Diajukan kepada
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Hindu
Program Studi Pendidikan Agama Hindu
i
MOTTO
v
KATA PERSEMBAHAN
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang
1. Bapak tercinta (Gede Sucita, S.Pd. Bio) dan Ibu tersayang (Ni Made
Kartani), atas segala dukungan material, moril dan doa yang selalu
Dwipayani, dan Putu Hendy Jayadi Putra) yang selalu mendukung saya
3. Kepada orang terdekat (I Kadek Agus Ardana) yang selalu menghibur dan
memotivasi saya
4. Teman-teman sekelas (Eka, Ayu Budi, Tinik, Ayu Surya, Adira, Sastria,
vi
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Rasa angayubagia penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus
karya ilmiah, namun dengan adanya bantuan dari berbagai pihak menjadi faktor
terhormat :
1. Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si., selaku Rektor Institut Hindu Dharma
Negeri Denpasar yang telah memberikan fasilitas kuliah dan motivasi selama
mengikuti perkuliahan.
2. Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si., selaku Dekan Fakultas Dharma Acarya
perkuliahan.
vii
3. I Made Arsa Wiguna, Sst.Par., M.Pd H., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
4. Drs. I Made Olas Astawa, M.Pd., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah
banyak memberikan koreksi yang sangat konstruktif sehingga karya tulis ini
waktunya.
6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, hal ini
disebabkan karena keterbatasan kemampuan penulis. Maka dari itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk lebih sempurnanya
tulisan ilmiah ini dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis,
viii
ABSTRAK
PENGGUNAAN DUPA TANPA API PADA PALINGGIH JERO ALUS DI
DESA TUKADMUNGGA KECAMATAN BULELENG
KABUPATEN BULELENG
(Perspektif Pendidikan Sosio Religius)
Sebagai manusia selaku umat beragama tidak bisa lepas dari konteks
kehidupan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-
Nya. Menyadari akan keterbatasan, manusia dengan kepercayaan dan rasa bhakti
yang begitu mendalam, dibuktikan dengan didirikannya sebuah Palinggih Jero
Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Palinggih
Jero Alus memiliki keunikan tersendiri dari Palinggih yang ada pada umumnya,
dimana menggunakan dupa tanpa api (dupa yang tanpa dinyalakan).
Penelitian ini mengeksplorasi tiga rumusan masalah yaitu (1) Bentuk
pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus, (2) Fungsi
penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus, (3) Nilai-nilai pendidikan
sosio-religius yang terdapat dalam penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih
Jero Alus. Teori yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah adalah
Teori Religi oleh Emile Durkheim, Teori Fungsionalisme oleh David Kaplan dan
Robert A. Manners, dan Teori Nilai oleh Koentjaraningrat. Adapun metode yang
digunakan adalah Metode Observasi, Wawancara, Kepustakaan, dan Metode
Dokumentasi.
Hasil Penelitian menunjukkan (1) Bentuk pelaksanaan penggunaan dupa
tanpa api pada Palinggih Jero Alus dilihat dari sejarah singkat Palinggih Jero
Alus, penyebab tidak menyalakan dupa serta banten yang dihaturkan pada
Palinggih Jero Alus; (2) Fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero
Alus meliputi fungsi religius, fungsi pelestarian alam, dan fungsi sosial; (3) Nilai-
nilai pendidikan sosio religius dalam penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih
Jero Alus meliputi nilai pendidikan religius dan nilai pendidikan sosial. Dari
analisis data dapat disimpulkan bahwa dalam segala bentuk pelaksanaan
persembahyangan atau perembahan yang dilakukan dengan menggunakan dupa
tanpa api (dupa tanpa dinyalakan) merupakan salah satu bentuk keyakinan
masyarakat setempat dimana yang malinggih adalah Ida Anake Alus, sehingga
sampai saat ini hal tersebut masih diyakini dan dijaga kelestariannya.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................... i
PERNYATAAN ....................................................................................... iv
MOTTO................................................................................................... v
ABSTRAK .............................................................................................. ix
x
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI................................... 10
xi
3.7 Metode Pengumpulan Data...................................................... 32
xii
Buleleng Kabupaten Buleleng ................................................ 48
4.3 Fungsi Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus
Buleleng ................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR BAGAN
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
Agama Hindu merupakan agama wahyu dan agama tertua dari agama yang
ada di Indonesia yang bersifat fleksibel atau tidak kaku. Hal ini dapat diamati dari
cara menghubungkan diri manusia dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa)
yang sangat beraneka ragam. Adanya berbagai cara yang dilakukan oleh umat
Hindu dalam mencetuskan rasa bhaktinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
adalah tidak salah, asalkan tidak menyimpang dari inti ajaran dalam kitab suci
Weda. Seperti saat umat Hindu melakukan sembah bhakti kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa walaupun itu dengan tanpa sarana yang dimiliki, asalkan
didasarkan atas ketulusan hati maka semua itu tidak menyimpang dari ajaran
sikap, moral dan perilaku menuju kualitas yang lebih baik dan benar sesuai
ajaran agama Hindu. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan empat jalan atau
yang disebut dengan Catur Marga yang terdiri dari Bhakti Marga, Karma Marga,
Jnana Marga, dan Yoga Marga. Dalam pelaksanaannya, Bhakti Marga Yoga,
Karma Marga Yoga dan Jnana Marga Yoga dapat dibedakan dalam
1
2
Hindu semata-mata untuk mewujudkan rasa cinta kasih serta rasa syukur
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas anugerah yang diberikan dengan
penuh keikhlasan dan kesungguhan hati. Bhakti kehadapan Hyang Widhi tidak
dapat dilakukan dengan tanpa karma (kerja) yang benar (Swastika, 2008:1).
Karma dalam pelaksanaan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang baik
maupun non material berdasarkan hati yang tulus ikhlas dan suci demi untuk
mencapai tujuan yang mulia dan luhur. Yadnya pada hakekatnya bertujuan untuk
membebaskan manusia dari ikatan dosa, ikatan karma untuk selanjutnya dapat
menuju pada kelepasan atau moksa. Yadnya ada beberapa macam, yang disebut
dengan Panca Yadnya yang terdiri dari, Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya,
ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Umat Hindu tidak harus
kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) melainkan yang diperlukan adalah
ketulusan hati dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Untuk itu diharapkan
Segala bentuk pelaksanaan yajna, sudah tentu tidak terlepas dari sarana
korban suci itu sendiri. Sarana upacara yadnya sangat penting artinya untuk
keberhasilan dari suatu yadnya yang dipersembahkan oleh umat Hindu kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa. Sarana upacara yajna merupakan media konsentrasi
untuk dapat mendekatkan diri manusia dengan Ida sang Hyang Widhi Wasa dan
sebagai alat menghubungkan diri atau menyatukan diri dengan penuh kesucian
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya. Berikut ini
dipergunakan dan dipilih sesuai dengan apa yang tersedia di sekitar tempat tinggal
itu sendiri. Jadi apapun yang dimiliki oleh umat Hindu, maka sarana sebagai
menggunakan sarana upacara tersebut bahwa umat Hindu tidak saja dapat
Segala jenis sarana upacara yajna yang dipergunakan oleh umat Hindu
tentunya memiliki makna, arti dan fungsi yang sangat mulia dan memiliki
kesucian dan nilai spiritual yang tinggi sesuai dengan jenis yajna yang sedang
4
mempunyai suatu harapan suci agar mencapai kesempurnaan baik secara spiritual
maupun material, sehingga tujuan hidup sesuai dengan ajaran agama Hindu yaitu
kebahagian lahir dan batin di dunia dan akhirat, ya ca iti dharma yaitu dengan
ditujukan kehadapan Hyang Widhi adalah sarana api. Dimana penggunaan api
sebagai sarana persembahyangan diwujudkan dalam bentuk dupa dan juga dipa.
persembahyangan terdiri dari beberapa unsur pokok yakni daun, bunga, buah, air
Setiap yajna dan persembahan tidak luput dari penggunaan dupa (api)
sebab api selalu dijadikan sarana yang utama dalam upacara keagamaan Hindu.
