Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

HAD AL- QADZAF

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadist Ahkam

Dosen Pengampu : Dr. Fuad Thohari M. Ag

Disusun Oleh Kelompok 4 :

1. Dinda Annis Fitria Setiawan 11200480000043


2. Felicia Dzurriyatul Auliya 11200480000048
3. Khalifah Azzahra Kautsar 11200480000052
4. Sholahuddin Rafi Yubistira 11200480000132

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami selaku tim penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“ Had Al-Qadzaf” dengan lancar dan baik dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Hadist
Ahkam pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama menyusun tugas ini, tim penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak tim penulis tidak akan bisa menyelesaikan tugas ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada :

1. Allah SWT. karena tanpa ridho, rahmat, serta karunianya tim penulis tentu tidak akan
bisa menyelesaikan tugas ini.
2. Bapak. Dr. Fuad Thohari M. Ag selaku dosen mata kuliah Hadist Ahkam telah
membimbing kami dalam menyelesaikan tugas ini.
3. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil agar
kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya.

Kami selaku tim penulis menyadari sebagai manusia tidak akan pernah terlepas dari
kesalahan maupun kekeliruan baik dalam berpikir maupun bertindak, untuk itu kami
mengharapkan kritik membangun dan saran bagi pembaca makalah ini. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan juga sebagai bahan referensi,
serta semoga Allah SWT memberi rahmat bagi kita semua.

Ciputat, 10 September2021

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................I

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG.................................................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................3

C. TUJUAN PENULISAN...............................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................................4

A. HAD..............................................................................................................................................4
1. DALIL AL-QUR’AN TENTANG HAD.................................................................................4
2. DALIL HADIS TENTANG HAD...........................................................................................5
3. PENGERTIAN HAD...............................................................................................................5

B. AL-QADZAF...............................................................................................................................7
1. DALIL ALQUR’AN TENTANG QADZAF...........................................................................7
2. DALIL HADIS TENTANG AL-QADZAF.............................................................................8
3. PENGERTIAN QADZAF.....................................................................................................11
4. DASAR HUKUM QADZAF.................................................................................................13
5. UNSUR-UNSUR JARIMAH QADZAF................................................................................14
6. RUKUN JARIMAH QADZAF..............................................................................................16
7. PEMBUKTIAN DALAM QADZAF.....................................................................................18
8. KESAKSIAN DALAM QADZAF........................................................................................18
9. HUKUMAN PELAKU QADZAF.........................................................................................22
10. PRINSIP ASASI YANG MENDASAR KETENTUAN HUKUM HAD AL-QADZAF.......22

C. PENDAPAT PARA ULAMA TERKAIT QADZAF.....................................................................23

D. PERBANDINGAN QADZAF DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI


INDONESIA............................................................................................................................................24

BAB 3 PENUTUP....................................................................................................................................27

A. KESIMPULAN................................................................................................................................27

B. KRITIK DAN SARAN....................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hadis merupakan sumber syariat dan ajaran yang memiliki posisi yang penting dan
sentral dalam agam Islam. Hadist menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an al-karim yang
dijadikan sebagai pedoman hidup bagi kaum muslimin. Keharusan mengikuti hadis bagi umat
Islam sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an baik berupa perintah maupun
larangan-Nya,. Oleh karena itu, Hadis Nabi Muhammad secara fundamental mempunyai fungsi
dan peran sebagai penjelas dari Al-Qur’an, yaitu hadis merupakan penjelas bagi ayat ayat Al-
Qur’an yang msih samar, mengkrucutkan yang masih global, membatasi yang mutlak,
mengkhususkan yang umum, serta menjelaskan maksud dan kandungan dari ayat-ayat Al-
Qur’an.1

Islam adalah agama samawi dengan system hidup yang selaras dengan perintah Allah
SWT dalam Wahyu-Nya dan sejalan pula dengan tuntutan Rasullah SAW dalam Sunnah. Maka
dari itu dalam menjalankan kehidupanya manusia berpedoman pada Al-qur’an dan hadis. Selain
itu, umat muslim diwajibkan untuk dapat menggunakan akal dalam setiap langkah dan perilaku
sebagai bahan pertimbangan, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan
dengan perbuatan yang disalahkan.

Dapat kita ketahui bersama bahwa dalam syariat Islam ada enam aspek yang menjadi
pilar syariat yang harus dilindungi dan dipelihara sebagai penunjang keselamatan umat. Enam
aspek tersebut adalah : agama, jiwa, akal, harta, nasab dan kehormatan.2 Syariat Islam diturunkan
untuk melindungi harkat dan martbat manusia. Setiap perilaku yang merendahkan harkat dan
martabat manusia, baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat tentu dilarangan oleh
Allah SWT.3 Perbuatan-perbuatan yang dapat menurunkan harkat dan martabat manusia serta
menimbulkan bahaya jiwa, harta, keturunan, dan akal adalah jarimah atau tindak pidana
(perbuatan dosa, perbuatan salah atau kejahatan). Menurut istilah fuqaha’, jarimah adalah segala

1
Mukhamad N U R Rokim, “Metode Syarah Hadis Salim Bin Al-Idhali (Analsssisis Kitab Bahjah AlNadhirin Syarh
Riyadh Al-Salihin),” Jurnal Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (2017)
2
Al-Sayyid al-Bakri, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Jilid 4, hlm. 161
3
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hlm. 60.

1
larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan)
yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. 4 Untuk itu, syariat islam menetapkan sanksi
pidana (had) guna memelihara umat manusia dari berbagai perbuatan yang dapat menurunkan
harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia, diantaranya berupa : hudud, qishash dan
ta’zir. Ketiga hal tersebut merupakan jenis-jenis jarimah jika ditinjau dari segi sanksi yang telah
ditetapkan atau tidak oleh syara. Pertama, jarimah hudud, yaitu jarimah yang hukumannya telah
ditetapkan baik bentuk maupun jumahnya oleh syara’, contohnya jarimah zina. Kedua, jarimah
qishash, yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan oleh syara’ namun ada perbedaan
dengan jarimah hudud dalam hal pengampunannya, contohnya pembunuhan dan penganiayaan.
Ketiga, Jarimah ta’zir, yaitu jarimah yang hukumannya tidak ditetapkan baik bentuk maupun
jumlahnya oleh syara’ melainkan diberikan kepada negara kewenangannya untuk
menetapkannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.

Dalam makalah kali ini, kita akan mengupas secara tuntas dan terperinci sanksi pidana
(had) dari salah satu jarimah yang dapat menurunkan harkat dan martabat manusia, yaitu Al-
Qadzaf. Secara singkat Qadzaf atau menuduh zinah dapat diartikan sebagai suatu pelanggaran
yang terjadi apabila seseorang dengan berdusta menuduh seorang muslim atau meragukan
sisilahnya.

Islam memandang zina adalah suatu perbuatan yang keji dan memiliki konsekuensi
hukum yang berat. Begitu pulang dengan Qadzaf, Islam menyikapi persoalan Qadzaf ini sebagai
suatu kesalahan yang serius, bahkan Islam meletakkan kehormatan pada salah satu dari lima
kebutuhan dasar yang sudah semestinya dijaga dalam Islam. Sejalan dengan beratnya hukuman
atau sanksi pidana bagi pelaku jarimah zina, maka menuduh seseorang yang diketahui
sebenarnya memiliki akhlak/perilaku yang baik adalah fitnah yang keji, hal itu dikarenakan
apabila tuduhahan tersebut dipercaya tentunya pihak tertuduh akan terkena konsekuensi hukum
zina dan memunculkan anggapan bahwa pihak tertuduh tersebut adalah mereka yang telah
melakukan perbuatan yang keji. Sebagai penyeimbang, hukum Islam mengancam hukuman
yang tidak kalah beratnya bagi seseorang yang melakukan tuduhan berzina kepada orang lain.
Tujuan utama Islam menetapkan hukuman adalah semata-mata demi menjaga kehormatan dan
memelihara kemuliaan umat serta membersihkan masyarakat dari omongan berbisa penuh
4
A. Jazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000,
hlm. 11.

2
3

pendustaan yang dapat merusak rumah tangga muslim sehingga senantiasa selalu terpelihara
kehormatan dan nama baiknya.

