Anda di halaman 1dari 20

PROSESI PERKAWINAN

ADAT BALI
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Hukum Adat.
Dosen Pengampu: Shalman Al Farizi, S.H., M.Kn.

Oleh:
Indra Bagus W
C100180337

Kelas E
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
2019/2020
Kata Pengantar
Assalamualaikum wr. Wb.

Segala puji bagi Tuhan yang maha Esa atas semua limpahan rahmat dan
hidayah serta karunianya sehingga tugas makalah ini sanggup tersusun hingga
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan begitu banyak terimakasih atas uluran
tangan dan bantuan berasal dari pihak yang telah bersedia berkontribusi bersama
dengan mengimbuhkan sumbangan baik anggapan maupun materi yang telah
mereka kontribusikan.

Makalah ini di tulis guna memenuhi tugas mata kuliah hukum adat, untuk
memberikan sedikit literasi tentang prosesi pernikahan adat pada suatu daerah.

Dan kita semua berharap semoga makalah ini mampu


menambah pengalaman serta ilmu bagi para pembaca. Sehingga untuk ke depannya
sanggup memperbaiki bentuk maupun tingkatkan isikan makalah sehingga menjadi
makalah yang miliki wawasan yang luas dan lebih baik lagi.

Karena keterbatasan ilmu maupun pengalaman kami, Kami percaya tetap


banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat berharap saran
dan kritik yang membangun berasal dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Gonilan, 23 Oktober 2019.

Indra Bagus w
Daftar Isi
Kata Pengantar.................................................................................................................... 0
Daftar Isi .............................................................................................................................. 1
BAB 1 ................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 2
A. Latar Belakang. ........................................................................................................ 2
B. Rumusan Masalah. .................................................................................................. 3
C. Tujuan. .................................................................................................................... 3
BAB 2 ................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 4
A. Pengertian Hukum Adat Bali. .................................................................................. 4
B. Pengertian Perkawinan dalan hukum adat Bali. ..................................................... 5
C. Macam-Macam Perkawinan dalam adat Bali. ........................................................ 6
D. Hakekat Perkawinan adat Bali. ............................................................................... 9
E. Makan dan Lambang-lambang perkawinan adat Bali........................................... 10
F. Urutan proses Makalan-Makalan atau Perkawianan............................................ 15
BAB 3 ................................................................................................................................. 17
PENUTUP ........................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan. ........................................................................................................... 17
B. Saran. .................................................................................................................... 18
C. Daftar Pustaka. ...................................................................................................... 18

1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan dalam masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut
wanita dan pria calon mempelai saja, tetapi juga orang tua serta keluarga kedua
belah pihak.

Dalam hukum adat perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa penting


bagi mereka yang hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang
sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat dan diikuti oleh arwah-arwah para
leluhur kedua belah pihak. Dan dari arwah inilah kedua belah pihak serta seluruh
keluarganya mengharapkan juga restunya bagi kedua mempelai, hingga mereka
setelah menikah dapat hidup rukun dan bahagia sampai tua nanti.

Oleh karena itu perkawinan mempunyai arti yang demikian pentingnya,


maka pelaksanaanya senantiasa dimulai dan seterusnya di sertai bebagai upacara
lengkap dengan sesajen-sajennanya.

Berbicara mengenai Bali seolah tidak akan pernah ada habisnya. Selalu ada
saja sisi menarik yang dapat membangkitkan rasa kagum akan daratan berjuluk
pulau dewata itu. Salah satunya adalah tradisi pernikahannya yang unik. Saking
uniknya, mungkin tradisi itu, hanya dapat dijumpai di Bali saja. Dan bagi
masyarakat Bali, pernikahan merupakan momen penting, karena pada saat itu,
pasangan yang sudah menikah mendapat status menjadi warga penuh dari
masyarakat. Selain itu, mereka juga memperoleh hak dan kewajiban sebagai warga
komuniti dan kelompok kerabat.

Perkawinan menurut adat Bali merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh
sebab itu pada jaman weda, perkawinan ditentukan oleh seorang resi, yang mampu
melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan.
dengan pandangan seorang resi ahli atau brahmana sista, cocok atau tidak cocoknya
suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas.

