SKRIPSI
DISUSUN OLEH:
NIM. 1712511009
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
1
KOMPENSASI NGAYAH SECARA FINANSIALDI
DESA ADAT ULAKAN, KECAMATAN MANGGIS,
KABUPATEN KARANGASEM
SKRIPSI
DISUSUN OLEH:
NIM. 1712511009
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
NIM : 1712511009
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
plagiarism/penjiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, termasuk pembatalan skripsi dan pencopotan gelar kesarjanaan yang
sudah diperoleh.
NIM. 1712511009
iii
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu, puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Kompensasi Ngayah Secara Finansial di Desa
Adat Ulakan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Selama penyusunan
proposal skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua pembimbing yaitu Bapak Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A. selaku
Pembimbing Utama yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan nasihat-
nasihat baik selama penyusunan proposal skripsi ini maupun selama proses
pembelajaran di kelas berlangsung. Begitu pula kepada kepada Bapak Gede
Kamajaya, S.Pd., M.Si. selaku Pembimbing Pendamping yang selalu memberikan
arahan dan selalu mau meluangkan waktunya untuk berdiskusi bersama penulis
dalam penyusunan proposal skripsi ini.
Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang juga berperan membantu proses penyusunan skripsi ini diantaranya:
1. Ibu Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Rektor Universitas
Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat
merasakan perkuliahan dan menikmati fasilitas dari awal perkuliahan
sampai penyusunan skripsi di Universitas Udayana.
2. Bapak Dr. Drs. I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa, M.Si. selaku Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana dan juga selaku
dosen Program Studi Sosiologi yang senantiasa memberikan saran,
masukan, dan motivasi kepada penulis dari awal perkuliahan sampai
penyusunan skripsi.
3. Bapak Dr. Drs. I Nengah Punia, M.Si. selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana dan juga selaku dosen Program
Studi Sosiologi yang selalu memberikan arahan dan masukan selama
penulis mengikuti perkuliahan.
iv
4. Bapak Dr. Piers Andreas Noak, S.H., M.Si. selaku Wakil Dekan II yang
selalu mendukung dan membantu penulis selama perkuliahan.
5. Ibu Dra. Nazrina Zuryani, M.A. Ph.D. selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana dan juga selaku dosen Program
Studi Sosiologi yang banyak memberikan masukan, berbagai pengetahuan,
motivasi, dan juga semangat kepada penulis.
6. Ibu Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si. selaku Koordinator
Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Udayana dan juga selaku pembimbing akademik yang selalu memberi
masukan, saran, serta motivasi kepada penulis selama perkuliahan.
7. Ibu Ni Made Anggita Sastri Mahadewi, S.Sos.,M.Sos. dan Bapak I Gst. Ngr.
Agung Krisna Aditya, S.Sos.,M.A. selaku dosen Program Studi Sosiologi
sudah membantu penulis selama menjalani perkuliahan di FISIP.
8. Seluruh pegawai Tata Usaha Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Udayana yang telah banyak membantu penulis terkait dalam
urusan administrasi.
9. Keluarga Penulis yakni I Made Sudiarta (Ayah), Ni Made Sukreni (Ibu), I
Putu Angga Surya Pratama (Kakak), dan Ni Ketut Ayuni Sri Marheni
(Adik) yang senantiasa memberikan doa, motivasi, dan dukungan baik
mental maupun material sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman sekaligus sahabat yakni A.A Gede Surya Wijaya yang sudah
menjadi tempat keluh kesah dan juga selalu membantu penulis dengan
memberikan semangat serta motivasi sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan.
11. Bendesa Adat Ulakan yakni Bapak I Ketut Arsana, krama Desa Adat
Ulakan, serta teman-teman informan yang lainnya yang sudah berkenan
menerima serta membantu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh
penulis dalam proses pengerjaan skripsi sampai selesai.
12. Teman-teman Sosiologi 2017 serta BEM FISIP Unud yang sudah
memberikan motivasi, pengalaman berorganisasi, dan membantu penulis
dari awal perkuliahan sampai dengan proses pengerjaan skripsi.
v
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan maupun
penyempurnaannya sehingga skripsi ini dapat menambah wawasan baru dalam
pengembangan keilmuan pada disiplin sosiologi.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
DAFTAR BAGAN..................................................................................................x
GLOSARIUM..................................................................................................... xiii
vii
2.2.1 Kompensasi ...........................................................................................11
viii
5.1 Kesimpulan .....................................................................................................68
LAMPIRAN 1 .......................................................................................................74
LAMPIRAN 2 .......................................................................................................77
LAMPIRAN 3 .......................................................................................................80
ix
DAFTAR BAGAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel. 4.1 Data Kependudukan Desa Adat Ulakan Berdasarkan Tempek dan Jenis
Kelamin…………………………………………………………………………..35
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.3 Prosesi mundut Ida Bhatara beserta tapakan Ida Bhatara…..40
xii
GLOSARIUM
Catur Brata Penyepian : Empat larangan yang tidak boleh dilakukan saat
Nyepi
xiii
untuk menjalankan upacara yadnya di Pura
Khayangan Tiga
Krama Desa Selae : Sebutan lain untuk Krama Desa Pingajeng
xiv
Paceklik : Masa dimana masyarakat sangat sulit mencari
makan dan pemenuhan hidup
Pajenengan : Warisan yang disakralkan
Prajuru : Pengurus
Pura Khayangan Tiga : Tiga tempat suci yang terdiridari Pura Desa, Pura
Puseh, dan Pura Dalem
Sangkepan : Rapat
Tanah Ayahan Desa : Tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh desa yang
penggarapannya diberikan kepada masing-masing
krama desa adat
xv
Tat Twam Asi : Ajaran agama Hindu yang mengajarkan kesusilaan
(perilaku) tanpa batas
Tawur Agung Kesanga : Upacara yang dilaksanakan sehari sebelum Nyepi
xvi
ABSTRAK
xvii
ABSTARCT
As a time progress, Ulakan villagers start to voting and go wander to get better
source of income. As is customary Ulakan village people who went wander, and
when those who wander already has a job and a place to live in the city would find
it difficult to taking the time to attend ngayah working hours because of attachment.
