Anda di halaman 1dari 85

AL-AHKAM ( Hukum-hukum dalam

konteks ushul fiqih)


by ziggu 15:45 4 komentar

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar belakang
Membahas tentang hukum tentu akan kita temukan banyak sekali hukum-hukum yang
didalamnya mengatur secara khusus hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut.
Seperti adanya KUHP yang mengatur tentang hukum pidana. Dalam keseharian kita
sebagai seorang muslim tentunya terdapat hukum-hukum yang juga mengatur tata cara
kita dalam menjalakan suatu amaliyah.
Dalam agama Islam sendiri terdapat beberapa ilmu yang di dalamnya juga mempunyai
aturan-aturan khusus terkait bidang tersebut. Dalam ilmu tajwid misalnya, hukumhukumnya adalah mengenai tata cara membaca al-quran. Tak terkecuali dengan ilmu
ushul fiqih.
Bedasarkan hal tersebut pemakalah bermaksud untuk memaparkan maksud atau arti
hukum (al-hakam) dalam konteks ilmu ushul fiqih. Dengan harapan dapat memberikan
pemahaman kepada para pembaca khusunya kepada pemakalah sendiri untuk
memahami arti khusus al-hakam dalam ushul fiqih.
Dalam pembahasan ini akan dipaparkan tentang pengertian al-hakam, macammacamnya dan unsur-unsur yang terkandung di dalamya. Semoga dengan penyajian
makalah ini dapat menambah keilmuan kita dengan harapan agar dapat lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga mendapatkan ilmu yang manfaat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al - Ahkam Dalam Ushul Fiqih
Al-ahkam ( )maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata
hukmun ( )yang artinya
keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu

"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan" 1
Dalam hal ini yang dimaksud dengan ( seruan syariat) adalah Al Quran dan
As Sunnah.
Dari pengertian diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam
1. Tuntunan .
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau pun
tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan (wajib)
ataupun hanya keutamaan
2.
Pilihan .
Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu ketentuan
syara yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk memilih melakukan
ataupun tidak atau sering disebut mubah
3.
Peletakan
Wadhi adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau
sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat dikatakan sah
atau batal
Menambahkan sedikit dari pemaparan di atas, al-ahkam dalam bahasan ilmu
ushul fiqih adalah hukum-hukum yang hanya terkait dengan amalan manusia yang
bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah
Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara maka yang dikehendaki
adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam
ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak. 2 Jadi, tidak termasuk
bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti
hukum aqidah dan akhlaq.
B. Pembagian Al-Ahkam
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.
1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
2. Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadhiyah)
I.
Al-Ahkam at-Taklifiyyah
Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi menjadi lima yaitu Wajib, Mandub (Sunnah), Harom,
Makruh, dan Mubah.
1.
Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah "yang jatuh dan
harus" dan makna wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan" 3.
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari berbagai aspek yaitu:

1)
Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu
a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya
waktu sudah ditentukan.
b) Wajib muwassa, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu
yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi
waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk
melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar
sumpah.
2)
Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.
a) Wajib Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti :
shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf
(boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
3)
Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
4)
Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi
berikut ini.
a) Wajib muayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh
memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut,
bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin
2.
Mandub. Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah "yang diseru" dan
makna mandub menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan4
Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah terdapat
beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu, mustahab, dan ihsan.
Mandub (sunnah) di bagi menjadi dua yaitu,
1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan
(sangat penting)
2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang
dianjurkan).
3.
Haram. Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah "yang dilarang" dan makna
haram menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk
ditinggalkan".

4.
Makruh. Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah "yang dimurkai" dan
makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk
ditinggalkan".
5.
Mubah. Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah "yang diumumkan dan
dizinkan denganya" dan makna mubah menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
,
"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya"5.
II.
Al-Ahkam al-Wadhiyyah
1)
Sebab. Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya
tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina
mengakibatkan adanya hukum dera.
2)
Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum
bergantung kepadanya
3)
Azimah, yaitu hukum syara yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh
mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan
Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.
4)
Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai
keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari
hukum-hukum yang pokok.
Pembagian Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
a)
Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini
dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh : memakan bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, dalam Keadaan
terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui
batas.
b)
Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang
bersifat dibolehkan secara syari.
c)
Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah
biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak
ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).
d)
Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu
sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis,
mengeluarkan zakat dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid.
5)
Mani (Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya
hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila
terdapat mani maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa
diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan
tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi.
Hal ini karena berlainan agama menjadi mani atau penghalang bagi seseorang untuk
mendapatkan harta peninggalan.
6)
Sah

"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun
akad."
7)
Fasid

"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu ibadah atau
akad."
C. Unsur-Unsur Hukum Islam
1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi () \
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi
:
Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum
Allah (hukum syara).5 Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah
(hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
b. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia
dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar
berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat
kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan
oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu
yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia
diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat
ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
2. Mahkum Alaih
a. Pengertian Mafkum Alaih ()
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT
dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara. Contohnya, Allah SWT
memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina,
larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang
mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu pikirannya
atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan
manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak
manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan
untuk melaksanakannya.
b. Syarat-syarat mahkum alaih (mukallaf).

Syarat-syarat mahkum alaih (mukallaf) adalah :


1)
Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash
Al-Quran atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang
tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang
diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal.
Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
2)
Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk
menerima perintah tersebut.
3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan
sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh juga
dalam keadaan sehat akalnya.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan
hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
A. Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban.
Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima
harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada
kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan
kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah
ditetapkannya ini disebut awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul
fiqih menggolongkan awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua
kelompok.
Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia
hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa,
tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini
dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan
hak dan kewajiban.
Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu
sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby
dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.
B.
Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum
mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat
membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
C. Sempurna apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban,
yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).
3. Hakim.
Al-Hakim ialah pihak yang menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan
di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithab Allah yang
berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak
ada perselisihan di antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah6

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau
sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara maka yang dikehendaki adalah hukum
yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh,
bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak. Jadi, tidak termasuk bahasan
al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum
aqidah dan akhlaq.
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.
Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadhiyah)
Unsur-Unsur Hukum Islam yaitu Mahkum Bihi / Mahkum Fihi, Mahkum Alaih dan
Hakim

http://rumput-212.blogspot.co.id/
MAKALAH HUKUM SYAR'I

HUKUM SYARA
I.

PENDAHULUAN
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak
dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang
tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum
pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui
syari'at.Sebagaimana

yang

di

katakan

imam

Ghazali,

bahwa

mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan
Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui
hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.
Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum
syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu

fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni


ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan),
takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di
maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh
Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah,
batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan
kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan
objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang
hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum
wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses
II.
1.
2.
3.

III.
1.

pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.


RUMUSAN MASALAH
Pengertian hukum syari
Macam-macam hukum syari
Pembagian macam-macam hukum

PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Syara
Secara
etimologi
kata
hukum
( al-hukm)
berarti
mencegah atau memutuskan.Menurut terminologi Ushul
Fiqh, hukum (al-hukm) berartikhitab (kalam) Allah yang
mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa
iqtidla(perintah,larangan,anjuran
untuk melakukan
atau
anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang
mukallaf untuk memilih antara melkakukan dan tidak
melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab,syarat,atau mani[penghalang]).1[1]
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda
Rasul. Apabila disebut hukum syara, maka yang dimaksud ialah hukum yang
1[1] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana
2009).hlm:36.

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
2

berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan
2
hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
[2]
Bila dicermati dari definisi diatas, ditarik kesimpulan
bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan
dalam beberapa macam;
Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan
mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf
yang dilarang itu sifatnya haram.
Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan
yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan
yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau
tidakmelakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk
dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
Menetapkan sesuatu sebagai mani(penghalang).
Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
Menetapkan sesuatu sebagai kriteria azimah dan rukhshah. 3
[3]
Macam Macam Hukum
Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum
kepadadua macam,yaitu:
hukum taklifi
hukum wadhi

Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah :


ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan
langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk
perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk
tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan
untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadhi adalah:
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab,

2[2]Drs.Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta:1985).hlm:20.


3[3] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana
2009).hlm:38-39.

syarat, mani (sesuatu yang menjadipenghalang kecakapan


untuk melakukan hukum taklifi).
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum
tersebut dapat deketahui perbedaan antara keduanya. Ada
dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
a.

Hukum

taklifi

adalah

hukum

yang

mengandung

perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang


mukalaf,

sedangkan

hukum

wadhi

berupa

penjelasan

hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya,


hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan
umat islam, dan hukum wadhi menjelaskan bahwa waktu
matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi
wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
b.

Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada

dalam batas kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum


wadhi sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan
bukan merupakan aktifitas manusia.4[4]
3.

Pembagian Macam-Macam Hukum


A. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi dibagi menjadi lima:
Al-Ijab (kewajiban)
An-Nadb(kesunnahan)
At-tahrim (keharaman)
Al-karahah (kemakruhan)
Al ibahah (kebolehan).
1.

Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara
terminologi,seperti yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli
hukum islam berkebangsaan Irak, wajib berarti:Sesuatu yang
diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakanakan

4[4] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana


2009).hlm:40-41

mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan


diancam dengan dosa.

Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa


bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum
wajib dibagi menjadi dua macam yaitu:
Wajib Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang
sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti
ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban
sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh
mukalaf, namun bila mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat
islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang
yang
tidak
ikut
melaksanakannya
tidak
lagi
diwajibkan
mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi
kepada dua macam:
Wajib muayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh
syara dengan secara khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat
lima waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.
Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya
boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat
5
(denda melanggar).
[5]
Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:
Wajib muaqqat, yaitu: sesuatu yang dituntut syari untuk dilakukan secara pasti
dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu
dibatasi wakti tertentu,artiya tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa
jika mengakhirkan sholat tanpa udhur.
Wajib mutlaq, yaitu:sesuatu yang dituntut syari untuk dilakukan secara pasti
tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang
mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam:
Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syari telah ditentukan ukurannya,
seperti zakat.
Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syari tidak ditentukan
6
ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.
[6]

5[5] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana


2009).hlm:43-46.
6[6] Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam,
(Jakarta:Pustaka Amani 1977).hlm:146-151.

2. Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti sesuatu yang dianjurkan.
Secara terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah
dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya.
Namun tidak mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi menjadi tiga
tingkatan :
Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang
dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya salat
sunnah dua rakaat sebelum fajar.
Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan
salat sunah dua kali dua rakkat sebelum salat dhuhur.
Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai
7
manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan
[7]
tidur.
3. Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah
ahli syara haram ialah: pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena
mengerjakanya. Sedaangkan secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti
sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,dimana orang yang
melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan
berzina dalam firman Allah:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.(QS.Alisra:32)
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau
diharamkan kecualikarena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan
8
manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).
[8]Haram
terbagi menjadi dua:
haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa
hukum syara telah mengharamkan keharaman itu sejak dari
permulaan, seperti zina,mencuri,shalat tanpa bersuci,mengawini
salah satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya
haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada
awalnya ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan,
tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya
haram: seperti sholat yang memakai baju gosob,jual beli yang

7[7] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana


2009).hlm:52-53
8[8]ibid.,hlm:53-54.

mengandung unsur menipu, thalaq bidi (talaq yang dijatuhkan pada


saat istri sedang haid).9[9]

4. Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci.dalam
istilah ushul fiqh kata makruh,menurut mayoritas ulama ushul fiqh,
berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk ditinggalkan akan
mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya
berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang
hari pada saat berpuasa karena dikhawatirkan air akan masuk
kerongga kerokongan dan tertelan.10[10]
5. Mubah
Secara bahasa berartisesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan,
menurut para ahli ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada
mukalaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya.
Misalnya,

ketika

didalam

rumah

tangga

terjadi

cekcok

yang

berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak dapatlagi hidup bersama


maka boleh (mubah)bagi seorang istri membayar sejumlah uang
kepada suami agar suaminya itu menceraikannya,sesuai dengan
QS.Al-Baqarah:229).
memerintahkan

Dan

suatu

juga

termasuk

perbuatan

dan

mudah

terdapat

bila
alasan

syari
yang

emnunjukkan bahwa perintah itu berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al


Maidah : 2

Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat membagi
mubah kepada tiga macam:
Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu
hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya
mubah, namun mengantarkan seseorangsampai ia mampu
mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya
seperti sholat dan mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan berarti
9[9] Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam,
(Jakarta:Pustaka Amani 1977).hlm:156.
10[10] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana
2009).hlm:58

dianggap mubah dalam hal memilih makan atau tidak makan, karena
meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan
dirinya.
Sesuatu baru dianggap mudah bilamana dilakukan sekali-sakali, tetapi
haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain,
mendengankan musik.
Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai
sesuatu yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk
untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang itu hukumnya mubah
dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat
persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula,
karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak denag
menggunakan sesuatu yang dilarang.11[11]
B.

Hukum Wadhi
Hukum wadhi trbagi menjadi tiga. Berdasarkan penelitian,
telah
ditetapkan
bahwa
Hukum
Wadhi
adakalanya
menjadikan sesuatu sebagai:
Sebab
Syarat
Mani.12[12]

1. Sebab
Sebab menurut bahasa berarti,sesuatu yang bisa
menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain.
Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul
Karim Zaidan, sebab yaitu: sesuatu yang dijadikan oleh
syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya
sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum. 13[13]
Misalya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi
wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, tindakan
perampokan
sebagai
sebab
bagi
kewajibannya
mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya,
melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya
berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT yang artinya,
Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak
bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia
berpuasa bulan itu(al-Baqarah: 185).
2.

