Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KAIDAH FIQH

KAIDAH KULLIYAH ASASI IV : ADH-DHARARU YUZALU

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah kaidah fiqh

Dosen Pengampu: Tubagus Hasan Basri, M.Ag

Disusun oleh :
Asyifa Nur Rahmah (221410004)
Devi Cahya Safitri (221410193)
Citra Awaliatun (221410006)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN


UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA
TAHUN AJARAN 2023-2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
tugas makalah ilmiah tentang “KAIDAH KULLIYAH ASASI IV “ADH-DHARARU
YUZALU” dan semoga bermanfaat untuk pembaca.
Makalah ilmiah ini telah penyusun susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu penyusun menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka penyusun menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penyusun dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata penyusun berharap semoga
makalah ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan inspirasi untuk pembaca.

Jakarta, 17 Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu” .................................................... 3


B. Dasar Kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu” ........................................................... 4
C. Pembagian Dharar dan Macam-Macamnya ................................................... 6
D. Contoh Penerapan Kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu” ....................................... 7
E. Kaidah-Kaidah Turunan................................................................................. 8
F. Pengecualian Kaidah ...................................................................................... 20

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................... 21
B. Saran............................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sebagaimana diketahui bahwa syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW,
adalah syariat yang bersifat tidak memberatkan dan mudah untuk dilaksanakan,
kemudian apabila ada hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang
memberatkan umat dalam menjalankannya, maka hal-hal tersebut harus dihindari atau
dihilangkan. Sesuai dengan pokok bahasan kali ini, yaitu: ‫" الضرر يزال‬Kemudharatan Itu

Harus Dihilangkan", sebagai kaidah pokok fiqih yang ke-empat dari lima kaidah pokok
yang ada, penulis akan berusaha menyajikan pembahasan sekitar dalil yang mendasari
kaidah ini, perincian kaidah (kaidah-kaidah yang berada dalam lingkup kaidah asal ini),
dan beberapa contoh masalah yang berhubungan dengannya.

Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak ingin tertimpa bahaya atau kesusahan.
Pembawaan alamiah in membuat kebanyakan manusia selalu berpikir pragmatis dan
praktis, selalu berupaya merengguh kebahagiaan dan berupaya menghindari bahaya-
bahaya di dalam kehidupannya. Upaya yang demikian adalah wujudan sifat manusiawi
setiap orang. Dan Islam tidak menampik realitas semacam ini, melainkan mengadopsinya
dalam bingkai-bingkai hukum yang apresiatif dan akomodatif. Sebagai bukti adalah
makna yang terangkum dalam konsep salah satu kaidah fiqh yang secara eksplisit
memotivasi untuk membuang jauh-jauh semua bahaya baik bahaya bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain yakni kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan).
Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang kaidah al-dharru yuzallu
(kemadaratan harus dihilangkan) dan berbagai ketentuan-ketentuan yang ada di
dalamnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah Adh-Dhararu Yuzalu ?
2. Apa dasar kaidah Adh-Dhararu Yuzalu ?
3. Apa saja cabang-cabang kaidah Adh-Dhararu Yuzalu ?

1
4. Bagaimana contoh kasus dari kaidah Adh-Dhararu Yuzalu ?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk memahami kaidah Adh-Dhararu Yuzalu.
2. Untuk mengetahui dasar hokum kaidah Adh-Dhararu Yuzalu.
3. Untuk mengetahui cabang-cabang kaidah Adh-Dhararu Yuzalu.
4. Untuk mengetahui contoh kasus dari kaidah Adh-Dhararu Yuzalu.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian kaidah “Adh-Dhararu Yuzaalu”

Mudharat secara etimologi berasal dari kata “adh-Dharar” yang berarti sesuatu yang
turun tanpa ada yang dapat menahannya. Adh-dharar adalah membahayakan orang lain
secara mutlak, sedangkan adh-dhirar adalah membahayakan orang lain dengan cara yang
tidak disyariatkan.1 Adh-Dharar (bahaya) adalah lawan dari an-Naf’u (manfaat). Juga
bisa diartikan bahwa adh-Dharar adalah segala bentuk kondisi buruk, kekurangan,
kesulitan, dan kemalangan. Sedangkan secara terminologi, maknanya tidak jauh dari
pengertiannya secara bahasa, yaitu kekurangan atau kerusakan yang menimpa sesuatu. 2

A. Djazuli dalam bukunya mengutip bahwa dharar secara terminologi menurut


para ulama ada beberapa pengertian di antaranya adalah:
1. Menurut Al-Dardiri3, dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat.
2. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, dharar ialah mengkhawatirkan
diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
3. Menurut Al-Suyuti4, dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau
nyaris binasa.5

Arti dari kaidah “ad-Dhararu Yuzalu” adalah kemudharatan atau kesulitan yang
harus dihilangkan. Jadi, konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia

Fathurrahman Azhari “QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH”, LPKU Banjarmasin, 2015, hal 101
1
2
Ibnu al-Mandhur, Lisan al-Arab, Juz 4 hal 482
Imam Abu al-Barakat Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Adawi al-Maliki al-Khalwati yang
3

dikenal/mashur dengan sebutan Syaikh al-Dardir, seorang ulama sufi, pakar fiqh, teologi, tafsir, hadis,
gramatika dan lain-lain.
Jalaluddin as-Suyuthi, Nama lengkapnya Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin
4

Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari; lahir 1445 (849H) - wafat 1505 (911H))
adalah seorang ulama dan cendekiawan muslim yang hidup pada abad ke-15 di Kairo, Mesir.
5
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 58

3
harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan
tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.6

B. Dasar dan sumber kaidah “Adh-Dhararu Yuzaalu”

Kaidah ini diambil dari ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW, seperti dalam
firman Allah berikut ini :

1. Dasar dalam Al-Qur’an

ِٰ ‫اْلِْن ِزي ِر ومآ اُِه مل بِهٖ لِغَ ِي‬ ِ


ْ ‫الل ۚ فَ َم ِن‬
‫اضطُمر َغْي َر ََبغ موَل َعاد‬ ّ ْ َ ‫امَّنَا َحمرَم َعلَْي ُك ُم الْ َمْي تَةَ َوالد‬
َ َ ْ ْ ‫مم َو ََلْ َم‬
 ‫مرِحْيم‬ ِ ِ ِ
ّٰ ‫فَ َلٓ ا ْثَ َعلَْيه ۚ ا من‬
‫اللَ َغ ُف ْور‬

Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging


babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah : 173)

ِِ ِ ٰ ‫الل وَل تُ ْل ُقوا َِبَي ِدي ُكم اِ ََل التمهلُ َك ِة ۛ واَح ِسنُوا ۛ اِ من‬
ِ ِ ِ
‫ي‬
َ ْ ‫الْم ْْسن‬
ُ ‫اللَ ُُيب‬
ّ ْ ْ َ ْ ْ ْ ْ ْ َ ّٰ ‫َواَنْف ُق ْوا ِ ِْف َسبْي ِل‬

Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah : 195)

6
Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm 17.

4
 ‫الْ ُم ْعتَ ِديْ َن‬ ‫ضر ًعا مو ُخ ْفيَةً اِنمهٖ َل ُُِيب‬
َ َ‫اُْدعُ ْوا َربم ُك ْم ت‬

Artinya : “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-A’raf
: 55)

‫ك َوَل‬ ِ ٰ ‫صي بك ِمن الدنْيا واَح ِسن َكمآ اَحسن‬


ِ ِ ‫ال‬
ٰ ْ ‫مار‬ ٰ ‫ىك‬ ٰ ٰ‫َوابْتَ ِغ فِْي َمآ ا‬
َ ‫اللُ الَْي‬
ّ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ َ َ ْ َ‫س ن‬ َ ‫ن‬
ْ ‫ت‬
َ ‫ل‬‫و‬
ََ ‫ة‬
َ‫ر‬َ ‫خ‬ َ ‫د‬ ‫ال‬ ‫الل‬
ُ ّ َ ‫ت‬

 ‫س ِديْن‬
ِ ‫الْم ْف‬ ِ ٰ ‫ض اِ من‬ ِ ‫تَ ْب ِغ الْ َف َس َاد ِِف ْالَْر‬
َ ُ ‫اللَ َل ُُيب‬
ّ

Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-
Qasas :77)

2. Dasar dalam hadis

Rasulullah SAW bersabda :

‫ضَرَر َوَل ِضَر َار‬


َ ‫َل‬

Artinya: "Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan".

Kaidah ini sangat berperan dalam pembinaan hukum Islam, terutama untuk
menghindari berbagai kemudharatan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
hukum Islam membolehkan pengembalian barang yang telah dibeli karena cacat,
mengajarkan khiyar dalam jual beli, mengajarkan perwalian untuk membantu orang yang
tidak cakap, mengajarkan hak syuf'ah bagi tetangga. Hukum Islam mengajarkan adanya

5
hukum qishash, hudud, kaffarat, ganti rugi atau diyat, membolehkan penguasa
memerangi kaum bughat (pemberontak) dan lain-lain. Hukum Islam juga mengajarkan
kebolehan perceraian ketika sangat diperlukan. Umpamanya terjadi syiqaq yang tidak
dapat lagi untuk didamaikan dan lain-lain.7

C. Pembagian dharar dan macam-macamnya

Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dharar adalah


merasakan sakit bahkan berbentuk kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia,
karena jika ia tidak diselesaikan, maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta
kehormatan manusia. Pemaknaan dharar seperti ini akan inklut semua bentuk dharar yang
menghilangkannya disesuaikan dengan kapasitas dharar terkait. Begitu juga klasifikasi
dharar dalam bentuk dharar khas (bahaya bersifat pribadi) dan dharar ‘am (bahaya
bersifat kolektif) merupakan penjabaran yang tentunya melihat bentuk efek dharar
tersebut dan akan berpengaruh pada prioritas atau tidak dalam menghilangkannya.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena dharar adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, dengan kata lain menolak mafsadah menjadi prioritas
sekalipun mashlahah-nya tidak ditemukan selain dari menolak mafsadah tersebut.

Dalam kaitan ini Wahbah Az-Zuhaili 8membagi kepentingan manusia akan


sesuatu dengan lima klasifikasi, yaitu:

1. Dharar
Yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang
dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila
tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini
memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian
sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya.

