Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERISTIWA PERKARA ADAT; TRADISI BELIS DAN FENOMENA KEKERASAN


DALAM RUMAH TANGGA DI NUSA TENGGARA BARAT

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat

Dosen Pengampu: Tresia Elda S. H ., M. H.

Disusun Oleh:

Arvandi Rahmansyah (11200480000040)


Daffa Nayudistira (11200480000042)
Fajar Hanif Firdaus (11200480000045)
Farrel Arvin Athallah (11200480000047)
Felicia Dzurriyatul Aulia (11200480000048)
Kelas : III A

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang melimpah kan rahmat, hidayah dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Peristiwa Hukum
adat salah satunya adalah masalah penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan di Kupang,
Atambua, Dan Waingapu.

Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang sederhana ini kami
berharap dengan adanya makalah ini dapat menambahkan pengetahuan tentang peristiwa hukum
adat yang terjadi. Makalah ini diselesaikan dengan baik dan lancar tak lepas dengan sumber-
sumber yang terkait dengan makalah ini. Kami pun menadari bahwa makalah kami masih jauh dari
kata sempurna.

Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami bagi siapapun yang membacanya dan
makalah yang kami buat dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan Ilmu tentang Hukum adat . Sebelumnya kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan, oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat untuk kedepannya.

Ciputat, 18 November 2021

TIM PENULIS

ii
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 3
2.1 Pengertian Perkawinan Adat......................................................................................................... 3
2.2 Tradisi Belis dalam Adat Perkawinan Masyarakat NTT ............................................................... 4
2.3 Studi Kasus/Fenomena Hukum Adat Yang Terjadi di Masyarakat............................................... 6
2.4 Pandangan Hukum Terhadap Fenomena Yang terjadi (analisis Kelompok) ................................. 8
2.5 Penutup Reflektif (penyelesaian) ................................................................................................... 8
BAB III PENUTUP....................................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................................10
3.2 Kritik dan Saran ...........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................12

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pada masyarakat adat Indonesia, ada nilai-nilai dalam adat yang masih berlaku
secara signifikan. Akan tetapi seiring dengan perkembangan dalam masyarakat, nilai-nilai
tersebut juga dimaknai ulang oleh anggota masyarakat tersebut. Pemaknaan ulang tersebut
memberikan dampak yang beragam. Salah satu contohnya adalah pemaknaan ulang yang
dilakukan oleh anggota masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur terhadap ‘belis’. Di Nusa
Tenggara Timur, dikenal sistem belis dalam meminang. Belis, diumpamakan sebagai
mahar. Bentuk belis yang ditetapkan itu terdiri dari mata uang logam (terbuat dari emas,
perak, maupun tembaga), ternak (kerbau dan babi), kain tenun. Pada praktik selanjutnya,
akibat dari perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat, sistem belis ini kemudian
diberi makna berbeda. Belis, justeru menempatkan perempuan tidak ubahnya komoditas
dagang. Perempuan yang akan dinikahi, seolah-olah diberi harga tertentu oleh keluarganya.
Harga tersebut yang harus dibayar oleh pihak laki-laki.
Banyak kasus kemudian terjadi di tengah masyarakat akibat dari pemberlakuan
belis ini, Pertama, anggota masyarakat yang menghindari penebusan belis melakukan
kawin lari dan keluar dari kampungnya. Mereka melakukan hal tersebut disebabkan karena
tingginya belis yang ditetapkan oleh adat. Akibat kedua, kehidupan perempuan yang
menikah di luar wilayah adat menjadi amat rentan. Mereka sering menjadi korban
kekerasan karena pada umumnya suami menganggap telah lepas dari kewajiban adat dan
merasa bebas dan berhak melakukan kekerasan pada istrinya tanpa diberatkan oleh sanksi
adat.
Di sisi lain, perempuan yang menikah secara adat dan tetap tinggal di dalam
lingkup masyarakat adatnya juga rentan terhadap kekerasan. Kerentanan tersebut
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, suami yang membayarkan belis merasa telah
membayar lunas untuk memperoleh isterinya. Akibatnya suami sering bertindak semena-
mena terhadap isteri, termasuk juga melakukan kekerasan. Kedua, dari aspek masyarakat
adat sendiri, ada hal justru melestarikan tindak kekerasan yang dilakukan lakilaki terhadap
perempuan. Tidak jarang sanksi adat yang dijatuhkan oleh tetua adat juga tidak
menghiraukan kepentingan perempuan yang menjadi korban. Misalnya, dalam kasus

1
kekerasan seksual berbentuk perkosaan, seringkali perempuan korban perkosaan
dinikahkan dengan pelaku. Pertimbangannya adalah semata untuk menebus kesalahan dan
menjaga keseimbangan kosmik, serta menutup aib bagi keluarga perempuan. Tentu hal ini
menimbulkan permasalahan baru bagi perempuan korban.