Hal tersebut dibuktikan dengan kondisi negara kita dewasa ini, yang marak terjadi kasus-
kasus yang berkaitan dengan Qadzaf berupa fitnah-fitnah keji di lingkungan, baik itu yang terjadi
di kalangan masyarakat maupun di dunia maya. Padahal sebagai sesama umat muslim, sudah
semestinya saling memelihara keluhuran dan kehormatan satu sama lain, bukan malah
menelanjangan ataupun membuka rahasia yang mencemarkan umat muslim. Maka dari itu, agar
terhindar dari perilaku keji yang membawa kemudharatan bagi umat manusia, sangat penting
untuk diketahui dan dipahami lebih mendalam terkait dengan Had Al-Qadzaf itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana Dalil Al-Qur’an dan Hadis menjelaskan tentang Had Al-Qadzaf?
2. Apa yang dimaksud dengan Had Al-Qadzaf?
3. Bagaimana pendapat para ulama mengenai Had Al-Qadzaf?
4. Bagaimana perbandingan Had Al-Qadzaf dalam Hukum Islam dan Hukum Positif?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan mempelajari bagaimana kandungan dari dalil-dalil Al-Qur’an
dan Hadis mengenai Had Al-Qadzaf.
2. Untuk mengetahui dan memahami secara jelas tinjauan umum mengenai Had Al-
Qadzaf.
3. Untuk mengetahui pendapat para ulama mengeni Had Al-Qadzaf.
4. Untuk mengetahui perbandingan Had Al-Qadzaf dalam Hukum Islam dan Hukum
Positif.
BAB II
PEMBAHASAN

A. HAD
1. DALIL AL-QUR’AN TENTANG HAD/HUDUD

Term hudud 5(dalam bentuk jamak) disebutkan 9 kali dalam al-qur’an pada 5 surat
yaitu, 3 kali dalam QS. Al-Baqarah, 2 kali dalam QS An-Nisa’, 2 kali dalam surat At-
Taubah, 1 kali dalam surat Al-Mujadalah, 1 kali dalam surat Ath-talak 6 kesemuanya
tergolong surat madaniya. Diantaranya adalah :

a. QS. Al-Baqarah ayat 187


‫هّٰللا‬ ٰ ‫هّٰللا‬
ِ ‫ه لِلنَّا‬Hٖ ِ‫ذلِ َك يُبَيِّنُ ُ ٰا ٰيت‬H‫ا َك‬Hَۗ ‫ش ُر ْوهُنَّ َواَ ْنتُ ْم ٰع ِكفُ ْو ۙنَ فِى ا ْل َم ٰس ِج ِد ۗ تِ ْلكَ ُحد ُْو ُد ِ فَاَل تَ ْق َربُ ْوه‬
‫س لَ َعلَّ ُه ْم‬ ِّ ‫ثُ َّم اَتِ ُّموا ال‬
ِ ‫صيَا َم اِلَى الَّ ْي ۚ ِل َواَل تُبَا‬
َ‫يَتَّقُ ْون‬

 Artinya : “…. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,


(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Kandungan yang terkandung dalam ayat diatas ialah mengenai larangan. Larangan yang
menyangkut hukum dan anjuran berkaitan dengan suatu tindakan yang digolongkan sebagai
sesuatu yang terlarang pada waktu-waktu tertentu, misalnya larangan melakukan hubungan
suami istri pada saat I’tikaf maupun makan dan minum pada saat puasa . Sedangkan pada ayat
229 mengandung larangan melampaui batas-batas ilahi yang berkaitan dengan talak, terutama
talak 3

Term-term kata hudud dalam al-Qur’sn sebagai bentuk jamak dari kata had, dapat
dipahami bahwa hudud merupakan suatu ketentuan yang membahas aturan-aturan Allah yang

5
Kata hudud dalam bentuk jamak taksir. Kata-kata yang seakar dengan hudud terdapat dalam al-qur’an adalah
seluruh kata jadinya yang dapat dikembalikan kepada kata kerja hadda. Kata jadian tersebut terulang 25 kali dalam
al-Qur’an. Lihat Muhammad fu’ad Abd al-Baqi, alMu’ajam al-Mufahras Li alfadzi al-Qur’an al-Karim , (Cet I :
Indonesia : Muktabah Dahlan ,t.th),h.195. kata jadian terdiri dari 4 benntuk yakni ; I . kata dalam bentuk fi’il madhi,
2. Kata yahlidun dan yahdud dalam bentuk fi’il mudhari. 3. Kata hadad dalam bentuk masdar, dan 4. Kata hadid
dalam bentuk ism alam.
6
Ibid.,h.248
5

tidak ditentukan kadarnya. Dari pengertian tersebut, terjadi perbedaan pemahaman yang dianut
dalam memaknai kata hudu. Pemahaman kata hudud kelihatannya masih didominasi oleh apa
yang dikemukakan oleh ulama fiqh yang memahami kata had sebagai hukum yang tertentu dan
terbatas kadarnya. Walaupun demikian, secara umum pada hakekatnya term huud dalam al-
Qur’an dapat dopahami tujuan utama syariat adalah untuk mencapai kemaslahatan.

2. DALIL HADIS TENTANG HAD/HUDUD

Artinya : “Tolaklah hudud sebisa kalian (agar hal itu tidak menimpa) kaum muslimin jika ada
jalan keluar, bebaskanlah dia (orang Muslim) dari hukuman. Karena sungguh, apa bila 7
seorang imam (hakim) melakukan kesalahan dalam memaafkan, hal itu adalah lebih baik
darinya dari pada salah dalam menjatuhkan sanksi.”

Dari hadist di atas yang dapat kita pahami bersama ialah, bahwa islam melarang umatnya
untuk menodai kehormatan diri dan menyakiti seseorang, kecuali dengan cara yang benar.
Kebenaran tidak bisa ditetapkan, kecuali dengan bukti yang cukup. Jika bukti masih diragukan,
tidak bisa menjadi dasar bagi penegakan hukum. Karena itu, tuduhan dan keraguan tidak bisa
dianggap sebagai sesuatu yang pasti dan dijadikan sebagai patokan karena mengandung
kemungkinan tidak benar.

3. PENGERTIAN HAD

Secara bahasa, kata had berarti cegahan, pemisah antara dua hal supaya tidak bercampur
dengan yang lainnya atau batasan antara ssatu dengan lainnya (contoh : batas tanah, batas haram
dsb)7. Jamak dari hadd ialah hudud, yang secara bahasa berarti mencegah. Hukuman-hukuman
yang dijatuhkan kepada pelaku-pelaku kemaksiatan juga dapat disebut sebagai hudud, karena
hukuman tersebut dimaksudkan untuk mencegah orang yang dikenai hukuman mengulangi

7
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arabi, Juz III, (Beirut: Li al-Tiba‘ah wa al-Nasr, 1374), hal. 140.
perbuatan tercela yang menyebabkan dirinya dihukum8. Hadd juga berarti kemaksiatan itu
sendiri9, sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah SWT :

 ‫ِت ْل َك ُحد ُْو ُد هّٰللا ِ فَاَل تَ ْق َربُ ْوه َۗا‬  

Artinya : Itulah larangan Allah, maka janganlah kau mendekatinya (Q.S Al-Baqarah :187)

Dalam istilah syara’, had adalah pemberian hukuman dalam rangka hak Allah.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Abd al-Qadir ‘Awdah, Jarimah hudud adalah jarimah yang
diancam dengan hukuman had. Dan had adalah ancaman hukuman yang telah ditentukan macam
dan jumlahnya dan menjadi hak Allah.10

‘Abdullah ‘Aziz ‘Amir, menyatakan had, yaitu hukuman tertentu yang merupakan hak
Allah Ta’ala.11 Demikian hal pula yang dinyatakan oleh Muhammad Abu Syuhbah bahwa had
merupakan hak mutlak bagi Allah SWT, yang mana hak tersebut tidak boleh ditunda tanpa
alasan yang jelas, ditambah dan dikurangi. Para penguas dalam hal ini hanya berhak
melaksanakan sebagimana ketentuan yang terdapat dalam ketemtuan syara’12.

Sedangkan menurut pandangan salah satu tokoh, A.Rahman I’Doi,hukuman had diajatuhkan
dalam tujuan perkara berikut ini :

1) Hukuman yang dituntut karena melakukan pembunuhan, penganiayaan sampai mati, atau
yang mengakibatkan cacat tubuh
2) Hukuman karena pencurian dengan potong tangan
3) Hukuman bagi pezina: dirajam sampai mati bagi yang sudah menikah, dan dicambuk
seratus kali bagi yang belum menikah
4) Hukuman bagi yang menuduh tanpa bukti berupa delapan kali cambukan.\
5) Hukuman mati bagi yang murtad
6) Hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali karena mabuk

8
Syaikh Muhammad Ibn Qasim Al-Ghaza. Syarah fathul Qarib Mujib (Surabaya:Hidayah), h. 56
9
Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah, Juz 2 (Kairo: Maktabah Dâr al-Turas), 1970, h. 363
10
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 363.
11
Abd al-‘Aziz ‘Amir, Al- Ta‘zir fi al-Syari‘ah al-Isamiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al- ‘Arabi, 1976), hal. 13.
12
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islam Muqaranatuha bi al-Qawanin al-Wad‘iyyah,
(Mesir: Dar al-Kutub, 1973), hal. 131.

6
7

7) Hukuman karena perampokan (qata' al-thaliq): dihukum mati, potong tangan dan kaki
bersilang, atau diasingkan, berdasarkan beratnya tindak pidana yang dilakukan.13

Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, had adalah hukuman
yang telah ditentukan batas, jenis dan jumlahnya, dan hukuman itu merupakan hak Allah dengan
pengertian bahwa hukuman tersebut tidak bisa ditambah, dikurangi oleh siapun dan tidak
mempunyai batas tertinggi atau terendah. Maksud dari hak Allah ialah setiap hukuman yang
dikehendaki oleh kepentingan umum yang tidak tertentu mengenai orang untuk memelihara
ketentraman dan keamanan masyarakat14. Dengan kata lain setiap jarimah atau tindak pidana
yang menganggu kepentingan masyakarat berarti telah menganggu hak Allah dan pantas
dihukum dengan ketentuan-Nya.