Tidak ada upacara yadnya tanpa menggunakan unsur api. Dalam pelaksanaan
upacara agama bahwa api banyak digunakan seperti dhupa, dipa, api takep, dan
pasepan. Dhupa adalah sebagai nyala bara yang berisi wangi-wangian yang
dipakai dalam upacara dan untuk menyelesaikan upacara. Dipa adalah api yang
nyalanya sebagai lampu yang terbuat dari minyak kelapa yang merupakan alat
Api takep adalah api sebagai sarana upacara dengan nyala bara yang
terbuat dari kulit kelapa yang sudah kering atau sabut. Pasepan dalah api sebagai
nyala bara yang ditaruh di atas tempat tertentu atau dulang kecil yang diisi dengan
5
potongan kayu yang dibuat kecil-kecil dan kering. Biasanya dipilih potongan kayu
yang mengeluarkan bau yang harum seperti kayu cendana, kayu menyan, kayu
Makna dupa yaitu sebagai saksi pemujaan sekaligus sebagai pelebur segala
menyatakan bahwa upacara yadnya sebesar apapun akan dianggap sah apabila ada
wanita sebagai lambang ibu alam semesta dan dupa sebagai saksi pemujaan
(penghubung). Jadi kehadiran wanita sebagai perwujudan ibu alam semesta dan
dupa sebagai saksi pemujaan sangatlah penting. Dengan demikian, apabila unsur
api belum ada dalam upacara agama, maka suatu persembahan dapat dikatakan
belum lengkap, karena dengan api umat Hindu dapat melaksanakan persembahan
Segala bentuk persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa tentunya
terdapat unsur api, sebab api termasuk unsur yang tidak dapat diabaikan dalam
dupa (api) diyakini merupakan salah satu sarana terpenting dalam segala upacara
keagamaan Hindu yang memiliki fungsi sebagai saksi dalam upacara tersebut,
serta menetralisir segala hal-hal negatif atau kekotoran yang ada, sehingga dupa
upakara, tidak diperkenankan menyalakan dupa. Hal itu tentu dikarenakan adanya
sudah diyakini serta diterapkan sampai saat ini, sehingga masyarakat setempat
tidak ada yang berani melanggar. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikan
Selain itu, terdapat keterkaitan dengan pendidikan sosio religius yang ada
masyarakat setempat akan mengikuti apa yang telah mereka yakini dalam rangka
menunjukkan rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bukan saja
antara teori dengan realita yang ada di masyarakat pada umumnya dan khususnya
di Desa Tukadmungga. Secara umum, dupa (api) sangat dipentingkan dalam suatu
upacara keagamaan Hindu, namun pada Palinggih Jero Alus tidak menggunakan
unsur api. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengungkap sesuatu yang ada
dibalik fenomena tersebut dengan judul Penggunaan Dupa Tanpa Api pada
Buleleng?
2. Apakah fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa
penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga,
Pada umumnya tidak ada sesuatu kegiatan atau pekerjaan yang dapat
dilakukan dengan baik tanpa adanya tujuan yang jelas. Tujuan yang jelas akan
Begitu juga sebaliknya tidak jelasnya suatu tujuan akan dapat menyebabkan
kepincangan dari suatu tindakan yang dilakukan. Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
pemahaman yang lebih luas mengenai penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih
Tujuan khusus dari penelitian ini mengarah pada rumusan masalah yang
telah ditetapkan. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
Buleleng.
2. Untuk mengetahui fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero
penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga,
baik bagi masyarakat umum maupun bagi peneliti sendiri. Sehubungan dengan hal
penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus bagi umat Hindu secara
Kabupaten Buleleng.
umat Hindu pada umumnya yang nantinya akan menjadikan acuan dalam
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menambah
wawasan dan pengetahuan tentang fungsi penggunaan dupa tanpa api pada
Buleleng
3. Hasil penelitian ini memberikan wawasan yang lebih luas bagi peneliti lain
nilai pendidikan sosio religius dalam penggunaan dupa tanpa api pada
Buleleng
BAB II
Kajian pustaka dalam suatu penelitian ilmiah adalah salah satu bagian
menggunakan beberapa sumber buku dan referensi hasil penelitian terdahulu yang
Swastika (2008), dalam bukunya yang berjudul Arti dan Makna (Puja Tri
Sandhya, Panca Sembah, Bunga, Api, Air, Kwangen, Canang Sari, Pejati)
keagamaan Hindu, dupa selalu tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Dupa dan api
jahat. Jadi dapat disimpulkan bahwa dupa (api) memiliki makna yang sangat
penting dalam suatu upacara keagamaan Hindu. Dengan menelaah teori dalam
10
11
referensi ini, diharapkan dapat memberikan informasi tentang peranan api pada
dupa terkait masalah yang peneliti teliti tentang bentuk pelaksanaan penggunaan
dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan
Adnyana (2012), dalam bukunya yang berjudul Arti dan Fungsi Banten
api diwujudkan dengan dupa atau diva. Dupa dengan nyala apinya lambang dari
Dewa Agni. Api adalah salah satu unsur alam, dipakai sebagai sarana
Api yang bersinar dapat memberi penerangan sehingga secara simbolis dapat
dipakai saksi dalam upacara. Dengan membedah pustaka ini, diharapkan dapat
yang digunakan secara umum oleh umat Hindu khususnya sarana dupa dalam
upacara yajna. Selain itu, kontribusi terhadap penelitian ini adalah sebagai
pembanding dalam membahas mengenai fungsi penggunaan dupa tanpa api pada
Buleleng.
Metri (2001), dalam penelitiannya yang berjudul Arti dan Fungsi Api
Hindu, menyimpulkan bahwa api salah satu unsur alam yang digunakan sebagai
sarana dalam upacara yadnya yang berfungsi sebagai perlambang sifat-sifat Tuhan
kata waiswa yaitu alam semesta menyala dan asapnya bergerak ke atas pelan-
pelan, menyatu dengan angkasa. Ini adalah simbolis menuntun umat yang
persatuan dengan Hyang Widhi, ibarat asap dupa naik ke atas angkasa dan bersatu
dengan angkasa. Dengan demikian dupa adalah lambang pertemuan antara umat
adalah untuk mengungkap tentang bentuk pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api
penunjang dalam mengkaji tentang fungsi penggunaan dupa tanpa api pada
sosio religius.