7
Duski Ibrahim “AL-QAWAID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH)”, Palembang : Noerfikri 2019,
hal 78-82
Wahbah Az-Zuhaili adalah salah satu sosok ulama fiqh abad ke-20 yang terkenal dari Syiria. Namanya
8

sebaris dengan tokoh-tokoh fiqh yang telah berjasa dalam dunia keilmuan Islam abad ke-20. Az-Zuhaili.
Dilahirkan disuatu perkampungan yang bernama Dair 'Athiyah, salah satu arah menuju Damaskus.

6
2. Hajat
Yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi
mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak
menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu
berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan
haram.
3. Manfaat
Yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka
hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu
mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan,
sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
4. Zinah
Yaitu kepentingan manusia yang siftanya terkait dengan nilai-nilai estetika.
5. Fudhul
Yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam
ini dikenakan hukum sadd al-dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang
mendatangkan mafsadah. 9

Dharar di sini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat
sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang
dilarang. Artinya dharar ini termasuk dalam klasifikasi yang pertama di mana
subtansinya sangat mendesak dan berpengaruh kepada keberadaan dan kelanjutan hidup
manusia.

10
Abdullah bin Said Muhammad al-Lahji mengatakan bahwa dharar tidak dapat
dihilangkan dengan dharar yang lain adalah seseorang tidak boleh menghilangkan
bahaya pada dirinya dengan menimbulkan bahaya pada diri orang lain. Sebab, semua

9
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), h. 247.
Syaikh al-Faqih al-Muarrikh al-Muhaddits al-Lughawi al-Adib `Abdullah bin Sa`id bin Muhammad bin
10

`Ubaadi al-Lahji al-Hadhrami adalah seorang ulama besar, Mufti asy-Syafi`iyyah Kota Makkah al-
Mahmiyyah. Beliau dilahirkan di Kota Lahj, Yaman pada tahun 1343H.

7
makhluk ciptaan Allah SWT memiliki kedudukan setara dan sama-sama dimuliakan-
Nya.11

D. Contoh penerapan kaidah “Adh-Dhararu Yuzaalu”

1. Bidang Ubudiyah
Seseorang dibolehkan bertayammum jika tidak mungkin menggunakan air,
karena sakit atau kedinginan yang dapat membinasakan jiwa. Selama itu ia boleh
bertayammum. Bila telah memungkinkan memakai air, maka tayammumnya batal
sebab dhararnya telah hilang.
2. Bidang Muamalah
Seseorang dilarang menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat
pada saat murah dan menjualnya ketika barang-barang tersebut harganya mahal.
Dampak dari hal tersebut barang-barang kebutuhan pokok menjadi langka dan
akan terjadi kenaikan harga di manamana sehingga seseorang dengan tingkat
ekonomi menengah ke bawah tidak mampu untuk menjangkau. Hal ini dilarang
karena dapat menyebabkan kemudharatan bagi masyarakat.
3. Bidang Jinayah
Yaitu adanya larangan membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-
orang yang tidak terlibat dalam peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk
menghilangkan kemudharatan. Contoh kecil lain yaitu seseorang yang barangnya
dirusak orang lain tidak dibenarkan membalas dengan merusak harta-benda
pelaku perusakan. Tindakan ini hanya akan memperkeruh masalah dan akan
menimbulkan dharar yang semakin luas. Dharar yang seharusnya hanya
dialaminya sendiri akan merambah pada orang lain tanpa ada manfaat sedikitpun.
Tindakan yang paling tepat dan bijaksana, seperti yang telah digariskan adalah
menuntut ganti barang yang telah rusak sesuai dengan harganya.12

Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fikih..., h. 232.


11

Mif Rohim, buku ajar Qawa’id Fiqhiyyah ( inspirasi dan dasar penetapan hukum), (Jombang : LPPM
12

Unhasy tebuireng, 2019) , h. 105

8
E. Kaidah-kaidah turunan

1. Kaidah :

ِ ‫الضرورات تُبِيح الْمْظُور‬


‫ات‬َ ْ ْ َ ُ ْ ُ َ ُْ َ

"Kemudharatan-kemudharatan itu dapat memperbolehkan keharaman".

Batasan kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia


yang terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara
akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. Sebagaimana
aplikasi dari kaidah cabang ini, di sini terdapat beberapa contoh:

a. Memecahkan kaca transportasi umum seperti bus, kereta, dan pesawat. Hal ini
boleh dilakukan untuk menyelamatkan diri saat kendaraan mengalami kondisi
darurat. Sebab jika kaca tidak dipecahkan dikhawatirkan para penumpang terjebak
di dalam transportasi itu dan nyawanya terancam.
b. Seseorang dengan keadaan kelaparan dan tidak ditemukannya makanan halal.
Pada konteks ini seseorang diperbolehkan memakan makanan yang haram.
Mengingat keadaan orang itu kritis sampai mendekati kematian dan
mengharuskan untuk segera makan. Akan tetapi tentu makan sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
c. Dokter membuka aurat pasien dalam rangka pengobatan. Dalam kasus ini,
diperbolehkan membuka aurat pasien yang pada awalnya diharamkan melihat
kondisinya yang tidak memungkinkan dan memang mengharuskan membuka
aurat. Dengan catatan hanya sesuai kadar kebutuhan dan tidak lebih dari itu.

