Anda di halaman 1dari 109

SKRIPSI

PENGGUNAAN DUPA TANPA API PADA PALINGGIH


JERO ALUS DI DESA TUKADMUNGGA KECAMATAN
BULELENG KABUPATEN BULELENG
(Perspektif Pendidikan Sosio Religius)

NI NYOMAN WIRA SUASTI CAHAYANI

FAKULTAS DHARMA ACARYA


INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2016
SKRIPSI

PENGGUNAAN DUPA TANPA API PADA PALINGGIH JERO


ALUS DI DESA TUKADMUNGGA KECAMATAN BULELENG
KABUPATEN BULELENG
(Perspektif Pendidikan Sosio Religius)

Diajukan kepada
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Hindu
Program Studi Pendidikan Agama Hindu

NI NYOMAN WIRA SUASTI CAHAYANI


NIM. 12.1.1.1.1.349

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA


FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2016

i
MOTTO

Jika ingin melihat sekeliling kita berubah, mulailah perubahan


dari diri kita sendiri, dari hal yang paling kecil sekalipun

v
KATA PERSEMBAHAN

Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang

Maha Esa, karya tulis ini saya persembahkan kepada :

1. Bapak tercinta (Gede Sucita, S.Pd. Bio) dan Ibu tersayang (Ni Made

Kartani), atas segala dukungan material, moril dan doa yang selalu

menyertai langkah hidup saya

2. Kepada saudara-saudara (Ni Putu Eka Suci Pertami, Ni Made Ayu

Dwipayani, dan Putu Hendy Jayadi Putra) yang selalu mendukung saya

3. Kepada orang terdekat (I Kadek Agus Ardana) yang selalu menghibur dan

memotivasi saya

4. Teman-teman sekelas (Eka, Ayu Budi, Tinik, Ayu Surya, Adira, Sastria,

Ratmaja, Widi, Bagas) dan teman-teman mahasiswa seangkatan yang

selalu memberikan motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir ini

5. Almamater tercinta Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang telah

memberikan banyak sumbangan ilmu pengetahuan

vi
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Rasa angayubagia penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya, penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini yang berjudul Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus

di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng (Perspektif

Pendidikan Sosio Religius) tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak

kekurangan, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dalam penulisan

karya ilmiah, namun dengan adanya bantuan dari berbagai pihak menjadi faktor

penting yang memacu penyelesaian karya tulis ini.

Berkenaan dengan hal itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan

ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yang

terhormat :

1. Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si., selaku Rektor Institut Hindu Dharma

Negeri Denpasar yang telah memberikan fasilitas kuliah dan motivasi selama

mengikuti perkuliahan.

2. Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si., selaku Dekan Fakultas Dharma Acarya

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang telah mengarahkan selama

perkuliahan.

vii
3. I Made Arsa Wiguna, Sst.Par., M.Pd H., selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Agama Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang telah memberikan

masukan yang sangat berharga selama penyusunan karya tulis ini.

4. Drs. I Made Olas Astawa, M.Pd., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah

banyak memberikan koreksi yang sangat konstruktif sehingga karya tulis ini

dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.

5. Ketut Bali Sastrawan, S.Ag., M.Pd.H., sebagai Dosen pembimbing II yang

telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tepat pada

waktunya.

6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis

7. Semua informan yang telah memberikan segala informasi terkait dengan

Palinggih Jero Alus

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, hal ini

disebabkan karena keterbatasan kemampuan penulis. Maka dari itu, kritik dan

saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk lebih sempurnanya

tulisan ilmiah ini dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Om Santih, Santhi, Santhi Om

Denpasar, ___ Juli 2016

Penulis,

viii
ABSTRAK
PENGGUNAAN DUPA TANPA API PADA PALINGGIH JERO ALUS DI
DESA TUKADMUNGGA KECAMATAN BULELENG
KABUPATEN BULELENG
(Perspektif Pendidikan Sosio Religius)

Ni Nyoman Wira Suasti Cahayani


Program Studi Pendidikan Agama Hindu
Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
E-mail: whierasuasti@gmail.com

Sebagai manusia selaku umat beragama tidak bisa lepas dari konteks
kehidupan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-
Nya. Menyadari akan keterbatasan, manusia dengan kepercayaan dan rasa bhakti
yang begitu mendalam, dibuktikan dengan didirikannya sebuah Palinggih Jero
Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Palinggih
Jero Alus memiliki keunikan tersendiri dari Palinggih yang ada pada umumnya,
dimana menggunakan dupa tanpa api (dupa yang tanpa dinyalakan).
Penelitian ini mengeksplorasi tiga rumusan masalah yaitu (1) Bentuk
pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus, (2) Fungsi
penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus, (3) Nilai-nilai pendidikan
sosio-religius yang terdapat dalam penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih
Jero Alus. Teori yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah adalah
Teori Religi oleh Emile Durkheim, Teori Fungsionalisme oleh David Kaplan dan
Robert A. Manners, dan Teori Nilai oleh Koentjaraningrat. Adapun metode yang
digunakan adalah Metode Observasi, Wawancara, Kepustakaan, dan Metode
Dokumentasi.
Hasil Penelitian menunjukkan (1) Bentuk pelaksanaan penggunaan dupa
tanpa api pada Palinggih Jero Alus dilihat dari sejarah singkat Palinggih Jero
Alus, penyebab tidak menyalakan dupa serta banten yang dihaturkan pada
Palinggih Jero Alus; (2) Fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero
Alus meliputi fungsi religius, fungsi pelestarian alam, dan fungsi sosial; (3) Nilai-
nilai pendidikan sosio religius dalam penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih
Jero Alus meliputi nilai pendidikan religius dan nilai pendidikan sosial. Dari
analisis data dapat disimpulkan bahwa dalam segala bentuk pelaksanaan
persembahyangan atau perembahan yang dilakukan dengan menggunakan dupa
tanpa api (dupa tanpa dinyalakan) merupakan salah satu bentuk keyakinan
masyarakat setempat dimana yang malinggih adalah Ida Anake Alus, sehingga
sampai saat ini hal tersebut masih diyakini dan dijaga kelestariannya.

Kata Kunci: Palinggih Jero Alus, Dupa, Api

ix
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................... iii

PERNYATAAN ....................................................................................... iv

MOTTO................................................................................................... v

KATA PERSEMBAHAN ........................................................................ vi

KATA PENGANTAR .............................................................................. vii

ABSTRAK .............................................................................................. ix

DAFTAR ISI ........................................................................................... x

DAFTAR TABEL.................................................................................... xiv

DAFTAR BAGAN .................................................................................. xv

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xvi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 7

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 7

1.3.1 Tujuan Umum ................................................................ 8

1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................... 8

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 8

1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................ 8

1.4.2 Manfaat Praktis .............................................................. 9

x
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI................................... 10

2.1 Kajian Pustaka ......................................................................... 10

2.2 Konsep ..................................................................................... 14

2.2.1 Penggunaan .................................................................... 15

2.2.2 Dupa Tanpa Api ............................................................ 15

2.2.3 Palinggih Jero Alus ....................................................... 16

2.2.4 Perspektif ....................................................................... 17

2.2.5 Pendidikan Sosio Religius ............................................. 18

2.3 Teori ......................................................................................... 20

2.3.1 Teori Religi .................................................................... 21

2.3.2 Teori Fungsionalisme .................................................... 23

2.3.3 Teori Nilai ..................................................................... 24

BAB III METODE PENELITIAN.......................................................... 26

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian .............................................. 26

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 28

3.3 Subjek dan Objek Penelitian.................................................... 28

3.3.1 Subjek Penelitian ........................................................... 28

3.3.2 Objek Penelitian ............................................................ 28

3.4 Jenis Data dan Sumber Data .................................................... 29

3.4.1 Data Primer .................................................................... 29

3.4.1 Data Sekunder ............................................................... 30

3.5 Teknik Penentuan Informan .................................................... 30

3.6 Instrumen Penelitian ................................................................ 31

xi
3.7 Metode Pengumpulan Data...................................................... 32

3.7.1 Metode Observasi .......................................................... 32

3.7.2 Metode Wawancara ....................................................... 33

3.7.3 Metode Kepustakaan ..................................................... 33

3.7.4 Metode Dokumentasi..................................................... 34

3.8 Teknik Analisis Data ............................................................... 34

3.8.1 Reduksi Data ................................................................. 35

3.8.2 Penyajian Data ............................................................... 35

3.8.3 Verifikasi Data ............................................................... 36

BAB IV PEMBAHASAN DAN PENYAJIAN

HASIL PENELITIAN ............................................................. 37

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ......................................... 37

4.1.1 Sejarah Desa Tukadmungga .......................................... 37

4.1.2 Letak Geografis ............................................................. 39

4.1.3 Kependudukan ............................................................... 40

4.1.4 Pekerjaan Penduduk ...................................................... 40

4.1.5 Pendidikan ..................................................................... 41

4.1.6 Sistem Kepercayaan Penduduk ..................................... 42

4.1.7 Bidang Pemerintahan Desa ............................................ 43

4.1.7.1 Pemerintahan Desa Dinas ................................. 43

4.1.7.2 Pemerintahan Desa Adat ................................... 46

4.2 Bentuk Pelaksanaan Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada

Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga Kecamatan

xii
Buleleng Kabupaten Buleleng ................................................ 48

4.2.1 Sejarah Singkat Palinggih Jero Alus ............................. 48

4.2.2 Penyebab Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada

Palinggih Jero Alus ....................................................... 51

4.2.3 Banten yang Dipersembahkan Pada

Palinggih Jero Alus ........................................................ 56

4.3 Fungsi Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus

di Desa Tukadmungga Kecamatan Buleleng Kabupaten

Buleleng ................................................................................. 60

4.3.1 Fungsi Religius ............................................................. 60

4.3.2 Fungsi Pelestarian Alam ............................................... 61

4.3.3 Fungsi Sosial ................................................................. 62

4.4 Nilai Pendidikan Sosio Religius dalam Penggunaan Dupa

Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga

Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng ............................. 63

4.4.1 Nilai Pendidikan Religius .............................................. 63

4.4.2 Nilai Pendidikan Sosial .................................................. 65

BAB V PENUTUP .............................................................................. 68

5.1 Simpulan .................................................................................. 68

5.2 Saran-saran .............................................................................. 70

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data Jumlah Penduduk Desa Tukadmungga 40

Tabel 4.2 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan 41

Tabel 4.3 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan 42

Tabel 4.4 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Sistem Kepercayaan 43

xiv
DAFTAR BAGAN

Bagan 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Dinas Tukadmungga.... 44

Bagan 4.2 Struktur Pemerintahan Desa Adat Tukadmungga... 47

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta Desa Tukadmungga.... 39

Gambar 4.1 Palinggih Jero Alus..... 52

Gambar 4.2 Masyarakat menghaturkan persembahan secara perseorangan.... 55

Gambar 4.3 Masyarakat saat melakukan sembah bhakti..... 55

Gambar 4.4 Canang sari..... 58

Gambar 4.5 Banten raka dengan dupa tanpa dinyalakan.... 58

Gambar 4.6 Segehan.... 59

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Agama Hindu merupakan agama wahyu dan agama tertua dari agama yang

ada di Indonesia yang bersifat fleksibel atau tidak kaku. Hal ini dapat diamati dari

cara menghubungkan diri manusia dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa)

yang sangat beraneka ragam. Adanya berbagai cara yang dilakukan oleh umat

Hindu dalam mencetuskan rasa bhaktinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa

adalah tidak salah, asalkan tidak menyimpang dari inti ajaran dalam kitab suci

Weda. Seperti saat umat Hindu melakukan sembah bhakti kehadapan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa walaupun itu dengan tanpa sarana yang dimiliki, asalkan

didasarkan atas ketulusan hati maka semua itu tidak menyimpang dari ajaran

Hindu dalam kitab suci Weda. Semakin sering manusia melakukan

persembahyangan, beryadnya, melaksanakan upacara akan dapat meningkatkan

sikap, moral dan perilaku menuju kualitas yang lebih baik dan benar sesuai

dengan kaidah dharma yaitu kebenaran.

Berbhakti kehadapan Hyang Widhi adalah salah satu bentuk pengamalan

ajaran agama Hindu. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan empat jalan atau

yang disebut dengan Catur Marga yang terdiri dari Bhakti Marga, Karma Marga,

Jnana Marga, dan Yoga Marga. Dalam pelaksanaannya, Bhakti Marga Yoga,

Karma Marga Yoga dan Jnana Marga Yoga dapat dibedakan dalam

pengertiannya, akan tetapi pengamalannya merupakan satu kesatuan yang tidak

1
2

dapat terlepaskan. Ketiga cara tersebut merupakan bentuk pengamalan umat

Hindu semata-mata untuk mewujudkan rasa cinta kasih serta rasa syukur

kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas anugerah yang diberikan dengan

penuh keikhlasan dan kesungguhan hati. Bhakti kehadapan Hyang Widhi tidak

dapat dilakukan dengan tanpa karma (kerja) yang benar (Swastika, 2008:1).

Karma dalam pelaksanaan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang baik

dan benar dapat dilakukan dengan yadnya.

Yadnya berarti pemujaan, persembahan, atau korban suci baik material

maupun non material berdasarkan hati yang tulus ikhlas dan suci demi untuk

mencapai tujuan yang mulia dan luhur. Yadnya pada hakekatnya bertujuan untuk

membebaskan manusia dari ikatan dosa, ikatan karma untuk selanjutnya dapat

menuju pada kelepasan atau moksa. Yadnya ada beberapa macam, yang disebut

dengan Panca Yadnya yang terdiri dari, Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya,

Bhuta Yadnya dan Manusa Yadnya (Watra, 2006 : 19).

Dewa Yadnya berarti pemujaan, persembahan atau korban suci yang

ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Umat Hindu tidak harus

melaksanakan persembahan yang besar untuk menunjukkan rasa bhaktinya

kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) melainkan yang diperlukan adalah

ketulusan hati dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Untuk itu diharapkan

kepada umat Hindu sebaiknya menghaturkan persembahan atau beryadnya sesuai

dengan kemampuan masing-masing umat.

Segala bentuk pelaksanaan yajna, sudah tentu tidak terlepas dari sarana

atau peralatan yang diperlukan atau dipergunakan dalam kelancaran pelaksanaan


3

korban suci itu sendiri. Sarana upacara yadnya sangat penting artinya untuk

keberhasilan dari suatu yadnya yang dipersembahkan oleh umat Hindu kepada Ida

Sang Hyang Widhi Wasa. Sarana upacara yajna merupakan media konsentrasi

untuk dapat mendekatkan diri manusia dengan Ida sang Hyang Widhi Wasa dan

sebagai alat menghubungkan diri atau menyatukan diri dengan penuh kesucian

kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya. Berikut ini

dijelaskan mengenai unsur-unsur pokok persembahan dalam yajna yaitu :

Patram Puspam phalam toyam


Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhaktyupahsitam
Asnami prayatatmanah
(Bhagawadgita. IX. 26)
Terjemahan:
Siapa saja yang sujud kepada Aku dengan persembahan sehelai daun
sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti
persembahan dari orang yang berhati suci (Pudja, 1993 : 220).

