Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SISTEM PERKAWINAN DAN KEWARISAN

HUKUM MASYARAKAT ADAT JAWA

Disusun Oleh :

Heriyanto 12020716139

Uli Widiriyani 12020726285

Dosen Pengampu : Kemas Muhammad Gemilang, S.H.I., M.H.

Ilmu Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Khasim Riau

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

“Sistem Perkawinan dan Kewarisan Masyarakat Hukum Adat Jawa”.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen Kemas Muhammad Gemilang,

S.H.I., M.H.. dan semua pihak yang telah membantu, sehingga makalah ini selesai sesuai

dengan waktunya. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun khususnya dari dosen sangat penyusun

harapkan, guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penyusun untuk lebih baik di

masa yang akan datang.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa yang ingin menambah wawasan

ilmu pengetahuan tentang “Sistem Perkawinan dan Kewarisan Masyarakat Hukum Adat

Jawa”. Penyusun juga mengharapkan makalah ini dapat memberikan informasi bagi

masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan kita

semua.

Pekanbaru, September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. .................................................................................... i

DAFTAR ISI. ................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3

A. Pengertian Perkawinan................................................................................ 3

B. Perkawinan Dalam Perspektif dan Realitas Adat Jawa ............................... 4

C. Tradisi Perkawinan Adat Jawa .................................................................... 7

D. Pengertian Waris Adat ................................................................................ 9

E. Proses Singkat Pewarisan Dalam Masyarakat Hukum Adat Jawa .............. 10

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 12


A. Kesimpulan ................................................................................................. 12

B. Saran ............................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bertempat tinggal

di pedesaan yang masih memegang tradisi lokal yang kuat. Setiap anggota masyarakat di

pedesaan pada umumnya sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek

moyang secara turun temurun. Bahkan adat istiadat merupakan dasar utama hubungan

antarpersonal atau kelompok. 1

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena

pernikahan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut

urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan pada umumnya dirayakan secara meriah,

diiringi dengan upacara-upacara, peristiwa menyajikan makanan dan minuman dan perayaan

atau beberapa keramaian.2 Perkawinan merupakan salah satu peristiwa besar dan penting

dalam sejarah kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, peristiwa demikian biasanya tidak

dilewatkan orang begitu saja sebagaimana mereka menghadapi peristiwa sehari-hari. Pada

umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu

menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama. Hidup bersama

merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan yang

bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.

Lain halnya dengan pernikahan, masyarakat adat juga memiliki hukum waris dimana

perkembangan hukum waris di Indonesia, selama ini diwarnai oleh tiga sistem hukum waris.

Ketiga sistem hukum waris itu adalah, sistem Hukum Barat, sistem Hukum Adat dan sistem

1
Bahreint Sugihen, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: PTRajaGrafindo Persada. 2007. Hal. 26
2
Kartini Kartono, Psikologi Wanita 1 (Bandung: Mandar Maju, 2006), hal. 207.
1
Hukum Islam.3 Sebagai sistem hukum, maka ketiga sistem hukum tersebut di dalam

wujudnya seperti sekarang ini tidak lepas dari asas-asas yang mendukungnya. Setiap sistem

hukum mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya, maka

demikian juga adanya sistem Hukum Kewarisan Nasional, diharapkan asas-asasnya berasal

dari sub sistem Hukum Kewarisan yang turut andil di dalam proses pembentukannya, dan

tentunya adalah ketiga sistem hukum dimaksud di atas.

Oleh karena itulah, menarik untuk disimak dan juga dibahas mengenai sistem

perkawinan dan juga kewarisan yang ada di adat jawa.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari perkawinan ?

2. Bagaimana perkawinan dalam perspektif dan realitas adat jawa ?

3. Bagaimana tradisi perkawinan adat jawa ?

4. Apa pengertian waris adat ?

5. Bagaimana proses pewarisan dalam masyarakat hukum adat jawa ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari perkawinan

2. Untuk mengetahui perkawinan dalam perspektif dan realitas adat jawa

3. Untuk mengetahui tradisi perkawinan adat jawa

4. Untuk mengetahui apa itu waris adat

5. Untuk mengetahui proses pewarisan dalam masyarakat hukum adat jawa

3
Wery Gusmansyah, 2013, Pluralisme Hukum Waris di Indonesia. Manhaj, Vol. 1, Nomor 2, Mei – Agustus, hal
153.
2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan pada hakekatnya adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan

perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. “Perkawinan” menurut

istilah ilmu Fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaj”. (Kamal Mukhtar, 1974 :

1) “Nikah” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz).