2. Kaidah

ِ ‫ما أُبِيع لِلضمرور‬


‫ات يُ َق مد ُر بَِق َد ِرَها‬َ ُْ َ ْ َ

"Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya"

9
Sesuatu yang dilakukan karena madharat, maka diperbolehkan melakukan
secukupnya, sesuai kadar yang cukup menghilangkan kemadharatan tersebut, sedangkan
lebih dari itu tidak boleh dilakukan. Di sini kaidah cabang ini memberi batasan bahwa
setiap aktifitas yang dilakukan karena adanya darurat itu diperbolehkan sebatas untuk
memenuhi kebutuhan dan tidak lebih daripada itu. Berikut contoh-contoh dari kaidah
cabang tersebut:

a. Orang kelaparan yang mendekati kematian. Pada kondisi demikian seseorang


tidak menemukan makanan halal apapun selain daging hewan yang
diharamkan untuk dimakan yang ada di depannya. Berdasarkan kaidah cabang
ini seseorang boleh memakan daging hewan yang diharamkan sekedarnya saja
untuk menyambung hidup. Apabila orang tersebut nyawanya sudah merasa
terselamatkan, maka tidak boleh memakan sepuas-puasnya karena memang
kadar kedaruratannya telah terpenuhi.
b. Seorang dokter yang sedang memeriksa pasiennya. Dalam menjalankan
tugasnya dokter tidak boleh melihat aurat pasiennya melainkan sekedar yang
dibutuhkan saja untuk pemeriksaan dan pengobatan.

3. Kaidah

ِ ‫اْلم َك‬
‫ان‬ ْ ِْ ‫الضَمرُر يُ ْدفَ ُع بَِق ْد ِر‬

"Darurat harus ditolak semampu mungkin".

Maksud dari kaidah ini menjelaskan bahwa segala macam bahaya harus
dihilangkan secara keseluruhan jika memungkinkan. Tetapi jika tidak bisa, maka
hendaknya ditolak semampunya sesuai kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu sebisa
mungkin berbagai macam usaha dilakukan untuk menolak bahaya. Di bawah ini contoh-
contoh dari kaidah cabang tersebut:

a. Masuk dalam sistem pemerintahan negara kafir itu diperbolehkan dengan


pertimbangan untuk menurunkan kadar kemudharatan. Dalam hal ini

10
meskipun tidak dapat menghilangkan kemudharatan tersebut secara
keseluruhan, paling tidak dapat meminimalkan kemudharatan yang ada.
b. Upaya pengumpulan dan pembukuan Al-Qur'an yang dilakukan oleh sahabat
Abu Bakar dengan tujuan agar tidak hilang.
c. Agar tidak terjadi perselisihan dalam bacaan Al-Qur'an dan segala hal yang
berkaitan dengan Al-Qur'an di kalangan umat Islam, maka sahabat Ustman
bin Affan memiliki inisiatif untuk membukukannya dalam satu mushaf.
d. Tindakan pembakaran kedai minuman keras seperti arak dan sebagainya yang
pernah dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab bertujuan agar tidak timbul
masalah yang tidak diinginkan dan kemudharatan yang lebih besar lagi.

4. Kaidah

‫الع ِام‬ ِ ‫ي تْ ممل الضمرر اْل‬


َ ‫اص ل َدفْ ِع الضَمرِر‬
ُ َ ُ َ ُ َ ََ

"Bahaya khusus harus ditempuh untuk menolak bahaya umum".

Kaidah ini masih ada kaitan dengan kaidah "ad-dhararu la yuzalu bimitslihi" yaitu
dalam menghilangkan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain yang serupa
dilihat dari sudut pandang keumuman, pengkhususan, dan bahaya. Penerapan dari kaidah
cabang ini terlihat dalam pemberlakuan hukum-hukum seperti; hukuman potong tangan
untuk menjaga harta benda orang lain, hukuman qishas demi menjaga nyawa, dan
hukuman bagi pezina untuk menjaga garis keturunan. Berikut contoh-contoh aplikasi
kaidah cabang ini sebagaimana yang dikutip dari Muhammad Shidqi:13

a. Pemerintah boleh menekan kenaikan harga barang pokok kepada para pedagang
di pasar dengan berbagai kebijakannya. Hal ini bertujuan agar harga barang
pokok tidak mengalami kenaikan yang dapat menyebabkan daya beli rakyat
menengah ke bawah tidak mampu menjangkau apabila pedagang bebas

13
Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-Fiqh al-
Kulliyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), hlm. 84.