Syarat
11
12
13

Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara


bahasa yaitu, sesuatu yang menghendaki adannya sesuatu
yang lain atau sbagai tanda. Sedangkan menurut istilah
Ushul fiqh sprti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat
adalah: sesuatu yang tergantung kepadanya ada ssuatu
yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu.
Seperti: wudhu adalah syarat bagi sahnya sholat apabila ada
wudhu maka sholatnya sah, namun adanya wudhu belom
pasti adanya sholat, adanya pernikahan merupakan syarat
adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja talaq
tidak akan terjadi.
Para

ulama

Ushul

Fiqh

membagi

syarat

kepada

dua

macam:
Syarat syari, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat
sendiri. Contoh,semua syarat yang ditetapkan olh syari
dalam perkawinan, jual beli,hibah, dan wasiat.
Syarat jali, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang
mukalaf itu sendiri. Cotoh Syarat yang ditetapkan suami
untuk menjatuhkan talaq kepada istrinya

dan ketetapan

majikan untuk memerdekakan budaknya. Artinya jatuhnya


talaq atau merdeka itu tergantung pada adanya syarat, tidak
adanya syarat pasti tidak akan

ada talaq atau merdeka.

Bentuk kalimat talak adalah sebab timbulnya talaq, tetapi jika


telah memenuhi syarat.

3.

14

[14]

Mani (penghalang)
Mani adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum
atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang
sebab syara sudah jelas dan memenuhi syarat-syaratnya,
tetapi

ditemukan

adanya

mani

(penghalang)

yang

menghalangi konsekuensi hukum atas masalah tersebut.


Sebuah
14

akad

misalnya

dianggap

sah

bilamana

telaah

memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu mempunyai


akibat

hukumselama

penghalang(mani).

tidak

Misalnya

terdapat
akad

padanya

perkawinan

suatu

yang

sah

karena telah mncukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai


sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa
jadi terhalang jika suami membunuh istrinya atau sebaliknya.
Di dalam sebauah hadist dijelaskan bahwa tidak ada warismewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
Para ahli ushul fiqh membagi mani kepada dua macam:
Mani al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan srariat sebagai
penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haidnya
wanita itu merupakan mani bagi kecakapan wanita untuk
melakukan

sholat,

oleh

karena

itu

sholat

tidak

wajib

dilakukannya pada waktu haid.


Mani as-sabab, yaitu suatu yag ditetapkan syariat sbagai
penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan
demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.
Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab,
menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu
karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika
pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu
bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka
dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani bagi
wajib zahat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini,
keadaan berhutang telah mnghilangkan predikat orang kaya
sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta. 15[15]
IV. KESIMPULAN
1.

2.

Hukum syara adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut
hukum syara, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan
dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan
hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi.

15

3.

Hukum taklifi adalah hukum syari yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau
ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan
ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu wajib,mandub,

4.

haram, makruh, mubah.


Hukum Wadhi adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya
sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai
penghalang (mani) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadhi dibagi

menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, mani.


V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan tentang hukum syari, semoga
bermanfaat bagi pembaca pada umumnyadan pada kami pada khususnya. Dan tentunya
makalah ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat
konstruktif sangat kami butuhkan, guna memperbaiki makalah selanjutnya.

http://fridzqi.blogspot.co.id/2011/10/hukum-taklifi-dan-hukum-wadhiushul.html
Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i (Ushul Fiqh)
Pebandingan Hukum Syara
(Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi)

1. Pengertian hukum syara(hukum taklifi dan wadhi)


Hukum syara merupakan kata majemuk dari kata hukum dan
syara.

Hukum

menetapkan,

dan

secara

etimologi(bahasa)

menyelesaikan.

Secara

berarti

istilah

memutuskan,

hukum

merupakan

seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan

diakui oleh suatu negara atau sekelompok masyarakat,berlaku dan bersifat


mengikat untuk seluruh anggota masyarakatnya.
Kata syara secara etimologi berarti jalan,jalan yang bisa dilalui
air. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia menuju Allah SWT,
dengan cara beribadah kepada Nya.
Bila kata hukum di padukan dengan kata syara yaitu hukum
Syara akan berarti seperangkat
tingkah laku manusia yang

peraturan ketentuan Allah tentang

diakui dan diyakini berlaku serta mengikat

untuk semua umat yang beragama islam.


Dalam ilmu ushul fiqh, hukum syara dibagi menjadi dua, yaitu:

A. Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum
pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang
berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini
langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf (balig dan berakal sehat).
Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk
melakukan

dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya

firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Al-Baqarah, 2:110. Artinya: Dan
dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.(Q.S. Al-Baqarah,2:110) Tuntutan
Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT
dalam Al-Quran surat Al-Isra, 17:33. Artinya: Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
sesuatu alasan yang benar.(Q.S. Al-Isra,17:33) Tuntutan Allah SWT

mengandung

pilihan

untuk

melakukan

suatu

perbuatan

atau

meninggalkannya,

a.

Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu:[1]


Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang
apabila dikerjakan mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan
mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut dengan istilah wajib.
Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.

1.

a.

Pembagian wajib ditinjau dari segi wakyu pelaksanaan.

Wajib muthlaq
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak
salah

bila

waktu

pelaksanaannya

ditunda

sampai

ia

mampu

melaksanakannya. Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi


b.

waktunya tidak ditentukan oleh syara


Wajib muaqqad
Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah bila
dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa ramadhan. Wajib ini di

bagi menjadi tiga bagian, yaitu:


Wajib muwassa
Yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu
pelaksanaan kewajiban itu. contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya
dari petang sampai subuh.
Wajib mudhayyaq
Yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu
sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama
yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
Wajib dzu syahnaini
Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya
mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa dan mudhayyaq. yaitu waktu

mulainya

sama

dengan

waktu

berakhirnya

dan

waktunya

panjang,

contohnya ibadah haji.

2.

Pembagian wajib dari segi pelaksana.

Wajib ain
Wajib kifayah
3.

Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut.

Wajib muhaddad
Kewajiban yang ditentukan kadarnya. contoh : zakat
Wajib ghairu muhaddad
Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.
4.

Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut.

Wajib muayyan.
Wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar.[2]
Wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.

b. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti


perbuatan itu dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang apabila
dikerjakan oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah Swt.
Dan apabila ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal
dengan istilah Nadb(sunat).
Contohnya: sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis, dll.
Mandub(sunah) dibagi menjadi;
1.

Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah
terbagi dua;

Sunah muakkadah

Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada keteranganyang


menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
Sunah ghairu muakkadah
Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak
melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut.

2.

Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu;

Sunah hadyu
Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar
faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap
sesat. Contohnya shalat hari raya.
Sunah zaidah
Yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila
ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila
ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
Sunah nafal
Yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib.[3]
c. Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan
yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat
ancaman dari Allah Swt. dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat
pahala, yang dikenal dengan istilah haram.
Ulama

hanafiyah

menjabarkan

hukum

haram

menjadi

dua

berdasarkan dalil yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara


pastiyang ditetapkan oleh dalil dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Contohnya: memakan harta anak yatim, memakan harta riba,dll.

d. Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti.


Yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila

ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah karahah


(makruh).
Contohnya: merokok,dll.

Catatan untuk perkara yang mubah :


1.
2.

Jangan berlebihan.

Jangan membuat perkara baru (bidah) dalam agama yang tanpa ada
contoh atau tanpa ada

maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak

menjadi sarana kemaslahatan yang lain.


3.

Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari

akhirat.

e. Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara


mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan
untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal ini tidak diperintahkan dan tidak
pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut ibahah sedangkan
perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.
Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah
haji, dll.

B. Hukum Wadhi

Hukum wadhi merupakan perintah Allah yang berbentuk


ketentuan

yang

ditetapkan

Allah,

tidak

langsung

mengatur

pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf


itu, dengan kata lain Hukum wadi adalah hukum yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai
syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadhi
adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi
akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.

Hukum wadhi terbagi kedalam beberapa macam, yaitu:


1. Sebab
Menurut istilah syarasebab adalah suatu keadaan atau peristiwa
yang dijadikan sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya
keadaan atau peristiwa itu menyebabkan tidak adanya hukum. Atau
sesuatu yang pasti yang menjadi asas terbentuknya sesuatu
hukum. Sekiranya ia wujud, maka wujudlah hukum dan sekiranya ia
tidak wujud, maka tidak wujudlah hukum berkenaan. Sebagai
contoh, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya
berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT: Oleh itu, sesiapa dari
antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau
mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu(alBaqarah: 185)
Demikian juga Allah SWT mengharuskan untuk mengqasarkan
shalat sekiranya berada dalam keadaan musafir.

Firman Allah SWT: Dan apabila kamu musafir di muka bumi, maka
kamu

tidaklah

berdosa

mengqasarkan

(memendekkan)

sembahyang(an-Nisa': 101) Melalui dua contoh di atas, kita dapat


memahami bahawa melihat anak bulan menjadi sebab wajibnya
berpuasa,

manakala

musafir menjadi

sebab

keharusan

shalat

secara qasar.

2. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu
yang dijadikan syari (Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap
perintah syari, tidak sah pelaksanaan suatu perintah syari, kecuali
dengan adanya syarat tersebut. Atau sesuatu yang menyebabkan
ketiadaan hukum ketika ketiadaannya. Namun, tidak semestinya
wujud hukum ketika kewujudannya.
Syarat berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang
sangat penting dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu.

Misalnya:
Sampainya

nisab

pada

harta

menjadi

syarat

bagi

adanya

kewajiban zakat.
Adanya perbuatan wudhu menjadi syarat adanya perbuatan
shalat.
Pembagian syarat ada tiga macam, yaitu;

Syarat aqli
seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya
paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.

Syarat adli
artinya berdasarkan

atas

kebiasaan

yang

berlaku,

seperti

bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi


syarat berlangsungnya kebakaran.
Syarat syari

3. Mani (penghalang)
Mani adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan
syari menjadi penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan
hukum. Selain itu, mani juga disebut tegahan atau halangan yang
menyebabkan sesuatu hukum itu tidak dapat dilaksanakan. Ini
bermakna, apabila syarat dan sebab terjadinya hukum taklifi sudah
ada, ia masih lagi belum berlaku sekiranya ada mani'.
Sebagai contoh, dalam hukum faraid, pertalian darah adalah
menjadi sebab yang membolehkan pewarisan harta. Syaratnya juga
telah wujud disebabkan salah seorang daripada keduanya telah
meninggal dunia.
Namun begitu, sekiranya ada mani', maka pewarisan harta
tidak boleh berlaku.
Sebagai contoh, mani' yang menghalang pewarisan harta
ialah perbezaan agama berdasarkan hadis Rasulullah SAW: "Orang
kafir tidak mewarisi pusaka orang Islam dan orang Islam tidak
mewarisi pusaka orang kafir (riwayat Ahmad)."
Pusaka

juga

terhalang

sekiranya

salah

seorang

adalah

pembunuh kepada pihak kedua. Ini berasaskan sabda Rasulullah

SAW: "Pembunuh tidak berhak mendapat harta warisan (riwayat


An- Nasa'i dan Al-Baihaqi)."
Demikian juga, hukuman qisas juga terhalang sekiranya si
pembunuh adalah bapa kepada mangsa yang dibunuh.

4. Akibat
Termasuk juga kedalam pembahasan hukum wadhi, hal hal yang
menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. dalam hubungannya dengan
hukum wadhi[4] yaitu:

1.

Shah , yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku
padanya sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan
telah terhindar dari semua mani.
Misalnya;
Shalat dzuhur yang dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan
oleh orang yang telah berwudhu serta orang yang tidak dalam keadaan
haidh (berhadast)

2.

Bathal , yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi
sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada mani yang
menghalanginya.
Misalnya:
Shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari, atau tidak berwudhu, atau
sudah keduanya, akan tetapi dilakukan oleh wanita berhaidh.

5. Azimah dan Rukhsah


Azimah ialah peraturan Allah SWT yang asli dan tersurat pada nas (AlQuran dan Hadis) dan berlaku umum. Misalnya: Kewajiban salat lima waktu
dan puasa Ramadan. Haramnya memakan bangkai, darah, dan daging babi.
Sedangkan Rukhsah ialah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah SWT
sebagai keringanan yang diberikan kepada mukalaf dalam keadaan-keadaan
khusus. Sebagai contoh Diperbolehkannya memakan bangkai bagi seorang
mukallaf dalam keadaan darurat, meskipun pada dasarnya bangkai haram
hukumnya.

[1] Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama offset. hal

333
[2] Amir syarifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:Fajar interpratama offset. Hal

356
[3] Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama offset hal

363.
[4] (Badaruddin Az-Zarkasyi, Al-Bahrul Muhit, jilid 1, 1994).

http://www.rumahpintarr.com/2014/12/makalah-hukum-syara-taklifi-danwadhi.html

BAB I
PENDAHULUAN

Makalah Hukum Syara ( Taklifi dan Wadh'i )

A. Latar Belakang
Berikut Makalah ini akan menjelaskan tentang Pengertian Hukum
Syara Taklifi dan Wadh'i. Hukum syara ialah hukum yang sangat
penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi mukallaf, yaitu bagi orang yang
sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara ialah peraturan
dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara. hukum
syara ini mengikat aktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus
memiliki dasar hukum syara yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah,
mandub, makruh, dan haram. semua ini disebut dengan ahkmul khamsah.
kenapa sih harus terikat? keterikatan kita kepada hukum syara lah yang
menandakan bahwa kita ialah seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat
dari indeks ketaatannya kepada hukum syara atau dalam kata lain
ketaqwaannya.

