kolonial karena ajaran Islam dapat menumbuhkan semangat
jihad dalam membela agama dan tanah air. Sebagai pengalaman telah mereka alami

diperintah dan dapat diperintah. Sekalipun ada kecualinya, yakni kelas mamak atau priyai. Mereka ini
pejabat Bumiputra bekerja sebagai pangreh raja. Inipun tidak selalu satu kedudukan enak, karena
sebenarnya merekalah yang bekerja buat keperluan Belanda. Abu Hanifah, Renungan Perjuangan
Bangsa (Jakarta: Idayu, 1978), 8.
25
Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun (The Huge and Bandung: W. Van Hoeve,
tt), 25-27. Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-19
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 88.

134
dengan adanya berbagai pemberontakan yang akhirnya menimbulkan peperangan
yang digerakkan oleh para ulama melalui basis pesantren seperti Perang di Aceh,
Banten, Diponegoro dan lainnya yang sempat membuat kewalahan pihak penjajah.

Oleh karena itu, Dalam rangka memperpanjang kekuasaan Belanda di Hindia


Belanda, pemerintah kolonial senantiasa berusaha mencari upaya dan langkah yang
dapat mendukung usaha tersebut. Makanya setelah mempelajari situasi masyarakat,
pemerintah Hindia Belanda mengambil suatu kesimpulan bahwa jalan yang dapat
ditempuh untuk memperpanjang kekuasaannya adalah dengan jalan menghancurkan
umat Islam.26 Kesimpulan ini nampak lebih menyakinkan lagi bagi pemerintah
Hindia Belanda setelah Snouch Hurgronje menulis buku-buku tentang Islam dalam
rangka menghadapi Islam secara serius. Dari tulisan ini juga membuat yakin
pemerintah Hindia Belanda agar kolonialnya langgeng yakni dengan melakukan
pengekangan terhadap perkembangan pendidikan Islam, khususnya pesantren.27

Di lain pihak, pengajaran bagi rakyat Pribumi oleh tokoh-tokoh nasionalis


diharapkan dapat menyebarkan benih hidup yang merdeka di kalangan rakyat.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara yang menilai bahwa
perlawanan melalui pergerakan politik bukanlah satu-satunya cara efektif untuk
melepas belenggu dari penjajahan. Oleh karena itu, beliau menyelenggarakan
pendidikan yang sesuai dengan budaya bangsa tanpa mengharapkan pendidikan yang
dilaksanakan pemeriantah.28 Reaksi kekecewaan rakyat Pribumi atas kebijakan
pendidikan Hindia Belanda adalah juga dikarenakan pemerintah Hindia Belanda telah

26
Mahcnun Husein, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Nurcahaya,
1985), 5.
27
Mahcnun Husein, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Nurcahaya,
1985), 5.
28
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986), 66.

135
gagal menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang telah dilatih untuk memasuki
lapangan kerja tersebut. Pemerintah dinilai tidak dapat memperluas lapangan
pekerjaan sehingga tidak sesuai dengan lulusan sekolah yang didirikan. Pada masa
kejayaannnya pun lapangan kerja hanya 2 persen, sedangkan kelulusan mencapai
angka 7 persen. Lapangan kerja yang ada pun diberikan kepada masyarakat Eropa
ataupun Eurasia.29 Dengan demikian terjadilah kompetisi antara pendidikan Belanda
dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh tokoh agama maupun nasionalis
dengan tujuan melepaskan belenggu kolonialisme. Sebagai kompetitor dapat dilihat
dari pertumbuhan sekolah-sekolah Belanda dan pendidikan Islam dari aspek
kuantitasnya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa data pendidikan Islam dalam arsip
Pemerintah Hindia Belanda selalu tidak lengkap. Lain halnya dengan pendidikan
yang diselenggarakan pemerintah yang dapat ditemui di Arsip Nasional. Terlepas dari
alasan kurang pentingnya pendidikan Islam bagi Pemerintah Hindia Belanda atau
motif lain, data tersebut hanya dapat diperoleh dari laporan-laporan organisasi
keagamaan yang mendirikan lembaga pendidikan tersebut tanpa ada perincian yang
detail. Data tersebut baru muncul pada data sensus penduduk tahun 1930.30
Berdasarkan data tersebut yang dibandingkan dengan data pendidikan Belanda, maka

29
George Mc.Turman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980), 34.
30
Sensus penduduk tahun 1930 di Hindia Belanda menunjukkan bahwa jumlah seluruh
penduduk adalah 60.731.025 jiwa, 41.719.524 bermukim di Pulau Jawa dan Madura. Penduduk non-
Pribumi seperti Eropa; 242.372 jiwa, Cina; 1.233.858 jiwa, Asia; 114.000 jiwa, 71.000 diantaranya
keturunan Arab. Dan orang-orang India di bawah Inggeris berjumlah 30.000. Pertumbuhan pada saat
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Eropa dan Asia non-Pribumi lebih besar dari penduduk Pribumi.
Amri Vandenbosch, The Ducth East Indies: Its Government, Problems and Politics (Los Angeles:
University uf California, 1944), 5-6. Dikutip dari Volkstelling Tahun 1930.

136
dapat diketahui sejauhmana keberhasilan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan
oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Politik Etis.

Jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk pada tahun 1930 maka
Sekolah Desa pemerintah didominasi oleh siswa Pribumi, yakni 1,8% dari jumlah
penduduk. Sedangkan 0,25% memasuki sekolah desa swasta. Sebelum tahun 1930
sekolah swasta belum terdaftar di arsip pemerintahan.31 Sedangkan kebanyakan
sekolah lanjutan diisi oleh anak-anak Eropa sebesar 7,4% dan Asia termasuk Cina
dan dari negara asia lainnya sebesar 0,10%. Anak-anak Pribumi hanya 0,0000001%.
Perbandingan jumlah penduduk tahun 1930 dan data tabel 4. Sekolah HIS yang
dikhususkan untuk anak Indonesia Belanda baik sekolah pemerintah maupun swasta
juga didominasi oleh anak-anak Asia dan Eropa yakni 1,5% dan 1,2%. Sedangkan
Pribumi hanya 0,10%.32 Apalagi sekolah yang memang dikhususkan bagi anak Cina
Belanda yang meskipun jumlah anak Pribumi lebih banyak, tapi jika dibandingkan
dengan jumlah seluruh penduduk maka secara prosentase masih didominasi oleh
anak-anak Cina 1,65%, Eropa 0,07% sedangkan Pribumi hanya 0,0016%.33

Untuk pendidikan tinggi, hingga periode 1930/1931 siswa pendidikan tinggi


yang berasal dari rakyat Pribumi tercatat 106 orang atau 0,00017% dari total
penduduk Pribumi, Cina serta Eropa masing-masing 49 orang atau 0,00397% dan 72
orang atau 0,0297%. Kecilnya angka anak Eropa di perguruan tinggi ini karena
setelah menamatkan sekolah lanjutan di Hindia Belanda, mereka kebanyakan
melanjutkan di Negeri Belanda atau negara Eropa lainnya. Akan tetapi jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk, prosentase tersebut cukup tinggi jauh dari

31
Lampiran pada Tabel 2.
32
Lampiran pada Tabel 7.
33
Lampiran pada Tabel 6.

137
prosentase penduduk Pribumi. Bandingkan pada tabel 14. adapun lulusan perguruan
tinggi hingga tahun 1930 yang menyelesaikan studi di perguruan tinggi dari anak
Pribumi hanya 6 orang, Cina dan Eropa masing-masing 1 dan 12 orang. Jika
dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk, angka kelulusan anak Pribumi jauh
di bawah anak Eropa.34

Pada tahun 1912 telah berdiri 2.500 Sekolah Desa. Tahun 1930 kira-kira
9.600 sekolah dan lebih dari 40% anak Indonesia berumur 6-9 tahun mamasuki
sekolah semacam itu selama beberapa waktu, sebagian besar di sekolah-sekolah desa
pemerintah dan kebanyakan dengan rasa terpaksa. Pada tahun 1900 orang Indonesia
yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah swasta maupun pemerintah di seluruh
Indonesia berjumlah 365.940 orang. Pada tahun 1930- 1931 jumlah orang Indonesia
bersekolah di lembaga pendidikan Barat kurang lebih 1,7 juta orang. Jumlah ini
sangat kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk. Pada tahun ini juga
sekitar 1,66 juta orang menuntut ilmu di sekolah dasar dengan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar atau 2,8% dari jumlah seluruh penduduk. Jumlah orang Pribumi
yang menuntut ilmu pada sistem sekolah Eropa di bawah tingkatan universitas
seperti HIS, MULO, AMS, dan sekolah kejuruan tapi tidak termasuk TK berjumlah
84,609 orang atau 0,14% dari seluruh penduduk. Pada tingkat perguruan tinggi hanya
178 orang atau 0.0003% (3:1.000.000) dari seluruh penduduk. Pada pendidikan yang
seharusnya diutamakan seperti pertanian, kehutanan hanya 392 orang atau 0.0007%
dari seluruh penduduk. Dari sensus 1930 orang dewasa yang melek huruf 7,4% di
Sumatera, 13,1% di Jawa dan 6% di Madura dan di Bali serta Lombok 4%. Sebagian

34
Lampiran pada Tabel 15.

138
jumlah tersebut adalah tamatan dari lembaga pendidikan Pribumi, baik sekolah-
sekolah al-Qur an maupun sekolah-sekolah yang lebih modern.35

Dari data di atas, maka tidak berlebihan jika dikemukakan bahwa statistik
pertumbuhan pendidikan di Indonesia menyedihkan sekaligus menggembirakan.
Dilihat dari yang sudah dicapai sejak 1900 kemajuannya cukup mengembirakan. Di
pihak lain yang masih harus dicapai kondisinya sangat memprihatinkan. Sensus 1930
menunjukkan bahwa penduduk Pribumi yang bisa membaca menulis di Indonesia
baru mencapai angka 6,44 persen. Pada tingkat pendidikan menengah, jumlah lulusan
yang ada masih sangat sedikit setiap tahunnya. Hingga tahun 1920 belum ada satupun
univesitas di Hindia Belanda.

Petunjuk mengenai betapa sedikitnya penduduk Indonesia yang mampu


melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi dapat dilihat dari kenyataan bahwa
tahun 1940 hanya ada 240 orang Indonesia yang sudah lulus sekolah tinggi. Kondisi
menunjukkan bahwa betapa sedikitnya penduduk yang terdidik sebelum
kemerdekaan. 36 Dengan demikian, agaknya pemerintah kolonial sedikit sekali berbuat
bagi pendidikan rakyat biasa, sehingga 93% dari 60 juta rakyat Indonesia tahun 1930
masih dalam keadaan buta huruf. Pada waktu itu hanya sekitar 200 orang Indonesia
yang lulus dari Sekolah Menengah Atas pertahun.37 Pada tahun 1940 hanya 40% anak
usia 6-8 tahun yang memperoleh Pendidikan Dasar.38 Sekitar tahun 1930-an jumlah
orang Indonesia yang bisa membaca dan menulis tidak lebih dari 7% sekalipun sudah

35
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: Serambi, 2005), 335-336.
36
George Mc.Turman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980), 31-32.
37
J.M. Van Der Kroef, Indonesia in the Modern World (Bandung, 1954), 15.
38
I.J. Brugmans, Geschiedenis Van Het Onderwijs in Nederland Indie (Batavia, 1938), 157.

139
dijalani Politik Etis.39 Kenyataan ini menunjukkan bahwa selain alasan anggaran
yang terbatas, kegagalan kebijakan pendidikan di Hindia Belanda juga dikarenakan
tidak adanya wajib belajar dan keharusan murid membayar uang sekolah. Akan
tetapi, karena memang motif lain yakni untuk mempertahankan eksistensi
kolonialnya dengan mempertahankan agar rakyat tanah jajahan tetap dalam
kebodohan.40

Adapun pendidikan Islam yang diselenggarakan di masjid, langgar, rumah


guru, pesantren maupun sekolah yang memasukkan pelajaran agama seperti yang
diselenggarakan organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan lainnya banyak
berperan aktif dalam mendidik masyarakat Pribumi di masa penjajahan tersebut.
Terlebih dengan luasnya wilayah yang dijangkau hingga ke pelosok desa. Mengenai
data pendidikan Islam tersebut sedikit sekali dijumpai karena memang kurang
lengkap. Namun dari data-data tersebut dapat difahami sejauhmana peran pendidikan
Islam bagi masyarakat Pribumi. Beberapa data dapat diuraikan berikut.

Laporan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1831 tentang lembaga pendidikan


penduduk asli Jawa yang menyatakan bahwa jumlah lembaga pendidikan Islam pada
waktu itu sebanyak 1.853 buah dengan 16.556 murid. Namun sayangnya laporan ini
tidak membedakan antara pengajian dan pesantren. Hal ini dikarenakan sejumlah
besar lembaga ini mengajar tidak lebih dari pembacan al-Qur an dan hanya sebagian
kecil murid diajarkan menulis Arab. Juga melalui dokumen Belanda, perkembangan
lembaga pendidikan di Jawa abad 19 kembali terungkap lebih jelas. Van den Berg
menyadari perbedaan atau tingkatan dalam sistem pendidikan Islam tradisional. Dia
berusaha menganalisis statistik resmi pemerintah tahun 1885 yang mencatat jumlah

39
M. Mohamad Sidky Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia
(Jakarta: Gunung Agung, 1985), 15.
40
T. Raymond Kennedy, The Egeless Indies (New York: Greewood Press), 140, 177.

140
lembaga pendidikan tradisional sebanyak 14.929 buah di Jawa dan Madura (kecuali
Kesultanan Yogyakarta) dengan jumah murid kurang lebih 222.663 orang.41

Menurut Van den Berg, empat perlima dari jumlah lembaga pendidikan
tersebut merupakan lembaga pengajian dasar mengajarkan pembacan al-Qur an.
Kemudian dari 3000 jumlah itu merupakan lembaga pendidikan menengah yang
mengajarkan dasar-dasar bahasa Arab dan kitab-kitab pengetahuan tingkat dasar. 300
dari jumlah tersebut digolongkan sebagai lembaga pesantren yang mengajarkan
pendidikan tingkat tinggi mengenai kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning). Untuk
lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah banyak terdapat murid-murid
perempuan, sedangkan lembaga pesantren menyediakan pendidikan untuk anak laki-
laki. Dari laporan ini dapat difahami bahwa jumlah lembaga pendidikan di Jawa
mengalami peningkatan yang cukup pesat pada abad 19. Diasumsikan bahwa
peningkatan ini disebabkan banyaknya penduduk yang menunaikan ibadah haji
setelah pemerintah Hindia Belanda memberi kelonggaran kepada penduduk Pribumi
untuk hal itu dan karena semakin lancarnya transportasi laut ke Jazirah Arab.42

Tahun 1925 organisasi Muhammdiyah dalam bidang pendidikan memiliki 8


HIS dan sebuah sekolah guru di Yogyakarta, 32 buah sekolah dasar lima tahun dan
sebuah Schakelschool, 14 madrasah dengan jumlah guru 119 orang dan 4000 murid.
Jumlah sekolah yang didirikan 1.774 sekolah. 43 Pada akhir 1932 Muhammadiyah
telah mempunyai 103 buah Volksschool dan 47 buah Standaard School. Soeharto
merupakan alumni Sckalechsool Muhammadiyah. Akhir 1932 terdapat 69 HIS

41
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1994), 35-36.
42
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1982), 35, 36.
43
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982), 87.

141
Muhammadiyah dan Scakleschool terdapat 25 buah.44 Tahun 1932 Muhammadiyah di
Jawa Tengah telah mempunyai 165 sekolah model gubernemen, selain itu memiliki
68 sekolah agama yang pada umumnya dibuka pada siang hari atau sore sebagai
tambahan pendidikan gubernemen pagi harinya. Namun di Minangkabau model
sekolah gubernemen lebih sedikit, yakni hanya terdapat 4 sekolah gubernemen dan 45
madrasah.45

Pada tahun 1930 jumlah anggota Muhammadiyah sebanyak 24.000 orang.


Pada tahun 1935 berjumlah 43.000 orang. Pada tahun 1938 memiliki anggota 250.000
orang. Pada tahun ini juga organisasi ini telah menyebar ke pulau-pulau utama di luar
Jawa dengan mengelola 834 masjid dan langgar, 31 perpustakaan umum dan 1.774
sekolah. Juga memiliki 5.516 orang mubaligh pria dan 2.114 orang mubaligh wanita.
Demikian pesatnya perkembangan organisasi ini sehingga pada tahun 1925
merupakan tahun sejarah Muhammadiyah.46 Sekitar tahun 1939 Muhammadiyah
memiliki 1744 sekolah. Sekitar separuh darinya merupakan sekolah model
pemerintah, dan separuhnya model madrasah. Model pertama umumnya dinilai baik
oleh pemerintah kolonial dan diberikan subsidi kepada mereka. Meskipun model itu
sejalan dengan dengan sekolah sekuler pemerintah namun tidak terlepas dari jiwa al-
Qur an.47

Selain yang dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah, organisasi lain seperti


al-Khairat juga ikut berperan aktif dalam pendidikan Islam. Di Sulawesi Tengah

44
Sri Sutjiatiningsih dan Sutrisno Kutoyo, ed., Sejarah Pendidikan Daerah Yogyakarta
(Yogyakarta: Dep. P dan K, 1980-1981), 92.
45
Alfian, Islamic Modernism in Indonesian Politics: The Muhammadijah Movement during
the Dutch Colonial period 1902-1914, 309,406. Dikutip oleh Karel A. Steenbrink, Pesantren
Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1994), 57-58.
46
MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1991), 260.
47
James L. Peacock, Purifying the Faith (California, 1978), 53.

