Anda di halaman 1dari 15

Kaidah Cabang δ˸ϴ͉ 䇅 ⺁

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyyah


Dosen Pengampu:

Muh. Fudhail Rahman, M.A

Disusun Oleh:
Kelompok 10
1. Muhammad Arifin (11180490000006)
2. Destry Putri Pusbandari (11180490000052)
3. Hilmi Nizar Saputro (11180490000056)
4. Nur Fitriyanti (11180490000079)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, karena hanya atas
hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas makalah walaupun hanya dalam
bentuk sederhana ini.

Penyusun menyadari bahwa sangat banyak tantangan dan rintangan yang di hadapi
dalam penulisan makalah ini, namun berkat bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak
akhirnya semua itu dapat kami hadapi. Untuk itu melalui kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu kami
baik dalam materi maupun material. Semoga segala bantuan yang telah di berikan akan
mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt.

Dalam Penulisan makalah ini telah diupayakan kesempurnaannya, namun tidak


dapat dipungkiri masih banyak kekeliruan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami
nantikan dengan hati terbuka demi kesempurnaan penulisan makalah yang akan datang.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Jakarta, 20 Mei 2020

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 2
C. Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................. 3
A. Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir................................................3
B. Kaidah Cabang Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir ....................................................4
C. Implementasi Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir di LKS........................................... 8
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 11
A. Kesimpulan...........................................................................................................11
B. Saran..................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan peristiwa yang
melengkapinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah
(alamiah), sehingga tidak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan manusia.
Islam sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal
(RahmatanLial’-Alamin), tidak melepaskan perhatiannya daripada unsur-unsur
kesulitan yang dialami oleh para umatnya. Islam memberikan keringanan hukum
pada objek hukum yang diniali sulit.
Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwasanya kesulitan-kesulitan yang
dialami oleh seorang Muslim, baik dalam kontruksi ritual (ibadah) maupun juga
sosial (mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada objek
yang dibebankan kepadanya. Apabila seorang Muslim dalam menjalankan suatu
kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi
serta kemudahan-kemudahannya.
Dalam penggalian Hukum Islam, terdapat salah satu kaidah “kesulitan
mendatangkan kemudahan”, yang dikenal dengan nama : ϴ ϴϴ ࠅ⺁ ϴ δϴ
Qa’idah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas dispensasi
syar’i yang didasari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah fiqhiyah, Qa’idah ini
juga menjadi Qa’idah ushuliyahai-ammah. Bahkan menjadi salah satu Qa’idah
yang memiliki sifat qath’y, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi landasan
tumpuannya sangat sempurna.
Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu
yang menjatuhkanya pada kesulitan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter
hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari “pemilik
syari’ah yang bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah Islam.
Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara tiba-tiba dan kontinyu. Seseorang yang
menderita sakit berdasarkan perkiraan medis yang tidak memungkinkan sembuh
secara normal atau biasa, maka akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan
beberapa kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut dapat siatasi dengan cara

1
memberi dispensasi, mengganti atau mengubahnya. Sedangkan orang yang
berpergian jauh berdasarkan kebiasaan mengalami kelelahan dan karenanya berat
dalam melaksanakan kewajiban, itupun dapat diatasi dengan memberikan
keringanan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir?
2. Apa saja kaidah-kaidah cabang dari Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir?
3. Bagaimana Implementasi Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir dalam Lembaga
Keuangan Syariah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir.
2. Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang dari Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir.
3. Untuk mengetahui Implementasi Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir dalam
Lembaga Keuangan Syariah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir


Al-Masyaqqah secara etimologi adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan,
kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan at-taysir secara etimologis berarti
kemudahan. Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka
syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.1 Maksudnya adalah kelonggaran atau keringanan
hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada
qaidah hukum. Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang didalamnya
mengandung unsur-unsur keterpaksaan.2