Menurut adat Hindu Bali, pernikahan dilakukan di rumah calon pengantin


laki-laki pada hari yang dianggap baik oleh pendeta Hindu Bali. Biasanya pengantin

2
baru tinggal bersama keluarga laki-laki dalam satu pekarangan rumah. Ada dua
macam pernikahan, yaitu ‘kawin lari’, dan ‘kawin ngidih’. Kawin lari (cara kuno di
Bali bagian Timur), di mana perempuan meninggalkan rumahnya untuk menikah
tanpa pengetahuan orangtuanya, sudah agak jarang dilakukan. Cara pernikahan
yang umum dilaksanakan dewasa ini adalah kawin ngidih, di mana pihak laki-laki
meminta kepada orangtua pihak perempuan.

B. Rumusan Masalah.
Dengan melihat latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini Penulis
memperoleh hasil maksimal, maka penulis mengemukakan beberapa rumusan
masalah adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian hukum adat Bali?

2. Bagaimana pengertian perkawinan menurut hukum adat Bali?

3. Macam-macam dari perkawinan menurut adat Bali?

4. Apa saja peralatan perkawinan adat Bali?

5. Bagaimana urutan dalam ritual perkawinan adat Bali?

6. Perkawinan jenis apa yang lazim digunakan dalam masyarakat Bali?

C. Tujuan.
1. Untuk mengetahui pengertian hukum adat Bali.

2. Untuk mengetahui pengertian perkawinan.

3. Untuk mengetahui perkawinan menurut hukum adat Bali.

4. Sebagai pengetahuan dan masukkan untuk memahami bagaimana tradisi


dan budaya dari suku Bali dalam hal melaksanakan perkawinannya.
5. Untuk memenhi tugas mata kuliah Hukum Adat.

3
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Adat Bali.
Hukum adat Bali adalah hukum yang yang tumbuh dalam lingkungan
masyarakat Bali yang berlandaskan pada ajaran Agama Hindu dan berkembang
mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat Bali itu sendiri. Oleh
karenanya dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya.

Tak dapat dipisahkannya antara adat dan agama di dalam masyarakat


hukum adat Bali, disebabkan karena adat itu sendiri bersumber dari ajaran agama.
Dalam ajaran agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh masyarakat hukum adat
Bali, pelaksanaan agama dapat dijalankan melalui etika, susila, dan upacara. Ketiga
hal inilah digunakan sebagai norma yang mengatur kehidupan bersama di dalam
masyarakat. Etika, susila, dan upacara yang dicerminkan dalam kehidupannya
sehari-hari mencerminkan rasa kepatutan dan keseimbangan (harmoni) dalam
kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya azas hukum yang melingkupi hukum
adat Bali adalah kepatutan dan keseimbangan.

Adanya azas kepatutan dan keseimbangan ini, adalah pedoman untuk dapat
mengukur apakah tindakan dan perbuatan itu sesuai dengan norma yang berlaku
ataukah telah terjadi pelanggaran. Dalam hal seperti ini maka harus dapat dibedakan
antara mana yang disebut ‘patut’ dan apa yang disebut dengan ‘boleh’. Segala
sesuatu yang boleh dilakukan, belum tentu merupakan perbuatan yang patut
dilakukan. Sebagai misal, setiap perempuan pada prinsipnya boleh hamil, namun
perempuan yang patut hamil hanyalah perempuan yang memiliki suami. Demikian
pula selanjutnya dengan perbuatan-perbuatan yang lainnya.

Sedang pada azas keseimbangan (harmoni), pada dasarnya seluruh


perbuatan manusia diharapkan tidak mengganggu keseimbangan didalam
kehidupan masyarakan. Pada perbuatan ataupun keadaan yang mengganggu
keseimbangan, maka perlu dilakukan pemulihan keseimbangan yang berupa
tindakan-tindakan yang mencerminkan mengembalikan keseimbangan yang terjadi
oleh perbuatan atau keadaan tersebut. Pada gangguan keseimbangan yang tidak

4
diketahui atau tidak dapat ditimpakan pertanggungjawabannya atas kejadian
tersebut, maka adalah menjadi tanggung jawab persekutuan (kesatuan masyarakat
hukum adat) untuk bertanggung jawab atas pengembalian keseimbangan yang
harus dilakukan.