B. AL-QADZAF
1. DALIL ALQUR’AN TENTANG QADZAF

Lahirnya Hukum Qadzaf (Had Al-Qadzaf ) dalam Islam berawal dari tersebarnya isu
bahwa ‘Aisyah r.a., istri Rasullah SAW., telah melakukan perbuatan zina dengan seorang
sahabat bernama Shafwan bin Mu’aththal pasca perang antara Bani Mushtaliq pada bulan
Sya’ban tahun 5 H. Ketika itu‘Aisyah r.a yang tertinggal oleh rombongannya karena mengambil
kalungnya yang sempat hilang pada saat mereka berhenti sejenak untuk beristirat dalam
perjalanan menuju kembali ke Madinah. Ketika Siti Aisyah tengah menunggu romobongannya
kembali untuk menjemputnya hingga tertidur, secara kebetulan Shafwan bin Mu’aththal
melewati tempat itu. Shafwan terkejut dan denga segera menyuruh untanya untuk berlutut agar
Aisyah dapat naik ke atas untanya tersebut, lalu membawa Aisyah kembali menuju Madinah.

Pada saat itulah menjadi permulaan munculnya fitnah mengenai ‘Aisyah dengan Shafwan
bin Mu‟aththal. Dimana masyarakat Madinah kala itu menafsirkan kejadian tersebut dengan
dugaan mereka masing-masing, yang kemudian diperbesar dengan perkatakan kaum Munafiqin
yang melebih-lebihkan kejadian yang terjadi. Berita itu kemudian berubah menjadi fitnah keji
terhadap Aisyah r.a., dan semakin bertambah luas dan menimbulkan keguncangan di kalangan
kaum muslimin. Malangnya isu tersebut meluas dalam waktu yang lama tanpa adanya klarifikasi
13
A. Rahman I'Doi, Syari'ah the Islamic Law, Terj. Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, "Hudud dan Kewarisan",
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 15
14
Sa‘id Ibrahim, Qanun Jinayah Syar‘iyyah dan Sistem Kehakiman Dalam Perundangan Islam Berdasarkan Qur’an
dan Hadits, Cet. I, (Kuala Lumpur: Darul Ma‘rifah, 1996), hal. 2.
wahyu sebagai penjelas duduk persoalan yang sebenarnya, siapa yang benar dalam masalah ini.
Rasullah SAW. Merasa sedih dan guncang, hingga akhirnya Allah menurunkan wahyu yaitu
surah an-Nur ayat ke-11 untuk menjelaskan dan mengklarifikasi fitnah yang dialami Siti Aisyah.
Yang berbunyi :

‫ َر ٗه‬H‫و ٰلّى ِك ْب‬H ْ ‫ َب ِمنَ ااْل ِ ْث ۚ ِم َوالَّ ِذ‬H‫َس‬


َ Hَ‫ي ت‬ ٍ ‫ ِر‬H‫ ِّل ا ْم‬H‫ش ًّرا لَّ ُك ۗ ْم بَ ْل ُه َو َخ ْي ٌر لَّ ُك ۗ ْم لِ ُك‬
َ ‫ئ ِّم ْن ُه ْم َّما ا ْكت‬ َ ُ‫سبُ ْوه‬ ْ ‫نَّ الَّ ِذيْنَ َج ۤا ُء ْو بِااْل ِ ْف ِك ع‬
َ ‫ُصبَةٌ ِّم ْن ُك ۗ ْم اَل ت َْح‬
(11ْ/‫اب َع ِظ ْي ٌم ) النور‬ ٌ ‫ِم ْن ُه ْم لَ ٗه َع َذ‬

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan
kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”

Firman Allah SWT lainnya :

/6(‫ُصبِ ُح ْوا ع َٰلى َما فَ َع ْلتُ ْم ٰن ِد ِميْنَ )الحجرات‬


ْ ‫ُص ْيبُ ْوا قَ ْو ًم ۢا بِ َج َهالَ ٍة فَت‬ ٌۢ ‫س‬
ِ ‫ق بِنَبَا ٍ فَتَبَيَّنُ ْٓوا اَنْ ت‬ ِ ‫اَ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اِنْ َج ۤا َء ُك ْم فَا‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”

Dari kedua ayat di atas Allah memberikan peringatan dan klarifikasi terkait kasus fitnah
keji yang menimpa Aisyah, r.a istri Rasullah Saw. Melalui ayat ini pula lah kita dapat
mengambil pelajaran untuk tidak menyebarkan berita atau informasi tanpa ilmu, klarifikasi dan
diyakini kebenarannya yang pasti, Allah SWT juga mengingatkan agar umat Islam lebih bersikap
bijak dan berhati-hati dalam menyikapi berita yang beredar, tidak langsung mengamini dan
meyakini kebenaran yang belum tentu benar sebelum diklarifikasi terlebih dahulu, agar tidak
memnunculkan fitnah keji berupa tuduhan berbuat zina misalnya.

2. DALIL HADIS TENTANG AL-QADZAF

Hadis mengenai Qadzaf ini diriwayatkan oleh 3 imam dalam kuttubussitah, diantaranya
ada Imam Bukhari, Muslim dan Sunan Abu Daud. Hadist Shahih Riwayat al-Bukhari No.6351

8
9

‫لَّ َم‬H‫س‬
َ ‫ ِه َو‬H‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬H‫ص‬ َ ‫رةَ عَنْ النَّبِ ِّي‬H َ H‫ث عَنْ أَبِي ه َُر ْي‬ ِ ‫ ٍد عَنْ أَبِي ا ْل َغ ْي‬H‫و ِر ْب ِن َز ْي‬Hْ Hَ‫لَ ْي َمانُ عَنْ ث‬H‫س‬
ُ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد ا ْل َع ِزي ِز بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ َح َّدثَنَا‬
‫ق‬ ِ ‫ ُل النَّ ْف‬H‫ ْح ُر َوقَ ْت‬H‫الس‬
ِّ ‫ا ْل َح‬HH‫ َّر َم هَّللا ُ إِاَّل ِب‬H‫س الَّتِي َح‬ ِّ ‫ ْر ُك ِباهَّلل ِ َو‬H‫الش‬:
ِّ ‫ا َل‬HHَ‫ا هُنَّ ق‬HH‫سو َل هَّللا ِ َو َم‬
ُ ‫ يَا َر‬:‫ قَالُوا‬.‫س ْب َع ا ْل ُموبِقَات‬ َّ ‫اجتَنِبُوا ال‬ ْ :‫قَا َل‬
ِ ‫ت ا ْل َغافِاَل‬
‫ت‬ ِ ‫ت ا ْل ُمؤْ ِمنَا‬ َ ‫ف َوقَ ْذفُ ا ْل ُم ْح‬
ِ ‫صنَا‬ ِ ِ‫َوأَ ْك ُل ال ِّربَا َوأَ ْك ُل َما ِل ا ْليَت‬
ِ ‫يم َوالتَّ َولِّي يَ ْو َم ال َّز ْح‬

Artinya : Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin Abdullah(1) telah menceritakan
kepada kami Sulaiman(2) dari Tsaur bin Zaid(3) dari Abul Ghaits(4) dari Abu Hurairah(5) dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan."
Para sahabat bertanya; 'Ya Rasulullah, apa saja tujuh dosa besar yang membinasakan itu? '
Nabi menjawab; "menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa
alasan yang benar, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh
wanita mukmin baik-baik melakukan perzinahan."

 Matan dan Perawi Hadist


o Matan Hadist:

‫ ُل‬H‫ق َوأَ ْك‬ ِ ‫ ُل النَّ ْف‬H‫ ْح ُر َوقَ ْت‬H‫الس‬


ِّ ‫ا ْل َح‬HHِ‫ َّر َم هَّللا ُ إِاَّل ب‬H‫س الَّتِي َح‬ ِّ ‫ ْر ُك بِاهَّلل ِ َو‬H‫الش‬:
ِّ ‫ا َل‬HHَ‫سو َل هَّللا ِ َو َما هُنَّ ق‬ ُ ‫ يَا َر‬:‫ قَالُوا‬.‫س ْب َع ا ْل ُموبِقَات‬ َّ ‫اجتَنِبُوا ال‬ ْ
.‫ت‬ِ ‫ت ا ْل َغافِاَل‬
ِ ‫ت ا ْل ُمؤْ ِمنَا‬
ِ ‫صنَا‬ َ ‫ف َوقَ ْذفُ ا ْل ُم ْح‬ ِ ِ‫الربَا َوأَ ْك ُل َما ِل ا ْليَت‬
ِ ‫يم َوالتَّ َولِّي يَ ْو َم ال َّز ْح‬ ِّ

Artinya : "Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan." Para sahabat bertanya; 'Ya
Rasulullah, apa saja tujuh dosa besar yang membinasakan itu? ' Nabi menjawab;
"menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa alasan yang benar,
makan riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita mukmin
baik-baik melakukan perzinahan.

o Perawi Hadist :

Abu Hurairah

Abul Gahits

Tsaur bin Zaid

Sulaiman bin Bilal


Abdullah Aziz bin
Abdullah

Al-Bukhari

 Kandungan Hadist

Hadist ini menerangkan kepada kita 7 perbuatan yang berakibat dosa besar jika
dikerjakan, yakni menyekutukan Allah SWT, sihir atau saat ini disebut dengan penggunaan ilmu
hitam, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali yang mempunyai hak, memakan
harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh berzina terhadap
seorang perempuan mukmin yang menjaga kehormatannya. Salah satu dosa besar yang termuat
dalam hadis tersebut adalah mengenai tuduhan zina kepada wanita mu’min. Oleh karena itu,
melalui hadist ini Rasullah SAW memerintahkan umatnya untuk menjauhi perbuatan Qadzaf,
karena perbuatan tersebut termasuk kedalam perbuatan dengan dosa yang membinasakan.
Bahkan, Rasullah secara tegas mengungkapkan larangan berbuat qadzaf dengan kata itjtanibu’
(jauhilah olehmu). Maka dari itu, perlu dipahami bahwa perbutan tersebut memanglah suatu
perbuatan yang larangan oleh Allah SWT dan Rasullah untuk dikerjakan.

