Anda di halaman 1dari 8

.

Pengertian Studi Islam

Kata Studi Islam secara Etimologi (bahasa) merupakan gabungan dari dua

kata yaitu Studi dan Islam. Dan kata studi sendiri memilki banyak makna,

diantaranya Studi berasal dari bahasa Ingris yaitu Study, yang berarti

mempelajari atau mengkaji. Dan menurut Lester Crow dan Alice Crow

menyebutkan bahwa studi adalah kegiatan yang secara sengaja diusahakan

dengan maksud untuk memperoleh keterangan, mencapai pemahaman yang

lebih besar atau meningkatkan suatu keterampilan. Kemudian menurut

Muhammad Hata Studi adalah mempelajari sesuatu untuk mengerti

kedudukan masalahnya, mencari pengetahuan tentang sesuatu dalam

hubungan sebab akibatnya, ditnjau dari jurusan tertentu dan dengan metode

tertentu pula. Sedangkan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salima

dan aslama. Salima mengandung arti selamat, tunduk, dan berserah.

Sedangkan aslama juga mengandung arti kepatuhan, ketundukan, dan

berserah. Yang disebut dengan muslim adalah orang yang tunduk, patuh, dan

berserah diri sepenuhnya kepada ajaran Islam dan akan selamat dunia dan

akhirat.1

Dan Secara Terminologi (Istilah) Kajian Islam atau di Barat terkenal

dengan istilah Islamic Studies adalah usaha mendasar dan sistematis untuk

mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk

yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajaranya, maupun

praktek-praktek pelaksananya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari

sepanjang sejarah.2 Pengertian Studi Islam menurut Muhammad Nur Hakim

kegunan istilah Studi Islam bertujuan untuk mengungkapkan beberapa

maksud, yaitu :
1 Khoiryah, Memahami Metodologi Studi Islam (Suatu Konsep tentang Seluk Beluk

Pemahaman Ajaran Islam Studi Islam dan Isu-isu Kontemporer dalam Studi Islam), Yogyakarta:

Teras, 2013, hlm. 19-20

Ibid, hlm. 21

1. Studi Islam yang dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas dan program- program pengkajian dan
penelitan terhadap agama sebagai objeknya.

2. Studi Islam yang dikonotasikan dengan materi, subjek, bidang, dan

kurikulum atas semua kajian Islam.

3. Studi Islam yang dikonotasikan dengan instiusi-instiusi pengkajian

Islam, baik dilakukan secara formal seperti perguruan tingi, maupun

yang non formal seperti forum-forum kajian dan halaqoh-halaqoh.3

B. Ruang Lingkup Kajian Studi Islam

Pada dasarnya pengkajian keislaman mengikuti pada wawasan dan

keahlian para pengkajinya, sehinga terkesan nuansa kajian mengikuti selera

pengkajinya. Secara material, ruang lingkup kajian Islam dalam tradisi Barat

(orientalism scholar) meliputi pembahasan mengenai ajaran, doktrin,

pemikiran, teks, sejarah dan instiusi keislaman. Pada awalnya ketertarikan

sarjana Barat terhadap pemikiran Islam lebih karena kebutuhan atas

penguasan daerah koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah

negara-negara yang banyak di domisil warga negara yang beragama Islam,

sehinga mau tidak mau mereka harus paham tentang budaya lokal. Kasus ini

dapat dilhat pada pada perang Aceh, Snouck Hurgronje (sarjana Belanda)

telah mempelajari Islam terlebih dahulu sebelum diterjunkan dilokasi dengan

asumsi ia telah memahami budaya dan peradaban masyarakat Aceh yang

mayoritas beragama Islam. Islam dipelajari oleh Snock Hurgronje dari sisi
landasan normatif maupun praktik bagi para pemeluknya, kemudian dibuatlah

rekomendasi kepada para penguasa kolonial untuk membuat kebajikan yang

berkaitan dengan kepentingan umat Islam.

Islam dipahami dari sisi ajaran, doktrin dan pemahaman masyarakat

dengan asumsi dapat diketahui tradisi dan kekuatan masyarakat setempat.