Walaupun tadi dikatakan bahwa antara adat dan agama tidak dapat
dipisahkan, namun antara adat dan agama masih dapat dibedakan. Agama (dalam
hal ini agama Hindu yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali) adalah berasal
dari ketentuan-ketentuan ajaran dari para maharesi dan kitab suci yang
diturunkannya. Sedangkan adat adalah berasal dari kebiasaan dalam masyarakat
yang dapat mengikuti situasi, kondisi, dan tempat pada saat itu.

B. Pengertian Perkawinan dalan hukum adat Bali.


Bali pada umumnya memeluk agama Hindu, dimana dalam agama Hindu
mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha,
Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap,
tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama.
Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan
Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama.
Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup
diprioritaskan untuk mencapai moksa.

Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan


hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya
Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut “Yatha sakti Kayika
Dharma” yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi
seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam
kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar
disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan. Dalam
perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu
mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma. Pada tahap persiapan,
seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan
bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil
rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik

5
kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama
mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa mandiri di dalam
mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma

Dalam hal perkawinan menurut adat Bali, perkawinan dilakukan di rumah


calon pengantin laki-laki pada hari yang dianggap baik oleh pendeta Hindu Bali.
Biasanya pengantin baru tinggal bersama keluarga laki-laki dalam satu pekarangan
rumah.

C. Macam-Macam Perkawinan dalam adat Bali.


Dalam budaya adat Bali dikenal ada dua macam perkawinan, yaitu ‘kawin
lari’, dan ‘kawin ngidih’. Kawin lari (cara kuno di Bali bagian Timur), di mana
perempuan meninggalkan rumahnya untuk menikah tanpa sepengetahuan
orangtuanya, namun perkawinan seperti ini sudah sangat jarang dilakukan. Tata
cara perkawinan yang umum dilaksanakan dewasa ini adalah kawin ngidih, di mana
pihak laki-laki meminta kepada orangtua pihak perempuan.

Menurut tradisi adat Bali terdapat dua jenis perkawinan. Jenis pertama
berupa tiga bentuk pernikahan, yakni menikah dengan cara meminang atau
memadik atau ngindih dari pihak keluarga pria ke pihak keluarga wanita.
Berikutnya menikah dengan cara telah dijodohkan yakni pertalian hubungan karena
dijodohkan atau dikehendaki oleh pihak kedua orang tua tanpa sepengetahuan pihak
si gadis atau jejaka. Dan bentuk pernikahan berikutnya, yakni menikah dengan cara
kawin lari, di mana saat ini masih terjadi di desa-desa tertentu di Bali bagian Timur
atau karenakan perbedaan wangsa/kasta dan lainnya. Sesuai tradisi adat Bali yang
menganut garis patrilineal (menurut garis keluarga laki-laki, patrilenal), maka
ketiga bentuk pernikahan tersebut di atas seluruhnya diselenggarakan oleh pihak
keluarga pengantin laki-laki.

Sedangkan bentuk pernikahan kedua adalah perkawinan Nyentana atau


Nyeburin, di mana prosesi dilaksanakan oleh pihak keluarga wanita. Perkawinan
menurut garis pihak wanita, matrilineal, merupakan kebalikan sari ketiga bentuk
pernikahan adat Bali yang disebutkan sebelumnya yakni mengikuti garis laki-laki
(patrilineal). Jenis perkawinan dan kedua juga memiliki akibat hokum adat yang
berbeda. Hal demikian sangat bisa dipahami, mengingat perkawinan adat Bali

6
bukanlah urusan mempelai berdua saja, melainkan juga terkait erat dengan
keluarga, banjar (RT) bahkan desa dan kehidupan social yang bersifat magis-
religius yang melekat sangat kuat.

Dalam makalah ini akan diuraian tata cara pelaksanaan pernikahan yang
lazim dilakukan secara umum oleh masyarakat di Bali. Di mana pihak laki-laki
meminta kepada orangtua pihak perempuan (kawin ngidih) untuk dinikahkan
sebagai suami isteri, namun perlu juga kita mengenal sedikit mengenai kawin lari.