Masyaqqah yang terdapat dalam syaria’at Islam sebenarnya adalah


masyaqqah yang wajar. Namun suatu ketika bisa menjadi sulit dan berat karena
ada sebab tertentu maka Allah memberikan keringanan dan keluasan kepada
hamba-hambanya. Misalkan puasa pada siang hari bulan Ramadhan yang asalnya
adalah sebuah masyaqqah yang ringan, namun saat sakit atau safar akan menjadi
berat. Maka dari itu Allah memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak
berpuasa saat itu, tapi wajib menggantinya pada waktu lain.3

Kaidah ini berlaku dalam kemudahan-kemudahan (rukhshah) yang terdapat


di dalam syariat Islam. Kaidah ini berlaku dalam semua kondisi sempit dan
kesulitan. Yang dimaksud dengan rukhshah adalah hukum-hukum syariat yang
telah ditetapkan kebolehannya walaupun ada dalil yang melarangnya demi
memberikan kemudahan atau keluasan sewaktu dalam kondisi sulit, sempit, dan

1
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 55.
2
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin, 2015), hlm. 84.
3
M. Maftuhin Ar-Raudli, Kaidah Fiqih Menjawab Problematika Sepanjang Zaman, (Yogyakarta:
Gava Media, 2015), hlm. 142.

3
gawat. Kaidah pokok ketiga ini menempati posisi sangat penting dalam
hukum-hukum agama Islam secara keseluruhan.4

B. Kaidah Cabang Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir


Berkaitan dengan kaidah cabang dari kaidah pokok ketiga ini, sebagian ahli
Fikih berpendapat bahwa kaidah ketiga ini memiliki cabang sekitar sembilan
kaidah. Sedangkan pendapat ahli yang lain hanya menyebutkan tujuh kaidah yang
langsung berkaitan dengan permasalahan-permasalahan hukum ekonomi Islam,
yaitu sebagai berikut:

1) ϊ ⺁ Ϋ ϊ ⺁Ϋ ˸ϣ Ϋ
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila
suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”

Misalnya keharusan menangguhkan orang yang tidak bisa membayar


hutang sampai dia mampu membayar atau diperbolehkan menjual barang
yang dijadikan gadai jika ada (ini adalah contoh darikalimat “jika perkara
itu telah sempit maka ia akan menjadi luas”). Sebaliknya, ada keharusan
untuk segera membayar hutang yang telah jatuh tempo bagi orang yang
memiliki uang untuk membayarnya (ini contoh dari kalimat “ketika luas
maka menjadi sempit”).

Termasuk dalam penerapan kaidah cabang ini adalah diperbolehkannya


penggunaan alat tukar menukar selain emas dan perak seperti zaman
Rasulullah Saw. Pada zaman sekarang, dimana alat tukar menukar bisa
berupa uang kertas dan juga dalam bentuk lain seperti penggunaan cek dan
sejenisnya sebagai alat jual beli.

Umar Abdullah Kamil juga menggunakan kaidah cabang ini sebagai


kaidah atas diperbolehkannya penggunaan kartu kredit dengan beberapa
syarat dan penyesuaian agar sejalan dengan aturan syariah atau fikih.
Penggunaan kartu kredit itu merupakan perluasan dari penggunaan alat tukar
dalam jual beli lain, seperti uang kertas, cek, dan sejenisnya yang diberikan
kelonggaran dalam aturan Fikih. Akan tetapi, terdapat beberapa syarat yang

4
M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Kaidah-Kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam, (Malang: UB
Press, 2017), hlm. 75-76.

4
harus diperhatikan dalam transaksi menggunakan kartu kredit itu, antara lain:
pemegang karu kredit tidak dibebani bunga jika seandainya dia terlambat
atau tidak bisa membayar kreditnya pada saat jatuh tempo. Pihak bank dapat
mengambil secara langsung dari rekening pengguna kartu kredit pada saat
jatuh tempo pembayaran sehingga terjadilah akad hiwalah. Syarat lain
adalah uang registrasi, administrasi, memperbarui, dan biaya jasa yang
dibebankan kepada pemegang kartu kredit ditentukan dengan nominal bukan
prosentase dari sedikit atau banyaknya nominal penggunaan uang dari kartu
kredit itu untuk belanja dan nominal biaya-biaya tersebut bisa berbeda-beda
sesuai dengan fasilitas dan fitur yang disediakan oleh bank melalui
macam-macam kartu kreditnya. Syarat lain adalah pihak bank semaksimal
mungkin dapat memastikan bahwa kartu kredit itu tidak digunakan
berbelanja membeli barang-barang yang tidak sesuai syariat, seperti membeli
minuman keras atau yang diharamkan lainnya.5