Berbagai kehidupan beragama Hindu bahwa sarana yajna diperoleh,

dipergunakan dan dipilih sesuai dengan apa yang tersedia di sekitar tempat tinggal

itu sendiri. Jadi apapun yang dimiliki oleh umat Hindu, maka sarana sebagai

miliknya tersebut dapat dijadikan sebagai materi untuk beryajna. Dengan

menggunakan sarana upacara tersebut bahwa umat Hindu tidak saja dapat

menghubungkan diri dengan penciptanya, tetapi dapat pula menciptakan suasana

yang harmonis antar lingkungan, sesama manusia, tumbuh-tumbuhan, para pitara

(roh suci leluhur), serta keharmonisan kehidupan di dunia ini.

Segala jenis sarana upacara yajna yang dipergunakan oleh umat Hindu

tentunya memiliki makna, arti dan fungsi yang sangat mulia dan memiliki

kesucian dan nilai spiritual yang tinggi sesuai dengan jenis yajna yang sedang
4

dipersembahkan. Melalui sarana-sarana yang digunakan dalam beryajna, tentunya

mempunyai suatu harapan suci agar mencapai kesempurnaan baik secara spiritual

maupun material, sehingga tujuan hidup sesuai dengan ajaran agama Hindu yaitu

dapat terciptanya Moksartham Jagadhita atau terciptanya kesejahteraan dan

kebahagian lahir dan batin di dunia dan akhirat, ya ca iti dharma yaitu dengan

berbuat dharma (Mertayasa, 2015: 1).

Kitab Rg Veda juga menyebutkan bahwa sarana pokok persembahan yang

ditujukan kehadapan Hyang Widhi adalah sarana api. Dimana penggunaan api

sebagai sarana persembahyangan diwujudkan dalam bentuk dupa dan juga dipa.

Sehingga dengan demikian sarana yang digunakan dalam melaksanakan

persembahyangan terdiri dari beberapa unsur pokok yakni daun, bunga, buah, air

suci, dan juga api (Supatra, 2007:39).

Setiap yajna dan persembahan tidak luput dari penggunaan dupa (api)

sebab api selalu dijadikan sarana yang utama dalam upacara keagamaan Hindu.

Tidak ada upacara yadnya tanpa menggunakan unsur api. Dalam pelaksanaan

upacara agama bahwa api banyak digunakan seperti dhupa, dipa, api takep, dan

pasepan. Dhupa adalah sebagai nyala bara yang berisi wangi-wangian yang

dipakai dalam upacara dan untuk menyelesaikan upacara. Dipa adalah api yang

nyalanya sebagai lampu yang terbuat dari minyak kelapa yang merupakan alat

penting dalam upacara agama.

Api takep adalah api sebagai sarana upacara dengan nyala bara yang

terbuat dari kulit kelapa yang sudah kering atau sabut. Pasepan dalah api sebagai

nyala bara yang ditaruh di atas tempat tertentu atau dulang kecil yang diisi dengan
5

potongan kayu yang dibuat kecil-kecil dan kering. Biasanya dipilih potongan kayu

yang mengeluarkan bau yang harum seperti kayu cendana, kayu menyan, kayu

majegau dan lainnya (Watra, 2006:58).

Makna dupa yaitu sebagai saksi pemujaan sekaligus sebagai pelebur segala

kekotoran serta sebagai pengantar doa kepada Sang Hyang Widhi

(divisualisasikan dengan asapnya yang membumbung ke atas). Sastra suci

menyatakan bahwa upacara yadnya sebesar apapun akan dianggap sah apabila ada

wanita sebagai lambang ibu alam semesta dan dupa sebagai saksi pemujaan

(penghubung). Jadi kehadiran wanita sebagai perwujudan ibu alam semesta dan

dupa sebagai saksi pemujaan sangatlah penting. Dengan demikian, apabila unsur

api belum ada dalam upacara agama, maka suatu persembahan dapat dikatakan

belum lengkap, karena dengan api umat Hindu dapat melaksanakan persembahan

dengan sempurna (Letra, 2012 : 3).

Segala bentuk persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa tentunya

terdapat unsur api, sebab api termasuk unsur yang tidak dapat diabaikan dalam

upacara keagamaan Hindu (Swastika, 2008:49). Bagi masyarakat secara umum,

dupa (api) diyakini merupakan salah satu sarana terpenting dalam segala upacara

keagamaan Hindu yang memiliki fungsi sebagai saksi dalam upacara tersebut,

serta menetralisir segala hal-hal negatif atau kekotoran yang ada, sehingga dupa

(api) selalu tidak dapat terlepas dari upacara keagamaan Hindu.

Berbeda dengan fenomena yang ditemukan di Desa Tukadmungga,

Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tepatnya pada Palinggih Jero Alus

dimana masyarakat setempat saat melakukan yadnya maupun menghaturkan


6

upakara, tidak diperkenankan menyalakan dupa. Hal itu tentu dikarenakan adanya

alasan tertentu yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut. Menurut

kepercayaan masyarakat Desa Tukadmungga, bahwa sejak dahulu hal tersebut

sudah diyakini serta diterapkan sampai saat ini, sehingga masyarakat setempat

tidak ada yang berani melanggar. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikan

tersendiri dari Desa Tukadmungga dibandingkan dengan daerah lainnya.

Selain itu, terdapat keterkaitan dengan pendidikan sosio religius yang ada

di masyarakat, sebab dengan melaksanakan yadnya secara tidak langsung

masyarakat setempat akan mengikuti apa yang telah mereka yakini dalam rangka

menunjukkan rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bukan saja

masyarakat di Desa Tukadmungga, namun masyarakat daerah lain yang

mengetahui mengenai fenomena ini, tentunya mereka secara tidak langsung

memiliki sikap toleransi antar umat khususnya agama Hindu.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, sudah tentu terdapat kesenjangan

antara teori dengan realita yang ada di masyarakat pada umumnya dan khususnya

di Desa Tukadmungga. Secara umum, dupa (api) sangat dipentingkan dalam suatu

upacara keagamaan Hindu, namun pada Palinggih Jero Alus tidak menggunakan

unsur api. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengungkap sesuatu yang ada

dibalik fenomena tersebut dengan judul Penggunaan Dupa Tanpa Api pada

Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten

Buleleng (Perspektif Pendidikan Sosio Religius).


7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api pada

Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten

Buleleng?

2. Apakah fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa

Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng?

3. Nilai-nilai pendidikan sosio religius apa sajakah yang terdapat dalam

penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga,

Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng?

1.3 Tujuan Penelitian

Pada umumnya tidak ada sesuatu kegiatan atau pekerjaan yang dapat

dilakukan dengan baik tanpa adanya tujuan yang jelas. Tujuan yang jelas akan

dapat mengamalkan setiap tindakan untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Begitu juga sebaliknya tidak jelasnya suatu tujuan akan dapat menyebabkan

kepincangan dari suatu tindakan yang dilakukan. Tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini untuk memberikan pengetahuan dan

pemahaman yang lebih luas mengenai penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih

Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Dari


8

pendeskripsian tersebut, dapat dijadikan sebuah keunikan tersendiri bagi daerah

bersangkutan sekaligus menjadi bahan perbandingan antara kenyataan yang ada

dengan teori yang telah berkembang.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini mengarah pada rumusan masalah yang

telah ditetapkan. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api pada

Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten

Buleleng.

2. Untuk mengetahui fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero

Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

3. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan sosio religius yang terdapat dalam

penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga,

Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat

baik bagi masyarakat umum maupun bagi peneliti sendiri. Sehubungan dengan hal

tersebut, maka manfaat penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat

yang bersifat teoretis dan praktisnya.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Melalui penelitian yang dilakukan peneliti, hasil penelitian ini memiliki

manfaat teoritis yaitu menambah wawasan tentang pentingnya untuk mengetahui


9

penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus bagi umat Hindu secara

umum, dan khususnya bagi masyarakat Desa Tukadmungga Kecamatan Buleleng,

Kabupaten Buleleng.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sumbangan informasi bagi masyarakat Desa Tukadmungga pada khususnya dan

umat Hindu pada umumnya yang nantinya akan menjadikan acuan dalam

penambahan bahan pustaka.

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dalam

mempelajari bentuk pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih

Jero Alus bagi masyarakat luas

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menambah

wawasan dan pengetahuan tentang fungsi penggunaan dupa tanpa api pada

Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten

Buleleng

3. Hasil penelitian ini memberikan wawasan yang lebih luas bagi peneliti lain

untuk memperkaya dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang nilai-

nilai pendidikan sosio religius dalam penggunaan dupa tanpa api pada

Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten

Buleleng
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam suatu penelitian ilmiah adalah salah satu bagian

penting dari keseluruhan langkah-langkah metode penelitian. Cooper dalam

Creswell (2012:84) mengemukakan bahwa kajian pustaka memiliki beberapa

tujuan yakni menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian lain yang

berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat ini, menghubungkan

penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah-celah dalam

penelitian-penelitian sebelumnya. Kajian pustaka dalam penelitian ini

menggunakan beberapa sumber buku dan referensi hasil penelitian terdahulu yang

relevan dengan masalah yang peneliti teliti.

Swastika (2008), dalam bukunya yang berjudul Arti dan Makna (Puja Tri

Sandhya, Panca Sembah, Bunga, Api, Air, Kwangen, Canang Sari, Pejati)

menjelaskan bahwa dalam setiap pelaksanaan persembahyangan dalam upacara

keagamaan Hindu, dupa selalu tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Dupa dan api

yang dibakar dan mengeluarkan asap mengepul dan membubung serta

mengeluarkan bau yang harum, akan menambah khusyuk suatu persembahyangan

dalam pelaksanaan suatu upacara yajna. Bahkan disebutkan dalam Sundarigama

tentang Pangrupukan dengan mempergunakan sarana api sebagai pengusir roh

jahat. Jadi dapat disimpulkan bahwa dupa (api) memiliki makna yang sangat

penting dalam suatu upacara keagamaan Hindu. Dengan menelaah teori dalam

10
11

referensi ini, diharapkan dapat memberikan informasi tentang peranan api pada

dupa terkait masalah yang peneliti teliti tentang bentuk pelaksanaan penggunaan

dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan

Buleleng, Kabupaten Buleleng.

Adnyana (2012), dalam bukunya yang berjudul Arti dan Fungsi Banten

Sebagai Sarana Persembahyangan, menyatakan bahwa dalam persembahyangan,

api diwujudkan dengan dupa atau diva. Dupa dengan nyala apinya lambang dari

Dewa Agni. Api adalah salah satu unsur alam, dipakai sebagai sarana

persembahyangan dan sarana upacara keagamaan. Api berfungsi sebagai

perlambang sifat-sifat Tuhan dalam hubungannya turut mempermulia ciptaannya.

Api yang bersinar dapat memberi penerangan sehingga secara simbolis dapat

dipakai saksi dalam upacara. Dengan membedah pustaka ini, diharapkan dapat

menambah wawasan dan pengetahuan tentang sarana-sarana persembahyangan

yang digunakan secara umum oleh umat Hindu khususnya sarana dupa dalam

upacara yajna. Selain itu, kontribusi terhadap penelitian ini adalah sebagai

pembanding dalam membahas mengenai fungsi penggunaan dupa tanpa api pada

Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten

Buleleng.

Metri (2001), dalam penelitiannya yang berjudul Arti dan Fungsi Api

Dalam Pelaksanaan Upacara Yadnya Ditinjau Dari Segi Pendidikan Agama

Hindu, menyimpulkan bahwa api salah satu unsur alam yang digunakan sebagai

sarana dalam upacara yadnya yang berfungsi sebagai perlambang sifat-sifat Tuhan

dalam hubungannya turun mempermuliakan ciptaan-Nya. Dupa berasal dari akar


12

kata waiswa yaitu alam semesta menyala dan asapnya bergerak ke atas pelan-

pelan, menyatu dengan angkasa. Ini adalah simbolis menuntun umat yang

melakukan sembahyang agar menghidupkan api dalam dirinya menggerakkan

persatuan dengan Hyang Widhi, ibarat asap dupa naik ke atas angkasa dan bersatu

dengan angkasa. Dengan demikian dupa adalah lambang pertemuan antara umat

dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Kontribusi penelitian di atas terhadap penelitian yang peneliti lakukan

adalah untuk mengungkap tentang bentuk pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api

pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng,

Kabupaten Buleleng. Hasil penelitian tersebut, juga dipergunakan sebagai

penunjang dalam mengkaji tentang fungsi penggunaan dupa tanpa api pada

Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga berdasarkan perspektif pendidikan

sosio religius.

Subawa (2014), dalam penelitiannya yang berjudul Pelaksanaan Upacara

Yadnya Tanpa Menggunakan Dupa dan Mantra Pada Masyarakat Desa Pakraman

Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng hasil penelitiannya

menyatakan dalam pelaksanaan upacara yadnya tanpa menggunakan dupa dan

mantra dilatar belakangi oleh keyakinan bahwa dupa dianggap kurang memiliki

nilai kesucian, sehingga masyarakat lebih banyak untuk menggunakan pasepan

dan api takep untuk setiap pelaksanaan upacara yadnya karena dengan

menggunakan bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia memiliki nilai

kesucian yang lebih baik. Pelaksanaan upacara yadnya tapa menggunakan dupa

dan mantra pada masyarakat Desa Tigawasa adalah merupakan tradisi yang sudah
13

diwarisi secara turun temurun dari leluhurnya sehingga para pemangku tidak

menggunakan dupa dan mantra dalam memimpin upacara melainkan hanya

menggunakan sehe dalam memimpin pelaksanaan upacara yadnya.

Sumbangsih penelitian di atas terhadap penelitian yang peneliti teliti

adalah menambah wawasan serta memberikan pemahaman dan pengetahuan yang

lebih mendalam tentang fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero

Alus di Desa Tukadmungga. Penelitian di atas, juga akan memperkaya khasanah

kajian nilai-nilai sosio religius penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero

Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

Sunarta (2008), dalam penelitiannya yang berjudul Kontribusi Gatra

Persembahyangan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Agama Hindu

Siswa SMA Negeri 6 Denpasar Tahun Pembelajaran 2008/2009, menyatakan

bahwa dalam melaksanakan atau melakukan persembahyangan, umat Hindu

diwajibkan mempergunakan sarana tertentu sebagai persembahan serta sujud dan

bhaktinya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam melakukan

persembahyangan tidak bisa lepas dari penggunaan sarana antara lain bunga,

canang, kwangen, tirtha/air suci, api atau dupa. Dalam praktik persembahyangan

sehari-hari, api diwujudkan dalam bentuk dupa. Dupa dengan apinya merupakan

perlambang Dewa Agni yang berfungsi sebagai berikut: (1) sebagai pendeta

pemimpin upacara, (2) sebagai penghubung antara yang bersembahyang dengan

Tuhan, (3) sebagai pembasmi kotoran dan roh jahat serta bersifat memberikan

atau mensucikan dosa maupun kesedihan, (4) sebagai saksi dalam upacara
14

persembahyangan, (5) sebagai pemberi penerangan, tuntunan dan penyuluhan, (6)

untuk menciptakan suasana tenang, hening dan suci.

