Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH UPACARA NGABEN

DISUSUN OLEH :

NAMA : ADE IRNA

KELAS : X MULTIMEDIA

SEKOLAH MENGAH KEJURUAN HASANAH

TAHUN AJARAN 2018/2019

PEKANBARU
UPACARA NGABEN

1. Maksud dan Tujuan dari Upacara Ngaben ditinjau dari Psikologi Agama
Ngaben berasal dari kata beya. Beya berarti bekal, yakni berupa jenis upakara
yang diperlukan dalam upacara ngaben itu, kemudian dalam bahasa Indonesia
menjadi biaya atau prabeya dalam bahasa Bali. Orang yang menyelenggarakan
beyadalam bahasa Bali disebut meyanin. Kata ngaben, meyanin, sudah menjadi
bahasa baku, untuk menyebutkan upacara sawa wedhana. Jadi sesungguhnya tidak
perlu lagi diperdebatkan akan asal usul itu. Yang jelas ngaben adalah
penyelenggaraan upacara untuk sawa bagi orang yang sudah meninggal.
Ngaben dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut dengan
Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon
artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu
dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar
adalah yang paling cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan areal
disebutnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar.
Sedangkan pemasmian berasal darikatabasmi yang berarti hancur. Tunon lain
katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal. Sedangkan sema berasal dari
kata smasama yang berarti durga. Dewi Durga yang berstana di Tunon ini.
Secara filosofis manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani.
Menurut Agama Hindu manusia itu terdiri dari tiga lapis yaitu: Stula Sarira,
Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Ketika manusia itu meninggal, suksma
sarira dengan atmaakan pergi meninggalkan badan, atma yang sudah begitu lama
menyatu dengan sarira, atas kungkungan suksma sarira sulit sekali meninggalkan
badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa
bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi atma.
Untuk tidak terlalu lama atma terhalang perginya perlu badan kasarnya
diupacarai untuk mempercepat proses kembalinya, kepada sumbernya di alam,
yaki Panca Mahabhuta, demikian juga sang atma perlu dibuatkan upacara untuk
pergi kea lam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya.
Proses inilah yang disebut ngaben. Jika upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam
kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang
disebut bhuta cuwil, dan atmanya akan mendapatkan neraka, seperti yang
dijelaskan dalam Lontar Tattwa Loka Kretti (lampiran 5a):
“ yan wwang mati mapendhem ring prathiwi salawasya tan kinenan widhi-
widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro-haro gering mrana ring rat,
atemahan gadgad”
Terjemahan:
“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamanya tidak diupacarai diaben,
sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit merana di dunia, menjadi
gadgad (tubuhnya)”
Lahir, hidup, dan mati sudah menjadi hukum rta ( hukum Tuhan) yang
terus bergilir menimpa dan dialami oleh makhluk hidup termasuk manusia.
Kelahiran dan kematian adalah suatu konsep yang mendukung rotasi kehidupan
ini, seharusnya diterima dengan lapang dada dan tidak larut dalam kesedihan. Di
dalam kitab suci Bhagawad Gita VIII.5 dinyatakan sebagai berikut:
“anta kale ca mam eva
Smaran muktva kalevaram
Yah prayati sa mad bhavam
Yati nasty atra samsayah.
Terjemahan:
Barang siapa pada waktu ajal tiba meninggalkan badan jasmani ini mengenang
aku selalu, sampai kepada-Ku, ini tak dapat diragukan lagi (Pudja, 2003:208).