 Mufradat/Kosa Kata Hadist :

NO. Mufradat Arti/Makna


1. ‫اجتَنِبُوا‬ْ Menghindari, menjauhi, jauhilah.
2. ْ
‫س ْب َع ال ُموبِقَات‬
َّ ‫ال‬ Tujuh dosa
3. ‫الش ِّْر ُك‬ Syirik, yaitu keyakinan, perbuatan,dan perkataan yang menyekutukan
Allah swt
4. ‫س ْح ُر‬
ِّ ‫ال‬ Sihir, menurut etimologis, sihir adalah guna-guna, hikmah, atau
kebinasaan. suatu hal atau kejadian tersembunyi yang tidak diketahui
sumber dan penyebabnya bersifat supranatural
5. ِ ‫قَ ْت ُل النَّ ْف‬
‫س‬ Membunuh jiwa, yaitu menghilangkan nyawa seseorang dari jasadnya
dengan sengaja, baik karena dendam, iri hati, fitnah maupun karena
yang lain yang tidak dibenarkan oleh Allah baik menggunakan benda
tajam, senapan, memasukkan dalam jurang maupun yang
menggunakan benda yang lain. Pelaku pembunuhan yang sengaja
diancam-Nya dengan neraka Jahannam.

10
11

6. ‫الربَا‬
ِّ Riba menurut bahasa adalah tambahan, menurut istilah Riba adalah
tuntutan dikembalikan hutang dengan meminta tambahan (bunga) yang
diharamkan dari hasil usaha orang yang meminjami
7. ِ ِ‫ا ْليَت‬
‫يم‬ Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sedangkan
ia belim mencapai usia baligh. Di dalam islam anak yatim harus
dilindungi dan harta bendanya pemeliharaan yang baik dari walinya
8. ِ ‫َوالت ََّولِّي يَ ْو َم ال َّز ْح‬
‫ف‬ Islam mewajibkan umatnya untuk memelihara, menjaga,
mempertahankan, dan membela agamanya.
9. ُ‫قَ ْذف‬ melempar, tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah
melakukan perbuatan

3. PENGERTIAN QADZAF

Qadzaf secara etimologi merupakan kata jadian (mashdar), dari kata qadzafa-yaqdzifu—
qadzafan yang berarti melempar. Yang dalam arti Bahasa ialah ‫ بالحجارة الرمي‬, berarti melempar
dengan batu atau menuduh sesuatu (al-ramyu bi al-shai’in). Secara terminologi, al-qadzfu
bermakna melempar batu atau dengan benda lainnya. Inilah makna dasar yang digunakan di
dalam konteks Alquran. Adapun melakukan qadzaf kepada orang yang sudah menikah (baik
perempuan maupun lakilaki) berarti menuduh melakukan zina atau menafikan hubungan nasab
anak kepada bapak.15 Dalam isitlah syara’ qadzaf ada dua macam :

1) Qadzaf yang diancam dengan hukuman had, yaitu:


“Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan “Tuduhan
yang menghilangkan nasabnya”
2) Qadzaf yang diancam dengan hukuman ta’zir, Qadzaf ini mencakup perbuatan
mencaci maki dan pelakunya dapat dikenakan hukuman ta’zir.16
Pengertian lebih jelasnya ialah :
“Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya,
baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan”.

Syariat Islam, menetapkan qadzaf adalah orang yang menjatuhkan kehormatan laki-laki
atau wanita baik baik yang sudah menikah maupun tidak, dengan memberikan tuduhan zina,
namun tidak dapat, menghadirkan bukti pasti apa yang dikatakan atau dituduhkannya. Untuk itu
diperlukan dalil atu bukti pasti untuk dapat membuktikannya, namun kita ketahui bersama dalil
15
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari‟ah, (Jakarta: Grafika Offset, 2009) h. 138.
16
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) h. 60-61.
atau bukti pasti yang diminta Islam dalam kasus ini sangat sulit dihadirkan, karena tuduhan tidak
akan terealisasi melainkan dengan mendatangkan empat orang saksi yang benar-benar adil, yang
memberikan kesaksian bahwa dengan mata kepala sendiri mereka melihat perbuatan zina itu
dilakukan, dalam bentuk yang tidak ada keraguan sedikit pun . Dapat dikatakan bahwa terkait
permasalahan zina ini, umat muslim dituntut untuk lebih berhati- hati dan disikapi secara serius,
karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Dewasa ini, kita bisa lihat dalam masyarakat di
mana-mana orang mengguncingkan bahwa kawannya telah berbuat serong dengan si anu dan si
anu.. Itu artinya, masyarakat mennganggap enteng perihal perzinahan ini, dengan mudahnya
menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan yang tidak senonoh, tanpa didukung bukti dan
pertimbangan hukum-hukum allah.

Syariat Islam diturunkan dengan misi untuk melindungi, memelihara harkat dan martabat
serta kemuliaan manusia. Setiap perilaku yang merendahkan harkat dan martabat, baik secara
pribadi maupun anggota masyarakat tentu dilarang oleh Allah SWT. Maka dari itu, Islam
memandang permasalahan ini secara serius dengan melarang seorang Muslim lain berbuat zina
tanpa bukti yang memadai. Islam mengkategorikan perbuatan zina sebagai perbuatan keji dan
tercela, begitu pula dengan tudahan zina yang tidak mendasar dianggap sebagai kejahatan yang
berdosa besar juga keji karena berdampak menjadi fitnah, naudzubillah.

Sejalan dengan beratnya hukuman bagi seorang penzina atau pelaku jarimah zina, hukum
Islam juga mengancam hukuman yang tak kalah beratnya bagi seseorang yang melakukan
tuduhan berzina kepada orang lain yang mengandung kebohongan, yaitu diancam dengan
hukuman 80 dera atau hukuman cambuk. Hukuman yang pertama berupa hukuman fisik yang
mengenai badan, yang kedua bersifat mendidik yang berkaitan dengan dicabutnya kehormatan
dirinya dan dijatuhkan martabatnya, kesaksiannya sudah tidak dipercaya lagi dan yang ketiga
yaitu bersifat keagamaan, di mana ia diberi predikat sebagai orang fasik yang tidak loyal kepada
Allah Swt. Cukuplah kiranya hukuman ini sebagai suatu hukuman bagi jiwa-jiwa yang sakit dan
hati nurani yang gelap. Islam juga tidak menerima persaksian dari penuduh apabila apa yang ia
tuduhkan tidak dapat dibuktikan dengan mengemukakan empat orang saksi yang juga melihat
kejahatan yang telah dilakukan di waktu dan tempat yang sama makan dikategorikan fasik,
membuka laknat dan menutup rahmat Allah Swt., serta berhak untuk mendapat adzab yang
sangat pedih di dunia dan akhirat.

12
13

4. DASAR HUKUM QADZAF

Dasar hukum qadzaf dijelaskan dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 4;


ٰۤ
ِ ‫ِكَ ُه ُم ا ْل ٰف‬H‫ول ِٕٕى‬
ۙ َ‫سقُ ْون‬ ُ‫ش َها َدةً اَبَد ًۚا َوا‬ ْ َ‫ش َهد َۤا َء ف‬
َ ‫اجلِد ُْو ُه ْم ثَمٰ نِيْنَ َج ْل َدةً َّواَل تَ ْقبَلُ ْوا لَ ُه ْم‬ ِ ‫ص ٰن‬
ُ ‫ت ثُ َّم لَ ْم يَأْت ُْوا بِا َ ْربَ َع ِة‬ َ ‫َوالَّ ِذيْنَ يَ ْر ُم ْونَ ا ْل ُم ْح‬

Artinya : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. 17

Dari ayat di atas kalimat ‫ون والذيه‬HH‫نات يزم‬HH‫ لمحص‬menurut kesepakatan ulama‟ berarti
menuduh zina (qadzaf ). Argumentasi bahwa ayat ini berbicara mengenai masalah qadzaf,
menurut Wahbah Zuhaili adalah:

a) Ayat ini disebutkan setelah membahas masalah zina;


b) Penyebutan muhsanat dalam ayat ini, mengandung pengertian wanita-wanita yang
menjauhkan diri dari zina;
c) Disyaratkannya untuk menghadirkan empat orang saksi. Jumlah empat orang saksi, hanya
berlaku dalam masalah zina;
d) Dalam kaitannya dengan “tuduhan” tidaklah harus dikenakan hukuman dera kecuali
tuduhan zina;18
e) Sabab al-nuzul ayat ini berkenaan dengan tuduhan zina yang dialamatkan pada Aisah r.a.
Walaupun ayat ini berlaku pada keumuman lafadhnya, tetapi sabab nuzul-nya berperan
dalam menjelaskan maudu’-nya.

