1.14 Menghayati hikmah sumber hukum yang berupa saddud-dzara'i dan fathud-dzara'i
2.14 Mengamalkan sikap menghormati pendapat orang lain dan tanggung jawab
sebagai implementasi dari pengetahuan tentang sumber hukum Islam saddud-
dzara'i dan fathud-dzara'I
3.14 Menganalisis saddud-dzara'i dan fathud-dzara'i sebagai sumber hukum Islam
mukhtalaf (yang diperselisihkan)
4.14 Mengomunikasikan contoh produk hukum dari saddud-dzara'i dan fathud-dzara'i
serta analisisnya
TUJUAN PEMBELAJARAN
Artinya:
“Mencegah segala sesuatu (perkataan maupun perbuatan) yang menyampaikan pada sesuatu yang
dilarang yang mengandung kerusakan atau bahaya”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa sadd al-żarāi’ merupakan suatu
metode penggalian hukum Islam dengan cara preventif, yaitu melarang, mencegah, menutup
jalan atau wasilah suatu perkara atau hal yang awalnya dibolehkan karena dapat menimbulkan
sesuatu yang menyebabkan terjadinya kerusakan atau sesuatu yang dilarang. Misalnya
seorang petani anggur dilarang menjual buah anggurnya kepada pembuat khamr dikarenakan
dikhawatirkan menimbulkan mafsadah, yaitu dibuat bahan untuk minuman yang
memabukkan.
Sedangkan pengertian fatḥ al-żarāi’ secara bahasa merupakan gabungan dua kata
dalam susunan iḍāfah yang terdiri dari kata fatḥ dan al-żarāi’. Kata fatḥ merupakan bentuk
maṣdar dari kata kerja yang berarti membuka, dan dan al- żarāi’ sebagaimana penjelasan di
atas berarti jalan atau wasilah. Sehingga kalau kedua kata tersebut digabungkan, maka artinya
adalah membuka jalan, maksudnya membuka jalan menuju kebaikan atau kemaslahatan.
Sebagaimana yang sudah kalian pelajari sebelumnya bahwa tujuan utama
pemberlakuan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia, baik
dengan cara menarik kemaslahatan ataupun dengan menghindari (menolak) kerusakan atau
kemudaratan. Apapun yang menjadi sarana yang mengantarkan kepada suatu perbuatan yang
diduga kuat akan menghasilkan suatu kebaikan dan mewujudkan kemaslahatan, maka hal itu
wajib untuk diadakan dan dimunculkan. Demikianlah konsep sederhana dari fatḥ al-żarāi’.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa fatḥ al-żarāi’merupakan metode hasil
pengembangan dari sadd al-żarāi’. Fatḥ al-żarāi’ dapat dimaknai sebagai sarana, alat atau
wasilah yang wajib untuk dimunculkan atau dipakai apabila hasil dari suatu perbuatan yang
menggunakan sarana, alat atau wasilah tersebut dapat mendatangkan kebaikan atau
kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah:
Artinya:
“Apabila (pelaksanaan) suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa disertai adanya keberadaan
suatu hal yang lain, maka hal yang lain itu pun (menjadi) wajib (untuk diadakan)”
Misalnya, kewajiban membuat pasar sebagai tempat transaksi jual beli atau
perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi pihak-pihak yang bertransaksi. Sehingga
seorang petani anggur dapat menjual buah anggurnya di pasar umum, dan tidak secara khusus
kepada pembuat khamr yang dikawatirkan akan dijadikan bahan untuk khamr. Dengan
demikian, adanya pendirian pasar menjadi sarana untuk kesempurnaan kemaslahatan dalam
perdagangan dalam rangka ḥifẓ al-māl (pemeliharaan harta) dan terpenuhinya kebutuhan
buah-buahan dan kebutuhan yang lain.
5Οù=Ïæ ÎötóÎ/ #Jρô‰tã ©!$# (#θ™7Ý¡uŠsù «!$# Èβρߊ ÏΒ tβθããô‰tƒ šÏ%©!$# (#θ™7Ý¡n@ Ÿωuρ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.
tµ•ƒr& $·èŠÏΗsd «!$# ’n<Î) (#þθç/θè?uρ 4 £ÎγÏFt⊥ƒÎ— ÏΒ tÏ øƒä† $tΒ zΝn=÷èã‹Ï9 £ÎγÎ=ã_ö‘r'Î/ tø⌠ÎôØo„ Ÿωuρ
Artinya:
“…dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung”.
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami upaya preventif atau sadd al-żarāi’
bahwa perempuan Mukmin yang menghentakkan kakinya, meskipun dibolehkan
namun jika mengakibatkan rangsangan bagi kaum lelaki (selain suami) yang
mendengarnya, maka itu dilarang.
3. As-Sunnah
Dalam suatu hadis dari al-Miqdad bin al-Aswad dijelaskan tentang larangan
membunuh orang kafir (munafik) setelah mengucapkan kalimat tauhid, meskipun itu
hanya berlandaskan karena takut dibunuh. Al-Qāḍī ‘Iyād menjelaskan bahwa
makna hadis tersebut adalah bahwa sesungguhnya orang yang membunuh itu tidak
ubahnya seperti orang kafir tersebut dalam hal menentang kebenaran dan
mempraktekkan perbuatan dosa.
4. Kaidah Fiqih
Artinya:
“Apa yang membawa kepada yang haram maka hal tersebut juga haram hukumnya.”
3 5Οù=Ïæ ÎötóÎ/ #Jρô‰tã ©!$# (#θ™7Ý¡uŠsù «!$# Èβρߊ ÏΒ tβθããô‰tƒ šÏ%©!$# (#θ™7Ý¡n@ Ÿωuρ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mencaci maki sesembahan non
Muslim pada dasarnya dibolehkan, hanya saja perbuatan tersebut dapat
menimbulkan kemafsadatan, yaitu balasan perbuatan non Muslim yang mencaci
maki Allah. Karena itulah seorang Muslim dilarang memaki sesembahan atau
tuhannya non Muslim.