MAKALAH
AL-MASLAHAH
DAN AL-MAQASID AL-SYARI’AH
Oleh:
HASINUDDIN
NIP: 198209152009011008
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
BAB I : PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
B. FOKUS MASALAH . . . . . . . . . ......... .......... 3
C. TUJUAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . ......... .......... 3
BAB II : PEMBAHASAN
A. AL-MASLAHAH
1. Pengertian Al- Maslahah . . . . . . . . . ......... ..... 4
2. Eksistensi Maslahah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . 6
3. Tingkatan al-Maslahah dan Pembagiannya . . . . . . . . . . . . . . 12
4. Aplikasi Maslahah dalam Pengembangan Hukum Islam . . 19
B. PENGERTIAN AL-MAQASID AL-SYARI’AH DAN
HUBUNGANNYA DENGAN AL-MASLAHAH. . . . . . . . . . 22
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan dan perkembangan zaman dan sosial di masyarakat harus
direspon dan dijawab oleh umat Islam dengan baik dan tepat. Maka untuk
menjawab perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi, yang kasusnya
tidak diatur secara ekplisit oleh Al-Qur’an dan hadith, untuk itu para pakar
hukum Islam harus memaksimalkan kemampuan intelektualnya untuk mencari
solusi hukum yang tepat terhadap kasus-kasus yang tidak teksnya secara jelas.
Salah satu cara yang ditempuh adalah memahami dengan baik dan mendalami
tujuan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT (Maqashid al-Syari’ah). Tujuan
hukum perlu diketahui untuk mengetahui lebih jauh, apakah ketentuan suatu
hukum terhadap sustu kasus dapat diterapkan atau karena adanya perubahan
struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat lagi diterapkan. Tentu yang
dimaksud dengan persoalan hukum disini adalah persoalan mu’amalah.
Diakui pada dasarnya bidang muamalah dalam Islam (fiqh) dapat
diketahui makna dan rahasianya oleh akal (ma’qul al-ma’na). Sepanjang
masalah reasonable, maka penelusuran makna-makna masalah mu’amalah
menjadi penting. Dalam persoalan ini seorang mujtahid harus mempertanyakan
mengapa Allah SWT dan Rasul-Nya menetapkan hukum tertentu dalam bidang
mu’amalah. Implikasi lebih jauh dari pertanyaan tersebut adalah, apakah aturan
hukum tertentu masih dapat diterapkan terhadap suatu kasus hukum tertentu
atau tidak.
Penelitian terhadap kasus yang akan diterapkan hukumnya sama
pentingnya dengan sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya,
bahwa dalam menerapkan nash (al-Qur’an dan Hadith) dalam sustu kasus yang
beru, kandungan nash harus diteliti secara cermat, termasuk meneliti tujuan
disyariatkannya hukum tersebut. Setelah itu perlu dilakukan “studi kelayakan”
(tankih al-manath), apakah ayat atau hadith tersebut layak untuk diterapkan
untuk suatu kasus. Boleh jadi ada kasus hukum baru yang mirip dengan kasus
3
B. Fokus Masalah
1. Bagaimana pengertian, eksistensi, tingkatan dan pembagian al-maslahah
serta aplikasinya dalam pengembangan hukum Islam?
2. Bagaimana pengertian al-Maqasid al-Syari’ah, serta hubungannya dengan
al-Maslahah?
C. Tujuan
1. Bagaimana pengertian, eksistensi, tingkatan dan pembagian al-maslahah
serta aplikasinya dalam pengembangan hukum Islam?
2. Bagaimana pengertian al-Maqasid al-Syari’ah, serta hubungannya dengan
al-Maslahah?
1
Ahmad al-Raisuni, Nazariyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, (Birut:
Muassasah al-Jami’ah, 1992), hal.15.