11
mempermainkan harga. Oleh karena itu dengan adanya kebijakan pemerintah
diharapkan tidak timbul bahaya (dharar) seperti kenaikan harga.
b. Diperbolehkan memecat seorang dokter yang tidak memiliki skill di bidangnya
karena dikhawatirkan akan mengancam keselamatan jiwa akibat dari tindakan
medis yang dilakukannya.
c. Penjual senjata dilarang menjual senjata ketika terjadi peperangan. Apabila itu
dilakukan, maka bahaya akan semakin luas serta menyebabkan permusuhan tak
kunjung damai.
d. Seorang penjual tidak boleh menjual anggur atau bahan lain yang dapat dijadikan
bahan minuman keras atau memabukkan kepada pembeli yang diyakini akan
membuat minuman yang memabukkan dari bahan yang dibeli. Hal ini bertujuan
agar produksi dan distribusi peredaran minuman keras tidak semakin meluas.
e. Diperbolehkan membunuh ahli sihir yang membahayakan keselamatan umat
manusia atau orang kafir yang menjerumuskan umat manusia kepada kekufuran.

5. Kaidah :

‫ط َِب لْ َم ْع ُس ْور‬
ُ ‫الْ َمْي ُس ْوُر َل يُ ْس َق‬

"Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan"

Berdasarkan kaidah ini dikatakan bahwa dalam pelaksanaan perintah apabila


seseorang tidak mampu mengerjakannya secara sempurna bukan berarti ia tidak
berkewajiban mengerjakannya. Akan tetapi harus mengerjakannya sebatas kemampuan
yang dimiliki.14 Kaidah ini juga mengacu pada firman Allah surat al- Taghabun ayat 16:

‫فَاتم ُقوا هللاَ َما ْستَطَ ْعتُ ْم‬

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu"

14
Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubro, (Riyadh: Dar al-
Balansiyyah, 1417 H), hlm. 298.

12
Di samping itu juga berdasarkan hadis Rasulullah yang artinya: "sesuatu yang aku
larang hendaklah kalian tinggalkan, dan apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah
semampu kalian." Di bawah ini contoh-contoh dari kaidah cabang tersebut:

a. Orang yang hanya memiliki kemampuan membaca sebagian ayat dari surat al-
fatihah ketika shalat, maka ia wajib membaca sebagian ayat yang ia hafal atau
ketahui ketika mengerjakan shalat.
b. Seseorang yang sebagian anggota tubuhnya terpotong, maka ketika bersuci wajib
baginya membasuh bagian tubuh yang masih tersisa.
c. Seseorang wajib berdiri ketika shalat. Namun apabila tidak mampu berdiri maka
shalat dengan duduk, apabila tidak mampu, maka dengan berbaring.
d. Dalam shalat, seseorang wajib berdiri mulai rakaat pertama samapi rakaat
terakhir. Namun, jika ia hanya mampu berdiri pada sebagian rakaat, maka
kewajiban berdiri hanya pada rakaat yang ia mampu. Kemudian untuk rakaat yang
lain, bisa dilakukan dengan duduk jika memang sudah tidak mampu lagi berdiri.
e. Apabila seseorang melihat suatu kemungkaran dan tidak mampu
menghilangkannya, maka wajib baginya meringankan atau menghilangkan
sebagian kemungkaran tersebut karena memang ia hanya mampu sebagian.

6. Kaidah :

‫ض ِطَر ُار يُْب ِط ُل َح مق الْغَ ِْي‬ ِ


ْ ‫ال‬

"Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain".

Kaidah cabang ini menjelaskan suatu hak yang sudah menjadi milik orang lain
meskipun dalam kondisi terpaksa (itthirar) ini tidak bisa batal. Seandainya keterpaksaan
(itthirar) dapat membatalkan hak orang lain, tentu akan melenyapkan suatu bahaya dan
berganti dengan bahaya lain. Dengan demikian, yang terjadi bukanlah pelenyapan akan
tetapi hanya perpindahan dari suatu bahaya ke bahaya lain. Adapun contoh dari kaidah
cabang ini sebagai berikut:

13
a. Orang yang merasa terganggu dengan adanya suara hewan ternak milik
tetangganya. Dalam kasus ini orang tersebut terpaksa menyembelih hewan ternak
milik tetangganya sebab ia merasa sangat terganggu dengan hewan ternaknya yang
kerap kali bersuara keras. Berdasarkan kaidah cabang ini orang tersebut wajib
memberi ganti rugi kepada pemiliknya karena keterpaksaan itu tidak dapat
membatalkan hak orang lain.
b. Menghilangkan barang orang lain yang dipakai saat keadaan terpaksa. Dalam
kasus ini orang yang menghilangkan barang tersebut harus mengganti seharga
barang yang telah dihilangkan. Meskipun ia menghilangkan barang tersebut dalam
kondisi terpaksa, bukan berarti ia lepas dari tanggungjawab untuk menggantinya
karena sesuai kaidah ini bahwa hak milik orang lain tidak dapat dibatalkan dengan
adanya keterpaksaan.

7. Kaidah

‫صلَ َْة قُ ِّد َم َدفْ ُع الْ َم ْف َس َد ِة َغالِبًا‬


ْ ‫ض َم ْف َس َدة َوَم‬
ِ ‫درء الْم َفا ِس ِد أَوََل ِمن ج ْلِِب الْم‬
َ ‫صال ِح فَِإ َذا تَ َع َار‬
َ َ َ ْ ْ َ ُ َْ

"Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik maslahah dan apabila


berlawanan antara yang mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah
menolak mafsadahnya".