142
terdapat Perguruan al-Khairat yang didirikan oleh Syekh al-Idrus pada tahun 1930.
Jumlah pesantren dan madrasah yang dikelola kurang lebih 535 buah yang tersebar di
Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.
Lembaga pendidikan ini sudah tumbuh sejak masa kerajaan seperti Kerajaan Goa,
Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo. 48 Demikian pula halnya dengan di wilayah Aceh
melalui organisasi (Persatuan Umat Seluruh Aceh) telah banyak mendirikan lembaga
pendidikan Islam, terutama madrasah yang lebih dominan ketimbang pesantren.
Jumlah madrasah yang dikelola berdasarkan data tahun 1946 sebanyak 180 buah
dengan 36.000 santri. Perguruan ini dinegerikan dengan sebuah piagam bernama
‘Kanun Penyerahan Sekolah-sekolah Agama Kepada Pemerintah’ pada tanggal 1
Nopember 1946.49

C. Problematika Pendidikan Islam Pada Awal Abad ke-20


Sebelum diterapkannya Politik Etis di Hindia Belanda, sarana pendidikan
andalan bagi masyarakat Pribumi adalah pendidikan Islam di masjid/musholla,
rumah-rumah guru maupun pesantren. Cukup banyak data yang menunjang
keberadaan pendidikan Islam tradisional tersebut.50 Pada tahun 1890, setahun setelah

48
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bakti, 1983), 51.
49
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bakti, 1983), 46.
50
Mulai sejak tahun 1873 statistik pendidikan memberikan angka yang lebih lengkap,
meskipun belum sempurna. Di sekitar tahun 1900 angka lembaga pendidikan Islam berkisar antara
20.000 dan 25.000 buah dengan murid kurang lebih 300.000 orang. Data ini tidak termasuk semua
daerah di Hindia Belanda dan hanya termasuk pesantren besar saja. Padahal, di daerah lain jumlahnya
bisa berlipat hingga 10 kali lipat. Dasawarsa akhir abad 19 ini merupakan “rapid expansion of
tradisional institutions of Islamic education”, istilah Sartono Kartodirdjo dalam the peasants revolt,
hal. 155, namun tak memberikan data statistik. Sesudah tahun 1905 pendidikan Islam tidak lagi masuk
dalam data statistik pendidikan Pribumi. Pada tahun 1926 dan 1927 dikemukakan data tahun 1900 juga
hingga tahun 1928 data tersebut tidak diberikan sama sekali. Terlepas dari motif apa, pemerintah
Hindia Belanda tidak lagi memasukkan data pendidikan Islam dalam laporan kenegaraannya. Karel A.
Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 10.

143
penunjukkannya untuk bertugas di Indonesia, Snouck Hurgonje mencatat
meningkatnya jumlah sekolah Islam di Indonesia. Dua puluh tahun kemudian dia
mengamati bahwa jumlah sekolah Barat mulai melampaui jumlah sekolah Islam. 51
Penyelenggaraan pendidikan Islam ini tidak terlepas dari peran tokoh-tokoh ulama
Islam, khususnya mereka yang berstatus haji dan sempat menimbah ilmu ketika
mereka di tanah suci Mekkah. Dengan banyaknya jemaah haji yang selain
mengerjakan ibadah haji mereka juga belajar Islam di sana memunculkan banyak
guru agama. Dengan demikian terjadi lonjakan jumlah pendidikan Islam. Berdasarkan
laporan statistik resmi pemerintah tahun 1885 jumlah lembaga pendidikan tradisional
sebanyak 14.929 buah yang tersebar di seluruh Jawa dan Madura, tidak termasuk
Kesultanan Yogyakarta.52

Dengan kemajuan lembaga pendidikan Islam pada saat itu membuat


kekhawatiran pihak Belanda terutama pada basis pesantren yang seringkali menjadi
pusat perlawanan terhadap pemeriantah kolonial yang kebanyakan dimotori oleh para
kyai dan santrinya di lembaga pendidikan tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut,
maka berbagai usaha dilakukan Pemerintah Hindia dalam rangka memperpanjang
kekuasaan di bumi Nusantara, pemerintah kolonial senantiasa berusaha mencari
upaya dan langkah yang dapat mendukung usaha tersebut. Oleh karena itu setelah
mempelajari situasi masyarakat, pemerintah Hindia Belanda mengambil suatu
kesimpulan bahwa jalan yang dapat ditempuh untuk memperpanjang kekuasaannya
adalah dengan jalan menghancurkan umat Islam. 53 Kesimpulan ini nampak lebih
menyakinkan lagi bagi pemerintah Hindia Belanda setelah Snouck Hurgronje menulis
buku-buku tentang Islam dalam rangka menghadapi Islam secara serius. Dari tulisan

51
Snouck Hurgonje, Rapport over de Mohammedaansche godsdienstige rechtspraak, vol. IV
bagian I, 102.
52
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 151-152.
53
Mahcnun Husein, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Nurcahaya,
1985), 5.

144
ini juga membuat yakin pemerintah Hindia Belanda agar kolonialnya langgeng yakni
dengan melakukan pengekangan terhadap perkembangan pendidikan Islam,
khususnya pesantren. 54

Beberapa kebijakan terhadap pendidikan Islam di Hindia Belanda guna


menghambat perkembangannya adalah dengan dibentuknya suatu badan khusus yang
mengawasi sekaligus menentukan kebijakan tentang kehidupan beragama dan
pendidikan di Hindia Belanda yang dikenal dengan priesterraden pada tahun 1882.
Melalui badan ini lahirlah berbagai kebijakan. Pada tahun 1905 lahir peraturan yang
menetapkan setiap yang akan menjadi guru agama harus minta izin terlebih dahulu
pada pemerintah. 55 Pada tahun 1925 muncul peraturan bahwa tidak semua kyai boleh
memberikan pelajaran.56 Pada tahun 1932 dikeluarkan peraturan untuk menutup
sekolah-sekolah yang tidak ada izinnya yang dikenal dengan ordonansi sekolah liar. i
Kebijakan inilah yang sempat menimbulkan protes dari Ki Hajar Dewantara terhadap
Gubernur Jenderal Boitezorg tanggal 1 Oktober 1932.57 Pelaksanaan Politik Etispun

54
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Dep. P dan K, 1984), 56.
55
Kebijakan lain dari Pemerintah Hindia Belanda untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam
yakni menetapkan aturan yang dikenal dengan ordonansi guru agama. Yang isinya adalah bahwa setiap
orang yang hendak memberikan pengajaran agama Islam kepada orang lain, selain yang tinggal di
rumahnya, sebelum melakukan pekerjaan itu wajib meminta izin kepada Bupati atau Patih di Jawa dan
Madura atau kepada kepala Bumiputra di luar kedua pulau tersebut. Juga guru agama dibatasi
jumlahnya dan jika ada murid dari luar daerah, kartu identitasnya harus dilampirkan. Staatsblad 1905
No. 550, lihat juga: Staatsblad Tahun 1925 No.219.
56
Staatsblad tahun 1925, No. 219
57
Protes Ki Hajar Dewantara terhadap ordonansi sekolah liar melalui surat yang berbunyi:
Ekselensi, ordonansi yang dibuat dengan tergesa-gesa dan dijalankan dengan paksaan mengenai sendi-
tulangnya masyarakat dan adab, sesudah rencana anggaran pengajaran (dari pemerintah) dibatalkan
oleh volksraad seolah-olah membuktikan kebingungan dan kegetiran pada pemerintah, yang dengan
sifat berbahaya salah mengerti dan salah bertindak terhadap kepentingan hidup matinya rakyat.
Bolehlah saya memperingatkan, bahwa walaupun makhluk yang tidak berdaya sekalipun secara naluri
akan mempertahankan diri dan dengan demikian jika karena terpaksa boleh jadi kami akan
mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dengan cara tidak menggunakan kekerasan. Abdurrachman
145
dilakukan sebagai usaha untuk mendidik masyarakat Pribumi agar hidup dengan gaya
dan budaya Barat guna menghilangkan pengaruh tokoh-tokoh agama di masyarakat.
Karena pada hakekatnya, penerapan kebijakan-kebijakan yang bersifat liberal
maupun etis harus dapat menciptakan struktur peluang politik tertentu, yang
tujuannya untuk menghalangi atau memungkinkan perkembangan tertentu dalam
bidang pendidikan, intelektual, politik dan keagamaan di Hindia Belanda.58 Sasaran
menciptakan pemimpin bergaya barat ini adalah anak-anak dari kalangan aristokrasi
ataupun Pribumi yang mampu untuk melanjutkan pendidikan mereka di negeri
Belanda. Sedangkan anak-anak Bumiputra dari kalangan masyarakat rendah
disediakan pendidikan yang hanya untuk dijadikan pegawai rendahan di
pemerintahan atau buruh di pabrik perkebunan.

Selain itu usaha penekanan terhadap perkembangan pendidikan Islam juga


dilakukan melalui sekolah-sekolah zending yang sebelum diterapkan Politik Etis
memang sudah eksis di beberapa wilayah di Nusantara. Hal ini dilakukan dengan
pemberian subsidi guna mengembangkan sekolah tersebut. Bahkan dalam
perkembangan selanjutnya, sekolah zending ini akhirnya masuk ke dalam sistem
pendidikan umum gubernemen. Secara teknik, memasukkan sekolah tersebut ke
dalam sistem sekolah umum lebih mudah daripada memasukkan pesantren ke dalam
sistem pendidikan umum. Hal itu antara lain disebabkan para murid sekolah tersebut
sudah terbiasa dengan tulisan latin, bahasa melayu, yang merupakan bahasa asing
bagi murid, kenyatannya lebih mudah dibanding dengan bahasa Arab. Bagi para juru
tulis dan pegawai gubernemen lainnya, bahasa melayu merupakan bahasa yang sangat
penting dalam tugas sehari-hari mereka. Disanping itu, di sekolah zending tersebut

Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: PT.
Upima Utama Indonesia, 1986), 152
58
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensi Muslim Indonesia Abad
ke-20 (Jakarta: Mizan, 2005), 84.

146
sudah diberikan dasar-dasar ilmu hitung. Faktor lain yang tak kurang pentingnya
dalam menunjang proses penggabungan tersebut adalah disebabkan sudah lama
pemerintah mencampuri sekolah-sekolah tersebut (karena hubungan organisatoris
antara pemerintah dan zending). Dan zending juga mempunyai hubungan yang lebih
mudah dengan pemerintah jika dibandingkan dengan Islam. Oleh karena itu dapat
difahami kalau sekolah zending tersebut lebih mudah masuk ke sistem pendidikan
umum dari pada sistem pendidikan Islam.59

Kebijakan ini mendapat kritikan keras dari partai-partai sosialis di Belanda,


kebijakan dalam bidang pendidikan ini adalah kebijakan yang dicirikan oleh
kristenisasi yang dipaksakan dan pemanfaatan fasilitas pemerintah hanya untuk
mengkristenkan kaum Pribumi dengan cara menyerahkan pengelolaan bidang
pendidikan kepada sekolah-sekolah misi Kristen. Pemerintah beralasan bahwa
penyelengarakan pendidikan Pribumi oleh pemerintah merupakan pekerjaan yang
sangat besar mengeluarkan dana. Dengan memberikan subsidi kepada sekolah-
sekolah misionaris, maka langkah ini dimungkinkan untuk memberi layanan
pendidikan kepada masyarakat luas. Alasan ini digunakan para pengamat yang
menyebabkan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda sebagai
kebijakan yang gagal total. Lain halnya dengan kebijakan Inggeris di India dan
Amerika di Filipina. Di Hindia Belanda hanya segelintir rakyat Pribumi yang bisa
masuk sekolah. Maka tidak berlebihan jika ada pernyataan bahwa Belanda telah
meninggalkan rakyat di Hindia Belanda dalam keadaan hampir tidak terdidik seperti
keadaan mereka dahulu, ketika pertama kali orang-orang kulit putih menginjakkan
kaki di sana.60

59
Karel A. Steenbrink, Pesantren Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 5-6.
60
T. Raymond Kennedy, The Egeless Indies (New York: Greewood Press, 1942), 112.

147
Selain faktor tekanan di atas, pendidikan Islam awal abad ke-20 ini
dipengaruhi oleh situasi sosial politik di Hindia Belanda. Sebagaimana difahami
bahwa tokoh ulama di pedesaan seringkali menjadi motor penggerak perlawanan
terhadap pemerintah kolonial di beberapa wilayah tanah air. Akibatnya konsentrasi
terhadap pendidikan cukup terganggu. Perlawanan para ulama atas kebijakan Belanda
dilakukan melalui peperangan sehingga kehilangan konsentrasi memberikan
pengajaran. Contohnya selama masa kericuhan sosial di Aceh 1903-191261. Dengan
dikuasainya kota-kota oleh Belanda membuat rakyat Aceh termasuk ulama, guru dan
ulebalang bergerilya ke hutan. Sebelumnya mereka aktif memberikan pengajaran di
meunasah, dayah atau rangkang dengan memberikan ceramah-ceramah agama,
sehingga Pendidikan Islam terganggu.62 Padahal, sebelum adanya pendidikan yang
didirikan pemerintah Hindia Belanda, masyarakat Aceh telah memiliki lembaga-
lembaga pendidikan tradisional yang umumnya dikelola oleh para ulama. Peperangan
yang cukup lama melawan Belanda sangat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat
Aceh terutama kalangan ulama. Oleh karena itu, selama kesibukan menghadapi
peperangan para ulama sedikit sekali berkesempatan untuk memimpin dan membina
lembaga-lembaga pendidikan mereka dengan baik. Hal ini berakibat melemahnya
sistem pendidikan pada lembaga pendidikan tradisional tersebut.63

Namun dengan mulai meredahnya peperangan, maka kesempatan untuk


menghidupkan lembaga-lembaga pendidikan tradisional ini lebih luas. Apalagi
dengan latar belakang pendidikan yang kebanyakan dari Mekkah dan diperkenalkan
dengan kaum reformis Islam, mereka mengadakan pembaruan lembaga pendidikan
Islam seperti meunasah, rangkang, dayah dengan sistem madrasah yang modern,

61
Sartono Kartodirdjo, ed. Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme (Jakarta:
Dephan Pusat Sejarah ABRI, 1973), 260.
62
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 152.
63
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Dep. P dan K, 1984), 56.

148
sekaligus bisa menumbuhkan semangat nasionalis di Aceh. Hal ini diikuti oleh para
tokoh ulama di wilayah lain di tanah air.

D. Respon Terhadap Pendidikan Belanda


Kebijakan Politik Etis yang dicanangkan Pemerintah Hindia Belanda pada
awal abad ke-20 seolah-olah membawa angin segar bagi masyarakat Pribumi yang
berabad-abad sebelumnya kekayaan alam dan tenaga mereka terkuras oleh kaum
penjajah. Kebijakan ini seiring adanya perubahan sistem pemerintahan64 di negeri
Belanda sebagai pusat pengendalian pemerintahan di Hindia Belanda. Kebijakan
yang dimotori oleh Snouck Hurgronje selaku Penasehat Pemerintah Belanda urusan
Islam dan masyarakat keturunan Arab di Hindia Belanda dan Pribumi ini pada
awalnya diterima masyarakat dengan antusias dengan harapan bahwa melalui
pendidikan rakyat Pribumi dapat bangkit dari kemiskinan dan kesengsaraan yang
berkepanjangan. Sedikit seklai yang berpikir bahwa dibalik kebijakan tersebut
tersimpan hasrat lain untuk memperkuat eksistensi kaum penjajah di Hindia Belanda.
Pikiran tersebut barumuncul setelah beberapa tahun realisasi Politik Etis tersebut dan
sekolah-sekolah yang didirikan berjalan.

Pada aspek transmigrasi penduduk Jawa ke luar Pulau Jawa pada awalnya
dinilai sebagai suatu kebijakan yang betul-betul untuk memberdayakan rakyat melalui

64
Undang-Undang Dasar Belanda berubah dari konservatif ke liberal tahun 1848. Dengan
UUD tersebut, maka Belanda berubah menjadi sebuah negara monarki konstitusional dimana Ratu
Bertanggung Jawab pada parlemen. Ini berarti Belanda berubah dari kekuasaan otoritas absolut
menjadi kekuasaan dengan hukum. Dengan tatakenegaraan seperti itu, kelompok liberal mampu
mengintervensi parlemen tentang persoalan-persoalan di negara jajahan. Dalam bidang pendidikan
UUD mengamanatkan dan menjamin bahwa setiap orang di negeri Belanda bebas mendapatkan
pendidikan termasuk di Hindia Belanda yang merupakan wilayah jajahan Belanda. Dengan dukungan
dari para pengusaha yang sadar politik, kelompok liberal ini dapat berperan penting dan menentukan
dalam kebijakan di Negeri Belanda melalui parlemen. R.N. Stromberg, European Intelectual History
Since 1789 (New York: Appleton-Century-Crofts, 1968), 72-78. Lihat juga: P.T. Simbolon, Menjadi
Indonesia (Jakarta: Kompas, 1995), 126.