2
Izz al-Din Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi al-Masail al-Anam, (Kairo; al-
Istiqomat, tt), Juz I, hal.9
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-MASLAHAH
1. Pengertian Maslahah
Secara etimologi, al-maslahah dapat berarti kebaikan,
kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan dan kepatutan. Kata al-
maslahah adakalnya dilawan dengan kata al-mafsadah dan ad kalanya
dilawankan dengan kata al-mudharrah, yang mengandung arti kerusakan.3
Menurut al-Imam Al-Ghazali bahwa al-Maslahah pada dasarnya
menurut bahasa adalah jalb al-manfa’ah atau daf’u al-mudharrah (meraih
kemanfaatan atau menghindari kemudharatan). Sedangkan al-Ghazali, al-
maslahah adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam
(Syariah) yang berupa pemeliharaan agama, jiwa, akal budi, keturunan dan
harta kekayaan. Maka untuk menjamin dan melindungi tujuan-tujuan
syariah tersebut al-mashalah.4
Sementara Husein Hamid melihat pengertian al-Maslahah untuk
menunjukkan dua pengertian, yaitu secara hakikat, yang menunjukkan
pengertian manfaat dan guna itu sendiri, dan secara majaz menunjukkan
pada sesuatu melahirkan manfaat.
Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian al-maslahah secara
etimologi yang pertama adalah sesuatu yang menunjukan kepada manfaat
atau guna itu sendiri, sedangkan yang kedua adalah sesuatu yang
menyebabkan datangnya kemanfaatan atau guna.
Adapun menurut Istilah seperti yang dikemukakan oleh ulama
ushul dengan redaksi yang berbeda tetapi bermuara pada pengertian yang
sama, diantarnya:
Menurut Imam al-Syathibi, definisi al-maslahah adalah “sesuatu
yang dipahami untuk memeliharanya sebagai suatu hak hamba, dalam
3
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 1424 H/2003M) Juz
II, hal.348
4
Abu hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustafa min ‘Ilm al-Ushul, tahqiq wa
ta’liq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Bairut: Muassasat al-Risalah,
1417H/1997M), Juz I, hal. 416-417.
5
5
Abu Isha’ Ibrahim Ibn Muhammad al-Syathibi, al-I’tsam, (Mekah: al-
Maktabah al-Faisaliyyah, tt), Juz II, hal.113.
6
Al-Ghazali, al-Musthafa,.... Ibid, Juz II, hal.286
6
2. Eksistensi Maslahah
Hukum Islam (Syariah) compatible bagi segala kebutuhan dan
tuntunan kehidupan manusia. Hukum Islam (Syari’ah) melalui teks-teks
sucinya (al-Nushush al-muqaddasah) dapat mewujudkan al-maslahah pada
setiap ketentuan hukumnya. Tidak ada satupun masalah hukum yang
muncul kecuali sudah ada di dalam al-qur’an dan hadits petunjuk jalan
solusi atasnya.9 Hukum Islam (syari’ah) selaras dengan fitrah,
memperhatikan segenap sisi kehidupan manusia, dan menawarkan tuntunan
hidup yang berkeadilan. Hukum Islam (syari’ah) juga selaras dengan
moralitas kemanusia yang luhur, yang membebaskan manusia dari
cengkaraman kuasa hawa nafsu yang destruktif. Hukum Islam (Syari’ah)
bervisi dan bermisi mulia.10 Hukum Islam (syari’ah) senantiasa
memperhatikan realisasi maslahah bagi segenap hamba-Nya. Karena itulah
7
Al-Ghazali,.... Ibid. Juz II, hal.287
8
Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Dawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-
Islamiyyah, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1990), hal.27
9
Husain Hamid Hisan, Nadzariyat al- Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut:
Dar al-Nahdah al-Arabiyah, 1991), hal. 607
10
Manna’ al-Qattan, Raf’ al-Hiraj fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Riyad: al-Dar al-
Su’udiyah, 1402 H/1982 M), hal.61-62
7
telah digariskan oleh al-Qur’an dan hadits berhulu dari dan bermuara
kepada al-maslahah bagi kehidupan umat manusia. Hal ini karena Allah
tidak butuh kepada sesuatupun, sekalipun itu adalah ibadah mahdhah.
Tegasnya, manusialah sebagai hamba Allah yang diuntungkan dengan
adanya kenyataan bahwa maslahah menjadi alas tumpu hukum Islam
(syari’ah) itu.14 Hadirnya hikmah dan illah dalam norma hukum Allah (baik
berupa al-amr maupun al-nahy) itu pada gilirannya menjamin eksisnya
maslahah. Pada sisi lain, formulasi sejumlah legal maxim (al-qwa’id al-
syar’iyah) bertumpu kepada penemuan hikmah dan ‘illah yang notabene
menjadi garansi eksisnya maslahah. Dengan demikian, maslahah merupakan
poros dan titik beranjak bagi formulasi al-ahkam al-syar’iyyah dan al-
qawa’id al-syar’iyyah.15
Mewujudkan maslahah merupakan tujuan utama hukum Islam
(syari’ah). Dalam setiap aturan hukumnya, al-Syari’ memtranmisikan al-
maslahah sehingga lahir kebaikan/kemanfaatan dan terhindarkan
keburukan/kerusakan, yang pada gilirannya terealisasinya kemakmuran dan
kesejahteraan di muka bumi serta kemurnian pengabdian kepada Allah.