Oleh karena itu pemakalah mencoba membuat makalah sederhana untuk


membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya, seperti hukum taklifi dan hukum wadhi.

B. Rumusan Masalah
1.

Apa pengertian dan berapa macam pembagian hukum syara?

2.

apa pengertian dan bentuk-bentuk hukum taklifi?

3.

apa pengertian dan bentuk-bentuk hukum wadhi?

4.

bagaimana perbedaan hukum taklifi dan hukum wadhi?

BAB II
PEMBAHASAN
RUANG LINGKUP HUKUM SYARA
A. Pengertian Hukum syara
Syara atau syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah
swt yang diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai rasulnya yang wajib
diikuti oleh setiap orang islam berdasarkan keyakinan yang berisikan ahlak
baik

dalam

hubungannya

dengan

Allah

maupun

manusia

atau

lingkungannya.
Hukum syaramenurut istilah para ahli ushul fiqh ialah :khithab syari yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk
tuntutan, pilihan atau ketetapan.
Misalnya dalam firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 229,
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan
hokum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya

Hukum syara juga dapat diartikan seperangkat peraturan berdasarkan


ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini
berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. [1]16

B. Pembagian Hukum Syara


Secara singkat makalah ini menggambarkan sedikit tentang arti dari
hukum syara yang ada 5:
1.

Wajib, yaitu sesuatu yang jika dikerjakan seseorang, maka ia mendapat


pahala dan jika meninggalkannya, maka mendapat siksa.

2.

Haram, yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan, maka akan mendapatkan


pahala, dan jika melakukannya, maka akan mendapatkan siksa seperti
mencuri.

3.

Mandub yaitu sesuatu yang jika dikerjakan seseorang, maka ia akan


mendapatkan pahala, dan jika ia meninggalkannya, maka tidak mendapat
siksa. Misalnya shalat dhuha.

4.

Makruh, yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan, maka akan medapatkan


pahala,

dan

jika

dikerjakan,

maka

tidak

mendapat

siksa.

Misalnya

kecemberutan wajah seorang anak di depan ayah dan ibunya.


5.

Mubah, yaitu sesuatu yang jika dikerjakan, maka tidak mendapatkan


pahala, dan jika ditinggalkan, tidak mendapat siksa. Misalnya makan dan
minum.[2]

C. Hukum Taklifi dan Wadhi


Ulama

ushul

juga

telah

memberi

istilah

nama

hukum

yang

bersangkutan dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau dari segi
diperintah, memilih atau berupa ketetapan itu dengan hukum taklifi (hukum
tuntutan) dan kepada hukum yang bersangkutan dengan perbuatan
mukallaf dari segi ketetapan dengan hukum wadhi, karena itu mereka
menetapkan bahwa Hukum syara terbagi dua macam yaitu hukum taklifi
dan hukum wadhi.[3]17

16 amir
17 khallaf

1.

Pengertian Hukum Taklifi


Hukum Taklifi ialah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari
mukallaf,

atau

menuntut

untuk

berbuat,

atau

memberikan

pilihan

kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. [4]18


Contoh hukum yang menghendaki dilakukannya perbuatan oleh mukallaf
terdapat dalam surat At-Taubah ayat 103 ambillah zakat dari sebagian
harta mereka
a.

Macam-macam Hukum Taklifi


Bentuk-bentuk

hukum

taklifi

menurut

jumhur

ulama

ushul

fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan
tahrim.[5]19
1) Ijab, ialah tuntutan syari yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan
tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi.
Misalnya, dalam surat An-Nur: 56 yang artinya: Dan dirikanlah sholat dan
tunaikan zakat.
2) Nadb ialah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak
bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang
meninggalkannya. Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. [6]
20

Kalimat maka tuliskanlah olehmu, dalam ayat itu pada dasarnya


mengandung perintah, tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah
itu kepada Nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (alBaqarah:

283),

yang

artinya:

Akan

tetapi,

apabila sebagian

kamu

mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan


amanatnya.
Tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang
membawa perubahan ini ialah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika
ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu
penting. Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
18 Khalaff
19 khalaf
20 Rachmat syafiie

a)

Ibahah ialah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan


antara berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat
adai khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh
dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat
2, yang artinya: Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji

bolehlah kamu berburu.


b)
Karanah,ialah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi
tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan
seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan
itu tidak tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga
karanah, misalnya hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya: perbuatan
halal yang paling dibenci Allah ialah talak. (HR. Abu Daud, Ibn Majah, AlBaihaqi dan Hakim).
c) Tahrim ialah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan
perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Contoh memakan
bangkai dan sebagainya. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-Anam: 151,
tentang larangan membunuh. Yang artinya: Jangan kamu membunuh jiwa
yang telah diharamkan Allah..
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut
hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh
jiwa seseorang disebut dengan haram.

2.

Pengertian Hukum Wadhi


Hukum wadhi yakni hukum yang mengandung sebab, syarat dan
halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum. Hukum wadhi juga
merupakan

titah

Allah

yang

berhubungan

dengan

sesuatu

yang

berhubungan atau berkaitan dengan hukum-hukum taklifi. Hukum wadhi


ialah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab,
syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Sebab ialah sesuatu yang
tampak yang dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya kematian menjadi
sebab adanya kewarisan, akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan
suami isteri.
Syarat ialah sesuatu yang kepadannya tergantung suatu hukum. Misalnya
syarat mengeluarkan zakat ialah jika telah mencapai nizab (jumlah tertentu)
dan

haul

(waktu

tertentu),

syarat

sholat

sempurna

menghadap

khiblat.Halangan atau mani ialah sesuatu yang dapat menghalangi

hubungan

hukum.

Misalnya

pembunuhan

menghalangi

hubungan

kewarisan, keadaan gila menghalangi untuk melakukan perbuatan atau


tindakan hukum. Mani ialah sesuatu yang ditetapkan sebagai penghalang
bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab. [7]
a)

Macam-Macam Hukum Wadhi

1)

Sebab
Maksudnya sesuatu yang kepadanya bergantung suatu hukum. [8] Sebab
juga dapat diartikan suatu hukum yang dijadikan syari sebagai tanda
adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang

artinya: Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.


Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
2) Syarat
Yaitu sesuat yang tampak dan sebagai tanda adnya hukum. Dalam arti
lain

syarat

ialah

sesuatu

yang

berada

diluar

hukum

syara

tetapi

keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah


dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat
3)

hilangnya perwalian atas dirinya.


Mani (penghalang)
Halangan disini mempunyai arti sesuatu yang dapat menghalangi
hubungan hukum, yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada
hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi:
Pembunuh tidak memdapat waris.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang
untuk mendapatkan warisan.

D. Perbedaan Hukum Taklifi dan Wadhi


Perbedaan hukum taklifi dan hukum wadhi
1.

Dalam hukum taklifi ada tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau


memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Namun dalam hukum wadhi
tidak ada tuntutan. Dalam hukum wadhi ada keterkaitan antara 2
persoalan sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab
penghalang atau syarat.

2.

Hukum taklifi ditujukan kepada mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan
berakal. Namun hukum wadhi ditujukan kepada semua manusia, baik yang
mukallaf, anak-anak dan juga orang gila.

3.

Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk


melaksanakan, meninggalkan atau memilih. Hukum wadhi tidak
dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadhi ditentukan
syari agar dapat dilaksanakan hukum taklifi, misalnya zakat hukumnya
wajib (hokum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa dilaksanakan jika
belum mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini merupakan
penyebab (hukum wadhi). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum
wadhi wajib zakat).[10]

4.

Sah atau shahih, ialah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara,
yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.

5.

Bathil atau batal, ialah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang
ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya:
memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena
minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum syara ialah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan
Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi
menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi. Bentuk-bentuk
hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima
macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum taklifi ialah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf,
atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara
melakukan dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut
jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb,
ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum wadhi ialah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan
sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentukbentuk hukum wadhI ada yaitu sebab, syarat, mani (penghalang), rukhshah
(keringanan) dan Azimah.
Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadhI.
merupakan

tuntutan

langsung

bagi

mukallaf

untuk

Hukum taklifi
melaksanakan,

meninggalkan atau memilih. Hukum wadhi tidak dimaksudkan agar


langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadhi ditentukan syari agar dapat
dilaksanakan hukum taklifi, misalnya zakat hukumnya wajib (hukum taklifi),
tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa dilaksanakan jika belum mencapai 1
nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini merupakan penyebab (hukum
wadhi). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadhi wajib zakat).
Sekian dari kami mengenai Hukum Syara ( Taklifi dan Wadh'i ) semoga
bisa bermanfaat untok anda para kaula muda mudi yang haus akan
pengetahuan

[1] Amir Syarifuddin,. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
[3] Khllaf Abdul Wahhab, hlm. 151. Kaidah-kaidah hukum islam
[4] Khllaf Abdul Wahhab hlm. 144 ilmu ushul fiqh
[5] Khallaf Abdul Wahhab, 1994. Ilmu Ushul Fiqh: semarang. Dina Utama
Semarang
[6] Rachmat Syafii. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia
[7]

Abddul

Ghofur

Anshori,

2008,

Hukum

Islam

Dinamika

dan

Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 30.

http://bilqolami.blogspot.co.id/2014/11/makalah-hukum-taklifi-danwadhi.html

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya
tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at
yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak
tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain

yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali,


bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh
dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui
hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.
Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum
syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu
fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni
ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan),
takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di
maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh
Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah,
batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan
kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan
objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas
tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan
hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam
proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yag di maksud dengan hukum syai?
2. Apa yang dimaksud dengan hukum taklifi?
3. Apa yang dimaksud dengan hukum wadi?

II.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syara

Secara etimologis, hukum berarti mencegah, putusan.21[1]


Adapun secara terminologis, hukum menurut Al-amidi dan
abdul Wahhab Khallaf adalah Tuntutan Allah Swt yang berkaitan
dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan atau
menjadikan sesuatu sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah
atau azimah.22[2]
Secara global, tujuan syara dalam menerapkan hukumhukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik
kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari
yang (kekal) kelak. Ini berdasarkan antara lain:
Adapun firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Anbiya ayat 107:
Artinya: Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad)
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

23

[3]

B. Pengertian Hukum Taklifi


Hukum taklifi adalah hukum syari yang mengandung tuntutan ( untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf ) atau yang mengandung pilihan antara
yang dikerjakan dan ditinggalkan24[4]
Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian yaitu:
a) Wajib
Pengertian wajib


Artinya :wajib adalah suatu perbuatan yang di tuntut Allah SWT untuk di lakukan
secara tuntutan pasti.yang di beri pahala bagi yamg melakukan dan di ancam dengan
dosa bagi yang meningggalkan
Misalnya dalam QS, 2 : 110 Allah swt berfirman:
Artinya : dan dirikanlah sholat dan tunakanlah sholat
21
22
23
24

Pembagian wajib
Bila dilihat dari sisi orang yang di bebani kewajiban hukum wajib di bagi
menjadi dua

1. Wajib aini yaitu kewaiban yang di bebenkan kepada setiap orang yang sudah berakal
(mukallaf) tanpa kecuali. Kewajiban ini tidak bisa gugur kecuali di lakukan sendiri,
misalnya melakukan solat lima waktu.
2. Wajib kifayah yaitu kewajiban yang di berikan kepada seluruh mukallaf , namun
bilamana telah dilakukan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap
terpenuhi. Wajib kifayah terkadang berubah menjadi wajib aini , bilamana di suatu
negara tidak ada lagi orang yang mwmpu melaksanaakannya selain dirinya, contoh
sholat jenazah
Bila dilihat dari sisi kandungan perintah, hukum wajib dibagi menjadi dua
macam:
1. Wajib muayyan yaitu suatu kewajiban di mana orang yang menjadi obyeknya adalah
tertentu tanpa ada pilihan lain . seperti kewajiban sholat lima waktu , puasa romadlon
dan zakat.
2. Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban di mana yang menjadi obyeknya boleh di
pilih antara beberapa alternative seperti kewajiban membayar kaffarat (denda
melanggar) sumpah (QS , 5:89)
Bila dilihat dari sisi waktu pelaksanaannya hukum wajib di bagi menjadi dua
macam
1. Wajib mutlaq adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya tidak di batasi dengan
waktu tertentu. seperti kewajiban membayar puasa romadlon yang tertinggal.
2. Wajib muaqqat adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya di batasi waktu tertentu.
b) Mandub
Pengertian mandub
Mandub secara lughowi adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Secara istilah
, sebagian ulama mendefinisikan mandub adalah:


Artinya: sesuatu yang di beri pahala orang yang melakukannya dan tidak di siksa
orang yang meninggalkannya
Selain kata mandub , juga digunakan lafadz lain yang artinya samadengan kata mandub,
seperti sunnah, nafal, tathawu, mustahab, dan mustahsan.

