Anda di halaman 1dari 17

DZARIAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Dr.H.Abdul Helim, M.Ag.

Disusun Oleh
Rabiatul Adawiyah
2112130165

Suhendri
2112130207

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARI’AH JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2022M/1444H
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam kepada-Nya kita menyembah
kepada-Nya kita memohon pertolongan. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang
sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Dengan rahmat dan hidayah dari Allah SWT. Kami diberikan kemampuan
untuk menyelasaikan tugas dari Bapak Dr.H.Abdul Helim, M.Ag. untuk membuat
makalah yang memuat materi tentang “Dzari’ah”. Ucapan terimakasih penulis
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan
makalah ini. Kami meyadari makalah ini masih kurang sempurna, dan kami
mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat
diperbaiki. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Amin.

Palangka Raya, 04 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii


DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1


B. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1
C. Manfaat Penulisan ..................................................................................... 2
D. Metode Penulisan ...................................................................................... 2

BAB II
PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

A. Pengertian Dzari’ah ................................................................................... 3


B. Dasar Hukum Metode Dzari’ah ................................................................. 3
C. Pembagian Dzari’ah .................................................................................. 5
D. Pandangan Ulama Terhadap Dzari’ah ........................................................ 9
E. Cara Menentukan Dzari’ah ...................................................................... 11

BAB III
PENUTUP ........................................................................................................ 12

A. Kesimpulan ............................................................................................. 12
B. Saran ....................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bentuk Hukum Islam ada yang berupa perintah dan ada yang berupa
larangan. Setiap perintah itu harus dilakukan dan dikerjakan, sebaliknya pula
setiap larangan itu harus dijauhi dan ditinggalkan. Perintah-perintah Syara'
dan larangan-larangannya itu mesti ada wasilahnya atau perantaranya yang
mengantarkan seseorang kepada perbuatan itu baik perintah atau larangan.
Perantara-perantara ini harus selalu diperhatikan dengan sungguh-sungguh
agar manusia dapat memenuhi berbagai perintah dan menjauhi larangan-
larangan demi tercapainya tujuan perintah dan larangan sesuai dengan tujuan
ditetapkannya. Hukum Islam, yaitu terealisasinya kemashlahatan manusia
Hukum suatu perantara (wasilah) adalah mengikuti hukum yang
diperantarainya. Tentu tidak logis jika ada suatu perbuatan diperintah atau
dilarang, sedangkan perantaranya tidak diperintah ataupun tidak dilarang,
hal itu akan menimbulkan dampak diabaikannya perintah atau dilanggarnya
suatu larangan. Oleh karena itu wasilah dari suatu perintah harus
diperintahkan pula, sedang wasilah dari suatu larangan haruslah pula
dilarang. Cara dan pemikiran hukum seperti ini oleh Imam Malik disebut
dengan al-dzari'ah. Bagi wasilah terhadap perintah dinamakan fathu al-
dzari'ah dan bagi wasilah terhadap larangan disebut sad al-dzari'ah.
Al- Dzari' ah dijadikan dasar penetapan hukum, mulai dikenal pada
priode ke IV, yaitu awal abad 11 Hijriyah sampai abad IV Hijriyah. Pada
priode ini bermunculan lahirnya imam-imam madzhab. Di antara imam
madzhab itu yang memperhatikan aldzari'ah adalah Imam Malik. Ia hidup
dari tahun 93 sampai tahun 179 Hijriyah dan dalam fatwa-fatwanya ia
banyak menggunakan al-dzari'ah. Maka dengan adanya makalah ini akan
dibahas lebih lanjut tentang Dzariah.

B. Tujuan Penulisan
1. Apa pengertian Dzari’ah?

1
2. Apa dasar hukum Dzari’ah?
3. Bagaimana pembagian Dzari’ah?
4. Bagaimana pandangan ulama terhadap Dzari’ah?
5. Bagaimana cara menentukan Dzari’ah?

C. Manfaat Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Dzari’ah
2. Untuk mengetahui dasar hukum Dzari’ah
3. Untuk mengetahui pembagian Dzari’ah
4. Untuk mengetahui pandangan ulama terhadap Dzari’ah
6. Untuk mengetahui cara menentukan Dzari’ah

D. Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode library


research (studi pustaka) karena pengumpulan literature (pustaka) diambil
dari sumber seperti buku dan artikel jurnal dari internet.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dzari’ah
Pengertian al-dzari'ah menurut bahasa adalah perkataan atau perbuatan
yang menjadi wasilah dan jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu
yang lain. Sedangkan Ibnu al-Qayyim mengatakan, bahwa al-dzarai' jamak
dari al- dzari'ah adalah wasilah atau sebab (menuju) kepada sesuatu.
Pengertian al-dzari'ah menurut istilah dikemukakan oleh Abu sebagai
berikut: “Al-Dzari'ah menurut ulama Syar'i adaIah sesuatu yang menjadi
jalan kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan, maka dapat diambil
hukumnya bahwa yang menjadi jalan kepada haram itu hukumnya haram,
sedang yang menjadi jalan kepada yang mubah itu mubah pula hukumnya
serta jalan yang menuju sesuatu yang tidak boleh tidak wajib, maka
hukumnya menjadi wajib pula."
Pengertian al-dzari'ah dikemukakan oleh al-Syaukani sebagai berikut:
"al-dzari'ah adalah masalah yang secara lahiriah mubah, tetapi dengan
al-dzari'ah dapat menjadikan kepada perbuatan yang dilarang". Dari dua
pengertian di atas dapat dirumuskan, bahwa yang dimaksud dengan al-
dzari'ah adalah segala sesuatu baik ucapan atau perbuatan yang menjadi
wasilah (perantara) adanya suatu hukum, baik wasilah itu diwajibkan,
dilarang ataupun yang mubah. Kata fathu al-dzari'ah adalah membuka jalan
agar seseorang dapat melakukan suatu kewajiban. Sedangkan sadd
al-dzari'ah adalah menutup jalan (wasilah) agar seseorang tidak melakukan
perbuatan yang dilarang. Seperti pabrik yang menghasilkan minuman keras
itu harus dilarang, karena meminum minuman keras adalah dilarang oleh
agama.

B. Dasar Hukum Metode Dzari’ah


1. Al-Qur’an
ُ ُ َّ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َّ ُّ ُ َ َ َّ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َّ ُّ ُ َ َ َ
‫اَّلل َعد ًوا ِبغ ْْ ِي ِعل ٍم كذ ِلك زَّينا ِلكل أ َّم ٍة‬ ‫اَّلل فيسبوا‬
ِ ‫ون‬ ِ ‫وَل تسبوا ال ِذين يدعون ِمن د‬
َ ُ ُ َ ُ َ َ َ ُ َ
]108 : ‫) [األنعام‬108( ‫َع َمل ُه ْم ث َّم ِإَل َرب ِه ْم َم ْر ِج ُع ُه ْم ف ُينبئ ُه ْم ِب َما كانوا َي ْع َملون‬

3
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain
adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu
mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori
psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan
akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya
mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka
larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan
preventif (sadd adz-dzari’ah).

2. Sunnah
َّ َّ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ ‫اَّلل ْبن َع ْمرو َر‬ َّ ْ َ ْ َ
‫هللا َعل ْي ِه َو َسل َم ِإن‬ ‫هللا َصَّل‬ ِ ‫ض هللا عنه َما قال قال رسول‬ ‫ٍ ِ ي‬ ِ ِ ‫عن عب ِد‬
َ َّ ‫ف َي ْل َع ُن‬
‫الر ُج ُل َو ِالد ْي ِه‬ َ ‫ول هللا َو َك ْي‬
ِ
َ ‫يل َيا َر ُس‬ َّ ‫ِم ْن َأ ْك ََي ْال َك َب ِائر َأ ْن َي ْل َع َن‬
َ ‫الر ُج ُل َوال َد ْيه ق‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ُ َ ُ َ َ َ َّ ‫ال َي ُس ُّب‬ َ ‫َق‬
‫الر ُج ِل ف َي ُس ُّب أ َباه َوي ُس ُّب أ َّمه‬
َّ ‫الر ُج ُل أ َبا‬

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:


“Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”1

Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar
hukum bagi konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut,

1 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih


al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.

4
menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan
sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari’ah.

3. Kaidah Fikih

ْ ْ َ َ َ َ ْ ُ َْ
‫اس ِد أ ْوَل ِم ْن َجل ِب ال َم َص ِال ِح‬
ِ ‫درء المف‬

“Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih


kebaikan (maslahah)”.2

Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-


masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada
kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan
kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-
dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

C. Pembagian Dzari’ah
Dzari’ah dibagi menjadi 2 yaitu sadd adz-dzari'ah adalah menutup jalan
(wasilah) agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang dilarang dan fath
adz dzari'ah adalah membuka jalan agar seseorang dapat melakukan suatu
kewajiban.
1. Sadd adz-dzari’ah
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan
tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan
(mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana
terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah
perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-
Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada

2 Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-


Ilmiyyah, tt), hal. 176

5
lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang
dilarang (al-mahzhur). 3
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa
sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah
meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang
terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau
perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang
dibolehkan. 4
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian
ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-
dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi
dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak
mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di
samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-
dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah
oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman
berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-
dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Adapun kaidah fiqh yang berkaitan dengan sadd adz-dzari’ah
adalah:

3 Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm
al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.

4 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-


‘Ilmiyyah, 1996), juz 2, hal. 103

6
‫وما أدى إَل الحرام فهو حرام‬
“Jalan apa saja yang menyampaikan kepada yang haram, maka jalan
itu pun diharamkan”
Jadi, perbuatan apa pun yang dapat mengantarkan pelakunya
kepada perkara haram, maka perbuatan tersebut menjadi haram juga.
Contohnya adalah; Seorang laki-laki yang hendak ke pasar atau mall,
bertujuan untuk “cuci mata” melihat aurat wanita. Maka,
perjalanan ke tempat-tempat ini yang pada dasarnya adalah boleh-
boleh saja, akan menjadi terlarang untuk dilakukan sebab itu menjadi
jalan bagi orang tersebut mewujudkan keinginannya melihat yang
haram-haram.

