Disusun Oleh:
Kelompok 10
1. Muhammad Arifin (11180490000006)
2. Destry Putri Pusbandari (11180490000052)
3. Hilmi Nizar Saputro (11180490000056)
4. Nur Fitriyanti (11180490000079)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, karena hanya atas
hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas makalah walaupun hanya dalam
bentuk sederhana ini.
Penyusun menyadari bahwa sangat banyak tantangan dan rintangan yang di hadapi
dalam penulisan makalah ini, namun berkat bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak
akhirnya semua itu dapat kami hadapi. Untuk itu melalui kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu kami
baik dalam materi maupun material. Semoga segala bantuan yang telah di berikan akan
mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Kelompok 10
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 2
C. Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................. 3
A. Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir................................................3
B. Kaidah Cabang Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir ....................................................4
C. Implementasi Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir di LKS........................................... 8
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 11
A. Kesimpulan...........................................................................................................11
B. Saran..................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan peristiwa yang
melengkapinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah
(alamiah), sehingga tidak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan manusia.
Islam sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal
(RahmatanLial’-Alamin), tidak melepaskan perhatiannya daripada unsur-unsur
kesulitan yang dialami oleh para umatnya. Islam memberikan keringanan hukum
pada objek hukum yang diniali sulit.
Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwasanya kesulitan-kesulitan yang
dialami oleh seorang Muslim, baik dalam kontruksi ritual (ibadah) maupun juga
sosial (mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada objek
yang dibebankan kepadanya. Apabila seorang Muslim dalam menjalankan suatu
kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi
serta kemudahan-kemudahannya.
Dalam penggalian Hukum Islam, terdapat salah satu kaidah “kesulitan
mendatangkan kemudahan”, yang dikenal dengan nama : ϴ ϴϴ ࠅ⺁ ϴ δϴ
Qa’idah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas dispensasi
syar’i yang didasari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah fiqhiyah, Qa’idah ini
juga menjadi Qa’idah ushuliyahai-ammah. Bahkan menjadi salah satu Qa’idah
yang memiliki sifat qath’y, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi landasan
tumpuannya sangat sempurna.
Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu
yang menjatuhkanya pada kesulitan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter
hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari “pemilik
syari’ah yang bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah Islam.
Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara tiba-tiba dan kontinyu. Seseorang yang
menderita sakit berdasarkan perkiraan medis yang tidak memungkinkan sembuh
secara normal atau biasa, maka akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan
beberapa kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut dapat siatasi dengan cara
1
memberi dispensasi, mengganti atau mengubahnya. Sedangkan orang yang
berpergian jauh berdasarkan kebiasaan mengalami kelelahan dan karenanya berat
dalam melaksanakan kewajiban, itupun dapat diatasi dengan memberikan
keringanan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir?
2. Apa saja kaidah-kaidah cabang dari Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir?
3. Bagaimana Implementasi Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir dalam Lembaga
Keuangan Syariah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir.
2. Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang dari Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir.
3. Untuk mengetahui Implementasi Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir dalam
Lembaga Keuangan Syariah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 55.
2
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin, 2015), hlm. 84.
3
M. Maftuhin Ar-Raudli, Kaidah Fiqih Menjawab Problematika Sepanjang Zaman, (Yogyakarta:
Gava Media, 2015), hlm. 142.
3
gawat. Kaidah pokok ketiga ini menempati posisi sangat penting dalam
hukum-hukum agama Islam secara keseluruhan.4
1) ϊ ⺁ Ϋ ϊ ⺁Ϋ ˸ϣ Ϋ
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila
suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”
4
M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Kaidah-Kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam, (Malang: UB
Press, 2017), hlm. 75-76.
4
harus diperhatikan dalam transaksi menggunakan kartu kredit itu, antara lain:
pemegang karu kredit tidak dibebani bunga jika seandainya dia terlambat
atau tidak bisa membayar kreditnya pada saat jatuh tempo. Pihak bank dapat
mengambil secara langsung dari rekening pengguna kartu kredit pada saat
jatuh tempo pembayaran sehingga terjadilah akad hiwalah. Syarat lain
adalah uang registrasi, administrasi, memperbarui, dan biaya jasa yang
dibebankan kepada pemegang kartu kredit ditentukan dengan nominal bukan
prosentase dari sedikit atau banyaknya nominal penggunaan uang dari kartu
kredit itu untuk belanja dan nominal biaya-biaya tersebut bisa berbeda-beda
sesuai dengan fasilitas dan fitur yang disediakan oleh bank melalui
macam-macam kartu kreditnya. Syarat lain adalah pihak bank semaksimal
mungkin dapat memastikan bahwa kartu kredit itu tidak digunakan
berbelanja membeli barang-barang yang tidak sesuai syariat, seperti membeli
minuman keras atau yang diharamkan lainnya.5
5
M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Kaidah-Kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam, (Malang: UB
Press, 2017), hlm. 108-110
6
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 62
5
Contohnya: Seseorang laki-laki yang berprofesi sebagai pedagang, maka
seringkali yang membeli dagangannya adalah perempuan yang terbuka
auratnya, maka dalam kondisi yang demikian tidak mungkin terhindar.