149
pemanfaatan sumber kekayaan alam dengan membuka lahan-lahan baru untuk
perkebunan rakyat yang dibiayai penuh oleh Pemerintah Hindia Belanda mulai dari
keberangkatan, peralatan pertanian hingga biaya hidup di lokasi koloni sebelum
mereka berhasil menggarap lahan tersebut.65 Bahkan sampai di lokasi, masyarakat
sudah disediakan lahan yang sudah disediakan pemerintah sebelumnya. Memang
kebijakan ini sempat terhambat karena pemerintah mempertimabangkan bahwa
dengan melaksanakan kebijakan ini akan membutuhkan anggaran yang cukup besar.

Selain itu, ada kelompok yang menilai bahwa kebijakan dengan alasan
penduduk Jawa sangat padat dan akan menimbulkan gejala sosial berupa kemiskinan
di masa yang akan datang. 66 Beberapa periode berikutnya program ini berjalan secara
swadaya, bahkan pembangunan jalan-jalan dan irigasi, para koloni harus menyisihkan
waktu untuk itu dengan cuma-cuma. Bantuan pemerintah untuk keberangkatan hanya
berbentuk pinjaman yang harus dicicil oleh para koloni setelah mereka berhasil
mengelola lahan perkebunan mereka. Belakangan diketahui bahwa latar belakang
dilaksanakan kolonisasi ini adalah dengan adanya politik di Negeri Belanda yang
mengizinkan pihak swasta menanamkan modalnya untuk berinvestasi di Hindia
Belanda. Oleh kaena itu, banyak pengusaha-pengusaha Eropa yang membuka pabrik-
pabrik untuk mengelola hasil pertanian masyarakat koloni seperti gula, beras, teh,
kopi dan sebagainya yang meruapakan komoditi ekspor yang sangat laku di dunia

65
M. Amral Syamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), 5.
66
Menurut H. Craandijk dalam tulisannya yang dikutip oleh M. Amral Syamsu bahwa tujuan
transmigrasi untuk mengalihkan kelebihan penduduk dari Jawa ke Sumatera tidak tercapai, karena
penduduk Jawa tidak berlebihan sebagaimana yang dikhawatirkan pemerintah. Bahkan sebaliknya
bahwa usaha-usaha kerajinan di Jawa membutuhkan lebih banyak tenaga. Demikian juga yang
dinyatakan EC. Schalkwijk yang menyatakan bahwa alasan kolonisasi penduduk Jawa ke Sumatera
adalah alasan yang tidak benar. Hal itu dilakukan tidak lain karena politik ekonomi jajahanlah yang
mendorong terjadinya kolonisasi penduduk Jawa ke Sumatera. Amral Syamsu, Dari Kolonisasi ke
Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), 122-123.

150
internasional. Sedangkan rakyat koloni tetap miskin karena ulah para pengijon dan
pedagang yang membeli hasil pertanian yang sangat murah. 67

Penerapan aspek irigasi juga tidak jauh beda dengan transmigrasi.


Pembukaan lahan sangat tidak diimbangi dengan pembangunan irigasi membuat
kesulitan bagi petani untuk mengairi perkebunan mereka.. Dengan demikian, untuk
kelancaran irigasi di lahan kolonisasi tersebut harus ditambah dengan pembangunan
irigasi baru dengan tenaga sendiri. Sebagai contoh, untuk membangun irigasi di
Sulawesi, para koloni harus memberi bantuan tenaga cuma-cuma, karena dengan
demikian sebagian biaya dapat dikurangi. Irigasi yang dibangun pemerintah hanya
2700 meter dan pengerjaan irigasi lain dilakukan oleh koloni sendiri. Dalam tiga
tahun pertama setiap orang laki-laki memberikan tenaga untuk bekerja sebanyak 75
hari. Dengan kata lain, ia harus bekerja 75 hari dalam tiga tahun untuk pemerintah.
Hari kerja itu dibagi atas 15 hari tahun pertama, 30 hari tahun kedua dan ketiga.
Selain itu, semua peralatan harus dibeli sendiri dan biaya pemindahan harus diganti
kepada pemerintah.68 Selain itu, para petani dikenakan pajak atas tanah dan tanaman
tertentu sebesar 1/5% kepada pemerintah.69

Demikian halnya pada aspek edukasi. Apa yang dilakukan terhadap


pengajaran bagi rakyat Pribumi sangat bertentangan dengan nama kebijakan yang
mereka sebut Politik Etis. Sistem pendidikan yang diterapkan pada dasarnya
diutamakan bagi masyarakat Eropa yang ada di Hindia Belanda dan sedikit sekali
untuk Pribumi. Sebagai contoh, dari sistem sekolah yang dualistis seakan-akan rakyat
Pribumi hanya diperuntukkan menjadi pegawai rendahan dan buruh pada pabrik-

67
Amral Syamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), 123.
68
M. Amral Syamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi (Jakarta: Djambatan, 1960), 108.
69
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,
1988), 751.

151
pabrik milik swasta Eropa. Sedangkan untuk melangkah ke jenjang pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi harus menempuh jalur pendidikan tertentu atau
harus dari golongan sosial masyarakat tertentu pula, bahkan dengan fasilitas dan mutu
pendidikan yang sangat rendah serta biaya yang mahal. Sedangkan untuk maayarakat
Eropa disediakan jalur khusus tanpa banyak persyaratan, dengan fasilitas dan mutu
yang baik. Sebagai contoh, untuk memasuki sekolah tingkat menengah HIS harus
diseleksi berdasarkan status sosial seseorang. Kriteria menentukan status sosial
seseorang oleh pemerintah hindia Belanda agar anaknya bisa masuk HIS adalah;
keturunan, jabatan, kekayaan dan pendidikan. Juga bedasarkan penghasilan yakni;
Kategori A termasuk kaum bangsawan, pejabat tinggi, dan swasta kaya yang
berpenghasilan 75 gulden perbulan. Kategori B adalah orang tua yang lulusan MULO
dan kweekschool ke atas. Kategori C adalah pegawai, pengusaha kecil, militer, petani
nelayan dan orang tua yang pernah mendadapat pendidikan HIS. Kategori C ini
dianggap kelas menengah ke bawah. Sedangkan kategori A dan B merupakan kelas
atas dan mendapat prioritas utama untuk memasuki HIS.70

Demikian juga untuk Sekolah Kelas Satu dan Sekolah Kelas Dua dimana
pemerintah membagi bentuk sekolah putra mejadi Sekolah Kelas I dan Kelas II.
Sekolah Kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum terkemuka (aristokrat). Sekolah
Kelas II diperuntukkan anak rakyat jelata. Sistem pendidikan ini termasuk dalam
sistem pendidikan Pribumi. Dengan demikian lulusannya tidak punya kesempatan
untuk melanjutkan ke sekolah Eropa sebagai sekolah lanjutan. Baru tahun 1914
Sekolah Kelas I diubah menjadi HIS (Sekolah Belanda Pribumi) dengan demikian
anak Pribumi kelas priyai dapat melanjutkan ke sekolah Eropa lanjutan. Itupun bagi
anak yang orang tuanya memiliki tingkat penghasilan yang memadai.71

70
Staatsblad Tahun 1914 No. 359.

152
Belakangan diketahui bahwa banyak motif lain dibalik kebijakan Politik Etis.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Belanda seperti pendirian sekolah-sekolah
hanyalah upaya untuk memusatkan kekuasaan politik Belanda atas seluruh wilayah
kepulauan dan upaya pembentukan sebuah pemerintahan tunggal atas Hindia.
Terbukti setelah berabad-abad kehadirannya hanya semata-mata untuk meraup
keuntungan dari Hindia tanpa mempengaruhi struktur masyarakat.72 Sebagaimana
kebijakan pendidikan di Aceh dimana kelompok yang dipelopori oleh Snouck
Hurgronje beranggapan bahwa perlawanan bersenjata dari rakyat Pribumi salah
satunya adalah perlawanan yang diberika oleh rakyat Aceh dalam menentang kolonial
Belanda, terutama yang digerakkan oleh sistem nilai agama Islam. Perlawanan ini
hanya mungkin dapat diselesaikan atau dikurangi jika golongan bangsawan atau
pemuka adat dari daerah setempat (Aceh dari golongan uleebalang) dapat ditarik ke
dalam orbit kebudayaan dan sistem nilai Barat dan Belanda. Oleh karena itu,
kelompok tersebut menyarankan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar dapat
menciptakan suatu golongan elit baru yang dibina dan dididik dengan kebudayaan
dan sistem nilai Barat. Dengan sistem ini diharapkan mereka yang telah yang dibina
dan dididik ini tidak lagi mengikuti seruan para pemimpin agama atau ulama untuk
menentang Belanda. Sehingga pengaruh agama Islam dapat dikurangi sebagaimana
yang juga diterapkan di daerah lain. Usaha itupun direalisasikan dengan membuka
sekolah Barat tahun 1900 di Aceh dan mengirimkan beberapa putra bangsawan ke
Banda Aceh. Akan tetapi, meskipun dengan pendidikan tersebut, para putra
bangsawan ini tetap berpihak pada kepentingan rakyat dan menjadi tokoh nasionalis
di daerahnya dan tetap menjalin kerjasama dengan tokoh-tokoh agama. Memang telah

71
Staatsblad Tahun 1893 No. 125.
72
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,
1988), 755.

153
terjadi kelompok baru tapi bukan sebagaimana yang diharapkan pemerintah
Belanda.73

Ungkapan lain yang muncul tentang Politik Etis adalah bahwa sebenarnya,
dalam kebijakan-kebijakan Politik Etis terdapat lebih banyak janji daripada
pelaksanaan, dan fakta-fakta penting tentng eksploitasi dan penaklukan sesungguhnya
tidak berubah, tapi ini tidak mengurangi arti penting zaman penjajahan baru. Apalagi
pada tahun 1907 Gubernur Jenderal van Heuzts menerapkan kebijakan untuk
mendirikan sekolah-sekolah desa yang sebagian besar biayanya ditanggung oleh
penduduk desa sendiri, sedangkan pemerintah hanya membantu seadanya saja.74

Politik Etis juga sebagai salah satu strategi Snouck Hurgronje untuk
menjadikan negeri jajahan dapat bersatu dan mendukung negeri Belanda dengan
mengupayakan Indonesia sebagai barat dengan jalan asosiasi75 orang-orang Indonesia
kepada budaya Belanda. Persekutuan ini akan mengakhiri jurang pemisah antara yang
diperintah dan pemerintah. Mereka tak lagi dipisahkan oleh kesetiaan agama . agar
kesetiaan tersebut menjadi kenyataan, maka pendidikan barat harus diserahkan
kepada orang-orang Indonesia. Menurutnya, pendidikan merupakan langkah pertama

73
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Dep. P dan K, 1984), 37-38.
74
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Yogyakarta: Serambi, 2005), 319,
334
75
Berasosiasi bertujuan untuk memperkuat ikatan negeri jajahan dengan negara penjajah
melalui kebudayaan, dimana pendidikan menjadi garapan utamanya. Teori ini juga bersifat
mempertemukan dua negeri yang berbeda sebagai teman. Istilah lain adalah asimilasi yang cenderung
menyatukan kedudukannya, dan unifikasi yang cenderung pada kesatuan hukum bagi seluruh
penduduk. Asosiasi digunakan Belanda, asimilasi dilakukan Portugis, Inggris, Spanyol dan Amerika,
unifikasi dilakukan Perancis. Akib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 39-
40.

154
yang segera diikuti dengan melibatkan dalam permasalahan politik dan administrasi,
pada saat itulah tinggal memetik hasilnya.76

Setelah mengikuti perkembangan kebijakan Politik Etis yang kurang berpihak


pada rakyat Pribumi, maka berbagai reaksi keras yang dilakukan oleh berbagai
elemen bangsa, baik secara kelompok melalui organisasi yang mereka dirikan
maupun secara perorangan sesuai dengan kemampuan mereka. Perlu diketahui bahwa
sebelum dilaksanakan kebijakan ini, sepanjang abad ke-19 juga telah muncul
berbagai gerakan perlawanan berupa pemberontakan maupun peperangan yang
panjang melawan kaum penjajah seperti perang Jawa yang dimotori para ulama pada
tahun 1825-1830, perang Diponegoro, Perang Aceh, perang Padri, perang oleh petani
Banten dan sebagainya. Elemen-elemen masyarakat yang muncul sebagai resksi
kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia Belanda seperti organisasi Budi Utomo yang
berdiri pada tahun 1908, Indische Partij berdiri tahun 1911, Muhammadiyah yang
berdiri tahun 1912, Taman Siswa yang berdiri tahun 1922, Persatuan Islam (Persis)
yang berdiri tahun 1923, Nahdlatul Ulama yang berdiri tahun 1926 dan organisasi-
organisasi berskala lokal seperti Persatuan Ulama di Minangkabau, Persatuan Umat
Seluruh Aceh. 77 Dari organisasi ini ada yang bergerak dalam bidang politik, budaya
dan sebagian besar dalam bidang pendidikan.

76
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun (The Huge and Bandung: W. Van Hoeve,
tt), 47-52.
77
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,
1988), 755-756. Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bakti,
1983), 46.

155
Oleh karena itu, awal abad ke 20 dapat dikatakan sebagai abad kebangkitan.78
Kebangkitan Islam di Indonesia pada awal abad ke 20 termasuk bagian dari
serentetan perubahan yang terjadi di Nusantara ini. Kebangkitan tersebut dapat
diartikan sebagai tumbuhnya kesadaran umat Islam di Hindia Belanda untuk
melakukan perjuangan melawan kolonial Barat dan dapat pula diartikan lahirnya
orgaisasi-orgaisasi Islam Indonesia, karena mendapat pengaruh ide-ide pembaharuan
pemikira tentang ke-Islaman dari Timur Tengah dan India serta alam pikiran Barat.
Sebelum awal abad 20 gerakan pembaruan di Timur Tengah telah masuk ke
Nusantara di Sumatera, yakni sepulangnya Haji Miskin dan kawan-kawan beribadah
haji sekaligus menuntut ilmu pengetahuan di Mekkah ke Minangkabau pada tahun
1803 dengan faham wahabinya, suatu faham yang sangat berpengaruh di Arab
Saudi.79

Kebangkitan pergerakan nasional sebagai reaksi kebijakan-kebijakan


Pemerintah Hindia Belanda diawali dengan berdirinya organisasi kemasyarakatan
maupun organisasi politik di antaranya:

Tahun 1908. Pada tahun ini berdiri Perkumpulan Budi Utomo yang
dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan para pelajar di STOVIA lainnya.
Perkumpulan dengan aliran berdasarkan kebebasan ini bercorak ke-Jawa-an dimana
orang Jawa umumnya masih memiliki watak untuk memunculkn kembali suatu
kerajaan di Jawa. Oleh karena itu dikatakan bahwa Budi Utomo merupakan asosiasi

78
Kebangkitan dalam istilah asing disebut resurgence yang berarti tindakan bangkit kembali.
Istilah ini mengandung beberapa hal yang penting. Pertama, dalam beberapa hal, reurgence
merupakan pandangan dari dalam, suatu cara yang banyak digunakan banyak muslim sendiri dalam
melihat tumbuhnya dampak agama di kalangan penganutnya. Istilah ini mengandung kesan bahwa
Islam menjadi penting kembali, bahwa ia mendapat kembali prestise dan harga dirinya. Kedua, bangkit
kembali menunjukkan suatu gejala yang pernah terjadi sebelumnya. Ada petunjuk bahwa ada unsur-
unsur dalam bangkitnya Islam pada saat itu yang mempunyai pertalian dengan masa lampau. Lihat:
Chandra Muzaffar, Kebangkitan Islam Suatu Pandangan Global Dalam Perkembangan Modern
Dalam Islam, oleh Harun Nasution dan Azyumardi Azra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), 70.
79
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1979), 28.