Arti yang sebenarnya dari “nikah”, ialah “dham”, yang berarti “menghimpit”, “menindih”

atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah “watha” yang berarti “setubuh” atau “aqad”

yang berarti “mengadakan perjanjian pernikahan”.

Dalam pernikahan bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam

arti kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan “nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang

sekali dipakai pada saat ini (Kamal Mukhtar, 1974 : 1). Pengertian perkawinan menurut

ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan

bahwa :“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja menyangkut

hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut hubungan antara kedua belah

pihak mempelai seperti saudara-saudara atau keluarga kedua mempelai. Menurut M. M.

Djojodigoeno hubungan suami istri setelah perkawinan bukan saja merupakan suatu

hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan

suatu paguyuban. Sedangkan hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang

mengatur bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya

3
perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di

Indonesia berbeda-beda. Hal ini dikarenakan sifat kemasyarakatan, adatistiadat, agama dan

kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda. Di samping itu juga dikarenakan kemajuan

zaman, selain adat perkawinan itu juga sudah mengalami pergeser dan jyga telah terjadi

perkawinan campuran antar suku, adat istiadat.4

B. Perkawinan Dalam Perspektif dan Realitas Adat Jawa

Menurut sejarah, adat istiadat tata cara perkawinan jawa itu berasal dari keraton.

‘’Tempo doeloe’’ tata cara adat kebesaran perkawinan jawa itu, hanya bisa atau boleh

dilakukan di dalam tembok-tembok keraton atau orang-orang yang masih keturunan atau abdi

dalem keraton, yang di Jawa kemudian dikenal sebagai priyayi. Ketika kemudian Islam

masuk di keraton-keraton di Jawa, khususnya di keraton Yogya dan Solo, sejak saat itu tata

cara adat pernikahan Jawa berbaur antara budaya Hindu dan Islam. Paduan itulah yang

akhirnya saat ini, ketika tata cara pernikahan adat jawa ini menjadi primadona lagi.

Khususnya tata acara pernikahan adat jawa pada dasarnya ada beberapa tahap yang biasanya

dilalui yaitu tahap awal, tahap persiapan, tahap puncak acara dan tahap akhir.

Jika dilihat dalam khasanah budaya Jawa perkawinan dua sejoli merupakan bagian

`hakekat hidup'. Artinya, bahwa perkawinan itu hakekatnya adalah ujud `sabda dhawuh' nya

Tuhan (kodrat Tuhan) kepada manusia untuk berkembang biak. Maka dalam pandangan

Kejawen, perkawinan itu sakral dan berhubungan dengan`penciptaan' manusia baru (anak)

oleh Tuhan. Pria sejati dalam filosofi Jawa, adalah : memiliki rumah, pusoko, istri, kukilo,

turonggo. Rumah artinya, seorang pria harus bersikap melindungi, mengayomi. Pusoko

(keris) artinya seorang pria harus memiliki ketajaman berpikir, cerdas. Istri artinya seorang

4
C. Dewi Wulansari. HUKUM ADAT INDONESIA : Suatu Pengantar. (PT Refika Aditama: Bandung, 2010) hlm. 43

4
pria harus berlaku lemah lembut. Kukilo artinya seorang pria harus memberi dan menjadi

kesenangan bagi siapa. Turonggo artinya seorang pria harus menjadi kendaraan yang mampu

menghantar dan mempertemukan siapa pada jalan keselamatan. Demikian syarat bagi

seseorang untuk bisa disebut pria sejati.5

Dalam Kejawen, perkawinan bukan sekedar urusan `hukum kawin mawin' yang

pijakannya sekedar memberi payung hukum masalah kebirahian (hubungan seks), tetapi