Kematian adalah suatu proses sakral atau suci yang masing-masing agama
mempunyai cara-cara sendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya
sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya. Mati suatu proses kodrat
dalam lingkaran kehidupan manusia yang disebut dalam Tri Kona yaitu
Uttpeti(lahir), Stiti(hidup), dan Pralina(mati). Kamatian tidak dapat diduga,
direncanakan dan diinginkan. Proses penghormatan pada orang yang meninggal
adalah ungkapan rasa bhakti terhadap para leluhur.
Tujuan dari upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali
kepada asalnya, yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dengan selamat
dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya, ngaben sesuangguhnya tidak bisa
ditunda-tunda. Mesti meninggal segera harus diaben.
Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala. Sang
Yudhistira mengabenkan para pahlawan yang gugur di medan juang di Tegal
Kuruksetra, seketika hanya dengan dengan sarana catur wija. Para pembesar India
seperti Nyonya Indira, dalam waktu yang singkat sudah diaben. Tidak ada
upakara yang menjelimet, hanya perlu pancake tempat pembakaran, kayu-kayu
harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-matram atau kidung yang terus
menerus mengalun.
Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma
saja masih memberikan alternative untuk menunggu sementara. Diberikan
menunggu sementara, dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak
keluarga,menunggu dewasa menurut sashih-sasih lain.
Kemampuan seseorang untuk menggali atau memahami nilai agama yang
terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam sikap dan
tingkah laku merupakan cirri dari kematangan beragama. Jadi kematangan
beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta
mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-
hari (Titib dan Mardika, 2004: 66). Seperti yang telah diuraikan tersebut terkait
dengan pelaksanaan upacara ngaben, dimana seseorang yang memiliki
kematangan dalam beragama akan memahami bahwa upakara yang besar dan
megah tidak menjamin manusia saat meninggalkannya kelak akan secara otomatis
mendapatkan sorga (amor ring acintya) akan tetapi, karma wasana juga akan
menuntun dan menentukan kehidupan pada saat menjelma kembali (reinkarnasi).
Para sentana atau keluarga hanya berusaha untuk menjalankan kewajiban
mengupacarai orang tua yang meninggal sesuai dengan kemampuannya, sebagai
wujud rasa bhakti kepada orang tua atau leluhur yang meninggal karena mati itu
adalah perpindahan kehidupan.
Setelah orang meninggal atau mati dalam ajaran agama Hindu wajib
dilakukan upacara ngaben. Pelaksanaan upacara ngaben beragam berdasarkan
keadaan jenazah yang diaben, maka upacara ngaben dapat dibagi menjadi tiga
antara lain: (1) sawa wedana yaitu ngaben yang langsung ada jenazahnya, sebagai
objek dari pengabenan adalah sjenazah utuh dari seseorang yang telah meninggal.
Prosesnya adalah setelah upacara nyiramang, layon digulung dengan kain putih
yang sudah dirajah selanjutnya diletakan di bale gede. Pada hari yang ditentukan
atau hari pengutangan, maka dilaksanakan pelebon diawali dengan upacara
ngaskaradan caru pengelambuk selanjutnya jenazah dinaikan diusung lalu ke
setra.
Perjalanan menuju setra atau kuburan ditaburkan sekar urayang terdiri dari
beras kuning, uang kepeng atau pis bolong, daun temen dan kembang rampe.
Penaburan sekar ura dimaksudkan sebagai perpisahan antara yang telah meninggal
dengan keluarga yang ditinggalkan agar selalu diberikan kesejahteraan dan
kemakmuran, serta dibarengi dengan beleganjur yang gemuruh dengan maksud
membangunkan unsur panca maha bhuta, pada persimpangan jalan dilakukan
pemutaran sebanyak tiga kali berlawanan arah jarum jam dengan maksud secara
filosofi perpisahan antara yang akan dipelebon dengan desa pakraman.
Selanjutnya, begitu sampai di tempat pembasmian kembali diputar kemudian