Kontribusi penelitian tersebut di atas terhadap penelitian yang peneliti

lakukan adalah menambah pengetahuan terkait fungsi penggunaan dupa tanpa api

pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng,

Kabupaten Buleleng.

2.2 Konsep

Konsep merupakan sebuah hal yang penting dalam melakukan sebuah

penelitian. Konsep itu sendiri didefinisikan sebagai generalisasi dari sebuah

fenomena yang ada. Konsep ini ada sebagai penjelas atas fenomena-fenomena

tertentu yang saat itu sedang ada. Konsep menjadi penting karena pada dasarnya

konsep itu sendiri adalah sebuah ide yang bersifat abstrak yang mampu digunakan

untuk mengklasifikasikan dan menggolongkan sesuatu lewat suatu istilah atau

rangkaian kata (Bungin, 2001:73).

Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang sesuatu hal atau

persoalan yang perlu dirumuskan. Dalam merumuskannya peneliti harus dapat

menjelaskannya sesuai dengan maksud peneliti memakainya. Definisi konsep

berfungsi untuk menyederhanakan arti kata atau pemikiran tentang ide-ide, hal-hal

dan kata benda-benda maupun gejala sosial yang digunakan, agar orang lain yang

membaca dapat segera memahami maksudnya sesuai dengan keinginan peneliti

(Mardalis, 2010:46). Berdasarkan definisi di atas, maka konsep yang diuraikan di


15

bawah ini adalah: (1) Penggunaan, (2) Dupa tanpa api, (3) Palinggih Jero Alus,

(4) Perspektif (5) Pendidikan Sosio Religius.

2.2.1 Penggunaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penggunaan diartikan sebagai

proses, cara perbuatan memakai sesuatu, pemakaian (Poerwadarminta, 2002:852).

Penggunaan sebagai aktivitas memakai sesuatu atau membeli sesuatu berupa

barang dan jasa. Pembeli dan pemakai yang dapat disebut pula sebagai konsumen

barang dan jasa. Dalam penelitian ini, penggunaan yang dimaksud adalah

pemakaian dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga,

Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

2.2.2 Dupa Tanpa Api

Segala bentuk persembahyangan agama Hindu khususnya di Bali

menggunakan unsur api yang diwujudkan dengan dupa. Dupa adalah sejenis

harum-haruman yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum. Dupa dengan

nyala apinya merupakan lambang dari Dewa Agni, yang mana berfungsi (1)

sebagai Pendeta pemimpin upacara, (2) sebagai perantara menghubungkan pemuja

dengan yang dipuja, (3) sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat,

(4) sebagai saksi upacara (Swastika, 2008: 49). Api sebagai unsur kekuatan alam

sebagai salah satu unsur dari Panca Maha Bhuta yang merupakan ciptaan Ida

Sang Hyang Widhi Wasa memiliki kegunaan yang sangat kompleks dalam

kehidupan makhluk hidup di jagat raya ini baik dalam kehidupan Sekala maupun

kehidupan Niskala. Dalam Rg Veda pun Agni disebutkan sebagai salah satu nama

Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga dalam lontar-lontar keagamaan Hindu di
16

Bali disebut Sang Hyang Agni dalam fungsinya sebagai Dewa Api (Wiana, 2001 :

69). Dupa tanpa api yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah dupa yang

tanpa dinyalakan (tanpa api).

2.2.3 Palinggih Jero Alus

Menurut Kamus Bahasa Bali, (Tim Penyusun, 1993:418) menyatakan

bahwa Palinggih artinya bangunan suci. Sedangkan menurut Simpen,

(1985:167) menyatakan bahwa Palinggih berasal dari kata pa dan linggih yang

berarti tongos negak (tempat duduk). Dipertegas oleh Wiana, (1989:9)

mengatakan bahwa Palinggih adalah tempat pemujaan atau suatu areal tertentu

yang digunakan sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dewa-

dewa atau roh suci leluhur, Palinggih adalah tempat/sthana Hyang Widhi Wasa

dengan segala manifestasi-Nya yang dibuat sesuai dengan Asta Dewata dan Asta

Kosali serta telah disangaskara (Tim Penyusun, 1985:17).

Latar belakang yang mendasari pendirian palinggih-palinggih di Bali

adalah adanya perpaduan kepercayaan purba pra (sebelum) agama Hindu masuk

ke Bali dan dengan kebudayaan Hindu di Jawa yang masuk ke Bali, maka

terjadilah perpaduan kebudayaan, dimana palinggih-palinggih dilambangkan

sebagai sthana Hyang Widhi, para dewa, Bhatara (roh suci), yakni (1) Padmasana

merupakan lambang Bhuwana Agung sebagai sthana Sang Hyang Widhi Wasa,

(2) Meru adalah lambang Gunung Mahameru, sebagai sthana dewa-dew, bhatara-

bhatari dan leluhur, (3) Rong Tiga, adalah lambang sthana Tri Murti/kemimitan

yakni penunggalan 3 unsur wisesa (datu), yang sering disebut Sang Hyang Atma

yang telah mencapai alam kedewataan (Suandra, 1997 : 5).


17

Budaya Bali mengenal sebutan Jero yang bisa berarti rumah, bisa juga

berarti panggilan terhadap orang yang baru kenal seperti kalimat, Saking napi

Jerone? (Dari mana asal anda). Jero juga bisa merupakan sebutan untuk orang

dari kalangan bawah (rakyat biasa) yang menikah dengan golongan bangsawan

(darah biru). Makna kata Jro (Jero) yang melekat pada seseorang, sebenarnya

mengacu kepada rasa hormat, menghargai, disucikan. Jero sangat dekat dengan

kata Jeroan yang berarti bagian dalam pura (utama mandala). sehingga biasanya

mereka yang mengabdikan diri di tempat-tempat suci (Suara, 2011 : 1).

Sedangkan dalam Kamus Bahasa Bali Online, kata Alus berarti halus, abstrak atau

tak tampak. Jadi dapat dicermati bahwa Palinggih Jero Alus merupakan suatu

bangunan suci sebagai tempat atau sthana serta persimpangan bagi makhluk halus

(makhluk yang tingkatannya di bawah manusia).

2.2.4 Perspektif

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa perspektif

berarti (1) cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar

sebagaimana yang oleh mata tiga dimensi (panjang, lebar dan fungsinya), (2)

sudut pandang, pandangan. Menurut Leonardo Davinci, perspektif adalah suatu

yang alami yang terbentuk dari relief datar menjadi suatu relief bidang atau ruang

(Alwi, 2005:864). Jadi dapat disimpulkan bahwa perspektif merupakan suatu

teknik sistem matematika membentuk suatu proyeksi bidang tiga dimensi ke

dalam bidang dua dimensi seperti kertas atau kanvas. Hal ini dapat membentuk

kemungkinan untuk menggambar sebuah objek atau benda dalam suatu ruang

secara nyata di atas bidang datar atau dapat membentuk gambar geometri. Dalam
18

penelitian ini, perspektif dititik beratkan pada pengertian sudut pandang terhadap

suatu objek yang dilihat dari sudut yang dianggap relevan terhadap substansi atau

topik masalah yang diteliti. Perspektif dalam penelitian ini adalah mengenai sudut

pandang terhadap penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa

Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

2.2.5 Pendidikan Sosio Religius

Pengertian Pendidikan menurut Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003

(UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 1) tentang Sisdiknas, disebutkan bahwa

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Tim penyusun, 2011:3).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pendidikan

berasal dari kata didik dan mendapat imbuhan berupa awalan pe dan akhiran

an yang berarti proses atau cara perbuatan didik. Maka definisi pendidikan

menurut bahasa yakni proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau

sekelompok orang dalam usahanya mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan yang sesuai prosedur pendidikan itu

sendiri (Poerwadarminta, 2002:263). Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mendapatkan suatu ilmu

pengetahuan dan pendidikan guna dapat memanusiakan manusia atau

mendewasakan manusia.
19

Sosio religius adalah suatu ciri manusia yang beragama dan berbudaya.

Kelompok manusia di dunia menampilkan berbagai variasi, termasuk dalam

keyakinan religi (keagamaan). Apa yang terlibat dalam beragama tersebut

merupakan hasil budaya masing-masing kelompok manusia yang berkembang dan

diwariskan secara turun temurun menjadi suatu yang mentradisi, membudaya, dan

menjadi suatu sistem budaya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosio religius berasal dari dua

kata yaitu sosio yang artinya berhubungan dengan masyarakat, sedangkan religius

dari kata dasarnya religi yang berasal dari bahasa asing religion sebagai bentuk

dari kata benda yang berarti agama atau kepercayaan akan adanya sesuatu

kekuatan kodrati di atas manusia. Sedangkan religius berasal dari kata religious

yang berarti sifat religi yang melekat pada diri seseorang. Religius sebagai salah

satu nilai karakter yang dideskripsikan sebagai sikap dan perilaku yang patuh

dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan

ibadah agama lain dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Poerwadarminta,

2002: 294). Sosio religius adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh

masyarakat tradisional atau segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai

suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuatan

makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa yang menempati alam

(Koentjaraningrat, 1987:59-61).

Mencermati tentang uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosio

religius yang dimaksudkan adalah suatu ciri manusia yang beragama dan

berbudaya. Kelompok manusia di dunia menampilkan berbagai variasi, termasuk


20

dalam keyakinan religius (keagamaan). Apa yang terlibat dalam beragama

tersebut merupakan hasil budaya masing-masing kelompok manusia yang

berkembang dan diwariskan secara turun temurun menjadi suatu yang mentradisi,

membudaya, dan menjadi sistem budaya.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dicermati bahwa pendidikan

sosio religius adalah usaha sadar dan terencana untuk mendapatkan suatu ilmu

pengetahuan dan pendidikan dalam hal sistem kepercayaan yang dianut oleh

beberapa kelompok masyarakat tradisional yang berkaitan dengan gejala yang

tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa. Pendidikan sosio religius dalam

penelitian ini tercermin dari keyakinan masyarakat Desa Tukadmungga dalam

menunjukkan rasa bhaktinya kehadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa)

dengan beragam cara yang mereka lakukan dengan menggunakan berbagai sarana

upacara.

2.3 Teori

Sebuah karya ilmiah keberadaan teori sangat penting, karena dalam

mengupas suatu permasalahan hendaknya menggunakan teori. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia, teori diartikan sebagai suatu keterangan mengenai suatu

peristiwa (kejadian), asas-asas dan hukum umum yang menjadi dasar sesuatu

kesenian atau ilmu pengetahuan serta pendapat cara-cara dan aturan-aturan untuk

melakukan sesuatu (Poerwadarminta, 1976 : 105).

Ridwan (2004 : 19) dalam bukunya Metode dan Teknik Penyusunan Tesis

menyatakan seperti di bawah ini.


21

Teori adalah suatu ilmu yang relevan yang dapat digunakan untuk
menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti sebagai dasar untuk
memberikan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan
(hipotesis) serta penyusunan instrumen penelitian. Teori yang digunakan
bukan sekedar pendapat dari pengarang, pendapat penguasa, tetapi teori yang
benar-benar telah diuji kebenarannya.

Teori sangat diperlukan dalam suatu penelitian agar penelitian itu

mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and

error). Dengan didasarkan pada teori merupakan ciri bahwa penelitian itu

merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan dapat

dipertanggungjawabkan. Adapun teori-teori yang peneliti gunakan dalam

penelitian ini adalah teori religi, teori fungsionalisme dan teori nilai dengan

penjelasan masing-masing sebagai berikut.

2.3.1 Teori Religi

Religi adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat

tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai

suatu maksud dengan cara menyadarkan diri pada kemauan dan kekuasaan

makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya yang

menempati alam (Koentjaraningrat, 1987 : 53-54).

Koentjaraningrat (1994 : 2) dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan

Mentalitas dan Pembangunan menjelaskan bahwa religi merupakan salah satu

bagian dari budaya atau dapat dikatakan religi tersebut adalah salah satu dari

unsur kebudayaan. Kebudayaan sendiri memiliki 7 (tujuh) unsur pokok yaitu:

sistem religi dan upacara, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,

sistem bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi

dan peralatan.
22

Menurut E. Durkheim, dalam antropologi religi terdapat lima komponen

religi yang dapat digunakan sebagai konsep dasar untuk menganalisa agama

dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yaitu : (1) emosi keagamaan yang

menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran

yang menggerakkan jiwa manusia, (2) sistem kepercayaan atau kenyakinan dalam

suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia menyangkut keyakinan dan

konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, tentang

terjadinya alam dan dunia, tentang zaman akhirat, tentang wujud dan ciri-ciri

kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa roh jahat, hantu, dan

makhluk halus lannya, (3) sistem ritus dan upacara keagamaan dalam suatu religi

berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya

terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang atau makhluk halus lain, dan

dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib

lainnya, (4) kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang

mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi berikut sistem upacara-upacara

keagamaannya, (5) alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan upacara

keagamaan seperti tempat pemujaan, patung dewa, patung orang suci, lonceng dan

lain-lain (Koentjaraningrat, 2005 : 201).

Penggunaan teori religi oleh Emile Durkheim dalam penelitian ini

digunakan untuk membedah permasalahan pertama tentang bentuk pelaksanaan

penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga,

Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.


23

2.3.2 Teori Fungsionalisme

Fungsionalisme yang diterangkan oleh David Kaplan dan Robert A.

Manners dalam Teori Budaya, adalah penekanan dominan dalam studi antropologi

khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Dalam

fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang

berorientasi pada teori, yakni diktum metodologis bahwa kita harus

mengeksplorasi sistem sistemik budaya. Artinya, kita harus mengetahui

bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu

masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain ialah

memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa

kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan historis (Kaplan & Manners,

2002).

Fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling

ketergantungan. Di samping itu para fungsionalis juga menyatakan bahwa

fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural. Fungsionalisme sebagai

perspektif teoretik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme.

Artinya, ia membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam

organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan

juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup

organisme itu. Dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional ialah asumsi

(terbuka atau tersirat) bahwa semua sistem budaya memiliki syarat-syarat

fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Jadi, sistem budaya


24

memiliki kebutuhan yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat hidup

(Kumalasari, 2013:3).