156
kultur Jawa yang pertama yang memperjuangkan pendidikan dan kebangkitan
kebudayaan Hindu-Budha dari kebudayaan Jawa kuno dengan harapan dapat
menciptakan kembali kecerahan dan stabilitas yang tergeser oleh westernisasi. Pada
awalnya perkumpulan ini menolak Politik Etis yang diterapkan Pemerintah Hindia
Belanda, tapi pada tahun-tahun berikutnya, organisasi yang tadinya bersifat
kebudayaan, berubah menjadi organisasi politik dan menyerukan suatu rezim
parlementer. Namun pada dasarnya organisasi ini bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan umum yang dirasakan orang masyarakat Jawa untuk meningkatkan derajat
rakyat melalui persatuan dan kerjasama memperbaiki keadaan masyarakat dan
politik.80

Hingga dasawarsa pertama dalam organisasi ini masih terdapat unsur-unsur


pemikiran pemberontak yang akhirnya orang-orang yang berpikiran maju makin
terdesak yang lama kelamaan watak perkumpulan ini tampak berubah dengan ciri
liberalisme. Dan ini menjadi ciri dalam Perkumpulan Budi Utomo. Keadaan ini lebih
disebabkan oleh orang-orang yang ada di dalam perkumpulan ini terdiri dari berbagai
macam pemikiran politik, seperti Tjipto Mangunkusumo yang ingin membuat
perkumpulan ini suatu perkumpulan yang mutlak politik, sedangkan yang lain tidak
punya keberanian untuk itu.81 Akan tetapi, terlepas apapun yang belum dan telah

80
Ira M. Lapidus A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,
1988), 759.
81
Kekisruhan di tubuh Budi Utomo baru terungkap dari tulisan Ki Hajar Dewantara yang
menyatakan bahwa sebetulnya pada saat berdirinya Budi Utomo sebagai persatuan kebangsaan umum
pada waktu itu terdapat dua golongan, yakni moderat dan radikal atau revolusioner. Tjipto sendiri
berdiri sebagai pemimpin golongan radikal yang pada akhirnya terpecah dengan mendirikan Sarikat
Islam dan yang lain mendirikan Indische Partij. Bahkan setelah kongres yang pertama tanggal 12
Nopember 1908 para Bupati seperti Bupati Tumenggung, Kedu dan Jepara mengajukan permohonan
untuk mendirikan Perkumpulan Bupati. Hal ini mendapat reaksi keras dari para pemuda dan pelajar
karena dianggap sebagai usaha melawan aliran demokrasi yang ada dalam Budi Utomo. Ki Hajar
Dewantara, Dari Kebangunan Nasional Sampai Proklamasi Kemerdekaan (Jakarta: Widjaya, 1952),
219.

157
dilakukan organisasi ini dalam memperjuangkan nasib dan martabat rakyat, arti besar
yang diambil rakyat dalam hal ini adalah mulai bangkitnya semangat persatuan di
kalangan pemuda dan pelajar Pribumi waktu itu. Hal ini dianggap suatu rintisan bagi
organisasi-organisasi ke depan untuk terus bangkit memperjuangkan harkat martabat
bangsa.

Tahun 1911. Organisasi yang lahir pada tahun ini adalah Sarikat Islam,
tepatnya tanggal 11 November 191182 oleh Haji Samanhudi dengan bantuan R.M.
Tirtoadisoeryo. Sarikat Islam merupakan organisasi yang dalam arti ekonomi
menyatakan perlawanan terhadap praktek dagang orang Tionghoa, perlawanan
terhadap bentuk semua penghinaan terhadap rakyat Pribumi, perlawanan terhadap
kritenisasi oleh kelompok zending, dan semua bentuk penindasan dan kesombongan
rasial. Awal kelahirannya tahun 1905 organisasi ini dikenal dengan nama Sarikat
Dagang Islam. Tujuannnya adalah; mengembangkan jiwa berdagang, memberi
bantuan kepada para anggota yang diluar kemampuannya mengalami kesukaran,
memajukan pengajaran guna mempercepat naiknya derajat Bumiputra, dan
menentang pendapat yang keliru tentang agama Islam.83 Meskipun dilihat dari
rumusan tujuannya bukanlah organisasi politik, namum Sarikat Islam dinilai suatu
kebangkitan revolusioner karena gigihnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran,
khususnya melawan kebijakan-kebijakan pemerintah jajahan yang dinilai
merendahkan martabat bangsa dan menyengsarakan rakyat Bumiputra. Ada tiga
aliran yang dinilai Koch dalam Sarikat Islam, yakni bersifat Islam fanatik, bersikap
menentang keras dan ada aliran yang berusaha mencari kemajuan secara berangsur-

82
Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1973), 78.
83
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986), 47.

158
angsur dengan bantuan pemerintah.84 Dengan sikap organisasi yang radikal inilah,
maka pemerintah melakukan upaya diplomatik dalam menghadapinya. Seperti contoh
dengan mengirim penasehat pemerintah untuk mengadakan pertemuan dengan
pimpinan organiasasi, yang akhirnya unsur-unsur pemberontakan berkurang bahkan
banyak anggotanya yang berubah menjadi bermental dan bersemangat Belanda.

Dalam hal keanggotaan, Sarikat Islam hanya menerima orang muslim. Hal ini
dengan pertimbangan bahwa hanya agama Islam yang dapat mengatasi permasalahan
rakyat Hindia Belanda yang majemuk. Sedangkan di luar Islam dianggap kelompok
yang hanya minoritas yang kurang bisa mengakomodasi kepentingan dari kelompok
yang lebih besar. Karena sifatnya terdapat unsur nasionalis, maka dalam anggaran
dasarnya terdapat ketentuan bahwa orang Islam berkebangsaan asing tidak
diperbolehkan menduduki jabatan penting dalam partai, namun jika memang mereka
sudah terbukti berguna bagi masyarakat Bumiputra dengan tindakan dan perbuatan,
maka mereka dapat diterima dalam pengurus namun hanya sebagai anggota
pendengar.

Tahun 1912. Pada tahun ini berdiri Indische Partij yang didirikan oleh Ernest
Douwes Dekker85 yang mewakili kepentingan keturunan campuran antara Eropa dan
Bumiputra guna menyampaikan aspirasi atas kesamaan kedudukan mereka dengan
warga Eropa. Berdasarkan rapat peresmiannya, partai ini didirikan di Bandung pada

84
D.M.G. Koch, Menuju Kemerdekaan Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia Sampai
1942, Terjemahan: Abdul Muis (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1951), 12.

85
E.F.E. Douwes Dekker dikenal sebagai tokoh internasionalisme. Beliau seorang keturunan
indo, ayahnya keturunan Belanda dan ibunya seorang keturunan Jawa, dan memiliki nama Indonesia,
yakni Suryadi Suryaningrat atau Setia Budi. Meskipun beliau keturunan Belanda tapi tidak mengenal
keunggulan indo atas penduduk Pribumi, bahkan menghendaki hilangnya golongan indo dengan
melebur ke dalam masyarakat Pribumi dan yang pertama mencetuskan kemerdekaan Hindia. Dari
namanya dapat difahami bahwa beliau masih memiliki hubungan keluarga dengan Eduard Douwes
Dekker yang dikenal dengan Mulltatuli, seorang penulis Max Havelaar, pembela petani Banten.
B.H.M. Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia (Brussel: Gravenhage, 1959), 352.

159
tanggal 6 September 1912. Partai ini dianggap sebagai partai pertama yang menuntut
kemerdekaan politik untuk Hindia Belanda. Partai ini membawa suau aliran yang
baru dalam pergerakan Hindia yang dapat dikategorikan sebagai nasionalis radikal.
Tentunya sangat berbeda dengan Budi Utomo yang bercorak liberal. Dalam partai ini
telah bergabung perkumpulan yang sebelumnya telah berdiri, yakni Perkumpulan
Insulinde.86 Perkumpulan ini sebenarnya lebih tua dari Indische Partij. Perkumpulan
ini bertujuan memajukan kemakmuran Hindia dan rakyatnya.87 Pada waktu Indische
Partij terbentuk Perkumpulan Insulinde masuk ke dalamnya. Dan pada saat Indische
Partij dibubarkan karena dinilai radikal oleh pemerintah, maka partai ini meleburkan
diri dalam Insulinde yang telah diakui sah namun aksi-aksi Indische Partij tetap
diteruskan.

Sebuah organisasi bersifat Islam modernis juga lahir pada tahun 1912 ini,
yakni Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan yang pada dasarnya
bertujuan memperbarui praktek Islam dan untuk memperbaiki kehidupan komunitas
Islam dengan mengupayakan pembentukan pola pendidikan modern yang
memperkenalkan program belajar yang berjenjang, merasionalisasikan metode
pengajaran dan menekankan pemahaman dan penalaran daripada penghafalan.
Sekolah-sekolah yang diprakarsainya berbagai jenis sekolah, sebagian merupakan

86
Didirikan di Bandung tahun 1907 sebagai reaksi terhadap paham kolot dari Perserikatan
Hindia yang berdiri tahun 1908 yang merupakan perkumpulan dari peranakan Belanda yang hanya
mementingkan kelompoknya. Setelah Indische Partij dilarang tahun 1913, maka sebagian besar
anggotanya masuk ke dalam Insulinde. Pada tahun 1919 anggaran dasarnya diubah dan perkumpulan
ini terbuka untuk semua bangsa dan tempat kadudukannya pindah ke Semarang. Perkembangan
selanjutnya berganti nama menjadi Nasional Indische Partij. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan
Rakyat Indonesia (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1950), 21-22.
87
Untuk mencapai tujuan itu, maka usaha yang dilakukan adalah memelihara nasionalis
Hindia, menghilangkan perbedaan ras, memajukan kerjasama nasional, memajukan daya pikir dan
kesusilaan, pengupayaan persamaan hak Pribumi, meningkatkan semangat patriotisme, mengupayakan
pengajaran bagi Pribumi, memajukan ekonomi rakyat, dan usaha-usaha ke arah perbaikan tarap hidup
rakyat. Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986), 49-50.

160
sekolah dasar agama dan sekolah dasar sekuler serta berusaha menyelaraskan nilai-
nilai Islam dengan kebutuhan sosial dan pendidikan kontemporer.

Organisasi ini berdiri dilatar belakangi oleh internal dan eksternal. Faktor
internal adalah yang berhubungan dengan pribadi KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri.
Faktor eksternal adalah hal-hal yang terjadi di luar pribadi KH. Ahmad Dahlan yang
meliputi aspek sosial, keagamaan, pendidikan dan politik bangsa. Realitas sosial
keagamaan terdiri dari dua aspek, yakni masalah internal umat Islam sendiri dalam
melaksanakan ajaran Islam yang tidak lagi murni yang sesuai dengan al-Qur an dan
as-Sunnah, penuh dengan bid’ah dan khurafat dan tahayul. Sedangkan aspek
eksternal yang berhubungan dengan penetrasi atas misi Kristen. Realitas sosial
pendidikan berupa sistem pendidikan yang bersifat dikotomik, pendidikan tradisional
pesantren dan pendidikan modern Barat. Oleh karena itu, pendidikan yang
dilaksankan merupakan perpaduan di antara kedua sistem pendidikan tersebut, yakni
semangat Islam dan Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
organisasi Muhammadiyah dinilai paling aktif melawan misi Kristen.88 Bahkan
dengan akifnya kegiatan pengajaran ini sempat menimbulkan kekhawatiran di pihak
pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan laporan peninjauan yang dilakukan oleh
pihak pemerintah bahwa pada tahun-tahun pertama sekolah dasar yang didirikan
Muhammadiyah, meskipun sangat sederhana, namun ia merupakan elemen modern
dalam kraton Yogya yang ultra konservatif. Oleh karena itu, penguasa Pribumi
merasa ngeri terhadapnya.89

Meskipun Muhammadiyah menyatakan dirinya sebagai organisasi sosial yang


mengabdikan diri di bidang pengajaran, namun secara tidak disadari bahwa dengan
berbagai pemikiran reformis Islam, sulit sekali melepaskan diri dari pengaruh politik.

88
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 3.
89
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 57.

161
Terlebih banyak para anggotanya merupakan mantan aktivis Sarikat Islam yang
kemudian menyalurkan aktivitasnya melalui organisasi dakwah Islam ini. Oleh
karena itu, beberapa analisa menunjukkan bahwa Muhammadiyah juga
mengembangkan kesadaran politik para anggota maupun siswa yang seolah-olah di
sekolah Muhammadiyah. Kahin menggambarkan apa yang dilakukan
Muhammadiyah dalam arus nasionalisme politik ibarat anak sungai yang tenang tapi
cukup dalam, dengan perlahan dan secara diam-diam dan terus menerus
menghidupkan dan memperkuat arus nasionalisme politik.90 Analisa ini cukup
beralasan dan terbukti di era reformasi, organisasi ini telah melebarkan sayapnya
dengan mendirikan partai politik dan tetap eksis hingga sekarang.

Pola kegiatan yang dilakukan oleh Muhammadiyah sangat mirip dengan apa
yang dilakukan oleh Abdullah Ahmad di Padang seperti; pertama, adanya kegiatan
berupa tabligh berupa pengajaran yang diberikan kepada kelompok orang dewasa
yang berisikan kursus-kursus tertentu dan teratur; kedua, mendirikan sekolah-sekolah
swasta dengan model pendidikan pemerintah (pendidikan Barat), namun ditambah
dengan pelajaran-pelajaran agama setiap minggu; ketiga, adanya pembentukan kader-
kader organisasi dan kelompok guru-guru agama dengan mendirikan Pondok
Muhammadiyah yang demikian juga pernah didirikan oleh Normal Islam di Padang.91
Hanya saja di bidang sosial kemasyarakatan, Perkumpulan Muhammadiyah lebih
aktif. Hal ini terbukti dengan adanya pendirian perkumpulan Aisyiah dengan upaya
memberdayakan potensi perempuan dalam kegiatan-kegiatan keterampilan,
menyantuni fakir miskin, penyaluran zakat, mendirikan klinik kesehatan, balai
kesehatan ibu anak dan sebagainya.

90
George Mc.Turman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980), 112.
91
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 56.

162
Tahun 1913. Pada tahun ini didirikan Madrasah Al-Irsyad di Jakarta.
Madrasah ini merupakan madrasah tertua di Jakarta yang dibangun oleh Perhimpunan
Al-Irsyad Jakarta.92 Madrasah ini telah banyak menghasilkan guru agama dan
melaksanakan aktivitas penyebaran agama Islam di Tanah Air. Sejak berdirinya
Perhimpunan Al-Irsyad sudah memiliki struktur organisasi, anggaran dasar, anggaran
rumah tangga, ketua, bendahara, sekretaris dan sebagainya. Dengan demikian
organisasi ini memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pengakuan resmi dari
pemerintah. Ide pendirian organisasi ini diawali dengan adanya perselisihan tajam di
kalangan mereka atas hak istimewa bagi keturunan Nabi Muhammad pada tahun
1910. Perselisihan tersebut dikarenakan adannya larangan kawin bagi anak
perempuan sayyid dengan orang yang bukan keturunan sayyid. Akibatnya pada tahun
1913 perdebatan pun berakhir dengan perpecahan di kalangan mereka. Mereka yang
tidak menghormati gelar sayyid kebanyakan dicap reformis atau modernis yang
kemudian kelompok ini mendirikan organisasi Jami’ah al-Islam wal Irsyad al-Arabia
atau yang dikenal dengan Al-Irsyad.93

Tahun 1917. Jauh sebelum didirikannya Organisasi Nahdlatul Ulama, pada


tahun 1917 sudah berdiri organisasi di kalangan para ulama, yakni Persyarikatan

92
Perkumpulan ini didirikan oleh masyarakat keturunan Arab di beberapa kota besar di
Indonesia. Pada beberapa kota di tanah air sering ditemukan suatu kelompok masyarakat Arab
pedagang. Karena lahir di tanah Arab, maka kebanyakan dari mereka menguasai bahasa Arab. Di
antara mereka ada yang aktif dalam bidang agama. Mereka sangat dihormati oleh orang Islam tanah
air, terutama mereka yang dianggap masih keturunan langsung dari Nabi Muhammad yang begelar
sayyid. Pada tahun 1901 ada wacana dari masyarakat Arab di Jakarta untuk mendirikan madrasah
dengan tujuan menyelenggarakan pendidikan umum dan agama yang lebih baik. Usaha ini sempat
gagal, namun pada tahun 1905 organisasi al-Jamiatul Khairiyah berhasil mendirikan sekolah pertama
bagi masyarakat Arab di Jakarta. G.F. Pijper, Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Terjemahan:
Tudjimah dan Yessy Augusdin, (Jakarta: UI Press, 1984), 115. Karel A. Steenbrink, Pesantren
Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 59.
93
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 61.

163
Ulama (PU) yang didirikan oleh Abdul Halim di Majalengka.94 Sebelumnya pada
tahun 1911 beliau pernah mendirikan organisasi Hayatul Qulub yang bertujuan ganda
yakni sebagai usaha pendidikan agama dan semacam koperasi simpan pinjam. Namun
pada tahun 1915 organisasi ini ditutup karena dilarang pemerintah. Meskipun
demikian, tekadnya untuk memajukan ilmu pengetahuan agama dan pengetahuan
sosial ekonomi masyarakat tetap tinggi. Oleh karena itu beliau bergabung dengan
Muhammadiyah dengan aktif di bidang tabligh yang merupakan program dakwah
pada organisasi tersebut. Pada tahun 1916 beliau berhasil mendirikan sebuah
madrasah dengan bantuan dari teman-temannya. Selain aktifnya di Muhammadiyah,
kedekatan dengan organisasi seperti Jamiatul Khair dan Al-Irsyad serta kelompok
Arab dari kedua organisasi tersebut, beliau berhasil mendirikan organisasi
Persyarikatan Ulama tersebut.