For that reason, those who prefer to pay go very worn ngayah absence with a sum
of money with mogpog or dedosan termed. This research be conducted to analyze
about how the influence of social ngayah with the compensation money termed with
mogpog or dedosan Ulakan customary in the village. This study used a qualitative
approach by the kind of research descriptive-explainative. The theory was selected
as a surgical knife in this research was Sociology Money belonging to Georg
Simmel. Not forever obligation of ngayah culture can be replaced with the money
and will be able to give a free reid. Mogpog or dedosan will impact to the
appropriate person, for example like felt ashamed, felt humiliated, and others when
they don’t follow the ngayah culture. Nevertheless, a member of the customary
Ulakan village not wander continue to receive those who are in charge of cultural
ngayah rarely attended the meeting as a tolerance, understand each other, and
being a familly spirit still exists today to villagers Ulakan customary
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
Bali adalah salah satu destinasi wisata yang memiliki keindahan alam dan
tradisi budaya yang sudah terkenal hingga ke seluruh penjuru dunia (Nugroho,
2019). Keindahan alam dan tradisi budaya yang terdapat di Bali merupakan daya
tarik bagi para wisatawan lokal maupun mancanegara untuk berkunjung ke Bali.
Di samping itu, Pulau Bali juga dikenal dengan banyak julukan, antara lain yang
paling populer sebagai Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. Julukan Pulau
sesaji untuk dipersembahkan kepada Dewa yang telah menjaga alam semesta,
sedangkan julukan Pulau Seribu Pura didapatkan karena setiap pekarangan rumah
penduduk yang beragama Hindu di Bali memiliki pura (Info Bali, 2017). Berbagai
julukan dan keunikan tersebut kiranya kian menarik para wisatwan untuk
Salah satu tradisi budaya di Bali yang sudah diwariskan secara turun-
temurun adalah ngayah yang merupakan kewajiban sosial bagi masyarakat Bali
yang dilakukan secara gotong-royong dengan perasaan yang tulus ikhlas tanpa
Hindu di Bali yang akan berlangsung di pura atau banjar dan dilakukan secara
1
2
untuk lebih mengenal satu sama lain antar sesama masyarakat desa atau banjar
pertanian yang tidak memiliki keterikatan jam kerja sehingga memiliki waktu
zaman, beberapa masyarakat desa sudah mulai tidak tertarik pada sektor pertanian
dan memilih untuk pergi merantau. Tujuan mereka memilih untuk merantau tidak
lain untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan menjanjikan ketimbang
bekerja pada sektor pertanian. Masyarakat desa di Bali mayoritas memilih untuk
merantau ke Kota Denpasar atau ke Kabupaten Badung. Hal ini disebabkan karena
Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali yang menjadikan Kota Denpasar
Badung sebagai pusat pariwisata di Provinsi Bali yang mampu menyerap banyak
tenaga kerja diluar sektor pertanian, semisal sektor pariwisata (Anonim, 2015).
dalam membagi waktu ketika terdapat jadwal ngayah karena mereka memiliki
keterikatan dengan jam kerja. Mereka yang bekerja dengan keterikatan jam kerja
3
akan mengalami dilema dan keresahan antara memilih bekerja atau ngayah karena
kedua hal tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Sudipta (dalam
Masyarakat desa yang merantau sudah mulai berpikir bagaimana cara untuk
kebutuhan hidup. Para perantau tersebut tentu memiliki ketakutan akan sanksi
sosial seperti gunjingan bahkan sampai dikucilkan dari desa mereka karena tidak
untuk menetap karena memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan membuat
mereka sulit meluangkan waktu untuk ngayah di tempat asal mereka. Dengan
merupakan suatu fenomena yang dapat dikaji lebih mendalam lagi. Hal ini
ngayah memilih untuk pergi merantau, sehingga sulit meluangkan waktu untuk
mengikuti ngayah, dan jika berhalangan hadir untuk ngayah dapat membayar
dibuat lebih fleksibel. Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang memiliki
keterikatakan dengan jam kerja yang membuat sulit membagi waktu untuk
Salah satu desa di Bali yang telah menerapkan pembayaran uang sebagai
sehingga dapat mengantinya dengan uang (Dewi, 2017). Selain Desa Tabola, desa
lain yang juga menerapkan pembayaran uang sebagai pengganti ngayah adalah
menjelaskan bahwa eksistensi tradisi ngayah di Desa Adat Anggungan pada masa
agraris masih berjalan dengan baik, tetapi saat mulai era modernisasi datang
salah satu desa di Bali yang bernama Desa Adat Ulakan terletak di Kecamatan
uang atau yang juga diistilahkan mogpog atau dedosan. Menurut Bendesa Adat
Ulakan, sebanyak kurang lebih 60% masyarakat Desa Adat Ulakan pergi
5
merantau ke Kota Denpasar dan ada juga beberapa yang merantau ke Kabupaten
kerja yang membuat mereka juga harus menetap di tempatnya merantau. Beliau
juga menambahkan jika pada umumnya masyarakat Desa Adat Ulakan sebagian
besar memiliki mata pencaharian disektor perkebunan dan ada juga sebagai
nelayan. Masyarakat Desa Adat Ulakan mulai memilih pergi merantau sejak
Gunung Agung meletus pada tahun 1963 karena pada saat itu juga desa tersebut
menerima dampak dari letusan Gunung Agung. Masyarakat Desa Adat Ulakan
pasca meletusnya Gunung Agung mengalami masa paceklik atau masa dimana
masyarakat sangat sulit mencari makan dan pemenuhan hidup. Oleh karena itu,
masyarakat Desa Desa Adat Ulakan mulai pergi merantau untuk mendapatkan
terus bertambah, sehingga saat ada kegiatan ngayah akan membuat anggota
masyarakat yang merantau sulit meluangkan waktu untuk ngayah dan yang selalu
hadir pada saat ngayah adalah masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak merantau.