Rumusan Masalah

Bagaimanakah peran hukum adat dalam upaya penyelesaian kasus kekerasan


terhadap perempuan di daerah-daerah yang ada di provinsi Nusa Tenggara Timur akibat
Belis dari sebuah perkawinan Adat?

Tujuan Penulisan

Mengerti dan mencari jalan keluar yang efektif tentang permasalahan yang ada
melalui sumber hukum adat setempat

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkawinan Adat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh.Perkawinan mengandung arti perihal (urusan dan sebagainya) kawin, pernikahan,
pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual.

Menurut Hukum adat apda umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti
sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan
“perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”. Jadi, dapat dikatakan terjadinya suatu ikatan
perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan
kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga
menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan
ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Perkawinan dalam perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum
terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada
sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang
merupakan “rasan sanak” (hubugan anak-anak,bujang-gadis) dan “rasan tuha” (hubugan antara
orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul
hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga atau kerabat) menurut
hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta
membina dan memilihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak
mereka yang terikat dalam perkawinan

Tujuan perkawinan dalam hukum adat bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibu-
bapakan, untuk kebahagian rumah tangga keluarga atau kerabatan, untuk memperoleh nilai-nilai
adat budaya, kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan.

3
2.2 Tradisi Belis dalam Adat Perkawinan Masyarakat NTT

Dalam pernikahan memiliki salah satu unsur penting diantaranya ialah mahar. Mahar
merupakan pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki laki kepada mempelai
perempuan ketika dilangsungkan akad nikah yang disebut juga dengan mas kawin.

Secara umum, dalam Bahasa dawan masyarakat Nusa Tenggara Timur menyebut mas
kawin sebagai belis. Belis adalah hak mutlak (calon) mempelai wanita dan kewajiban mempelai
pria untuk memberikannya sebelum akad nikah dilangsungkan. Bentuk perkawinan adat seperti
ini perkawinan jujur, dimana perkawinan ini dilakukan dengan membayarkan sejumlah jujur atau
mahar kepada calon mempelai perempuan. Belis juga mempunyai arti untuk menentukan sahnya
perkawinan sebagai imbalan jasa atau jerih payah orang tua, sebagai tanda penggantian nama si
gadis. Artinya, menurunkan nama keluarga si gadis dan menaikan nama keluarga laki-laki. Jika
tidak dilaksanakan belis, pihak laki-laki tidak berhak atas nama sukunya. . Belis dianggap sebagai
na buah ma an mone, yang artinya suatu simbol untuk mempersatukan laki-laki dan wanita sebagai
suami istri. Bentuk belis pada tiap-tiap daerah di Nusa Tenggara Timur memiliki kekhasannya
masing-masing, dapat berupa mata uang logam (terbuat dari emas, perak, maupun tembaga),
binatang ternak (kerbau dan babi), kain tenun. Meskipun begitu, melalui beberapa temuan lewat
artikel yang diterbitkan secara online maupun portal berita online memperlihatkan bahwa terjadi
perubahan makna pada masyarakat mengenai belis. Salah satunya, belis telah mengalami
perubahan bentuk menjadi uang yang mengakibatkan terkikisnya makna sakral dan terdahulu yang
sudah ada Dimana hal ini didukung dengan beberapa bentuk belis yang semakin susah untuk dicari
seperti halnya gading gajah dalam belis masyarakat Flores Timur atau Moko bagi masyarakat Alor.
Dalam wawancara yang dilansir dari portal berita online Floresa yang dijelaskan bahwa sejumlah
pria di Manggarai menganggap belis sebagai sebuah penghitungan untung rugi dan pendongkrak
status soial keluarga