Setelah itu, pemahaman yang telah menjadi input bagi kaum orientalis

diambil sebagai dasar kebajikan oleh para penguasa kolonial yang tentunya

lebih menguntungkan mereka dibandingkan dengan rakyat banyak di wilayah

3 Muhammad Mustahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 201, hlm. 1

jajahanya. Hasil studi ini sesunguhnya lebih menguntungkan

kaumpenjajah. Atas dasar masukan ini para penguasa kolonial dapat

mengambil kebijakan daerah koloni dengan mempertimbangkan budaya

lokal. Atas masukan ini, para penjajah mampu membuat peta kekuatan sosial

masyarakat erjajah sesuai dengan kepentingan dan keuntunganya.4

Menurut Muhammad Nurhakim, memang tidak semua aspek agama,

khususnya Islam dapat menjadi objek studi. Dalam konteks khusus studi

Islam, ada beberapa aspek tertentu dari Islam yang dapat menjadi objek studi,

yaitu :

1. Islam sebagai Doktrin dari Tuhan yang kebenaranya bagi para

pemeluknya sudah final, dalam arti absolut, dan diterima secara apa

adanya.

2. Sebagai gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi

manusia dalam kaitanya dengan agama, termasuk pemahaman orang

terhadap doktrin agama.

3. Interaksi sosial yaitu realitas umat Islam.5


Sementara menurut Muhammmad Amin Abdulah terdapat tiga wilayah

keilmuan agama Islam yang dapat menjadi Objek Studi Islam, yaitu :

1. Wilayah praktik keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah

dintrepretasikan sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan

masyarakat pada umumnya. Wilayah praktik ini umumnya tanpa melalui

klarifikasi dan penjernihan teoritk keilmuan yang dipentingkan disini

adalah pengalaman.

2. Wilayah-wilayah teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika

dan metodologinya oleh para ilmuan, para ahli, dan para ulama sesuai

bidang kajianya masing-masing. Apayang ada pada wilayah ini

sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah “teori-teori” keilmuan

agama Islam, baik secara deduktif dari nash-nash atau teks-teks wahyu,

maupun secara induktif dari praktik-praktik keagaman yang hidup

Jamali Sahordi, Metodologi Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 201, hlm. 57

5 M. Nur Hakim, Metode Studi Islam, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 204,

hlm. 137

dalam masyarakat era kenabian, sahabat, tabi’in maupun sepanjang

sejarah perkembangan asyarakat muslim dimanapin mereka berada.

3. Telah krits yang lebih populer disebut metadiscourse, terhadap sejarah

perkembangan jatuh bangunya teori-teori yang disusun oleh kalangan

ilmuan dan ulama pada lapis kedua. Wilayah pada lapis ketiga yang

kompleks dan sophisticated inilah yang sesunguhnya dibidangi oleh

filsafat ilmu-ilmu keislaman.6

Sedangkan menurut M. Atho’ Mudzhar menyatakan bahwa objek kajian


Islam adalah substansi ajaran-ajaran Islam, seperti kalam, fiqih dan tasawuf.

Dalam aspek ini agama lebih bersifat penelitanbudaya, hal ini mengingat

bahwa ilmu-ilmu keislaman semacam ini merupakan salah satu bentuk

doktrin yang dirumuskan oleh penganutnya yang bersumber dari wahyu Alah

melalui proses penawaran dan perenungan. Ketika seseorang mempelajari

bagaimana ajaran Islam tentang sholat, haji, zakat, haji, tentang konsep ke- Esa-an Alah, tentang
argumen adanya Tuhan, tentang aturan etika dan nilai

moral dalam Islam, berarti sedang mempelajari Islam sebagai gejala Budaya.7

C. Tujuan Studi Islam

Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa al-umur bi maqashidiyah,

bahwa setiap tindakan dan aktifitas harus berorientasi pada tujuan atau

rencana yang telah ditetapkan. Adagium ini menunjukan bahwa pendidikan

serharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata –mata

berorientasi pada sederetan materi. Sehinga tujuan study Islam terlebih

dahulu harus dirumuskan, sebelum komponen-komponen lainya.8

Sesuai perkembangan masyarakat yang semakin dinamis sebagai

konsekuensi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka aktualisasi

nilai-nilai al-Qur’an menjadi sangat penting. Karena tanpa aktualisasi kitab

suci ni, umat Islam akan menghadapi kendala dalam upaya internalisasi nilai- nilai al-Qur’ani sebagai
upaya pembentukan pribadi umat Islam yang

6 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 209, hlm. 8-9

7 Muhammad Mustahibun Nafis, Opcit, hlm. 9

Ibid, hlm. 57

bertaqwa, berakhlak mulia, cerdas, maju, dan mandiri , atau disebut dengan

insane kamil. Pribadi semacam inilah yang menjadi tujuan study Islam
sebagaimana dirumuskan oleh al-Ghazali. Dalam mewujudkan Islam kamil,

pendidikan Islam ditujukan sebagai proses transfer pengetahuan (transfer of

knowledge), transfer metode (transfer of methodology), dan transfer nilai- nilai (transfer of values).