Kegiatan ngayah di Desa Adat Ulakan ada yang bersifat rutin setiap satu tahun
sekali ataupun enam bulan sekali dan ada yang bersifat insidental. Kegiatan
upacara Usaba Dalem, Usaba Kapat, serta upacara Tawur Agung Kesanga di
Desa Adat Ulakan. Sedangkan untuk kegiatan ngayah yang dilakukan secara
Adat Ulakan. Oleh karena itu, berdasarkan hasil musyawarah masyarakat Desa
6
datang ngayah akan dikenakan untuk membayar sejumlah uang atau yang
diistilahkan dengan mogpog atau dedosan. Jumlah yang harus dibayarkan sesuai
yang telah disepakati bersama dan juga tergantung dari berapa kali anggota
masyarakat yang tidak dapat mengikuti ngayah karena ada sesuatu dan lain hal
akan merasa sedikit lega. Selain itu, dengan adanya kebijakan tersebut tentu
merupakan berita baik bagi perantau yang sudah memiliki keterikatan kerja yang
Tidak dapat dipungkiri jika masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau
terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Tidak hanya itu saja,
masyarakat desa yang tidak merantau tentu akan memberi berbagai tanggapan
kepada masyarakat yang mengganti ngayah dengan uang, baik itu tanggapan
postif maupun negatif. Hal tersebut menjadi daya tarik bagi penulis untuk
mengkaji lebih jauh fenomena terkait dalam skripsi berjudul Kompensasi Ngayah
Karangasem.
1.2.1 Bagaimana proses sosial kompensasi ngayah secara finansial di Desa Adat
mampu memberikan pandangan mengenai dampak yang akan dirasakan jika terus
mengganti ngayah dengan uang. Bagi masyarakat Desa Adat Ulakan, penelitian
yang tidak dapat mengikuti ngayah karena memiliki keterikatan kerja. Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan akan memberikan pandangan baru bagi masyarakat
TINJAUAN PUSTAKA
yang tidak dapat melakukan ngayah dapat dikategorikan menjadi krama penaub,
yakni masyarakat Desa Pakraman Tabola yang boleh tidak ikut melaksanakan
tinggal di luar Desa Pakraman Tabola (merantau). Krama penaub tersebut hanya
perlu membayar dengan uang sesuai jumlah yang telah ditetapkan melalui
upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Tabola, dana yang dipakai berasal dari
dana pendapatan desa, sedangkan pada pelaksanaan upacara di Pura Dalem dan
Pura Melanting Desa Pakraman Tabola berasal dari iuran krama banjar dan jika
kurang akan diambil dana dari krama penaub dan kas setiap banjar.
9
10
banten), keterbatasan waktu dan tenaga (sebagian besar masyarakat Desa Pejaten
banten melalui tiga tahapan, yakni tahap produksi banten yang dilakukan oleh
konsumen, dan konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pejaten. Dengan
Ketiga, penelitian Nengah Bawa Atmadja & Tuty Maryati (2014) dengan
upacara ngaben yang biasanya dilakukan melaui ngayah kini sudah tergantikan
dengan cara membeli melalui geria (rumah tinggal pendeta Hindu). Proses
pembuatan banten dianggap sulit dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk
jarang dapat mengikuti ngayah untuk membuat banten ngaben. Akibat pengaruh
ideologi pasar yang membuat masyarakat berpikir praktis, efisien, efektif, dan
ditambah dengan aneka modal yang dimiliki, seperti modal budaya, simbolik,
dengan penelitian yang akan dilakukan adalah, anggota masyarakat yang lebih
memilih bekerja dan menetap di luar desa asal mereka memiliki kendala dalam
bekerja dan menetap di luar desa asal (merantau) mengganti kewajiban sosial
mereka di desa asal dengan uang, seperti membayar iuran setiap tahun karena
dengan tiga penelitian sebelumnya adalah, penelitian ini akan mengkaji dampak
2.2.1 Kompensasi
dikatakan sebagai sebuah bayaran sejumlah uang atau yang diistilahkan mogpog
atau dedosan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak dapat
ngayah.