Dalam pelaksanaannya, belis, dapat dilakukan secara tunai dan boleh secara utang,
umumnya secara bertahap. Bahkan sering terjadi, sampai akhirnya laki-laki meninggal pun belis
belum lunas, dan kewajiban ini dilanjutkan oleh anak-anaknya atau bila pasangan ini membuahkan
anak perempuan, maka anak perempuan sulung akan menggantikan kedudukan ibunya; bila dia

4
dibelis, maka belisnya menjadi hak keluarga ibunya Sangat sedikit yang mampu melunasi secara
lunas

Pemberian Belis itu sendiri memiliki dampak positif dan negative. Dampak positif yang
dimaksud antara lain, dengan melalui pemberian belis martabat keluarga laki-laki menjadi
terhormat atau diangkat karena pihak pria dianggap mampu membayar belis yang ditentukan oleh
pihak keluarga wanita, Pihak keluarga wanita merasa dihargai yaitu sebagai imbalan jasa atau
penghormatan atas kecapaian, kesakitan dan jerih payah orang tua selama melahirkan dan
memelihara si gadis sampai dewasa dan dapat memunculkan suatu kekerabatan yang baru, serta
Melalui pemberian belis, calon pengantin pria dan wanita sudah mendapat restu dari orangtua dan
keluarga sehingga boleh melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan. Sedangkan dampak
negative dari pemberian belis, ialah Dengan pemberian belis kepada keluarga wanita, pihak pria
merasa bisa bertindak bebas kepada wanita sehingga martabat wanita di rendahkan dan wanita
kurang dihargai dalam hidup berumah tangga, namun apabila pihak pria tidak mampu membayar
belis maka wanita merasa statusnya lebih tinggi dari pria itu sehingga pria akan merasa malu.
Selain itu, dapat memicu pertentangan diaantara kedua belah pihak keluarga karena belis yang
dituntut oleh pihak wanita terlalu tinggi sehingga pihak pria tidak mampu membayranya.
Akibatnya, tak mampu membayar belis, maka keluarga laki-laki mengambil jalan pintas dengan
meminjam uang kepada pihak lain sehingga menimbulkan utang-piutang.

Berdasarkan data yang diperoleh selama kurun waktu 2006-2009 tercatat telah terjadi
sebanyak 1.580 kasus kekerasan terhadap perempuan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari jumlah
kasus tersebut kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai sekitar 1.037 kasus, sedang anak-
anak sekitar 543 kasus. Jenis kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik, seksual, piskis,
penelantaran anal dan kasus sejenisnya. Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan Polda
NTT, kasus kekerasan terhadap perempuan di NTT salah satunya karena adat budaya Belis.
Menurut data yang diperoleh dari para informan di daerah Kupang, dan Atambua, Nusa Tenggara
Timur, kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya isteri terjadi karena adanya perubahan
perspektif terhadap belis. Belis yang tadinya bermakna bahwa untuk mendapatkan isteri itu
tidaklah mudah untuk itu perempuan harus dihargai, justru dalam perjalanan waktu terdapat
pergeseran makna dari belis itu. Pihak laki-laki karena merasa telah mengeluarkan sejumlah uang
untuk dapat menikahi perempuan, menganggap bahwa perempuan telah menjadi miliknya ketika

5
sudah berstatus isteri. Sering terjadi bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap isteri di dalam rumah
tangga disebabkan karena si laki-laki menganggap bahwa isterinya adalah milik yang dapat
diperlakukan seenaknya. Ketika isteri dianggap tidak lagi memenuhi kriteria suami, maka dapat
saja isteri menerima tindak kekerasan atau penelantaran atau diperlakukan sesuka hati suami.
Untuk lebih jelasnya, akan digambarkan oleh pemakalah melalui salah satu contoh kasus yang
terjadi di Nusa Tenggara Timur.

2.3 Studi Kasus/Fenomena Hukum Adat Yang Terjadi di Masyarakat

Tradisi Belis menjadi salah satu penyebab utama terjadinya KDRT yang terjadi di daerah-
daerah provinsi Nusa Tenggara Timur. Permintaan Belis yang diajukan bisa berbentuk Gading
gajah bahkan nilai belis bisa mencapai Rp 15 juta tak menutup kemungkinan mencapai nominal
yang lebih besar lagi. Jika laki-laki tak bisa membayar belis, maka itu akan jadi utang yang dibawa
hingga anaknya kelak. Karena sudah ‘diikat’ seperti ini, perempuan NTT tak bisa berbuat banyak.
Tak bisa leluasa mengambil keputusan sendiri dan mesti rela diperlakukan semena-mena.