Yadnya Tanpa Menggunakan Dupa dan Mantra Pada Masyarakat Desa Pakraman
mantra dilatar belakangi oleh keyakinan bahwa dupa dianggap kurang memiliki
dan api takep untuk setiap pelaksanaan upacara yadnya karena dengan
kesucian yang lebih baik. Pelaksanaan upacara yadnya tapa menggunakan dupa
dan mantra pada masyarakat Desa Tigawasa adalah merupakan tradisi yang sudah
13
diwarisi secara turun temurun dari leluhurnya sehingga para pemangku tidak
lebih mendalam tentang fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero
kajian nilai-nilai sosio religius penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero
persembahyangan tidak bisa lepas dari penggunaan sarana antara lain bunga,
canang, kwangen, tirtha/air suci, api atau dupa. Dalam praktik persembahyangan
sehari-hari, api diwujudkan dalam bentuk dupa. Dupa dengan apinya merupakan
perlambang Dewa Agni yang berfungsi sebagai berikut: (1) sebagai pendeta
Tuhan, (3) sebagai pembasmi kotoran dan roh jahat serta bersifat memberikan
atau mensucikan dosa maupun kesedihan, (4) sebagai saksi dalam upacara
14
lakukan adalah menambah pengetahuan terkait fungsi penggunaan dupa tanpa api
Kabupaten Buleleng.
2.2 Konsep
fenomena yang ada. Konsep ini ada sebagai penjelas atas fenomena-fenomena
tertentu yang saat itu sedang ada. Konsep menjadi penting karena pada dasarnya
konsep itu sendiri adalah sebuah ide yang bersifat abstrak yang mampu digunakan
berfungsi untuk menyederhanakan arti kata atau pemikiran tentang ide-ide, hal-hal
dan kata benda-benda maupun gejala sosial yang digunakan, agar orang lain yang
bawah ini adalah: (1) Penggunaan, (2) Dupa tanpa api, (3) Palinggih Jero Alus,
2.2.1 Penggunaan
barang dan jasa. Pembeli dan pemakai yang dapat disebut pula sebagai konsumen
barang dan jasa. Dalam penelitian ini, penggunaan yang dimaksud adalah
pemakaian dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga,
menggunakan unsur api yang diwujudkan dengan dupa. Dupa adalah sejenis
harum-haruman yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum. Dupa dengan
nyala apinya merupakan lambang dari Dewa Agni, yang mana berfungsi (1)
dengan yang dipuja, (3) sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat,
(4) sebagai saksi upacara (Swastika, 2008: 49). Api sebagai unsur kekuatan alam
sebagai salah satu unsur dari Panca Maha Bhuta yang merupakan ciptaan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa memiliki kegunaan yang sangat kompleks dalam
kehidupan makhluk hidup di jagat raya ini baik dalam kehidupan Sekala maupun
kehidupan Niskala. Dalam Rg Veda pun Agni disebutkan sebagai salah satu nama
Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga dalam lontar-lontar keagamaan Hindu di
16
Bali disebut Sang Hyang Agni dalam fungsinya sebagai Dewa Api (Wiana, 2001 :
69). Dupa tanpa api yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah dupa yang
(1985:167) menyatakan bahwa Palinggih berasal dari kata pa dan linggih yang
mengatakan bahwa Palinggih adalah tempat pemujaan atau suatu areal tertentu
yang digunakan sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dewa-
dewa atau roh suci leluhur, Palinggih adalah tempat/sthana Hyang Widhi Wasa
dengan segala manifestasi-Nya yang dibuat sesuai dengan Asta Dewata dan Asta
adalah adanya perpaduan kepercayaan purba pra (sebelum) agama Hindu masuk
ke Bali dan dengan kebudayaan Hindu di Jawa yang masuk ke Bali, maka
sebagai sthana Hyang Widhi, para dewa, Bhatara (roh suci), yakni (1) Padmasana
merupakan lambang Bhuwana Agung sebagai sthana Sang Hyang Widhi Wasa,
(2) Meru adalah lambang Gunung Mahameru, sebagai sthana dewa-dew, bhatara-
bhatari dan leluhur, (3) Rong Tiga, adalah lambang sthana Tri Murti/kemimitan
yakni penunggalan 3 unsur wisesa (datu), yang sering disebut Sang Hyang Atma
Budaya Bali mengenal sebutan Jero yang bisa berarti rumah, bisa juga
berarti panggilan terhadap orang yang baru kenal seperti kalimat, Saking napi
Jerone? (Dari mana asal anda). Jero juga bisa merupakan sebutan untuk orang
dari kalangan bawah (rakyat biasa) yang menikah dengan golongan bangsawan
(darah biru). Makna kata Jro (Jero) yang melekat pada seseorang, sebenarnya
mengacu kepada rasa hormat, menghargai, disucikan. Jero sangat dekat dengan
kata Jeroan yang berarti bagian dalam pura (utama mandala). sehingga biasanya
Sedangkan dalam Kamus Bahasa Bali Online, kata Alus berarti halus, abstrak atau
tak tampak. Jadi dapat dicermati bahwa Palinggih Jero Alus merupakan suatu
bangunan suci sebagai tempat atau sthana serta persimpangan bagi makhluk halus
2.2.4 Perspektif
berarti (1) cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar
sebagaimana yang oleh mata tiga dimensi (panjang, lebar dan fungsinya), (2)
yang alami yang terbentuk dari relief datar menjadi suatu relief bidang atau ruang
dalam bidang dua dimensi seperti kertas atau kanvas. Hal ini dapat membentuk
kemungkinan untuk menggambar sebuah objek atau benda dalam suatu ruang
secara nyata di atas bidang datar atau dapat membentuk gambar geometri. Dalam
18
penelitian ini, perspektif dititik beratkan pada pengertian sudut pandang terhadap
suatu objek yang dilihat dari sudut yang dianggap relevan terhadap substansi atau
topik masalah yang diteliti. Perspektif dalam penelitian ini adalah mengenai sudut
pandang terhadap penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
berasal dari kata didik dan mendapat imbuhan berupa awalan pe dan akhiran
an yang berarti proses atau cara perbuatan didik. Maka definisi pendidikan
menurut bahasa yakni proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mendapatkan suatu ilmu
mendewasakan manusia.
19
Sosio religius adalah suatu ciri manusia yang beragama dan berbudaya.
diwariskan secara turun temurun menjadi suatu yang mentradisi, membudaya, dan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosio religius berasal dari dua
kata yaitu sosio yang artinya berhubungan dengan masyarakat, sedangkan religius
dari kata dasarnya religi yang berasal dari bahasa asing religion sebagai bentuk
dari kata benda yang berarti agama atau kepercayaan akan adanya sesuatu
kekuatan kodrati di atas manusia. Sedangkan religius berasal dari kata religious
yang berarti sifat religi yang melekat pada diri seseorang. Religius sebagai salah
satu nilai karakter yang dideskripsikan sebagai sikap dan perilaku yang patuh
ibadah agama lain dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Poerwadarminta,
2002: 294). Sosio religius adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat tradisional atau segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai
suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuatan
(Koentjaraningrat, 1987:59-61).
religius yang dimaksudkan adalah suatu ciri manusia yang beragama dan
berkembang dan diwariskan secara turun temurun menjadi suatu yang mentradisi,
sosio religius adalah usaha sadar dan terencana untuk mendapatkan suatu ilmu
pengetahuan dan pendidikan dalam hal sistem kepercayaan yang dianut oleh
tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa. Pendidikan sosio religius dalam
menunjukkan rasa bhaktinya kehadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa)
dengan beragam cara yang mereka lakukan dengan menggunakan berbagai sarana
upacara.