Aliran fungsionalisme menganggap bahwa untuk melakukan sebuah

tindakan atau lakuan diperlukan sebuah prosedur berpikir, cukup kompleks, dan

jangka panjang. Terhadap apa-apa yang akan dilakukan tersebut, sudah memiliki

kerangka berpikir. Penggunaan teori fungsionalisme dalam penelitian ini

digunakan untuk membedah permasalahan kedua dalam membahas mengenai

fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa

Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

2.3.3 Teori Nilai

Nilai didefinisikan sebagai sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau

berguna bagi kemanusiaan, misalnya nilai-nilai agama yang perlu diindahkan.

Nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah

laku, baik disadari maupun tidak. Nilai dapat juga diartikan sebagai sifat atau

kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun

bathin (Poerwadarminta, 1991:96). Selanjutnya, nilai didefinisikan sebagai suatu

hal yang berisikan ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal penting, berharga dalam

kehidupan masyarakat. Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-

ide seseorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik dan diinginkan. Nilai

memiliki sifat isi dan intensitas. Nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang

hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang

harus mereka amat bernilai dalam hidup. Sifat isi menyampaikan bahwa cara
25

pelaksanaan atau keadaan akhir dari kehidupan adalah penting (Koentjaraningrat,

1997:25).

Berdasarkan teori di atas, dalam penelitian ini menggunakan teori nilai

untuk merumuskan masalah ketiga mengenai nilai-nilai pendidikan sosio religius

dalam penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa

Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.


BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti

kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris,

dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara

yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti

cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang

lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis

artinya proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-

langkah tertentu yang bersifat logis (Sugiyono, 2014:2).

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif.

Menurut Bogdan dan Taylor dalam Ahmadi, (2014:15) menyatakan bahwa

metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif :

ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu

sendiri. Sedangkan menurut David Williams dalam Moleong, (2004:5),

penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan

menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang

tertarik secara alamiah.

Redana (2006:137) menyatakan penelitian kualitatif deskriptif yaitu suatu

penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada

26
27

saat penelitian dilakukan. Nawawi dalam Nurjanah dkk, (2000:22) menyatakan

bahwa penelitian deskripsi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) memusatkan

perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan sekarang atau

masalah yang bersifat aktual, (2) menggambarkan fakta-fakta tentang masalah

yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi interpretasi rasional.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk

mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam

suatu latar yang khusus. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk

mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna

yang dimaksud adalah data yang sebenarnya, data pasti yang merupakan suatu

nilai dibalik data yang tampak.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

fenomenologis yang berusaha memahami makna dari suatu peristiwa atau

fenomena yang saling berpengaruh dengan manusia dalam situasi tertentu.

Pendekatan ini bertujuan memperoleh interpretasi terhadap pemahaman manusia

(subyek), untuk dapat mengetahui aspek subyektif tindakan orang dalam

kehidupan sehari-hari ke dalam dunia kesadaran (konseptual) subyek yang diteliti.

Pendekatan fenomenologis ini mencoba menjelaskan atau mengungkap makna

konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada

beberapa individu. Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami

arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-

situasi tertentu (Nurastuti, 2007 : 98).


28

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi dari penelitian yang peneliti lakukan yaitu di Desa Tukadmungga

Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Alasan peneliti memilih Desa

Tukadmungga sebagai tempat untuk melakukan penelitian sebab di Desa

Tukadmungga terdapat Palinggih Jero Alus yang memiliki ciri khas berbeda dari

palinggih yang lain yaitu menggunakan sarana dupa tanpa dinyalakan (tanpa api).

Jangka waktu penelitian yang dilakukan peneliti cukup lama yaitu tiga bulan,

dimulai dari bulan Mei sampai dengan bulan Agustus, sebab tujuan penelitian ini

adalah bersifat penemuan.

3.3 Subjek dan Objek Penelitian

3.3.1 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti

serta subjek yang menjadi pusat perhatian penelitian. Batasan subjek penelitian

sebagai benda, hal atau orang tempat data untuk variabel penelitian melekat, dan

yang dipermasalahkan. Dalam sebuah penelitian, subjek memiliki peran yang

sangat strategis karena pada subjek penelitian itulah data tentang variabel

penelitian yang akan diamati (Arikunto, 2006:145). Adapun subjek dalam

penelitian ini adalah tokoh masyarakat (Pemangku) Desa Tukadmungga,

Pengempon Palinggih Jero Alus dan Kelian Adat Desa Tukadmungga, Kecamatan

Buleleng, Kabupaten Buleleng.

3.3.2 Objek Penelitian

Arikunto (2006:118) menyatakan bahwa objek penelitian adalah setiap

gejala atau peristiwa yang akan diteliti baik berupa gejala alam maupun gejala
29

kehidupan. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Palinggih Jero Alus di

Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Fhatoni, (2011 : 104) mengatakan bahwa data berarti informasi yang

didapat melalui pengukuran-pengukuran tertentu, untuk digunakan sebagai

landasan dalam menyusun argumentasi logis menjadi fakta. Jenis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, sebab data yang peneliti

peroleh berbentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka. Data kualitatif

berfungsi untuk mengetahui kualitas dari sebuah objek yang akan diteliti. Data ini

bersifat abstrak sehingga peneliti harus benar-benar memahami kualitas dari

objek yang akan diteliti (Salim, 2016:1). Berdasarkan sumber pengambilannya,

data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.

3.4.1 Data Primer

Sugiyono, (2014:225), data primer adalah sumber data yang langsung

memberikan data kepada pengumpul data. Data primer biasanya disebut

dengan data asli/ data baru yang mempunyai sifat up to date. Data primer secara

khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan riset atau

penelitian (Suryana, 2010:1). Untuk memperoleh data primer akan menghabiskan

dana yang relatif lebih banyak dan menyita waktu yang relatif lebih lama. Dalam

penelitian ini data primer diperoleh dari Jro Mangku dan Panglingsir atau tokoh

masyarakat di Desa Tukadmungga.


30

3.4.2 Data Sekunder

Sugiyono, (2014:225) data sekunder adalah sumber data yang tidak

langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain

atau lewat dokumen. Data sekunder bisa didapat dari berbagai sumber misalnya

buku materi, laporan dan lainnya yang ada kaitannya dengan topik penelitian.

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh baik dari sumber informasi yang ada

di Perpustakaan Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar maupun Perpustakaan

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar (IHDN) cabang Singaraja, serta

Perpustakaan Arsip Daerah Pemerintah Kabupaten Buleleng berupa buku-buku

atau referensi-referensi yang berkaitan dengan judul penelitian yang dikaji.

3.5 Teknik Penentuan Informan

Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang benar-benar tahu

dan menguasai masalah, serta terlibat lansung dengan masalah penelitian.

Informan yang bertindak sebagai sumber data dan informasi harus memenuhi

syarat, yang akan menjadi informan narasumber dalam penelitian ini adalah

orang-orang atau masyarakat yang mengetahui dan memahami permasalahan

terkait dengan judul penelitian. Penentukan informan dalam penelitian

merupakan cara untuk menentukan siapa saja yang memiliki kompeten

dengan masalah yang diteliti, sekaligus dapat memberikan data atau

keterangan-keterangan yang nantinya dapat diolah dalam proses penelitian

(Bungin, 2001:118).

Penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah informan, tetapi bisa

tergantung dari tepat tidaknya pemilihan informan kunci, dan komplesitas dari
31

keragaman fenomena sosial yang diteliti. Dengan demikian, informan ditentukan

dengan teknik snowball sampling. Menurut Sugiyono (2014:219) menyatakan

seperti di bawah ini.

Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data, yang


pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan
karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu tersebut belum mampu
memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat
digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian, jumlah sampel sumber
data akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama
menjadi besar.

Dipertegas lagi bahwa snowball sampling adalah suatu teknik yang semula

berjumlah kecil sebagai informan kunci yang kemudian anggota sampel

(responden) mengajak para sahabatnya atau orang yang dianggap mengetahui

untuk dijadikan sampel dan seterusnya sehingga jumlah anggota sampel semakin

banyak seperti bola salju yang menggelinding semakin jauh semakin besar

(Ridwan, 2004:64). Dalam penelitian ini menggunakan informan yakni Kelian

Adat Desa Tukadmungga sebagai informan kunci, yang selanjutnya jika data

dianggap masih belum cukup (kurang) maka informan kunci akan menunjuk

informan lainnya yang dianggap lebih mengetahui atau mampu memberikan

informasi yang diperlukan peneliti. Begitu seterusnya, sehingga diperoleh

informasi data yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan.

3.6 Instrumen Penelitian

Sukardi (2008:75) mengatakan secara fungsional kegunaan instrumen

penelitian adalah untuk memperoleh data yang diperlukan ketika peneliti sudah

menginjak pada langkah pengumpulan informasi di lapangan. Instrumen atau alat


32

penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif

sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih

informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas

data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.

3.7 Metode Pengumpulan Data

Sugiyono (2014:224) teknik pengumpulan data merupakan langkah yang

paling strategis dalam penelitian, sebab tujuan utama dari penelitian adalah

mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti

tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

3.7.1 Metode Observasi

Observasi atau pengamatan digunakan dalam rangka mengumpulkan data

dalam suatu penelitian, merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh

perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan

atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena

sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat (Mardalis,

2010 : 63).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi partisipatif.

Sugiyono (2014:227) menjelaskan observasi partisipatif seperti diuraikan di

bawah ini.

Peneliti terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang


diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil
melakukan penelitian, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh
33

sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan
ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai
mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang tampak.

3.7.2 Metode Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti

ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus

diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang

lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit (kecil). Wawancara terstruktur

merupakan wawancara dimana peneliti atau pengumpul data telah mengetahui

secara pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu,

pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-

pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya telah disiapkan. Selain membawa

instrumen penelitian sebagai pedoman wawancara, maka pengumpul data juga

dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder (perekam suara) yang dapat

membantu pelaksanaan wawancara menjadi lancar (Sugiyono, 2014:137-138).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara

terstruktur dengan menyiapkan beberapa daftar pertanyaan yang akan diberikan

kepada informan untuk mendapat suatu data penelitian.

3.7.3 Metode Kepustakaan

Teknik kepustakaan adalah teknik yang dipergunakan untuk memperoleh

data yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan segala macam data serta

mengadakan pencatatan secara sistematis. Melalui teknik ini, maka data yang

diperoleh dengan cara atau jalan membaca buku-buku tentang teori dan tulisan-
34

tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti kemudian dibantu

dengan teknik pencatatan secara sistematis (Nawawi, 1993:133).

Studi kepustakaan dilakukan sebagai acuan untuk pengumpulan data

sekunder. Artikel-artikel dari berbagai sumber, termasuk internet maupun catatan-

catatan penting yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu Palinggih Jero Alus

di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

3.7.4 Metode Dokumentasi

Dokumentasi merupakan salah satu metode pengumpulan data kualitatif

dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek

sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Melalui teknik dokumentasi ini, maka

pengumpulan data tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian, melainkan

kepada dokumen-dokumen tertentu. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang

sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya

monumental dari seorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan

harian, sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan.

Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-

lain (Sugiyono, 2013 : 240).

3.8 Teknik Analisis Data

Sugiyono (2012:332) menjelaskan bahwa analisis data adalah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil

wawancara, pencatatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah

dipahami dan semuanya dapat diinformasikan pada orang lain. Mengingat

penelitian ini bersifat kualitatif maka analisis data yang digunakan adalah analisis
35

data kualitatif. Menurut Moleong (2005:248) analisis data kualitatif adalah upaya

yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,

memilah-milahnya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting

dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada

orang lain.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

analisis data kualitatif dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan,

mengelompokkan, memberikan kode, dan mengategorikannya. Mengingat

penelitian ini bersifat kualitatif maka analisis data yang dilakukan adalah melalui

langkah-langkah sebagai berikut.

3.8.1 Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan cukup banyak, kompleks dan rumit.

Maka itu perlu dicatat secara teliti dan rinci, lebih lanjut dilakukan analisis data.

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang sangat penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian, data

yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan

mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan

mencarinya bila diperlukan (Sugiyono (2014:247). Data yang diperoleh dalam

penelitian ini, dengan cara merangkum dan memilih pokok-pokok yang dianggap

penting sehingga didapatkan data yang lebih jelas.

3.8.2 Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan

data (penyajian data). Penyajian data dilakukan dengan cara penyampaian


36

informasi berdasarkan data yang dimiliki dan disusun secara runtut dan baik

dalam bentuk naratif, sehingga mudah dipahami. Dengan mendisplaykan data,

maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja

selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami (Sugiyono, 2014:249). Data

yang diperoleh dalam penelitian ini dengan cara menyusun secara berurutan data-

data atau informasi yang diperoleh dalam bentuk naratif.

3.8.3 Verifikasi Data

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan

dan verifikasi data. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat

sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Iskandar (2013 : 142)

menyatakan bahwa penarikan kesimpulan sementara, masih dapat diuji kembali

dengan data di lapangan, dengan cara merefleksi kembali, peneliti dapat bertukar

pikiran dengan teman sejawat, triangulasi sehingga kebenaran ilmiah dapat

tercapai, maka peneliti dapat menarik kesimpulan dalam bentuk deskriptif sebagai

laporan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara

menarik beberapa kesimpulan dari data yang dimiliki sehingga informasi yang

diperoleh dapat dipertanggungjawabkan.


BAB IV

PEMBAHASAN DAN PENYAJIAN HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Pada gambaran umum objek penelitian akan dijelaskan tentang sejarah

Desa Tukadmungga, letak geografis Desa Tukadmungga, kependudukan,

pekerjaaan penduduk, pendidikan, sistem kepercayaan penduduk dan bidang

pemerintahan desa.

4.1.1 Sejarah Desa Tukadmungga

Berdasarkan cerita para leluhur atau sesepuh Desa Tukadmungga, konon

Desa Tukadmungga bernama Tukad Munggah karena dahulu sungai di Desa ini

airnya sangat bening sekali, akan tetapi sungai tersebut sangat angker sehingga

penduduk tidak berani mandi di aliran sungai tersebut, untuk melewati sungai itu

saja orang tidak berani karena keangkerannya.

Suatu hari konon ada putri teramat cantik datang melewati sungai dan

tertarik dengan kebeningan air tersebut, dia merupakan titisan dewa yang bernama

Dewi Ayu, kecantikan putri tersebut sangatlah sempurna, kulitnya putih dan

rambutnya terurai hitam lembut dan sangat panjang. Dewi Ayu kemudian tertarik

untuk mandi di aliran sungai yang bening tersebut, rambutnya yang panjang

terurai terbawa arus sungai hingga ke muara pesisir pantai.