Perjuangan keras beliau untuk berkiprah di bidang pengajaran karena


penilaian beliau bahwa pendidikan Barat yang didirikan pemerintah, pada
kenyataannya hanya untuk mempersiapkan siswa untuk tenaga pegawai kantor negeri
maupun swasta.95 Oleh karena itu, di bawah payung organisasi PU ini selain
menyelenggarakan pendidikan dengan pelajaran agama dan umum juga diberikan
pelajaran keterampilan seperti pertanian, pertukangan dan ukiran kayu. Dan
bergabungnya organisasi ini ke dalam Persatuan Ulama Islam pada tahun 1945 yang
juga aktif dalam kegiatan sosial pendidikan, dalam perkembangan berikutnya banyak

94
Ulama yang bermazhab Syafi’i ini adalah teman sepengajaran dengan Ahmad Dahlan dan
Abdul Wahab Hasbullah. Selain itu, beliau juga memiliki banyak teman dari kalangan priyai.
Sebagaimana Ahmad Dahlan maupun Abdul Wahab, beliau juga pernah belajar di Mekkah dan
mengunjungi sejumlah pesantren sebelum belajar di Mekkah. Beberapa penulis mengkategorikan
belaiu ke dalam kelompok konservatif yang menolak reformasi berdasarkan kategori fikih. Anggapan
ini tidaklah tepat, karena dalam sistem pendidikan dia tidak memakai sistem halaqah, namun
menggunakan sistem klasikal yang dilengkapi dengan sarana seperti meja kursi dan papan tulis serta
kurikulum tertentu. Penolakannnya terhadap pendidikan barat karena pengajaran tersebut hanya
menciptakan pegawai rendah di pemerintahan. Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah
(Jakarta: LP3ES, 1994), 73-74.
95
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 74.

164
mengalami kendala karena dari anggota yang beralih ke kancah politik, sehingga
bidang sosial pendidikan agak terbengkalai.

Tahun 1922. Salah satu organisasi yang sangat keras atas reaksi kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda atas pengajaran yang diterapkan adalah Perguruan Taman
Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Sebagaimana halnya
Muhammadiyah, Taman Siswa juga merupakan perkumpulan yang bertujuan
mamajukan pendidikan masyarakat Bumiputra. Pendidikan dianggap sebagai alat
ampuh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Karena pendidikan yang
diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah pengajaran yang bermutu rendah
dan meskipun menjadi pegawai pemerintah hanya terbatas pada level pegawai rendah
dengan gaji yang tidak jauh beda dengan pembantu rumah tangga. Salah satu
pernyataan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan di Negeri Belanda bertujuan
melengkapi tenaga-tenaga kerja yang diperlukan yang tak dapat dihasilkan sendiri.
Tetapi jika masih juga belum dimulai untuk memindahkan pendidikan tersebut
lambat laun ke Indonesia, orang Indonesia harus bangkit melawan hal itu. Di
Indonesia hanya dididik tenaga-tenaga untuk jabatan rendah, sedangkan orang
Indonesia tak mampu untuk membiayai ongkos-ongkos belajar di Eropa.96

Ki Hajar Dewantara menganggap bahwa pendidikan yang diselenggarakan


oleh pemerintah tak dapat memajukan kehidupan bersama, sehingga selalu
bergantung kepada kaum penjajah. Pendidikan pemerintah tidak menciptakan
manusia yang merdeka. Untuk melawan hal itu, maka melalui jalur politik juga perlu
dilakukan, akan tetapi pendidikan dan pengajaran harus dilakukan guna penyebaran
benih hidup rakyat dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan nasional.
Sedangkan pendidikan nasional yang dimaksud adalah suatu sistem yang baru

96
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986), 72.

165
berdasarkan atas kebudayaan sendiri dan mengutamakan kepentingan seluruh
masyarakat serta mengembangkan potensi sesuai dengan kodrat anak. Hal ini dikenal
dengan sistem among.97 Kemampuan Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan
Taman Siswa sangat didukung oleh pengalaman beliau mulai dari keberadaan beliau
di tengah-tengah pelajar STOVIA di Jakarta, aktifnya beliau di Budi Utomo, Sarikat
Islam, Indische Partij di Bandung, menjadi buangan politik di negeri Belanda,
mempelajari praktek-praktek demokrasi Barat di Belanda dan belajar di sana hingga
mendapat akta mengajar, mengalami Perang Dunia I, menanggapi secara intelektual
keadaan masyarakat sekitar dengan tulisan-tulisannya. Kembali ke tanah air aktif lagi
di arena politik, menjadi wartawan, tahanan politik di penjara, praktek mengajar di
sekolah dasar berbahasa Belanda, di sekolah Adhi Dharma,98 berdiskusi dengan
kelompok kerohanian hingga akhirnya mendirikan Perguruan Taman Siswa. Hal ini
menggambarkan ikut sertanya berbagai kekuatan masyarakat ketika Perguruan
Taman Siswa didirikan hingga revolusi kemerdekaan. 99.

Tahun 1923. Pada tahun ini berdiri organisasi Persatuan Pesantren Islam
(Persis) di Bandung. Selaku ketuanya adalah A. Hasan dan selaku sekretarisnya

97
Sistem among yang dimaksud adalah; pertama, kemerdekaan sebagai syarat untuk
menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin hingga dapat hidup merdeka (mandiri);
kedua, kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-
cepatnnya dan sebaik-baiknya. Selain itu, ada Panca Darma Taman Siswa yang bercirikan
kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan dan kemanusiaan. I. Djumhur dan H.
Danasaputra, Sejarah Pendidikan (Bandung: Ilmu, 1976), 147.
98
Sekolah Adhi Dharma merupakan bagian dari perkumpulan senama yang merupakan badan
sosial dengan jumlahnya ribuan di Yogyakarta dan didirikan oleh Surjopranoto pada tahun 1915.
Sekolah ini adalah sekolah partikelir (swasta) pertama yang didirikan oleh rakyat Pribumi berbentuk
HIS. Sekembalinya Ki Hajar Dewantara dari Negeri Belanda, di samping menjadi wartawan, ia juga
menyelenggarakan sekolah Adhi Dharma. Hal ini merupakan hasil pengalamannya selama belajar di
Negeri Belanda yang dipraktekkannya di Indonesia. Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar
Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama
Indonesia, 1986), 74
99
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986), 203.

166
adalah M. Natsir yang berprofesi sebagai guru. Tujuan didirikannya organisasi ini
adalah mempersiapkan calon ulama yang tidak kaku menghadapi masyarakat, untuk
menghasilkan mubaligh yang memiliki kemampuan serta kesanggupan menyiarkan,
membela serta mempertahankan agama Islam. Sedangkan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan tersebut, organisasi ini mendirikan pesantren dan madrasah dengan
jam belajar pagi maupun sore hari. Selain itu juga giat melaksanakan tazkiah guna
mengembalikan al-Qur an dan Sunnah, membersihkan Islam dari bid’ah dan khurafat
serta memberikan pengertian tentang hukum-hukum Islam yang sebenarnya. Pada
masa kolonial Belanda, Persis telah mendirikan sekolah guru dengan nama
Kweekschool Pendidikan Islam.100

Tahun 1926. Organisasi yang sangat aktif memajukan pendidikan Islam pada
masa Hindia Belanda hingga sekarang adalah Nahdlatul Ulama yang didirikan pada
tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’ari bersama K.H. Abdul Wahab
Hasbullah101 dan sejumlah ulama di Jawa Timur. K.H. Hasyim Asy’ari menjadi

100
I. Djumhur dan H. Danasaputra, Sejarah Pendidikan (Bandung: Ilmu, 1976), 182.
101
Dia dianggap sebagai seorang organisator yang handal dan dianggap sebagai pendorong
berdirinya NU. Pada tahun 1916 pernah mendirikan Jamiatul Wathan bersama H. Mas Mansur.
Organiasi ini bertujuan memperbaiki pendidikan agama melalui sistem pendidikan yang tersusun lebih
baik antara lain dengan sistem klasikal. Di Surabaya, organisasi ini cepat berkembang karena banyak
guru agama bergabung kepada mereka dan mengambil alih ide yang dikemukakan dalam jamiah
tersebut. Pada tahun 1922 H. Mas Mansur masuk dalam Perserikatan Muhammadiyah, sekaligus
meninggalkan tugas mengajarnya di Jamiatul Wathan. Atas peristiwa ketika khalifah Turki
melepaskan jabatan khalifah dan Mesir bermaksud mengadakan konferensi Islam internasional tahun
1924 namun terjadi kekacauan dan Ibnu Sa’ud (berfaham wahabi bermazhab Hambali) menduduki
Mekkah dan Konferensi Internasional dilakukan atas prakarsa Ibnu Sa’ud, maka kaum muslim di
Indonesia membentuk komite yang akan menghadiri konferensi tersebut. Namun wakil-wakil Islam
Indonesia tersebut banyak berfaham Islam reformis seperti Tjokroanimoto. Kondisi ini menimbulkan
kekhawatiran di pihak ulama syafi’i (bermazhab Syafi’i) termasuk K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang
khawatir akan eksistensi mereka sebagaimana di Mekkah, maka bersama KH. Hasyim Asy’ari dkk
mendirikan Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama) pada tahun 1926 dalam rangka membela
kepentingan muslim tradisional. Ide pendirian organisasi ini merupakan hasil dari Komite Merembuk
Hijas.Organisasi ini berpusat di Jawa Timur dan berkembang ke wilayah-wilayah lain Indonesia
dengan mendirikan pondok-pondok pesantren tradisional. Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah
167
Ketua Umum pada saat itu. Sebelumnya pada tahun 1899 beliau mendirikan
pesantren Tebuireng di Jombang Jawa Timur. Pada awalnya pendidikan yang
diselenggarakan bercorak tradisional dengan pengajaran yang bersifat halaqah,
namun perkembangan berikutnya sudah melaksanakan pendidikan madrasah yang
berisikan pelajaran umum.102 Pada madrasah salafiyah yang didirikan terdapat
pelajaran umum seperti berhitung, bahasa Indonesia, ilmu bumi, sejarah dan
sebagainya. Pada tahun 1952 organisasi ini menjadi partai politik dan untuk mencapai
tujuan politik tersebut diadakan berbagai usaha seperti memajukan dan
memperbanyak pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah serta mengadakan
tabligh-tabigh dan pengajian-pengajian di samping usaha sosial lainnya. Tujuan dari
organisasi ini adalah mempertahankan faham ahlussunnah wal-jama’ah serta
mengembangkan sumber daya manusia melalui lembaga pendidikan Islam. Dalam
memperjuangkan kemerdekaan, pesantren ini merupakan basis perlawanan terhadap
pemerintah kolonial dan bersikap nonkoperatif dengan pemerintah.103

Pokok-pokok pikiran Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU ke-3 menjadi


undang-undang dasar Jamiat NU yang dikenal dengan Qanun Asasi NU mencakup;
(1) latar belakang berdirinya NU, (2) hakekat dan jati diri NU; (3) potensi umat yang
diharapkan akan menjadi pendukung NU; (4) perlunya ulama bersama dalam ijtihad,

Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), 65-68. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004
(Yogyakarta: Serambi, 2005), 268-269.
102
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), 112.
103
Pada masa revolusi fisik melawan penjajahan Belanda, K.H. Hasyim Asy’ari dikenal
dengan ketegasannya terhadap penjajah dan seruan jihadnya yang menggelorakan para santri dan
masyarakat Islam. Ia mengajak mereka untuk jihad melawan penjajah dan menolak kerjasama dengan
penjajah. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 sewaktu Jombang dikuasai Jepang, ia ditangkap
dan dimasukkan ke dalam tahanan. Selanjutnya diasingkan ke Mojokerto untuk ditahan bersama
serdadu-serdadu sekutu dengan kesalahan yang tidak jelas. Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 123.

168
saling mengasihi satu sama lain dalam satu wadah yang dinamakan NU; (5)
keharusan warga NU bertaklid pada salah satu dari empat mazhab fikih.104

Tahun 1927. Organisasi yang dianggap sebagai penerang dari kegelapan di


daerah jajahan dengan propaganda yang intensif, baik secara lisan maupun tulisan
adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan pada tahun 1927.105 Tujuan
politiknya adalah untuk mencapai kemerdekaan terutama berkisar kepada usaha-
usaha mencapai kesatuan nasional yang berarti; pertama, suatu keharusan untuk
mengeyampingkan perbedaan-perbedaan agama, kesukuan maupun kedaerahan;
kedua, solidaritas di antara penduduk Indonesia terutama dalam hubungan
pertentangan warna kulit; ketiga, nonkoperatif dengan tidak memasuki jabatan
pemerintah kolonial berdasarkan pendirian bahwa kemerdekaan tidak akan datang
sebagai hadiah; keempat, menolong diri sendiri dengan kepercayaan kepada diri
sendiri dalam mengembangkan struktur politik, masyarakat, ekonomi dan hukum
yang berakar pada masyarakat Indonesia. Tujuan politik di atas merupakan reaksi
berupa suatu pernyataan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial dari golongan
pemuda elit Indonesia, juga merupakan usaha melindungi kebudayaan, bahasa dan
pemikiran sendiri yang selalu dianggap lebih rendah dari kebudayaan Barat. Inilah
idiologi yang mendasari Partai Nasional Indonesia.

Pada tahun 1922 partai ini dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah
Hindia Belanda. Banyak anggota partai yang ditangkap bahkan diasingkan. Hal ini
dinilai oleh pemerintah bahwa gerakan yang dilakukan oleh PNI akan membahayakan
pemerintah kolonial. Oleh karena itu, selaku pimpinan partai, Suwardi merubah

104
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), 123.
105
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah
Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986), 22.

169
haluan dan menganjurkan para anggota dan pengikutnya untuk memasuki partai
kepunyaan rakyat seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, Partai Komunis Indonesia dan
lainnya. Beliau sendiri cenderung untuk mengarahkan haluan partai untuk aktif
memajukan pengajaran106 kepada rakyat dalam rangka menanamkan rasa
nasionalisme dan patriotisme. Selain mendalami teori-teori pendidikan dan didukung
oleh pengalamannya dalam dunia politik, maka pada setiap kesempatan beliau
gunakan untuk mengeluarkan ide-idenya tentang pengajaran kolonial dan pembaruan-
pembaruan yang harus ditempuh sesuai dengan tuntutan ke arah kemerdekaan bangsa.
Beliau sangat tidak setuju jika bahasa pengantar dalam pengajaran Bumiputra dengan
menggunakan bahasa Belanda karena bangsa Indonsia sejak lama sudah memiliki
bahasa melayu.

Tahun 1939. Pada tahun ini beberapa ulama terkemuka di bawah


kepemimpinan pejuang Aceh bernama Muhammad Daud Beireu’eh mendirikan
perhimpunan yang diberi nama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Perkumpulan ini didirikan dengan tujuan membela Islam serta untuk mendorong

106
Ada 13 konsep pendidikan yang dikemukakan Suwardi adalah; (1) pengajaran harus sesuai
dengan masyarakat Pribumi; (2) pengajaran ditujukan untuk menumbuhkan rasa persatuan, karena
penduduk Indonesia yang heterogen; (3) untuk pengajaran bagi Bumiputra harus menggunakan bahasa
di Nusantara, melayu, bukan bahasa Belanda; (4) perlunya konvergensi pengajaran tingkat rendah dan
unifikasi pada pangajaran tingkat tinggi; (5) bahasa melayu perlu diberikan di semua sekolah sebagai
mata pelajaran; (6) bahasa Jawa maupun Belanda kurang cocok karena dinilai asing sehingga
menimbulkan kesulitan; (7) bahasa daerah hanya dibutuhkan masing-masing daerah; (8) bahasa Arab
hanya memiliki kepentingan bagi orang Arab atau muslim yang memperdalamkan agama Islam,
sedangkan bahasa Tionghoa hanya untuk kepentingan masyarakat Tionghoa di Indonesia; (9) bahasa
Belanda masih dibutuhkan pada masa peralihan serta untuk mempelajari buku-buku yang masih
banyak berbahasa Belanda; (10) pada tingkat pengajaran rendah bahasa Belanda tidak boleh
mendominasi bahasa daerah, bahasa Belanda hanya untuk kalangan intelektual dalam rangka
menyebarkan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat; (11) meskipun tidak melalui pengajaran
Pribumi, diharapkan adanya penguasaan bahasa Belanda baik lisan maupun tulisan; (12) tiga tahun
pertama di HIS harus menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar, tapi pada tingkat lebih
tinggi bisa menggunakan bahasa Belanda, namun porsi bahasa daerah tetap lebih banyak; (13) bahasa
Arab dan Tionghoa tidak perlu, kecuali pada tingkat pendidikan tinggi. Abdurrachman Surjomihardjo,
Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: PT. Upima Utama
Indonesia, 1986), 69-71.