2.3 Teori
Besar Bahasa Indonesia, teori diartikan sebagai suatu keterangan mengenai suatu
peristiwa (kejadian), asas-asas dan hukum umum yang menjadi dasar sesuatu
kesenian atau ilmu pengetahuan serta pendapat cara-cara dan aturan-aturan untuk
Ridwan (2004 : 19) dalam bukunya Metode dan Teknik Penyusunan Tesis
Teori adalah suatu ilmu yang relevan yang dapat digunakan untuk
menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti sebagai dasar untuk
memberikan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan
(hipotesis) serta penyusunan instrumen penelitian. Teori yang digunakan
bukan sekedar pendapat dari pengarang, pendapat penguasa, tetapi teori yang
benar-benar telah diuji kebenarannya.
mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and
error). Dengan didasarkan pada teori merupakan ciri bahwa penelitian itu
merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan dapat
penelitian ini adalah teori religi, teori fungsionalisme dan teori nilai dengan
tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai
suatu maksud dengan cara menyadarkan diri pada kemauan dan kekuasaan
bagian dari budaya atau dapat dikatakan religi tersebut adalah salah satu dari
sistem bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi
dan peralatan.
22
religi yang dapat digunakan sebagai konsep dasar untuk menganalisa agama
yang menggerakkan jiwa manusia, (2) sistem kepercayaan atau kenyakinan dalam
suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia menyangkut keyakinan dan
konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, tentang
terjadinya alam dan dunia, tentang zaman akhirat, tentang wujud dan ciri-ciri
kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa roh jahat, hantu, dan
makhluk halus lannya, (3) sistem ritus dan upacara keagamaan dalam suatu religi
terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang atau makhluk halus lain, dan
dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib
keagamaannya, (5) alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan upacara
keagamaan seperti tempat pemujaan, patung dewa, patung orang suci, lonceng dan
penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga,
Manners dalam Teori Budaya, adalah penekanan dominan dalam studi antropologi
fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang
masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain ialah
memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa
kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan historis (Kaplan & Manners,
2002).
organisme itu. Dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional ialah asumsi
memiliki kebutuhan yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat hidup
(Kumalasari, 2013:3).
tindakan atau lakuan diperlukan sebuah prosedur berpikir, cukup kompleks, dan
jangka panjang. Terhadap apa-apa yang akan dilakukan tersebut, sudah memiliki
fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa
Nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah
laku, baik disadari maupun tidak. Nilai dapat juga diartikan sebagai sifat atau
kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
hal yang berisikan ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal penting, berharga dalam
ide seseorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik dan diinginkan. Nilai
memiliki sifat isi dan intensitas. Nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang
hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang
harus mereka amat bernilai dalam hidup. Sifat isi menyampaikan bahwa cara
25
1997:25).
dalam penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa
METODE PENELITIAN
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti
kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris,
dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara
yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti
cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang
ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu
penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan
menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang
penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada
26
27
perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan sekarang atau
mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna
yang dimaksud adalah data yang sebenarnya, data pasti yang merupakan suatu
konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada
Tukadmungga terdapat Palinggih Jero Alus yang memiliki ciri khas berbeda dari
palinggih yang lain yaitu menggunakan sarana dupa tanpa dinyalakan (tanpa api).
Jangka waktu penelitian yang dilakukan peneliti cukup lama yaitu tiga bulan,
dimulai dari bulan Mei sampai dengan bulan Agustus, sebab tujuan penelitian ini
Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti
serta subjek yang menjadi pusat perhatian penelitian. Batasan subjek penelitian
sebagai benda, hal atau orang tempat data untuk variabel penelitian melekat, dan
sangat strategis karena pada subjek penelitian itulah data tentang variabel
Pengempon Palinggih Jero Alus dan Kelian Adat Desa Tukadmungga, Kecamatan
gejala atau peristiwa yang akan diteliti baik berupa gejala alam maupun gejala
29
kehidupan. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Palinggih Jero Alus di
landasan dalam menyusun argumentasi logis menjadi fakta. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, sebab data yang peneliti
berfungsi untuk mengetahui kualitas dari sebuah objek yang akan diteliti. Data ini
data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
dengan data asli/ data baru yang mempunyai sifat up to date. Data primer secara
dana yang relatif lebih banyak dan menyita waktu yang relatif lebih lama. Dalam
penelitian ini data primer diperoleh dari Jro Mangku dan Panglingsir atau tokoh
langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain
atau lewat dokumen. Data sekunder bisa didapat dari berbagai sumber misalnya
buku materi, laporan dan lainnya yang ada kaitannya dengan topik penelitian.
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh baik dari sumber informasi yang ada
Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang benar-benar tahu
Informan yang bertindak sebagai sumber data dan informasi harus memenuhi
syarat, yang akan menjadi informan narasumber dalam penelitian ini adalah
(Bungin, 2001:118).
tergantung dari tepat tidaknya pemilihan informan kunci, dan komplesitas dari
31
Dipertegas lagi bahwa snowball sampling adalah suatu teknik yang semula
untuk dijadikan sampel dan seterusnya sehingga jumlah anggota sampel semakin
banyak seperti bola salju yang menggelinding semakin jauh semakin besar
Adat Desa Tukadmungga sebagai informan kunci, yang selanjutnya jika data
dianggap masih belum cukup (kurang) maka informan kunci akan menunjuk
penelitian adalah untuk memperoleh data yang diperlukan ketika peneliti sudah
penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif
data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.
paling strategis dalam penelitian, sebab tujuan utama dari penelitian adalah
tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
dalam suatu penelitian, merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh
atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena
sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat (Mardalis,
2010 : 63).
bawah ini.
sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan
ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai
mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang tampak.
diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang
secara pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu,
dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder (perekam suara) yang dapat
data yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan segala macam data serta
mengadakan pencatatan secara sistematis. Melalui teknik ini, maka data yang
diperoleh dengan cara atau jalan membaca buku-buku tentang teori dan tulisan-
34
catatan penting yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu Palinggih Jero Alus
sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Melalui teknik dokumentasi ini, maka
Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
penelitian ini bersifat kualitatif maka analisis data yang digunakan adalah analisis
35
data kualitatif. Menurut Moleong (2005:248) analisis data kualitatif adalah upaya
dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada
orang lain.
penelitian ini bersifat kualitatif maka analisis data yang dilakukan adalah melalui
Data yang diperoleh dari lapangan cukup banyak, kompleks dan rumit.
Maka itu perlu dicatat secara teliti dan rinci, lebih lanjut dilakukan analisis data.
pada hal-hal yang sangat penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian, data
yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan
penelitian ini, dengan cara merangkum dan memilih pokok-pokok yang dianggap
informasi berdasarkan data yang dimiliki dan disusun secara runtut dan baik
maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
yang diperoleh dalam penelitian ini dengan cara menyusun secara berurutan data-
sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
dengan data di lapangan, dengan cara merefleksi kembali, peneliti dapat bertukar
tercapai, maka peneliti dapat menarik kesimpulan dalam bentuk deskriptif sebagai
laporan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara
menarik beberapa kesimpulan dari data yang dimiliki sehingga informasi yang
pemerintahan desa.