Pembagian mandub
1. Sunnah muakkadah adalah sunnah yang sangat di anjurkan, yaitu perbuatan yang biasa
di lakukan oleh rasul dan jarang di tinggalkannya. Misalnya sholat sunnah sebelum fajar
dsb.
2. Sunnah ghairu muakkad adalah sunnah biasa, sesuatu yang di lakukan rasul, namun
bukan menjadi kebiasaannya
3. Sunnah al zawaid yaitu mengikuti kebiasaan rasul sehari hari sebagai manusia, seperti
sopan santun, makan dan minum, dll
c) Haram
Pengertian haram
Haram ( )atau muharram ( )secara lughowi beraeti sesuatu yang lebih
banyak kerusakannya atau larangan,


Artinya: sesuatu yang dianut syari(pembuat hukum) untuk tidak melakukannya)
Dari segi bentuk dan sifatnya , haram di rumuskan dengan:


Artinya: suatu perbuatan yang pelakunya dicela
Pembagian haram
1. Al muharram li dzatihi sesuatu yang di haramkan oleh syariat karna esensinya
mengandung mudharat bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa
terpisah dari dzatnya misalnya : larangan zina(QS,17:32), memakan bangkai(QS, 5:38),
dan mencuri(QS. 5:38),
2. Al muharram li ghairihi sesuatu yang di laramg bukan karna esensinya tapi karna ada
pwrtimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang di laang secara
esensial. Misalnya, larangan jua beli di waktu sholat jumat(QS, 62:9)
d) Makruh
Pengertian makruh
Makruh ()secara lughowi berrarti yang di benci semakna dengan ()yang
buruk, secara istilah ada dua definisi. Dari segi esensinya makruh adalah

Artinya: sesuatu yang apabila ditinggalkan mendapat pujian dan apabila dikerjakan

pelakunya mendapat celaan


Pembagian makruh
Menurut hanafiyah makruh dibagi menjadi dua macam

1. Makruh tahrim adalah sesuatu yang yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang
dilarangnya bersifat dzanni, seperti larangan memakai sutera dan perhiasan.
2. Makruh tanzih adalah yang di anjurkan oleh syariat untuk menjalakannya . misalnya
memakan daging kuda
e) Mubah
Pengertian mubah
Mubah ( )secara lughowi berarti boleh smakna dengan ( yang di
izinkan), ( penjelasan), (halal), dan ( boleh)25[5]

Pembagian mubah
Mubah dibagi menjadi tiga bagian
1. Perbuatan yang di tetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara dan manusia di beri
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya.
2. Perbuatan yang tidak ada dalil syara menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada
perintah untuk melakukannya.
3. Perbutan yang sama sekali tidak ada keteranagan dari syara tentang kebolehan atau
ketidak bolehannya
C. Pengertian Hukum Wadhi
Hukum wadhi sebagaimana telah di sebutkan dalam kitab Al-wadhih fii Usulil
Fiqih, yang di tulis oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya Allah
SWT dalam kitabnya, dengan menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah
yang lainnya.
Adapun menurut pendapat yang lainnya, dalam buku Ushul Fikih Bagi Pemula
yang ditulis oleh; Abdul Mughits, M.Aghukum wadhi adalah hukum yang
berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi
(musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani) dan yang
menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.
Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, dalam karyanya yang berjudul
Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh, bahwasannya hokum wadhi adalah sebagaimana Allah
berfirman yang berhubungan dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang
lainnya, syaratnya, larangannya, kemudahannya, hokum asal yang telah ditetapkan
oleh Syari (Allah).

25

Hukum ini dinamakan hokum wadhi karena dalam hokum tersebut terdapat dua
hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan
lain-lain.Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hokum wadhi adalah hukum
yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (alsyarthu), pencegah (al-mani), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahh),
rusak atau batal (fasid), azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam
Amidi, Ghazali, danSyathibi.
Hukum wadhI adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi
adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai
penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa hokum wadhi adalah hukum yang
yangberkaitan dengan dua hal, yaitu sebab dan yang disebabi. Seperti contonya: orang
yang junub menyebabkan orang tersebut harus mandi, dan adanya orang yang memiliki
harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan orang tersebut harus berzakat.
Adapun pembagian hokum wadhi dalam buku UshulFiqih yang di karangoleh
Prof. Muhammad Abu Zahrah, bahwasannya hokum wadhi terbagi menjadi tiga macam
yaitu; Sebab, Syarat, dan Mani Penghalang. Namun sebagian ulama memasukkan sah
dan batal,azimah dan rukhshah.
a) Sebab, adalah segala sesuatu yang di jadikan oleh syarI sebagai alasan bagi ada dan
tidak adanya hukum.
Ulama membagi sebab menjadi 2 bagian:
1. Sebab yang di luar kemampuan orang mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa menjadi
sebab bolehnya memakan bangkai.
2. Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf. Misalnya,perkawinan menjadi
sebabnya hak warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini
mertua.
b) Syarat, adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hokum dengan adanya sesuatu
tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Misalnya,
wajib zakat barang dagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun
bila syarat berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi, zakat itu belum wajib.
Ulama ushuliyyin membagi syarat menjadi beberapa bagian:

1. Syarat hakiki (syari), yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum mengerjakan
yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah) apabila pekerjaan yang pertama belumdi
lakukan.
2. Syarat jali, yaitu segala syarat yang di buat oleh orang-orang yang mengadakan
transaksi dan dijadikan tempat bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut.
a.

Mani,adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat
membatalkan sebab hukum.
Mani terbagi menjadi 2 macam:

1. Mani terhadap hukum. Misalnya, najis yang terdapat pada tubuh atau pakaian orang
yang sedang shalat, dalam contoh ini tidak terdapat salah satu syarat sah shalat, yaitu
suci dari najis. Oleh sebab itu ,tidak ada hukum sahnya shalat. Hal ini disebut mani
hukum.
2. Mani terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib
mengeluarkan zakat. Namun, karena iya mempunyai utang yang jumlahnya sampai
mengurangi nisab zakat ia tidak wajib membayar zakat. Hal ini disebut mani sebab26[6]

III.

KESIMPULAN
Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi.

Hukum taklifi adalah hukum syari yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau
ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan
ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu wajib,mandub,
haram, makruh, mubah.
Hukum Wadhi adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi
adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai
penghalang (mani) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadhi dibagi
menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, mani.

26

IV.

PENUTUP
Demikian

makalah yang dapat kami paparkan tentang hukum syari, semoga

bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pada kami pada khususnya. Dan
tentunya makalah ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang
bersifat konstruktif sangat kami butuhkan, guna memperbaiki makalah selanjutnya.
Trimakasih
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Muhammad Syah, Dkk,Filsafat Hokum Islam,Jakarta:1992, Bumi
Aksara.
Koto Alaiddin .ILMU FIQH dan USHUL FIQH.Jakarta:2009,PT Raja Grafindo
Persada.
Nasrun Haroen,Ushul Fiqh I.Jakarta:1997, Logos.
Rokhmad Abu, Mata Kuliah Ushul Fiqh, Semarang:2009, Fakultas
Dakwah Iain Walisongo

27

[1]

Nasrun Haroen,Ushul Fiqh I,(Jakarta:logos,1997),h.207

[2] Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam, jilid I, h.90 dan Abdul Wahhab Khallaf, Ushul,
h.100
28

H.Ismail Muhammad Syah, dkk,filsafat hokum islam,(Jakarta:bumi


aksara,1992),h.65
29

[3]

[4] Koto alaidin ilmu fiqih dan ushul fiqih (sebuah pengantar)jakarta:grasindo persada
hal, 41
31
[5] Rokhmad abu ushul al-fiqh fakultas dakwah iain walisongo hal 34-43
30

27
28
29
30
31

[6] Koto alaidin ilmu fiqih dan ushul fiqih (sebuah pengantar)jakarta:grasindo persada
hal, 49-52
32

http://rizkyfazliana.blogspot.co.id/2013/05/hukum-taklifi-dan-wadhi-ushulfiqh.html

Hukum Taklifi dan Wadh'i


BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Pembahasan tentang hukumsyara adalah salah satu dari beberapa objek
kajian Ushul Fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi Ushul Fiqh adalah
bagaimana menyimpulkan hukum syara dari sumber-sumbernya. Oleh
karena begitu penting kedudukan hukum syara dalam pembahasan ini,
maka lebih dulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara itu sendiri serta
berbagai macamnya.
Istilah hukum syara bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat
Islam. Berbicara tentang hukum syara melibatkan pembicaraan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang
pembagian hukum syari yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi. Serta
pembicaraan tentang hakim, al-mahkum fih, dan tentang al-mahkum alaih.
Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dipaparkan penjelasan tentang
hal-hal tersebut.

B.
a.
b.
c.

Rumusan Masalah
Apa ituhukum syari?
Apa saja pembahasan-pembahasan hukum dalam ilmu Ushul Fiqh?
Apa saja macam-macam hukum dan pembagiannya?

C.
a.
b.
c.

Tujuan
Mengetahui hukum-hukum syari
Mengetahui pembahasan-pembahasan hukum dalam ilmu Ushul Fiqh
Mengetahui macam-macam hukum dan pembagiannya
32

BAB II
PEMBAHASAN

Istilah hukum syara bermakana hukum-hukum yang digali dari syariat


islam. Hukum syara melibatkan pembicaaraan tentang pembagian hukum
syara, hakim (pembuat hukum), al-mahkum fih (perbuatan manusia), dan
tentang al-mahkum alaih (mukalaf).
A.

Pengertian Hukum
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti mencegah atau
memutuskan. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti:
Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf,
baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau
anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk
memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wald (ketentuan
yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani [penghalang]).

Ayat-ayat atau hadis-hadishukum dapat dikatagorikan kepada beberapa


a.

macam;
Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang

b.

diperintahkan itu sifatnya wajib.


Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang

c.

itu sifatya haram.


Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan peebuatan yang

d.

dianjurakan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.


Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan

e.

untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.


Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak
melakukan, dan perbuatan yang diberi pilih untuk dilakukan atu ditinggalkan

f.

itu sifatnya mubah.


Menetapkan sesuatu sebagai sebab.

g.
h.
i.
j.

Menetapkan sesuatu sebagai syarat.


Menetapkan sesuatu sebagai mani (penghalang).
Menetapkan sesuatu sebagaikriteria sah dan fasad/batal.
Menetapkan sesuatu sebagai kriteria azimah dan rukhsah.

B.

Pembagian Hukum Syara


Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua
macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi. Hukum taklifi menurut para
ahli Ushul Fiqh adalah:
Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung
dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran
untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam
bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadhi adalah:
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan
mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan
hukum taklifi.
Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:

a.

Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau


memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadhi
berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi.
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajub dilaksanakan umat
Islam, dan hukum wadhi menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di
tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan

b.

shalat zuhur.
Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas
kemampuanseorang mukalaf. Sedangkan hukum wadhi sebagiannya ada
yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia.
Misalnya seperrti dalam contoh di atas tadi, keadaan tergelincir matahari
bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya.
Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah
menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu
shalat zuhur.
Pembagianhukumsyara sebagaiberikut:

a.

Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah syari yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan
atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan antara
yang dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang dituntut
melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih
antara memperbuat dan tidak memperbuat.
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib), nadb
(sunat) , tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).
Ijab adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan
tuntutan pasti. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang
yang ruku.
Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan
dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk
berbuat. Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah [2]:282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.
Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat
Al-Maidah ayat 3:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.
Kemudian, karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak
melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya
berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat AlMaidah ayat 101:
Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu.
Sedangkan ibahah adalah firman Allah yang memberi kebebasan
kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235:

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran.
Golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, yaitu
dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dengan dalil yang
qathi, seperti dalil Al-Quran dan hadis mutawatir maka perintah itu disebut
fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni, maka ia
dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil
zhanny, maka ia disebut karahah tahrim.
Dengan pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah membagi hukum
taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah.
Sekalipun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi
kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum
tersebut kepada lima bagian seperti yang telah disebut di atas. Kelima
macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek
itulah yang dinamakn al-hakam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib,
haram, mandub, makruh, dan mubah.
1.

Wajib

a.

PengertianWajib
Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah:
Wajib menurut syara ialah apa yang dituntut oleh syara kepada
mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.
Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan
mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa.
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain.
Wajib yang ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah)
dalam firman Allah:
Artinya: ... dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha:14)

Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu
sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu .... (QS. AlBaqarah: 183)
b.

PembagianWajib
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:

1)

Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang


dituntut,wajib dapat dibagi dua:

a.

Wajib muayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya,


misalnya membaca fatihah dalam shalat.

b.

Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi
tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi
pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.

2)

Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk
mengerjakan yang diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi
dua macam:

a. Wajib muwassa, waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan


itu lebih luas atau lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu.
Misalnya shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat
zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk
melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat dilaksanakan
pada awal waktu atau pada pertengahan waktu atau pada akhir waktu. Jika
wajib muwassa ingin dikerjakan pada pertengahan atau akhir waktu maka
menurut para ulama hendaklah berniat setelah tiba waktunya (awal waktu)
untuk menunda pelaksanaannya pada waktu yang diinginkan karena kalau
tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang melalaikan waktu.
b. Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau
sama banyak dengan waktu mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa
bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan

Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq tidak dapat ditunda dari waktu
yang tersedia untuk mengerjakannya.
3)

Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua
bagian:

a.

Wajib ain, ialah tuntutan syara untuk melaksanakan sesuatu perbuatan


dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti
kewajiban mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga
fardhu ain.

b.

Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan
jika ada salah seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap
sudah terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya,
maka berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti amar maruf dan nahi
munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan lain
sebagainya.

4)

Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan, terbagi kepada
dua:

a.

Wajib muhaddad, ialah yang ditentuka oleh syara bentuk perbuatan yang
dituntut dan mukallaf dianggap belum melaksanakan tuntutan itu sebelum
melaksanakan seperti yang telah dituntut oleh syara atau dengan kata lain
adalah kewajiban yang telah ditentukan kadar atau jumlahnya. Contohnya
shalat, zakat, dan pelunasan hutang. Shalat lima waktu telah ditetapkan
waktunya, jumlah rakaatnya, rukun dan syaratnya. Zakat telah ditetapkan
jenis benda yang wajib dizakati dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan.
Wajib muhaddad kalau tidak dilaksanakan maka menjadi hutang dan boleh
diambil dengan paksa.

b.

Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang
tidak ditentukan cara pelaksanaanya dan waktunya atau kewajiban yang
tidak ditentukan batas bilangannya, seperti infak fi sabilillah, memberi
bantuan kepada orang yang berhajat, tolong menolong, dan lain
sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika tidak dilaksanakan tidak menjadi
hutang dan tidak boleh dipaksa.

2.

Mandub

a.

PengertianMandub
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mandub ialah:
Yang dituntut oleh syara memperbuatnya dari mukallaf namun
tnututannya tidak begitu keras.
Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dilakukan akan
mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa
atau dosa (iqab).
Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam
nash seperti dicantumkan kata disunnatkan atau dianjurkan atau
dibawakan dalam bentuk amar namun ditemui tanda yang menunjukkan
bahwa tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri. Seperti dalam firman
Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
(hutang piutang) tidak secara tunai hendaklah kamu menulisnya .... (QS.
Al-Baqarah 282)
Dalam ayat lain diterangkan:
Artinya: ... maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak
menulisnya.... (QS. Al-Baqarah 282)
Ayat yang kedua ini dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu
hanya mandub (sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan
untuk memalingkan amar yang mempunyai arti wajib ke arti mandub
melalui kaidah umum agama atau melalui kaidah fiqih dan mungkin juga
ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang meninggalkannya.

b.

PembagianMandub
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi menyamakn arti sunat dan
nafal dengan mandub, mandub menurut mereka ada tiga macam:

1)

Sunat Hadyi ialah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk


menyempurnakan perbuatan wajib seperti azan dan shalat berjamaah.
Orang yang meninggalkan perbuatan yang seperti ini dikatakan tersesat
dan tercela dan kalau seandainya seisi kampung bersepakat
meninggalkannya maka mereka dapat diperangi.

2)

Sunat Zaidah ialah semua perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya


sebagia sifat terpuji bagi mukallaf karena mengikuti jejak nabi sebagai
manusia biasa seperti dalam makan, minum, tidur dan sebagainya dan
kalau perbuatan itu dilakukan menjadi kebaikan bagi mukallaf dan kalau
ditinggalkan tidak dapat dikatakan makruh.

3)

Nafal ialah perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagai pelengkap


dari perbuatan wajib dan sunat seperti shalat sunat. Perbuatan yang seperti
itu kalau diperbuat akan memperoleh pahala dan kalau ditinggalkan tidak
akan mendapat siksa dan tidak pula dicela.
Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi
kepada:

a)

Sunat ain, ialah segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi
mukallaf untuk dikerjakan, misalnya shalat sunat rawatib.

b)

Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat


cukup oleh salah seorang saja dari suatu kelompok, seperti mengucapkan
salam, mendoakan orang bersin, dan lain sebagainya.
Para ulama dalam kalangan mazhab Syafii membagi mandub menjadi
dua macam ialah:

1)

Sunat muakkad, ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun


tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya
perbuatan sunat yang menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti azan,
shalat berjamaah, shalat hari raya, berkurban dan akikah, karena
perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu diperbuat Rasulullah SAW.
hanya sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang menunjukkan perbuatan
itu bukan wajib namun digemari oleh beliau.

2)

Sunat Ghairu muakkad, ialah segala perbuatan yang dituntut


memperbuatnya namun tidak dicela meninggalkannya tetapi Rasulullah
SAW. sering meninggalkannya, atau dengan kata lain yaitu segala macam
perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul,.

3.
a.

Haram
Pengertian Haram

Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah:


apa yang dituntut oleh syara untuk tidak melakukannya dengan tuntutan
keras.
Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat
akan mendapat siksa dan kalau ditinggalkan akan mendapat pahala.
Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui lafal nash seperti dalam
firman Allah:
Artinya: diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi
(daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah... ( QS. Al-Maidah 3)
b.

Pembagian Haram
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:

1)

Haram li zatihi, ialah haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram
karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang
memang diharamkan sejak semula. Misalnya membunuh, berzina, mencuri,
dan lain-lain.

2)

Haram li gairihi, ialah Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau
haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang
hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jumat sudah
berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semulanya wajib
berubah berubah menjadi haram kerena dengan berpuasa itu akan
menimbulakn sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan
lainnya.
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi
dua macam yang dilihat dari segi kekuatan dalil yang menetapkan ialah:

1)

Haram yang ditetapkan melalui dalil qathi ialah harm dari Al quran,
Sunnah Mutawatir dan Ijma. Haram yang ditetapkan melalui dalil qathi ini
sebagi kebalikan fardhu. Contohnya seperti larangan berbuat zina seperti
yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra.

2)

Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan
haram seperti ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut

tahrim. Contohnya seperti larangan bagi kaum pria memakai perhiasan


emas dan kain sutra murni yang diterangkan dalam hadis ahad yang
diantaranya:
kedua ini haram atas umatku yang lelaki(HR Abu Daud, Ahmad dan Nasai
dari Ali bin Thalib)
4.
a.

Makruh
PengertianMakruh
Makruh menurut para ahli ushul ialah:
apa yang dituntut syara untuk meninggalkannya namun tidak begitu
keras.
Atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun
tidak disiksa kalau dikerjakan. Misalnya merokok, memakan makanan yang
menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya.

b.

PembagianMakruh
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:

1)

Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik


daripada mengerjakan.

2)

Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang
melarangnya itu zhanny, bukan qathi. Misalnya, bermain catur, memakan
kala, dan memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).

5.
a.

Mubah
PengertianMubah
Yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah:
apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih
anatara memperbuat atau meninggalkannya.

b.

PembagianMubah
Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu:

Yang diterangkan syara tentang kebolehannya memilih antara memperbuat


atau tidak memperbuat
1)

Tidak diterangkan kebolehannya namun syara memberitahukan akan


dapat memberi kelonggaran dan kemudahan bagi yang melakukannya

2)

Tidak diterangkan sama sekali baik kebolehan memperbuatnya yang


seperti inui kembali pada kaidah baratul ashliyah.

b.

Hukum Wadhi
Seperti yang telah disebutka di atas, hukum wadhi adalah ketentuan
syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan
mani. Dengan demikian hukum wadhi terbagi kepada tiga macam, yaitu:

1.
a.

Sebab
Pengertian sebab
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan
seseorang kepada sesuatu yang lain. Dengan lantaran adanya sebab, wajib
adanya akibat. Sebaliknya, ketiadaan sebab menyebabkan ketiadaan akibat.
Menurut istilah ushul fiqh, sepeti yang dikemukakan Abdul-Karim Zaidan,
sebab berarti:
Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum,
dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.

b.
1)

Macam-macam sebab
Sebab, kadang-kadang menjadi sebab pada hukum Taklifi. Misalnya
waktu, yang menjadi sebab kewajiban mendirikan shalat, karena firman
Allah SWT yang artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir. (QS.al-Isra:78)
Menyaksikan hilal Ramadhan, menjadi sebab kewajiban berpuasa,
sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)

2)

di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu. (QS.al-Baqarah:185)


Kadang-kadang sebab itu menjadi sebab untuk menetapkan
kepemilikan, kehalalan atau emnghilangkan keduanya. Seperti jual beli
untuk menetapkan kepemilikan dan menghilangkan kepemilikan,

memerdekakan budak dan wakaf untuk menggugurkan kepemilikan, atau


3)

akad perkawinan untuk menetapkan kehalalan.


Kadang-kadang sebab itu berupa perbuatan yang mampu dilakukan
mukalaf, seperti ia membunuh secara sengaja menjadi sebab kewajiban
qishash. Akad jual beli, perkawinan, atau lainnya menjadi sebab adanya

4)

hukum atas perbuatan-perbuatan tersebut.


Kadang-kadang sebab berupa sesuatu yang tidak mampu dilakukan
mukallaf. Seperti masuk waktu yang menjadikan sebab kewajiban shalat.
Hubungan kerabat menjadi sebab adanya hak waris dan pewaris. Sifat kecil
menjadi sebab keharusan perwallian atas si kecil tersebut.

2.
a.

Syarat
Pengertian Syarat
Menurut bahasa kata syarat berarti sesuatu yang menghendaki adanya
sesuatu yang lain atau sebagai tanda. Tidak adanya syarat menjadikan
tidak adanya yang disyaratkan, tetapi adanya syarat belum tentu
menjadikan adanya yang disyaratkan. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti
yang dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, syarat adalah:
Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada di
luar dari hakikat sesuatu itu.
Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti
adanya shalat tergantung adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu
sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara
kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya akad nikah. Yang
disebut terakhir ini adalah rukun.

b.

Pembagian Syarat
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:
1)
Syarat Syari, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat sendiri.
Misalnya, keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan
sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh
2)

syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya


Syarat Jaly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu
sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya: Jika engkau
memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu, dan seperti
pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk
membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu
membayar hutangnya.

3.
a.

Mani
Pengertian Mani
Kata mani secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Secara
terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, kata mani
berarti:
Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum
atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Misalnya, seperti adanya pembunuhan yang disengaja dan aniaya, tetapi
terhalang untuk dilakukan qishash, karena si pembunuh adalah ayah korban

itu sendiri.
Pembagian mani
Para ahli Ushul Fiqh membagi mani kepada dua macam:
1)
Mani al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang
b.

bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah
sebagai mani bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh
2)

karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu haid.


Mani al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai
pengahalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian
sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa
sampainya harta satu nisab, menjadi sebab seseorang mengeluarkan zakat.
Namun, karena orang tersebut dalam keadaan berhutang di mana hutang
itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam
kajian fikih hutang itu menjadi mani bagi wajib zakat harta itu.

4.
a.

Rukhsah dan Azimah


Pengertian Rukhsah
Secara bahasa rukhsah berarti kemudahan dan kelapangan. Secara
istilah rukhsah adalah ketentuan yang di syariatkan oleh Allah sebagai
keringanan untuk orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus atau kondisikondisi tertentu. Dengan demikian, rukhsah terjadi pada saat seorang
mukallaf mengalami masa-masa yang sulit dan darurat yang dikehendaki
adanya kemudahan dari Allah Swt.

b.

Pembagian Rukhsah
Rukhsah itu adabebrapa macam antara lain:

1)

Membolehkan hal-hal yang haram disebabkan kondisi darurat. Misalnya


membolehkan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa memakannya

kaena dalam keadaan kelaparan dan tidak ada makanan lain kecuali
2)

bangkai itu.
Membolehkan meninggalkan suatu yang wajib karena ada uzur. Misalnya
diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena ada uzur seperti

3)

sakit atau dalam keadaan bepergian.


Memberikan pengecualian sebagian perikatan karena di hajat dalam lalu
lintas muamalah. Misalya salam, yakni perikatan jual beli barang yang
belum ada wujudnya saat perikatan dilakukan, tetapi harganya telah

4)

dibayar terlebih dahulu. Perikatan itu sah, secara rukhsah.


Menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syariat terdahulu.
Misalnya mencuci pakaian yang kena najis dengan air yang suci,sebagai
rukhsah terhadap tata cara mensucikan pakaian yang kena najis menurut
syariat sebelum islam, yakni dengan memotong bagian pakaian yang kena
najis itudan melakukan taubat sebagai rukhsah terhadap tata cara diri
menyatakan penyesalan diri dari suatu maksiatdengan membunuh diri,
sebagaimana dilakukan oleh umat terdahulu.

Segala macam rukhsah sebagaimana tersebut diatas sebenarnya hanya


kembali kepada kaidah-kaidah yang berbunyi: ad-dharurat tubihul
mahdhurat (kemudharatan itu menghalalkan yang terlarang).
c.

Pengertian Azimah
Adapun Azimah secara bahasa berarti tekad yang kuat. Secara istilah
ulama Ushul Fiqh mendefinisikannya dengan hukum-hukum yang ditetapkan
Allah Swt kepada semua hamba-Nya sejak semula. Ia merupakan peraturan
syara yang asli yang berlaku umum. Artinya dia di syariatkan sebagai
aturan umum bagi seluruh mukallaf dalam keadaan normal. Misalnya
bangkai, menurut asli adalah haram dimakan oleh semua mukallaf. Akan
tetapi bagi yang keadaan terpaksa, diperkenankan memakannya, asal tidak
berlebih-lebihan. Haramnya bangkai adalah azimah,sedangkan boleh
memakannya dalam keadaan terpaksa adalah rukhsah.

5.
a.