Berdasarkan kaidah di atas bahwa hendaknya seseorang lebih mengutamakan


menolak kerusakan dibandingkan meraih kemaslahatan. Itu artinya apabila dalam suatu
perkara terjadi pertentangan antara menolak kerusakan dan mengambil kemaslahatan,
maka yang lebih utama. adalah menolak kerusakan. Jadi jika kerusakan suatu perkara itu
tidak dihilangkan atau ditolak, maka dikhawatirkan akan timbul kerusakan atau bahaya
yang lebih besar. Contoh-contoh daripada kaidah tersebut antara lain:

a. Diharamkannya berjudi, minum-minuman yang memabukkan meskipun di


dalamnya terdapat manfaat. Sebagaimana firman Allah surat al-Baqarah ayat 219
yang berbunyi:

14
ِ ‫ قُ ْل فِي ِه َما إِ ْث َكبِْي ر َوَمنَافِ ُع لِلن‬. ‫ك َع ِن اْلَ ْم ِر َوالْ َمْي ِس ِر‬
.‫ماس َوإِْْثُُه َما أَ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْفعِ ِه َما‬ َ َ‫يَ ْسأَلُْون‬

"Mereka bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) mengenai arak dan judi.


Katakanlah: Pada keduanya ada dosa besar dan ada pula beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya."

Dalil tentang pengharaman arak dan judi di atas, Ibnu Taimiyyah15


mendukung dengan fatwanya: "Apabila terjadi pertentangan antara kemaslahatan
dengan kerusakan, kebaikan dengan kejahatan atau berdampingan di antara
keduanya, maka harus ada tarjih di antara keduanya. Hukum yang ada pada saat
itu ialah perintah dan larangan yang terdapat dalam maslahat dan kerusakan.
Seandainya hasil tarjih jika dilaksanakan akan membawa ke arah kemudharatan
atau kerusakan yang lebih besar, maka tidak dianjurkan untuk melaksanakannya
bahkan diharamkan. Parameter untuk mengukur kemaslahatan dan kerusakan
suatu perkara adalah dengan timbangan syariat baik melalui nash atau hasil ijtihad
para imam Mujtahid."

b. Sulitnya membedakan jika telah bercampur antara uang halal dan haram. Jika
terjadi yang demikian, maka meninggalkan keduanya adalah lebih utama.
Maksudnya untuk menghindari supaya tidak memakan dengan menggunakan
uang haram, maka solusi yang terbaik dengan meninggalkan keduanya.
c. Lebih baik menghapus iklan rokok untuk mencegah kebiasaan merokok yang
lebih besar bahayanya daripada sekedar mendapatkan gaji iklan yang sedikit.

8. Kaidah :

‫الضَمرُر َل يَُز ُال َِب الضَمرِر‬

"Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain".

Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al
15

Harrani lahir 10 Rabi'ul Awwal 661 H (22 Januari 1263) dan wafat 22 Dzul Qa'dah 728 H (26
September 1328)), beliau adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.

15
Maksud dari kaidah cabang ini, seseorang tidak boleh menghilangkan suatu
bahaya dengan bahaya yang lain. Karena jika menghilangkan bahaya dan
menimbulkan bahaya lain yang kadarnya sama seperti itu atau bahkan bahaya yang
ditimbulkan lebih besar, maka kaidah cabang ini bertentangan dengan kaidah pokok
(‫ )الض ََّر ُر يُزَ ا ُل‬kemudharatan itu harus dihilangkan. Menurut Muhammad Shidqi dalam
menghilangkan dharar sebisa mungkin agar jangan sampai menimbulkan bahaya yang
lebih besar atau jika tidak memungkinkan supaya mencari solusi agar bahaya yang
ditimbulkan lebih ringan.16 Contoh-contoh dari kaidah cabang ini adalah sebagai
berikut:
a. Seorang dokter tidak boleh mengambil darah orang lain untuk didonorkan
kepada pasien yang membutuhkan darah. Sebab dengan mengambil darah orang
tersebut dapat menyebabkan kematian pada dirinya. Tentunya hal ini sangat
bertentangan dengan kaidah cabang ini yakni orang tersebut berusaha
menghilangkan bahaya orang lain, namun mendatangkan bahaya baru. Jika
dalam kasus ini mengacu pada kaidah cabang, maka jangan sampai seseorang
menyelamatkan nyawa orang lain namun mengorbankan nyawa dirinya sendiri
ataupun sebaliknya.
b. Tidak boleh mencuri atau mengambil makanan orang lain yang bernasib sama-
sama hampir mati. Alasannya karena dengan mengambil makanan akan
mendatangkan bahaya baru bagi orang lain meskipun bahaya pada diri sendiri
dapat dihilangkan.
c. Sesama muslim dilarang saling membunuh meskipun dalam kondisi terpaksa.
Jiwa seorang muslim memiliki derajat yang sama di sisi Allah. Meskipun
semisal terjadi ancaman terhadap jiwa dan nyawa yang menjadi taruhannya,
maka seorang muslim tetap dilarang membunuh saudara yang seagama.
d. Seorang yang faqir tidak ada kewajiban memberi nafkah untuk saudaranya yang
fakir. Hal ini apabila dilakukan, maka akan menimbulkan bahaya pada diri orang
tersebut.