Desa Tukadmungga bernama Tukad Munggah karena dahulu sungai di Desa ini
airnya sangat bening sekali, akan tetapi sungai tersebut sangat angker sehingga
penduduk tidak berani mandi di aliran sungai tersebut, untuk melewati sungai itu
Suatu hari konon ada putri teramat cantik datang melewati sungai dan
tertarik dengan kebeningan air tersebut, dia merupakan titisan dewa yang bernama
Dewi Ayu, kecantikan putri tersebut sangatlah sempurna, kulitnya putih dan
rambutnya terurai hitam lembut dan sangat panjang. Dewi Ayu kemudian tertarik
untuk mandi di aliran sungai yang bening tersebut, rambutnya yang panjang
Saat itu pula, ada seorang raja yang sangat tampan kebetulan berlayar
melewati aliran sungai tersebut. Raja tersebut bernama Gempu Awang, alangkah
37
38
hatinya berdebar dan berpikir bahwa si pemilik rambut ini adalah seorang putri
Awang ketika melihat seorang putri yang sangat cantik bagaikan bidadari dari
tubuh Dewi Ayu dan dengan penuh nafsu Si Gempu Awang mendekati sang putri
tanpa ragu-ragu mengungkapkan isi hatinya serta berniat melamar Dewi Ayu
Melihat seorang laki-laki yang tidak santun mendekati Dewi Ayu disaat
sedang mandi dan ingin melamarnya membuat sang putri menjadi marah dan
akhirnya dengan kesaktian yang dimiliki Dewi Ayu, maka dikutuklah si Gempu
Awang dan perahunya menjadi sebuah batu besar dan menutupi badan sungai
sehingga air sungai menjadi meluap ke daratan. Sungai yang meluap tersebut
kemudian diberi nama Tukad Munggah yang lama kelamaan menjadi Desa
Tukadmungga. Si Gempu Awang dan perahunya yang dikutuk menjadi batu besar
sampai sekarang berada di hulu sungai dan diberi nama Batu Perahu. Karena
keangkeran sungai tersebut maka sampai sekarang sungai tersebut diberi nama
para leluhur Desa yang sampai saat ini melekat dan merupakan legenda asal usul
Desa yang diyakini oleh masyarakat Desa Tukadmungga secara turun temurun.
39
Desa Tukadmungga mempunyai luas wilayah 196 Ha yang terdiri dari: (1)
Perkebunan seluas 58 Ha, (2) Persawahan seluas 68 Ha, (3) Perkantoran seluas 4
Ha, (4) Pemukiman seluas 34 Ha, (5) Pekarangan seluas 28 Ha, (6) Kuburan
seluas 1 Ha, dan (6) Prasarana Umum Seluas 3 Ha. Adapun batas-batas Desa
Tukadmungga adalah sebagai berikut: (1) Sebelah Timur yakni Desa Pemaron, (2)
Sebelah Utara yakni Laut Bali, (3) Sebelah Barat yakni Desa Anturan, dan (4)
jarak Desa Tukadmungga dari pusat pemerintahan Kecamatan kurang lebih 5 km,
jarak dari ibukota Kabupaten/Kota kurang lebih 6 km dan jarak ke ibu kota
40
provinsi kurang lebih 87 km. Jumlah dusun yang ada di Desa Tukadmungga
berjumlah 4 dusun yakni Dusun Dharma Semadi, Dharma Yadnya, Dharma Yasa,
4.1.3 Kependudukan
2015, dan sesuai data sensus atau statistik kependudukan Desa Tukadmungga
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa dari sekian jumlah
penduduk di Desa Tukadmungga, hanya ada 1236 KK ini berarti generasi penerus
Desa Tukadmungga masih banyak, belum lagi jumlah kelahiran dari tahun ke
ini.
41
Berdasarkan data tabel 4.2 di atas, dapat dlihat sebagian besar masyarakat
Desa Tukadmungga mata pencahariannya sebagai buruh tani, sebab luas wilayah
banyak bekerja sebagai buruh tani. Jadi walaupun wilayah persawahan luas,
sendiri.
4.1.5 Pendidikan
sumber daya manusia. Pada era globalisasi ini, pendidikan menjadi prioritas
utama bagi masyarakat dan pemerintah. Berikut rincian jumlah penduduk Desa
walaupun sebagian besar masyarakatnya tamat SMP. Akan tetapi, ada juga
Hindu, namun ada juga masyarakat yang menganut agama di luar agama Hindu
yaitu agama Islam, Kristen, Khatolik, dan Budha. Kehidupan masyarakat dengan
adanya perbedaan keyakinan atau agama yang berbeda, tidak menimbulkan suatu
perselisihan di antara mereka, akan tetapi hubungan mereka cukup rukun. Berikut
(Perbekel). Kepala Desa yang dipilih memiliki kedudukan yang tertinggi dalam
oleh Sekretaris Desa dan dibawahnya ada aparatur Desa lainnya yaitu Kepala
Kesejahteraan Rakyat, Kepala Urusan Keuangan, dan Kepala Urusan Umum dan
Tukadmungga terbagi menjadi empat dusun yaitu Dusun Dharma Semadi, Dusun
Dharma Yadnya, Dusun Dharma Yasa, dan Dusun Dharma Kerti. Berikut adalah
PERBEKEL
BPD TUKADMUNGGA LPM
MADE ARKA
KASI. KESEJAHTERAAN
KELIAN BANJAR DINAS RAKYAT
DHARMA KERTI NYOMAN SARIANI
I KETUT SUMADANA
KAUR. KEUANGAN
NYOMAN SEKAR
KAUR. UMUM
Keterangan :
: Hubungan konsulatif Kades dan BPD
: Hubungan konsulatif Kades dan LPM
: Hubungan perintah Kades dan Perangkat Desa
sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Adapun tugas dari masing-masing perangkat
lain
2. BPD bertugas menjaga dan memelihara adat dan istiadat, membuat peraturan
Kaur Pembangunan
5. Kaur Pembangunan bertugas untuk mencatat atau mendata semua hal yang
perkembangan desa
pemerintaha desa
46
keagamaan. Desa Adat memiliki peran penting dalam kehidupan umat Hindu di
Bali. Desa Adat dipimpin oleh seorang Kelian Adat yang dibantu oleh Pangliman
(wakil kelian adat) dan staf-staf lainnya seperti Petengen, Penyarikan, Baga
Mengenai banjar adat yang ada di Desa Tukadmungga dibedakan menjadi delapan
PETENGEN PENYARIKAN
1. Putu Kawita 1. Made Renten, S.Pd
2. A.A. Ngr. Suangga 2. Gede Wirya Putra
KASINOMAN/PEMBANTU PENERANGAN
1. Gede Brata (AKOMODASI)
2. Ketut Deres 1. Kadek Ardika
3. Ketut Merta 2. Nyoman Semada
4. Putu Kertayasa
Adapun tugas-tugas dari para petugas Desa Adat Tukadmungga sebagai berikut.