Sebab, maslahah itu sesungguhnya dalah memelihara dan memperhatikan
tujuan-tujuan hukum Islam (syari’ah) berupa kebaikan dan kemanfaatan
yang dikehendaki oleh hukum Islam (syari’ah), bukan oleh hawa nafsu
manusia.16 Norma hukum yang dikandung teks-teks suci syariah (al-nushush
al-syari’ah) pasti dapat mewujudkan maslahah, sehingga tidak ada maslahah
diluar petunjuk teks syari’ah. Karena itu, tidaklah valid pemikiran yang
menyatakan maslahah harus diperioritaskan bila berlawanan dengan teks-
teks suci syari’ah.17 Maka, maslahah pada hakekatnya ialah sumbu
14
Yusuf Qardawi, Madkhal li Dirasat al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1421 H/2001 M) hal.58
15
‘Allal al-Fasyi, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha, (Rabat:
Maktabah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, tt), hal. 138
16
Jala al-Din ‘Abd al-Rahman, al-Mashalih al-Mursalah wa Makanatuha fi al-
Tasyri’, (t.tp: Matba’at al-Sa’adah, 1403H/1983M), hal.12-13
17
Husain Hamid Hisan, … Ibid. hal. 607
9
18
‘Aliy Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: Dar al-Ma’arif,
1383H/1964M), hal.257
19
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, tt), Jili I, Juz 2, hal.42
20
‘Izz al-Din Ibn ‘Abd al-Salam, …. Ibid, Juz.I hal. 11
21
Husain Hamid Hisan, … Ibid. hal. 607
10
22
Ali Yafie, Ijtihad: Antara Ketentuan dan Kenyataan”, dalam Munawwir
Sjadzali, dkk, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1998), hal.108
23
Ali Yafie, …Ibid. hal.109
24
Husain Hamid Hisan, … Ibid. hal. 607
25
Muhammad Hashim Kamali, The Digtiny of Man: An Islamic Perspective,
(Kuala Lumpur: Ilmiah Publisher, 2002), hal.93
11
26
Muhammad Sallam Madkur, al-Ijtihad fi al-Tasyri’ al-Islamiy, (Kairo: Dar al-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1404H/1984M), hal.45
27
Muhammad Hashim Kamali, Fiqh and Adaption to Social Reality, dalam Jurnal
The Muslim World, 1996, Vol.86, No.1, hal.72
28
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), hal.168
12
29
Yusuf Qardawi, Madkhal li Dirasat al-Syari’ah al-Islamiyyah, …. Ibid. hal.62
30
Yusuf Qardawi, Fiqih Maqasid al-Syari’ah: Moderasi Islam antara Aliran
Tekstual dan Aliran Liberal, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), terj. Arif
Munandar Riswanto, hal.23-25
13
31
Fatwa Munas VII Majlis Ulama Indonesia, (Jakarta: MUI, 2005), hal.50-57
14
realitas sosial yang terjadi, yang pada gilirannya fleksibelitas hukum Islam
dapat dipertahankan.32
Pada sisi lain, al-Ghazali menjelaskan bahwa yang pertama,
maslahah yanbg mendapatkan ketegasan justifikasi teks suci syariah
terhadap penerimaannya (al-maslahah al-mu’tabarah), merupakan al-hujjah
al-syar’iyyah, dan buahnya berupa al-qiyas yang mengandung makna
memetik hukum dari kandungan makna logis suatu al-nass dan al-ijma’.
Adapun yang kedua, maslahah yang mendapatkan ketegasan justifikasi teks
suci ayariah terhadap penolakannya (al-maslahah al-mulghah). Sedangkan
yang ketiga menurut al-Ghazali, yaitu maslahah yang tidak mendapat
ketegasan justifikasi teks suci Syariah, baik terhadap penerimaannya
maupun penolakannya. Hal ini menjadi medan perselisihan pendapat para
ulama.33
Disisi lain, al-Ghazali mengkategorisasikan maslahah berdasarkan
segi kekuatan substansinya (quwwatiha fi dztiha), dimana maslahah ini
dibedakan menjadi 3 (tiga): yaitu, 1) maslahah level al-dharurat, 2)
maslahah level hajjat, 3) maslahah level tahsinat. Masing-masing bagian
disertai oleh maslahah penyempurna/pelengkap (takmilah/tatimmah).