16
Muhammad Shidqi bim Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-Fiqh al- Kulliyah,
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), Hal. 82.

16
e. Orang yang sholeh (baik perangainya) tidak boleh menikahi wanita yang tholeh
(buruk perangainya) seperti Pekerja Sex Komersial (PSK). Meskipun orang
sholeh tersebut bertujuan agar wanita terbebas dari kegiatan prostitusi maka hal
itu tetap tidak boleh dilakukan oleh orang yang sholeh karena memang
kemudharatan pada diri wanita tidak diinginkan untuk melahirkan keturunan
yang melibatkan laki-laki sholeh.

9. Kaidah :

‫َخ ِّف ِه َما‬ ِ ِ


َ ‫ض َم ْف َس َد َت ِن ُرْوع ْي أ َْعظَ ُم ُه َما‬
َ ‫ضَرًرا َِب ْرت َكا ِب أ‬ َ ‫إِذَا تَ َع َار‬

"Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudharatnya dengan memilih yang lebih ringan mudharatnya".

Suatu perkara yang jika di dalamnya terkandung bahaya dan kedua bahaya
tersebut saling bertentangan, maka berdasarkan kaidah ini diwajibkan menghilangkan
bahaya yang lebih besar dan mengerjakan dengan bahaya yang lebih ringan. Dari sini
dapat ditarik kesimpulan apabila terdapat dua bahaya dalam waktu yang bersamaan,
hendaklah seseorang memiliki perbandingan mana bahaya yang besar dan mana bahaya
yang ringan dari keduanya. Kemudian dipilihlah perkara yang memiliki bahaya yang
ringan untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Contoh-contoh dari kaidah cabang ini
adalah sebagai berikut:

a. Shalat dengan memakai pakaian seadanya karena memang tidak ada pakaian
yang dapat menutup aurat selain pakaian tersebut. Sebab kerusakan atau
mafsadah memakai pakaian seadanya saat shalat jauh lebih ringan dibandingkan
meninggalkan shalat. Jadi mafsadah yang lebih ringanlah yang harus kita
tempuh agar shalat tetap terlaksana.
b. Hukuman mati bagi seorang teroris. Dalam kasus ini memberi hukuman mati
terhadap teroris lebih baik daripada hanya sekedar penjara beberapa tahun. Pada
saat teroris dihukum mati, ia sudah tidak dapat menjalankan aksinya lagi
mengancam eksistensi keamanan suatu negara dan ini bahaya yang ditimbulkan

17
lebih ringan dibanding penjara beberapa tahun yang kemudian teroris tersebut
dapat menjalankan aksinya kembali.
c. Seorang dokter diperbolehkan melakukan pembedahan perut wanita hamil yang
mati sebelum melahirkan jika dengan cara itu bayi dalam kandungan masih
hidup dan dapat diselamatkan. Sebab kemudharatan membedah perut wanita
hamil yang mati sebelum melahirkan lebih ringan dibandingkan membiarkan
bayi ikut meninggal.
d. Jika kaum muslimin tidak berdaya untuk melawan akibat dikepung musuh dan
tidak ada pilihan lain selain menyerahkan harta mereka, maka memberikan harta
tersebut lebih ringan mafsadahnya daripada menaruhkan nyawa demi harta.

10. Kaidah :

‫اصةُ تَ ْن ِزُل َمْن ِزلَةَ الض ُمر َورِة‬ ْ ‫اجة الْ َع َامةُ أَْو‬
َ َ‫اْل‬ َ َ‫اَل‬

"Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat".

Berdasarkan kaidah cabang ini ada dua unsur yang perlu dijelaskan terlebih dulu
sebelum menjelaskan inti dari kaidah ini yakni lafadz al-hajah dan al-dharurat. Dalam
ilmu ushul fiqh dijelaskan bahwa hendaknya seseorang memelihara tiga kebutuhannya
yaitu kebutuhan dharuriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah.

Kebutuhan pertama, kebutuhan dharuriyyah merupakan kebutuhan primer yang


jika tidak dipenuhi akan berakibat pada kematian atau rusaknya fungsi badan seseorang.

Kebutuhan kedua, kebutuhan hajiyyah adalah kebutuhan sekunder artinya


kebutuhan yang tidak akan menyebabkan kematian apabila tidak terpenuhi hanya saja
menimbulkan kesulitan pada seseorang.

Kebutuhan ketiga, kebutuhan tahsiniyyah adalah kebutuhan tersier artinya


kebutuhan yang dapat menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih baik tetapi masih
berada dalam batasan syara'.