4.2 Bentuk Pelaksanaan Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero
Alus Di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng
dibahas tentang sejarah singkat dari Palinggih Jero Alus, penyebab tidak
menyalakan dupa pada Palinggih Jero Alus, serta upakara (banten) yang
Mengenai sejarah singkat dari Palinggih Jero Alus memang tidak begitu
Palinggih ini masih bersifat mule keto dapet. Walaupun demikian, sejak tanggal
14 April 1991 sudah mulai dituliskan oleh A. A. Ngurah Oka mengenai riwayat
berdirinya Palinggih Jero Alus. Berikut adalah sejarah singkat Palinggih Jero
Dahulu ada suatu tempat yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Desa
Tukadmungga. Di tempat tersebut tumbuh pohon asam yang besar, dan konon
yang malinggih disana adalah Ida Anake Alus. Tempat tersebut banyak dikunjungi
oleh masyarakat setempat untuk memohon doa restu. Saat itu pula, ada seorang
yang ngiring bernama Ni Ketut Kanis dan bilamana ada orang yang maturan di
Pemangku) dan hal itu berlangsung lama. Lambat laun, karena merasa dirinya
sudah tua dan tidak mungkin bisa melanjutkan untuk menjadi Pangiring-Nya,
maka berdasarkan hasil pinunasan Ni Ketut Kanis sendiri akhirnya yang direstui
Mekele Kenaka. Selanjutnya, setiap ada orang yang maturan atau yang ada
Kanis, penyelenggaraan di tempat itu beralih pada Mekele Kenaka dan hal itu
setiap ada orang maturan pada Palinggih itu maka dihaturkan oleh Mekele
Pada tahun 1988, pohon asam yang ada di Palinggih Ida Anake Alus
akhirnya rebah dengan sendirinya oleh karena pohonnya sudah tua. Peristiwa
tersebut tentu tidak menghilangkan kesucian dari tempat itu, sehingga didirikanlah
Palinggih Ida Anake Alus. Oleh karena itu, maka Mekele Kenaka dengan
kenyataan ada Palinggih di tempat itu. Maka hari sabtu, 2 April 1988 (Saniscara
Keliwon Wara Wayan, Icaka 1910 nuju Purnama kedasa) dimulailah pemugaran
tempat itu untuk ngelinggihang Palinggih Ida Anake Alus berupa tepasana
pasangan batukali dan tegel, dengan dibiayai oleh Mekele Kenaka dan suaminya
menanyakan tentang status dari Palinggih itu, maka diadakanlah suatu pertemuan
yang hasilnya setuju untuk mepinunasan tentang status dan fungsi Palinggih itu.
April 1988 (Sukra Keliwon Wara Watugunung, tanggal 5 sasih Jesta Icaka 1910)
tersebut bahwa Ida Anake Alus yang malinggih di Desa Tukadmungga adalah atas
waranugraha dari Ida Bhatara yang bersthana di Pura Desa dan Pura Dalem,
Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga bahwa yang malinggih di tempat itu
51
adalah Ida Anake Alus. Selain itu, ada pula beberapa tokoh masyarakat yang
Memang benar, bahwa dahulu areal di sekitar Palinggih Jero Alus ini masih
berupa hutan belantara yang dipenuhi dengan semak belukar serta tumbuh
pohon asam yang sangat besar. Areal Palinggih Jero Alus ini dulunya masih
sangat terasa hawa mistisnya, sehingga masyarakat masih merasa takut jika
memasuki areal ini. Kesucian dari Palinggih ini dulunya masih sangat kurang
sebab anak-anak kecil masih sering bermain di sekitar areal ini. Lambat laun,
areal ini dipelihara dan dibersihkan oleh masyarakat sehingga didirikanlah
Palinggih di tempat itu pada tahun 1988 dengan bentuknya yang masih sangat
sederhana, serta direnovasilah pada tahun 2012 menjadi Palinggih yang
bentuknya seperti sekarang ini. Yang malinggih pada tempat tersebut adalah
Ida Anake Alus. Sampai saat ini, areal Palinggih ini masih tetap terawat dan
dijaga kebersihan serta kesuciannya.
Dahulu pada Palinggih Jero Alus ini belum ada piodalan khusus yang
dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Sejak tahun 2012, setelah bentuk
Palinggih ini sudah direnovasi seperti sekarang, maka barulah dibuatkan
secara resmi piodalan pada purnama ketiga. Mengenai prosesi pelaksanaan
piodalan masih bersifat sederhana. Palinggih Jero Alus ini sudah terkenal
sebagai Palinggih yang dapat memberikan anugerah pada masyarakat berupa
kesejahteraan dalam hal keuangan. Biasanya masyarakat yang melakukan
persembahyangan pada Palinggih Jero Alus mayoritas yang memiliki usaha
dagang. Bagi masyarakat yang sungguh-sungguh dalam beryadnya dan
memohon anugerah-Nya biasanya terkabulkan atau terpenuhi.
52
mengenai penyungsung dari Palinggih Jero Alus menjelaskan seperti di bawah ini.
4.2.2 Penyebab Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus
Dupa (api) merupakan salah satu sarana yang paling penting dalam setiap
upacara yadnya di Bali. Jika dalam upacara tidak terdapat unsur api maka upacara
tersebut dikatakan belum lengkap. Dupa (api) memiliki banyak fungsi, salah
satunya berfungsi sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat.
53
Dalam persembahyangan, umat Hindu selalu harus dalam keadaan bersih secara
jasmani dan rohani. Secara jasmani yakni terasa bersih karena mandi, namun
secara rohaniah tentunya masih banyak yang kotor dalam diri dan pikiran pada
sang yajamana. Sehingga untuk hal itu maka perlu dilakukan suatu pembersihan
atau penyucian. Untuk pembersihan dan penyucian secara rohani tersebut, maka
(Supatra, 2007:45-46).
Fungsi api sebagai pengusir roh jahat atau kekuatan negatif lainnya bahwa
api berfungsi menumpas roh jahat dan kekuatan negatif lainnya, melenyapkan
kesedihan, menyucikan hati dan pikiran, menyucikan segala upakara yadnya. Api
menyucikan dan menyucikan jiwa yang kotor. Jiwa yang kotor yang dimaksudkan
adalah marah, dengki, iri hati, loba, dendam, resah, sombong, kasar dan
sebagainya. Sehingga dengan perantara api dupa, maka umat Hindu dapat
memohon agar disucikan segala pikiran yang kotor tersebut menjadi bersih dan
suci, bebas dari noda dan nafsu duniawi, dan pikiran akan menjadi tenang, aman,
tentram, bahagia, serta tumbuh rasa cinta kasih sayang yang didasari atas
Anake Alus yang kedudukannya berada di atas Bhuta Kala, dan di bawah
manusia, maka Beliau tidak berkenan berada pada tempat-tempat (areal) yang
terang, sehingga di areal Palinggih tidak ada penerangan apapun termasuk
tidak berkenan jika menyalakan api pada areal tersebut. Bagi para Pemangku
yang sudah melakukan upacara Pawintenan tidak diperbolehkan
bersembahyang pada Palinggih ini. Namun jika Pemangku dalam hal ini
diperlukan hanya sebagai pengantar dalam doa seseorang maka itu
diperbolehkan dengan catatan, beliau tidak boleh bersembahyang. Sampai
saat ini, masyarakat pun tidak pernah melanggar apa yang sudah mereka
yakini. Hal itu sudah menjadi kebiasaan yang sampai saat ini tetap dijaga
kelestariannya.