Tradisi Belis dan Fenomena Kekerasan dalam Rumah Tangga


Di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara

Salah satu bukti adanya akibat yang ditimbulkan dari tradisi Belis ialah kasus atau
fenomena yang terjadi di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Fenomena kekerasan yang ‘luar
biasa’ ini terjadi pada seorang istri berinisial S yang telah menikah kurang lebih 6 Tahun dan belis
sudah terbayar lunas oleh suaminya. Dalam hal ini, ia seringkali mendapat perlakuan kasar
misalnya dipukul hingga memar oleh suaminya. Hal tersebut dialaminya setelah 2 tahun
pernikahan. Meskipun sering mendapat perlakuan kasar oleh suaminya, ia memilih untuk tetap
bertahan dan tidak melporkan suaminya kepada polisi maupun keluarga dari sang istri.

Tindak kekerasan tersebut secara terus-menerus diterima oleh S dari sang suami hingga
pada puncaknya, pada pukul 3 pagi tanggal 1 Juli 2021 dimana S selaku istri sekaligus korban tiba
tiba ditarik kerumah oleh sang suami. Berdasarkan kesaksian Ibunda dari S, beliau mendengar
suara teriakan S sebanyak satu kali dan menemukan S (putrinya) telah berlumuran darah diluar
rumah. Pada saat itu, sang suami sedang memegang sajam berupa Alu. Ternyata korban telah
dilukai oleh sang suami, namun ia berhasil kabur sebelum warga datang setelah mendengar suara

6
teriakan. Diketahui bahwa perbuatan kekerasan yang sering dilakukan oleh sang pelaku terjadi
apabila ada masalah di kantor atau di luar maka seringkali dilampiaskan kepada istri. Selain itu,
dilakukan karena pelaku merasa telah membayar belis yang sangat mahal sehingga
menyusahkannya, maka dari itu ia merasa memiliki hak bagi istri secara penuh dan utuh, sehingga
bisa melakukan apa saja, bahkan perbuatan kasar yang semena mena tanpa memerhatikan hak-hak
dari seorang istri.

Pada akhirnya meskipun hal tersebut dilaporkan kepada polisi, kasus tersebut ditutup
karena S sang korban yaitu istrinya bersedia untuk melakukan penyelesaian masalah tersebut
dalam ranah kekeluargaan dan memilih untuk rujuk. Alasan terkuat S memilih untuk rujuk ialah
karena mereka memiliki anak dan sang istri juga merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab penuh
terhadap anak mereka. Ia juga tidak ingin anak-anaknya mengalami kondisi mental yang buruk
akibat perpisahan antara ia dan suaminya. Hal ini berarti bahwa sebagai seorang istri dan ibu dari
anak-anak yang dihasilkan dalam sebuah pernikahan maka ia harus terus mempertahankan
pernikahannya meskipun terjadi KDRT yang banyak merugikan kondisi psikis maupun fisik.
Sebagai seorang istri juga harus bisa mempertahankan nama baik keluarganya sehingga ia tidak
boleh kembali ke orangtua atau melepaskan pernikahannya karena ia telah di belis dengan lunas
oleh keluarga laki-laki. Ia masih sangat menghargai sang suami sebagai kepala rumah tangga dan
tetap menjalankan tugas sebagai istri serta mengurus anak-anak mereka.

Berdasarkan narasi kasus diatas dapat dikatakan bahwa belis merupakan salah satu alat jual
beli seorang wanita untuk menjadi istri karena setelah belis sudah lunas, yang mana dalam rumah
tangga akibat dampak dari belis suami mereka dengan seenaknya dapat memperlakukan mereka
secara kasar hingga melakukan tindakan kekerasan bahkan tidak mengharagi wanita. Kejadian
kekerasan yang dialami oleh partisipan tidak membuat mereka untuk mengakhiri pernikahan yang
telah mereka jalani selama bertahun-tahun ini. Walaupun mereka awalnya takut dan tidak nyaman
mendapat kekerasan dari suami mereka tetap memilih bertahan dan tinggal bersama suami mereka.
Meskipun KDRT memberi dampak negatif bagi korban, para korban cenderung lebih memilih
untuk bertahan dalam kondisi KDRT daripada keluar dari situasi tersebut, mereka tidak ingin anak
mereka terlantar dan mengganggu kondisi mental anak-anak mereka.