diturunkan dan diadakan upacara pembasmian. Sebelumnya diadakan upacara
ngatur piuningke pura dalem dan pura prajapati dengan menyertakan daksina
linggih sebagai perwujudan atma yang meninggal.
2. Jenis-Jenis Upacara Ngaben
Ida Ayu Tary Puspa (2013:109-112) menguraikan ada 5 jenis upacara
ngaben di Bali adalah sebagai berikut :
1. Upacara pengabenan ngwangun
Upacara ngaben ngwangun terdiri atas sawa prateka, nyawa wadana, dan asti
wadana. Ngaben ngwangun adalah pelaksanaan upacara ngaben yang
menggunakan kuantitas upakara utama dan memakai atribut-atribut secara
lengkap. Pelaksanaan upacara ngaben ngwangun memiliki dua macam tatanan
upacaranyanya menurut ketentuan nista, madya, dan utama.
Yang dimaksud dengan sawa prateka adalah mengupacarai jenazah, atau
dengan kata lain ada jenazah yang diupacarai. Upacara pengabenan ngwangun
sawa wadana adalah upacara pengabenan yang tidak disertakan dengan adanya
jenazah., melainkan dengan cara membuatkan jenazah secara simbolisasi dibuat
dari lempengan kayu cendana dengan ukuran lebar tiga jari (tigang guli) dan
panjangnya dengan ukuran dari ujung siku sampai ujung jari kelingking yang
disebut satu astha. Pelaksanaan upacara ini tetap sama dengan ngaben ngwangun
sawa prateka mengenai kuantitas upakaranya.
2. Upacara pengabenan pranawa
Pelaksanaan upacara ngaben pranawa memiliki kuantitas lebih kecil dari ngaben
ngwangun. Tetapi mengenai kualitasnya sama. Dalam ngaben pranawa ini
ditekankan adalah pembersihan dan penyucian terhadap kesembilan prana, yaitu
prana, wyana, udana, samana, kurma, apana, naga, dhananjaya, dan krkara.
3. Upacara pengabenan Swastha
Upacara pengabenan yang jenasahnya tidak ditemukan yaitu termasuk ke dalam
upacara ngaben yang sangat sederhana karena menggunakan kuantitas terkecil,
karena tidak disertakan upacara ngaskara, dan karena tidak ngaskara, maka tidak
menggunakan kajang sehingga tidak ada pengajuman kajang.
4. Upacara ngaben ngelungah
Upacara ngaben ngelungah adalah upacara ngaben apabila jenazahnya adalah
anak-anak. Anak-anak yang dimaksudkan disini adalah anak-anak telah tanggal
gigi diperlakukan seperti orang dewasa dan anak-anak bayi yang berumur kurang
dari tiga bulan dilakukan dengan cara dikubur dengan upacara secukupnya, yaitu
banten pejati untuk di Mrajapati sebagai permakluman serta dilengkapi dengan
banten lainnya sesuai dengan desa, kala, dan patra. Kemudian apabila dilakukan
upacara atiwa- atiwa hal itu disebut dengan ngelungah.
5. Upacara ngaben mitra yajna
Ngaben mitra yajna adalah ngaben yang sederhana dengan pengawak daksina.
Ngaben inilah yang pernah dilaksanakan oleh Ida Pedanda Made Sidemen pada
waktu beliau lebar. Pengabenan yang sangat sederhana karena tidak memakai
upakara besar hanya dengan pengawak daksina dan hanya memakai peti sebagai
tempat jenazah saat diberangkatkan ke patunon
2.2 Landasan Filosofis Upacara Ngaben
Landasan filosofis ngaben bisa diuraikan secara umum dan secara khusus.
1. Landasan filosofis upacara ngaben secara umum
Kebayantini Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu, yang
disebut Panca Sradha. Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah:
1. Ketuhanan/Brahman
Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk
manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan itu.
Dalam kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat sang
sangkan paraning dumadi artinya Beliau sebagai asal dan kembalinya alam
semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan
manusia ke asalnya.
2. Atman
Keyakinan akan adanya Atman pada masing-masing badan manusia. Ia yang
menghidupkan manusia. Ia yang menghidupkan semua organ tubuh manusia.
Atma ini merupakan serpihan dari Brahman. Suatu saat setelah tiba waktunya, ia
pun akan kembali kepada asalnya yang suci.,Atmaperlu disucikan. Hal inilah yang
memerlukan upacara.
3. Karmaphala
Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma
sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja
yang baik (subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (asubha karma)
akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan merupakan beban bagi
Atma akan kembali ke asalnya. Namun buah karma yang buruk, beban Atma yang
akan menghempaskan kea lam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu
berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi, ia mampu membebaskan dosa-
dosanya tanpa bantuan sarana dan orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia
memerlukan pertolongan. Hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara ngaben,
yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.
4. Samsara/Punarbhawa
Samsara artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Sykur kalau
lahirnya menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben,
yang salah satu tujuan adalah untuk melepaskan Atma untuk dapat kembali ke
asalnya. Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan
lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.
5. Moksa
Moksa artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadi tumpuan harapan semua
manusia dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu,
atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan
duniawi harus diputus, kemudian terakhir ia harus dipersatukan dengan
sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur, dan terakhir
ngalinggihang Dewa Hyang pada Sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini
mengandung arti atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata
lain mencapai Moksa.
3. Landasan filosofis upacara ngaben secara khusus
Yang menjadi landasan filosofis yang lebih khusus dari upacara ngaben adalah:
1. Cinta yang mendalam
Sangat besar hutang budhi manusia terhadap leluhurnya. Ia ada karena jasa
leluhur, khususnya bapak dan ibu. Jasanya begitu besar, tidak bisa terlunasi,
kecuali dengan jasa pula. Ia berusaha bagaimana ia mampu untuk mengupayakan
agar leluhurnya mendapat keselamatan. Usaha ini yang berupa bhakti harus ada
buktinya. Dan bukti ini harus dihayati dengan indria dan dapat memberi kepuasan
indria itu sendiri. Sebagai bukti rasa cinta kasih itu,ia akan mempersembahkan
segala-galanya. Yang megah dan terindah. Sebagai simbol dari rasa cinta ini, ia
akan memenuhi semua sarana yang diperlukan. Ia tidak memperhitungkan
mahalnya nilai sarana. Yang penting dapat mempersembahkannya. Ia akan
mengikuti semua sastra.
2. Pembebasan dosa
Manusia bekerja atas dorongan budi, manah indria, dan ahamkara. Kalau
indria dan ahamkara yang mendominasi, kecendrungan karma itu adalah buruk,
yang akan menjadikan dosa. Manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa ini. Tapi
antara manusia satu dengan yang lainnya akan berbeda kualitas dosanya, sesuai
dengan lingkungan kerja manusia itu sendiri. Usaha pembebasan atas dosa-dosa
memang sangat dibutuhkan dalam upacara ngaben. Dari dasar pemikiran inilah,
mengapa seorang raja harus diaben secara besar-besaran, bahkan memakai naga
banda.
4. Ngaben Sebagai wujud Sradha Bhakti Kepada Leluhur
Di dalam tradisi Hindu seseorang tidak hanya diajarkan memuja Tuhan,
tetapi juga menghormati atau memuja leluhur. Wiana (1998:2) menyatakan bahwa
dalam tradisi orang Bali-Hindu ayah dan ibu disebut sebagai guru Rupaka. Selain
guru rupaka ada guru swadyaya, yaitu Tuhan. Sedangkan guru pengajian adalah
guru yang memberikan bekal ilmu pengetahuan, dan guru wisesa adalah
pemerintah. Guru rupaka adalah orang tua yang menjadikan seorang anak manusia
ada di dunia, mulai dari dalam kandungan, dilahirkan, dipelihara dan dididik agar
dapat menjadi anak yang baik, berguna, dan berbhakti yang disebut dengan
suputra.
Di dalam kitab Sarasamuscaya sloka 228 (kajeng, 1978: 158) dijelaskan
tentang arti anak sebagai berikut:
“Yang dianggap anak, adalah orang yang menjadi pelindung, orang yang
memerlukan pertolongan serta untuk menolong kaum kerabat yang tertimpa