2.2.2 Ngayah
mendapatkan upah dana atau imbalan, sedangkan secara etimologis berasal dari
kata “ayah” yang terpancar dari budaya patrilineal, lalu berubah menjadi
masyarakat Bali dalam bentuk gotong royong yang sudah dilaksanakan sejak
dahulu dan tetap berlangsung hingga saat ini. Ngayah tidak semata-mata hanya
upacara keagamaan saja, melainkan juga sebagai bentuk pengakraban untuk lebih
mengenal satu sama lain antar sesama masyarakat desa atau banjar sehingga dapat
hidup dalam masyarakat sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, yaitu menjaga
13
menjaga hubungan manusia dengan alam, dapat terlihat pada masyarakat desa
adat yang bertempat tinggal di tanah ayahan desa yang diberikan oleh desa adat
atau yang dikenal dengan tanah ulayat desa memiliki tugas dan kewajiban untuk
memikul kewajiban langsung ke desa adat, seperti menjaga dan memilihara Pura
Khayangan Tiga (tiga pura di desa, yaitu: Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem)
Selain ngoupin, bentuk lain dari tolong menolong atau gotong royong juga
suatu pekerjaan dengan ikhlas tanpa pamrih) yang biasa dilaksanakan di pura atau
banjar secara gotong royong dengan perasaan tulus ikhlas (Nusabali, 2018).
Secara tidak langsung, dengan kita melaksanakan ngayah dapat dikatakan sebagai
bentuk menjaga hubungan manusia dengan Tuhan. Sena (2017: 272) menjelaskan
tradisi ngayah tentunya berbeda dengan nguopin, hal tersebut terlihat jelas dalam
proses pelaksanaannya dimana pelaksanaan ngayah bersifat pada skala besar yang
biasanya ditunjukkan kepada Tuhan dan sedangkan nguopin bersifat pada skala
kecil yang ditunjukkan kepada antar sesama manusia. Sebagai contoh, jika
gotong royong menjelang upacara di rumah sanak keluarga dapat disebut dengan
nguopin.
Menurut Abu (dalam Kebayantini, 1998: 42) ngayah dapat diartikan sebagai
memiliki derajat atau status yang lebih tinggi. Selain itu, ngayah juga dapat
didefinisikan sebagai kegiatan sosial yang bersifat suci atau sakral serta terkadang
juga dapat bersifat kemeriahan. Bentuk dari ngayah sendiri tidak hanya dalam
saja, melainkan kegiatan gotong royong untuk membersihkan pura atau banjar
juga dapat dikatakan sebagai ngayah. Tidak hanya itu saja, menurut Devi (2019:
Kegiatan ngayah di Desa Adat Ulakan ada yang bersifat rutin setiap satu
tahun sekali ataupun enam bulan sekali dan ada yang bersifat insidental. Kegiatan
upacara Usaba Dalem, Usaba Kapat, serta upacara Tawur Agung Kesanga di
Desa Adat Ulakan. Sedangkan untuk kegiatan ngayah yang dilakukan secara
Adat Ulakan. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada kegiatan ngayah
yang dilaksanakan secara rutin menjelang upacara Uusaba Dalem, Usaba Kapat,
2.2.3 Finansial
Finansial merupakan kata yang berasal dari Bahasa Inggris, yaitu finance
keseluruhan apapun yang memiliki kaitan dengan keuangan, baik dari manajemen
maupun perputaran uang itu sendiri dalam menjalankan suatu usaha atau lembaga.
Pada penelitian ini, finansial diartikan sebagai sejumlah uang yang digunakan
perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga akan dapat sesuai
dengan apa yang sudah direncanakan. Oleh karena itu, masayarakat desa yang
dimasa mendatang, seperti ketika tidak dapat meluangkan waktu untuk mengikuti
permasalahan dalam penelitian ini adalah pemikiran dari Georg Simmel dalam
memiliki banyak kesamaan dengan karya Karl Marx, tetapi dalam karya Simmel
16
lebih berfokus pada kapitalisme dan masalah yang diciptakan oleh ekonomi uang
(Ritzer, 2011: 174). Filosofi uang dimulai dengan diskusi mengenai bentuk umum
uang dan nilai, kemudian diskusi berlanjut ke dampak uang pada "dunia batin"
aktor dan budaya pada umumnya. Poggi (dalam Ritzer, 2011: 175) menjelaskan
ekonomi pada waktunya hanya sebagai perwujudan spesifik dari masalah budaya
yang lebih umum, alienasi dari tujuan dari budaya subjektif. Itulah mengapa
Pembahasan Philosophy of Money adalah sisi lain dari uang, seperti nilai
dan uang, nilai uang sebagai bahan, uang dalam urutan tujuan, kesetaraan uang
dari nilai pribadi, kebebasan perorangan, dan gaya hidup. Oakes (dalam Ritzer,
2011: 179) menyebutkan dalam menjalankan sebuah tradisi dan budaya di suatu
desa tentu akan mungkin mengalami beberapa kesenjangan, penyebab utama dari
mendapatkan penghasilan yang lebih menjanjikan, tetapi pada saat yang sama,
individu akan secara perlahan kehilangan rasa cinta budayanya dan kehilangan
sesuatu, seperti mengganti kewajiban dengan uang. Jika hal tersebut terus
berlanjut, maka masyarakat akan tidak mampu lagi menghadapi budaya uang yang
17
terus berkembang dan semakin memaksa, sehingga individu dalam dunia modern
akan diperbudak oleh budaya uang secara besar-besaran (Ritzer, 2011: 179).