2) ΫODQϴ ϴΫ O έΎϣ O΍晦⺁ Ϋ


“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”

Contohnya: seseorang yang menggasab harta orang lain, wajib


mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut telah rusak atau hilang
dan tidak mungkin bisa untuk dikembalikan kepada pemilikny, maka dia
wajib menggantinya dengan harga yang sama. Demikian juga halnya dengan
orang yang meminjam suatu benda, kemudia benda itu hilang (misalnya
buku), maka penggantinya adalah buku yang sama baik judulnya,
penerbitnya, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut
dengan harga yang ada di pasaran.6

3) aaa r晦˸ aaΫ˸ ί ή ϴ ᦙΫ δ ϻ ˸


“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan”

5
M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Kaidah-Kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam, (Malang: UB
Press, 2017), hlm. 108-110
6
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 62

5
Contohnya: Seseorang laki-laki yang berprofesi sebagai pedagang, maka
seringkali yang membeli dagangannya adalah perempuan yang terbuka
auratnya, maka dalam kondisi yang demikian tidak mungkin terhindar.

4) Ϋ 晦δϴ ΫϤ u a⺁ ϻ ug ϴ
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”

Kaidah ini digunakan untuk menjaga keringanan-keringanan di dalam


hukum agar tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau
dosa). Contohnya: seseorang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat,
misalnya untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang
barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh
menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. Seperti orang
yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang dan kelaparan, kemudian ia
memakan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang
menggunakan rukhshah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi
tersebut.

5) Ϋί ࠅδϴ ϴΫ O ϴϴΫϴήϴ ΕO΍晦⺁ Ϋ


“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka
kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”

Contohnya seseorang berkata: “Saya wakafkan tanah ini kepada anak


Kyai Ahmad”. Padahal anak Kyai Ahmad tersebut sebenarnya sudah lama
meninggal, dan yang ada hanyalah cucunya. Maka dalam hal ini, kata “anak”
diartikan sebagai “cucunya”, ini berarti menggunakan kata kiasan, yaitu
bukan kata yang sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin jika mewakafkan
harta kepada orang yang sudah meninggal.7

6) έδi ΫϞ˴ ϴ O δaΫ O΍晦⺁ Ϋ


“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut
ditinggalkan”

A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 63-64


7

6
Contohnya: Apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa
dia adalah saudara sekandung dari orang yang meninggal, kemudian setelah
diteliti dari kartu keluarganya, ternyata orang yang meninggal tersebut tidak
memiliki saudara. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan, dalam arti
tidak diakui perkataannya

7) Ϋ˯ DΫ ϤΫ Ϋ r ˴ ϻ ˸ ΫϞ Dϴ Ϋ r˴
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya”

Contohnya: Orang yang ingin menyewa rumah diharuskan membayar


uang muka oleh pemilik rumah tersebut. Apabila sudah habis pada waktu
penyewaan dan dia ingin melanjutkan sewaan berikutnya, maka dia tidak
perlu membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya untuk
memperpanjang izin perusahaaa, maka seharusnya tidak diperlukan lagi
persyaratan-persyaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya saat
pertama kali.

8) ΫϞ Dϴ Ϋ r ˴ ϻ ˸ Ϋ˯ DΫ ϤΫ Ϋ r˴
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”

Kidah ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan
perbuatan hukum hukum tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang.
Contohnya: seorang pria dan wanita melakukan akad nikah, lalu selang
beberapa tahun mereka baru mengetahui bahwa diantara mereka memiliki
hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau sepersusuan yang
menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan tersebut harus dipisah dan
dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri.8

9) Ϋ ϴ Ϋ r ˴ ϻ ˸ ΫϊΫϤ ϴ Ϋ r˴

“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya”