kesengsaraan, untuk disedekahkan tujuannya, akan segala hasil usahanya,
gunanya memasak menyediakan makanan untuk orang-orang miskin, orang yang
demikian itu putra sejati namanya”.
Semua agama dan kebudayaan umat manusia mengajarkan agar anak dapat
menghormati dan berbhakti kepada orang tuanya. Di dalam ajaran agama Hindu
ada keyakinan bahwa manusia yang lahir ke dunia ini memiliki tiga hutang moral
(tri rna). Salah satunya adalah hutang moral yang harus dibayar agar terbebas dari
belitan hutang sehingga dapat menjadi manusia yang lebih baik. Ada berbagai
cara yang dapat dilakukan dan ditunjukan oleh seorang anak untuk membayar
hutang kepada orang tua atau leluhurnya. Menurut Wiana (2004:4), membayar
hutang kepada orang tua (leluhur) dapat dilakukan dengan melaksanakan upacara
manusa yajna dan pitra yajna.
Manusa Yajna adalah ajaran yang bermakna seseorang harus
melaksanakan pitra rna atau merupakan salah satu bentuk hormat dan
pengorbanan suci kepada para leluhur. Cara yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut. Pertama, melaksanakan yajna kepada anak-anak. Karena dalam Hindu
ada keyakinan tentang punarbhawa, yaitu reinkarnasi atau kelahiran kembali.
Orang Bali Hindu percaya anak-anak yang lahir ke dunia adalah penjelmaan
kembali dari leluhurnya. Oleh karena itu, anak-anak haruslah dirawat, dibesarkan,
dilindungi, dan dididik dengan baik, penuh rasa kasih sayang karena dengan
melakukan semua itu berarti menghormati leluhur. Inilah salah satu bentuk
manusa yajna sebagai cara untuk menunjukan rasa kasih saying, hormat, dan
bhakti kepada leluhur. Ada kepercayaan bahwa para leluhur yang telah meninggal
dunia baru bisa bereinkarnasi jika telah bersih, atau sudah diaben.
Upacara ngaben sebagai simbol pembayaran utang kepada leluhur sarat
akan nilai, norma, dan etika sosial kemasyarakatan dan bersifat religius adalah
representasi dari sikap seorang anak yang hormat, berbakti, dan cinta kasih kepada
leluhurnya. Upacara ngaben merupakan perwujudan dan pengejewantahan sradha
dan bhakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya. Meminjam teori
Bordieu (fashri, 2006) dalam Kebayantini, yang menguraikan bahwa upacara
ngaben merupakan “struktur-struktur yang dibentuk” dan “struktur-struktur yang
membentuk”. Di satu sisi upacara ngaben berperan sebagai sebuah struktur yang
membentuk kehidupan sosial individu manusia Bali Hindu. Di sisi lain
upacarangaben dipandang sebagai struktur yang dibentuk oleh kehidupan sosial
manusia Bali-Hindu. Orang Bali menganggap upacara ngaben sebagai salah satu
cara atau jalan untuk dapat menghormati dan berbhakti kepada leluhurnya.
Seorang anak hormat dan bakti kepada orang tuanya tidak hanya ditunjukan
ketika orang tuanya masih hidup. Tetapi juga ditunjukan ketika orang tuanya
meninggal.
Rasa hormat dan bhakti yang ditunjukan dengan mengadakan upacara
ngaben ini dalam banyak hal merupakan kesadaran dari seorang anak tentang
ajaran panca wida dan kepercayaan akan ajaran Hindu tentang hukum
punarbhawa. Jadi di satu sisi upacara ngaben yang dilandasi panca wida dan
punarbhawa merupakan struktur yang membentuk seorang anak untuk menjadi
anak suputra, yaitu anak yang hormat dan berbhakti kepada orang tuanya. Hal ini
dapat ditunjukan dengan bagaimana ia berusaha secara ekonomi agar dapat
membiayai upacara ngaben, bagaimana secara sosial ia mampu menggalang dan
membentuk kerja sama dengan kerabatn dan orang-orang di lingkungannya untuk
melaksanakan uoacara ngaben. Sementara itu d sisi lain ia mengasah cara berpikir,
mengembangkan kebiasaan, sikap, perkembangan waktu, ruang, dan dinamika
kehidupan orang Bali. Demikian konsep suputra ( Gorda, 1996: 87) dalam
Kebayantini, yang memiliki arti penting sebagai jembatan menyucikan atman
orang tua (leluhur).
5. Alat Musik
a. KendangSunting
Kendang berfungsi untuk mengatur tempo dalam permainan gamelan dan
perannya paling utama.