Pemeliharaan lima tujuan/prinsip dasar (ushul al-khamsah) –memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta- yang berada pada level al-dharurat
adalah lever terkuat dan tertinggi dari al-maslahah.34 Pandangan al-Ghazali
tentang ushul al-khamsah ini disempurnakan lagi oleh Syihab al-Din al-
Qurafi dengan menambahkan satu tujuan/prinsip dasar lagi, yakni
memelihara kehormatan (hifz al-‘irdi) meskipun diakui sendiri oleh al-
Qurafi bahwa hal ini masih menjadi bahan perdebatan para ulama. 35
Pandangan ini nampaknya cukup berdasar lantaran adanya teks suci syari’ah
yang secara eksplisit melarang al-qadzf (tindakan melempar tuduhan berzina
32
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists,
(New Delhi:Markazi Maktabah Islami, 1985), hal.160
33
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali,....Ibid. Juz I, Hal.415-416
34
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, ...Ibid. .Juz I, Hal.417
35
‘Abd al-Aziz ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Ali ibn Rabi’ah, ‘Ilm Maqasid al-Syari’,
(Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, 1423 H/2002), hal.63
15
36
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, …. Ibid. Juz II, Hal.416-421
37
Najm al-Din al-Tufi, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah, ............................. hal, 19
38
Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami fi ma la Nass Fih, (Quwait:
Dar al-Qalam, 1972), 47
16
39
Adonis, Arkeologi Sejarah Pekikiran Arab-Islam, ed. 3, (Yogyakarta: LkiS,
2009), 15-16.
18
40
Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, ….Ibid. hal.7-13
41
Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, ….Ibid. hal.9-14
42
Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, ….Ibid. hal.9-10
19
44
Abu Ishaq Al-Syathibi,..... Ibid, hal.12
45
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr, 1958), hal. 127
25
46
Abu Zahrah, Ibid.
47
Abu Ishaq Al-Syathibi,.... Ibid Jilid II, hal. 9
26
48
Muhammad Abd Ghani al-Bajagani, al-Madkhal la Ushul al-Fiqh al-Maliki,
(Beirut: Dar al-Bana, 1968), hal.134. yang dimaksud dengan Maslahah Al-
Mu’tabarah adalah kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya
adalah ada dalil syara’ yang menunjukkan adanya kemaslahatan tang
menjadi alasan dalam hukum. Maslahah Mulghah adalah kemaslahatan yang
ditolek oleh syara’. Artinya adanya kemaslahatan menurut akal, tetapi tidak
ditententukan oleh syara’ dengan menolaknya. Maslahah Al-Mursalah adalah
kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh syara’ dan tidak
dibatalkan dan ditolak melalui dalil yang rinci.
49
Muhammad al-Syalabi, Ta’lil al-Hakam, (Mesir: Dar al-Nahdhah
al-‘Arabiyyah, 1981), hal.281.
50
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, (akarta: Bulan Bintang, 1976), hal.198.
27
51
Ahmad al-Raisuni, al-Ijtihad bain al-Nass, wa al-Maslahat wa al-waqi’,.....
hal.50
28
52
Ahmad al-Raisuni, ….Ibid. hal.50-51
29
53
Ahmad al-Raisuni, ….Ibid. hal.52-53
54
Ahmad al-Raisuni, ….Ibid. hal.54
30
B. MAQASHID AL-SYARI’AH
Maqashid al-Syariah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syariah.