Yang dimaksud wanita-wanita yang baik (muhsanat) disini adalah wanita-wanita


muslimah yang suci, merdeka, ‘aqil, dan baligh. Penyebutan muhsanat dengan bentuk mu’anath
di sini, menurut Wahbah Zuhaili, adalah karena mempertimbangkan waqi’ah-nya (sabab al-
nuzul-nya).19 Disamping karena kekhususan peristiwanya, kekhususan penyebutan wanita dalam
ayat ini menurut al-Sabuni, karena lazimnya yang dituduh itu kaum wanita. Pada wanita akibat

17
Al-Qur‟an, 24 (an-Nur) : 4.
18
Wahbah Zuh}aili, al-Tafsi>r al-Muni>r, XVII:141.
19
Ibid, 140.
yang ditimbulkan lebih buruk, sebab menuduh mereka itu selain menyakiti mereka sendiri juga
keluarganya.20

Adapun berdasarkan hadist riwayat (HR. Ahmad dan al-Arba’in 21)

, َ‫رآن‬Hْ Hُ‫كَ َوتَاَل اَ ْلق‬HHِ‫ َذ َك َر َذل‬Hَ‫ ف‬,‫ ِر‬Hَ‫لم َعلَى اَ ْل ِمنب‬HH‫ه و س‬HH‫س ْو ُل هللا صلى هللا علي‬ ُ ‫ قَا َم َر‬,‫ لَ َّما نَزَ َل ع ُْذ ِري‬: ْ‫ضيَا هللَا ُ َع ْن َها قَالَت‬ ِ ‫شةَ َر‬ َ ِ‫عَنْ عَائ‬
)ُ‫ (أَ ْخ َر َجهُ أَ ْح َم ُد َواألَ ْربَ َعة‬.َّ‫ض ِربُوا اَ ْل َحد‬
ُ َ‫فَلَ َّما نَزَ َل أَ َم َر بِ َر ُجلَ ْي ِن َواِ ْم َرأَ ٍة ف‬

 Matan

“Berdiri di atas mimbar. Beliau mengabarkan hal itu dan membaca Al-Qur’an. Setelah
turun(dari mimbar), beliau memerintahkan agar dua orang laki-laki dan seorang perempuan
untuk dipukul dengan cambuk.

 Terjemahan

“Dari Aisyah r.a., dia berkata, “Ketika turun ayat yang membebaskan aku (dari tuduhan
melakukan skandal zina), Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbar. Beliau mengabarkan hal itu
dan membaca Al-Qur’an. Setelah turun(dari mimbar), beliau memerintahkan agar dua orang
laki-laki dan seorang perempuan untuk dipukul dengan cambuk.” (HR. Ahmad dan al-Arba’in ).

5. UNSUR-UNSUR JARIMAH QADZAF


Unsur-unsur jarimah Qadzaf ada tiga, yaitu :
1) Adanya Tuduhan Zina atau Menghilangkan Nasab

Unsur yang dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan
zina atau tuduhan yang menghilangkan nasabnya, dan si pelaku/penuduh tersebut tidak mampu
membuktikan apa ayng dituduhkannya. Maksud dari menghilangkan nasab korban ialah seperti
20
al-S}a>bu>ni>, Rawa>i‟u al-Baya>n, II:II:46.
21
Empat perawi; Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah

 Mardani, Hadis Ahkam, (Jakarta, Rajawali Pers, 2012), h. 13

14
15

“hai anak zina”, menghilangkan nasab anaknya dan sekaligus menuduh ibunya berbuat zina,
sedangkan tidak menghilangkan nasab/keturunnya seperti “hai pezina” hanya menuduh yang
melakukan zina saja.22

2) Orang yang Dituduh Harus Orang yang Muhshan

Dasar hukum tentang syarat ihshan untuk maqdzuf (orang yang tertuduh) ini adalah
Surah an-Nuur ayat 4, sebagiman yang telah dituliskan di bagain sebelumnya dan Surah an-Nuur
ayat 23, yang berbunyi :

ٌ ‫ت لُ ِعنُ ْوا فِى ال ُّد ْنيَا َوااْل ٰ ِخ َر ۖ ِة َولَ ُه ْم َع َذ‬


ۙ ‫اب َع ِظ ْي ٌم‬ ِ ‫ت ا ْل ٰغفِ ٰل‬
ِ ‫ت ا ْل ُمؤْ ِم ٰن‬ ِ ‫ص ٰن‬
َ ‫ا ْل ُم ْح‬ َ‫اِنَّ الَّ ِذيْنَ يَ ْر ُم ْون‬

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang


lengah, lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka
azab yang besar”. (QS. An-nuur:23)

Dalam ayat yang pertama (QS. An –nuur:4) yang dimaksud dengan ihshan adalah ‫الزنا من‬
‫ العفة‬,yaitu bersih dari zina menurut satu pendapat dan ‫ الحرية‬yaitu merdeka menurut pendapat
lain. Sedangkan dalam ayat kedua (QS.Annuur:23), ihshan diartikan merdeka, ‫ )الغافالت‬lengah) 24
diartikan ‫ )العفائف‬bersih) dan ‫ )المؤمنات‬mukmin) artinya muslimah. Dari dua nas (ayat) itu para
fuqaha mengambil kesimpulan bahwa iman (islam), merdeka, dan iffah (bersih) merupakan
syarat-syarat ihshan bagi maqdzuf (orang yang dituduh).23

3) Adanya Niat yang Melawan Hukum.

Unsur yang dapat terpenuhi apabila seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan zina
atau menghilangkan nasabnya, padahal ia mengetahui bahwa apa yang dituduhkan tidak benar.
Dalam dirinya terdapat I’tikad jahat untuk mencelakakan orang yang tidak bersalah, sehingga
nama baik korban menjadi tercemar atau mendaoatkan celak karena hukuman yang dera . Jadi,
ketidakmampuan membuktikan kebenaran qadzaf merupakan indikasi bahwa ia mengetahui
ketidakbenaran qadzaf yang telah diperbuat. a tidak berhak mengklaim bahwa qadzaf tersebut
dilakukannya berdasarkan beberapa sebab yang masuk akal. Maka dari itu, perlu dipahami dan

22
Ahmad Wardi Muslich,… hlm. 63
23
Ibid, hlm.65
dingat bahwa sebelum menuduh seseorang melakukan perzinahan, harus memiliki bukti
kebenarannya.

Ketentuan ini didasarkan kepada ucapan Rasulullah Saw. kepada Hilal bin Umayyah
ketika menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Salma. Padahal Hilal sendiri menyaksikan
peristiwa perzinaan tersebut hanya saja saksi tidak cukup. Hilal sendiri tidak bisa bebas dari
hukuman had, andai kata tidak turun ayat lain. Kasus tersebut ditunjukkan Allah Swt. dalam
Alquran surah An-Nur ayat 13.

6. RUKUN JARIMAH QADZAF

Apabila seorang mukallaf (muslim yang sudah balig dan sudah dikenai
kewajiban/hukum) melakukan qadzaf namun tidak dapat menunjukan bukti atau saksi sebagai
bantahan tududhannya, maka ia harus menjalani sanksi pidana qadzaf, yaitu hukuman dera
sebanyak 80 kali dan tidak diterimanya kesaksiannya untuk selama-lamanya. Terdapat unsur-
unsur penting pidana qadzaf yang disebut dengan rukun qadzaf. Diantaranya sebagai berikut :

1) Qadzif (pelaku Qadzaf/penuduh)

Disebut sebagai seseorang yang memberikan orang lain tuduhan telah melakukan
perbuatan zina atau meniadakan keturunnya, sedangkan ia tidak bisa membuktika tuduhan
tersebut benar atau tidak. Namun, dalam kasus Qadzaf tidak semua orang yang melakukan
tuduhan tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana qadzaf, yaitu hukuman Had. Hukuman had berlaku
untuk orang yang menuduh berbuat zina itu apabila ia memenuhi kriteria seorang qadzif.

Syarat Qadzif :
a. Berakal
b. Balig
c. Bersifat Mukhtar /Tidak ada dalam pakasaan orang lain (Ikhtiyar)
d. Tuduhan si qadzif harus mutlak’
e. Tuduhan qadzif terjadi di negeri Islam
f. Niat qadzif melawan hukum

16
17

2) Maqdzuf (Objek Qadzaf /Tertuduh)

Orang yang menjadi objek tuduhan dalam pidana qadzaf disebut maqdzuf. Maqdzuf
sebagai objek qadzaf harus memenuhi beberapa persyaratan, untuk dapat diterapkan hukuman
qadzaf kepada qadzif.