170
modernisasi sekolah-sekolah Islam dalam perjuangannya melawan para pegawai
pemerintahan kolonial dari kalangan kaum bangsawan yang dianggap pemerintah
Hindia Belanda sebagai kaum priyai.107 Dengan pemikirannya yang reformis
modernis telah menimbulkan perdebatan di kalangan pendukung sekolah-sekolah
Islam modern dan sekolah-sekolah Islam tradisional.

Apa yang dilakukan oleh ulama PUSA bukan lagi dalam bentuk perang fisik,
tapi memerangi kebodohan dan keterbelakangan. Peperangan panjang hanya akan
menyengsarakan masyarakat, melemahkan ekonomi dan menambah kebodohan pada
masyarakat. Peralatan musuh yang canggih tak mungkin dapat dikalahkan dengan
perlawanan fisik. Atas pemikiran ini, maka tumbullah keinginan untuk mendirikan
lembaga pendidikan dengan sistem berkelas, sekolah, guru yang tertib, kurikulum
permanen dan sebagainya. Mata pelajaran tidak hanya fikih, hadis yang bersifat
keagamaan semata tapi juga ilmu bumi, matematika, logika sejarah dan sebagainya.
Dengan demikian tumbuhlah pusat pendidikan yang disebut madrasah, berbeda
dengan dayah sebelumnya. Kehadiran lembaga pendidikan ini juga tak lepas dari
peran ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah atau negara Timur Tengah
lainnya.108

E. Tantangan Pendidikan Islam Masa Depan


Tantangan Pendidikan Islam ke depan akan semakin besar. Berbagai aspek
tentang Pendidikan Islam masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak hanya
berorientasi pada saat sekarang, tapi juga menatap masa depan dengan berbagai

107
MC.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2005), 200.
108
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gausaf, ed., Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi
Islam di Bumi Nusantara (Jakarta: Mizan, 2006), 388.

171
bentuk perubahan mulai dari lulusan madrasah maupun pesantren yang kurang
competeable dalam bidang tenaga kerja, kenakalan remaja, kemerosotan moral
bangsa juga disinyalir kurang efektifnya pendidikan Islam. Maka Pendidikan Islam
dengan berbagai bentuknya harus mampu mengikuti perkembangan zaman. Bersaing
dan maju bersama dengan institusi pendidikan lain dalam rangka mencetak Sumber
Daya Manusia yang berkualitas, sehingga kiprah di dunia internasional dapat diakui.
Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan itu Pendidikan Islam harus punya
visi109yang jelas.

Dalam kaitannya dengan Pendidikan Islam, organisasi Islam juga dituntut


melibatkan diri agar lembaga pendidikan yang mereka kelola tidak hanya dapat eksis,
tapi juga dapat bersaing di segala bidang. Nahdatul Ulama dengan pesantrennya tidak
lagi hanya membekali siswa dengan ilmu pengetahuan secara teoritis, tapi juga harus
mengacu pada keterampilan siswa. Demikian halnya Muhammadiyah dengan
sekolah-sekolah umumnya. Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama harus membuat
Pilot Project yang dapat menghasilkan lulusan yang hatinya dilimpahi suasana iman,
fikirannya melimpah ilmu pengetahuan dan tangannya tersimpan berbagai kecakapan.
Tidak hanya mengejar kuantitas, tapi yang lebih penting lagi adalah kualitas.110
Sebagaimana diketahui bahwa reaksi terhadap Politik Etis, para Ulama mendirikan
pesantren sebagai benteng pertahanan agama dan budaya Islam dan menolak unsur-

109
Visi dapat diartikan sebagai a picture of the desirable future atau guiding star yang
memiliki fungsi strategis, yakni memobilisasi komitmen dengan menciptakan perhatian dan
menanamkan kepercayaan diri, menunjang proses reengineering, restructuring, reinventing,
bencmarking, menciptakan dan mengembangkan shared mindsets agar individu siap dan berinteraksi
dengan stakeholder. Lihat: M. Sirozi, Agenda Strategis Pendidikan Islam (Yogyakarta: AK Group,
2004), 59-60.
110
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), 69,73.

172
unsur modern. Tapi pesantren tak mampu bersaing dengan sekolah modern.
Lulusannya tak memadai bersaing dengan lulusan sekolah modern.111

Sikap resistensi Pendidikan Islam terhadap dunia luar harus dihilangkan.


Karena era globalisasi yang berorientasi ekonomi global dan kapitalisme sudah
merambah hampir di semua aspek kehidupan sosial. 112 Dunia yang luas terasa sempit,
tempat yang jauh terasa dekat, yang sulit menjadi mudah. Dunia seolah-olah tak lagi
dibatasi oleh wilayah negara. Terlebih dalam hal teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam hal pendidikan, semua orang bisa mendirikan lembaga pendidikan di mana
saja. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus siap bersaing dengan pendidikan lain
(pendidikan umum). Tanggung jawab pendidikan tidak hanya oleh kalangan pejabat
di lingkungan pendidikan Islam, namun kepala sekolah, siswa/mahasiswa, tenaga
administrasi bahkan orang tua wali. 113 Dalam hal ini, mereka harus bekerja sama
dengan tujuan mencerahan dan perwujudan Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

Pendidikan Islam, baik formal maupun nonformal, harus mengacu pada


pembentukan pola fikir yang dinamis. Pendidikan nonformal yang kita miliki
sekarang belum dapat diandalkan dalam menyiapkan angkatan kerja untuk
menyongsong masa depan. Masih banyak yang harus dikembangkan dan diperbaiki
sesuai dengan tantangan yang akan muncul di masa yang akan datang.114 Madrasah
Diniyah harus diberdayakan dengan pola pengajaran dan kurikulum yang tidak hanya

111
Nurcholish Madjid pada pengantar buku Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam
(Jakarta: Fajar Dunia, 1999), 20.
112
Michael W. Apple, dkk., Globalizing Education, Policies, Pedagogies and Politics (New
York: Peter Lang, tt), 233.
113
Nurhattati Fuad, “Manajemen Madrasah Aliyah Swasta di Indonesia”, Edukasi, Vol. 4, No.
3, Juli September 2006, 73.
114
Muchtar Buchori, Transformasi Pendidikan (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), 5.

173
bersifat hafalan, namun lebih ditekankan pada aspek psikomotor. Karena pemahaman
dan pembiasaan melaksanakan ajaran agama yang baik harus dimulai sejak dini.
Apalagi Madrasah Diniyah merupakan institusi yang diharapkan dapat memberi
pemahaman agama bagi anak-anak yang bersekolah di sekolah umum.

Pendidikan Islam harus memahami bahwa sekarang merupakan zaman


modern. Pelaku pendidikan Islam harus memahami dan memiliki ciri-ciri yang ada di
dalamnya, yakni; terbuka dan bersedia menerima hal baru dari inovasi dan perubahan,
orientasi demokratis, menghargai waktu, konsisten dan sistimatis dalam urusan,
selalu terlibat dalam perencanaan dan pengorganisasian, belajar terus menguasai
lingkungan, keyakinan bahwa segalanya dapat diperhitungkan, menghargai pendapat
orang lain, rasional dan menjunjung tinggi keadilan berdasarkan prestasi, kontribusi
dan kebutuhan serta orientasi pada produktivitas, efektifitas dan efisien.115

Selain itu, para praktisi pendidikan Islam harus memiliki pola fikir yang
dinamis. John Naisbitt menguraikan 11 pola fikir tersebut sebagai berikut; melihat
sesuatu yang berubah pada aspek bagaimana, bukan pada apa yang berubah, masa
depan tertanam pada masa kini, memahami masa kini untuk perubahan di masa
mendatang, mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar, memahami arah
perubahan (antisipatoris), harus bekerja sama, resistensi terhenti jika ada manfaat
nyata, perubahan selalu terjadi secara evolusioner, pandai memanfaatkan peluang,
mengganti yang lama dengan sesuatu yang baru dan tidak melupakan ekologi
teknologi.116

115
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 47.
116
Nur Mursidi dalam Resensi Buku “Epistimologi Naisbitt Meraba Masa Depan”, dari buku
Mindset karangan John Naisbitt.

174
Fungsi suatu lembaga pendidikan untuk menumbuh-kembangkan kemampuan
belajar sendiri. Oleh karena itu, baik pendidikan formal, nonformal maupun informal
harus mampu mengembangkan sikap berupa;ii memahami gejala atau fenomena,
menerima pendapat dari luar, mengantisipasi suatu peristiwa, memperbaiki orientasi,
pandai memilih dan memilah, kemampuan mengelola, manajemen handal,
mengembangkan pengalaman yang diperoleh dan memahami ajaran agama secara
benar/berijtihad.117

Dalam kaitannya dengan kemampuan mengelola, maka perlu memahami


unsur pokok dari suatu manajemen, yakni perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan dan pengawasan.118 Selain itu, dalam dunia pendidika juga dikenal
istilah Total Quality Management. Sebagaimana yang dikemukakan Edward Sallis,
bahwa TQM adalah perbaikan secara terus menerus yang dapat memberikan
seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi
kebutuhan, keinginan dan harapan para pelanggannya pada saat ini dan mendatang.119
Demikian pula halnya dengan manajemen strategis akan efektif bila mengandung
unsur-unsur sebagai berikut; komitmen pada program, penentuan sasaran pada tingkat
puncak, peran serta aktif semua tingkat manajemen dalam menentukan sasaran,
orientasi dalam pelaksanaan dan penilaian prestasi.120 Ke depan, arah pengembangan
lembaga pendidikan Islam juga harus mengacu pada beberapa prinsip berikut, yakni;
orientasi pengembangan Sumber Daya Manusia, orientasi Pendidikan Islam

117
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 48-49.
118
Halin Suhartini, Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 72.
119
A. Malik Fadjar, Materi Diskusi Mata Kuliah Isu-isu Pendidikan Kotemporer tanggal 26
November 2008.
120
A. Malik Fadjar, Materi Diskusi Mata Kuliah Isu-isu Pendidikan Kotemporer tanggal 26
November 2008.

175
multikultural, mempertegas misi dasar akhlakul karimah dan spritualisasi watak
kebangsaan. 121

Sehubungan dengan Pendidikan Islam multikultural dapat diartikan dengan


pendidikan tentang keberagaman budaya dalam merespon perubahan demografis dan
kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan secara keseluruhan.122 Pendidikan
Islam harus memahami suatu perbedaan, tapi bukan mempermasalahkan
perbedaannya. Perbedaan rasial, agama, budaya dan sejenisnya harus difahami
sebagai satu kesatuan yang dapat diajak untuk bekerjasama demi kemajuan bersama.
Suatu hal baru yang datang dari dunia yang berbeda harus direspon secara positif.
Karena dari hal baru ada yang cocok dan sesuai untuk diterapkan, terutama yang
positifnya.

Kemajuan suatu lembaga pendidikan sangat berkaitan erat dengan suatu


kepemimpinannya. Seorang pemimpin harus memiliki visi dan misi dengan langkah-
langkah yang jelas. Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang pemimpin
visioner adalah; menciptakan misi, yakni memikirkan secara kreatif masa depan
organisasi, merumuskan visi dalam statemen yang jelas, transformasi visi, yakni
membagi kepercayaan diri dengan komunikasi yang efektif dan implementasi visi
dengan menjabarkannya dalam tindakan yang jelas.123 Adapun prinsip-prinsip
perumusan visi dapat mengadopsi prinsip perusahanaan yang visioner yang dapat
diterapkan, yakni; berjuang tanpa kenal lelah, membangun tanpa henti,
proporsionalitas, berpegang teguh nilai dasar dan dorong terus kemajuan,

121
A. Malik Fajar dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespon
Dinamika Masyarakat Global, Editor: Zainuddin dan M. Im’an Esha (Jakarta: Aditya, 2004), XXII-
XXIII.
122
A. Malik Fadjar, Materi Diskusi pada Mata Kuliah Isu-Isu Pendidikan Kontemporer
tanggal 10 Desember 2008.
123
Aan Komariah dan Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif (Jakarta: Bumi
Aksara, 2005), 90-93.

176
membudayakan ajaran yang baik pada diri sendiri, berani mewujudkan tujuan,
mengusahakan sebanyak mungkin bahan, diseleksi, gunakan yang baik dan buang
yang tidak bermanfaat, manajemen yang tumbuh dari dalam dan tidak pernah puas
dengan predikat baik. 124

Dengan langkah-langkah dan prinsip dari lembaga maupun pemimpin


visioner, diharapkan Pendidikan Islam dapat menata masa depan dan menjalani
kegiatan dalam rangka menanamkan keimanan pada hati, memperkaya ilmu
pengetahuan pada otak dan membekali tangan siswa dengan berbagai keterampilan
(skill).

Dari uraian bab di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Belanda pada
satu sisi menjadi inspirator dan pada sisi lain menjadi inspirator bagi lembaga
pendidikan Islam, terutama dalam hal kurikulum, sarana maupun metode
pengajarannya. Kehadiran lembaga-lembaga pendidikan, baik yang diselenggarakan
oleh kelompok nasionalis, modernis maupun tradisionalis merupakan respon atas
penyelenggaraan pendidikan Belanda yang tidak sesuai dengan budaya bangsa dan
mengabaikan rakyat kecil. Lembaga-lembaga pendidikan bagi rakyat Pribumi
tersebut kebanyakan bernaung di bawah organisasi yang mereka dirikan sebagai
bentuk perlawanan damai terhadap pemerintah jajahan. Hal ini disadari pemerintah,
sehingga berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi pengaruh sekolah-sekolah
yang didirikan oleh putra Pribumi termasuk mengembangkan sekolah-sekolah Barat
melalui politik etis, ordonansi guru, ordonansi sekolah liar, pembatasan jema’ah haji
serta memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah misi. Pemberontakan dalam rangka

124
Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner (Ciputat: Lentera Hati, 2007), 89-103. Ada
13 poin yang dikemukakan Mastuhu, namun penulis menilai dari 13 poin tersebut, 9 poin yang dapat
diadopsi oleh Lembaga Pendidikan Islam khususnya.

177
perlawanan terhadap pemerintah jajahan yang dimotori oleh para ulama yang
otomatis mengganggu konsentrasi mengembangkan pendidikan Islam juga
merupakan hambatan bagi perkembangan pendidikan Islam. Meskipun demikian,
pendidikan Islam terus berkembang hingga sekarang. Dengan kata lain bahwa
pendidikan Barat yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial memang berpengaruh
terhadap pendidikan Islam, namun tidak mengurangi jumlah dan mengalami
kemunduran. Adapun untuk memajukan pendidikan, khususnya pendidikan Islam di
masa depan yang dihadapkan dengan berbagai bentuk perubahan, maka pendidikan
Islam harus dapat menyesuaikan diri dengan menerima hal-hal positif dan
menghindari hal-hal yang akan merusak citra agama dan budaya bangsa dengan
memiliki visi dan misi yang jelas, sehingga dapat tampil dan bersaing dengan dunia
internasional.

178
179
BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberadaan pendidikan Belanda pada


awal abad ke-20 telah mempengaruhi pendidikan Islam pada dua sisi. Pada satu sisi,
pendidikan Belanda merupakan sumber inspirasi dalam pembaruan pendidikan Islam.
Pada sisi lain, ia menjadi pesaing dalam perkembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Sebagai inspirasi, pendidikan Islam mengadopsi model pendidikan Belanda dengan
mendirikan madrasah dan sekolah, memasukkan mata pelajaran umum, dan
menggunakan sarana belajar dan metode pembelajaran modern ke dalam sistem
pendidikan Islam. Sebagai pesaing, pendidikan Islam mempertahankan sistem
pendidikan tradisional dengan memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam di
berbagai daerah guna memberikan pelayanan pendidikan kepada semua lapisan
masyarakat.

Dengan demikian, tesis ini menolak pernyataan Snouck Hurgronje yang


menyatakan bahwa sistem pendidikan Barat merupakan sarana yang paling baik
untuk mengurangi pengaruh pendidikan Islam yang pada akhirnya mengalahkan
Islam di wilayah Hindia Belanda. Terbukti bahwa dalam persaingan antara Islam
melawan daya tarik pendidikan dan budaya Barat, Islam mengalami kekalahan. Tesis
ini juga sekaligus mendukung pendapat Karel A. Steenbrink dan Zamakhsyari
Dhofier yang menyatakan bahwa akhir abad 19 dan permulaan abad ke-20 merupakan
masa pertumbuhan dan perkembangan pesantren/madrasah hampir di seluruh wilayah
Indonesia dengan nama, bentuk dan tingkatan yang bervariasi.