mendalam kepada tingkat pemahaman keber-Tuhan-an. Yaitu kesadaran tentang bagaimana

manusia itu diciptakan, bagaimana hubungan penciptaan itu dengan alam semesta, dan

bagaimana manusia yang menyatakan beradab menyikapi `penciptaan' itu. Tatacara

perkawinan Jawa merupakan wujud nyata penjelasan pandangan Jawa terhadap `hakekat

perkawinan' yang fokus utamanya kepada kodrat Tuhan untuk penciptaan atau perkembang

biakan manusia. Pokok ajaran (filosofi) Jawa tentang perkawinan ditujukan kepada `titising

wiji'. Maka tatacara adat perkawinan Jawa lebih tertuju kepada penjelasan `titising wiji'

tersebut. Penjelasannya menggunakan simbul-simbul yang bermakna dalam.6

Dimulai dengan acara lamaran yang mengekspresikan bahwa kedua keluarga calon

penganten mendapatkan kesadaran tentang terpilihnya dua keluarga tersebut oleh Tuhan

dalam rangka akan menciptakan `manusia-manusia baru' (anak). Kedua keluarga tersebut

akan `besanan' yang artinya bahwa kedua keluarga tersebut bersedia `dipilih Tuhan' untuk

penciptaan (perkembang biakan) manusia yang akan menjadi anak-keturunan kedua keluarga

tersebut. Karena landasannya berupa `penerimaan' sabda dhawuhing Gusti untuk penciptaan

manusia, maka fokus perhatian adat istiadat Jawa tertuju kepada `penciptaan' tersebut. Oleh

karena itu dalam upacara perkawinan ditentukan persyaratan-persyaratan (berupa simbul-


5
Lihat dalam: "Hakikat Pernikahan Dalam Pandangan Hidup Orang Jawa",
http://www.akarasa.com/2016/12/hakikat-pernikahan-dalam-pandangan.html pada tanggal 22 September
2021.
6
Soepomo, Bab Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradya Paramita, 1977). Hal.25
5
simbul) yang intinya: kesucian, keindahan, kesemestaan, dan doa untuk segera terjadi `titising

wiji'. `Titising wiji' merupakan wujud nyata `penciptaan', maka menjadi pokok perhatian adat

Jawa dalam hal perkawinan. Wujud perhatian tersebut diawali berupa doa harapan yang

diekspresikan dalam upara robyongan atau temon dan pesan-pesan serta larangan-larangan

yang harus dijalani penganten setelah menikah. Kemudian dilanjutkan dengan adanya

upacara dan persyaratan-persyaratan yang harus dijalani kedua mempelai ketika yang

perempuan sudah mulai mengandung. Diantaranya berupa ritual tiga bulanan dan tujuh

bulanan serta larangan macam-macam bagi si calon ibu dan calon bapak (diantaranya

larangan membunuh mahluk bernyawa). Upacaranya mengacu kepada `syukur' atas

`kebenaran' sabda dhawuhing Gusti, sedang larangan yang harus dijalani si calon ibu dan

calon ayah. Apakah dalam budaya dan peadaban lain (termasuk yang bertolak dari ajaran

agama) mengenal ritual untuk terciptanya manusia di kandungan Ibu sebagaimana yang ada

di budaya dan peradaban Jawa.

Dalam sistim hukum adat pernikahan atau perkawinan adalah suatu peristiwa adat

yang sacral, namun ketika berada dalam dataran empiris sedikit-demi sedikit mengalami

pergeseran mengarah keranah profane, hal tersebut tergantung pada kelompok sosial serta

miliu yang melingkupinya, sebagai contoh dalam penelitiannya Koentjoro yang di lakukan di