Hasil wawancara Jro Mangku Masma di atas didukung oleh Pandita Empu
Shri Bhagawan Kastuti Sanyasa dan Pandita Empu Istri Shri Bhagawan Kastuti
Memang benar yang malinggih (menempati) pada Palinggih Jero Alus adalah
Ida Anake Alus. Dalam hal ini, sifat dari makhluk halus ini sama halnya
dengan manusia pada umumnya ada yang baik dan buruk. Dengan demikian,
jika manusia berjalan pada arah yang keliru maka yang buruk yang akan
didapatkan, begitu sebaliknya, jika manusia berada pada jalan yang benar
maka yang baik pula yang akan diperoleh.
bawah ini.
Alus adalah sebuah Palinggih yang dalam pelaksanaan upacara persembahan atau
tanpa dinyalakan). Hal itu disebabkan karena yang malinggih atau menempati
pada Palinggih ini adalah Ida Anake Alus, sehingga beliau tidak berkenan jika
Segala macam upacara keagamaan Hindu, atau banten atau upakara adalah
salah satu hal yang penting. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dari
sarana tertentu antara lain berupa, bunga, buah-buahan, daun tertentu seperti sirih
dan dari makanan seperti nasi dengan lauk pauk, jajan, dan sebagainya. Di
samping sarana yang lain yaitu air dan api (Titib, 2003:134).
manusia tidak lain sebagai simbol penyerahan diri secara totalitas dan benar-benar
dilandasi oleh ketulusan hati. Ini tercermin dari tatuasan atau reringgitan yang
perasaan cinta kasih dan bhakti yang demikian halus suci dan rasa kagum yang
yang terbaik dan tertinggi kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagaimana yang
dipersembahkan pada Palinggih Jero Alus sama seperti banten pada umumnya.
57
Adapun upakara atau banten yang dihaturkan sehari-hari pada Palinggih Jero
Alus antara lain: (1) Banten Tipat Gong, (2) Canang sari, (3) Banten raka, dan (4)
Segehan.
(2007:102), menyatakan bahwa tipat gong dihaturkan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang berstana di gong. Sama halnya pada Palinggih Jero Alus juga
digunakan banten tipat gong, sebab banten ini berfungsi sebagai sarana untuk
2. Canang sari
masih ada umat yang belum memahami maknanya. Canang berasal dari dua suku
kata Ca yang berarti indah dan Nang yang diartikan sebagai tujuan yang
dimaksud sesuai dengan kamus Kawi atau Jawa Kuno. Sedangkan sari berarti inti
atau sumber (Sudarsana, 2010:1). Dengan demikian, maksud dan tujuan canang
sari adalah sebagai sarana bahasa Weda untuk memohon keindahan kekuatan
Widya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Prabhawa (manifestasi)
Nya secara sekala maupun niskala. Canang merupakan upakara yang penting bagi
3. Banten raka
syukur dan terima kasih karena telah diberikan anugerah oleh Ida Sang Hyang
4. Segehan
Kata segehan berasal kata sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh
sebab itu, segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya,
lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi
kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang
atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang
merah, jahe, garam. Selain itu, dilengkapi dengan jajan dan pisang dan bunga
bahwa mengenai sarana banten yang dihaturkan atau dipersembahkan pada saat
piodalan dan upacara mepiuning yaitu sebagai berikut: (1) Pecaruan Eka Sata, (2)
4.3 Fungsi Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus di Desa
Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng
yang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1995 : 282),
dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga memiliki fungsi
Religius adalah suatu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain,
dan selalu hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Jika dikaitkan dengan
penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga
berfungsi religius yaitu dapat menjaga hawa-hawa mistis, sebab bagi yang
malinggih di tempat tersebut hanya berkenan jika menggunakan dupa tanpa api
sehingga tetap terjaga kesucian di areal Palinggih. Jadi dengan penggunaan dupa
61
tanpa api pada segala bentuk persembahan yang dilakukan masyarakat setempat
Secara etimologi kata, kata pelestarian ini berasal dari kata lestari yang
mempunyai makna langgeng, tidak berubah, abadi, sesuai dengan keadaan seperti
semula. Apabila kata lestari ini dikaitkan dengan lingkungan hidup, maka berarti
bahwa lingkungan hidup itu tidak boleh berubah, harus langgeng dan harus sesuai
dengan keadaan seperti semula atau tetap dalam keadaan seperti aslinya semula
sebagai rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya
lain. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk
dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu
Jika dikaitkan dengan penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero
setempat pada Palinggih tersebut dengan tanpa menggunakan dupa tanpa api
lambat laun areal tersebut dijaga kebersihannya oleh masyarakat setempat dengan
harapan tidak akan pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
sosial yang diartikan sebagai kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi sosial adalah suatu kegunaan yang
melekat pada suatu hal yang memiliki kegunaan pada suatu perkumpulan
dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus tidak pernah dipermasalahkan atau
diperdebatkan oleh masyarakat setempat karena itu merupakan wasiat dari para
leluhur terdahulu yang sudah menjadi kebiasaan yang telah diyakini oleh semua
penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus adalah meliputi fungsi
religius, fungsi pelestarian alam, fungsi sosial. Fungsi religius berkaitan dengan
dupa sehingga berfungsi untuk menjaga hawa mistis yang ada di areal Palinggih
Jero Alus itu sendiri. Fungsi pelestarian alam dalam penggunaan dupa tanpa api
yakni untuk menjaga kestabilan serta kelestarian alam di sekitar areal Palinggih
berbeda-beda tiap masyarakat, sebab hal itu sudah menjadi suatu kebiasaan yang
4.4 Nilai Pendidikan Sosio Religius Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada
Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng,
Kabupaten Buleleng
menjadi lebih baik di dalam dunia ini dan untuk mendekatkan seseorang kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sama halnya, dalam penggunaan dupa tanpa api
pada Palinggih Jero Alus tentu terdapat nilai pendidikan sosio religius dari segi
dalam lubuk hati manusia, religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara
64
lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total
untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Rosyadi dalam Amalia, 2010). Dengan
dasar dari pelaksanaan suatu yadnya. Tanpa adanya keyakinan yang mantap, maka
sikap yang tulus ikhlas dan kesucian hati. Kesucian dicerminkan dalam hidup
yang benar yang memiliki kesiapan jasmani dan rohani seperti mantapnya
sraddha, rasa bhakti, keimanan, kesucian hati maupun kehidupan yang suci yaitu
Juni 2016) mengenai nilai pendidikan religius dalam penggunaan dupa tanpa api
Nilai pendidikan religius yang terdapat dalam penggunaan dupa tanpa api
pada Palinggih Jero Alus adalah terlihat dari bentuk keyakinan masyarakat
setempat di Desa Tukadmungga terhadap Palinggih tersebut. Masyarakat
percaya dengan apa yang sudah dari dulu mereka yakini, bahwa bukan hanya
Ida Sang Hyang Widhi Wasa saja yang wajib dihormati, melainkan makhluk-
makhluk yang Beliau ciptakan juga wajib dihormati pula. Sama halnya pada
Palinggih Jero Alus, bahwa yang bersthana adalah makhluk halus yang
tingkatannya di atas para Bhuta Kala, namun di bawah manusia. Makhluk
seperti itu juga tetap patut dihormati.