1. Kawin Lari.
Dalam hal perkawinan jenis ini (kawin Lari) tentunya tidak sama
dengan kawin lari pada umumnya dimana pada hari yang telah disetujui atau
disepakati oleh pasangan calon pengantin, maka pihak laki-laki atau orang
lain yang dimintai tolong, menjemput si perempuan dan membawanya ke
rumah salah satu kerabat atau temannya untuk disembunyikan paling sedikit
selama tiga hari atau sampai orang tua pihak perempuan mengakui bahwa
anak gadisnya telah menikah.
Selanjutnya, empat orang mewakili pihak laki-laki untuk
menyampaikan pesan kepada orangtua bahwa anak gadisnya telah pergi
untuk menikah. Kelian banjar dari pihak keluarga perempuan ikut untuk
menyampaikan pesan tersebut. Mereka membawa lampu sebagai simbul
penerangan dan surat pernyataan dari calon pasangan pengantin bahwa
mereka menikah atas dasar cinta dan tanpa paksaan pihak manapun. Dan
apabila orangtua si perempuan menerima bahwa anaknya telah dilarikan dan
akan menikah dengan laki-laki pilihannya, mereka menentukan kapan wakil
dari pihak laki-laki bisa datang kembali ke rumahnya untuk menyelesaikan
masalah pernikahan ini.
 Pawiwahan (upacara) tiga hari.
Setelah tiga hari berada di rumah pihak laki-laki atau
persembunyian, calon pengantin baru akan diupacarai dengan
sesajen yang dituntun oleh pemangku (pendeta dari keluarga
Sudra) untuk mengesahkan perkawinan tersebut secara agama
Hindu Bali. Upacara ini hanya dihadiri oleh keluarga dekat

7
pasangan pengantin atau pihak laki-laki saja kalau memakai cara
kawin lari.
 Pawiwahan di sanggah (pura keluarga).
Pada hari yang telah disepakati dan ditunjuk oleh pendeta
Brahmana, upacara yang lebih besar dilaksanakan di sanggah
pihak laki-laki. Makna upacara ini adalah untuk menyampaikan
kepada para leluhur yang bersemayam di sanggah itu, bahwa ada
satu pendatang baru yang akan menjadi anggota keluarga dan
akan melanjutkan keturunannya.
2. Kawin Ngidih.
Ngidih dalam bahasa Indonesia berarti “Meminta” sehingga yang
dimaksudkan dengan kawin ngidih disini yaitu pada hari yang telah
disepakati bersama, keluarga dan kerabat dekat pihak laki-laki datang ke
rumah pihak perempuan untuk menyampaikan keinginan mereka untuk
menikahkan anak laki-lakinya dengan anak gadis dari pihak perempuan.
Kemudian mereka akan menetapkan satu hari untuk mengumpulkan seluruh
keluarga dari pihak perempuan dan meminta keluarga laki-laki dan kerabat
dekatnya untuk datang kembali untuk melamar dan membicarakan
tatalaksana upacara pernikahan. Setelah kesepakatan tercapai, calon
pengantin perempuan dibawa ke rumah calon pengantin laki-laki.
Dalam kawin ngidih semua anggota banjar dari pihak laki-laki dan
seluruh keluarga besar dari pihak perempuan dan para undangan lainnya
menyaksikan upacara ini. berbeda dengan kawin lari, keluarga atau kerabat
dekat dari pihak perempuan tidak terlibat.
Upacara ini biasanya dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara
mepamit (perpisahan) yang akan dilakukan di sanggah pihak keluarga
pengantin perempuan. Makna dari upacara ini adalah untuk minta pamit
kepada para leluhur karena sekarang telah menikah dan menjadi milik dan
tanggung jawab keluarga laki-laki.
Mengenai biaya perkawinan pada umumnya semua biaya upacara
perkawinan ditanggung oleh keluarga pihak laki-laki termasuk untuk
upacara Mepamit yang dilakukan di rumah orangtua perempuan. Anggota

8
banjar menyediakan sebagian bahan makanan untuk pesta atau bahan
upacara, dan para tamu undangan membawa hadiah untuk pengantin baru.

D. Hakekat Perkawinan adat Bali.


Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan
kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki
karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan “Ri sakwehning
sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha
karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma
pahalaning dadi wang” artinya: dari demikian banyaknya semua mahluk yang
hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk.
Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah
manfaat jadi manusia.

Berkait dengan sloka di tas, karma hanya dengan menjelma sebagai


manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan
anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang
sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat
dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan
melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.

Perkawinan umat hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab
itu pada jaman weda, perkawinan ditentukan oleh seorang resi, yang mampu
melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan.
dengan pandangan seorang resi ahli atau brahmana sista, cocok atau tidak cocoknya
suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas.

Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan


rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua
mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak
lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan
mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan
kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya
nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.

9
Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua
barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya.
Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri.
Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan
mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan
oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran
sosial ekonomi dan bukan derajat rohani

E. Makan dan Lambang-lambang perkawinan adat Bali.


UU Perkawinan No 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai
hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama
yang disebut “Mekala-kalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang
pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena
merupakan titik sentral kekuatan “Kala Bhucari” sebagai penguasa wilayah
madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata “kala” yang
berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu
keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan
pengantin yang biasa disebut dalam “sebel kandel”.

Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia)


kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah
menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari
Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang
Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.

Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua


mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung
kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum)
dari pengantin wanita.

Ada pula Peralatan dan Simbol-simbol yang digunakan dalam perkawinan


adat Bali, sebagai berikut:

1. Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan pisang (biyu lalung) dan di sebelah
kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya

10
merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini
merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang
Hyang Semara Ratih.
Pisang (Biyu lalung) adalah simbol kekuatan purusa dari Sang
Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang
Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan
simbol pengantin pria.
Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi
dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan
serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.
2. Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg).
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara
mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
3. Tikeh Dadakan (tikar kecil).
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol
selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual,
tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti
(kekuatan yoni).
4. Keris.
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon
pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya
sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.
5. Benang Putih.
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah
meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung
benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30
cm.
Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita
dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara
mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan
menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.

11
Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan,
berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya
dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
6. Tegen–tegenan (pikul-pikulan).
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung
jawab sekala dan niskala. Perangkat tegen-tegenan:
 Batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap
seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
 Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat
bekerja, berkarma berdasarkan Dharma.
 Periuk simbol windhu.
 Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).
 Seekor yuyu (kepiting) simbol bahasa isyarat memohon
keturunan dan kerahayuan (kebahagiaan).
7. Suwun-suwunan (sarana jinjingan).
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas,
kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri
mengmbangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon
kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
8. Dagang-dagangan / Jual Beli.
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun
rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat
perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam
transaksi dagang.
9. Sapu lidi (3 lebih).
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling
mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling
memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna,
berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik,
disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan
kehidupan rumah tangga.
10. Sambuk Kupakan (serabut kelapa).

12
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek,
kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga
(tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas,
tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa)
mengisyaratkan kesucian.
Telor bebek simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa
(metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki
oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling
mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari
langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat
terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat
tidur mempelai.
11. Tetimpug.
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh (daun kelapa
kering) yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.
Setelah upacara mekala-kalaan selesai dilanjutkan dengan cara
membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan “angelus wimoha” yang
berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad menjadi
daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang
Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan
ini bisa lahir anak yang suputra.
Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena akan natab di
bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara
Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir
diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita.
12. Hari Baik.
Memilih hari baik dan bulan baik, juga menjadi kepercayaan bagi
kalangan adat Bali dalam melangsungkan pernikahan. Itulah sebabnya, pada
hari yang telah disepakati bersama, keluarga dan kerabat dekat pihak laki-
laki datang ke rumah pihak perempuan untuk menyampaikan keinginan
mereka untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan anak gadis pihak