Dewasa ini, uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar dalam kegiatan
ekonomi saja, melainkan juga dapat digunakan oleh individu untuk menunjukkan
banyak uang akan membuat perilaku individu berubah sedikit sombong karena
uang banyak. Seseorang yang memiliki banyak uang cenderung akan bersikap
sedikit berbeda dibandingkan dengan orang yang biasa-biasa saja. Oleh karena
itu, secara tidak langsung uang juga dapat dikatakan sebagai cara berkomunikasi.
Selain uang sebagai cara berkomunikasi, uang juga mampu mengukur atau
178) menjelaskan bahwa dengan uang kita juga mampu membeli kebahagian,
kebenaran, dan kecerdasan dengan mudah seperti kita mampu membeli deodorant.
memberikan efek yang berbeda-beda pada setiap individu (Simmel, 2004: 286).
kebebasan penuh kepada orang yang memiliki kewajiban dalam hal tindakannya
jalan menuju pembubaran seluruh kewajiban. Oleh karena itu, uang dapat
dikatakan sebagai solusi untuk membebaskan individu dari kewajiban sosial yang
akan mampu mengkonversi segala sesuatu. Tidak hanya itu, menurut Simmel
(dalam Ritzer, 2011: 178) ketika uang mampu mengkonversi segala sesuatu akan
impersonal. Jika itu sampai terjadi, maka dalam kalangan masyarakat tidak akan
ada lagi interaksi sosial antar sesama, sikap saling tolong-menolong, dan lain
sebagainya.
yang merantau ke kota masih memiliki keterikatan dengan tradisi ngayah yang
masih terus berlangsung di desa asalnya hingga saat ini, sehingga dapat membuat
masyarakat desa yang merantau tidak dapat merasakan kebebasan saat merantau
akibat kewajiban ngayah yang masih harus tetap dilakukan. Penelitian sosiologi
uang dari Georg Simmel kiranya mampu menjelaskan fenomena terkait, yakni
tersebut.
19
Memiliki Sulit
keterikatan jam meluangkan
kerja di kota waktu untuk
ngayah
Keterangan:
: hubungan/keterkaitan
20
Penjelasan:
upacara keagamaan, seperti upacara Usaba Dalem, Usaba Kapat, serta upacara
Tawur Agung Kesanga yang rutin dilaksanakan satu tahun sekali di Desa Adat
mulai memilih untuk merantau ke kota karena ingin mengadu nasib. Pada
meningkatkan taraf hidup mereka terutama dalam segi ekonomi. Masyarakat Desa
membuat mereka sulit membagi waktu karena harus tinggal menetap di kota dan
adanya keterikatan dengan jam kerja. Oleh karena itu, akan membuat mereka yang
merantau sulit meluangkan waktu untuk melaksanakan ngayah di desa asal mereka
Ngayah tersebut dilakukan dengan perasaan yang tulus ikhlas dan juga
Adat Ulakan yang memiliki mata pencaharian pada sektor pertanian memiliki
waktu yang bebas serta fleksibel, sehingga dapat meluangkan waktu mereka untuk
mengikuti ngayah. Hal tersebut tidak berlaku bagi perantau yang memilih bekerja
dan menetap di kota karena mereka memiliki keterikatan dengan waktu kerja.
21
perantau karena antara ngayah dan bekerja sama-sama hal penting yang harus tetap
antar sesama masyarakat Desa Adat Ulakan karena proses interaksi sudah mulai
berkurang akibat tidak dapatnya mengikuti ngayah dan memilih untuk membayar
sosiologi uang milik Georg Simmel, terlebih dampak sosial yang disebabkan akibat
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode penelitian
kualitatif. Taylor dan Bogdan (dalam Suyanto & Sutinah, 2015: 166-174)
penelitian yang akan memberikan hasil berupa data deskriptif mengenai kata-kata
lisan, tertulis, serta tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang sedang
mampu untuk mengkaji fenomena yang diangkat lebih mendalam lagi. Tidak
hanya itu, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif juga mampu untuk
22
23
fokus ketika penelitian akan dilaksanakan. Penentuan lokasi penelitian harus perlu
ditentukan agar ketika dalam proses pengumpulan data dapat diperoleh dengan
cepat dan mudah. Dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi penelitian di
mengambil lokasi tersebut karena jumlah masyarakat Desa Adat Ulakan yang
pergi merantau hampir 60% dari jumlah keseluruhan. Sebagian besar dari mereka
memilih pergi merantau ke Kota Denpasar dan ada juga ke Kabupaten Badung.
Mereka yang memiliki pekerjaan tetap di tempat mereka merantau tentu akan sulit
untuk membayarkan sejumlah uang atau yang diistlahkan dengan mogpog atau
data utama dan data kuantitatif sebagai data pelengkap. Data kualitatif ini
berisikan narasi dalam bentuk deskriptif dan naratif dari hasil wawancara dengan
(Yuandhini, 2017). Dalam penelitian ini, data kualitatif akan diperoleh melaui
Desa Adat Ulakan terhadap orang yang mengganti ngayah dengan uang karena
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data primer dan data
merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data
sumber data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh melalui hasil
penelitian sebelumnya, tulisan berupa buku, jurnal, artikel, dan lain-lain sebagai
pelengkap dan pendukung data. Dalam penelitian ini, penulis akan memperoleh
sumber data primer melalui wawancara langsung dengan informan yang telah
data sekunder akan diperoleh melalui jurnal, skripsi, tesis, buku, dan lain
Dalam penelitian ini, informan akan terbagi menjadi tiga jenis, yakni
informan kunci, informan utama, dan informan pelengkap. Informan kunci pada
penelitian ini adalah tokoh-tokoh adat di Desa Adat Ulakan, seperti klian atau
bendesa adat serta anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau.
diperantauan. Informan utama pada penelitian ini adalah anggota masyarakat Desa
Adat Ulakan yang memilih untuk tidak merantau. Hal tersebut karena mereka
yang tidak merantau dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk ngayah dan
ngayah. Informan pelengkap pada penelitian ini adalah masyarakat luar Bali yang
merantau ke Bali serta masyarakat Bali yang sudah lama tidak ngayah (minimal
dua tahun tidak pernah ngayah). Hal tersebut karena masayarakat luar Bali dan
masyarakat Bali yang tidak pernah ngayah (minimal dua tahun) tentu memiliki
sehingga dapat melancarkan jalannya penelitian, seperti alat tulis, alat perekam
suara (tape recoder), alat pengambil gambar dan video (kamera), dan pedoman
wawancara.
26
3.6.1 Observasi
Ulakan yang tidak merantau. Dengan demikian, peneliti akan mampu menjelaskan
masyarakat desa yang merantau sehingga membuat sulit meluangkan waktu untuk
ngayah.
3.6.2 Wawancara
memperoleh keterangan terkait apa yang akan diteliti (Bungin, 2011: 111). Dalam
wawancara yang dilakukan akan mengarah pada pedoman wawancara yang telah
akan diajukan (Sutinah & Suyanto, 2013: 78). Wawancara tidak terstruktur akan
dilakukan secara santai tetapi mendalam dengan informan sehingga informan akan
merasa nyaman dan memberikan hasil terkait permasalahan yang sedang diteliti.
27
3.6.3 Dokumentasi
menelusuri data historis terkait dengan apa yang akan diteliti (Bungin, 2011: 124).
Dokumentasi dalam penelitian ini berupa hasil pengambilan gambar dan video
yang dapat menambah data penelitian. Selain itu, dokumentasi dalam penelitian
ini juga berasal dari buku, jurnal, skripsi, dan hasil penelitian lainnya yang telah
dan Huberman. Sugiyono (dalam Astari, 2020) menjelaskan jika proses teknik
analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman dibagi menjadi empat teknik,
yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Pada tahap pertama yakni pengumpulan data diperoleh melalui hasil observasi,
masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau berhalangan datang ngayah dapat
desa yang tidak merantau terhadap anggota masyarakat desa yang merantau
sehingga membuat sulit meluangkan waktu untuk ngayah. Tahap kedua yaitu
reduksi data, yakni hasil dari pengumpulan data yang telah dilakukan akan dipilah
28
lalu dikelompokkan menjadi data yang diperlukan dan data yang kurang
diperlukan. Namun, data yang kurang diperlukan tersebut tidaklah dibuang begitu
Selanjutnya pada tahap ketiga yaitu penyajian data, yakni peneliti akan
mulai menganalisis data dengan menggunakan teori sosiologi uang milik Georg
Simmel. Dalam tahap ini, peneliti menyajikan data dalam bentuk teks yang
bersifat naratif. Tahapan terakhir yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi data,
yakni peneliti akan menarik sebuah kesimpulan berdasarkan hasil dari penyajian
data dan juga didukung oleh bukti-bukti yang sudah ditemukan, seperti melalui
masalah yang sudah ditentukan. Perlu ditekankan jika dalam penelitian kualitatif
Setiap desa atau daerah tentu memiliki lintasan sejarahnya tersendiri yang
dimana biasanya tertulis dalam suatu lontar atau babad, begitu juga halnya dengan
Desa Adat Ulakan. Arnaya (1998:1-3) menjelaskan bahwa berdasarkan lontar milik
Dadia Gede, sebelum bernama Desa Adat Ulakan desa tersebut bernama Desa
Indrawati yang pada saat itu hanya memiliki penduduk sebanyak delapan KK. Pada
tahun 1380 Masehi, jumlah penduduk di Desa Indrawati mulai bertambah menjadi
70 KK yang tersebar di Banjar Kangin (7 KK), Banjar Bengkel (15 KK), Banjar
Belong (16 KK), Banjar Tuwed Nangka (8 KK), Banjar Dawan (8 KK), serta
Banjar Prakpak (8 KK). Pada saat itu, Desa Indrawati sudah memiliki Pura Dalem
dan Pura Puseh yang didirikan oleh I Mangku Minyeng atau yang lebih dikenal
dengan Jro Mangku Dalem dan juga sekaligus menjadi pemangku di pura tersebut.
Jro Mangku Dalem yang menjadi salah satu tokoh adat di Desa Indrawati merasa
tidak enak hati karena belum ada warga pasek dan bendesa yang bisa menjalankan
kegiatan di desa tersebut seperti di Kerjaan Gelgel. Karena Jro Mangku Dalem
kesulitan, lalu Jro Mangku Dalem mendatangi Ida I Gusti Ngurah Sidemen pada
tahun 1550 Masehi untuk memohon agar diberikan tokoh adat yang dianggap
29
30
tinggal di Desa Sibetan untuk datang ke Desa Indrawati. Jro Gde Ranggu
Gede Ranggu di Desa Indrawati, Jro Gde Ranggu langsung mendatangi Jro Mangku
Dalem untuk menanyakan perihal tujuan datang ke Desa Indrawati. Kemudian Jro
masyarakat Desa Indawati kebanyakan adalah warga arya yang jarang mau
menyatukan masyarakatnya. Oleh karena itu, Jro Mangku Dalem berharap agar Jro
Gde Ranggu memahami masalah yang dirasakannya tersebut. Jro Gde Ranggu
menyanggupi permintaan Jro Mangku Dalem dengan syarat Jro Mangku Dalem
dapat menyediakan makanan dan tempat tinggal untuk Jro Gde Ranggu.
segera memberi tahu kepada I Gusti Ngurah Sidemen dan kembali ke Sibetan. Saat
kembali ke Desa Indrawati, Jro Gde Ranggu diikuti oleh seorang istri dan 3 orang
anak (I Gede Cenik, I Gede Ukir, dan I Gede Nurani) (Arnaya, 1998:4). Jro Gde
kekurangan tenaga untuk menjalankan permintaan dari Jro Mangku Dalem, Jro Gde
Ranggu mencari bantuan ke Jro Bendesa Selumbung. Pada tahun 1595 Masehi,
dihadirkanlah Jro Gde Lamlam (Jro Pasek) dari Bendesa Pasek Gelgel (keturunan
Kyai Lurah Gelgel) yang juga dibantu oleh Jro Gde Tubuh Surat (keturunan Kyai
Lurah Kubon Tubuh Gelgel) dari Desa Selumbung. Jro Pasek diikuti oleh I Gede
31
Kekeran dan I Gede Bungaya keturunan Ngurah Bungaya dari Selumbung. Itu
sebabnya, Jro Pasek, Jro Made Tubuh Surat, dan Jro Gede Bungaya menjadi satu
dadia yang bernama Dadia Kober yang sekarang sudah berubah menjadi Dadia
Pasek Bendesa.
Agar desa adat bisa menjalankan kegiatannya dengan baik terutama pada
sangkepan tersebut salah satunya adalah terbentuknya Krama Desa Ayah Utama
atau Krama Desa Pingajeng. Krama Desa Pingajeng tersebut berjumlah dua puluh
lima orang. Karena Krama Desa Pingajeng berjumlah dua puluh lima orang,
sehingga disebut sebagi Krama Desa Selae yang sampai saat ini disebut Desa Selae.
Karena beratnya tugas yang dijalankan oleh Krama Desa Selae maka Krama Desa
Selae diberikan tanah bukti dari desa yang masing-masing sudah diukur, seperti
tanah tegalan yang disebut juga sebagai Tanah Ayahan Desa. Hasil panen dari
tegalan tersebut dapat dinikmati oleh Krama Desa Selae yang bersangkutan serta
Menurut Arnaya (1998: 12-13), karena beratnya tugas yang dijalankan oleh
Desa Selae maka Krama Desa Pingajeng diberikan tanah bukti dari desa. Masing-
masing sudah dikur, seperti tanah tegalan yang disebut Tanah Ayahan Desa. Hasil
panen dari tegalan tersebut dapat digunakan untuk kehidupan masyarakat tersebut
serta untuk kegiatan upacara Yadnya di desa tersebut. Mengingat beratnya tugas
yang diemban oleh Krama Desa Selae, maka Krama Desa Selae meminta bantuan
sehingga upacara Yadnya tersebut bisa berjalan dengan lancar. Setelah para remaja
upacara di Pura Khayangan Tiga yang kemudian disebut dengan Tempek. Adapun
jumlah tempek yang terdapat di Desa Indrawati adalah 5 tempek yang terdiri dari
Krama desa pingajeng, Krama tempek pasek, Krama tempek pengejeroan, Krama
Sejak tahun 1775 Masehi, Desa Indrawati berubah nama menjadi Desa
Ulakang. Desa Ulakang berasal dari kata tulakang (kembalikan) sesuai dengan
perjalanan Jro Pasek datang ke Indrawati pada saat itu (Arnaya, 1998: 22). Karena
dikembalikan oleh Ida Dalem Gelgel (Ida Dalem Pemahyung Bekung), Jro Pasek
kembali ke Puri Gelgel mengambil prasasti dan pajenengan yang kemudian akan
kepada seluruh Desa Adat di Karangasem, salah satunya Desa Ulakang yang
menerima hadiah tersebut dan diterima oleh Klian Paumahan yang disebut
perbekel. Pada tahun 1915 Masehi, yang menjadi perbekel di Desa Ulakang adalah
I Nengah Nesa. Perbekel Desa Ulakang tersebut menyatukan empat desa, yaitu
Desa Tanah Ampo, Desa Teluk Padang (Padang Bai), Desa Ulakang, serta Desa
(Ulakang yang disebut dalam Bahasa Belanda Oelakan). Lambat laun, setelah
Desa Adat Ulakan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Manggis, Kabupaten Karangasem yang mememiliki luas wilayah 5,98 km2. Secara