Syarat Maqdzuf :
a. Berakal (‘Aqil)
b. Dewasa (Baligh)
c. Beragama Islam
d. Merdeka, bukan Budak
e. Belum pernah dan dijatuhi hukuman qadzaf
f. Orang yang dituduh harus tertentu (jelas/diketahui)
g. Orang yang dituduh harus orang yang muhshan
h. Maqdzuf adalah seorang yang iffah (tidak pernah melakukan persetubuhan yang
diharamkan).
3) Maqdzuf ‘Alaih

Selain itu, sanksi had qadzaf baru bisa dijatuhkan setelah terpenuhi syarat-syarat tuduhan
(maqdzuf ‗alaih). Ada dua jenis tuduhan dalam qadzaf sebagai berikut:

Lafaz Sharih (jelas), yaitu tuduhan dengan menggunakan perkataan yang jelas dan tetap,
yang tidak mungkin ditafsirkan untuk maksud yang lain selain zina dan peniadaan nasab
(keturunan). Contoh, “Hai orang yang berzina!” Adanya tuduhan zina atau
menghilangkan nasab dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan melakukan
zina atau tuduhan menghilangkan nasabnya dan (penuduh) tidak mampu membuktikan
apa yang dituduhkannya.
Lafaz Kinayah (kiasan), yaitu tuduhan dengan menggunakan perkataan yang tidak jelas
dan yang tidak tetap, akan tetapi mengarah kepada pengertian zina. Contoh, “Wahai
fasik! Engkau tidak pernah menolak setiap tangan yang menyentuhmu.”
Lafaz Ta‘ridh (sindiran), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas
sebagaimana dilakukan dalam perkataan kinayah. Misalnya ungkapan, “Biarpun aku
jelek seperti ini, tetapi aku tidak pernah berbuat zina dan ibuku juga tidak pernah berbuat
zina.”Hukuman pidana qadzaf dapat diberikan kepada qadzif jika telah diketahui tujuan
qadzaf -nya untuk berbuat kejahatan. Yang mana tujuan dia melakukan penuduhan
tersebut akan diketahui ketika qadzif tidak mampu mengemukakkan bukti. 24 QS. An-
Nuur dijadkan oleh para jumhur fuqaha sebagai dasar pentapan dalam mengadili kasus
terkait qadzaf, semisalnya untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada qadzaf keoada para
saksi perzinaan kurang dari empat orang,

7. PEMBUKTIAN DALAM QADZAF


1) Adanya Saksi

Saksi-saksi merupakan salah satu alat bukti untuk qadzaf. Syarat-syarat saksi sama
dengan syarat dalam jarimah zina, yaitu; baligh, berakal, adil, dapat berbicara, islam dan
tidak ada penghalang menjadi saksi. Adapun jumlah saksi dalam qadzaf sekurang-kurangnya
adalah dua orang.

2) Adanya Pengakuan

Qadzaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku (penuduh) bahwa ia
menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam
majelis pengadilan.

3) Adanya Sumpah

Menurut Imam Syafi’I, qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi
dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh menyuruh kepada orang yang menuduh
untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk
bersumpah maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk bersumpah
tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh bisa meminta kepada orang yang dituduh
bahwa penuduh benar melakukan tuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan
sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf. 25

24
Ibid
25
Ibid

18
19

Akan tetapi, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan pembuktian dengan
sumpah, sebagaimana yang dikemukakan oleh mazhab Syafi’i. Sedangkan, sebagian ulama
Hanafiyah berpendapat sama dengan Imam Syafi’I, yaitu membenarkan pembuktian dengan
sumpah, tetapi sebagian lagi tidak membenarkanya26.

8. KESAKSIAN DALAM QADZAF

Para fuqahâ‟ telah setuju dalam menetapkan persyaratan umum yang harus dipunyai oleh
seseorang saksi, ialah Islam, adil, baligh serta berakal. Tetapi demikian Ibnu Hazm berbeda
komentar dengan ulama lain dalam menetapkan persyaratan spesial yang wajib dipadati oleh
seseorang saksi dalam tindak pidana zina.
1) Jumlah Saksi
Dalam menetapkan jumlah saksi dalam tindak pidana zina, para ulama sepakat
berhujjah berlandaskan pada surat an- Nur ayat 4, mereka berbeda dalam menafsirkan
makna 4 orang saksi dalam ayat tersebut, serta siapa yang hendak dijatuhi hukuman
qadzaf jika bilangan saksi tidak terpenuhi. Demikian pula terhadap keputusan Umar
dalam kisah Mughîrah bin Syu‟bah.27

Bagi Mâlik, Abû Hanîfah serta ulama Zaydiyah apabila saksi kurang dari empat orang
sehingga kesaksian tidak diterima serta dijatuhi hukuman had qadzaf untuk saksi tersebut,
demikian pula pendapat yang rajih dalam mazhab Syâfi‟î serta Ahmad.28 Perihal ini berdasarkan
suatu riwayat kalau Umar menghukum dengan hukuman qadzaf 3 orang saksi karena tidak
sempurna ataupun tidak memadai jumlah 4 orang.

Berbeda dengan uraian ulama Zhâhirî serta Ibnu Hazm, para saksi pada dasarnya tidak
dihukum dengan hukuman qadzaf baik terdapat saksi lain ataupun tidak terdapat, persyaratan had
al- qadzaf diperuntukan kepada orang yang menuduh bukan kepada saksi atau orang yang
membagikan penjelasan, sebab al- Qur’an serta Sunnah sudah membedakan antara saksi,
penjelasan, serta penuduh. Oleh sebab itu tidak dapat disamakan hukumnya. Bagi Ibnu Hazm

26
Ibid, hlm.69
27
M. ‘Ali al-Sayis, Tafsir Ayit Al-Ahkam, Jilid III, (t.p.: t.tp., t.th, h 127)
28
Dikutip dari Abd Al Qadir ‘Awdah, Al-Taysri’ Al-Jinna’I Al-Islami: Muqaranah bi Al-Qanun Al-Wadhi’ Jilid II
(Bayrut: Muassasah Al-Risalah, 1982) h.418
saksi merupakan orang yang memandang sesuatu kejadian tetapi dia tidak mengumumkan
ataupun membicarakan perihal yang dilihatnya kecuali setelah dimohon buat itu, sebaliknya
penuduh merupakan orang yang menimbulkan kabar satu dengan yang yang lain. 29 Sebaliknya
penuduh merupakan orang menyebarkan kabar atau mengumumkannya tanpa dimohon buat itu.
Meski demikian bagi dia penuduh dapat jadi saksi dengan memperkenalkan 4 orang saksi lain
yang bisa membenarkan keterangannya. Dengan kata lain memperkenalkan 4 orang saksi tidak
hanya penuduh ialah sesuatu keharusan.

Menyangkut keputusan Umar, yang jadi hujjah bukan diperuntukan kepada saksi, namun
3 saksi yang dihukum itu bukan saja bermaksud berikan kesaksian, tetapi sudah bisa
dikategorikan selaku penuduh.30 Tidak hanya surat an- Nur di atas, Ibnu Hazm beralasan bahwa
Rasulullah pernah bersabda kepada seseorang penuduh“ kamu wajib mendatangkan fakta, jika
tidak kamu hendak dihukum”.

2) Melihat Langsung

Menurut Syâfi‟î, saksi wajib memandang sendiri peristiwa tersebut secara langsung,
ulama Syâfi‟iyah membolehkan kesaksian orang buta dalam masalah nasab serta maut sebab
dengan metode mendengar sama dengan seseorang saksi memandang. Namun mereka tidak
membolehkan dalam masalah hudûd sebab akan menyebabkan keraguan.31 Menurut Syâfi‟iyah
bila kesaksian diberikan saat sebelum dia buta, dengan kata lain ia memandang kejadian
perzinaan setelah itu terjalin kebutaan terhadap dirinya, hingga kesaksian orang tersebut saat
sebelum dia buta bisa diterima. Ada pula apabila kesaksian itu sehabis kebutaannya maka
kesaksian itu tidak diterima, demikian pula komentar ulama Hanafiyah. Menurut Syâfi‟î,
seseorang saksi wajib betul- betul percaya apa yang dia amati dengan berkata kalau kami sudah
memandang zakarnya terletak dalam farajnya( perempuan), semacam timba yang jatuh dalam
sumur.

Sebaliknya ulama Zhâhirî serta Ibnu Hazm menerima kesaksian orang buta secara
mutlak,32 baik dalam perkataan ataupun dalam perbuatan ataupun kesaksian yang diberikan pada
dikala saat sebelum ataupun setelah kebutaannya, namun mereka menolak apabila kesaksian itu
29
Ibid., h. 419
30
Ibid., h. 211
31
Abd, Al-Qadir ‘Awdah al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy…, h.401
32
Ibnu Hazm,al-Muhallah, Juz IX, h. 433-434

20
21

diragukan sebab tidak dibolehkan kesaksian kecuali dengan apa yang diyakini dan jadi sangkaan
berat.33

3) Tempat serta Waktu Kesaksian

Dalam permasalahan tempat kesaksian ini ulama Syâfi‟iyah, ulama Zhâhirî serta
Zaydiyah tidak mensyaratkannya, bagi mereka sama saja saksi datang guna memberi kesaksian
di majelis hukum secara terpisah ataupun bersama- sama atau apalagi kesaksian itu diajukan
dalam majelis hukum yang sama ataupun lebih dari satu majelis hukum. Perihal ini disebabkan
Allah tidak mengatakan tentang majelis tersebut namun cuma permasalahan itu sendiri.34

Sebaliknya imam Mâlik, Abû Hanîfah dan Ahmad kesaksian itu harus diberikan dalam
satu majelis, mereka juga mensyaratkan bahwa keempat orang saksi harus memberikan
kesaksian dalam waktu yang bersamaan bila tidak mau saksi dijatuhi hukuman qadzaf.