Saat itu pula, ada seorang raja yang sangat tampan kebetulan berlayar

melewati aliran sungai tersebut. Raja tersebut bernama Gempu Awang, alangkah

terkesimanya si Gempu Awang melihat uraian rambut indah di muara sungai,

37
38

hatinya berdebar dan berpikir bahwa si pemilik rambut ini adalah seorang putri

cantik sehingga tanpa berpikir panjang si Gempu Awang kemudian membelokkan

perahunya menelusuri uraian rambut tersebut. Alangkah terkejutnya si Gempu

Awang ketika melihat seorang putri yang sangat cantik bagaikan bidadari dari

khayangan sedang mandi dihadapannya. Seketika itu, si Gempu Awang matanya

terbelalak, pikirannya menerawang dan hatinya terpesona melihat keindahan

tubuh Dewi Ayu dan dengan penuh nafsu Si Gempu Awang mendekati sang putri

tanpa ragu-ragu mengungkapkan isi hatinya serta berniat melamar Dewi Ayu

untuk dijadikan istrinya.

Melihat seorang laki-laki yang tidak santun mendekati Dewi Ayu disaat

sedang mandi dan ingin melamarnya membuat sang putri menjadi marah dan

akhirnya dengan kesaktian yang dimiliki Dewi Ayu, maka dikutuklah si Gempu

Awang dan perahunya menjadi sebuah batu besar dan menutupi badan sungai

sehingga air sungai menjadi meluap ke daratan. Sungai yang meluap tersebut

kemudian diberi nama Tukad Munggah yang lama kelamaan menjadi Desa

Tukadmungga. Si Gempu Awang dan perahunya yang dikutuk menjadi batu besar

sampai sekarang berada di hulu sungai dan diberi nama Batu Perahu. Karena

keangkeran sungai tersebut maka sampai sekarang sungai tersebut diberi nama

Tukad Bangke yang merupakan sungai perbatasan dengan Desa Pemaron.

Demikian sejarah keberadaan Desa Tukadmungga yang diceritakan oleh

para leluhur Desa yang sampai saat ini melekat dan merupakan legenda asal usul

Desa yang diyakini oleh masyarakat Desa Tukadmungga secara turun temurun.
39

4.1.2 Letak Geografis

Berdasarkan data Profil Pembangunan Desa Tukadmungga tahun 2015,

Desa Tukadmungga mempunyai luas wilayah 196 Ha yang terdiri dari: (1)

Perkebunan seluas 58 Ha, (2) Persawahan seluas 68 Ha, (3) Perkantoran seluas 4

Ha, (4) Pemukiman seluas 34 Ha, (5) Pekarangan seluas 28 Ha, (6) Kuburan

seluas 1 Ha, dan (6) Prasarana Umum Seluas 3 Ha. Adapun batas-batas Desa

Tukadmungga adalah sebagai berikut: (1) Sebelah Timur yakni Desa Pemaron, (2)

Sebelah Utara yakni Laut Bali, (3) Sebelah Barat yakni Desa Anturan, dan (4)

Sebelah Selatan yakni Desa Tegallinggah.

Gambar 4.1 Peta Desa Tukadmungga

Sumber : Data Pembangunan Desa Tukadmungga Tahun 2015

Desa Tukadmungga terletak di Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng,

jarak Desa Tukadmungga dari pusat pemerintahan Kecamatan kurang lebih 5 km,

jarak dari ibukota Kabupaten/Kota kurang lebih 6 km dan jarak ke ibu kota
40

provinsi kurang lebih 87 km. Jumlah dusun yang ada di Desa Tukadmungga

berjumlah 4 dusun yakni Dusun Dharma Semadi, Dharma Yadnya, Dharma Yasa,

dan Dharma Kerti.

4.1.3 Kependudukan

Berdasarkan data yang terdapat dalam profil Desa Tukadmungga tahun

2015, dan sesuai data sensus atau statistik kependudukan Desa Tukadmungga

berdasarkan monografi Desa Tukadmungga tahun 2015, jumlah penduduk Desa

Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng mencapai 4374 jiwa

dengan perincian dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 4.1 Data Jumlah Penduduk Desa Tukadmungga


No. Uraian Jumlah
1. Jumlah Kepala Keluarga 1236 KK
2. Laki-Laki 2270 Jiwa
3. Perempuan 2104 Jiwa
4. Jumlah Penduduk 4374 Jiwa
Sumber : Data Profil Desa Tukadmungga Kecamatan Buleleng
Kabupaten Buleleng Tahun 2015

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa dari sekian jumlah

penduduk di Desa Tukadmungga, hanya ada 1236 KK ini berarti generasi penerus

Desa Tukadmungga masih banyak, belum lagi jumlah kelahiran dari tahun ke

tahun semakin meningkat dan lapangan pekerjaan semakin dibutuhkan. Penduduk

Desa Tukadmungga ini keseluruhannya adalah Warga Negara Indonesia (WNI).

4.1.4 Pekerjaan Penduduk

Berdasarkan data profil Desa Tukadmungga tahun 2015, jumlah penduduk

Desa Tukadmungga berdasarkan pekerjaaan penduduk seperti pada tabel di bawah

ini.
41

Tabel 4.2 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan


No Mata Pencaharian Jumlah (orang)
1 Petani 25
2 Bidan swasta 4
3 Montir 10
4 PNS 69
5 TNI 26
6 Seniman/artis 4
7 Buruh Tani 416
8 POLRI 23
9 Nelayan 35
10 Pengusaha kecil dan menengah 20
11 Pensiunan PNS/POLRI/TNI 38
12 Buruh migran perempuan 15
13 Buruh migran laki-laki 30
14 Pelajar 584
15 Karyawan perusahaan swasta 201
16 Karyawan perusahaan pemerintah 8
Jumlah Total 1508
Sumber : Data Profil Desa Tukadmungga Kecamatan Buleleng
Kabupaten Buleleng Tahun 2015

Berdasarkan data tabel 4.2 di atas, dapat dlihat sebagian besar masyarakat

Desa Tukadmungga mata pencahariannya sebagai buruh tani, sebab luas wilayah

persawahan dikatakan menjadi faktor utama, sehingga mayoritas masyarakat lebih

banyak bekerja sebagai buruh tani. Jadi walaupun wilayah persawahan luas,

namun masyarakat tidak banyak yang secara langsung mengelola sawahnya

sendiri.

4.1.5 Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor pendukung pembangunan dan peningkatan

sumber daya manusia. Pada era globalisasi ini, pendidikan menjadi prioritas

utama bagi masyarakat dan pemerintah. Berikut rincian jumlah penduduk Desa

Tukadmungga berdasarkan tingkat pendidikan yang ada di masyarakat.


42

Tabel 4.3 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan


No Tingkat Pendidikan Jumlah ( orang )
1 Tidak / Belum Sekolah 189
2 Tamat SD / Sederajat 312
3 Tamat SMP/ Sederajat 203
4 Tamat SMA / Sederajat 142
5 Diploma I 43
6 Diploma II 25
7 Diploma III 8
8 DIPLOMA IV/STRATA I 75
Jumlah Total 997
Sumber : Data Pofil Pembangunan Desa Tukadmungga Kecamatan Buleleng
Kabupaten Buleleng Tahun 2015

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa tingkat perkembangan

pendidikan masyarakat Desa Tukadmungga sudah dikatakan cukup baik,

walaupun sebagian besar masyarakatnya tamat SMP. Akan tetapi, ada juga

masyarakat yang secara ekonomi rendah tetapi kesadaran akan pentingnya

pendidikan bagi kehidupan sangat tinggi bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang

yang lebih tinggi.

4.1.6 Sistem Kepercayaan Penduduk

Sistem kepercayaan penduduk Desa Tukadmungga mayoritas beragama

Hindu, namun ada juga masyarakat yang menganut agama di luar agama Hindu

yaitu agama Islam, Kristen, Khatolik, dan Budha. Kehidupan masyarakat dengan

adanya perbedaan keyakinan atau agama yang berbeda, tidak menimbulkan suatu

perselisihan di antara mereka, akan tetapi hubungan mereka cukup rukun. Berikut

rincian jumlah penduduk berdasarkan sistem kepercayaan masyarakat.


43

Tabel 4.4 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Sistem Kepercayaan


No. Uraian Jumlah
1. Agama Hindu 4209 Jiwa
2. Agama Islam 108 Jiwa
3. Agama Kristen 13 Jiwa
4. Agama Khatolik 9 Jiwa
5. Agama Budha 15 Jiwa
Sumber : Data Profil Desa Tukadmungga Kecamatan Buleleng
Kabupaten Buleleng Tahun 2015

4.1.7 Bidang Pemerintah Desa

Bidang pemerintahan Desa yang ada di Desa Tukadmungga adalah

pemerintahan Desa Dinas dan Desa Adat.

4.1.7.1 Pemerintahan Desa Dinas

Secara kedinasan Desa Tukadmungga dipimpin oleh seorang Kepala Desa

(Perbekel). Kepala Desa yang dipilih memiliki kedudukan yang tertinggi dalam

struktur masyarakat desa. Dalam menjalankan pemerintahan Kepala Desa dibantu

oleh Sekretaris Desa dan dibawahnya ada aparatur Desa lainnya yaitu Kepala

Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Pembangunan, Kepala Urusan

Kesejahteraan Rakyat, Kepala Urusan Keuangan, dan Kepala Urusan Umum dan

administrasi BPD (Badan Perwakilan Desa). Dalam kegiatan oprasionalnya, Desa

Tukadmungga terbagi menjadi empat dusun yaitu Dusun Dharma Semadi, Dusun

Dharma Yadnya, Dusun Dharma Yasa, dan Dusun Dharma Kerti. Berikut adalah

struktur pemerintahan Dinas Tukadmungga.


44

Bagan 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Dinas Tukadmungga

PERBEKEL
BPD TUKADMUNGGA LPM
MADE ARKA

KELIAN BANJAR DINAS SEKRETARIS DESA


DHARMA SEMADI
AGUS JULLYAWAN CS
I GEDE SUARTANA

KELIAN BANJAR DINAS KASI. PEMERINTAHAN


DHARMA YADNYA
KETUT SATYADNYANA
I NYOMAN SUMITRAJAYA

KELIAN BANJAR DINAS KASI. PEMBANGUNAN


DHARMA YASA PUTU WISAKA
KETUT MASPADA

KASI. KESEJAHTERAAN
KELIAN BANJAR DINAS RAKYAT
DHARMA KERTI NYOMAN SARIANI
I KETUT SUMADANA
KAUR. KEUANGAN
NYOMAN SEKAR

KAUR. UMUM

GEDE MANGKU SURYAWAN

Keterangan :
: Hubungan konsulatif Kades dan BPD
: Hubungan konsulatif Kades dan LPM
: Hubungan perintah Kades dan Perangkat Desa

Sumber: Data Pofil Pembangunan Desa Tukadmungga Kecamatan Buleleng


Kabupaten Buleleng Tahun 2015
45

Masing-masing perangkat desa ini menjalankan tugas pemerintahan desa

sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Adapun tugas dari masing-masing perangkat

desa dijelaskan di bawah ini.

1. Kepala Desa bertugas memimpin pemerintah dan membangun desa yang

menyangkut masalah perekonomian, administrasi, sosial, budaya, dan lain-

lain

2. BPD bertugas menjaga dan memelihara adat dan istiadat, membuat peraturan

desa, menyalurkan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan pemerintah desa

3. Sekretaris Desa bertugas membantu kepala desa dalam bidang administrasi.

Sekretaris desa membawahi beberapa perangkat desa seperti Kaur

Pemerintahan, Kaur Kesejahteraan Sosial, Kaur Umum, Kaur Keuangan dan

Kaur Pembangunan

4. Kaur Pemerintahan bertugas untuk menangani masalah pemerintahan kepala

desa dan melaksanakan pembangunan

5. Kaur Pembangunan bertugas untuk mencatat atau mendata semua hal yang

berkaitan dengan bangunan yang ada di desa untuk mengetahui tingkat

perkembangan desa

6. Kaur Kesejahteraan Rakyat bertugas meningkatkan kesejahteraan masyarakat

misalnya mengadakan penyuluhan tentang KB, kesehatan, pembinaan PKK,

Posyandu, karang taruna dan sebagainya

7. Kaur Keuangan bertugas dalam menangani urusan keuangan dalam

pemerintaha desa
46

8. Kaur Pelayanan Umum bertugas dalam menangani administrasi masyarakat

desa seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran dan sebagainya

4.1.7.2 Pemerintahan Desa Adat

Desa Adat Tukadmungga erat kaitannya dengan urusan-urusan adat dan

keagamaan. Desa Adat memiliki peran penting dalam kehidupan umat Hindu di

Bali. Desa Adat dipimpin oleh seorang Kelian Adat yang dibantu oleh Pangliman

(wakil kelian adat) dan staf-staf lainnya seperti Petengen, Penyarikan, Baga

Parhyangan, Baga Pawongan, Baga Palemahan, Kasinoman, dan Penerangan.

Mengenai banjar adat yang ada di Desa Tukadmungga dibedakan menjadi delapan

tempekan, yakni, Tempekan Dharma Semadi, Tempekan Dharma Yadnya,

Tempekan Dharma Yasa, Tempekan Dharma Kerti, Tempekan Banyualit,

Tempekan Kalibukbuk, Tempekan Lebah, dan Tempekan Asah. Berikut adalah

struktur Desa Adat Tukadmungga yakni sebagai berikut.


47

Bagan 4.2 Struktur Pemerintahan Desa Adat Tukadmungga

KELIAN ADAT PANGLIMAN


Ketut Wicana, S.Pd Gede Parca

PETENGEN PENYARIKAN
1. Putu Kawita 1. Made Renten, S.Pd
2. A.A. Ngr. Suangga 2. Gede Wirya Putra

BAGA PARHYANGAN BAGA PAWONGAN BAGA PALEMAHAN


1. Ketut Sumadana 1. I Gede. Arnaya, S.Pd 1. Ketut Surenten
2. Nyoman Juarsa 2. Nyoman Mawan 2. Putu Sukiasa
3. Putu Sumesrta 3. Ketut Andry Adnyana 3. Jro Gede Raka

KASINOMAN/PEMBANTU PENERANGAN
1. Gede Brata (AKOMODASI)
2. Ketut Deres 1. Kadek Ardika
3. Ketut Merta 2. Nyoman Semada
4. Putu Kertayasa

BR. ADAT TEMPEKAN BR. ADAT TEMPEKAN


DHARMA SEMADI DHARMA YADNYA

BR. ADAT TEMPEKAN BR. ADAT TEMPEKAN


DHARMA YASA DHARMA KERTI

BR. ADAT TEMPEKAN BR. ADAT TEMPEKAN


BANYUALIT KALIBUKBUK

BR. ADAT TEMPEKAN BR. ADAT TEMPEKAN


LEBAH ASAH

Sumber: Data Pofil Pembangunan Desa Tukadmungga Kecamatan Buleleng


Kabupaten Buleleng Tahun 2015
48

Adapun tugas-tugas dari para petugas Desa Adat Tukadmungga sebagai berikut.

a. Kelian adat bertugas mengkordinir semua petugas-petugas adat

b. Pangliman bertugas membantu urusan adat bersama kelian adat

c. Petengen bertugas menerima dan mengelola keuangan Desa Adat

d. Penyarikan bertugas mengurus bagian tentang sekretariatan (administrasi)

e. Baga Parhyangan bertugas mengurus bagian urusan Ketuhanan

f. Baga Pawongan bertugas mengurus bagian masalah kemanusiaan

g. Baga Palemahan bertugas dalam mengurus bagian lingkungan

h. Kasinoman (Pembantu) bertugas dalam membantu segala urusan

(Parhyangan, Pawongan, Palemahan) secara umum

i. Penerangan (Akomodasi) bertugas juru penerang atau penjelas segala yang

perlu dijelaskan dalam pelaksanaan suatu upacara

4.2 Bentuk Pelaksanaan Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero
Alus Di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng

Mengenai bentuk pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih

Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng akan

dibahas tentang sejarah singkat dari Palinggih Jero Alus, penyebab tidak

menyalakan dupa pada Palinggih Jero Alus, serta upakara (banten) yang

dipersembahkan pada Palinggih Jero Alus.

4.2.1 Sejarah Singkat Palinggih Jero Alus

Mengenai sejarah singkat dari Palinggih Jero Alus memang tidak begitu

lengkap diceritakan oleh panglingsir dahulu. Banyak masyarakat Desa

Tukadmungga yang belum terlalu mengetahui secara pasti mengenai siapa


49

sesungguhnya yang malinggih pada Palinggih tersebut, sehingga sejarah

Palinggih ini masih bersifat mule keto dapet. Walaupun demikian, sejak tanggal

14 April 1991 sudah mulai dituliskan oleh A. A. Ngurah Oka mengenai riwayat

berdirinya Palinggih Jero Alus. Berikut adalah sejarah singkat Palinggih Jero

Alus seperti di bawah ini.

Dahulu ada suatu tempat yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Desa

Tukadmungga. Di tempat tersebut tumbuh pohon asam yang besar, dan konon

yang malinggih disana adalah Ida Anake Alus. Tempat tersebut banyak dikunjungi

oleh masyarakat setempat untuk memohon doa restu. Saat itu pula, ada seorang

yang ngiring bernama Ni Ketut Kanis dan bilamana ada orang yang maturan di

tempat tersebut, maka yang menghaturkannya adalah Ni Ketut Kanis (sebagai

Pemangku) dan hal itu berlangsung lama. Lambat laun, karena merasa dirinya

sudah tua dan tidak mungkin bisa melanjutkan untuk menjadi Pangiring-Nya,

maka berdasarkan hasil pinunasan Ni Ketut Kanis sendiri akhirnya yang direstui

untuk menggantikan Ni Ketut Kanis untuk ngiring di Palinggih tersebut adalah

Mekele Kenaka. Selanjutnya, setiap ada orang yang maturan atau yang ada

hubungannya dengan Palinggih tersebut, maka Mekele Kenaka yang akan

menghaturkan segala persembahan (banten). Setelah meninggalnya Ni Ketut

Kanis, penyelenggaraan di tempat itu beralih pada Mekele Kenaka dan hal itu

berlangsung lama, dan telah menjadi kepercayaan masyarakat setempat, bahwa

setiap ada orang maturan pada Palinggih itu maka dihaturkan oleh Mekele

Kenaka untuk ngaturang pebaktian mereka.


50

Pada tahun 1988, pohon asam yang ada di Palinggih Ida Anake Alus

akhirnya rebah dengan sendirinya oleh karena pohonnya sudah tua. Peristiwa

tersebut tentu tidak menghilangkan kesucian dari tempat itu, sehingga didirikanlah

Palinggih Ida Anake Alus. Oleh karena itu, maka Mekele Kenaka dengan

suaminya A.A. Ngurah Oka bermaksud melestarikan tempat tersebut menjadi

kenyataan ada Palinggih di tempat itu. Maka hari sabtu, 2 April 1988 (Saniscara

Keliwon Wara Wayan, Icaka 1910 nuju Purnama kedasa) dimulailah pemugaran

tempat itu untuk ngelinggihang Palinggih Ida Anake Alus berupa tepasana

(tempat meletakkan banten) dilengkapi dengan pelataran tempat duduk dengan

pasangan batukali dan tegel, dengan dibiayai oleh Mekele Kenaka dan suaminya

dengan beberapa aturan.

Selama perbaikan Palinggih berlangsung, bertepatan dengan adanya surat

dari Perbekel Desa Tukadmungga (I Gede Mangku Bawes), yang isinya

menanyakan tentang status dari Palinggih itu, maka diadakanlah suatu pertemuan

yang hasilnya setuju untuk mepinunasan tentang status dan fungsi Palinggih itu.

Selanjutnya, dilaksanakanlah Pamelaspasan Palinggih tersebut pada tanggal 22

April 1988 (Sukra Keliwon Wara Watugunung, tanggal 5 sasih Jesta Icaka 1910)

dan dilakukanlah mepinunasan tentang Palinggih itu. Hasil dari mepinunasan

tersebut bahwa Ida Anake Alus yang malinggih di Desa Tukadmungga adalah atas

waranugraha dari Ida Bhatara yang bersthana di Pura Desa dan Pura Dalem,

serta mengenai Pemangku (Pengempon Palinggih) adalah Mekele Kenaka.

Berdasarkan uraian singkat mengenai sejarah atau riwayat berdirinya

Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga bahwa yang malinggih di tempat itu
51

adalah Ida Anake Alus. Selain itu, ada pula beberapa tokoh masyarakat yang

mendukung pernyataan yang sudah tertulis tentang sejarah Palinggih tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Pangliman (Wakil Kelian Adat)

Desa Tukadmungga, Gede Parca (wawancara, 10 Juni 2016) mengenai sejarah

singkat Palinggih Jero Alus, mengatakan seperti di bawah ini.

Memang benar, bahwa dahulu areal di sekitar Palinggih Jero Alus ini masih
berupa hutan belantara yang dipenuhi dengan semak belukar serta tumbuh
pohon asam yang sangat besar. Areal Palinggih Jero Alus ini dulunya masih
sangat terasa hawa mistisnya, sehingga masyarakat masih merasa takut jika
memasuki areal ini. Kesucian dari Palinggih ini dulunya masih sangat kurang
sebab anak-anak kecil masih sering bermain di sekitar areal ini. Lambat laun,
areal ini dipelihara dan dibersihkan oleh masyarakat sehingga didirikanlah
Palinggih di tempat itu pada tahun 1988 dengan bentuknya yang masih sangat
sederhana, serta direnovasilah pada tahun 2012 menjadi Palinggih yang
bentuknya seperti sekarang ini. Yang malinggih pada tempat tersebut adalah
Ida Anake Alus. Sampai saat ini, areal Palinggih ini masih tetap terawat dan
dijaga kebersihan serta kesuciannya.

Dipertegas oleh Ketut Wicana selaku Kelian Adat Desa Tukadmungga

(wawancara, 11 Juni 2016) mengatakan seperti di bawah ini.

Dahulu pada Palinggih Jero Alus ini belum ada piodalan khusus yang
dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Sejak tahun 2012, setelah bentuk
Palinggih ini sudah direnovasi seperti sekarang, maka barulah dibuatkan
secara resmi piodalan pada purnama ketiga. Mengenai prosesi pelaksanaan
piodalan masih bersifat sederhana. Palinggih Jero Alus ini sudah terkenal
sebagai Palinggih yang dapat memberikan anugerah pada masyarakat berupa
kesejahteraan dalam hal keuangan. Biasanya masyarakat yang melakukan
persembahyangan pada Palinggih Jero Alus mayoritas yang memiliki usaha
dagang. Bagi masyarakat yang sungguh-sungguh dalam beryadnya dan
memohon anugerah-Nya biasanya terkabulkan atau terpenuhi.
52

Gambar 4.1 Palinggih Jero Alus

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Selanjutnya wawancara dengan Jro Mangku Eka, (tanggal 12 Juni 2016)

mengenai penyungsung dari Palinggih Jero Alus menjelaskan seperti di bawah ini.

Mengenai penyungsung dari Palinggih Jero Alus ini adalah seluruh


masyarakat setempat di Desa Tukadmungga. Bukan saja masyarakat
setempat, melainkan masyarakat luar daerah Tukadmungga juga bisa menjadi
penyungsung dari Palinggih Jero Alus. Sama halnya, dimana Ida Sang Hyang
Widhi Wasa tidak pernah membatasi bagi manusia yang ingin melakukan
sujud bhakti kepada-Nya. Mengenai bentuk dari pada Palinggih ini adalah
bentuk sekepat sari, yang artinya Palinggih yang berbentuk limas yang
biasanya berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau.
Sedangkan untuk Palinggih lainnya dinamakan dengan istilah Palinggih
Pengrencak.

4.2.2 Penyebab Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus

Dupa (api) merupakan salah satu sarana yang paling penting dalam setiap

upacara yadnya di Bali. Jika dalam upacara tidak terdapat unsur api maka upacara

tersebut dikatakan belum lengkap. Dupa (api) memiliki banyak fungsi, salah

satunya berfungsi sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat.
53

Dalam persembahyangan, umat Hindu selalu harus dalam keadaan bersih secara

jasmani dan rohani. Secara jasmani yakni terasa bersih karena mandi, namun

secara rohaniah tentunya masih banyak yang kotor dalam diri dan pikiran pada

sang yajamana. Sehingga untuk hal itu maka perlu dilakukan suatu pembersihan

atau penyucian. Untuk pembersihan dan penyucian secara rohani tersebut, maka

digunakan sarana berupa api yang dalam persembahyangan digunakan dupa

(Supatra, 2007:45-46).

Fungsi api sebagai pengusir roh jahat atau kekuatan negatif lainnya bahwa

api berfungsi menumpas roh jahat dan kekuatan negatif lainnya, melenyapkan

kesedihan, menyucikan hati dan pikiran, menyucikan segala upakara yadnya. Api

menyucikan dan menyucikan jiwa yang kotor. Jiwa yang kotor yang dimaksudkan

adalah marah, dengki, iri hati, loba, dendam, resah, sombong, kasar dan

sebagainya. Sehingga dengan perantara api dupa, maka umat Hindu dapat

memohon agar disucikan segala pikiran yang kotor tersebut menjadi bersih dan

suci, bebas dari noda dan nafsu duniawi, dan pikiran akan menjadi tenang, aman,

tentram, bahagia, serta tumbuh rasa cinta kasih sayang yang didasari atas

ketulusikhlasan untuk memohon anugerah-Nya (Supatra, 2007: 46-47).

Berdasarkan wawancara Jro Mangku Masma (wawancara tanggal 5 dan 6

Juni 2016) mengenai penyebab tidak diperbolehkan menyalakan dupa pada

Palinggih Jero Alus, mengatakan seperti di bawah ini.

Setiap pelaksanaan upacara agama Hindu tentunya selalu menggunakan dupa


(api), sebab api berfungsi sebagai saksi dalam suatu upacara agama, dan
pembasmi segala bentuk kekotoran dan pengusir roh jahat. Namun yang
terjadi pada Palinggih Jero Alus ini, dalam setiap persembahyangan yang
dilakukan menggunakan dupa yang tanpa dinyalakan (tanpa api). Mengingat
bahwa yang malinggih (menempati) pada Palinggih Jero Alus ini adalah Ida
54

Anake Alus yang kedudukannya berada di atas Bhuta Kala, dan di bawah
manusia, maka Beliau tidak berkenan berada pada tempat-tempat (areal) yang
terang, sehingga di areal Palinggih tidak ada penerangan apapun termasuk
tidak berkenan jika menyalakan api pada areal tersebut. Bagi para Pemangku
yang sudah melakukan upacara Pawintenan tidak diperbolehkan
bersembahyang pada Palinggih ini. Namun jika Pemangku dalam hal ini
diperlukan hanya sebagai pengantar dalam doa seseorang maka itu
diperbolehkan dengan catatan, beliau tidak boleh bersembahyang. Sampai
saat ini, masyarakat pun tidak pernah melanggar apa yang sudah mereka
yakini. Hal itu sudah menjadi kebiasaan yang sampai saat ini tetap dijaga
kelestariannya.

Hasil wawancara Jro Mangku Masma di atas didukung oleh Pandita Empu

Shri Bhagawan Kastuti Sanyasa dan Pandita Empu Istri Shri Bhagawan Kastuti

Sanyasa (wawancara, 27 Juni 2016) menjelaskan seperti di bawah ini.

Memang benar yang malinggih (menempati) pada Palinggih Jero Alus adalah
Ida Anake Alus. Dalam hal ini, sifat dari makhluk halus ini sama halnya
dengan manusia pada umumnya ada yang baik dan buruk. Dengan demikian,
jika manusia berjalan pada arah yang keliru maka yang buruk yang akan
didapatkan, begitu sebaliknya, jika manusia berada pada jalan yang benar
maka yang baik pula yang akan diperoleh.

Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara dengan Gede Suartana (wawancara,

13 Juni 2016) mengenai bentuk pelaksanaan persembahyangan di Palinggih Jero

Alus, menjelaskan seperti di bawah ini.

Mengenai pelaksanaan persembahyangan pada Palinggih Jero Alus,


dilaksanakan secara sendiri-sendiri (perseorangan) sesuai dengan situasi
kondisi masing-masing, tanpa ada yang memandu, sebab Pemangku (Mekele
Kenaka) sudah lama tidak bisa melanjutkan tugasnya karena faktor usia.
Kebanyakan masyarakat bersembahyang pada saat sebelum mata hari
terbenam, sebab mengingat bahwa tidak boleh ada penerangan apapun.
55

Gambar 4.2 Masyarakat saat menghaturkan persembahan secara


perseorangan

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Diperjelas oleh Perbekel Desa Tukadmungga, Putu Arka (wawancara, 20 Juni

2016) tentang persembahyangan di Palinggih Jero Alus, menegaskan seperti di

bawah ini.

Sudah dapat dibuktikan bahwa masyarakat yang bersembahyang pada


Palinggih Jero Alus ini dengan tujuan ingin memperoleh kesejahteraan dalam
hal usaha dagang mereka agar berhasil, ternyata bisa terpenuhi atau
terkabulkan. Sudah banyak yang mengalami hal tersebut, namun dengan niat
yang memang harus bersungguh-sungguh. Bagi mereka yang terpenuhi
permohonannya maka mereka selalu menghaturkan persembahan setiap hari
jumat.

Gambar 4.3 Masyarakat saat melakukan sembah bhakti

Sumber : Dokumentasi Pribadi


56

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dicermati bahwa Palinggih Jero

Alus adalah sebuah Palinggih yang dalam pelaksanaan upacara persembahan atau

persembahyangan yang dilakukan dengan menggunakan dupa tanpa api (dupa

tanpa dinyalakan). Hal itu disebabkan karena yang malinggih atau menempati

pada Palinggih ini adalah Ida Anake Alus, sehingga beliau tidak berkenan jika

menyalakan api atau berada pada areal-areal yang terang.

4.2.3 Banten yang Dipersembahkan Pada Palinggih Jero Alus

Segala macam upacara keagamaan Hindu, atau banten atau upakara adalah

salah satu hal yang penting. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dari

sarana tertentu antara lain berupa, bunga, buah-buahan, daun tertentu seperti sirih

dan dari makanan seperti nasi dengan lauk pauk, jajan, dan sebagainya. Di

samping sarana yang lain yaitu air dan api (Titib, 2003:134).

Banten merupakan perwujudan dari manusia. Banten sebagai perwujudan

manusia tidak lain sebagai simbol penyerahan diri secara totalitas dan benar-benar

dilandasi oleh ketulusan hati. Ini tercermin dari tatuasan atau reringgitan yang

menunjukkan ketulusan hati dan keindahan seni yang ditampilkan menyimbolkan

perasaan cinta kasih dan bhakti yang demikian halus suci dan rasa kagum yang

tinggi sehingga melahirkan getaran hati dan pikiran untuk mempersembahkan

yang terbaik dan tertinggi kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagaimana yang

telah menciptakan keindahan (Mider, 2012:9-10).

Menurut hasil wawancara dengan Gede Parca (tanggal 15 Juni 2016)

mengatakan bahwa mengenai upakara atau banten yang dihaturkan atau

dipersembahkan pada Palinggih Jero Alus sama seperti banten pada umumnya.
57

Adapun upakara atau banten yang dihaturkan sehari-hari pada Palinggih Jero

Alus antara lain: (1) Banten Tipat Gong, (2) Canang sari, (3) Banten raka, dan (4)

Segehan.

1. Banten Tipat Gong

Raras dalam bukunya yang berjudul Metanding dan Mejejahitan

(2007:102), menyatakan bahwa tipat gong dihaturkan kepada Ida Sang Hyang

Widhi Wasa yang berstana di gong. Sama halnya pada Palinggih Jero Alus juga

digunakan banten tipat gong, sebab banten ini berfungsi sebagai sarana untuk

memohon (mepinunas) sesuatu.

2. Canang sari

Canang sudah umum dipakai sebagai sarana persembahyangan, tetapi

masih ada umat yang belum memahami maknanya. Canang berasal dari dua suku

kata Ca yang berarti indah dan Nang yang diartikan sebagai tujuan yang

dimaksud sesuai dengan kamus Kawi atau Jawa Kuno. Sedangkan sari berarti inti

atau sumber (Sudarsana, 2010:1). Dengan demikian, maksud dan tujuan canang

sari adalah sebagai sarana bahasa Weda untuk memohon keindahan kekuatan

Widya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Prabhawa (manifestasi)

Nya secara sekala maupun niskala. Canang merupakan upakara yang penting bagi

umat Hindu khususnya di Bali (Padma, 2013:3).


58

Gambar 4.4 Canang sari

Sumber : Dokumentasi Pribadi

3. Banten raka

Banten raka merupakan suatu upakara yang berisikan buah-buahan serta

dilengkapi dengan berbagai jajan yang dipersembahkan sebagai bentuk rasa

syukur dan terima kasih karena telah diberikan anugerah oleh Ida Sang Hyang

Widhi Wasa (Gobyah, 2009:2).

Gambar 4.5 Banten Raka dengan dupa tanpa dinyalakan

Sumber : Dokumentasi Pribadi


59

4. Segehan

Kata segehan berasal kata sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh

sebab itu, segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya,

lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi

tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut)

kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang

atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang

merah, jahe, garam. Selain itu, dilengkapi dengan jajan dan pisang dan bunga

serta porosan. Fungsi segehan yakni dapat menetralisir dan menghilangkan

pengaruh-pengaruh negatif. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan

manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan) (Sudarma, 2014:1).

Gambar 4.6 Segehan

Sumber : Dokumentasi Pribadi


60

Menurut Jro Mangku Widnya (wawancara, 17 Juni 2016), menjelaskan

bahwa mengenai sarana banten yang dihaturkan atau dipersembahkan pada saat

piodalan dan upacara mepiuning yaitu sebagai berikut: (1) Pecaruan Eka Sata, (2)

Banten Pengulapan, (3) Banten Prayascita, (4) Banten Pejati.

4.3 Fungsi Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus di Desa
Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng

Fungsi dapat diartikan sebagai kegunaan atau penggunaan sesuatu

berkaitan dengan suatu konteks pelaksanaan maupun hubungan dengan kegiatan

yang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1995 : 282),

menyatakan bahwa fungsi harus ditafsirkan bukan saja sebagai penggunaan

bahasa semata-mata melainkan sebagai khasanah mendasar sebagai sesuatu yang

menjadi dasar bagi perkembangan sistem makna. Dengan demikian, penggunaan

dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga memiliki fungsi

masing-masing sebagai berikut.

4.3.1 Fungsi Religius

Religius adalah suatu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan

ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain,

dan selalu hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Jika dikaitkan dengan

penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga

berfungsi religius yaitu dapat menjaga hawa-hawa mistis, sebab bagi yang

malinggih di tempat tersebut hanya berkenan jika menggunakan dupa tanpa api

(tanpa dinyalakan) dengan tidak mengurangi atau menghilangkan kemistisan,

sehingga tetap terjaga kesucian di areal Palinggih. Jadi dengan penggunaan dupa
61

tanpa api pada segala bentuk persembahan yang dilakukan masyarakat setempat

merupakan bentuk keyakinan mereka sehingga tempat tersebut dikeramatkan oleh

masyarakat setempat di Desa Tukadmungga.

4.3.2 Fungsi Pelestarian Alam

Secara etimologi kata, kata pelestarian ini berasal dari kata lestari yang

mempunyai makna langgeng, tidak berubah, abadi, sesuai dengan keadaan seperti

semula. Apabila kata lestari ini dikaitkan dengan lingkungan hidup, maka berarti

bahwa lingkungan hidup itu tidak boleh berubah, harus langgeng dan harus sesuai

dengan keadaan seperti semula atau tetap dalam keadaan seperti aslinya semula

(Hardjasoemantri, 2005: 98). Pelestarian fungsi lingkungan hidup diartikan

sebagai rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya

tampung lingkungan hidup. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan

lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup

lain. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk

melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau

dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Jika dikaitkan dengan penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero

Alus di Desa Tukadmungga berfungsi sebagai pelestarian alam sebab segala

bentuk persembahan atau persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat

setempat pada Palinggih tersebut dengan tanpa menggunakan dupa tanpa api

(tanpa menyalakan dupa) semata-mata juga berfungsi untuk menjaga kestabilan

serta kelestarian alam sekitar serta menghindari peristiwa-peristiwa yang tidak


62

diinginkan bersama. Mengingat dahulu masyarakat setempat melakukan

persembahan maupun persembahyangan dengan menggunakan dupa yang

dinyalakan sehingga terjadilah peristiwa kebakaran. Dari peristiwa tersebut, maka

lambat laun areal tersebut dijaga kebersihannya oleh masyarakat setempat dengan

harapan tidak akan pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

4.3.3 Fungsi Sosial

Fungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

kegunaan suatu hal, sedangkan pengertian sosial diartikan berkenaan dengan

masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum. Dengan demikian, fungsi

sosial yang diartikan sebagai kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat.

Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi sosial adalah suatu kegunaan yang

melekat pada suatu hal yang memiliki kegunaan pada suatu perkumpulan

individu-individu yang membentuk suatu kolektif kelompok, yang tentunya

kegunaan tersebut adalah mengakomodasi suatu kepentingan bersama atau

kepentingan sosial (Tim Penyusun, 1995:180).

Penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di Desa

Tukadmungga berfungsi sosial yaitu dalam pelaksanaan persembahyangan pada

Palinggih Jero Alus dapat mempererat keakraban masyarakat setempat dan

menetralisir timbulnya konflik-konflik di masyarakat. Fenomena penggunaan

dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus tidak pernah dipermasalahkan atau

diperdebatkan oleh masyarakat setempat karena itu merupakan wasiat dari para

leluhur terdahulu yang sudah menjadi kebiasaan yang telah diyakini oleh semua

masyarakat di Desa Tukadmungga.


63

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi

penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus adalah meliputi fungsi

religius, fungsi pelestarian alam, fungsi sosial. Fungsi religius berkaitan dengan

kenyakinan masyarakat bahwa di tempat tersebut tidak diperbolehkan menyalakan

dupa sehingga berfungsi untuk menjaga hawa mistis yang ada di areal Palinggih

Jero Alus itu sendiri. Fungsi pelestarian alam dalam penggunaan dupa tanpa api

yakni untuk menjaga kestabilan serta kelestarian alam di sekitar areal Palinggih

tersebut. Sedangkan fungsi sosialnya adalah dapat mempererat keakraban

masyarakat setempat dan menetralisir timbulnya konflik-konflik yang ada di

masyarakat dengan tidak memperdebatkan atau mempermasalahkan persepsi yang

berbeda-beda tiap masyarakat, sebab hal itu sudah menjadi suatu kebiasaan yang

merupakan warisan leluhur terdahulu yang tidak boleh dilanggar.

4.4 Nilai Pendidikan Sosio Religius Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada
Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng,
Kabupaten Buleleng

Tujuan dari kehidupan agama Hindu adalah untuk menjadikan seseorang

menjadi lebih baik di dalam dunia ini dan untuk mendekatkan seseorang kepada

Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sama halnya, dalam penggunaan dupa tanpa api

pada Palinggih Jero Alus tentu terdapat nilai pendidikan sosio religius dari segi

pelaksanaannya maupun tujuannya.

4.4.1 Nilai Pendidikan Religius

Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam

dalam lubuk hati manusia, religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara
64

lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total

dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan Tuhan. Nilai-nilai religi bertujuan

untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat

kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Rosyadi dalam Amalia, 2010). Dengan

demikian, menurut peneliti bahwa, religius adalah nilai yang berhubungan

langsung antara manusia dengan Tuhan.

Religiusitas erat kaitannya dengan keyakinan. Dalam agama Hindu,

keyakinan dikenal dengan istilah Sraddha. Sraddha atau keyakinan merupakan

dasar dari pelaksanaan suatu yadnya. Tanpa adanya keyakinan yang mantap, maka

kepercayaan seseorang akan mudah goyah. Adanya keyakinan akan menimbulkan

sikap yang tulus ikhlas dan kesucian hati. Kesucian dicerminkan dalam hidup

yang benar yang memiliki kesiapan jasmani dan rohani seperti mantapnya

sraddha, rasa bhakti, keimanan, kesucian hati maupun kehidupan yang suci yaitu

kehidupan yang sesuai dengan ketentuan moral dan spiritual.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Jro Mangku Masma (wawancara, 20

Juni 2016) mengenai nilai pendidikan religius dalam penggunaan dupa tanpa api

pada Palinggih Jero Alus, menjelaskan seperti di bawah ini.

Nilai pendidikan religius yang terdapat dalam penggunaan dupa tanpa api
pada Palinggih Jero Alus adalah terlihat dari bentuk keyakinan masyarakat
setempat di Desa Tukadmungga terhadap Palinggih tersebut. Masyarakat
percaya dengan apa yang sudah dari dulu mereka yakini, bahwa bukan hanya
Ida Sang Hyang Widhi Wasa saja yang wajib dihormati, melainkan makhluk-
makhluk yang Beliau ciptakan juga wajib dihormati pula. Sama halnya pada
Palinggih Jero Alus, bahwa yang bersthana adalah makhluk halus yang
tingkatannya di atas para Bhuta Kala, namun di bawah manusia. Makhluk
seperti itu juga tetap patut dihormati.
65

Dalam agama Hindu terdapat konsep Tri Hita Karana, yang artinya

sebagai manusia ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang memiliki Tri

Pramana (Sabda, Bayu, Idep) wajib menjaga hubungan yang harmonis dengan

Tuhan, dengan sesama manusia, serta lingkungan sekitar termasuk pula makhluk

yang tingkatannya lebih rendah dari manusia. Jika semua itu dapat dijalankan

secara seimbang, tentu kehidupan manusia bisa harmonis dan tentram sesuai

dengan apa yang diharapkan dan menjadi tujuan kehidupan ini. Selain itu,

masyarakat juga dapat lebih meningkatkan sradha dan bhakti dengan

melaksanakan persembahyangan serta mempersembahkan upakara (banten) pada

Palinggih Jero Alus tersebut. Masyarakat juga percaya bahwa apa yang menjadi

permohonan mereka, pasti bisa terpenuhi asalkan dilakukan dengan kesungguhan

hati dan didasarkan atas ketulusikhlasan dari dalam diri manusia itu sendiri.

4.4.2 Nilai Pendidikan Sosial

Kata sosial berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/

kepentingan umum. Nilai pendidikan sosial merupakan hikmah yang dapat

diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial brupa sikap

seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya

dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar

individu. Nilai pendidikan sosial yang ada dalam karya seni dapat dilihat dari

cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan (Rosyadi dalam Amalia,

2010). Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya

kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan

individu lainnya.
66

Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan

orang lain, oleh karena itu sikap gotong royong dan kesetiakawanan diperlukan

dalam kehidupan ini. Sistem sosial kemasyarakatan di Bali sering disebut dengan

istilah menyame braye, dimana sistem ini merupakan sebuah kebudayaan bagi

masyarakat Bali dalam setiap aktivitas kemasyarakatannya.

Pelaksanaan upacara yadnya dapat meningkatkan solidaritas atau

kerjasama dalam masyarakat, karena kesatuan komunitas suatu masyarakat pada

dasarnya terbentuk dari adanya solidaritas atau kerjasama tersebut. Solidaritas

merupakan dasar dalam terbentuknya suatu interaksi dalam masyarakat. Dengan

adanya pelaksanaan upacara yadnya dalam masyarakat dapat menimbulkan

hubungan sosial yang semakin erat dan tetap terpelihara dengan baik antar warga

masyarakat Desa Tukadmungga maupun antar warga di sekitar Desa

Tukadmungga.

Menurut hasil wawancara dengan Anak Agung Ngurah Ariasa (tanggal 14

Juni 2016) tentang nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam penggunaan dupa

tanpa api pada Palinggih Jero Alus, mengatakan seperti di bawah ini.

Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam penggunaan dupa tanpa api pada
Palinggih Jero Alus terlihat dari adanya interaksi sosial yang muncul tanpa
disadari dalam segala bentuk persembahan atau persembahyangan yang
dilakukan oleh masyarakat setempat di Desa Tukadmungga. Unsur sosial
yang terdapat dalam pelaksanaan upacara yadnya pada Palinggih Jero Alus
yaitu adanya sikap saling bergotong royong menjaga kebersihan serta
kelestarian di areal Palinggih. Masyarakat sekitar sangat antusias dalam
membantu sang yajamana untuk mempersiapkan segala sarana upacara yang
diperlukan dari awal sampai akhir dari segala prosesi yang dilaksanakan.
Selain itu, dapat dilihat dari segi nilai sosial saat saling bertegur sapa, serta
saling menawarkan hasil persembahan (lungsuran/surudan) kepada
masyarakat lain.
67

Hal ini merupakan bagian dari sistem sosial kemasyarakatan atau

kerjasama antar warga masyarakat bahwa segala sesuatu harus dilaksanakan

secara bersama-sama untuk mencapai sebuah kebahagiaan, kesejahteraan dan

kerukunan antar warga masyarakat satu dengan yang lainnya, sehingga muncul

interaksi satu sama lainnya dengan saling bertegur sapa.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa walaupun

masyarakat menghaturkan persembahan mereka secara perseorangan, namun tidak

mengurangi sikap toleransi di antara mereka. Masyarakat dari dulu tetap menjaga

hubungan harmonis dengan sesama, bahkan sampai saat ini pula. Apa yang

menjadi keyakinan mereka terhadap Palinggih Jero Alus tersebut, tidak menjadi

persoalan yang rumit bagi masyarakat setempat di Tukadmungga, melainkan

mereka sangat melestarikan apa yang sudah membudaya pada daerah tersebut.
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan pada pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,

maka dapat dikemukakan kesimpulan di bawah ini.

5.1.1 Bentuk pelaksanaan penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus

di Desa Tukadmungga adalah bahwa dalam pelaksanaan upacara agama

yang dilakukan tidak diperbolehkan menyalakan api (menggunakan api).

Dalam hal ini, masyarakat yang melakukan persembahyangan atau

mempersembahkan upakara (banten) pada Palinggih Jero Alus tetap

menggunakan dupa namun tanpa dinyalakan, mengingat yang malinggih

pada tempat tersebut adalah Ida Anake Alus yang mana merupakan

waranugraha dari Ida Bhatara di Pura Desa dan Pura Dalem Desa

Tukadmungga. Mengenai upakara (banten) yang dipersembahkan atau

dihaturkan sehari-hari adalah banten tipat gong, canang sari, banten raka

dan segehan. Sedangkan banten yang dihaturkan pada saat piodalan

adalah pecaruan eka sata, banten pengulapan, banten prayascita, dan

banten pejati.

5.1.2 Fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus adalah

meliputi fungsi religius yaitu dapat menjaga hawa-hawa mistis sebab bagi

yang malinggih hanya berkenan jika menggunakan dupa tanpa api (tanpa

dinyalakan), dengan tidak mengurangi atau menghilangkan kemistisan dari

tempat tersebut, sehingga tetap terjaga kesuciannya. Fungsi pelestarian

68
69

alam yakni dalam pelaksanaan persembahan atau persembahyangan yang

dilakukan dengan menggunakan dupa tanpa dinyalakan adalah untuk

menjaga kestabilan serta kelestarian alam sekitar dan menghindari

terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan oleh masyarakat setempat, serta

fungsi sosial yakni dalam pelaksanaan persembahyangan pada Palinggih

Jero Alus dapat mempererat keakraban antar masyarakat setempat dan

mampu menetralisir timbulnya konflik-konflik di masyarakat, sebab hal

tersebut tidak pernah menjadi bahan perdebatan antar masyarakat Desa

Tukadmungga.

5.1.3 Nilai-nilai pendidikan sosio religius yang terdapat dalam penggunaan dupa

tanpa api pada Palinggih Jero Alus adalah meliputi nilai pendidikan

religius dan nilai pendidikan sosial. Nilai pendidikan religius dapat dilihat

dari bentuk keyakinan masyarakat setempat di Desa Tukadmungga bahwa

pada Palinggih Jero Alus memiliki aturan yakni menggunakan dupa tanpa

api (dupa tanpa dinyalakan). Sedangkan nilai pendidikan sosial terlihat

dari adanya interaksi sosial yang muncul tanpa disadari dalam hal

pelaksanaan upacara yadnya atau persembahyangan yang dilakukan oleh

masyarakat setempat. Unsur sosial yang terdapat dalam pelaksanaan

upacara yadnya yakni adanya sikap saling bergotong royong dalam

menjaga kebersihan serta kesucian di areal Palinggih. Masyarakat sekitar

sangat antusias dalam membantu sang yajamana untuk mempersiapkan

segala sarana upakara yang diperlukan dari awal sampai akhir dari segala

prosesi yang dilaksanakan.


70

5.2 Saran-saran

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan yang telah peneliti uraikan

sebelumnya, maka peneliti menyarankan seperti di bawah ini.

5.2.1 Bagi masyarakat khususnya di Desa Tukadmungga agar senantiasa tetap

menjaga warisan leluhur yang sudah ada sejak dahulu serta menjaga

kesucian di sekitar areal Palinggih Jero Alus dengan selalu menjaga

kebersihan di tempat tersebut.

5.2.2 Kepada umat Hindu diharapkan mampu hidup berdampingan antar

masyarakat walaupun setiap daerah memiliki keunikan masing-masing,

namun hal tersebut jangan sampai menimbulkan pergeseran/konflik-

konflik antar sesama umat Hindu sebab yang dilakukan hanyalah semata-

mata adalah suatu bentuk sradha dan bhakti umat Hindu kepada Ida Sang

Hyang Widhi Wasa.

5.2.3 Kepada Instansi/Lembaga Departemen Agama seperti Parisadha Hindu

Dharma Indonesia (PHDI) diharapkan mampu memberikan pemahaman

yang baik dan benar kepada masyarakat terkait penggunaan dupa tanpa api

pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga agar persepsi yang

berbeda ini tidak dijadikan suatu perdebatan dalam meyakini kekuasaan

Tuhan, tetapi justru bisa dijadikan dalam memperkaya khasanah seni dan

budaya dengan tidak merubah konsep ajaran agama yang tertuang pada

sastra-sastra agama.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional Balai Pustaka.

Adnyana, I Nyoman Mider. 2012. Arti dan Fungsi Banten. Denpasar: Pustaka
Bali Post

Ahmadi, Rulam. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media

Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek).


Jakarta: PT. Rineka Cipta

Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Mizan Publika

Creswel, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan


Mixed (terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Fathoni, Abdurrahmat. 2011. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan


Skripsi. Jakarta : Rineka Cipta

Hardjasoemantri Koesnadi. 2005. Hukum Tata Lingkungan. Jogyakarta : Gadjah


Mada University Press

Iskandar. 2013. Metodologi Penelitian dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif).


Jakarta : Gaung Persada Press

Kaplan, David & Manners, Albert A. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Koentjaraningrat. 1987. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:


Djembatan

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:


Gramedia

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT. Rineka Cipta


Mardalis. 2010. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: Bumi
Aksara

Metri. 2001. Arti dan Fungsi Api Dalam Pelaksanaan Upacara Yadnya Ditinjau
Dari Segi Pendidikan Agama Hindu. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan
Pendidikan Agama Hindu. IHDN Denpasar

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:


PT. Remaja Rosdakarya

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya

Nawawi, Hadari. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:


Gadjahmada Universitas Perss

Nurastuti, Wiji. 2007. Metodologi Penelitian. Yogyakarta:Ardana Media

Nurjanah, Nunuy at.al. 2000. Pelaporan Penelitian Kualitatif (Kumpulan


Makalah). Bandung: Program Pengembangan Bahasa S3 Universitas
Pendidikan Indonesia

Parisadha Hindu Dharma Indonesia. 1985. Himpunan Keputusan Seminar


Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu. Denpasar : TP

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka

Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

_________. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Profil Pembangunan Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten


Buleleng. 2015

Pudja, Gede. 1993. Bhagawad Gita. Surabaya : Paramita


Redana, Made. 2006. Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah dan Proposal
Riset. Denpasar: Diktat Kuliah Penulisan Karya Ilmiah

Ridwan. 2004. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti
Pemula. Bandung: Alfabet

__________. 2004. Metode dan Teknik Penyusunan Tesis. Bandung:


Alfabetablikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana

Simpen, AB I Wayan. 1985. Kamus Bahasa Bali. Denpasar: PT. Mahabhakti

Suandra, I Made. 1997. Himpunan Ulap-Ulap Palinggih Cetakan ke I. Denpasar :


Upada Sastra

Subawa. 2014. Pelaksanaan Upacara Yadnya Tanpa Menggunakan Dupa dan


Mantra Pada Masyarakat Desa Pakraman Tigawasa Kecamatan Banjar
Kabupaten Buleleng. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan
Agama Hindu. IHDN Denpasar

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:


Alfabeta

Sukardi. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Sunarta. 2008. Kontribusi Gatra Persembahyangan Motivasi Belajar Terhadap


Prestasi Belajar Agama Hindu Siswa SMA Negeri 6 Denpasar Tahun
Pembelajaran 2008/2009. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan
Agama Hindu. IHDN Denpasar

Supatra. 2007. Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang. Denpasar: CV.


Kayumas Agung

Swastika, I Ketut Pasek. 2008. Arti dan Makna (Bunga-Api-Air-Kwangen-Canang


sari-Pejati). Denpasar: CV. Kayumas Agung

Tim Penyusun. 1993. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar


Provinsi Bali
__________. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

__________. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

__________. 2011. UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya:
Paramita

Watra. 2006. Kaedah Beryajnya Orang-Orang Suci dan Tempat Suci (Acara I).
Surabaya: Paramita

Wiana, I Ketut. 1989. Palinggih di Pamerajan. Denpasar : Upada Sastra

Wiana, I Ketut. 2001. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita

http://pemuda-balkar.blogspot.co.id/2015/01/sarana-upacara-yajna.html diakses
tanggal 4 April 2016 pukul 11.39

https://nengahletra.wordpress.com/2012/11/27/agama-hindu/ diakses tanggal 6


April 2016 pukul 07.43

http://suaramatahatiku.blogspot.co.id/2011/04/arti-jro-dalam-jro-mangku.html
diakses tanggal 5 Juni 2016 pukul 11.17

https://csuryana.wordpress.com/2010/03/25/data-dan-jenis-data-penelitian/
diakses tanggal 26 Juni 2016 pukul 10.51

http://aghoestmoemet.blogspot.co.id/2016/01/data-kualitatif-data-kuantitatif.html
diakses tanggal 26 Juni 2016 pukul 10.57

https://dharmavada.wordpress.com/2014/01/15/segehan-persembahan-penuh-
makna-filosofis/ diakses tanggal 2 Juli 2016 pukul 17.09

http://maychan9.blogspot.co.id/2013/10/may-anjars-world-bagi-ilmu.html diakses
tanggal 7 Juli 2016 pukul 09.48
http://padmayowana.blogspot.co.id/2013/12/canangsari-inggih-punika-sarin-
kasucian.html diakses tanggal 9 Juli 2016 pukul 17.33

http://jegegbagus-jegegbagus.blogspot.co.id/2009/11/budayabali-banten.html
diakses tanggal 9 Juli 2016 pukul 17.42
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Kisi-kisi wawancara/Interview Guide
Penggunaan Dupa Tanpa Api Pada Palinggih Jero Alus di Desa
Tukadmungga Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng

NO. INDIKATOR PERTANYAAN

1. Bagaimanakah bentuk pelaksanaan a. Bagaimanakah sejarah


singkat dari Palinggih
penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih
Jero Alus?
Jero Alus di Desa Tukadmungga,
b. Siapa saja penyungsung
Kecamatan Buleleng, Kabupaten Palinggih Jero Alus?
c. Apa penyebab dari tidak
Buleleng?
dinyalakan api pada
dupa?
d. Kapan piodalan pada
Palinggih Jero Alus serta
banten apa saja yang
dipersembahkan?
e. Bagaimana bentuk
pelaksanaan
persembahyangan
menggunakan dupa tanpa
api pada Palinggih Jero
Alus?

2. Apakah fungsi penggunaan dupa tanpa api a. Fungsi apa saja yang
pada Palinggih Jero Alus di Desa terdapat pada penggunaan
Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, dupa tanpa api pada
Kabupaten Buleleng Palinggih Jero Alus?
b. Sesuai perkembangan
zaman apakah ketentuan
dari penggunaan dupa
tanpa api pada Palinggih
Jero Alus masih terjaga
3. Nilai-nilai pendidikan sosio religius apa a. Nilai pendidikan sosio
sajakah yang terdapat dalam penggunaan religius apa yang ada
dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus di dalam penggunaan dupa
Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng, tanpa api pada Palinggih
Kabupaten Buleleng Jero Alus?
b. Bagaimana cara
masyarakat dalam
menghayati,
mengamalkan, serta
melestarikan nilai-nilai
yang diperoleh tersebut?
PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimanakah sejarah singkat dari Palinggih Jero Alus?

2. Siapa saja penyungsung Palinggih Jero Alus ?

3. Apa penyebab dari tidak dinyalakan api pada dupa ?

4. Bagaimana bentuk pelaksanaan persembahyangan menggunakan dupa tanpa

api pada Palinggih Jero Alus?

5. Kapan piodalan yang dilaksanakan pada Palinggih Jero Alus? serta upakara

(banten) apa saja yang dipersembahkan pada Palinggih Jero Alus ?

6. Apakah fungsi penggunaan dupa tanpa api pada Palinggih Jero Alus?

7. Sesuai perkembangan zaman apakah ketentuan dari penggunaan dupa tanpa

api pada Palinggih Jero Alus masih terjaga?

8. Nilai pendidikan sosio religius apa yang terdapat pada Penggunaan Dupa

Tanpa Api pada Palinggih Jero Alus di Desa Tukadmungga ?

9. Bagaimana cara masyarakat Desa Tukadmungga dalam menghayati,

mengamalkan, serta melestarikan nilai-nilai yang diperoleh tersebut ?


DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Putu Arka


Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Kepala Desa
Umur : 60 Tahun
2. Nama : Gede Anaya Eka, S.Pd H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Jro Mangku (Ngiring)
Umur : 33 Tahun
3. Nama : Anak Agung Ngurah Ariasa
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Mantan Anggota Parisadha Hindu
Alamat : Desa Tukadmungga
Umur : 56 Tahun
4. Nama : Ketut Wicana, S.Pd
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Kelian Adat Desa Tukadmungga
Umur : 55 Tahun
5. Nama : Gede Parca
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Wakil Kelian Adat Desa Tukadmungga
Umur : 56 Tahun
6. Nama : Gede Suartana
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Jabatan : Kelian Dusun Dharma Semadi
Umur : 55 Tahun
7. Nama : Jro Mangku Masma
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Mantan Jro Mangku Desa
Umur : 70 Tahun
8. Nama : Pandita Empu Shri Bhagawan Kastuti
Sanyasa
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Pandita Empu Desa Tukadmungga
Umur : 75 Tahun
9. Nama : Pandita Empu Istri Shri Bhagawan Kastuti
Sanyasa
Jenis Kelamin : Perempuan
Jabatan : Pandita Empu Desa Tukadmungga
Umur : 72 Tahun
10. Nama : Jro Mangku Widnya
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Mantan Kelian Desa Adat
Umur : 70 Tahun

Anda mungkin juga menyukai