Pada masa kolonial di Hindia Belanda, pemerintah jajahan menerapkan


kebijakan Politik Etis yang berisikan irigasi, transmigrasi dan edukasi. Akan tetapi,

179
pada hakekatnya edukasi yang mereka terapkan tidak berorientasi pada penduduk
Pribumi melainkan penduduk Eropa, Cina dan kelompok Pribumi yang dari golongan
priyai atau pejabat-pejabat pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan itupun baru
dimulai pada akhir kolonialnya di Hindia Belanda, yakni awal abad ke-20. Meskipun
jumlah, jenis dan jenjang pendidikan yang disediakan cukup banyak, tapi kesempatan
penduduk Pribumi sangat kecil porsinya sehingga pendidikan penduduk Pribumi sulit
ditingkatkan.
Pendidikan Islam pada masa Pemerintah Hindia Belanda dapat dijumpai
hampir di setiap desa di tanah air dalam bentuk pengajian al-Qur an yang
dilaksanakan di langgar atau masjid yang mengajarkan cara membaca huruf Arab
maupun pelaksanaan ibadah seperti shalat dan wudu’. Bentuk pengajian ini
merupakan pendidikan dasar dan seringkali dengan banyaknya peserta dan dengan
kemampuan guru yang tinggi menjadikan lembaga tersebut sebuah pondok pesantren
maupun madrasah. Pendidikan Islam juga diselenggarakan di sekolah-sekolah umum
yang didirikan oleh organisasi seperti Muhammadiyah, Taman Siswa maupun
sekolah partikelir lainnya yang didirikan atas motivasi mencerdaskan rakyat pribumi
dari belenggu kebodohan dan penindasan. Banyak lembaga pendidikan yang
didirikan baik secara perorangan maupun melalui organisasi yang didirikan
menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat Bumiputra, namun yang dianggap
terbesar adalah Taman Siswa, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Ketiga
organisasi ini memiliki corak tersendiri dimana Taman Siswa bercorak Nasionalis,
Muhammadiyah bercorak modernis atau reformis, sedangkan Nahdlatul Ulama
bercorak tradisionalis. Meskipun berbeda corak pendidikan, namun pengajaran agama
merupakan pengajaran yang mereka anggap sangat penting untuk diberikan kepada
anak didik untuk menumbuhkembangkan aspek spritual di samping intelektual.
Pendidikan Belanda dianggap hanya mengembangkan aspek intelektual yang hanya
menghasilkan lulusan berorientasi pada keduniaan tanpa diiringi spritualisme yang
tinggi.

180
Pemahaman anti pendidikan Barat tersebut berasal dari kelompok ulama
tradisionalis yang kebanyakan berlatar belakang pendidikan di Mekkah dengan
mendirikan pondok pesantren. Adapun kelompok modernis, menyelenggarakan
pendidikan Islam dengan mengadopsi sistem pendidikan Barat seperti kurikulum,
sarana, metode pengajaran dan dengan sistem klasikal dengan tetap memberikan
pelajaran agama yang dipadu dengan pelajaran umum, namun tetap berjiwa al-Qur an
as-Sunnah. Sistem pendidikan ini diselenggarakan oleh organisasi Muhammadiyah
dengan mendirikan sekolah-sekolah di berbagai daerah di tanah air. Bahkan sekolah-
sekolah yang dibangun memiliki nama yang sama dengan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda seperti HIS namun dimasukkan
dengan pelajaran agama. Banyak jenis sekolah tersebut yang mendapat subsidi dari
pemerintah Hindia Belanda.

Selain kelompok tradisionalis dan modernis, para tokoh nasional juga


menyelenggarakan pendidikan yang disesuaikan dengan budaya bangsa seperti yang
dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara dan kawan-kawannya melalui Perguruan Taman
Siswa. Mereka menganggap bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Hindia Belanda tidak cocok dengan budaya bangsa yang hanya
menghasilkan tenaga buruh dan pegawai rendah dan menghasilkan kelompok
aristokrat yang bergaya hidup Eropa dan hanya mengutamakan kemampuan
intelektual semata. Oleh karena itu, mereka menyelenggarakan pendidikan yang dapat
dinikmati oleh semua masyarakat Pribumi, tidak seperti pada lembaga pendidikan
pemerintah yang hanya mengutamakan kelompok anak-anak Eropa, Cina, Asia dan
kelompok tertentu dari masyarakat Pribumi seperti kelompok anak-anak aristokrat
atau anak Pribumi yang kaya. Meskipun dalam penyelenggaraan pendidikannya tidak
langsung menyebutkan pendidikan Islam, namun unsur spritual diajarkan melalui
pendidikan budi pekerti.

Sebagai kompetitor, maka pendidikan Islam mendapat banyak tantangan dari


pemerintah jajahan karena pendidikan Islam dianggap sebagai wadah pengembangan

181
semangat patriotisme terhadap negara maupun agama. Untuk mengurangi pengaruh
pendidikan Islam, maka berbagai kebijakan diterapkan atas sekolah-sekolah Pribumi
seperti mendirikan sekolah-sekolah sistem Barat, ordonansi guru (termasuk izin dan
membatasi jumlah guru agama) dan ordonansi sekolah liar atas sekolah partikelir,
pembatasan jemaah haji dan memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah misi.
Namun dalam kenyataannya pendidikan Islam, baik berupa pengajian di langgar,
masjid, rumah-rumah guru, madrasah maupun pondok pesantren tetap tumbuh dan
berkembang hampir di setiap desa di tanah air. Beberapa hambatan memang dialami
oleh lembaga pendidikan Islam saat itu dikarenakan di beberapa daerah seperti Aceh,
Banten dan wilayah lainnya terjadi perlawanan oleh para ulama terhadap pemerintah
kolonial yang tidak jarang melibatkan para santri sehingga konsentrasi terhadap
pendidikan Islam terganggu.

Meskipun pemerintah membangun sekolah-sekolah sistem Barat, namun


sedikit sekali yang bisa dinikmati oleh rakyat Pribumi. Pada tingkat sekolah tertentu
memang jumlah anak Pribumi lebih hanyak. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk Pribumi, prosentasenya sangat kecil. Bahkan jumlah rakyat yang
buta huruf sangat besar. Dengan demikian, pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Hindia Belanda melalui kebijakan Politik Etis tidak berhasil. Bahkan
dengan kebijakan asosiasi dan asimilasi yang diterapkan oleh Snouck Hurgronje
untuk mendidik anak-anak dari golongan aristokrat dengan pendidikan Barat juga
tidak berhasil. Terbukti bahwa mereka dari golongan aristokrat dengan pendidikan
Barat tetap memiliki keimanan serta semangat nasionalisme yang tinggi terhadap
tanah air yang akhirnya menjadi pelopor perlawanan terhadap penjajahan.

Dengan berbagai tantangannya, sejak dulu hingga sekarang dan ke depan,


maka pendidikan Islam harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman
dengan tetap berjiwa al-Qur an dan as-Sunnah. Dengan kata lain, pendidikan Islam
tidak hanya mengutamakan aspek spritual saja, namun harus memiliki kemampuan
intelektual sehingga dapat tampil dan bersaing dengan negara-negara maju di dunia.

182
B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka rekomendasi yang dapat kami


sampaikan bahwa dalam kaitannya dengan sejarah pendidikan, khususnya pendidikan
Islam pada masa Pemerintah Hindia Belanda bahwa pengagungan terhadap politik
etis Belanda merupakan hal yang agak keliru. Ini dikarenakan bahwa politik etis yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak berorientasi pada
mencerdaskan kehidupan bangsa, namun lebih ditekankan untuk kepentingan
eksistensi dan eksploitasi rakyat dan bumi Nusantara. Karena kenyataan
menunjukkan bahwa hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Bumi Hindia Belanda
tidak labih dari 10% rakyat Pribumi yang bisa baca tulis. Demikian pula halnya
dengan program transmigrasi dan irigasi dengan alasan padatnya penduduk di Pulau
Jawa, namun kenyataannya hanya bermotif politik ekonomi kolonial untuk
menghasilkan komoditi pertanian untuk mengisi pabrik-pabrik milik keturunan Cina
dan Eropa sebagai bahan mentah. Rakyat Pribumi hanya diperas melalui sistem ijon
sedangkan irigasi tidak sepenuhnya ditanggung pemerintah, namun harus menjadi
tanggung jawab para koloni. Untuk masa sekarang dan yang akan datang, pendidikan
Islam akan selalu dihadapkan oleh berbagai tantangan sebagaimana sebelumnya.
Oleh karena itu penyelenggarakan pendidikan Islam harus dapat menyesuaikan
dengan kemajuan zaman. Sesuatu yang datang dari luar harus bisa dianalisa guna
menentukan hal-hal yang dapat diterima dan ditolak. Pendidikan Islam yang visioner
merupakan langkah maju guna mengimbangi kemampuan anak didik dengan
kemampuan intelektual dan spritual.

183
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur an dan Terjemahan.

Ahmadi, A. Pendidikan dari Masa ke Masa. Bandung: Armico, 1987.

Alfian. Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist


Organization under Dutch Colonialisme. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1989.

Ali, R. Muh. Pengantar Sejarah Ilmu Indonesia. Jakarta: LKiS, 2005.

Ali, Muhammad Daud. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 1995.

Arifin, M. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999.

Assegaf, Abdur Rahman, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka


Press, 2007.

Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara. Jakarta: Rosda, 1999.

--------. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Ciputat:
Logos, 2002.

---------, Masa Depan Madrasah, Makalah Seminar, oleh INCIS di Jakarta, Kamis,
22 Juli 2004.

Benda, Harry J., The Crescent and The Rising Sun, (The Huge and Bandung: W. Van
Hoeve, tt).

Boyd, Wlliam, The History of Western Education. London: Adam and Charles Black,
1952.

Boyle, Helen N., Qur anic Schools; Agents of Preservation and Change, (New York:
Routledge Falmer, 2004).

Brugmans, I.J., Geschiedenis Van Het Onderwijs in Nederland Indie, (Batavia,tp,


1938).

184
Buchori, Muchtar. Transformasi Pendidikan. Jakarta: Sinar Harapan, 1995.

Damami, Mohammad. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Fajar Pustaka


Baru, 2000.

Day, Clive. The Policy and Administration of the Dutch in Java. New York: The
MCMillan Company, 1904.

Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di


Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa


Timur. Jakarta: Dep. P dan K, 1980-1981.

--------. Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Dep. P dan K, 1984.

--------. Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Dep. P dan K, 1984.

--------. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur. Jakarta: Dep. P dan K, 1980/1981.

--------. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta: Dep. P dan K BP3K,
1974.

--------. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003.

Dewantara, Ki Hajar. Dari Kebangunan Nasional Sampai Proklamasi Kemerdekaan.


Jakarta: Widjaya, 1952.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.


Jakarta: LP3ES, 1994.

Dirjen Bimbaga Depag RI. Sejarah Perkembangan Madrasah. Jakarta: Depag RI,
1999/2000.

Djojopoespito. Suwarsih, Manusia Bebas. Jakarta: Djambatan, 1980.

Djumhur, I. dan Danasuparta. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu, 1976.

Fadjar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1999.

--------. Materi Diskusi Mata Kuliah Isu-isu Pendidikan Kotemporer tanggal 26


November 2008.

185
Feillard, Andree. NU vis-à-vis Negara: Mencari Isi, Bentuk dan Makna. terjemahan:
Lesmana. Yogyakarta: LkiS, 1999.

Feisal, Yusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Furnivall. J.S. Nederlands Indie: A Story of Plural Economy. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1983.

Geertz, Clifford. The Religion of Java. London: The Free Press, 1960.

--------. Islam Observed Religious Development in Marocco and Indonesia. Chicago:


Yale University Press, 1968.

Gesst, SC Graff Van Rondwijh Oegst. Kebijakan Lembaga-Lembaga Pekabaran Injil


Yang Bekerjasama, 1907-1942. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.

Gobee, E dan Adriaanse, ed. Nasehat-Nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa


Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 ,jilid 1-14.
Terjemahan: Sukarsih. Jakarta: INIS, 1993.

Gordon, Milton M. Assimilation in American Life : The Role of Race Religion and
National Origin. New York : Oxford University Press, 1964.

Gunawan, Ari H. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Assegaf, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press,


2007.

Haar, B. Ter. Adat Law in Indonesia. Jakarta: Bhratara, 1962.

Hanifah, Abu, Renungan Perjuangan Bangsa, (Jakarta: Idayu, 1978).

Hamka. Ayahku. Jakarta: Jayamurni, 1967.

Harjono, Anwar. Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh ke Belakang Menatap Masa


Depan. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan


Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Hatta, Mohammad. Kumpulan Karangan I. Jakarta: Balai Buku Indonesia, 1953.

186
Hefner Robert W. dan Mohammad Qosim Zaman, ed. Schooling Islam: The Culture
and Politic of Modern Muslim Education. New Jersey: Princetone University
Press, 2007.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gausaf, ed. Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi
Islam di Bumi Nusantara. Jakarta: Mizan, 2006.

Hurgronje, Snouck. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje. Terjemahan: Soedarso


Soekarno. 14 jilid. Jakarta: INIS, 1993.

--------. Arabic on Oost-Indie. Leiden: 1907.

--------. Verspreide Geschrifen IV.

--------. Rapport over de Mohammedaansche godsdienstige rechtspraak, vol. IV


bagian I.

--------. Islam di Hindia Belanda. Terjemahan: S. Gunawan. Jakarta: Bhratara Karya


Aksara, 1983.

Husein, Mahcnun. Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta:


Nurcahaya, 1985.

Ida, Laode. Anatomi Konflik NU: Elit Islam dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan,
1996.

Jangam, R.T. Textbook of Political Sociology. New Delhi: Oxford Publishing Co.,
1992.

Kahin, George Mc.Turman. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Kuala Lumpur:


Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980.

al-Kailani, Majid Irsan. Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyah. Makkah: Maktabah al-


Hādi, 1988.

Kaptein, Nico JG. ed. Pan-Islamisme. Jakarta: INIS, 2003.

Karim, M. Abdul. Islam dan Kemerdekaan Indonesia: Membongkar Marjinalisasi


Peran Islam Dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Jakarta:
Sumbangsih Press, 2005.

Kartodirdjo, Sartono, ed. Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme.


Jakarta: Dephan Pusat Sejarah ABRI, 1973.

187
--------. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Imporium Sampai
Imperium. Jakarta: Gramedia, 1987.

Kennedy, T. Raymond. The Egeless Indies. New York: Greewood Press, 1942.

Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari.


Yogyakarta: LKiS, 2000.

Koch, D.M.G. Menuju Kemerdekaan Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia


Sampai 1942. Terjemahan: Abdul Muis. Jakarta: Yayasan Pembangunan,
1951.

Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1977.

--------. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan, 1987.

--------. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, Cetakan VII, 1989.

Komariah, Aan dan Triatna. Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif. Jakarta:
Bumi Aksara, 2005.

Kroef, Van der. Indonesia in the Modern World. Bandung, 1954.

Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University


Press, 1988.

Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensi Muslim Indonesia
Abad ke-20. Jakarta: Mizan, 2005.

Leirissa, R.Z. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-


1950. Jakarta: Akademika, 1985.

Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya, (Jakarta: Gramedia, 2008.

Lowry, Josep E., dkk. Law and Education in Medieval Islam: Studies in Memory of
George Makdisi. The EJN Gibb : Memorial Trust, 2004.

Makdisi, George. Religion, Law and Learning in Classical Islam. Great Britain:
Variorum, 1991.

Makmur, Djohan. Sejarah Pendidikan Indonesia Jaman Penjajahan. Jakarta: Proyek


Investasi dan Dokumentasi Sejarah Indonesia, 1993.

188
Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos, 1999.

Maman, U. Kh, dkk. Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktek. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006 .

Materu, M. Mohamad Sidky Daeng. Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia.


Jakarta: Gunung Agung, 1985.

Mastuhu. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999.

--------. Sistem Pendidikan Nasional Visioner. Ciputat: Lentera Hati, 2007.

Mattulada. Islam di Sulawesi Selatan. Jakarta: LP3ES, 1976.

Michael W. Apple, dkk. Globalizing Education, Policies, Pedagogies and Politics.


New York: Peter Lang, tt.

Moeliono, Antom M., dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1990.

Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Muhtarom, Zaini. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS, 1998.

Mukhlis P. dkk. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Depdiknas, 1995.

Mursi, Muhammad Munir. al-Tarbiyah al-Islāmiyah Ushulihā wa Tatawwurahā fį al


Bilād al-‘Arabiyyah. Qahirah: Dār al-Ma‘arif, 1986.

Mustafa, H.A. dan Abdullah Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung:
Pustaka Setia, 1998.

Muzaffar, Chandra. Kebangkitan Islam Suatu Pandangan Global Dalam


Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.

Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1988.

Nasution, S. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Nata, Abuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga


Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2000.

189
--------. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.

--------. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2005.

--------. Pendidikan Islam di Era Global. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

--------. Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press,


2006.

Nazar, Elwis. Norma Islam di Padang 1931-1946. Padang: IAIN IB Press, 2001.

Nieuwenhuijze, Van. Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia. The Hague and


Bandung: Van Hoeve Ltd. 1958.

Nizar, Hayati, Analisis Historis Pendidikan Demokrasi di Minangkabau dalam


Majalah Hadlarah, edisi Februari.

Nizar, Samsul, ed. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan
Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

--------. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.


Jakarta: Kencana, 2007.

--------. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah
Era Awal dan Indonesia. Jakarta:Quantum Teaching, 2005.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1995.

Peacock, James L. Purifying the Faith. California: tp, 1978.

Penders, L.M. Indonesia Selected Documents on Colonialism and Nationalism


1830-1942. Queensland: Queensland University Press, 1977.

Pijper, G.F., Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, (terjemahan: Tudjimah dan


Yessy Augusdin), (Jakarta: UI Press, 1984).