8
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 64-65

7
Contohnya: Seorang pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah
agen untuk dijual kembali, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari
karung, karena karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan
maksud tidak dimaafkan pada yang lain ialah seperti adanya cincin emas
yang didapatkan dari bawang tersebut dan diketahui bahwa cincin tersebut
adalah kepunyaan pemilik agen

C. Implementasi Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir dalam LKS


Terdapat beberapa akad dalam penerapan kaidah al-musyaqqah tajlib at-taisir,
antara lain:
1) Mudharabah, yaitu misalkan dalam akad atau transaksi mudharabah,
pekerja/pelaku usaha (mudharib) (atau nasabah dalam konteks bank yang
memberikan modal dengan akad mudharabah) diberikan kemudahan untuk
mempergunakan modal tersebut guna memenuhi kebutuhan dirinya sendiri
jika memang dia dalam kondisi kesulitan karena bepergian dan kehabisan
bekal sementara yang ada hanyalah uang modal mudharabah saja. Maka
dalam kondisi seperti ini mudharib diperbolehkan menggunakan modal
tersebut, meskipun pada dasarnya uang modal tidak boleh dibelanjakan
selain untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi pelaku
usaha atau pekerja (mudharib)9
2) Kontrak Istisna’. Dalam kontrak ini, seorang produsen setuju untuk
memproduksi produk tertentu dengan karakteristik tertentu yang disepakati
sebelumnya. Dengan istisna’, seseorang dapat menghubungi seorang
pembuat sepatu dengan kesepakatan harga tertentu. Kontrak ini sama seperti
Salam, yaitu membeli barang yang belum tidak ada keberadaanya. Namun
objek istisna’ pada umumnya adalah barang-barang yang dideskripsikan oleh
klien. Kontrak istisna’ mengikat pihak-pihak yang terlibat jika syarat-syarat
tertentu dipenuhi, termasuk spesifikasi jenis, bentuk, kualitas dan kuantitas
barang harus diketahui, jika diperlukan maka waktu pengiriman harus
ditentukan. Jika barang yang yang diterima tidak sesuai dengan permintaan
maka konsumen memiliki hak untuk menerima atau menolak barang tersebut.
Karena sifatnya yang mengikat, maka pihak-pihak yang terlibat dalam

9
M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Kaidah-Kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam, (Malang: UB
Press, 2017), hlm. 86-87

8
kontrak terlibat dalam kontrak terikat dengan semua kewajiban dan
konsekuensi yang timbul dari kesepakatan mereka. Dengan kata lain,
pihak-pihak yang terlibat tidak perlu memperbaharui ijab-kabul setelah
barang itu selesai. Inilah perbedaannya dengan kontrak murabahah kepada
pemesan pembelian, yang menghendaki tanda tangan kontrak jual-beli
melalui ijab kabul yang baru oleh pihak-pihak yang terlibat ketika
kepemilikan barang yang akan dijual diambil oleh institusi.
3) Bay’ bil Wafa’ (jual beli dengan tebusan). Mustafa Zarqa mengklaim bahwa
semua ulama mazhab Hanafi sejak abad ke-6 Hijriah menyetujui keabsahan
Bay’ bil wafa. Bay’ bil Wafa’ merupakan suatu jual beli barang dengan
hutang pada kreditur dengan syarat kapan saja si penjual (yang menjadi
peminjam uang dalam transaksi ini) membayar harga barang atau membayar
hutangnya, maka si pembeli berkewajiban mengembalikan barangnya itu
kepada pemilik barang. Ibnu Abidin mengilustrasikan kontrak ini sebagai
berikut: “Saya jual barang ini kepada Anda utang yang saya dengan syarat
kapan saja saya bayar utang itu, barang itu harus kembali ke tangan saya.
Mazhab hanafi membolehkan kontrak ini berpatokan pada prinsip bahwa
kebutuhan umum diperlakukan sebagai darurat dalam meringankan suatu
hukum ashl. Mazhab lainnya tidak mengakui keabsahan kontrak ini karena
memberi celah hukum bagi si pemberi pinjaman untuk mengambil manfaat
dari barang yang dijaminkan.
4) Kafalah bil-dark. Ketentuan Syariah lainnya yang didasarkan pada
kebutuhan Kafalah bil dark. Itu merupakan jaminan dari penjual, bahwa dia
akan mengembalikan harga barang jika barang itu diambil alih oleh orang
lain. Misalnya, seseorang membeli suatu barang dan meminta agar
penjualnya menjamin pengembalian harga barang itu jika ada orang lain
yang mengklaim sebagai pemilik barang itu, dan sebagai konsekuensinya
orang tersebut mengambil barangnya dari si pembeli10