65
Dalam agama Hindu terdapat konsep Tri Hita Karana, yang artinya
sebagai manusia ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang memiliki Tri
Pramana (Sabda, Bayu, Idep) wajib menjaga hubungan yang harmonis dengan
Tuhan, dengan sesama manusia, serta lingkungan sekitar termasuk pula makhluk
yang tingkatannya lebih rendah dari manusia. Jika semua itu dapat dijalankan
secara seimbang, tentu kehidupan manusia bisa harmonis dan tentram sesuai
dengan apa yang diharapkan dan menjadi tujuan kehidupan ini. Selain itu,
Palinggih Jero Alus tersebut. Masyarakat juga percaya bahwa apa yang menjadi
hati dan didasarkan atas ketulusikhlasan dari dalam diri manusia itu sendiri.
diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial brupa sikap
dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar
individu. Nilai pendidikan sosial yang ada dalam karya seni dapat dilihat dari
2010). Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya
individu lainnya.
66
Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan
orang lain, oleh karena itu sikap gotong royong dan kesetiakawanan diperlukan
dalam kehidupan ini. Sistem sosial kemasyarakatan di Bali sering disebut dengan
istilah menyame braye, dimana sistem ini merupakan sebuah kebudayaan bagi
hubungan sosial yang semakin erat dan tetap terpelihara dengan baik antar warga
Tukadmungga.
Juni 2016) tentang nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam penggunaan dupa
tanpa api pada Palinggih Jero Alus, mengatakan seperti di bawah ini.
Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam penggunaan dupa tanpa api pada
Palinggih Jero Alus terlihat dari adanya interaksi sosial yang muncul tanpa
disadari dalam segala bentuk persembahan atau persembahyangan yang
dilakukan oleh masyarakat setempat di Desa Tukadmungga. Unsur sosial
yang terdapat dalam pelaksanaan upacara yadnya pada Palinggih Jero Alus
yaitu adanya sikap saling bergotong royong menjaga kebersihan serta
kelestarian di areal Palinggih. Masyarakat sekitar sangat antusias dalam
membantu sang yajamana untuk mempersiapkan segala sarana upacara yang
diperlukan dari awal sampai akhir dari segala prosesi yang dilaksanakan.
Selain itu, dapat dilihat dari segi nilai sosial saat saling bertegur sapa, serta
saling menawarkan hasil persembahan (lungsuran/surudan) kepada
masyarakat lain.
67
kerukunan antar warga masyarakat satu dengan yang lainnya, sehingga muncul
mengurangi sikap toleransi di antara mereka. Masyarakat dari dulu tetap menjaga
hubungan harmonis dengan sesama, bahkan sampai saat ini pula. Apa yang
menjadi keyakinan mereka terhadap Palinggih Jero Alus tersebut, tidak menjadi
mereka sangat melestarikan apa yang sudah membudaya pada daerah tersebut.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
5.1.1 Bentuk pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus
pada tempat tersebut adalah Ida Anake Alus yang mana merupakan
waranugraha dari Ida Bhatara di Pura Desa dan Pura Dalem Desa
dihaturkan sehari-hari adalah banten tipat gong, canang sari, banten raka
banten pejati.
5.1.2 Fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus adalah
meliputi fungsi religius yaitu dapat menjaga hawa-hawa mistis sebab bagi
yang malinggih hanya berkenan jika menggunakan dupa tanpa api (tanpa
68
69
Tukadmungga.
5.1.3 Nilai-nilai pendidikan sosio religius yang terdapat dalam penggunaan dupa
tanpa api pada Palinggih Jero Alus adalah meliputi nilai pendidikan
religius dan nilai pendidikan sosial. Nilai pendidikan religius dapat dilihat
pada Palinggih Jero Alus memiliki aturan yakni menggunakan dupa tanpa
dari adanya interaksi sosial yang muncul tanpa disadari dalam hal
segala sarana upakara yang diperlukan dari awal sampai akhir dari segala
5.2 Saran-saran
menjaga warisan leluhur yang sudah ada sejak dahulu serta menjaga
konflik antar sesama umat Hindu sebab yang dilakukan hanyalah semata-
mata adalah suatu bentuk sradha dan bhakti umat Hindu kepada Ida Sang
yang baik dan benar kepada masyarakat terkait penggunaan dupa tanpa api
Tuhan, tetapi justru bisa dijadikan dalam memperkaya khasanah seni dan
budaya dengan tidak merubah konsep ajaran agama yang tertuang pada
sastra-sastra agama.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional Balai Pustaka.
Adnyana, I Nyoman Mider. 2012. Arti dan Fungsi Banten. Denpasar: Pustaka
Bali Post
Kaplan, David & Manners, Albert A. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Metri. 2001. Arti dan Fungsi Api Dalam Pelaksanaan Upacara Yadnya Ditinjau
Dari Segi Pendidikan Agama Hindu. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan
Pendidikan Agama Hindu. IHDN Denpasar
Ridwan. 2004. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti
Pemula. Bandung: Alfabet
Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya:
Paramita
Watra. 2006. Kaedah Beryajnya Orang-Orang Suci dan Tempat Suci (Acara I).
Surabaya: Paramita
Wiana, I Ketut. 2001. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita
http://pemuda-balkar.blogspot.co.id/2015/01/sarana-upacara-yajna.html diakses
tanggal 4 April 2016 pukul 11.39
http://suaramatahatiku.blogspot.co.id/2011/04/arti-jro-dalam-jro-mangku.html
diakses tanggal 5 Juni 2016 pukul 11.17
https://csuryana.wordpress.com/2010/03/25/data-dan-jenis-data-penelitian/
diakses tanggal 26 Juni 2016 pukul 10.51
http://aghoestmoemet.blogspot.co.id/2016/01/data-kualitatif-data-kuantitatif.html
diakses tanggal 26 Juni 2016 pukul 10.57
https://dharmavada.wordpress.com/2014/01/15/segehan-persembahan-penuh-
makna-filosofis/ diakses tanggal 2 Juli 2016 pukul 17.09
http://maychan9.blogspot.co.id/2013/10/may-anjars-world-bagi-ilmu.html diakses
tanggal 7 Juli 2016 pukul 09.48
http://padmayowana.blogspot.co.id/2013/12/canangsari-inggih-punika-sarin-
kasucian.html diakses tanggal 9 Juli 2016 pukul 17.33
http://jegegbagus-jegegbagus.blogspot.co.id/2009/11/budayabali-banten.html
diakses tanggal 9 Juli 2016 pukul 17.42
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Kisi-kisi wawancara/Interview Guide
Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus di Desa
Tukadmungga Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng
2. Apakah fungsi penggunaan dupa tanpa api a. Fungsi apa saja yang
pada Palinggih Jero Alus di Desa terdapat pada penggunaan
Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, dupa tanpa api pada
Kabupaten Buleleng Palinggih Jero Alus?
b. Sesuai perkembangan
zaman apakah ketentuan
dari penggunaan dupa
tanpa api pada Palinggih
Jero Alus masih terjaga
3. Nilai-nilai pendidikan sosio religius apa a. Nilai pendidikan sosio
sajakah yang terdapat dalam penggunaan religius apa yang ada
dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di dalam penggunaan dupa
Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, tanpa api pada Palinggih
Kabupaten Buleleng Jero Alus?
b. Bagaimana cara
masyarakat dalam
menghayati,
mengamalkan, serta
melestarikan nilai-nilai
yang diperoleh tersebut?
PEDOMAN WAWANCARA
5. Kapan piodalan yang dilaksanakan pada Palinggih Jero Alus? serta upakara
6. Apakah fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus?
8. Nilai pendidikan sosio religius apa yang terdapat pada Penggunaan Dupa