Maqashid adalah jama’ dari maqsud yang berasal dari fi’il qashada yang berarti
mendatangkan sesuatu, juga berarti tuntutan, kesenjangan dan tujuan. Syariah
menurut bahasa berarti jalan menuju sumber air yang dapat pula diartikan sebagai
jalan kearah sumber pokok keadilan.56
Ulama Ushul fiqih mendefinisikan maqashid al-Syari’ah dengan makna
dan tujuan yang dikendaki dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan
umat manusia. Maqashid al-Syariah dikalangan ulama Ushul Fiqh dikenal dengan
Asrar al-Syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang
ditetapkan oleh syara’, yang berupa kemaslahatan bagi umat manusia baik di
dunia maupun di akhirat. Misalnya, syara’ mewajibkan berbagai macam ibadah
dengan tujuan menegakkan agama Allah SWT. Untuk memelihara harta dan jiwa
seseorang disyariatkan hukum qishash.57
Dalam memahami maqashid al-Syariah para ulama menurut al-Syathibi
terbagi menjadi tiga kelompok dengan metode pemahaman yang berbeda-beda, 58
yakni:
1. Ulama yang berpendapat bahwa maqashid al-Syari’ah adalah suatu abstrak
tidak dapat diketahui kecuali lewat petunjuk Tuhan yang terungkap dalam
bentuk dzahir lafaz yang jelas. Petunjuk ini memerlukan penelitian yang pada
gilirannya akan bertentangan dengan kehendak bunyi lafaz. Kelompok ini
disebut al-Zahiriyyah.
55
Ahmad al-Raisuni, ….Ibid. hal.50
56
Ibn Manzur, …Ibid. Jilid VIII, hal.175
57
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), et. all, Cet.I, hal. 1108
58
Abu Ishaq Al-Syathibi, … Ibid. Juz. II, hal.393
31
2. Ulama yang tidak menempuk pendekatan zahir lafaz nas. Kelompok itu
terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama, berpendapat bahwa
maqashid al-Syari’ah diketahui bukan dari dzahir lafaz dan bukan pula dari
tunjukan dzahir lafaz. Maqashid al-Syari’ah merupakan hal lain yang ada
dibalik tujuan zahir lafaz yang ada dalam semua aspek syariat. Kelompok ini
disebut ulama al-Ratiniyyah. Golongan kedua, berpendapat bahwa maqashid
al-Syari’ah harus dikaitkan dengan pengertian lafaz. Artinya dzahir lafaz
tidak harus mengandung tujuan mutlak. Apabila ada pertentangan zahir lafaz
dengan nalar, maka yang didahulukan dan diutamakan adalah pengertian
nalar, baik atas dasar keharusan menjaga kemaslahatan atau tidak. Kelompok
ini disebut dengan Ulama al-Mu’ammiqin fi al-Qiyas.
3. Ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir lafaz dan
pertimbangan makna illat) dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian
dzahir lafaz dan tidak pula merusak kandungan makna/illat, sehingga tetap
berjalan secara harmoni tanpa kontradiksi-kontradiksi. Kelompok ini disebut
Ulama al-Rasikhin.
59
Abu Ishaq Al-Syathibi, ....Ibid., hal.394
32
60
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, (Yogyakarta: LkiS, 2005), Cet.I, hal.258
61
Louay Safi, The Foundation of Knowledge Study Islam and Western Methos
of Inquiry, (Selagor, IIU dan IIIT, 1996), hal.958
34
sedemikian rupa dengan tetap memberinya hak hidup. Dengan demikian, realitas
empiris dan wahyu atau teks harus berfungsi konpementer dan berhubungan
secara dealektis, baiukmketika realitas sosial itu tidak terdapat teks wahyu
maupun ketika bersebrangan dengan teks wahyu.
Berbagai pemikiran hukum dalam Konpilasi Hukum Islam dipandang
sebagai penerapan metode pemahaman maqashid al-Syari’ah yang berbasis
realitas empiris sosial, seperti pengaturan harta bersama atau gono-gini yang
mendapat legalitas dalam KHI.
BAB III
PUNUTUP
KESIMPULAN
Perkemabangan zaman dan perubahan sosial yang terjadi memunculkan
berbagai hukum. Untuk itu perlu ada soslusi dalam memecahakan persoalan
tersebut. Dalam kasus yang tidak diatur secara ekplisit oleh al-Qur’an dan Hadits,
maka salah satu paradigma yang dipakai adalah memahami secara baik dan
mendalam tujuan tujuan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT (maqashid al-
Syariah), yang mana menurut Ahmad al-Raisuni tujuan-tujuan diterapkan syariat
dalam penerapannya adalah untuk kemaslahatan hamba.
Menerapkan al-Maslahah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum memiliki kriteria. Pertama, maslahah yang dimaksud tidak boleh
didasarkan oleh akal semata, tetapi harus berada dalam ruang lingkup tujuan
syariat. Notabene kemaslahatan itu harus dalam rangka mewujudkan lima pokok
yang harus dipelihara. Yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kedua,
36
DAFTAR PUSTAKA