2. Fath Adz dzari’ah


Kebalikan dari sadd adz-dzari’ah adalah fath adz-dzari’ah. Hal
ini karena titik tolak yang digunakan adalah adz-dzari’ah. Dalam
mazhab Maliki dan Hambali, adz-dzari’ah memang ada yang dilarang
dan ada yang dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang
notabene dari mazhab Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang
notabene dari mazhab Hambali. Adz-dzari’ah adakalanya dilarang
sehingga pelarangan itu disebut sadd adz-dzari’ah; adakalanya
dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu
disebut fath adz-dzari’ah5.
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzari’ah
adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah),
menganjurkan (istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan
tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang
telah dianjurkan atau diperintahkan.

5 Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, juz 6, hal. 319 dalam Kitab
Digital al-Maktabah.; asy-Syathibi, al-Muwafat., juz 2, hal. 390

7
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa
betapapun adz-dzariah (sarana) lebih rendah tingkatannya daripada
perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu
sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi
tujuannya.
Pembahasan tentang fath adz-dzariah tidak mendapat porsi
yang banyak di kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath adz-
dzariah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd adz-
dzari’ah. Sementara sadd adz-dzari’ah sendiri tidak disepakati oleh
seluruh ulama sebagai metode istinbath hukum. Hal itu karena bagi
sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah,
masalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah masuk dalam bab
penerapan kaidah:

َ َّ ْ َ
‫َما َل َي ِت ُّم ال َو ِاج ُب إَل ِب ِه ف ُه َو َو ِاجب‬
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal
tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan”6
Artinya jika suatu hal yang wajib tidak sempurna tanpa dzariah,
maka hukum dari dzariah tersebut juga wajib. Contoh dari fath adz-
dzari’ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib,
maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan
perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu
yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana
untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan
menyusun anggaran pendidikan yang memadai.

6 Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-


Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 7, hal. 358.

8
D. Pandangan Ulama Terhadap Dzari’ah
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para
ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam
berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan
lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini
dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-
Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-
Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai
metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-
kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-
dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air
ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi
sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang
dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah
yang boleh diakses oleh siapapun.7
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi
adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami.
Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata,
pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik
lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah,
pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang
diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.8
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan
kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi

7 Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, hal. 249


8 Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-
Kitab, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), juz 1, hal. 465.

9
jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi
berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3
tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai
transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena
keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada
pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan
harga Rp. 100 juta.
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang
karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi
jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta
dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah
sia-sia dan tidak bermakna apa-apa. 9
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang.
Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan
tersebut.Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual
tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen
yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki
barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi
kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi
yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur
riba.10
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara
formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba,
misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan
adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang
tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan
terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.

9 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986),


hal. 892-893
10 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, loc. cit

10
E. Cara Menentukan Dzari’ah
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia
bisa menjadi sarana (adz-dzariah)terjadinya suatu perbuatan lain yang
dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu: 11
1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu
perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang
dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat
bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak
tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk
dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus
dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan
pernikahan yang digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang
langgeng.
2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan
niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu
perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan
itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang
diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan
beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang
mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau
kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap
pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus
dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.

11 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami., op. cit., hal. 879-880

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dzari'ah adalah segala sesuatu baik ucapan atau perbuatan yang
menjadi wasilah (perantara) adanya suatu hukum, baik wasilah itu
diwajibkan, dilarang ataupun yang mubah. Dzariah dibagi menjadi dua yaitu
sadd al-dzari'ah yang artinya menutup jalan (wasilah) agar seseorang tidak
melakukan perbuatan yang dilarang. Serta fathu al-dzari'ah yang artinya
membuka jalan agar seseorang dapat melakukan suatu kewajiban.
Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum
dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan
rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa
digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan
kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak
menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi
kepentingan kelompok dan pribadinya.
Adapun ulama yang menerima Dzari’ah sebagai metode penetapan
hukum islam adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Sedangkan yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata
lain, kelompok ini menolak dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.

B. Saran
Dan dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambah sedikit
wawasan pembaca mengenai Dzari’ah sebagai salah satu metode penetapan
hukum Islam. Adapun saran dari penulis adalah sebagai berikut:

12
1. Hendak lah perbuatang yang dapat menimbulkan kerusakan itu
dicegah/disumbat meskipun perbuatan itu baik agar tidak terjadi
kerusakan.
2. Jauhilah diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah agar tidak terjadi
kepada diri dari perbuatan maksiat dan menjerumuskan diri kejalan
kerusakan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-


Kitab, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), juz 1
Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, juz 6, hal. 319 dalam Kitab
Digital al-Maktabah.; asy-Syathibi, al-Muwafat., juz 2
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1996), juz 2
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, tt)
Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-
Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994)
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 7
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-
Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987)
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986)

14

Anda mungkin juga menyukai