18
Pada dasarnya dalam keadaan al-dharurat terdapat bahaya yang muncul serta perbuatan
yang dilanggar berupa perbuatan yang haram li dzatihi seperti memakan daging babi.
Sedangkan dalam keadaan al-hajah hanya berupa kesulitan atau kesukaran yang muncul
serta perbuatan yang dilanggar berupa perbuatan yang haram li ghairihi. Kebolehan
melanggar perbuatan yang haram inilah menyebabkan kedudukan al-hajah diletakkan
pada posisi ad-dharurat. Contoh-contoh dari kaidah cabang ini adalah sebagai berikut:

a. Akad salam. Akad ini merupakan akad yang menjual barang yang belum wujud
asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada. Pada dasarnya akad ini tidak
diperbolehkan karena bertentangan dengan qiyas yaitu menjual barang yang
belum ada wujudnya. Dalam hal ini akad salam ini diperbolehkan karena dapat
memberikan kemudahan dalam transaksi dan menjadi kebutuhan umum.
b. Seorang guru wanita yang mengajar di kelas siswa putra ataupun sebaliknya. Pada
dasarnya seorang wanita tidak diperbolehkan melihat pria lain ataupun sebaliknya
tanpa adanya hajat. Hukum ini akan berbeda jika dalam rangka belajar mengajar
ataupun transfer ilmu maka diperbolehkan sebab adanya kebutuhan sekelompok
orang.17

F. Pengecualian kaidah

Secara umum, persoalan-persoalan furu 'iyyah yang menjadi pengecualian sub kaidah
ini adalah setiap hal yang mengandung dua dharar, namun salah satunya lebih ringan.
Jika demikian halnya, maka yang dipilih adalah sesuatu yang mengandung dharar lebih
ringan, dengan mencampakkan bahaya yang lebih berat. Pemberlakuan hukum-hukum
gishash, had, memerangi pemberontak (qital al-bughat) atau pembegal (qathi' al-thariq),
mencegah pengacau (daf al-sha`il). pembedahan kandungan ketika janin masih hidup,
pemberlakuan akad syuf'ah, diperbolehkannya merusak jual-beli (faskh al-bay) dan nikah
(faskh al-nikah) karena terdapat cacat pada barang yang dibeli, atau cacat pada salah satu
pasangan suami-istri, dan diperbolehkannya memaksa pemilik hutang agar segera

Mif Rahim, “Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum)”, LPPM
17

Unhasy Tebuireng Jombang, 2019, Hal. 105-116

19
membayar hutangnya yang telah jatuh tempo, merupakan permasalahan- permasalahan
dikecualikan dari cakupan sub-kaidah ini.

Pengecualian lainnya adalah permasalahan dimana dua mafsadah yang dihadapi


memiliki kadar yang setara; dua-duanya sama-sama merupakan pilihan pahit. Dalam
kondisi demikian pelaku diperbolehkan memilih salah satunya sebagai alternatif pilihan.
Contohnya adalah seseorang yang sedang melakukan pelayaran dan perahu yang
ditumpanginya mengalami kebakaran hebat di lautan lepas. Dalam kondisi demikian, ia
boleh melompat ke tengah laut, walaupun tidak bisa berenang dan yakin akan tenggelam,
atau bertahan di atas perahu hingga api melahap tubuhnya. Hakikatnya segala masalah
dharar yang terjadi namun kaidah ini tidak bisa dijadikan landasannya menjadi tanda
bahwa kriteria dharar yang dimaksud tidak sesuai atau kondisional yang bersifat
eksternal menjadikan masalah tersebut harus diselesaikan dengan kaidah lain.18

Sufriadi Ishak, “Kemudharatan Tidak Dihilangkan Dengan Kemudharatan”, JURNAL AL-MIZAN


18

JURNAL HUKUM ISLAM DAN EKONOMI SYARIAH, 2020, Volume 7. No 2. Hal. 124

20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Mudharat secara etimologi berasal dari kata “adh-Dharar” yang berarti sesuatu
yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Adh-Dharar (bahaya) adalah lawan
dari an-Naf’u (manfaat). Juga bisa diartikan bahwa adh-Dharar adalah segala bentuk
kondisi buruk, kekurangan, kesulitan, dan kemalangan. Sedangkan secara terminologi,
maknanya tidak jauh dari pengertiannya secara bahasa, yaitu kekurangan atau
kerusakan yang menimpa sesuatu. Dengan demikian arti dari kaidah “ad-Dhararu
Yuzalu” adalah kemudharatan atau kesulitan yang harus dihilangkan.
Contoh qaidah di atas adalah kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya
sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
Qaidah fiqh tersebut mencakup banyak masalah fiqh dan dapat dijadikan sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, baik bidang ibadah, muamalat, munakahat,
maupun jinayat.

B. SARAN
Demikianlah makalah ini dibuat, sebagai pemula tentunya masih terdapat banyak
kekeliruan dan kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami selaku
pemakalah sangatlah mengharapkan saran membangun dari pembaca sekalian, agar
tulisan ini bisa lebih baik kedepannya dan dapat memberikan manfaat serta konstribusi
dalam bidang keilmuan dan syi’ar agama. Terimakasih.

21
DAFTAR PUSTAKA

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), h. 247.

Ibrahim, Mif, Buku Ajar Qawa'id Fiqhiyyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum),
(Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG, 2019), h. 105.

Ibrahim, Duski, AL-QAWAID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH), Palembang : Noerfikri


2019, hal 78-82

Azhari, Fathurrahman, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH, LPKU Banjarmasin, 2015, hal 101

Ishak, Sufriadi, “Kemudharatan Tidak Dihilangkan Dengan Kemudharatan”, JURNAL AL-


MIZAN : JURNAL HUKUM ISLAM DAN EKONOMI SYARIAH, 2020, Volume 7.
No 2. Hal. 119

Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fikih..., h. 232.

22

Anda mungkin juga menyukai