Mojokulon Jawa Tengah disana memiliki beberapa jenis perkawinan yang diantaranya adalah

gendhak, nikah kyai, nikah ciasem, kumpul kebo dan nikah kampung.7 Selanjutnya Koenjoro

juga menjelaskan varian pernikahan berdasarkan penelitiannya di Mojokulon dan

Mojotengah yang diantaranya adalah nikah kontrak, nikah adat, nikah gantung, nikah sirri,

nikah mut’ah, nikah legal. 8


Menurut koentjoro dalam aturan tradisional komunitas

7
Koentjoro, On the Spot; Tutur Dari Sarang Pelacur, Cet.II ed. (Yogjakarta: Tinta, 2004). Hal.141
8
Parsudi Suparlan, Kata Pengantar Dari Edisi Terjemahan the Riligion of Java Karangan Clifford Geertz, vol. Ke-
3 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).
6
masyarakat tersebut hanya nikah mut’ah, ghendak dan kumpul kebo, yang tidak diterima,

adapun jenis perkawinan yang lain diterima oleh komunitas tersebut. Dari kenyataan faktual

diatas, hukum perkawinan adat ternyata tidaklah setatis dari sisi variannya, namun

mengalami evolusi dan perubahan karena bersinggungan dengan miliu yang melingkupinya

C. Tradisi Perkawinan Adat Jawa

A. Prosesi Pra Nikah Masyarakat Jawa

Ada beberapa kegiatan adat yang harus di lalui bagai calon mempelai dan

keluarga mereka sebelum melaksanakan akad nikah, diantara kegiatan adat

tersebuta adalah pertama; Pasang Tarub, Bleketepe, dan Tuwuhan. Upacara yang

mengawali pernikahan adat Jawa adalah pemasangan tarub, bleketepe dan

tuwuhan. Menurut tradisi, tarub diartikan sebagai atap sementara atau peneduh di

halaman rumah, yang dihiasi janur melengkung.

Kedua; Sungkeman Orangtua. Ditujukan untuk meminta doa dan restu orang tua

untuk melaksanakan pernikahan, mengucapkan rasa terima kasih telah merawat

dengan kasih sayang, dan memohon maaf atas segala kesalahan.

Ketiga; Siraman. Diambil dari kata siram yang berarti mandi, ritual siraman

dimaknai sebagai penyucian diri agar ketika memasuki hari pernikahan calon

mempelai dalam keadaan suci lahir dan batin.

Keempat; Meratus Rambut dan Ngerik. Rambut yang basah sehabis disiram

dikeringkan oleh perias dengan diratus. Tidak hanya kering, rambut pun akan

senantiasa harum hingga hari pernikahan.

Kelima, Midodareni. Berasal dari kata widadari yang berarti bidadari, midodareni

dijalankan calon mempelai wanita di dalam kamar sejak pukul 18.00 hingga

7
24.00. Calon pengantin wanita dengan riasan tipis dan sederhana, hanya duduk

tenang di kamar ditemani ibu dan kerabat dekat yang semuanya wanita.

Keenam; Srah-Srahan. Srah-srahan merupakan penyerahan barang-barang dari

mempelai pria kepada mempelai wanita. Karena dilakukan pada malam

midodareni, maka penerimaannya diwakili orang tua mempelai wanita.

B. Acara Akad Nikah Adat Jawa

Ada beberapa adat kebiasaan yang dijalankan dalam prosesi ini. Pertama, Prosesi

Pascanikah atau Upacara Panggih. Upacara panggih ialah puncak bertemunya

kedua mempelai setelah resmi menjadi suami istri. Kedua, Penyerahan Sanggan.

Sanggan diserahkan kepada orang tua mempelai wanita sebagai penebus putri

mereka. Ketiga; Balangan Gantal. Gantal ialah daun sirih yang diisi bunga pinang,

kapur sirih, gambir, dan tembakau hitam yang diikat dengan benang lawe.

Keempat: Wijikan, Ritual wijikan dikenal pula dengan sebutan ranupada. Ranu

bermakna air, dan pada berarti kaki. Ritual ini dikerjakan mempelai wanita yang

membasuhkan air pada kaki mempelai pria sebanyak tiga kali. Kelima, Kanten

Asto. Perbedaan antara kawula (masyarakat biasa) dan bangsawan, seperti putri

sultan, terletak pada prosesi pondong yang khusus dilakukan pada pernikahan

putri sultan. Sedangkan pada kawula, prosesi tersebut digantikan dengan kanten

asto. Keenam, Tanem Jero, Sampai di pelaminan, kedua mempelai masih dalam

posisi berdiri menghadap tamu undangan dan membelakangi kursi pelaminan.

Ketujuh, Tampa Kaya. Adalah prosesi menuangkan kaya yaitu biji-bijian seperti

kacang kedelai, kacang tanah, gabah, padi, beras kuning, jagung; sejumlah bumbu

dapur; bunga sritaman; dan uang logam. Kedelapan, Dhahar Kalimah. Pada

prosesi dhahar kalimah, mempelai pria membuat tiga kepalan nasi kuning dan

diletakkan di atas piring yang dipegang mempelai wanita


8
Kesembilan, Ngunjuk Rujak Degan. Rujak degan ialah minuman yang terbuat dari

serutan kelapa muda dicampur gula merah. Kesepuluh, Mapag Besan. Mapag

besan atau menjemput besan dilakukan karena orang tua mempelai pria tidak

diperkenankan hadir selama prosei panggih sampai upacara ngunjuk rejak degan.

Kesebelas, Sungkeman. Untuk meminta doa dan memohon maaf atas kesalahan

yang pernah dilakukan, kedua mempelai sembah sungkem kepada kedua pasang

orang tua.

D. Pengertian Waris Adat

Istilah waris sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang kemudian diadopsi langsung

ke dalam bahasa Indonesia. Hukum waris adat merupakan hukum adat yang memuat garis-

garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, harta waris, pewaris, dan ahli

waris serta prosedur bagaimana harta waris tersebut dialihkan pemilikan dan penguasaannya

dari pewaris kepada ahli waris.9

Menurut Soepomo, hukum adat waris memuat beberapa aturan yang mengatur proses

penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak

berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.10

Dari berbagai term pengertian diatas, dapat disimpulkan pula bahwa hukum waris

adat memuat tiga unsur pokok, yaitu: pertama, mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa

yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi ahli waris. Kedua, mengenai kapan suatu

warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta waris

tersebut, serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris. Ketiga, mengenai obyek hukum

9
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat. Cet. 4. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1990. Hal. 7
10
Ibid, hal. 8
9
waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang dinamakan harta warisan serta apakah

harta-harta tersebut semua dapat diwariskan.11

E. Proses Singkat Pewarisan Dalam Masyarakat Hukum Adat Jawa

Secara umum, sistem kewarisan yang biasa digunakan di dalam masyarakat adat Jawa

banyak mempunyai kesamaan dengan sistem kewarisan dalam hukum Islam di Indonesia

yang dalam hal ini adalah Kompilasi Hukum Islam. Persamaan tersebut terutama terletak

pada sistem kekerabatan dan asas kewarisan yang digunakan dan melekat pada keduanya.

Kewarisan adat Jawa maupun kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam sama-sama

menggunakan sistem kekerabatan bilateral atau parental, dimana pada sistem kekerabatan ini

tidak berlaku penarikan garis keturunan dari jalur ayah atau jalur ibu. Akan tetapi, penarikan

garis keturunan pada sistem bilateral atau parental diambil dari kedua orang tua (bapak dan

ibu). Hal ini berakibat dalam masalah kewarisan, dimana ahli waris tidak didominasi oleh

anggota keluarga garis keturunan bapak atau ibu, tetapi oleh kedua-duanya, perempuan

mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Mengenai asas kewarisannya pun, mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama

menggunakan asas kewarisan individual. Artinya, harta warisan tidak dikuasi hanya oleh

anggota keluarga tertentu dan tidak pula digunakan secara bersama-sama dengan hanya

mengambil manfaatnya. Akan tetapi, harta warisan tersebut dibagi-bagi kepada masing-

masing ahli waris menurut bagiannya masing-masing dan setiap ahli waris berhak memiliki

dan menguasainya, karena harta pada asas kewarisan individual bersifat ‘bisa dibagi-bagi’.12

11Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Rajawali. 1990. Hal. 287-288
12Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal.
107
10
Dalam hal ahli waris kedua sistem tersebut juga mempunyai perbedaan yang sangat

mencolok. Yang pertama, mengenai ahli waris anak angkat. Dalam Kompilasi Hukum Islam,

yang menjadi ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan

perkawinan dengan pewaris. Dengan demikian, anak angkat bukan merupakan ahli waris dari

pewaris karena tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris.