13
keluarga perempuan. Setelah kesepakatan tercapai, maka sesuai hari yang
telah disepakati, calon pengantin perempuan dijemput untuk dibawa ke
kediaman calon pengantin laki-laki.
Penikahan adat Bali melibatkan hampir seluruh keluarga, warga
banjar (RT) bahkan desa dan kehidupan social yang bersifat magis-religius
sangat kuat. Sudah menjadi tradisi, pagi-pagi menjelang prosesi warga
banjar telah sibuk menyiapkan berbagai perlengkapan upacara pernikahan,
mulai aneka sesajen, altar suci, serta sanggah (pura keluarga/tempat untuk
sembahyang) dipergunakan sebagai tempat berlangsungnya rangkaian
upacara.
Pelaksanaan prosesi pernikahan adat Bali atau biasa disebut
Pawiwahan diawali dengan penjemputan calon pengantin mempelai wanita
oleh pihak keluarga pengantin pria untuk dibawa ke kediaman pihak
pengantin pria. Setibanya kedua mempelai (dari penjemput mempelai
wanita) di depan pintu pekarangan kediaman keluarga pengantin laki-laki,
dilakukan upacara Byekawon dipimpin oleh Jero Balian atau Jero Mangku.
13. SUCI HATI, SUCI DIRI.
Mengawali kehidupan sebagai pasangan dengan kesucian. Itulah
sebabnya, upacara Madengen-dengen atau Mekala-kalaan yang memiliki
makna dan tujuan ‘membersihkan dan mensucikan ‘kedua mempelai
merupakan bagian terpenting dalam rangkaian upacara pernikahan adat
Bali. Upacara ini juga merupakan wujud pesaksian di hadapan Tuhan
disaksikan para kerabat dan masyarakat setempat.
Dipandu oleh Balian atau Pemangku, maka kedua mempelai
dipimpin ke tempat upacara, melakukan upacara sesuai dengan tata cara
menurut Hindu Bali. Makala-kalaan secara simbolis bertujuan untuk
membersihkan mempelai dari pengaruh energi negative.
Sejatinya, makna upacara Mekala-kalaan adalah suatu pengesahan
perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian jasmani maupun
rohani, untuk memasuki kehidupan berumah tangga menuju keluarga
bahagia dan sejahtera.

14
Bunyi genta dari tangan sang Pendeta menandakan dimulainya ritual
upacara pernikahan yang dinyanyikan oleh warga Banjar, menghadirkan
nuansa amat sakral. Bau wangi dari asap dupa mengiringi khidmat pasangan
pengantin yang menerima percikan air suci dari sang pemimpin upacara.
Komitmen pasangan pria dan wanita untuk kehidupan berumah tangga di
sinilah bermula.

F. Urutan proses Makalan-Makalan atau Perkawianan.


1. Menyentuhkan kaki pada kala sepetan.
Pasangan mempelai berjalan mengiringi sanggar pesaksi, kemulan
dan penegteg sebanyak tiga kali putaran. Kedua mempelai menyetuhkan
kakinya pada kala sepetan. Pada ritual ini, mempelai pria memikul tegen-
tegenan, sedangkan pengantin wanita menjunjung bakul perdagangan.
Makna: Merupakan simbolisasi untuk membersihkan dirinya
terutama sukla swanita mereka.
2. Jual Beli.
Mempelai pria berbelanja, sementara pengantin wanita menjual
segala isi dagangan yang ada dalam bakul yang dijinjingnya.
Makna: Upacara jual beli yang dilakukan antara kedua mempelai
merupakan simbolisasi bahwa kehidupan rumah tangga suami dan istri
saling memberi dan mengisi dan akhirnya tercapailah keinginan dan tujuan
kehidupan keluarga yang sejahtera.
3. Menusuk Tikeh Dadakan.
Sesuai prosesi jual beli, berlanjutdengan ritual pengantin pria
dengan kerisnya menusuk atau merobek tiker kecil terbuat dari anyaman
daun pandan muda (tikeh dadakan) yang di pegang mempelai wanita.
Makna: Bila ditinjau dari sisi spiritual, anyaman tikar kecil pandan
merupakan simbolisasi kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan Yoni);
secara keris adalah simbolisasi dari kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan
lingga) dari pengantin pria.
4. Memutuskan Benang.
Rangkaian prosesi dilakukan dengan menanam kunyit, keladi/talas,
dan andong dibelakang merajan/sanggah (tempat sembahyang keluarga);