Bonang yang dipegang seorang "Pemain" (Kiri)


b. Bonang & Bonang PanerusSunting
Bonang Barung adalah salah satu instrumen pemimpin, perannya lebih penting
daripada Bonang Panerus. Bonang Panerus dimainkan 2X lebih cepat dari Bonang
Barung.
c. DemungSunting
 Sebagai balungan / kerangka dari suatu gendhing yang dimainkan
 Juga merupakan instrument melodi dasar
 Pemainnya harus punya insting kuat
 Termasuk dalam keluarga Balungan
 Demung memiliki suara yang lebih besar dari saron
d. SaronSunting
 1 set gamelan ada 4 saron
 Termasuk dalam keluarga Balungan
 Menghasilkan nada 1 oktaf lebih tinggi dari demung
 Teknik khusus: tangan kanan menabuh nada selanjutnya, tangan kiri
menyentuh nada sebelumnya tepat saat tangan kanan menabuh agar tidak
ada dua suara dengung
e. PekingSunting
 Lebih penting daripada engkuk meski engkuk dimainkan 2X lebih cepat
daripada Balungan
 Termasuk dalam keluarga Balungan
f. Kenong dan KethukSunting
 Semacam Gong, tetapi ukurannya lebih kecil daripada gong dan lebih
besar daripada bonang
 Dimainkan dengan tongkat berlapis
 Kethuk dimainkan secara terus menerus dengan tempo tetap
g. SlenthemSunting
 Semacam Demung, tetapi lebih tipis dan mempunyai satu oktaf dibawah
Demung
 •Dimainkan dengan tongkat bundar berbalut kain
 Slenthem akan bersuara dengung saat dimainkan, biasanya notasi
Slenthem hanya 2 kali tabuh pada 1 gatra
h. GambangSunting
 Terdiri atas 18 bilah kayu yang diletakkan pada sebuah resonator
berbentuk perahu
 Dimainkan dengan dua alat pemukul
 Memiliki tangga nada yang mencakup nada mayor dan minor
i. RebabSunting
 Termasuk alat musik gesek yang terbuat dari bahan logam
 Berfungsi mengiringi sinden dalam bernyanyi
j. SiterSunting
 Umumnya siter berukuran 30 cm dengan jumlah senar 11 / 13
 Menghasilkan bunyi yang khas
 Memiliki senar yang disetel untuk nada slendro dan pelog
6. Klasifikasi alat musik tradisional
a. Kendang (membranovon)
b. Bonang barung (membranovon)
c. Bonang penerus (membranovon)
d. Demung (membranovon)
e. Saron (membranovon)
f. Kenong dan ketuk (membranovon)
g. Slenthem (membranovon)
h. Kender (membranovon)
i. Gong (membranovon)
j. Gambang (membranovon)
k. Remab (membranovon)
l. Siter (membranovon)
m. Suling (membranovon)
n. Kempul (membranovon)

Anda mungkin juga menyukai