Berkaitan dengan implementasi kaidah al-masyaqqoh tajlib at-taisir dalam


perkonomian Islam dan IJKS (Industri Jasa Keuangan Syariah) di Indonesia
setidaknya terdapat bentuk kemudahan yang dapat diaplikasikan, salah satunya

10
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin, 2015), hlm.94-98

9
yaitu: Mencapai kemudahan dengan pengurangan kesulitan. Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) bank memiliki setidaknya terdapat empat pola dalam pembiayaan
pada bank Syariah, yaitu: Pertama, bagi hasil untuk investment financing; kedua,
pola jual beli untuk trading financing; ketiga, pola sewa untuk trade financing
dan; keempat, pola pinjaman untuk dana talangan. Proses penyaluran dana dari
bank kepada nasabah, pihak perbankan akan meminta kepada calon nasabah
pembiayaan untuk melangkapi syarat yang telah ditetapkan oleh perbankan.
Dalam konteks Al-masyaqqoh tajlibut taisir, apabila dalam tahapan proses yang
dilakukan oleh pihak bank dan dalam pertimbangan pihak bank bahwa calon
nasabah tersebut akan menimbulkan kesulitan perbankan dan mengakibatkan
kerugian, maka pihak perbankan harus mengambil jalan yang lebih mudah untuk
menghidari kesulitan tersebut. Sebagai contoh dengan pertimbangan bank untuk
mengurangi porsi pembiyaan yang diajukan oleh calon nasabah untuk
memperkecil tingkat kerugian yang kemudian akan terjadi.11

11
Eja Armaz Hardi, “Kaidah Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir”, Nizham. Vol. 06 No. 02, 2018, hlm.
107

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Makna dari kaidah ϴΫ ϴ ϴ Ϋࠅ⺁ ϴ δϴ adalah “kesulitan menyebabkan adanya


kemudahan”. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka
syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran. Maksudnya adalah kelonggaran atau keringanan hukum
yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada qaidah
hukum.

Adapun kaidah cabang dari kaidah pokok ketiga ini, sebagian ahli Fikih
berpendapat bahwa kaidah ketiga ini memiliki cabang sekitar sembilan kaidah.
Sedangkan pendapat ahli yang lain hanya menyebutkan tujuh kaidah yang
langsung berkaitan dengan permasalahan-permasalahan hukum ekonomi Islam.

Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah terdapat empat pola


dalam pembiayaan pada bank Syariah, yaitu: Pertama, bagi hasil untuk
investment financing; kedua, pola jual beli untuk trading financing; ketiga, pola
sewa untuk trade financing dan; keempat, pola pinjaman untuk dana talangan.

B. Saran

Dengan terselesaikannya makalah ini, kami berharap pembaca dapat


memberi kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah selanjutnya
bisa lebih baik lagi, dan pembaca bisa membaca lebih banyak lagi tentang kaidah
cabang ϴΫ ϴ ϴ Ϋࠅ⺁ ϴ δϴ pada buku-buku referensi lainnya agar bisa memahami
lebih dalam tentang materi ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ar-Raudli, M. Maftuhin. 2015. Kaidah Fiqih Menjawab Problematika Sepanjang


Zaman. Yogyakarta: Gava Media.

Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin: Lembaga


Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin.

Djazuli,Ahmad. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Prenadamedia Group.

Hardi, Eja Armaz. 2018. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir. Nizham. 6 (2): 107.

Pudjihardjo, Muhammad dan Nur Faizin Muhith. 2017. Kaidah-Kaidah Fikih Untuk
Ekonomi Islam. Malang: UB Press.

12

Anda mungkin juga menyukai