4) Ϋ 晦δϴ ΫϤ u a⺁ ϻ ug ϴ
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
6
Contohnya: Apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa
dia adalah saudara sekandung dari orang yang meninggal, kemudian setelah
diteliti dari kartu keluarganya, ternyata orang yang meninggal tersebut tidak
memiliki saudara. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan, dalam arti
tidak diakui perkataannya
7) Ϋ˯ DΫ ϤΫ Ϋ r ˴ ϻ ˸ ΫϞ Dϴ Ϋ r˴
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya”
8) ΫϞ Dϴ Ϋ r ˴ ϻ ˸ Ϋ˯ DΫ ϤΫ Ϋ r˴
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Kidah ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan
perbuatan hukum hukum tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang.
Contohnya: seorang pria dan wanita melakukan akad nikah, lalu selang
beberapa tahun mereka baru mengetahui bahwa diantara mereka memiliki
hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau sepersusuan yang
menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan tersebut harus dipisah dan
dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri.8
9) Ϋ ϴ Ϋ r ˴ ϻ ˸ ΫϊΫϤ ϴ Ϋ r˴
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya”
8
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 64-65
7
Contohnya: Seorang pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah
agen untuk dijual kembali, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari
karung, karena karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan
maksud tidak dimaafkan pada yang lain ialah seperti adanya cincin emas
yang didapatkan dari bawang tersebut dan diketahui bahwa cincin tersebut
adalah kepunyaan pemilik agen
9
M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Kaidah-Kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam, (Malang: UB
Press, 2017), hlm. 86-87
8
kontrak terlibat dalam kontrak terikat dengan semua kewajiban dan
konsekuensi yang timbul dari kesepakatan mereka. Dengan kata lain,
pihak-pihak yang terlibat tidak perlu memperbaharui ijab-kabul setelah
barang itu selesai. Inilah perbedaannya dengan kontrak murabahah kepada
pemesan pembelian, yang menghendaki tanda tangan kontrak jual-beli
melalui ijab kabul yang baru oleh pihak-pihak yang terlibat ketika
kepemilikan barang yang akan dijual diambil oleh institusi.
3) Bay’ bil Wafa’ (jual beli dengan tebusan). Mustafa Zarqa mengklaim bahwa
semua ulama mazhab Hanafi sejak abad ke-6 Hijriah menyetujui keabsahan
Bay’ bil wafa. Bay’ bil Wafa’ merupakan suatu jual beli barang dengan
hutang pada kreditur dengan syarat kapan saja si penjual (yang menjadi
peminjam uang dalam transaksi ini) membayar harga barang atau membayar
hutangnya, maka si pembeli berkewajiban mengembalikan barangnya itu
kepada pemilik barang. Ibnu Abidin mengilustrasikan kontrak ini sebagai
berikut: “Saya jual barang ini kepada Anda utang yang saya dengan syarat
kapan saja saya bayar utang itu, barang itu harus kembali ke tangan saya.
Mazhab hanafi membolehkan kontrak ini berpatokan pada prinsip bahwa
kebutuhan umum diperlakukan sebagai darurat dalam meringankan suatu
hukum ashl. Mazhab lainnya tidak mengakui keabsahan kontrak ini karena
memberi celah hukum bagi si pemberi pinjaman untuk mengambil manfaat
dari barang yang dijaminkan.
4) Kafalah bil-dark. Ketentuan Syariah lainnya yang didasarkan pada
kebutuhan Kafalah bil dark. Itu merupakan jaminan dari penjual, bahwa dia
akan mengembalikan harga barang jika barang itu diambil alih oleh orang
lain. Misalnya, seseorang membeli suatu barang dan meminta agar
penjualnya menjamin pengembalian harga barang itu jika ada orang lain
yang mengklaim sebagai pemilik barang itu, dan sebagai konsekuensinya
orang tersebut mengambil barangnya dari si pembeli10
10
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin, 2015), hlm.94-98
9
yaitu: Mencapai kemudahan dengan pengurangan kesulitan. Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) bank memiliki setidaknya terdapat empat pola dalam pembiayaan
pada bank Syariah, yaitu: Pertama, bagi hasil untuk investment financing; kedua,
pola jual beli untuk trading financing; ketiga, pola sewa untuk trade financing
dan; keempat, pola pinjaman untuk dana talangan. Proses penyaluran dana dari
bank kepada nasabah, pihak perbankan akan meminta kepada calon nasabah
pembiayaan untuk melangkapi syarat yang telah ditetapkan oleh perbankan.
Dalam konteks Al-masyaqqoh tajlibut taisir, apabila dalam tahapan proses yang
dilakukan oleh pihak bank dan dalam pertimbangan pihak bank bahwa calon
nasabah tersebut akan menimbulkan kesulitan perbankan dan mengakibatkan
kerugian, maka pihak perbankan harus mengambil jalan yang lebih mudah untuk
menghidari kesulitan tersebut. Sebagai contoh dengan pertimbangan bank untuk
mengurangi porsi pembiyaan yang diajukan oleh calon nasabah untuk
memperkecil tingkat kerugian yang kemudian akan terjadi.11
11
Eja Armaz Hardi, “Kaidah Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir”, Nizham. Vol. 06 No. 02, 2018, hlm.
107
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kaidah cabang dari kaidah pokok ketiga ini, sebagian ahli Fikih
berpendapat bahwa kaidah ketiga ini memiliki cabang sekitar sembilan kaidah.
Sedangkan pendapat ahli yang lain hanya menyebutkan tujuh kaidah yang
langsung berkaitan dengan permasalahan-permasalahan hukum ekonomi Islam.
B. Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
Hardi, Eja Armaz. 2018. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir. Nizham. 6 (2): 107.
Pudjihardjo, Muhammad dan Nur Faizin Muhith. 2017. Kaidah-Kaidah Fikih Untuk
Ekonomi Islam. Malang: UB Press.
12