Study Islam sebagai media transfer pengetahuan dapat ditnjau dari

perspektif perspektif human capital, pendidikan tidak dipandang sebagai

barang konsumsi saja tetapi juga sebagai sebuah investasi. Hasil investasi ni

berupa tenaga kerja yang mempunyai pengetahuan untuk menerapkan

pengetahuan dan keterampilannya dalam proses produksi dan pembangunan

pada umumnya.

Secara normative tujuan yang ingin dicapai pendidikan Islam meliputi

tiga dimensi yaitu:

1. Dimensi spiritual, yaitu iman, takwa, dan akhlak mulia (yang tercermin

dalam ibadah dan muamalah). Dimensi spiritual ini tersimpul dalam satu

kata yaitu akhlak mulia, yang menurut M. Athiyah Al-Abrasyi sebagai

tujuan utama study Islam.

Sementara menurut Said Aqil Husein al-Munawar, akhlak merupakan

alat control psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa

akhlak, manusia akan berada dalam kumpulan binatang yang tidak

memliki tata nilai dalam kehidupanya. Rasululah saw. Merupakan

sumber akhlak yang hendaknya diteladani oleh orang mukmin, seperti

tercermin dalam sabdanya: “Sesunguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak

yang mulia”.

2. Dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tangung

jawab kemasyarakatan dan kebangsan. Dimensi ini secara universal

menitkberatkan pada pembentukan kepribadian muslim sebagai ndividu


yang diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan factor dasar9

(bawan) dan factor ajar (lingkungan) dengan berpedoman kepada nilai- nilai keislaman.

3. Dimensi kecerdasan yang membawa kemajuan, yaitu cerdas, aktif,

disiplin, inovatif, produktif, dan sebagainya. Dimensi kecerdasan dalam

pandangan psikologi merupakan sebuah proses yang mencakup tiga hal:

analisis, kreatifitas, dan praksis.

Upaya yang dilakukan dalam study Islam tentunya tidak cukupn di ruang

kelas atau disekolah saja. Sebab lembaga yang mempunyai peran

sesunguhnya adalah keluarga. Sebagai unit masyarakat terkecil, keluarga

memilki dampak langsung terhadap kehidupan peserta didik dan masyarakat

itu sendiri. Disinilah anak mendapatkan imu pengetahuan pertama kalinya

sebelum mendapatkan dari lembaga lain.9

Studi islam sebagai sebuah kajian secara sistematis terhadap islam

memilki sebuah tujuan kegiatan apapun, apalagi studi islam, akan lebih

mudah tercapai manakala ditetapkan tujuanya secara konkret. Secara garis

besar tujuan studi slam adalah:

1. Mempelajari secara mendalam tentang hakikat islam, bagaimana

posisinya dengan agama lain, dan bagaimana hubunganya dengan

dinamika oerkembangan yang terus berlangsung.

2. Mempelajari secara mendalam terhadap sumber dasar ajaran agama islam

yang tetap abadi dan dinamis serta aktualisasinya sepanjang sejarah.

3. Mempelajari secara mendalam terhadap pokok isi ajaran islam yang asli,

dan bagaimana operasionalisasinya dalam pertumbuhan budaya dan

peradaban islam sepanjang sejarah.

4. Mempelajari secara mendalam terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai


dasar ajaran islam dan bagaimana perwujudanya dalam membimbing

dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan budaya dan peradaban

manusia pada zaman modern ini.

9 Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Semarang :Pustakan

Rizki Putra, 208 hlm. 21-2410

Dengan menyimak terhadap 4 tujuan ini studi slam diharapkan akan lebih

jelas arahnya. Tujuan ini

Anda mungkin juga menyukai