Shah dan Bathal


Pengertian Shah dan Bathal

Secara etimologi, kata shah berarti baik. Pengertian shah menurut


ulama ushul fiqh adalah tercapainya sesuatu yang memberikan pengaruh
secara syara. Karena perbuatan itu mempunyai akibat hukum.Dan suatu
perbuatan dinilai shah ketika sejalan dengandenagn kehendak syari.
Tegasnya, perbuatan mukallaf dinilai shah apabila dipenuhi rukun dan
syaratnya.
Ulama Hanafi membagi perbuatan dan perikatan-perikatan tersebut itu
sebagai berikut:
Amal perbuatan adakalanya shahih dan adakalanya bathil. Kalau suatu
ibadah puasa dikatakatan bathil, maka sama artinya dengan fasid, yakni
tidak dapat menggugurkan kewajiban, karena itu harus di qadha. Adapun
ama lperbuatan yang berhubungan dengan muamalat atau segala macam
perikatan mereka membagi kepada tiga macam Yakni shahih, bathil, dan
fasid.
Sedangkan istilah bathal merupakan lawan dari shah,yakni: terlepasnya
hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum
yang ditimbulkannya.Misalnya jika perbuatan yang dilakukan oleh orang
mukallaf itu berupa suatu kewajiban, maka perbuatan yng dilakukan itu
tidak dapat menggugurkan kewajibandan tidak dapat membebaskan
tanggungan serta ia tidak berhak mendapatkan pahala di akhirat.
C. Hakim
Kata hakim secara etimologi adalah orang yang memutuskan hukum.
Dalam kajian Ushul Fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat
hukum syariat secara hakiki.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat
hakiki dari hukum syariat adalah Allah. Sebagaimana firman Allah
...menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (QS. alAnam/6:57)
Yang menjadi perbedaan pendapat para ulama adalah apakah hukumhukum Allah dapat diketahui oleh akal secara langsung tanpa perantara
para Rasul Allah dan kitab-kitab-Nya. Memang tidak ada perbedaan
pendapat bahwa al hakim adalah Allah, tetapi perbedaan pendapat itu pada
cara mengetahui hukum-hukum Allah.

Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi beberapa pendapat:


a.
1)

Kalangan Mutazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi menjadi


dua:
Perbuatan yang sifat baik dan buruknya bersifat esensial. Berkata benar
sepanjang esensialnya baik adalah baik, dan sebaliknya berbohong
sepanjang esensialnya adalah buruk. Demikianlah halnya sifat-sifat terpuji,
sepanjang esensialnya adalah baik sehingga akal pikiran manusia mampu
menyatakan bahwa hal itu baik setiap kali menyaksikannya. Sebaliknya sifat
tercela sepanjang esensialnya adalah buruk sehingga akal pikiran manusia
mampu menyatakan bahwa hal itu buruk setiap kali menyaksikannya. Akal
pikiran manusia menurut aliran ini mampu mengenal baik dan buruk ada
yang tanpa memerlukan renungan (badihy) dan ada yang membutuhkan

renungan (nadzhary).
2) Perbuatan-perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal nilai baik dan
buruknya, seperti ibadah dan cara-caranya. Dan memerlukan wahyu untuk
mengetahui baik dan buruknya.
Sejalan dengan hal di atas, Abu al-Husein al-Basri (w.436 H/1044 M),
seorang tokoh Mutazilah, dalam bukunya al-Mutamad (Juz 1/370),
membagi akal perbuatan manusia menjadi dua:
Pertama, perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat
diketahui dengan akal pikiran.
Kedua, perbuatan syariyah, yaitu perbuatan di mana syara ikut
menentukan hukum dan bentuknya. Perbuatan dalam hal ini terdiri dari dua
macam:
a)

Perbuatan di mana hanya dengan syariat dapat diketahui hukum, bentuk,

b)

dan kedudukannya sebagai ibadah bagi pelakunya. Misalnya, ibadah shalat.


Perbuatan di mana syara berperan mengubah, menambah, atau
mengurangi persyaratan-persyaratannya yang telah diketahui akal pikiran.
Dalam hal ini syariat memodifikasi suatu perbuatan, sehingga disebut
sebagai perbuatan yang bersifat syari.

b.

Kalangan Maturidiyah berpendapat bahwa sesuatu itu ada yang baik dan
ada pula yang buruk menurut esensinya. Di samping itu, ada pula hal-hal
yang tidak diketahui oleh akal baik dan buruknya. Menurut pendapat ini,

meskipun akal pikiran bisa mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan,
namun umat manusia tidak wajib dalam arti tidak berpahala mengikuti
kesimpulan akal pikirannya itu. Jadi, menurut aliran ini, masalah dosa dan
pahala, mutlak hanya dapat diketahui dengan wahyu. Menurut aliran ini akal
semata tidak dapat dijadikan landasan hukum. Setiap ketetapan hukum
c.

haruslah bereferensi kepada wahyu.


Kalangan Asyariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan buruk
menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sifat yang datng
kemudian, bukan bersifat esensial. Yang membuat sesuatu baik atau buruk
adalah perintah atau larangan Allah. Akal tidak punya wewenang untuk
menetapkan baik atau buruknya sesuatu. Sesuatu dikatakan baik karena
wahyu menilainya baik, sebaliknya sesuatu dikatakan buruk karena wahyu
menilainnya buruk. Oleh sesab itu, sebelum turun wahyu, tidak ada beban
taklif bagi manusia dan oleh karena itu belum ada pertimbangan dosa dan
pahala bagi suatu tindakan.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa menurut kalangan Maturidiyah
dan Asyariyah bahwa yang menjadi sumber hukum hanyalah wahyu Allah
semata, dan bahwa akal tidak punya wewenang dalam hal tersebut.
Meskipun demikian, menurut dua aliran ini bukan berarti akal tidak
berfungsi sama sekali dalam hal ini. Dalam kedua aliran ini akal hanya
berfungsi sebagai alat untuk memahami wahyu Allah. Sedangkan menurut
Mutazilah akal menjadi sumber hukum dalam hal-hal yang tidak disebutkan
dalam Al-Quran.

D.

Al-Mahkum Fih
Mahkum fih berarti perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan
hukum syara. Misalnya dalam firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS. alMaidah:1)
Kewajiban yang diambil dari khithab ini adalahberhubungan dengan
perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi janji yang kemudian dijadikan hukum
wajib.
Syarat-syarat sah tuntutan dengan perbuatan adalah sebagai berikut:

1)

Tuntutan perbuatan itu harus diketahui mukallaf secara jelas sehingga ia


mampu melaksanakannya sebagaimana yang dituntutkan.
Misalnya firman Allah SWT.:
Dirikanlah shalat, (QS. al-Baqarah:43)
Oleh karena nash itu masih global, Rasulullah menjelaskannya dengan
sabda beliau:
Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihatku melaksanakan

2)

shalat
Hendaknya diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya
kekuasaan menuntut dan dari orang yang hukumnya wajib diikuti mukallaf.
Karena dengan pengetahuan ini keinginan mukalla akan mengarah untuk

3)

mengikuti tuntutan itu.


Perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf harus berupa sesuatu yang
mungkin, atau mampu dilakukan atau dihindari oleh mukallaf. Dari sini ada
duan cabang: pertama, tidak sah menurut syara pembebanan yang
mustahil, baik mustahil sebab perbuatan itu sendiri atau mustahil sebab
yang lain. Kedua, tidak sah menurut syara membebani seorang mukallaf
agar orang lain berbuat atau meninggalkan suatu perbuatan. Karena
melakukan atau meninggalkan perbuatan orang lain itu tidak mungkin bagi
dirinya sendiri.

E.

Al-Mahkum Alaih (Mukallaf)


Al-mahkum alaih adalah mukallaf yang perbuatannya berhubunngan
dengan hukum syari.
Seorang mukallaf dianggap sah menanggung beban menurut syara
harus memenuhi dua syarat:
Pertama: Mukallaf mampu memahami dalil taklif (pembebanan). Karena
orang yang tidak mampu memahami dalil taklif, tentu dia tidak dapat
melaksanakan tuntutan itu dan tujuan pembebanan tidak dapat tercapai.
Kedua: mukallaf adalah ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Ahli menurut bahasa artinya layak dan pantas.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.


. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
. 2002. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam.
Jakarta: Pustaka Amani.
Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar dan Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Umar, Mukhsin Nyak. 2008. Ushul Fiqh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, Darussalam
Banda Aceh bekerja sama dengan AK Group Yogyakarta.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam.
Bandung: PT Almaarif.

http://makalahfull.blogspot.co.id/2013/02
/hukum-taklifi-dan-wadhi.html
Hukum Taklifi Dan Wadh'i
zainul mustofa - 5:57 AM

HUKUM TAKLIFI DAN WADHI


I.

PENDAHULUAN

Hukum merupakan kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan
berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif, atau menempatkan sesuatu sebagai
sebab syarat, dan penghalang. Yang di maksud dengan perbuatan mukalaf adalah
perbuatan yang di lakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan
hati seperti niat dan lain-lain. Imperatif (Iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan

sesuatu yakni memerintah atau melarang, sedangkan fakultatif (tahyir) adalah kebolehan
memilih antara melakukan atau meninggalkan .
II.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum.
Menurut ahli Ushul fiqih, hukum adalah kitab Allah yang mengenai segala
pekerjaan mukalaf baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan, larangan, ataupun
semata-mata menerangkan kebolehan atau menjadikan sesuatu sebab, syarat, dan
penghalang terhadap suatu hukum.[1]
Ahli Ushul mendefinisikan hukum adalah kitab Allah yang menyangkut tindak
tanduk mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak atau dalam bentuk
ketentuan-ketentuan.
Ahli fiqh mendefinisikan hukum adalah sifat yang merupakan pengaruh atau
akibat yang timbul dari titah Allah terhadap orang mukalaf [2]
2. Pembagian Hukum
A. Hukum Taklifi
Adalah Hukum yang menetapkan tuntutan terhadap orang mukalaf untuk melakukan
sesuatu, atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu atau membolehkan memilih antara
melakukan atau meninggalkan sesuatu[3]
Hukum Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau
memilih antara berbuat atau meninggalkan.[4]
B. Macam Macam Hukum Taklifi
Menurut jumhur(kebanyakan ulama) ada lima.
1. Ijab
Tuntutan syari yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh di tinggalkan.
Misal.


QS: An-Nur ayat 56
. Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya
kamu diberi rahmat.
2. Nadb
Tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat
memaksa,melainkan sebagai anjuran sehingga seseorang tidak dilarang untuk
meninggalkannya. Misal.

Lafal faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu),dalam ayat itu pada dasarnya menandung
perintah (wujub,tetepi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb
yang terdapat dalam kelnjutan dari ayat Al-Baqarah ayat 283

3. Ibahah
Kitab Allah yang bersifat fakultatif, mengandug pilihan antara berbuat atau tidak
berbuat secara tidak sama

4. Karahah
Tuntutan untuk meninggalakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui
redaksi yang tidak bersihat memaksa. Misal
Perbuatan halal yang paling di benci Allah adalah Talaq.(HR.Abu Dawud, Ibnu
majah,Al baihaqi dan hakim.)
5. Tahrim
Tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa.
Misal
Menurut Ulama Hanafiyah ada tujuh:
1. Iftiradh
Tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang
Qothi misalnya, tuntutan melaksanakan sholat dan membayar zakat. Ayat dan
hadistyang mengandung tuntutan mendirikan sholat dan membayar zakat sifatnya
Qothi.
2. Ijab
Tuntutan Allah yang bersifat kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan,
tetapi melalui dalil yang bersifat Zhanni (relatif benar). Misalnya, membaca Al-fatikhah
dalam sholat dan Ibadah kurban. Perbuatan perbuatan seperti ini, menurut
ulamahanafiyah tuntutannya bersifat Ijabdan wajib dilaksanakan, tetapi kewajibannya
di dasarkan atas tuntutan yang Zhanni.
3. Nadb
Maksudnya sama dengan yang di kemukakan jumhur ulama
4. Ibahah
Maksudnya sama dengan yang di kemukakan jumhur ulama
5. Karahah Tanzihiyyah
Tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi
tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misal, larangan berpuasa pada hari jumat.
Karahah tanzihiyyah di kalangan hanafiyah, sama pengertiannya dengan jumhur ulama
6. Karahah tahriniyyah
Tuntutan kepada mukallaf Allah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara
memaksa, tetapi di dasarkan kepada dalil yang zhanni. Apabila pekerja yang dituntut
untuk di tinggalkan, maka ia di kenakan hukuman.
7. Tahrim
Tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dan di
dasarkan pada dalil yang Qothi. misal, larangan membunuh orang dan berbuat zina
Perbedaan pembagian hukum taklifi antara jumhur ulama ushul fiqh dengan ulama
hanafiyah tersebut bertolak dari sisi kekuatan dalil[5]

1.
2.
C.
D.
1.

Adapun ulama hanafiyah merinci lagi tuntutan pasti itu dari segi kekuatan dalilnya
menjadi dua, yaitu:
Tuntutan mengerjakan secara pasti di tetapkan melalui dalil yang Qothi atau pasti
disebut fardlu
Bila dalil yang menetapkannya tidak bersifat pasti zhanni hukumnya disebut wajib[6]
Hukum Wadhi
Firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab syarat
atau penghalang dari sesuatu yang lain.[7]
Macam-Macam Hukum Wadhi
Sebab
Sesuatu yang oleh Syari dijadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang menjadikan
akibatnya, sekaligus menhubungkan adanya akibat karena adanya sebab dan ketiadaan
sebab. Jadi sebab merupakan sesuatu yang nyata dan pasti yang dijadikan syari sebagai
pertanda dalam hukum syara mengenai akibatnya [8]
Sesuatu yang jelas dan merupakan titik tolak atau pangkal lahirnya hukum, sehingga
dengan adanya sebab mengakibatkan tidak adanya hukm.



