Anda di halaman 1dari 4

A.

Sadd adz-Dzari’ah
1. Pengertian Sadd adz-Dzari’ah
Secara lughawi Dzari’ah itu berarti: jalan yang membawa kepada sesuatu baik
ataupun buruk. Secara Etimologi, Dzari’ah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu, dalam
pengertian lain Dzari`ah berarti sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan
mengandung kemudaratan16 .
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Dzari’ah adalah washilah (jalan) yang
menyampaikan kepada tujuan baik, halal ataupun haram. Berarti apabila jalan yang
menyampaikan kepada sesuatu yang haram maka hukumnya juga haram, jalan yang
menyampaikan kepada sesuatu yang halal hukumnya juga halal, dan jalan yang
menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya menjadi wajib.
Sebagian ulama mengkhusus kan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi pendapat tersebut
ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnul Qayyim yang menyatakan bahwa
Dzari’ah tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan17 16
Nasrun haroen, ushul fiqh hal 160 17 Syafe’I Rahman, Ilmu Ushul fiqh, (Bandung: Pustaka
Setia, 1999), hal. 132 15 Kalimat sadd al-Dzari’ah berasal dari dua kata (frasa/idhofah), yaitu
sadd dan dzari’ah. Kata sadd, berarti: menutup cela, dan menutup kerusakan, dan juga berarti
mencegah atau melarang18.
Sedangkan kata dzari’ah secara bahasa berarti Artinya jalan yang membawa kepada
sesuatu, secara hissi dan maknawi (baik atau buruk)19 . Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa
pengertian dzari’ah adalah apa yang memberi perantara dan jalan kepada sesuatu. Oleh
karena itu menurut Ibnu Qayyim kata dzariah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum,
sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang, disebut sadd al dzari’ah
dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah20 .
Imam al-Syathibi mendefinisikan Dzari’ah adalah melakukan suatu pekerjaan yang
semula mengandung kemashalatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan21. Maksudnya
adalah perbuatan yang akan dilakukan pada hakikatnya adalah boleh dilakukan karena
mengandung suatu kemaslahatan, namun dalam pencapaiannya berakhir pada suatu
kemafsadatan.1

2. Dasar Hukum Sadd al-Zari’ah


1
NITA SAIDATUNNISA, ‘Tradisi Pembayaran Uang Panai’ Dalam Perkawinan Suku Bugis
Di Makassar Dalam Tinjauan Sadd Adz-Dzari’ah (Studi Kasus Tingginya Uang Panai’ Di Makassar)’,
2021, 14–37.
Dasar hukum sadd al-zari"ah ada di dalam Alquran sebagai berikut

‫َى‬ َ ِ‫س بُّو ۟ا ٱللَّهَ َع ْد ۢ ًوا بِغَْي ِر ِعل ٍْم ۗ َك َٰذل‬


ٰ ‫ك َز َّينَّا لِ ُك ِّل َُّأم ٍة َع َملَ ُه ْم ثُ َّم ِإل‬ ِ َّ ِ ِ
ُ َ‫ين يَ ْدعُو َن من ُدون ٱلله َفي‬
ِ َّ ۟ َ‫واَل ت‬
َ ‫س بُّوا ٱلذ‬
ُ َ
‫َربِّ ِهم َّم ْر ِجعُ ُه ْم َفُينَبُِّئ ُهم بِ َما َكانُو ۟ا َي ْع َملُو َن‬
Artinya: “Dan janganlah kamu menghina perkara-perkara yang mereka sembah yang lain dari
Allah, kerana mereka kelak, akan mencerca Allah secara melampaui batas dengan ketiadaan
pengetahuan.” (QS Al -An"am: 108)
Ayat diatas menerangkan terhadap larangan untuk mencerca tuhan atau berhala agama
lain. Hal ini karena ia adalah zari"ah yang akan menimbulkan sesuatu keburukan yang
dilarang. Secara logikanya, orang yang tuhannya dihina dan dicerca kemungkinan akan
membalas cacian tersebut dengan mencaci tuhan orang yang sebelumnya. Demikian hal ini
bagi mengelakkan terjadinya cacian terhadap Allah swt dengan tidak mencaci sembahan
agama lain sebagai tindakan preventif atau sadd al-zari"ah.2
3. Kedudukan Saddu Dzari’ah
Meskipun hampir semua ulamadan penulis ushul fiqh menyinggung tentang saddu
dzari’ah, namun sangat jarang didapati pembahasan secara khusus mengenai hal tersebut
yang dilakukan para ulama fikih. Ada yang menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-
dalil syara’yang tidak disepakati oleh ulama. Ibnu Hazm yang menolak untuk ber-
hujjahdengan saddu dzari’ahmenyatakan: “Segolongan orang mengharamkan beberapa
perkara dengan jalan ikhtiyath dan karena khawatir menjadi wasilah kepada yang
benar-benar haram”. Ditempatkannya dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa karena
washilah sebagai perbuatan pendahuluan maka ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa
washilahitu sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ tehadap perbuatan pokoknya. Dari
ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa saddu dzari’ah mempunyai
dasar dari al-Quran, sedangkan dasar-dasar saddu dzari’ahdari sunnah adalah:
a. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik
bisa menyebabkan Nabi dituduh membunuh sahabatnya.
b. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian
bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
c. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan

MUHAMMAD HANIF BIN HALILILAH, ‘KEHUJJAHAN SADD AL-ŻARI’AH SEBAGAI


2

DALIL HUKUM ISLAM’, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM, 14.1 (2021),
1–13.
ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatirkan tentara-tentara lari
bergabung bersama musuh.
d. Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa
mengakibatkan kesulitan manusia.
e. Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar
tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari
zakat.
4. Ketentuan dalam Saddu Dzari’ah
Untuk menetapkan hukum jalan (sarana) yang mengharamkan kepada tujuan,
perlu diperhatikan:
a. Tujuan. Jika tujuannya dilarang, maka jalannya juga dilarang dan jika tujuannya wajib,
maka jalannyapun diwajibkan.
b. Niat (Motif). Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum sarananya
halal, dan jika niat yang ingin dicapai haram, maka sarananyajugaharam.
c. Akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan
kemaslahatanseperti yang diajarkan syariat, maka wasilah-nya boleh dikerjakan,
dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan, walaupun tujuannya demi
kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.3
5. Pengelompokan SadduDzari’ah
Macam-macam Sadd al-Dzari’ah Para ulama Ushul Fiqh mengelompokkan Dzari’ah
ke dalam dua kategori. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas mafsadat-nya dan Dzari’ah dilihat
dari segi jenis mafsadat-nya.
Pertama, Dzari’ah dilihat dari segi Mafsadat-nya. Imam alSyatibi menegmukakan
bahwa dari segi kualitas ke-mafsadatannya, dzari’ah terbagi kepada empat macam, yaitu :
a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadat-an secara pasti (Qoth’i)
misalnya, seseorang menggali sumur di depan pintu rumahnya sendiri dan ia tahu bahwa
pada malam yang gelap itu ada orang yang berkunjung ke rumahnya. Perbuatan ini pada
dasarnya boleh-boleh saja (mubah fi dzati), akan tetapi dengan melihat akibat yang
ditimbulkan dari perbuatanya secara pasti akan mendatangkan mafsadat maka menjadi
dilarang.
b. Perbuatan yang akan dilakukan itu biasanya membawa kepada mafsadat atau besar
kenmungkinan (Dzann alghalib) membawa kepada mafsadat. Misalnya, seseorang
3
Intan arafah Intan arafah, ‘Pendekatan Sadd Adz-Dzari’ah Dalam Studi Islam’, Al - Muamalat:
Jurnal Hukum Dan Ekonomi Syariah, 5.1 (2020), 68–86
<https://doi.org/10.32505/muamalat.v5i1.1443>.
menjual anggur kepada produsen minuman keras. Pada dasarnya menjual barang
(anggur) itu boleh-boleh saja, akan tetapi apabila ternyata dijual kepada produsen
minuman keras besar kemungkinan anggur itu diproses menjadi minuman keras yang
memabukkan (khamr). Perbuatan seperti ini dilarang, karena ada dugaan keras bahwa
perbuatan itu membawa kepada ke-mafsadat-an.
c. Pebuatan yang dilakukan itu itu jarang atau kecil kemungkinan membawa kepada
mafsadat, misalnya seseorang mengendarai sepeda motor di jalan raya dengan kecepatan
30-50 km/jam pada jalur serta kondisi yang normal. Perbuatan seperti ini boleh-boleh
saja.
d. Perbuatan yang dilakukan itu mengandung ke-maslahatan, tetapi memungkinkan juga
perbuatan tersebut membawa kepada mafsadat. Misalnya seseorang menjual pisau, sabit,
gunting, jarum dan yang sejenisnya di pasar tradisional secara bebas pada malam hari.
Untuk jenis yang pertama dan kedua di atas, para ulama sepakat melarangnya sehingga
perbuatan tersebut (dzari’ah) perlu dicegah/ditutup (sadd).
Untuk jenis yang ketiga para ulama tidak melarangnya, sedangkan jenis yang keempat
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama (al-Zuhaily 1986: 877-893). Kedua, Dzari’ah
Dilihat dari segi jenis mafsadat yang ditimbulkannya.
Menurut ibn Qayyim al-Jauziyah (al-Jauziyah tt. :148), Dzari’ah dilihat dari segi jenis
mafsadat yang ditimbulkannya terbagi kepada :
a. Perbuatan itu membawa kepada suatu mafsadat, seperti meminum minuman keras dapat
mengakibatkan mabuk dan mabuk merupakan itu suatu mafsadat.
b. Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan bahkan dianjurkan, tetapi
dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang
disengaja maupun tidak. Perbuatan yang mempunyai tujuan yang disengaja misalnya
seseorang menikahi wanita yang telah dithalaq tiga oleh suaminya, dengan tujuan agar
suami pertama dapat menikahinya lagi (nikah al-tahlil). Sedangkan perbuatan yang
dilakukan tanpa tujuan sejak semula seperti seseorang yang mencacimaki ibu bapak
orang lain akibatnya orang tuanya sendiri akan dibalas caci-makian.4

4
Gibtiah and and Yusida Fitriati, ‘PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBARUAN HUKUM
ISLAM PERSPEKTIF SADD AL-DZARI’AH’, NURANI, 101–13.

Anda mungkin juga menyukai