15
kemudian dilanjutkan dengan memutuskan benang putih yang terentang
pada cabang dadap(papegatan).
Makna: Ritual menanam adalah suatu simbol untuk menanam bibit
untuk melanggengkan keturunan keluarga. Memutus benang putih
bermakna bahwa kedua mempelai telah melampaui masa remajanya, dan
kini memasuki kehidupan baru.
5. Upacara Natab Banten Beduur (Mewidi Widana).
Prosesi yang dilakukan sesuai ritual Mekala-kalaan ini merupakan
penyempurna dalam rangkaian acara Wiwaha, dipimpin oleh pimpinan
upacara (Sulinggih/Ida Peranda). Setelah sembahyang di
depan bebanten/sajen, lalu kedua mempelai melakukan sembahyang di
tempat pemujaan/pura keluarga, dipimpin oleh pemangku sanggah dan
diantar oleh para pini sepuh. Dengan dipandu oleh Pendeta Brahmana,
prosesi ini adalah untuk menyampaikan kepada para leluhur, bahwa ada satu
pendatang batu yang akan menjadi anggota keluarga dan akan melanjutkan
keturunannya. Semua itu sebagai pertanda sahnya pernikahan pasangan
pengantin di hadapan Tuhan, adat, dan masyarakat.
6. Upacara Ma Pejati/Majauman.
Prosesi ini juga disebut upacar Mepamit/berpamitan atau perpisahan
yang dilakukan di sanggah (tempat sembahyang keluarga) pihak pengantin
wanita. Makna dari upacara ini adalah untuk minta pamit kepada para
leluhur pihak mempelai wanita, karena sekarang sudah menikah dan
menjadi milik atau tanggungjawab keluarga pengantin pria. Ritus ini
merupakan kelanjutan dari dua upacara pokok yang telah diuraikan
sebelumnya. Pada hari yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, keluarga
laki-laki dan keluarga perempuan, maka keluarga pengantin diiringi oleh
kerabat dekat serta handai taulan serta kedua mempelai, datang ke keluarga
wanita. Rombongan membawa banten/sesajen tertentu, antara lain alem,
ketipat bantal, sumping, cerorot, apem, kuskus, wajik, dll, serta tak
ketinggalan aneka rupa jajanan tradisional warna putih dan merah. Tradisi
dan budaya setiap daerah, dalam hal ini Pulau Dewata Bali, merupakan
wujud keindahan, keragaman sekaligus kekayaan di negeri Indonesia.

16
Semakin kita mengenalnya, tentu kekaguman untuk tetap melestarikan akan
selalu terpatri di dada.

Kemudian setelah Tahapan yang dijelaskan di atas adalah tahapan


upacara perkawinan menurut adat Bali. Namun sebagai warga negara Indonesia
pasangan yang menikah harus mempunyai Surat Akta Pernikahan dari Kantor
Catatan Sipil. Surat ini akan digunakan pada saat berurusan dengan pemerintahan
Indonesia, misalnya untuk mencari Surat Keterangan Lahir bagi anak-anaknya
nanti.

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Perkawinan merupakan pertemuan seorang laki-laki dan perempuan untuk
mengikat hubungan sebagai suami dan istri yangkelak membina sebuah keluarga.
Upacara perkawinan merupakan upacara pesaksian kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, kepada masyarakat atau keluarga, bahwa kedua orang tersebut
mengikat diri menjadi suami istri.

Selain itu upacara perkawinan merupakan penyucian terhadap Kamajaya


(sperma) dan Kamaratih (ovum) agar kedua bibit tersebut bebas dari pengaruh-
pengaruh buruk dan apabila terjadi pertemuan akan tercipta manik (janin) yang suci
dan dijiwai oleh roh yang suci pula sehingga nantinya akan melahirkan putra yang
suputra yaitu anak yang berbudi luhur.

Perkawinan bagi masyarakat Bali menjadi bagian dalam sebuah


persembahan suci kepada Tuhan. Budaya Bali juga mengenal jenis perkawinan
ngerorod / merangkat / ngelayas yang merupakan cerminan kebebasan wanita Bali
untuk memilih dan menentukan jodohnya. Masyarakat Bali juga memberlakukan
sistem patriarki, karena dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang
dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki –
laki. Disamping itu, masyarakat Bali juga masih mengenal sistem kasta dimana
mereka yang berasal dari kasta yang lebih tinggi biasanya akan tetap menjaga anak
gadis atau anak jejakanya agar jangan sampai menikah denagnkasta yang lebih
rendah.

17
Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa
(wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami
berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya,
ada kalanya pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah
satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak
tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada
gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga
perlu segera disikapi.

B. Saran.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat
memahami mengenai perkawinan menurut adat Bali, serta mengetahui tentang
beraneka ragamnya jenis perkawinan dan tata caranya serta bentuk perkawinan
yang ada dalam masyarakat Bali.

C. Daftar Pustaka.
 https://www.weddingku.com/blog/rangkaian-prosesi-pernikahan-bali
 https://dewaarka.wordpress.com/2010/01/13/perkawinan-menurut-adat-
bali/
 https://jelajahminiatur.wordpress.com/2015/01/13/perkawinan-menurut-
hukum-adat-bali/

18

Anda mungkin juga menyukai