7
Dengan demikian, walaupun belis menjadi suatu batu sandungan bagi perempuan karena
merasa telah dibeli secara lunas dan laki-laki berhak memperlakukan para perempuan dengan
semena-mena dan tidak menghargai perempuan lalu melakukan tindakan kekerasan dalam rumah
tangga, tidak membuat perempuan yang telah menjadi istri berpikiran untuk meninggalkan suami,
tetapi mereka memilih untuk bertahan dalam keadaan seperti itu dan tetap berusaha untuk tenang
dan aman serta masih bisa menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai istri, tetap menghargai
suami serta mengurus dan mendidik anak mereka.

2.4 Pandangan Hukum Terhadap Fenomena Yang terjadi (analisis Kelompok)


Dalam kasus diatas. Terdapat beberapa peristiwa hukum yang dapat kita pelajari.
Diantaranya sebagai berikut :
- Seorang istri di pukuli hingga memar oleh suaminya :
Pasal 44 UU PKDRT
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah).
- Di saat korban di Tarik tiba kedalam rumah oleh suaminya lalu melukai korban dengan
sajam dan korban mengalami luka-luka sampai berlumuran darah :
Pasal 44 UU PKDRT
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Dalam perundang-undangan Indonesia yang menggunakan system absorbs pidana yaitu
pelaku tindak pidana perbarengan akan dikenakan satu ancaman tindak pidana yang terdapat di
satu pasal saja namun dipili pasal yang terberat. Artinya adalah bahwa suami dari korban
misalnya akan di usut tuntas dalam persidangan akan dikenakan pasal 44 UU PDKRT ayat (2)
yaitu” Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).” namun apalah daya,
sang korban pun tidak mau kasus ini berlanjut di meja hukum dan di alihkan ke ranah
kekeluargaan. Sang istri merasa masih sangat menghargai sang suami selaku kepala rumah tangga
dan menghargai adat istiadat yang ada.

2.5 Penutup Reflektif (penyelesaian)

Pada kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan di NTT, terdapat beberapa


mekanisme penyelesaian. Diantaranya sebagai berikut :

8
- Untuk kasus kekerasan psikologis perempuan masih memilih untuk menyelesaikannya
secara hukum adat, karena pernikahan oleh warga setempat masih dilihat bukan hanya
sebatas mengikat pihak suami maupun isteri, melainkan juga keluarga besar pihak suami
dan keluarga besar pihak isteri. Tujuannya untuk menghindari putusnya hubungan antara
keluarga besar dan untuk meredam aib.
- Dalam kasus kekerasan yang berakibat fatal seperti misalnya pembunuhan ataupun
perkosaan, oleh keluarga sebagian besar digiring ke ranah hukum negara.
- Dalam konteks kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada masyarakat di mana
ikatan kekeluargaan masih kuat dan juga nilai-nilai sosial budaya masih dianggap
mengikat, sesungguhnya masih dapat dikatakan ada opsi yang sangat variatif untuk
memperoleh penyelesaian atas kasus tersebut. Seperti sudah dipaparkan sebelumnya,
dalam penyelesaian kasus dapat saja untuk tindak pidananya, kasus diselesaikan dengan
melalui mekanisme hukum Negara melalui cara melapor kepada polisi. Akan tetapi untuk
aspek pemulihan hubungan antara keluarga pelaku dengan keluarga korban ataupun
dengan masyarakat setempat maka mekanisme yang dipilih adalah yang berdasarkan
hukum adat.