QS: An-Nur ayat 2

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera,

2. Syarat
Adalah sesuatu yang harus ada karena adanya hukum yang bergantung
kepadanya. Tidak adanya syarat mengakibatkan tidak ada hukum. Contohnya, berwudlu
merupakan syarat sahnya sholat. Firman Allah SWT :






QS : Al-Maidah ayat 6
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,

Tidak ada wudlu berarti tidak ada sholat, akan tetapi dengan adanya wudlu,
tidak mesti untuk sholat, karena seseorang melakukan wudlu itu untuk keperluan untuk
mebaca Al-Quran. Dengan demikian antara sebab dan syarat memilikai
persamaan dan perbedaan adapun kesamaannya adalah tidak ada sebab,
mengakibatkan tidak adanya hukum. Sama halnya apabila tidak ada syarat, hukumpun
tidak ada. Sementara itu, perbedaanya ialah denga adanya sebab harus ada hukum.
Akan tetapi, dengan adanya syarat tidak harus adanya hukum.
3. Mani (pengahalang)

Adalah sesuatau yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum meskipun


telah ada dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani maka hukum
yang tadinya meskki berlaku menjadi tidak berlaku.
Adakalanya mani itu dilakukan dan dalam kesanggupan orang mukallaf seperti
pembunuh yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap muwaris menjadi
penghalang bagi keduanya untuk saling mewarisi, akan tetapi ada kalanya di luar
kesanggupan manusia, seperti haid bagi seorang wanita merupakan penghalang terhadap
syahnya sholat bagi wanita tersebut.
4. Shihah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara terpenuhinya sebab,
syarat, dan tidak ada mani. Misalnya mengerjakan sholat dzuhur setelah tergelincir
matahari ( sebab) dan telah berwudlu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang
mengerjakannya ( taiadak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan
yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab itu apabila sebab tidak ada dan
syaratnya tudak terpenuhi, maka sholat itu tidak sah sekalipun maninya tidak ada.
5. Bathil
Yaitu terlepasnyaa hukum syaradari ketentuan yang di tetapkan dan tidak ada
akibat hukum yang di timbulkannya. Misalnya, memperjuakk belikan minuman keras.
Akad ini di pandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan
syara.
Disamping batal, ulamaHanafiyah juga mengemukakan hukum lain yang
berdekatan dengan batal, yaitu fasid. Yaitu menurut mereka, fasid adalah terjadinya
suatau kerusakan dalam unsur-unsur akad.
Jumhur ulama ushul fiqh / mutakalimin berpendirian antara batal dan fasid
adalah dua istilah dengan pengertian yang sama yaitu sama-sama tidak sah.
6. Azimah dan Rukhshah
Azimah adalah hukum hukun yang disyariatkan Allah kepada seluruh hambaNya sejak semula. Artinya, belum ada hukum itu disyariatkan Allah, sehingga sejak
disyariatkan nya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Imam Al-baidhawi ( ahli Ushul
fiqih syafiiyyah), mengatakan bahwa Azimah itu adalah hukum yang di tetapkan
tidak berbeda dengan dalil yang di tetapkan karena ada adzur.
III.

KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas dapat di simpulkan bahwa hukum taklifi
merupakan firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan
sesuatu atau memilih antara berbuat/meninggalkan sehingga menurut jumhur ulama
ushul fiqih ada lima, yaitu: ijab, Nadb,ibahah,karahah, karahah tanzihiyah, karahah
tahrimiyah,tahrim. Hukum wadhI merupakan firman Allah yang menuntut untuk
mnjadikan sesuatu yang sebab , syarat, atau penghalang dari yang lain . sebab sendiri
memiliki pengertian seuatu yang oleh pembuat hukum (syari) di jadikan indikasi
adanya sesuatu yang lain yang menjadikan akibatnya . syarat, sesuatu yang beraada di
luar hukum syara, tetapi bergantung padanya.

Daftar Pustaka
Thoha Chabib , MA, fiqih, CV.Gani &Son, semarang,2004
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh,PT. LOGOS Wacana Ilmu.jakarta,1997.
Syafei Rachmat,MA. Ilmu Ushul Fiqih,.Pustaka Setia, Bandung,2007,
Wahab khalaf Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah, Perss,Bandung,1996.

[1] Drs. H.M.chabib thoha, MA, fiqih, CV.Gani &Son, semarang,2004 hal.36
[2] Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,PT. LOGOS Wacana Ilmu.jakarta,1997

hal.282
[3] Drs. H.M.chabib thoha, MA,Op.cit,hal.37
[4] Prof.Dr.H.Rachmat Syafei,MA. Ilmu Ushul Fiqih,.Pustaka Setia, Bandung,2007,
hal.296
[5] Ibid, hal 297-302.
[6] Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin,Op.Cit.,hal 285
[7] Prof.Dr.H.Rachmat Syafei,MA. Op.Cit.312
[8] Prof.Dr.Abdul Wahab khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah,
Perss,Bandung,1996.hal 197.

http://jurusan-pai.blogspot.co.id/p/disusun-oleh-awang-setiawansekolah.html

HUKUM WADHI
Disusun oleh : Awang Setiawan

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) IMAM SYAFII


JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan
pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan
hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.
Objek pembahasan Ushul Fiqih ialah dalil-dalil syara'. Hukum syar'i ialah
Khithab pencipta syari'at yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang
mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan yang

menjadikansesuatu sebagai sebab, syarat atau pengahalang bagi adanya


sesuatu yang lain. Hukum syar'i dibagi kepada dua macam, yaitu Hukum
taklifi, dan Hukum Wad'i. Dalam makalah ini, saya akan membahas
tentang Hukum WadhI dan pembagiannya.

BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Wadhi
Hukum wadhI ialah, firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halanganb dari suatu ketetapan hukum taklifi.
Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadhI sangat erat kaitannya dengan hukum
taklifi, baik dalam bentuka sebab(sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu
huum taklifi. Atau dalam bentuk syarat (syarat), sehingga di mungkinkan berlakunya
(masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani), sehingga suatu
hukum taklifi menjadi tidak terlaksana (mamnu). Di samping itu, termasuk pula dalam
pembahasan hukum wadhI pembahsan yangber kaitan denganazimah (hukum yang
berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhsah (keringanan). Ash-shihhah (sah) dan
al-buthlan(batal) . Degan demikian, pembahasa tentang hukum wadhiberkaiatan
dengan tujuh hal utama yaitu, sabab, syarth, mani, azimah, rukhsah, ash-shihhah. Dan
al-buthlan. Untuk jelasnya. Dibawah ini diuraikan secara lebih terperinci.33[1]

a.Sabab
sebab (al_sabab) menurut Jumhur Ulama adalah : Sesuatu yang lahir dan jelas
batas-batasnya , yang oleh Allah (al-syari, Pembuat hukum)) dijadikan sebagau tanda
bagi wujudnya hukum. Berdasarkan define ini, ada dua esensi yang terkandung
didalamnya.
Pertama suatu tidak sah dijadikan sebagai sabab kecuali Allah (Syari) sendiri yang
menjadikannya saebagai sebab. Karena hukum-taklifi merupakanpembebanan dari Allah
SWT, maka yang membebani adalah Allah SWT. Dan jika yang membebani adalah
penmbuat hukum (Syari), maka Dialah menjadikan sebab-sebab sebagai dasar hukumhukumnya.

Kedua: bahwa sebab-sebab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya


hukum-hukum taklifi, akan tetapi meruapakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu.
Dalam hal ini Asy-Syathiby mengatakan, bahwa sebab bukanlah pelaku aktif
denngan sendirinya, ia hanyalah menyertai terjadinya akibat (musabbab atau hukum),
bukan yang menyebabkannya.34[2]
Pembaagin sabab
33[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A
34[2]Prof. Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih: hlm 70

1)Sabab hukum yang bukan pembuatan mukallaf


Sabab yang merupakan membuatatan mukallaf ialah pembuatan mukallaf yang
ditetapkan asy Syari sebagai pengenal/penanda adaaanya musabbab akibat dalam
bentuk hukum syara.
2) Sabab hukum yang bukan merupakan pembuatan mukallaf
Sebab hukum yang bukan pembuatan mukallaf ialah, sesuatu yang asy-Syari
menjadikannya sebagai penanda pengenal adanya hukum syara, dalam bentuk sabab.
Sedangkan ia bukan pembuatan mukallaf. Pada umumnya, sabab yang kedua ini
merpaka fenomena alam yang dijadikan sebagai sabab bagi waktu-waktupelaksaan
ibadah.35[3]

b. Asy-Syarth
1) Pengertian Asy-Syarth
Asy-Syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya
hukum. Tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak
pasti wujudnya hukum. Adappun perbedaan antara syarat dengan sabab adalah : bahwa
ditemukan adanya (syarat) itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya,
adanya wudhu yang merupakan syaratnya shalat menentukan/ tidak mengakibatkan
wajibnya shalat. Dan adanya dua orang saksi tidak menentukan /tidak mengakibatkan
adanya akad nikah, meskipun keadaannya dua orang saksi meruapakan syarat sanya
akad nikah. Akan tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa adanya wudhu, dan akad nikah
menjadi tidak sah tanpa adanya dua orang saksi.36[4]
2)Pembagian syarth
a)

syarth asy-syariyyah
Yang dimaksud dengan syarth asy-syariyyah ialah, syarth yang ditetapkan oleh asy
syari(pembuat hukum) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab, atau untuk
memenuhi musabbab.
b) Syarth jaliyyah
Adapun yang di maksud dengan Syarth jaliyyah ialah, syarth yang ditetapkan oleh
muhallaf sebaga hubungan kausal yang diakui oleh syara memilki efek hukum syara,
35[3] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A.
36[4] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih: hlm75

Syarth bentuk kedua ini tidak boleh bertentangan engan hukum syara agar efek (akibat
; musabbab)-nya dapat diakui oleh asy-Syari sebagai hukum syara. Contohnya ,
seorang suaami yang mengaitkan kejtuhan talaknya dengan suatu syarat, dengan
mengatakan kepada istrinya: jika engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka
taakmu jatuh satu.

c. Al-Mani
1)

Pengetian al-Mani
Al-Mani ( penghalang) ialah perkara syara yang keberadaannya menafikan tujuan
yang dikehendaki
oleh sebab atau hukum. Oleh karena itu asy-Syathiby
menganggapnya sebagai sebab yang merintangi ter hadap sebab yang meruapakan tanda
ujudnya hukum, atau sebai sebab yang merintangi zat hukum. Karena asy-Asyathiby
mendefinisikan mani sebagai : sebab yang metetapkan hukum lain karena adanya illa
yamg menafikan hikmahnya hukum.37[5]
2)Pembagian Al-Mani
Sebagaimana halnya syarth, ulama ushul fiqih juga membagi mani dengan
meninjaunya dari beberapa segi, tetapi tinjauan yang terpenting ialah penbagian mani
ditinjau dari segi objeknya. Dalan hal ini, mani dibagi menjadi dua, yaitu :
A) Mani yang menghalangi adanya hukum:
b) Mani yang menghalangi adanya hubungan kausal sabab.
Yang dimaksud dengan mani yang menghalangi adannya hukum ialah, ketetapan
asy-Syari yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang berlakunya hukum
syara yang umum.
Sebagai Contoh hukum Syara yang umunm menyatakan, wajib shalat bagi setiap
mukallaf, baik laki-laki maupum wanita. Akan tetapi,syara juga menetapakan, haid dan
nifas menjadi penghalang bagi wanita untuk dikenakan kewajiban meng-qadha shalt
yang tidak dilaksanakan selama haid dan nifas.
Adapun yang dimaksud dengan mani yang menghalangi hubungan kausal sabab
ialah , ketetapan Asy-Syari yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang bagi
lahirnya musabbab/akibat hukum dari suatu sabab syara yang berlaku umum. Sebagai
Contoh, ketentuan syara yang umum menyatakan, jumlah harta yang mencapai kadar
nishab dan telah dimiliki selama sestahun (haul) merupakan sabab bagi kewajiban
mengeluarkan zakat. Akan tetapi ketetapan syara juga menyatakan bahwa keadaan
berhutang merupakan menghalang bagi seseorang untuk dikenakan kewajiban zakat.38
[6]

d. Al-Azimah dan ar-rukhshah


37[5] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih: hlm77-78
38[6] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A

1)

Pengertian Al-Azimah dan ar-rukhshah

Al-Azimah dan ar-rukhshah adalah dua ketentuan yang oleh sebagian besar ulama
ushul fiqih dimasukan kepada kelompok pembahasan hukum wadhI Alasan mereka.
Pada hakikatnya ketentuan azimah berkaitan erat dengan keadaan yang normal yang
menjadi sebab diberlakukannya hukum-hukum syara uyang umum bagi mukallaf.
Sementara kireteria rukhshah pada umumnya berkaitan ert dengan keadaan tertentu
yang menjadi sebab berlakunya keringanan bagi mukallaf dalam melaksanakan huhum.
Dalam pada hali itu, sebagian ulama menbicarakan azimah dan rukhshah dalam
kelompok hukum taklfi. Alasan mereka, pembicaraan azimah dan rukhshah berkaitan
langsung dengan cara penerapan hukum taklifi.
Bagaimanapun juga, penulis cenderung pada alasan ulama kelompok pertama, sehingga
dalam uruusan ini, pembahasan Azimah dan Rukhshah ditempatkan dalam hukum
wadhi.
Kedua definisi tersebut diatas hanya berbeda dari segi redaksinya saja, namun
maksudnya sama, bahwa yang dmaksuud dengan azimah dan adalah, ketentuan syariat
yang ditetapkan untukberlaku secara umum, dalam keadaan normal, bukan dalam
keadaan dan situasi tertentu yang bersifat khusus, bagi seluruh mukallaf, bukan untuk
mukallaf tertentu yang bersifat khusus.
2) Pembagian ar-Rukhshah
a)

Berdasarkan segi bentuk hukum yang berlaku umum


Ditinjau dari segi bentuk hukum yang berlaku umum, rukhshah dibagi kepada dua
bagian, yaitu sebagai berikut.
(1)`Ar-rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menuurut ketentuan syariat yang
umum diharamkan, karena darurat atau hajah.
(2)Ar-rukhshah untuk meninggalkan perbuatan yang menurut aturan syariat yang umum
diwajibkan, Karena kesulitan melaksanakannya.
b) Berdasarkan segi bentuk rukhshah (keinginan)

e. Ash-Shihhah, aaal-Buthlan, dan Al-Fasad


Yang dimaksud dengan ash-shihhah ialah, suastu perbuatan yang telah memiliki
sabab, memenuhi berbagai rukun dan perssyaratan syara, Dan terdapat mani padanya.
Dalam pada itu, suatu sabab yang disebut suatu sah ialah, sabab yang menimbulkan
musabab atau dampak hukum. Adapun yang dimaksud dengan Albuthlan(batal) ialah,
kebalikan dari pengertian sah, yaitu, suatu perbuatan yang tidak memenuhi semua
kireteria yang dituntut oleh syara. Dan syarat-syarat jaliyyah yang rusak (fasad) akan
menjadikan sebab rusaknya akad pada pembagian keadaan. Sepeti halnya akad-akad
maliyah (transaksi barang) menjadi rusak disebabkan rusaknya syarat pada saat tukarmenukar. Tapi dalam keadaan syarat-syarat yang rusak (fasad ) tidak menjadikan
rusaknya suatu akad.

KESIMPULAN
Suatu hukum syara baru ada dan berlaku, apabila telah terpenuhi tiga unsur utama,
yaitu: adanya sebab agar lahirnya hukum syara, terdaptnya semua syarth yang
ditetapkan untuk berlakunya hukun syara, dan tidak adanya mani pun yang
menghalangi berlakunya hukum syara tersebut. Ketiga unsur tersebut menjadi mutlak,
mengingat bahwa suatu hukum syara, tidak mungkin ada dan berlaku jka tidak ada
sabab yang melahirkan musabbab(akibat) hukum.Demikian juga, suatu hukum
terkadang memilikki beberapa syarth,. Jika salah satu syarth tidak dipenuhi, maka
belum juga menjadi tidak ada. Tidak kalah pentingnya ialah, tidak terdapatnya mani
yang ditetapkan untuk berlakunya hukum tersebut.39[7]

DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih
2. Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A

Hukum Taklifi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahsegala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan dan melimpahkan rohmat, hidayah dan inayahNya kepada penulis
sehingga penulis bias menyelesaikan makalahini dengan baik dan lancar.
Mengingat

kurangnya

kemampuan

dan

keterbatasan

penulis

dalam

menyelesaikan makalah ini, penulis meyakini bahwa tugas ini tidak dapat terselesaikan
tanpa

bimbingan

dan

bantuan

39[7] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A

dari

berbagai

pihak.

Atas bimbingan dan bantuan tersebut tiada yang dapat penulis ucapkan selain ucapan
terima kasih, kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat dan segala barokah-Nya
2. Dosen Pembimbing, Muh. Latief Fauzi, S.H.I., M.S.I., M.A
3. Seluruh pihak yang membantu yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Demikian penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dan
bermanfaat bagi kita semua.
Semoga makalah ini dapat kita ambil manfaatnya bersama, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Surakarta,29 Mei 2013


Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I : PEMBUKAAN...................................................................................................

A. Latar Belakang....................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................................
A. Pengertian Hukum Taklifi...................................................................................................
B. Pembagian Hukum Taklifi..................................................................................................
BAB III : PENUTUP.........................................................................................................
Kesimpulan..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam islam terdapat berbagai macam hukum, diantaranya adalah hukum taklifi.
Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan

meninggalkannya. Begitu juga terdapat macam-macam hukum taklifi. Makalah ini akan
menjelaskan pengertian dari macam-macam hukum tersebut.
B.
1.
2.

Rumusan masalah
Apa pengertian Hukum Taklifi?
Bagaimana pembagaian Hukum Taklifi?

C.
1.
2.

Tujuan penulisan
Menjelaskan pengertian Hukum Taklifi.
Menjelaskan pembagaian Hukum Taklifi.

http://evendimuhtar.blogspot.co.id/2013/06/hukum-taklifi.html

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya.
1. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:








"Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi
Rahmat." (QS. An-Nur : 56)

2. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:

"Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan bathil." (QS. AlBaqarah : 188)
3. Contoh firman Allah yang bersifat memilih:

"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar." (QS. Al-Baqarah : 187)
Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:
1. Ijab
Yaitu tuntutan syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Orang yang meninggalkan dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur :
56



....

artinya:
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..."
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut ahli para Ushul Fiqh
melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila
kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub,
sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan sholat dan membayar zakat),
disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab menurut ulama Ushul Fiqh, terkait
dengan khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat
dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah.
2. Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,
melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya.
Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan

itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam
surat Al-Baqarah : 282. Allah SWT berfirman:











....

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."
Lafadz faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya
mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu
kepada nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah : 283):

...





....





Artinya:
"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya..."
Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa
perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu allah menyatakan jika ada sikap saling
mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah
seperti ini disebut dengan nadb, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan
itu, yaitu menuliskan utang-piutang disebut mandub, dan akibat dari tuntutan Allah di
atas disebut nadb.
3. Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu
disebut dengan haram. Misalnya firman Allah dalam surat Al-An'am : 151:

...

....




Artinya:
"...Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah..."
Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut harman, dan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut
dengan haram.

4. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan
melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari
tuntutan seperti ini disebut juga karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb.
Misalnya hadits Nabi Muhammad SAW:


Artinya:
"perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak." (H.R. Abu Daud, Ibn Majah,
Al-Baihaqi dan Hakim).
khithab hadits ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan
karahah, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab ini disebut makruh.
5. Ibahah
Yaitu khithab Allah yang bersifat memilih, mengandung pilihan antara berbuat atau
tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah,
dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surat
Al-Maidah : 2


...
....


Artinya:
"Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu."
Ayat ini juga menggunakan lafadz amr (perintah) yang mengandung ibahah
(boleh), karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab
seperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini juga disebut dengan ibahah,
sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
B. Pembagian Hukum Taklifi
1. Wajib
Para ulam Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari
berbagai segi, antara lain:

a. Dilihat dari segi waktu.


Wajib al-muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syari' untuk dilaksanakan oleh mukallaf
tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman
bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan
dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan
saja.
Wajib al-mu'aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada
waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib (Shubuh,
Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, dan 'Isya') harus dikerjakan pada waktunya, demikian juga
puasa Ramadhan. Waktu di sini merupakan bagian dari kewajiban itu sendiri, sehingga
apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.
b. Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan.
Wajib al-muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara'
dengan ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah
raka'at dalam shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah, atau
dikurangi.
Wajib ghairu al-muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara' ukuran dan
jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin umat untuk
menentukannya. Misalnya, penentuan hukuman dalam jarimah ta'zir (tindak pidana di
luar hudud dan qishash) yang diserahkan kepada para qadhi (hakim). Dalam penentuan
hukuman ini, para hakim harus berorientasi pada tercapainya tujuan syara' dalam
mensyari'atkan suatu hukuman dan bersifat adil.
c. Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban.
Wajib al-'aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf.
Misalnya, kewajibab melaksanakan shalat bagi setiap orang mukallaf.
Wajib al-kifa'i adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi
apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi
dan orang yang tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya,
pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amr ma'ruf nahi munkar, dan menjawab
salam ketika berkumpul bersama orang banyak.
Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa berubah menjadi wajib al-'aini apabila yang
bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Misalnya, menolong

orang yang tenggelam di laut atau di sungai merupakan wajib al-kifa'i, karena semua
orang yang menyaksikannya wajib menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang
yang menyaksikan peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang, maka waib alkifa'i yang dikenakan kepada sejumlah orang itu berubah menjadi wajib al-'aini bagi
orang yang pandai berenang tersebut.
d. Dilihat dari segi kandungan perintah.
Wajib al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan,
seperti sholat, puasa, dan harga barang dalam jual beli. Shalat dan puasa dikerjakan
yang pada dirinya adalah wajib, dan harga barang yang dibeli itu juga wajib ada dan
wajib diserahkan.
Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang mukallaf.
Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah:89, mengemukakan bahwa kafarat
sumpah itu terdiri atas, memberi makan fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka,
atau memerdekakan budak.
2. Mandub
Para ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi 3 macam, antara lain:
a. Sunnah al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan
tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Di antaranya
adalah shalat-shalat sunah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat
fardu'), seperti shalat sunah dua raka'at sebelum shubuh, dua raka'at sebelum dan setelah
Zhuhur, dan berkumur-kumur waktu berwudhu', adzan, berjama'ah.
b. Sunnah ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila ditinggalkan
tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar'i, seperti bersedekah, shalat
sunnah dhuha dan puasa setiap hari Senin dan Kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut
para ulama fiqh disyari'atkan, tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW. Sunah
seperti ini disebut juga dengan istilah mushtahab atau nafilah.
c. Sunnah al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW,
sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa

dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap dan tindaktanduk Rasulullah SAW sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan, dan cara
berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti
apa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka disebut sunah Za'idah.
3. Haram
a. Haram li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan Syar'i tentang
keharamannya. Misalnya memakan bangkai, babi, berjudi, meminum minuman keras,
berzina, membunuh dan memakan harta anak yatim. Keharaman dalam contoh ini
adalah keharaman pada zat (esensi) pekerjaan itu sendiri. Akibatnya, apabila melakukan
suat transaksi dengan sesuatu yang haram li dzathihi ini, hukumnya menjadi batal, dan
tidak ada akibat hukumnya.
b. Haram li ghairihi
Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyari'atkan, tetapi dibarengi oleh sesuatu yang
bersifat mudarat bagi manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanya mudarat
tersebut. Misalnya, melaksanakan shalat dengan pakaian hasil ghashab (mengambil
barang orang lain tanpa izin), melakukan transaksi jual beli ketika suara adzan shalat
Jum'at telah berkumandang, pernikahan tahalal, puasa di Hari Raya Idul Fitri.
4. Makruh
Ulama hanafiyyah membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu:
a. Makruh Tanzil
Yaitu sesuatu yang dituntut Syar'i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntunan yang
tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama hanafiyyah ini sama dengan pengertian
makruh di kalangan Jumhur Ulama. Misalnya, memakan daging kuda yang
dikemukakan di atas.
b. Makruh Tahrim
Yaitu tuntutan Syar'i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui
cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai
sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki, sebagaimana terdapat dalam sabda
Rasulullah SAW:

"Keduanya ini (emas dan sutera) haram bagi umatku yang laki=laki dan halal bagi
wanita." (H.R. Abu Daud, An-Nasai', Ibn Majah, dan Ahmad Ibn Hanbal).
5. Mubah
Pembagian mubah menurut ulama Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya dengan
mudarat dan manfaat, antara lain:
a. Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat,
seperti makan, minum, berpakaian dan berburu.
b. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan
ini sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini di antaranya, melakukan
sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak
ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka
seseorang akan meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini makan
daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk mubah. Atau sesuatu yang
pada dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi karena darurat, maka boleh ditinggalkan,
seperti berbuka puasa bagi orang hamil, musafir dan ibu yang menyusui anaknya.
Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut
syara', tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah.
Misalnya mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam, seperti mengawini bekas istri
ayah (ibu tiri) dan mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian
datang syari'at islam yang mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa
orang yang telah melakukannya sebelum islam dimaafkan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.

Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya.
Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:Ijab, Nadb, Ibahah,

2.
a.
1)
2)

Karahah, Tahrim.
Pembagian Hukum Taklifi
Wajib
Dilihat dari segi waktu, yaitu wajib al-muthlaq dan wajib al-muaqqat.
Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, yaitu wajib al-muhaddad dan wajib ghairu

al-muhaddad.
3) Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, yaitu wajib al-aini dan wajib al4)
b.
c.
1)
2)
d.
1)
2)
e.

kifai.
Dilihatdarisegikandunganperintah, yaituwajibal-muayyandanwajib al-mukhayyar.
Mandub
1) Sunah al-Muakkadah (sunah yang sangatdianjurkan).
2) Sunahghairu al-Muakkadah (sunahbiasa).
Haram
Haram li dzatihi.
Haram li ghairihi.
Makruh
Makruhtanzih.
Makruhtahrim.
Mubah.

DAFTAR PUSTAKA
Syafei, Rahmat. 2010. IlmuUshulFiqihcet.IV. Bandung: CV PustakaSetia.
Haroen, Nasrun. 1996. UshulFiqih 1. Jakarta: Logos.

Anda mungkin juga menyukai