Pilihan Artikel Prisma 1975-1984. Agama dan Tantangan Zaman. Jakarta: LP3ES,
1985.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional


Indonesia, Jilid 5. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

190
Poesprojo. Jejak-jejak Sejarah 1908-1926. Jakarta: Remaja Karya, 1984.

Prasodjo, Sudjoko, dkk. Profil Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1982.

Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat,


1950.

Purwanto, Hari. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Persfektif Antropologi.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Quţub, Muhammad. Manhadju al-Tarbiyah al-Islāmiyah. Kairo: Dār al-Shurūq,


1993.

Raharjo. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Rahardjo, Dawam, ed. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1988.

Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama
Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta: Logos, 1989.

Raliby, Oesman. Kamus Internasional. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Ramayulis dan Syamsul Nizar. Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Indonesia, Mengenal


Tokoh Pendidikan Islam Dunia Islam dan Indonesia. Jakarta: Quantum
Teaching, 2005.

Resink, GJ. Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910. Jakarta:
Djambatan, 1987.

Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.

Saifullah. Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi. Jakarta: Gramedia.


1997.

Saridjo, Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bakti,


1983).

Schoffer, Ivo. A Short History of Netherlands. Amsterdam: Allert de Lange, 1973.

Shihab, Alwi. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap


Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.

191
Simbolon, PT. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, 1995.

Sirozi, Muhammad. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh


Islam Dalam Penyusunan UU. No.2/1989. Jakarta: INIS, 2004.

--------. Agenda Strategis Pendidikan Islam. Yogyakarta: AK Group, 2004.

Shobron, Sudarno, Penyunting. Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis,


Ideologis dan Organisasi. Surakarta: LPID UMS, 2008.

Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1994.

--------. Beberapa Aspek Tentang Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.

Stibbe, D.G. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. Leiden: E.J. Brill, 1921.

Stromberg, RN. European Intelectual History Since 1789. New York: Appleton-
Century-Crofts, 1968.

Sugianto. Sedjarah Perkembangan Sekolah Lanjutan Umum Tingkat Atas di


Indonesia. Jakarta: Widjaya, tt.

Suhartini, Halin. Manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.

Suminto, H. Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1984.

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2007.

Surjomihardjo, Abdurrachman. Budi Utomo Cabang Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya,


1980.

--------. Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah Indonesia Modern.
Jakarta: PT. Upima Utama Indonesia, 1986.

Suryanegara, Ahmad Mansyur. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di


Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.

Sutjiatiningsih, Sri dan Sutrisno Kutoyo, ed. Sejarah Pendidikan Daerah Yogyakarta.
Yogyakarta: Dep. P dan K, 1980-1981.

192
Suttherland, Heather. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan,
1983.

Suwendi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Grafindo Persada, 2004.

Suwito dan Fauzan, ed. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung:
Angkasa, 2003.

Syafaruddin. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Syamsu, Amral. Dari Kolonisasi ke Transmigrasi. Jakarta: Djambatan, 1960.

Shalabi, Ahmad. Tarikh al-Tarbiyah al-Islāmiyah. Mesir: al-Kashshāf li al-Nashr wa


al-Hiba‘ah wa al-Tauji, 1954.

Tjandrasasmita, Uka, ed. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Depdikbud,


1981/1982.

Thomas, R. Murray. A Crhronicle of Indonesian Higher Education – the First Half


Century 1920-1970. Singapore: Chropment Interprise, 1973.

al-Turmudzi, Muhammad Ibn Isa Abu Isa. al-Jâmi’ al-Shahih al-Turmudzi. Beirut:
Dâr ilyâ al-Turâts al-Arabî, tt. jilid 4.

Wal, SL. Van Der. Het Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1940. Groningen:


JB. Wolters, 1963.

Vandenbosch, Amry. The Ducth East Indies: Its Government, Problems and Politics.
Los Angeles: University uf California, 1944.

Vastenhouw, M. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Terjemahan. Abdul Murod dan M.


Benyamin Achdiat. Bandung: Jemmars, tt.

Vlekke, Bernard H.M. Nusantara: Sejarah Indonesia. Terjemahan: Samsudin


Berlian. Jakarta: Gramedia, 2006.

Wertheim, WF. Indonesian Society Intransition. Bandung: Sumur, 1956.

Wilhelm, Donald. Indonesia Bangkit. Jakarta: UI Press, 1981.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara, 1979.

193
Zainuddin dan M. Im’an Esha, ed. Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam:
Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global. Jakarta: Aditya, 2004.

Ziemek, Manfred. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1995.

Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Indo Islamika. Vol. 4. No. 1. 2007.

Studia Islamika. Vol. 8. No. 1. 2001.

Studia Islamika. Vol. 8, No.2. 2001.

Prisma. No.11. 1982. Th. XI.

Prisma. No. 2. 1986. Th. XV.

Staatsblad Tahun 1893 No.125.

Staatsblad Tahun 1905 No. 550.

Staatsblad Tahun 1908 No. 312.

Staatsblad Tahun 1914 No. 359.

Staatsblad Tahun 1923 No. 136.

Staatsblad Tahun 1932 No. 495.

http//rohadieducation,wordpress.com. Akses tanggal 23-11-2009.

194
LAMPIRAN-LAMPIRAN1

Tabel 1
Data Sekolah Kelas Dua

Jumlah Jumlah
Sekolah Siswa

Pemerintah Swasta total Pemerintah Swasta Total

1900 551 836 1.387 61.742 36.431 98.173

1905 674 1.268 1.942 95.075 66.741 161.816

1910 1.021 2.106 3.127 133.425 99.204 232.629

1915 1.202 2.198 3.400 186.330 134.644 320.974

1920 1.845 2.368 4.231 241.414 116.556 357.970

1925 2.176 2.856 5.032 271.115 174.557 445.672

1930 1.732 259 1.991 308.316 31.278 339.594

1935 51 13 64 9.809 2.345 12.154

1940 30 4 34 8.715 1.043 9.759

1
Data ini bersumber dari Data Statistik Laporan Pendidikan
Hindia Belanda yang disajikan oleh SL. Van Der Wal dalam Het
Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1940. Groningen: JB. Wolters,
1963.
Tabel 2
Volksschool (Sekolah Desa)

Jumlah Jumlah
Sekolah Siswa

Pemerintah Swasta Total Pemerintah Swasta Total

1907 122 - 122 - - -

1910 1.161 - 1.161 71.239 - 71.239

1915 4.448 - 4.448 310.867 - 310.867

1920 7.771 - 7.771 423.314 - 423.314

1925 10.769 - 10.769 734.495 - 734.495

1930 13.716 2.889 16.605 1.074.777 154.889 1.229.666

1935 14.482 2.480 16.962 1.404.608 190.532 1.595.140

1940 15.131 2.587 17.718 1.662.484 233.890 1.896.374


Tabel 3
Vervolgschool (Sekolah Desa Lanjutan)

Jumlah Jumlah
Sekolah Siswa

Pemerintah Swasta Total Pemerintah Swasta Total

1927 734 20 754 59.190 1.452 60.642

1930 1.047 70 1.117 91.308 5.928 97.236

1935 2.338 248 2.586 194.542 19.784 214.326

1940 2.452 297 2.749 258.747 28.379 287.126


Tabel 4
ELS (Sekolah Dasar Belanda)

Seklh Siswa

Pemr Swst Eropa Pribumi Asia Total Eropa Pribm Asia Total G.Total

1900 169 23 13.592 1.545 325 15.462 3.433 70 27 3.530 18.992

1905 184 30 15.105 3.752 525 19.382 3.944 183 206 3.538 23.715

1910 191 33 17.519 3.427 828 21.774 4.205 247 549 5.001 26.775

1915 195 40 19.712 4.197 1.093 25.002 5.282 345 931 6.558 31.560

1920 196 53 20.357 5.387 1.416 27.160 7.918 766 1.120 9.804 36.964

1925 182 73 20.325 4.356 1.492 26.173 12.442 821 1.059 14.322 40.495

1930 196 104 19.773 3.357 1.279 24.409 17.875 735 1.288 19.898 44.307

1935 170 107 18.295 3.659 874 22.828 20.058 1.088 1.059 22.205 45.033

1940 174 118 18.034 4.034 609 22.719 22.775 1.116 672 24.563 47.282
Tabel 5
Special School (Sekolah khusus)

Seklh Siswa Seklh Siswa Seklh


swasta
Pemr

pemr swasta total pribumi asia eropa total pribumi asia eropa total g.total

1900 2 3 5 436 20 - 456 390 - - 390 846

1905 6 3 9 797 4 - 801 373 14 10 397 1.198

1910 7 4 11 948 20 - 968 450 12 - 462 1.430

1915 17 - 17 2.877 100 78 3.055 - - - - 3.055

1920 14 - 14 3.725 117 88 3.930 - - - - 3.930

1925 10 - 10 2.834 41 13 2.888 - - - - 2.888

1930 15 1 16 2.801 16 - 2.817 207 - - 207 3.024

1935 13 1 14 3.571 16 5 3.592 310 - - 310 3.902

1940 14 1 15 4.133 19 19 4.171 418 - - 418 4.589


Tabel 6
HCS (Sekolah Cina Belanda)
Jml Jml Jml
seklh siswa sisw

Pemr swst total cina pribm eropa total cina prib eropa total g.total

1908 4 - 4 821 - - 821 - - - - 821

1910 17 - 17 2.697 36 7 2.740 - - - - 2.740

1915 29 2 31 5.323 71 20 5.414 283 38 - 321 5.735

1920 34 14 48 7.783 140 52 7.975 1.958 189 99 2.246 10.221

1925 41 30 71 9.921 176 45 10.142 5.364 398 88 5.850 15.992

1930 65 45 110 12.696 247 55 12.998 7.782 730 107 8.619 21.616

1935 62 44 106 12.410 322 74 12.806 8.718 1.089 243 10.050 22.856

1940 62 48 110 12.941 541 122 13.630 9.877 1.667 319 12.076 25.696
Tabel 7
HIS (Sekolah Indonesia Belanda)

Jml sekolah Jml siswa Jml siswa g.total

pmr sws total prib asia eropa total prib asia eropa total

1915 102 22 124 19.577 128 14 19.719 2.900 100 15 3.015 22.734

1920 132 67 199 26.149 428 82 26.659 7.055 143 41 7.239 33.898

1925 156 106 262 35.389 639 168 36.196 20.445 606 129 21.180 57.376

1930 192 100 292 37.453 1.011 244 38.708 21.332 706 164 22.202 60.910

1935 190 98 286 39.633 956 337 40.926 20.462 512 140 21.114 62.040

1940 186 99 285 45.933 654 355 47.355 24.431 460 143 25.159 72.514
Tabel 8
Schakelschool (Sekolah Peralihan)

seklh siswa

pemr swsta total pribumi asia eropa total prib asia eropa total g.total

1921 2 - 2 71 - - 71 - - - - 71

1925 13 5 18 695 11 - 706 245 - - 245 951

1930 43 15 58 3.622 22 14 3.656 1.134 7 4 1.145 4.803

1935 28 13 41 3.020 37 - 3.057 1.649 21 8 1.678 4.735

1940 35 17 52 3.846 33 3 3.901 1.904 223 2 1.931 5.832


Tabel 9
HBS 5 Tahun (Sekolah Dasar dengan Kursus 5 Tahun)

seklh siswa

pemr Swasta total eropa prib asia total Eropa pribumi asia total g.total

1900 3 - 3 622 13 4 639 - - - - 639

1905 3 - 3 618 36 15 669 - - - - 669

1910 3 - 3 819 50 60 929 - - - - 929

1915 4 - 4 915 67 112 1.094 - - - - 1.094

1920 4 1 5 - - - .- - - - - -

1925 4 1 5 1.603 123 156 1.882 101 - 2 103 1.983

1930 6 1 7 2.203 167 275 2.645 93 4 1 98 2.743

1935 7 2 9 2.404 460 544 3.408 126 7 13 146 2.554

1940 7 6 13 1.570 501 480 2.551 490 52 62 605 3.156


Tabel 10
HBS 3 Tahun (Sekolah Dasar dengan Kursrs 3 Tahun)

Jml sekolah Jml siswa Jml siswa g.total

Pmr swst total eropa prib asia total eropa prib asia total

1900 1 - 1 47 - - 47 - - - - 47

1905 - 1 1 - - - - - 82 - - 82

1910 - 3 3 - - - - 110 - - - 110

1915 1 4 5 134 14 29 177 242 - 1 243 420

1920 1 5 6 - - - - - - - - -

1925 1 6 7 134 7 24 165 538 10 34 582 747

1930 1 6 7 91 12 40 143 539 22 42 603 739

1935 - 5 5 - - - - 631 50 43 724 724

1940 1 8 9 40 40 3 30 617 52 42 711 761


Tabel 11
EMS (Sekolah Eropa Lanjutan)

Jml sekolah Jml siswa Jml siswa g.total

pmr swst total eropa prib asia total eropa prib asia total

1915 13 3 16 643 315 85 1.043 117 10 2 129 1.172

1920 18 5 23 1.299 1.132 203 2.634 225 36 19 280 2.914

1925 24 14 38 2.275 3.528 618 6.421 803 319 179 1.301 7.722

1930 35 29 64 1.675 5.266 904 7.854 1.783 1.640 520 3.943 11.788

1935 32 28 60 862 3.873 849 5.584 1.661 1.303 728 3.692 9.276

1940 37 31 68 1.067 6.079 1392 8.561 2.258 2.156 1297 5.717 14.278
Tabel 12
AMS (Sekolah Lanjutan Umum)

Jml sekolah Jml siswa Jml siswa g.total

pmr swst total prib eropa asia total prib eropa asia total

1919 1 - 1 22 15 5 42 - - - - 42

1925 2 - 2 154 74 28 255 - - - - 255

1930 7 2 9 576 118 178 872 73 47 59 179 1.051

1935 5 2 7 672 131 202 1.005 103 95 82 280 1.285

1940 6 4 10 738 139 185 1.065 184 179 116 481 1.546
Tabel 13
Sekolah Bahasa

Jml sekolah Jml siswa Jml siswa g.total

pmr swst total eropa prib asia total eropa prib asia total

1925 - 1 1 - - - - 82 1 3 86 86

1930 - 2 2 - - - - 445 8 6 459 459

1935 - 2 2 - - - - 708 28 28 764 764

1940 3 2 5 1.194 168 254 1.616 1.009 38 27 1.075 2.691


Tabel 14
Pendidikan Tinggi/Mahasiswa matrikulasi
Pribumi cina eropa total

1920/21 2 4 22 28

1921/22 6 2 29 37

1922/23 8 4 39 42
1923/24 5 3 10 18
1924/25 25 11 40 76
1925/26 21 11 28 60
1926/27 30 5 28 63
1927/28 38 21 29 88

1928/29 44 14 52 110
1929/30 91 24 47 162
1930/31 106 49 72 227
1931/32 93 41 78 212
1932/33 109 57 62 228
1933/34 121 62 73 256

1934/35 112 75 79 266


1935/36 103 63 65 231
1936/37 120 59 74 253
1937/38 155 78 54 287
1938/39 143 80 57 280
1939/40 157 78 83 318
1.489 7.41 1.012 3.242

Tabel 15
Graduated
Pribumi Cina Eropa Total

1923/24 0 3 9 12
1924/25 0 0 8 8

1925/26 4 2 14 20

1926/27 6 1 7 14

1927/28 3 0 5 8

1928/29 3 3 8 13

1929/30 6 1 12 19

1930/31 4 1 7 12

1931/32 8 0 9 17

1932/33 7 1 7 15

1933/34 8 3 11 22

1934/35 14 12 8 34

1935/36 29 6 23 58

1936/37 23 13 13 49

1937/38 38 18 15 71

1938/39 40 21 20 81

1939/40 37 23 19 79

230 107 195 532


TENTANG PENULIS

SUPARHUN lahir di Desa Jurung, Kecamatan Merawang, Kabupaten


Bangka, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tanggal 20 Mei 1968. Putra keempat
dari enam bersaudara dari pasangan AHAR dan SOLIYAH ini menamatkan SD di
Desa Jurung (1976-1981), SMP di kecamatan Baturusa (1981-1984), SMA di
kabupaten Bangka (Sungailiat) (1984-1987) dan jenjang S1 Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Raden Fatah Palembang Propinsi Sumatera
Selatan (1988-1993) serta Program Magister (konsentrasi Pendidikan Agama Islam)
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(2008-2010) atas beasiswa dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung.

Jenjang karir dimulai sejak tahun 1996-2004 menjadi tenaga honorer di SDN
40 Jurung. Tahun 2005 hingga pertengahan 2008 menjadi guru tetap yang
diperbantukan pada SDN 9 Sungaiselan Bangka Tengah. Sejak Juli 2008 hingga
sekarang aktif sebagai tenaga pengajar di SDN 10 Pangkalanbaru pada bidang studi
Pendidikan Agama Islam. Penulis adalah Guru Berprestasi Tingkat Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung tahun 2008 untuk kategori Guru Sekolah Dasar.

Anda mungkin juga menyukai