Di luar penyelesaian melalui mekanisme hukum adat atau mekanisme hukum negara
atau dengan perpaduan keduanya untuk aspek yang berbeda dari kasus kekerasan terhadap
perempuan, dapat ditempuh dengan cara yg lain. Misalnya pembuatan perjanjian
kesepakatan antara pelaku dan korban yang ditandatangani kedua belah pihak di atas kertas
bermeterai dan disaksikan para tokoh masyarakat baik tokoh agama, tokoh adat maupun
pihak pemerintah setempat. Namun, tetap harus digaris bawahi bahwa bentuk perjanjian
ini hanya dianjurkan untuk kasus penganiayaan ringan dan KDRT bersifat psikologis,
finansial dan/melibatkan kekerasan yang tidak bersifat fatal sedangakn untuk kasus-kasus
yg berakibat fatal seperti halnya pemerkosaan dan penganiayaan berat yang dapat
mengabibatkan cidera atau bahkan menghilangkan nyawa sedapat mungkin dibawa ke
ranah hukum negara untuk penyelesainnnya.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut Hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja
berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus
merupakan “perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”. Perkawinan dalam perikatan adat
adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku
dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan
terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasan sanak”
(hubugan anak-anak,bujang-gadis) dan “rasan tuha” (hubugan antara orang tua keluarga
dari para calon suami istri). Tujuan perkawinan dalam hukum adat bagi masyarakat adat
yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan
menurut garis kebapakan atau keibu-bapakan, untuk kebahagian rumah tangga keluarga
atau kerabatan, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya, kedamaian dan untuk
mempertahankan kewarisan. Dalam pernikahan memiliki salah satu unsur penting
diantaranya ialah mahar. Mahar merupakan pemberian wajib berupa uang atau barang dari
mempelai laki laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah yang
disebut juga dengan mas kawin. Bentuk perkawinan adat seperti ini perkawinan jujur,
dimana perkawinan ini dilakukan dengan membayarkan sejumlah jujur atau mahar kepada
calon mempelai perempuan. Belis juga mempunyai arti untuk menentukan sahnya
perkawinan sebagai imbalan jasa atau jerih payah orang tua, sebagai tanda penggantian
nama si gadis. Dalam pelaksanaannya, belis, dapat dilakukan secara tunai dan boleh secara
utang, umumnya secara bertahap. Sedangkan dampak negative dari pemberian belis, ialah
Dengan pemberian belis kepada keluarga wanita, pihak pria merasa bisa bertindak bebas
kepada wanita sehingga martabat wanita di rendahkan dan wanita kurang dihargai dalam
hidup berumah tangga, namun apabila pihak pria tidak mampu membayar belis maka
wanita merasa statusnya lebih tinggi dari pria itu sehingga pria akan merasa malu. Selain
itu, dapat memicu pertentangan diaantara kedua belah pihak keluarga karena belis yang
dituntut oleh pihak wanita terlalu tinggi sehingga pihak pria tidak mampu membayranya.
Pada kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan di NTT, terdapat beberapa
mekanisme penyelesaian. Untuk kasus kekerasan psikologis perempuan masih memilih
10
untuk menyelesaikannya secara hukum adat, karena pernikahan oleh warga setempat masih
dilihat bukan hanya sebatas mengikat pihak suami maupun isteri, melainkan juga keluarga
besar pihak suami dan keluarga besar pihak isteri. Dalam kasus kekerasan yang berakibat
fatal seperti misalnya pembunuhan ataupun perkosaan, oleh keluarga sebagian besar
digiring ke ranah hukum negara. - Dalam konteks kasus kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi pada masyarakat di mana ikatan kekeluargaan masih kuat dan juga nilai-nilai
sosial budaya masih dianggap mengikat, sesungguhnya masih dapat dikatakan ada opsi
yang sangat variatif untuk memperoleh penyelesaian atas kasus tersebut. Seperti sudah
dipaparkan sebelumnya, dalam penyelesaian kasus dapat saja untuk tindak pidananya,
kasus diselesaikan dengan melalui mekanisme hukum Negara melalui cara melapor kepada
polisi.

3.2 Kritik dan Saran

Pemakalah menyadari bahwasanya makalah di atas masih memiliki banyak


kesalahan dan kekurangan, baik kesalahan penulisan maupun kekurangan referensi. Oleh
karena itu, pemakalah berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran demi
menjadikan makalah ini menjadi lebih baik. Sehingga untuk pembaca jadikan sebagai
penunjang suatu penelitian dan kembali untuk dipahami tentang subtansi makalah tersebut.

11
DAFTAR PUSTAKA

Nafi, T. H., Nurtjahyo, L. I., Kasuma, I., Parikesit, T., & Putra, G. P. (2016). Peran hukum adat
dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Kupang, Atambua, dan
Waingapu. Jurnal Hukum & Pembangunan, 46(2), 233-255.

Anasari, N. (2014). Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Dalam Perkawinan Perspektif


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Studi Kasus di Polres Pacitan Tahun 2013) (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).

https://kbr.id/saga/032016/lulusan_sma_dan_korban_kdrt_ini_jadi_paralegal_kasus_kdrt_
di_ntt/79425.html

https://repository.unair.ac.id/87158/1/ABSTRAK.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai