Disusun Oleh :
Heriyanto 12020716139
Ilmu Hukum
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
S.H.I., M.H.. dan semua pihak yang telah membantu, sehingga makalah ini selesai sesuai
dengan waktunya. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun khususnya dari dosen sangat penyusun
harapkan, guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penyusun untuk lebih baik di
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa yang ingin menambah wawasan
ilmu pengetahuan tentang “Sistem Perkawinan dan Kewarisan Masyarakat Hukum Adat
Jawa”. Penyusun juga mengharapkan makalah ini dapat memberikan informasi bagi
masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan kita
semua.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Pengertian Perkawinan................................................................................ 3
B. Saran ............................................................................................................ 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
di pedesaan yang masih memegang tradisi lokal yang kuat. Setiap anggota masyarakat di
pedesaan pada umumnya sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek
moyang secara turun temurun. Bahkan adat istiadat merupakan dasar utama hubungan
pernikahan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut
urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan pada umumnya dirayakan secara meriah,
diiringi dengan upacara-upacara, peristiwa menyajikan makanan dan minuman dan perayaan
atau beberapa keramaian.2 Perkawinan merupakan salah satu peristiwa besar dan penting
dalam sejarah kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, peristiwa demikian biasanya tidak
dilewatkan orang begitu saja sebagaimana mereka menghadapi peristiwa sehari-hari. Pada
umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu
merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan yang
Lain halnya dengan pernikahan, masyarakat adat juga memiliki hukum waris dimana
perkembangan hukum waris di Indonesia, selama ini diwarnai oleh tiga sistem hukum waris.
Ketiga sistem hukum waris itu adalah, sistem Hukum Barat, sistem Hukum Adat dan sistem
1
Bahreint Sugihen, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: PTRajaGrafindo Persada. 2007. Hal. 26
2
Kartini Kartono, Psikologi Wanita 1 (Bandung: Mandar Maju, 2006), hal. 207.
1
Hukum Islam.3 Sebagai sistem hukum, maka ketiga sistem hukum tersebut di dalam
wujudnya seperti sekarang ini tidak lepas dari asas-asas yang mendukungnya. Setiap sistem
hukum mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya, maka
demikian juga adanya sistem Hukum Kewarisan Nasional, diharapkan asas-asasnya berasal
dari sub sistem Hukum Kewarisan yang turut andil di dalam proses pembentukannya, dan
Oleh karena itulah, menarik untuk disimak dan juga dibahas mengenai sistem
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
3
Wery Gusmansyah, 2013, Pluralisme Hukum Waris di Indonesia. Manhaj, Vol. 1, Nomor 2, Mei – Agustus, hal
153.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan pada hakekatnya adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. “Perkawinan” menurut
istilah ilmu Fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaj”. (Kamal Mukhtar, 1974 :
1) “Nikah” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz).
Arti yang sebenarnya dari “nikah”, ialah “dham”, yang berarti “menghimpit”, “menindih”
atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah “watha” yang berarti “setubuh” atau “aqad”
Dalam pernikahan bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam
arti kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan “nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang
sekali dipakai pada saat ini (Kamal Mukhtar, 1974 : 1). Pengertian perkawinan menurut
bahwa :“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja menyangkut
hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut hubungan antara kedua belah
Djojodigoeno hubungan suami istri setelah perkawinan bukan saja merupakan suatu
hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan
suatu paguyuban. Sedangkan hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang
3
perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di
Indonesia berbeda-beda. Hal ini dikarenakan sifat kemasyarakatan, adatistiadat, agama dan
zaman, selain adat perkawinan itu juga sudah mengalami pergeser dan jyga telah terjadi
Menurut sejarah, adat istiadat tata cara perkawinan jawa itu berasal dari keraton.
‘’Tempo doeloe’’ tata cara adat kebesaran perkawinan jawa itu, hanya bisa atau boleh
dilakukan di dalam tembok-tembok keraton atau orang-orang yang masih keturunan atau abdi
dalem keraton, yang di Jawa kemudian dikenal sebagai priyayi. Ketika kemudian Islam
masuk di keraton-keraton di Jawa, khususnya di keraton Yogya dan Solo, sejak saat itu tata
cara adat pernikahan Jawa berbaur antara budaya Hindu dan Islam. Paduan itulah yang
akhirnya saat ini, ketika tata cara pernikahan adat jawa ini menjadi primadona lagi.
Khususnya tata acara pernikahan adat jawa pada dasarnya ada beberapa tahap yang biasanya
dilalui yaitu tahap awal, tahap persiapan, tahap puncak acara dan tahap akhir.
Jika dilihat dalam khasanah budaya Jawa perkawinan dua sejoli merupakan bagian
`hakekat hidup'. Artinya, bahwa perkawinan itu hakekatnya adalah ujud `sabda dhawuh' nya
Tuhan (kodrat Tuhan) kepada manusia untuk berkembang biak. Maka dalam pandangan
Kejawen, perkawinan itu sakral dan berhubungan dengan`penciptaan' manusia baru (anak)
oleh Tuhan. Pria sejati dalam filosofi Jawa, adalah : memiliki rumah, pusoko, istri, kukilo,
turonggo. Rumah artinya, seorang pria harus bersikap melindungi, mengayomi. Pusoko
(keris) artinya seorang pria harus memiliki ketajaman berpikir, cerdas. Istri artinya seorang
4
C. Dewi Wulansari. HUKUM ADAT INDONESIA : Suatu Pengantar. (PT Refika Aditama: Bandung, 2010) hlm. 43
4
pria harus berlaku lemah lembut. Kukilo artinya seorang pria harus memberi dan menjadi
kesenangan bagi siapa. Turonggo artinya seorang pria harus menjadi kendaraan yang mampu
menghantar dan mempertemukan siapa pada jalan keselamatan. Demikian syarat bagi
Dalam Kejawen, perkawinan bukan sekedar urusan `hukum kawin mawin' yang
pijakannya sekedar memberi payung hukum masalah kebirahian (hubungan seks), tetapi
manusia itu diciptakan, bagaimana hubungan penciptaan itu dengan alam semesta, dan
perkawinan Jawa merupakan wujud nyata penjelasan pandangan Jawa terhadap `hakekat
perkawinan' yang fokus utamanya kepada kodrat Tuhan untuk penciptaan atau perkembang
biakan manusia. Pokok ajaran (filosofi) Jawa tentang perkawinan ditujukan kepada `titising
wiji'. Maka tatacara adat perkawinan Jawa lebih tertuju kepada penjelasan `titising wiji'
Dimulai dengan acara lamaran yang mengekspresikan bahwa kedua keluarga calon
penganten mendapatkan kesadaran tentang terpilihnya dua keluarga tersebut oleh Tuhan
dalam rangka akan menciptakan `manusia-manusia baru' (anak). Kedua keluarga tersebut
akan `besanan' yang artinya bahwa kedua keluarga tersebut bersedia `dipilih Tuhan' untuk
penciptaan (perkembang biakan) manusia yang akan menjadi anak-keturunan kedua keluarga
tersebut. Karena landasannya berupa `penerimaan' sabda dhawuhing Gusti untuk penciptaan
manusia, maka fokus perhatian adat istiadat Jawa tertuju kepada `penciptaan' tersebut. Oleh
wiji'. `Titising wiji' merupakan wujud nyata `penciptaan', maka menjadi pokok perhatian adat
Jawa dalam hal perkawinan. Wujud perhatian tersebut diawali berupa doa harapan yang
diekspresikan dalam upara robyongan atau temon dan pesan-pesan serta larangan-larangan
yang harus dijalani penganten setelah menikah. Kemudian dilanjutkan dengan adanya
upacara dan persyaratan-persyaratan yang harus dijalani kedua mempelai ketika yang
perempuan sudah mulai mengandung. Diantaranya berupa ritual tiga bulanan dan tujuh
bulanan serta larangan macam-macam bagi si calon ibu dan calon bapak (diantaranya
`kebenaran' sabda dhawuhing Gusti, sedang larangan yang harus dijalani si calon ibu dan
calon ayah. Apakah dalam budaya dan peadaban lain (termasuk yang bertolak dari ajaran
agama) mengenal ritual untuk terciptanya manusia di kandungan Ibu sebagaimana yang ada
Dalam sistim hukum adat pernikahan atau perkawinan adalah suatu peristiwa adat
yang sacral, namun ketika berada dalam dataran empiris sedikit-demi sedikit mengalami
pergeseran mengarah keranah profane, hal tersebut tergantung pada kelompok sosial serta
miliu yang melingkupinya, sebagai contoh dalam penelitiannya Koentjoro yang di lakukan di
Mojokulon Jawa Tengah disana memiliki beberapa jenis perkawinan yang diantaranya adalah
gendhak, nikah kyai, nikah ciasem, kumpul kebo dan nikah kampung.7 Selanjutnya Koenjoro
Mojotengah yang diantaranya adalah nikah kontrak, nikah adat, nikah gantung, nikah sirri,
7
Koentjoro, On the Spot; Tutur Dari Sarang Pelacur, Cet.II ed. (Yogjakarta: Tinta, 2004). Hal.141
8
Parsudi Suparlan, Kata Pengantar Dari Edisi Terjemahan the Riligion of Java Karangan Clifford Geertz, vol. Ke-
3 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).
6
masyarakat tersebut hanya nikah mut’ah, ghendak dan kumpul kebo, yang tidak diterima,
adapun jenis perkawinan yang lain diterima oleh komunitas tersebut. Dari kenyataan faktual
diatas, hukum perkawinan adat ternyata tidaklah setatis dari sisi variannya, namun
mengalami evolusi dan perubahan karena bersinggungan dengan miliu yang melingkupinya
Ada beberapa kegiatan adat yang harus di lalui bagai calon mempelai dan
tersebuta adalah pertama; Pasang Tarub, Bleketepe, dan Tuwuhan. Upacara yang
tuwuhan. Menurut tradisi, tarub diartikan sebagai atap sementara atau peneduh di
Kedua; Sungkeman Orangtua. Ditujukan untuk meminta doa dan restu orang tua
Ketiga; Siraman. Diambil dari kata siram yang berarti mandi, ritual siraman
dimaknai sebagai penyucian diri agar ketika memasuki hari pernikahan calon
Keempat; Meratus Rambut dan Ngerik. Rambut yang basah sehabis disiram
dikeringkan oleh perias dengan diratus. Tidak hanya kering, rambut pun akan
Kelima, Midodareni. Berasal dari kata widadari yang berarti bidadari, midodareni
dijalankan calon mempelai wanita di dalam kamar sejak pukul 18.00 hingga
7
24.00. Calon pengantin wanita dengan riasan tipis dan sederhana, hanya duduk
tenang di kamar ditemani ibu dan kerabat dekat yang semuanya wanita.
Ada beberapa adat kebiasaan yang dijalankan dalam prosesi ini. Pertama, Prosesi
kedua mempelai setelah resmi menjadi suami istri. Kedua, Penyerahan Sanggan.
Sanggan diserahkan kepada orang tua mempelai wanita sebagai penebus putri
mereka. Ketiga; Balangan Gantal. Gantal ialah daun sirih yang diisi bunga pinang,
kapur sirih, gambir, dan tembakau hitam yang diikat dengan benang lawe.
Keempat: Wijikan, Ritual wijikan dikenal pula dengan sebutan ranupada. Ranu
bermakna air, dan pada berarti kaki. Ritual ini dikerjakan mempelai wanita yang
membasuhkan air pada kaki mempelai pria sebanyak tiga kali. Kelima, Kanten
Asto. Perbedaan antara kawula (masyarakat biasa) dan bangsawan, seperti putri
sultan, terletak pada prosesi pondong yang khusus dilakukan pada pernikahan
putri sultan. Sedangkan pada kawula, prosesi tersebut digantikan dengan kanten
asto. Keenam, Tanem Jero, Sampai di pelaminan, kedua mempelai masih dalam
Ketujuh, Tampa Kaya. Adalah prosesi menuangkan kaya yaitu biji-bijian seperti
kacang kedelai, kacang tanah, gabah, padi, beras kuning, jagung; sejumlah bumbu
dapur; bunga sritaman; dan uang logam. Kedelapan, Dhahar Kalimah. Pada
prosesi dhahar kalimah, mempelai pria membuat tiga kepalan nasi kuning dan
serutan kelapa muda dicampur gula merah. Kesepuluh, Mapag Besan. Mapag
besan atau menjemput besan dilakukan karena orang tua mempelai pria tidak
diperkenankan hadir selama prosei panggih sampai upacara ngunjuk rejak degan.
Kesebelas, Sungkeman. Untuk meminta doa dan memohon maaf atas kesalahan
yang pernah dilakukan, kedua mempelai sembah sungkem kepada kedua pasang
orang tua.
Istilah waris sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang kemudian diadopsi langsung
ke dalam bahasa Indonesia. Hukum waris adat merupakan hukum adat yang memuat garis-
garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, harta waris, pewaris, dan ahli
waris serta prosedur bagaimana harta waris tersebut dialihkan pemilikan dan penguasaannya
Menurut Soepomo, hukum adat waris memuat beberapa aturan yang mengatur proses
penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak
Dari berbagai term pengertian diatas, dapat disimpulkan pula bahwa hukum waris
adat memuat tiga unsur pokok, yaitu: pertama, mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa
yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi ahli waris. Kedua, mengenai kapan suatu
warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta waris
tersebut, serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris. Ketiga, mengenai obyek hukum
9
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat. Cet. 4. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1990. Hal. 7
10
Ibid, hal. 8
9
waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang dinamakan harta warisan serta apakah
Secara umum, sistem kewarisan yang biasa digunakan di dalam masyarakat adat Jawa
banyak mempunyai kesamaan dengan sistem kewarisan dalam hukum Islam di Indonesia
yang dalam hal ini adalah Kompilasi Hukum Islam. Persamaan tersebut terutama terletak
pada sistem kekerabatan dan asas kewarisan yang digunakan dan melekat pada keduanya.
Kewarisan adat Jawa maupun kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam sama-sama
menggunakan sistem kekerabatan bilateral atau parental, dimana pada sistem kekerabatan ini
tidak berlaku penarikan garis keturunan dari jalur ayah atau jalur ibu. Akan tetapi, penarikan
garis keturunan pada sistem bilateral atau parental diambil dari kedua orang tua (bapak dan
ibu). Hal ini berakibat dalam masalah kewarisan, dimana ahli waris tidak didominasi oleh
anggota keluarga garis keturunan bapak atau ibu, tetapi oleh kedua-duanya, perempuan
menggunakan asas kewarisan individual. Artinya, harta warisan tidak dikuasi hanya oleh
anggota keluarga tertentu dan tidak pula digunakan secara bersama-sama dengan hanya
mengambil manfaatnya. Akan tetapi, harta warisan tersebut dibagi-bagi kepada masing-
masing ahli waris menurut bagiannya masing-masing dan setiap ahli waris berhak memiliki
dan menguasainya, karena harta pada asas kewarisan individual bersifat ‘bisa dibagi-bagi’.12
11Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Rajawali. 1990. Hal. 287-288
12Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal.
107
10
Dalam hal ahli waris kedua sistem tersebut juga mempunyai perbedaan yang sangat
mencolok. Yang pertama, mengenai ahli waris anak angkat. Dalam Kompilasi Hukum Islam,
yang menjadi ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris. Dengan demikian, anak angkat bukan merupakan ahli waris dari
Sedangkan dalam sistem kewarisan adat Jawa, anak angkat merupakan ahli waris dari
pewaris. Bahkan, kedudukannya sangat isimewa dan bisa saja mengalahkan anak kandung.
Biasanya, anak angkat akan mendapatkan warisan sebelum orang tua angkatnya meninggal
dengan cara pengalihan atau penerusan. Hal itu dikarenakan adanya kekhawatiran orang tua
angkat, apabila warisan diberikan setelah wafatnya, anak angkat tersebut akan kalah dengan
anak kandung.
Selanjutnya dalam hal pembagian, sistem kewarisan adat Jawa tidak berdasarkan
perhitungan matematis seperti dalam sistem KHI. Perhitungannya dilakukan secara dundum
kupat, yaitu harta warisan dibagi sama antara para ahli waris baik laki-laki dan perempuan.
Hal ini didasarkan pada suatu perkiraan dan iktikad baik bahwa dengan pembagian yang
seperti itu keadilan dan keseimbangan antara para ahli waris dapat tercapai.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum adat perkawinan masyarakat jawa dan juga setelah menyajikan fakta empiris
dalam komunitas sosial tertentu seperti dalam penelitian koentjoro pada masyarakat
Mojokulon dan Mojotengah, ternyata, perkawinan adat dalam masyarakat jawa tidak statis
namun mengalami perubahan dan juga evolusi dalam hal varian-varian pekawinannya, hal
tersebut karena miliuw yang melingkupinya. Oleh karena itu meskipun secara normatif
hukum adat perkawinan memiliki kesamaan namun secara empiris bisa mengalami
Dalam adat Jawa terdapat ahli waris utama dan menggunakan sistem pembagian
bertingkat, sehingga apabila ahli waris utama ada, maka ahli waris lain akan terhalang.
Sedangan dalam KHI tidak menganut adanya ahli waris utama. Cara pembagian dalam
kewarisan adat Jawa dilakukan dengan cara pembagian yang sama besar, sehingga ahli waris
perempuan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris laki-laki. Sedangkan dalam
KHI, pembagiannya sesuai dengan bagian masing-masing ahli waris yang telah ditentukan
dengan formulasi dua banding satu, sehingga laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari pada
perempuan. Sistem kewarisan adat Jawa tidak relevan dengan hukum Islam di Indonesia
(KHI). Karena antara keduanya mempunyai perbedaan dalam hal-hal yang sangat mendasar
dan prinsipil.
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami
senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta kritik dan saran yang
Persada.
Aditama: Bandung
Soepomo. 1997. Bab Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradya Paramita
Koentjoro. 2004. On the Spot; Tutur Dari Sarang Pelacur, Cet.II ed. Yogjakarta: Tinta
Suparlan, Parsudi. 1983. Kata Pengantar Dari Edisi Terjemahan the Riligion of Java
Hadikusuma, Hilman . 1990. Hukum Waris Adat. Cet. 4. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Wery Gusmansyah, 2013, Pluralisme Hukum Waris di Indonesia. Manhaj, Vol. 1, Nomor 2,
Mei – Agustus
13