4) Meyakinkan Hakim

Setiap yang diputuskan di pengadilan harus bersifat pasti dan meyakinkan, karena hukum
tidak dapat ditetapkan berdasarkan keraguan seperti adanya perbedaan keterangan antara satu
saksi dengan saksi lainnya. Masalah tempat dan waktu ketika peristiwa perzinaan itu mereka
saksikan, para ulama berbeda pendapat apakah dapat diterima atau tidak seperti dua orang saksi
mengatakan ia menyaksikan perzinaan adalam satu rumah, sedangkan saksi lain mengatakan di
rumah yang lain, atau berbeda negara atau hari, bulan, bahkan tahun terjadinya perzinaan.
Menurut Mâlik sebagian dari ulama Syâfi‟iyah dan Ahmad para saksi dijatuhi hukuman qadzaf,
tetapi sebaliknya Abû Hanîfah dan sebagian dari ulama Syâfi‟iyah serta Ahmad tidak dijatuhi
had atas saksi tersebut karena kesaksian mereaka telah sempurna empat orang. 35 Selain itu saksi
harus memberikan keterangan yang jelas kepada hakim dengan bahasa yang jelas, bukan kinâyah
atau sindiran.36 Pelaku zina harus diketahui siapa orangnya, tidak cukup hanya disebutkan
dengan kata “seseorang” tanpa diketahui secara jelas yang mana pelakunya.

5) Kadaluwarsa

33
Abd al-Qadir Awdah , al-Tasyri’ al-Jina’iy al-islamiy…, h. 401
34
Ibid.
35
Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy…, h.427
36
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah…, h.74
Kadaluarsa yang dimaksudkan disini adalah ada atau tidak adanya tempo waktu untuk
tetap berlakunya kesaksian terhadap suatu peristiwa tindak pidana zina. Menurut Mâlik, Syâfi‟î,
ulama Zhâhirî dan Zaydiyah, tidak adanya kadaluarsa dalam menerima kesaksian yang sudah
berlangsung lama37, sedangkan ulama Hanafiyah memberlakukan syarat ini kecuali bila
keterlambatan itu disebutkan oleh berjatuhan dengan hakim sehingga terdapat kesulitan untuk
hal tersebut38. Dari sekian persyaratan kesaksian yang diberikan ulama baik syarat saksi secara
umum maupun kesaksian dalam tindak pidana zina secara khusus, ada hal yang sangat menarik
yang perlu dicermati bahwa salah satu syarat kesaksian zina yang harus dipenuhi adalah saksi itu
haruslah seorang laki-laki. Jumhur ulama sepakat untuk menolak kesaksian wanita dalam
masalah hudûd termasuk dalam hal kesaksian zina. Namun demikian Ibnu Hazm menerima
kesaksian seorang wanita hanya saja jumlah yang berbeda yaitu dua kali jumlah saksi laki-laki.

9. HUKUMAN PELAKU QADZAF

Surat An-Nuur ayat 4-5 menjadi dasar yang menjelaskan hukuman bagi pelaku Qadzaf.
Hukuman qadzaf dibagi 2 macam :

- Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali. Hukuman ini adalah
hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak punya hak untuk
memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, menurut madzhab Syafi’I
orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan, karena hak manusia lebih
dominan daripada hak Allah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi korban tidak berhak
memberikan pengampunan, karena di dalam jarimah qadzaf hak Allah lebih dominan
daripada hak manusia
- Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya dan dianggap orang yang fasik

10. PRINSIP ASASI YANG MENDASAR KETENTUAN HUKUM HAD AL-QADZAF

Sedangkan prinsip asasi yang mendasari ketentuan hukum qadzaf, al-Mawardi dalam
tafsirnya39 menyebutkan beberapa pendapat:

1. HAK ADAMI

37
Abd al-Qadir Awdah , al-Tasyri’ al-Jina’iy al-islamiy…, h. 417
38
T.Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam ,(Semarang, Pustaka Rizki Putra, 19970 h.487
39
al-Mawardi, “Tafsir al-Mawardi”, hlm 74

22
23

Hukuman Had dalam qadzaf merupakan hak adami. Ini merupakan pandangan
madzhab al-Shafi’i, dengan argumentasi sebagai berikut:
 Bahwa imam atau hakim tidak boleh menangani kasus tuduhan tanpa adanya tuntutan
dari pihak tertuduh;
 Bahwa hukuman had bisa gugur dengan adanya ampunan dari pihak tertuduh;
 Bahwa apabila penuduh mati sebelum dilaksanakan hukuman, maka kelanjutan
penuntutan perkara itu jatuh ke tangan ahli warisnya, juga hukuman bisa gugr dengan
adanya ampunan dari ahli warisnya. 40
2. HAK ALLAH SWT

Hukuman Had dalam qadzaf merupakan hak Allah SWT. Ini merupakan pandangan
madzhab Abu Hanifah, dengan argumentasi sebagai berikut:

 Bahwa kalau kasus tuduhan itu telah diajukan kepada hakim maka penuduh wajib
dihukum meskipun pihak tertuduh menarik tuntutannya;
 Hukuman itu tidak dapat digugurkan dengan adanya ampunan dari pihak tertuduh,
hanya taubatlah yang bermanfaat bagi dirinya dalam hubungannya dengan Allah
SWT. di akhirat nanti;
 Hukuman bagi hamba separuh dari hukuman orang merdeka seperti dalam kasus
zina.41
 Had dalam qadzaf tidak bisa diganti dengan harta.
 Hukuman had dalam qadzaf merupakan perpaduan antara hak Allah SWT. dan hak
adami, karena bercampurnya dua hak tersebut. Menuduh berbuat zina merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak Allah dan sekaligus merusak nama baik pihak
tertuduh, maka disyari’atkan had itu adalah demi menjaga hak Allah dan hak
manusia. Ini merupakan pandangan sebagian Ulama Mutaakhkhirin.

Oleh karena itu, jika qadhif setelah menerima hukuman cambuk delapan puluh kali,
menyesal dan berjanji tidak akan melakukan perbuatan serupa itu lagi di masa yang akan datang
maka hak sipilnya dalam memberikan kesaksian dapat dipulihkan kembali. Imam Abu Hanifah
mengemukakan pertimbangan yang berbeda dan lebih berat bahwa lebih baik hukuman cambuk
40
Al-Sabuni, “Rawa i’u al-Bayan”, hlm 55
41
Ibid
delapan puluh kali maupun dicabutnya hak memberi kesaksian, tidak dapat dibatalkan dengan
penyesalan. Penyesalan ini hanya menghapuskan cacat batin dianggap sebagai seorang
“pelanggar yang berdosa.”

C. PENDAPAT PARA ULAMA TERKAIT QADZAF

Para ahli fiqh sepakat bahawasanya had qadzaf dilaksanakan jika qadzaf dilakukan
dengan lafaz terang-terangan contohnya seperti ungkapan “wahai perempuan penzina”, “engkau
telah berzina”. lafaz qadzaf yang berbentuk sindiran ini tidak dianggap sebagai qadzaf secara
hakikat dan tidak dilaksanakan had kerananya kecuali memang sesuai dengan keinginan atau
maksud si pelaku sebagai qadzaf. Namun jika sipelaku berkata: “aku tidak bermaksud
melontarkan qadzaf tersebut dengan perbuatan zina” atau si korban menyatakannya sebagai
dusta, maka yang menjadi pegangan adalah perkataan si pelaku dengan sumpahnya. Dalam hal
ini, seorang imam atau penguasa harus memberikan hukuman biasa atau ta’zir sesuai dengan
pendapatnya.alasannya adalah kerana tindakan si pelaku telah mencoreng nama baik korbannya
dan membuatnya malu.

D. PERBANDINGAN QADZAF DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF


DI INDONESIA
1. QADZAF DALAM KOMPLIKASI ISLAM

Dalam hukum Islam perzinaan dianggap sebagai suatu perbuatan yang


sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Lebih dari itu, perzinaan dikategorikan sebagai
suatu tindak pidana yang termasuk dalam kelompok jarimah hudud yaitu kelompok jarimah yang
menduduki urutan teratas dalam hirarki jarimah-jarimah sebagaimana halnya qadzaf.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah kumpulan berbagai pemikiran dan pendapat
hukum yang sudah terseleksi dengan baik. Kitab ini mengatur berbagai persoalan yang juga
diatur oleh berbagai peraturan hukum yang bersifat umum. Karena membahas tentang peraturan
hukum Islam di Indonesia, maka kompilasi hukum Islam dapat dikatakan sebagai kitab undang-
undang hukum Islam di Indonesia. Dan dijadikan sumber rujukan bagi hakim di Pengadilan
Agama Indonesia dalam mengambil keputusan. Kitab ini (KHI) terdiri atas 3 (tiga) buku, buku
pertama membahas tentang hukum perkawinan, buku kedua membahas tentang hukum warisan,
dan yang ketiga membahas tentang hukum perwakafan.