Sedangkan dalam sistem kewarisan adat Jawa, anak angkat merupakan ahli waris dari

pewaris. Bahkan, kedudukannya sangat isimewa dan bisa saja mengalahkan anak kandung.

Biasanya, anak angkat akan mendapatkan warisan sebelum orang tua angkatnya meninggal

dengan cara pengalihan atau penerusan. Hal itu dikarenakan adanya kekhawatiran orang tua

angkat, apabila warisan diberikan setelah wafatnya, anak angkat tersebut akan kalah dengan

anak kandung.

Selanjutnya dalam hal pembagian, sistem kewarisan adat Jawa tidak berdasarkan

perhitungan matematis seperti dalam sistem KHI. Perhitungannya dilakukan secara dundum

kupat, yaitu harta warisan dibagi sama antara para ahli waris baik laki-laki dan perempuan.

Hal ini didasarkan pada suatu perkiraan dan iktikad baik bahwa dengan pembagian yang

seperti itu keadilan dan keseimbangan antara para ahli waris dapat tercapai.

11
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Hukum adat perkawinan masyarakat jawa dan juga setelah menyajikan fakta empiris

dalam komunitas sosial tertentu seperti dalam penelitian koentjoro pada masyarakat

Mojokulon dan Mojotengah, ternyata, perkawinan adat dalam masyarakat jawa tidak statis

namun mengalami perubahan dan juga evolusi dalam hal varian-varian pekawinannya, hal

tersebut karena miliuw yang melingkupinya. Oleh karena itu meskipun secara normatif

hukum adat perkawinan memiliki kesamaan namun secara empiris bisa mengalami

perubahan-perubahan dalam masyarakat dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Dalam adat Jawa terdapat ahli waris utama dan menggunakan sistem pembagian

bertingkat, sehingga apabila ahli waris utama ada, maka ahli waris lain akan terhalang.

Sedangan dalam KHI tidak menganut adanya ahli waris utama. Cara pembagian dalam

kewarisan adat Jawa dilakukan dengan cara pembagian yang sama besar, sehingga ahli waris

perempuan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris laki-laki. Sedangkan dalam

KHI, pembagiannya sesuai dengan bagian masing-masing ahli waris yang telah ditentukan

dengan formulasi dua banding satu, sehingga laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari pada

perempuan. Sistem kewarisan adat Jawa tidak relevan dengan hukum Islam di Indonesia

(KHI). Karena antara keduanya mempunyai perbedaan dalam hal-hal yang sangat mendasar

dan prinsipil.

B. Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami

senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta kritik dan saran yang

sifatnya membangun demi perbaikan karya kami berikutnya.


12
DAFTAR PUSTAKA
Sugihen, Bahreint. 2007 Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: PTRajaGrafindo

Persada.

Kartono, Kartini. 2006 Psikologi Wanita 1. Bandung: Mandar Maju

C. Dewi Wulansari. 2010. HUKUM ADAT INDONESIA : Suatu Pengantar. PT Refika

Aditama: Bandung

Soepomo. 1997. Bab Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradya Paramita

Koentjoro. 2004. On the Spot; Tutur Dari Sarang Pelacur, Cet.II ed. Yogjakarta: Tinta

Suparlan, Parsudi. 1983. Kata Pengantar Dari Edisi Terjemahan the Riligion of Java

Karangan Clifford Geertz, vol. Ke-3 Jakarta: Pustaka Jaya

Hadikusuma, Hilman . 1990. Hukum Waris Adat. Cet. 4. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Soekanto, Soerjono. 1990. Hukum Adat Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Rajawali

Hasbiyallah, 2003. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: Remaja Rosdakarya

Wery Gusmansyah, 2013, Pluralisme Hukum Waris di Indonesia. Manhaj, Vol. 1, Nomor 2,

Mei – Agustus

13

Anda mungkin juga menyukai