Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH BAHASA USHUL FIQIH

TENTANG
KAIDAH DHARAR

DI SUSUN :
Mohammad Ramdhani

PRODI PERBANKAN SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SALAHUDDIN PASURUAN

JL.Dr. Wahidin Sudirohusodo 45, Kota Pasuruan, Jawa Timur

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahnya
penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Kaidah Dharar” Laporan ini disusun sebagai
salah satu tugas mata pelajaran USHUL FIQIH.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Yth :

1.        Bapak. Saiful Bahri ,MM selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqih yang telah
Memberikan bimbinganya dalam penyusunan makalah ini.

2.        Rekan-rekan mahasiswa

3.        Semua pihak yang membantu dalam penyelesaian makalah ini. 

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena karena itu kritik dan saran kami
Harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
 

Pasuruan,05 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata pengantar.....................................................................................................................

Daftar isi..............................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................

1.3 Batasan Masalah...............................................................................................

1.4 Tujuan...............................................................................................................

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kaidah Dharar...............................................................

2. Dalil Kaidah Dharar..........................................................................................

3. Menurut para ulama..........................................................................................

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan.............................................................................................................

Saran........................................................................................................................

Daftar pustaka......................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kaidah Dharar merupakan larangan-larangan tertentu bagi manusia. Banyak dari kita yang
kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Kaidah Dharar. Maka
dari itu makalah “Kaidah Dharar” ini saya tulis, dan saya selaku penulis mencoba untuk
menerangkan sebisa mungkin tentang Kaidah Dharar yang merupakan larangan-larangan
yang diharamkan sifatnya, dan apabila seseorang melanggar hingga melewati batas tertentu
akan ada kematian yang menjemputnya atau nyaris mati.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian kaidah Dharar ?


2. Apakah dalil dari kaidah dharar ?
3. Bagaimana pendapat para ulama tentang kaidah dharar ?

1.3 Batasan Masalah

Dalam penulisan makalah ini penuls membatasi pembahasan makalah pada pengertian
Kaidah Dharar, Dalil dan , pendapat para ulama

1.4 Tujuan

Tujuan penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk menambah


wawasan kita tentang apa itu Kaidah Dharar. Disini penulis akan menjelaskan
persoalan tersebut sesuai dengan kemampuan penulis.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Kaidah Dharar

Kaidah ini merupakan kaidah syar’i sebab ia digali dari dalil-dalil yang syar’i, sehingga dapat
diterapkan pada perkara yang tercakup ke dalamnya. Asy-Syâri’ yang berkaitan dengan
perbuatan manusia, baik berupa tuntutan maupun pilihan antara mengerjakan dan
meninggalkan. Di antara ahkam syar’iyyah ada yang dihubungkan dengan lafadz kulliy
sehingga mencakup segala sesuatu. Lafadz kulliy adalah setiap lafadz murakkab yang
mencakup bagian-bagian tertentu (juz’iyyat) di bawahnya. Di antaranya adalah ungkapan ‫ما ال‬
ٌ‫يث ّم الواجب إالّ به فهو واجب‬.

Hukum syara’ yang dihubungkan dengan lafadz kulliy disebut dengan hukum kulliy. Hukum
kulliy ini digali oleh para mujtahid dari nash-nash syara’ yang mengandung illat atau makna
yang setara dengan illat sehingga mampu membentuk hukum kulliy. Dalam istilah ushul fiqh,
hukum kulliy disebut dengan kaidah kulliyât.

2. Dalil Dari Kaidah Dharar

Kaidah dharar mencakup dua hal :

1. Asy-Syâri’ telah mengharamkan sesuatu yang membahayakan (dharar). Artinya,


setiap perkara yang mengandung dharar wajib ditinggalkan. Sebab, adanya dharar
tersebut merupakan dalil atas keharamannya.

Dalilnya adalah hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

‫ال ضرر وال ضرار في اإلسالم‬

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain dalam Islam.”

Dalam riwayat Al-Bukhari, Rasulullah Saw bersabda:

ّ ‫قش‬
‫ق هللا عليه‬ ّ ‫من ضا ّر ضا ّر هللا به ومن شا‬

“Barangsiapa yang membahayakan orang lain, maka Allah akan memberikannya bahaya, dan
barangsiapa yang mempersulit orang lain maka Allah akan memberikan kesulitan
kepadanya.”

Dari dalil tersebut maka lahir satu kaidah kulliyât:

‫األصل في المضا ّر التحريم‬

“Hukum sesuatu yang mudharatkan adalah haram.”


2. Asy-Syâri’ telah memubahkan perkara yang umum, akan tetapi jika salah satu bagian
dari perkara yang umum tersebut mengandung dharar, maka bagian tersebut menjadi haram.
Adanya dharar pada bagian yang umum tersebut menjadi dalil atas keharamannya. Untuk
memperjelas poin kedua ini, mari kita simak hadits Nabi Saw berikut:

“Janganlah kalian meminum dari air sumur kaum Tsamud sedikitpun, dan janganlah kalian
mengambil airnya untuk wudhu dan shalat, dan adonan yang telah kalian aduk berikanlah
kepada unta. Janganlah kalian makan sedikitpun darinya. Dan pada malam ini janganlah
seseorang keluar kecuali bersama temannya.”

Air secara umum hukumnya mubah untuk dimanfaatkan, dan air sumur bangsa Tsamud pada
asalnya adalah bagian dari air yang secara umum dimubahkan. Akan tetapi karena ia
mengandung dharar, maka air sumur bangsa Tsamud secara khusus diharamkan untuk
dimanfaatkan. Sedangkan air (sumur lainnya) secara umum tetap berada dalam
kemubahannya.

Dalil yang kedua adalah hadits Nabi Saw berikut:

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw suatu ketika kembali ke Madinah dari Tabuk. Di
lembah Musyaqaq yang akan dilewati beliau terdapat sebuah pohon yang bisa menyegarkan
satu, dua, atau tiga penunggang unta. Kemudian beliau bersabda:

“Barangsiapa yang mendahuluiku sampai ke lembah tersebut maka ia tidak boleh mengambil
airnya sedikitpun hingga aku sampai ke tempat itu.” Ketika Rasulullah Saw sampai, beliau
tidak menemukan air sedikitpun, kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang
mendahuluiku ke tempat air ini?” Dikatakan kepada beliau: “Ya Rasulullah, si fulan dan si
fulan”. Rasulullah Saw bersabda, “Bukankah aku telah melarang mereka untuk mengambil
air sedikitpun sebelum aku tiba?” Kemudian Rasulullah Saw melaknat mereka dan berdo’a
untuk kecelakaan mereka.

Dalam hadits tersebut Rasulullah Saw melarang meminum air di lembah musyaqaq sebelum
beliau datang disebabkan hal itu akan menyebabkan dharar bagi para pasukan perang Tabuk,
yaitu kehausan. Sebenarnya air di lembah tersebut tidak membahayakan. Hanya saja, jumlah
airnya sangat sedikit. Jika Rasulullah Saw tiba di lembah tersebut sebelum air itu habis,
beliau (dengan mukjizatnya) bisa memperbanyaknya sehingga mencukupi bagi seluruh
pasukan. Akan tetapi, jika airnya telah habis sebelum beliau tiba, maka beliau tidak mampu
memperbanyaknya lantaran tidak ada sedikitpun air yang tersisa. Akibatnya, pasukan dilanda
kehausan. Inilah dharar yang menyebabkan adanya larangan mengambil air di lembah
tersebut sebelum Rasulullah datang.

Dari dalil-dalil tersebut, maka lahirlah kaidah yang kedua:

ً ‫ضرر حرّم ذلك الفرد و ظ ّل األمر مباحا‬


ٍ ‫ًًّرا أو مؤ ّديا ً إلى‬yّ ‫ك ّل فرد من أفراد المباح إذا كان ضا‬

“Setiap bagian dari perkara-perkara yang mubah apabila berbahaya atau akan mengakibatkan
bahaya, maka bagian tersebut diharamkan, sementara perkara yang mubah lainnya tetap
berada dalam kemubahannya.”
3. Pendapat Para Ulama

Dharar secara etimologi adalah berasal dari kalimat “adh Dharar” yang berarti sesuatu
yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi
menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah :

1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar
sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini
memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas
tertentu.

2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan  “Makna Dharar disini adalah ketakutan


seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota
badannya karena ia tidak  makan”.

3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat”.

4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan


diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.

5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau
nyaris binasa.
Jadi, Dharar disini  menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat
sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang
dilarang.
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang
sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan
mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan.

SARAN
Jika seseorang ingin melakukan tindakan berfikirlah terlebih dahulu itu baik atau tidak dan
insyaalllah orang itu tidak akan terjerumus kedalam larangan-larangan yang termasuk
didalam kaidah dharar tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

https://belantaraimajinasi.wordpress.com/2013/04/29/seputar-kaidah-dharar-
%D9%82%D8%A7%D8%B9%D8%AF%D8%A9-
%D8%A7%D9%84%D8%B6%D8%B1%D8%B1/

https://almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html

[1] Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm17.

[2] pondok pasantren islam nirul iman, Dhorurat dalam Perspektif


Islam, http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html, 10/10/2012,
02.19 WIB

[3] Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-


kemudharatan-itu.html, 10/10/2012, 02.23 WIB

[4] Q.S al-a’raf 7: 56

[5] Q.S al-Qashash 28: 77

[6] Muchlis Usman, kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2002),


hal.132

[7] Abdul hamid hakim, as-sullam,  juz II, Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra, hlm 59

[8] Ibid., hlm 132

[9] Ibid., hlm.19

[10] Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.2, h.68

[11] QS. al-An’am:119

[12] QS. Al-Baqarah : 173

[13] Musbik imam, qawa’id al-fiqfiyah, Jakarta:PT rajagrafindopersada, 2001, hlm 70

Anda mungkin juga menyukai