24
25

Tuduhan zina (qadzaf) dalam kompilasi hukum Islam (KHI) tidak dibahas secara detail.
Pada kitab ini pembahasan tentang tuduhan zina (qadzaf) terbatas pada tuduhan suami terhadap
istrinya. Sedangkan tentang tuduhan yang dilakukan oleh orang lain, tidak ada penjelasan yang
lebih lanjut.

Pada buku 1 pasal 126 disebutkan bahwa suami yang menuduh istrinya berbuat zina, atau
mengingkari anak yang dikandung istrinya, atau anak yang telah dilahirkan istrinya, sedangkan
istrinya menolak tuduhan atau mengingkari hal tersebut (li’an)42. Lebih lanjut dalam pasal 127
poin a sampai d dijelaskan tata cara melakukan li’an, pertama: suami bersumpah empat kali
dengan kata tuduhan zina atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-
kata bersedia dilaknat Allah jika tuduhannya dusta. Kemudian istri juga melakukan hal yang
sama dengan kata-kata bahwa tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak benar dan diikuti
sumpah kelima bersedia dilaknat Allah jika tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar.43
Akibat hukum dari li’an suami dan istri tersebut adalah putusnya perkawinan mereka untuk
selamanya (status istrinya sebagai muharram mu’abbad).44

2. KONTEKSTUAL QADZAF BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Hukuman dalam kasus qadzaf atau disebut tuduhan berzina dalam hukum positif di
indonesia dikategorikan sebagai kasus pemitnahan atau pencemaran nama baik, sanksi pelaku
menuduh zina tertuang dalam KUHP pasal 310 yaitu, bagi siapapun yang dengan sengaja
melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh suatu hal agar hal tersebut diketahui oleh
umum maka diancam pidana paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu
lima ratuspiah. Kemudian jika hal tersebut dilakukan dengan tulisan atau gambaran untuk
dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum maka diancam dengan pidana paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Kategori fitnah merupakan tindakan pidana, yang berlaku bagi siapa yang melakukannya.
Tindak pidana fitnah telah diatur dalam KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana). Terdapat
dalam BAB XVI penghinaan pasal 311 (1): “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan
42
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku I Perkawinan, hlm 23
43
Ibid,. pasal 127 poin a-b

44
Ibid., pasal 125
dengan apa yang telah diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.” Dan disebutkan pula dalam pasal 317 (1) :”Barang siapa dengan
sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis
maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang,
diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Sehingga dapat disimpulkan mengenai hukuman bagi pelaku penuduh zina dikategorikan sebagai
bentuk pencemaran nama baik berdasarkan hukum positif di indonesia sesuai KUHP pasal 311
bahwa hukuman yang pantas bagi pelaku penuduh zina adalah pidana penjara paling lama empat
tahun, untuk menjera pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Pandangan kami tentang Had Al-Qadzaf, Setiap manusia menghendaki martabat,


kehormatannya terjaga. Seperti halnya jiwa, kehormatan dan nama baik manusia juga harus
dilindungi, bebas dari tindakan pencemaran terhadapnya. Hukum Islam sebagai rahma tal lil
alamin, pada prinsipnya telah menjaga dan menjamin akan kehormatan tiap manusia. Oleh
karena itu Islam sangat menjunjung tinggi harkat, martabat dan kemualiaan ummatnya. Hal
tersebut terlihat melalui bagaimana Islam menyikapi persoalan kehormatan dengan sangat serius,
yaitu setiap orang berhak mendapat hak perlindungan. Oleh sebab itu,dalam persoalan Qadzaf ini
Islam memberikan hukuamn yang seimbang dengan pelaku zinah. Suatu tuduhan zina yang tidak
terbukti dianggap sangat berbahaya dalam masyarakat.  Dalam hukum islam, perbuatan seperti
ini masuk kategori tindak pidana hudud yang diancam dengan hukuman berat, yaitu 80 kali dera.
Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surah An-Nur :4. Dan juga tindakan ini semata-
mata karena kebohonganya saja, tetapi juga karena keinginan untuk mencemaran nama
baik  orang yang dituduh ditengah-tengah masyrakat. Selain hukuman 80 kali dera (cambukan)
ditambah dengan tidak diterima persaksianya karena dia dianggap sebagai seorang pembohong,
dan persaksianya hanya dapat diterima dari orang yang jujur, kecuali penuduh itu bertaubat.
Maka dari itu, sebagai umat muslim sudah semestinya untuk senantia menjaga lisannya, berfikir
dahalu sebelum bertindak dan berpendapat dengan ilmu dalam bermasyarakat. Jagalah aib
saudara muslimu, janganlah saling menyakiti dengan tidak menjaga lisan yang dapat
menimbulkan fitnah yang keji, tuntunlah iya kejalan yang diridai oleh Allah SWT.

26
BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Qadzaf adalah menuduh orang lain berbuat zina, baik tuduhan itu melalui pernyataan
yang jelas maupun menyatakan anak seseorang bukan keturunan ayahnya. Perbuatan ini
termasuk dosa besar yang dapat merusak masyarakat dan merobohkan tiang-tiangnya. Jika
seorang qadhif ingin selamat (dari hukuman dera) maka ia harus menghadirkan empat orang
saksi laki-laki yang adil; jika tidak mampu maka had baginya adalah di dera sebanyak 80
(delapan puluh kali); tidak diterima kesaksiannya untuk selamanya dan termasuk golongan orang
fasik.

Di negara Indonesia belum ada ketentuan hukum khusus yang mengatur tentang
hukuman bagi penuduh zina (qadzaf). Namun dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(KHI) dijelaskan suami yang menuduh istrinya berbuat zina, dan atau mengingkari anak yang
dikandung istrinya dan atau anak yang telah dilahirkan istrinya, sedangkan istrinya menolak
tuduhan dan atau mengingkari hal tersebut maka keduanya dapat melakukan sumpah di depan
majlis hakim. Akibat hukum dari sumpah ini adalah status perkawinan keduanya yang terputus
untuk selamanya.

B. KRITIK DAN SARAN

Tentunya dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk
itu, penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan terpaku pada banyak sumber dan juga
tentunya kritik dari pembaca. Penulis juga berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca.
28
29

DAFTAR PUSTAKA

"API Cari Hadis," [Online]. Available: http://api.carihadis.com/?q=KATA_KUNCI. [Accessed 12


September 2021].

"Kumpulan Makalah: Hudud Zina dan Qadzaf," 6 April 2017. [Online]. Available:
http://azfau.blogspot.com/2017/04/hudud-zina-dan-qadzaf.html. [Accessed 17 September
2021].

A. A.-M. H. Jauhar, Maqashid Syari'ah, Jakarta: Grafika Offset, 2009.

A. Jazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulagi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT. Raya Grafindo
Persada, 2000.

A. r. I'Doi, Syari'ah the Islamic Law, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1966.

A. W. Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

E. Perawi, I. A. Daud, I. Trimidzi, I. Nasa'i and I. I. Majah, Hadis Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

F. Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam Hudud, Qishash, Dan Ta’zir),
Yogyakarta: Deepublish, 2016.

H. Gunawan, "Qadzaf Dalam Persektif Hadist," Al-Bayan : Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist, vol. a,
pp. 187-198, 23 05 2021.

H. Mursaid, Al-Fiqh AL-Jinayah, Palembang: Rafah Press, 2020.

Hamka, tafsir al-Azhar Juzu' XVII, vol. Jilid 4, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.

M. A. Prasetyo, "Studi Komparatif tentang Pembuktian Tindak Pidana Menudu ZIna (qadzaf)
Menurut Hukum Islalm dan Hukum Positif," Walisongo Respository, 21 Juli 2021.

M. N. Umar, "ANALISIS PEMIKIRAN IBNU HAZM TENTANG KESAKSIAN WANITA DALAM PIDANA
ZINAL," LEGITIMASI; Jurnal Hukum Pidama dan Politik, vol. 1, 2012.

N. Afifah, "Qadzaf Menurut Hukum Islam dan KHI," Istinbath : Jurnal Hukum, vol. 12, 1 may 2015.

N. I. Tahir, "PEMBUKTIAN JARIMAH QADZAF PESPEKTIF HUKUM IALAM DAN HUKUM POSITIF,"
Prepint, July 2020.

R. Sari, "PENERAPAN QADZAF DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA," IAIM NU METRO : Metro
Lampung.

S. Ibrahim, Qanun JInayah Syar'iyyah dan Sistem Kehakiman Dalam Perundangan Islam, Kuala
Lumpur: Daruk Ma'rifah, 1996.

T. M. H. A. Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka RIzki Putra, 1970.

Z. Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.


30

Anda mungkin juga menyukai