geografis, Desa Adat Ulakan memiliki batas-batas wilayah yang dimana sebelah
utara berbatasan dengan Desa Duda, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera
Indonesia, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanah Ampo dan Desa Yeh Poh,
dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Antiga. Pada tahun 1963, Desa Adat
menggantikan Kota Karangasem yang pada saat itu dihujani debu vulkanik akibat
Gunung Agung yang meletus pada saat itu. Desa Adat Ulakan merupakan desa
dengan daerah dataran rendah dengan memiliki ketinggian 0-500 m.dpl dengan
Keadaan tanah di Desa Adat Ulakan sebagian besar dapat dikatakan kering
perkebunan, seperti dengan ditanami pohon kelapa dan mangga. Selain bekerja di
matapencaharian sebagai nelayan karena Desa Adat Ulakan merupakan desa yang
terletak dekat dengan pesisir pantai. Hal tersebut sesuai dengan keterangan salah
satu tokoh adat Desa Adat Ulakan, yaitu Bapak Made Sudiarta sebagai berikut:
“…. deriki ten wenten carik (disini tidak ada sawah) karena kondisi tanah
disini rata-rata cukup kering. Dulu masyarakat disini sebagian besar bekerja
di kebun, seperti menanam pohon kelapa dan mangga misalnya dan ada juga
yang jadi nelayan yang kemudian ikan hasil tangkapannya kadang langsung
dijual di pasar atau di pinggir jalan…” (wawancara 15 Desember 2020)
di Desa Adat Ulakan yang cukup kering membuat masyarakat Desa Adat Ulakan
lebih memilih untuk mengolah tanah kering menjadi perkebunan. Hasil panen dari
perkebunan tentu bisa dijual ke pasar atau digunakan sebagai bahan untuk membuat
banten, sehingga tidak hanya memiliki nilai jual saja melainkan juga dapat
memiliki nilai spiritual. Kemudian ada juga masyarakat Desa Adat Ulakan yang
bekerja sebagai nelayan mengingat Desa Adat Ulakan cukup dekat dengan pesisir.
Pada saat ini, beberapa masyarakat Desa Adat Ulakan sudah mulai tidak
tertarik lagi bekerja di perkebunan atau sebagai nelayan. Beberapa masyarakat Desa
Adat Ulakan sudah mulai beralih menjadi pedagang dan bahkan ada juga yang pergi
merantau ke kota, seperti ke Kota Denpasar. Tujuan mereka pergi merantau tidak
lain untuk mengadu nasib agar mendapatkan kehidupan dan penghasilan yang lebih
baik lagi dari sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah masyarakat Desa Adat Ulakan
35
tentu akan berkurang karena sebagian sudah pergi merantau ke kota dan bahkan ada
Desa Adat Ulakan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem adalah 2.627 jiwa
yang terdiri dari 4.008 jiwa laki-laki serta 4.073 jiwa perempuan dengan jumlah
Kepala Keluarga (KK) sebanyak 2.145 KK. Berikut data kependudukan Krama
Tabel. 4.1 Data Kependudukan Desa Adat Ulakan Berdasarkan Tempek dan Jenis Kelamin
Pada tabel 4.1 dijelaskan bahwa jumlah masyarakat Desa Adat Ulakan yang
tidak merantau sebanyak 2.672 jiwa yang terdiri dari 1.300 laki-laki dan 1.317
perempuan dengan jumlah Kepala Kelurga (KK) sebanyak 779 KK. Dari 779 KK
tugas dan kewajibannya, terutama jika terdapat upacara di Pura Khayangan Tiga.
Pada saat ngayah proses persiapan sarana dan prasarana menjelang upacara di Pura
Dalam tabel tersebut juga terlihat bahwa jumlah masyarakat yang merantau
jauh lebih banyak ketimbang jumlah masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak
merantau, yaitu sebanyak 1.366 KK dengan jumlah keseluruhan 5.464 jiwa. Hal
tersebut dikarenakan masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau sudah memiliki
keterikatan dengan jam kerja sehingga membuat mereka harus tinggal menetap di
tempat mereka merantau. Berbagai jenis pekerjaan yang ditawarkan di kota, seperti
sektor industri dan pariwisata yang membuat masyarakat Desa Adat Ulakan
Kehidupan masyarakat Desa Adat Ulakan masih cukul kental pada kultur
sosial budaya. Kultur sosial budaya masyarakat Desa Adat Ulakan bersumber pada
konsep Tri Hita Karana yang sampai pada saat ini masih tetap dilestarikan.
Menurut Kebayantini (1998: 40-42) sebagai masyarakat desa adat, kita memiliki
masyarakat sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, yaitu menjaga hubungan
(pawongan), serta hubungan manusia dengan alam (palemahan). Salah satu bentuk
menjaga hubungan manusia dengan Tuhan dapat diwujudkan pada saat upacara
Usaba Dalem.
Upacara Usaba Dalem dilaksanakan setiap satu tahun sekali yang dimana
jatuh pada Tilem Sasih Kadasa. Persiapan menjelang upacara Usaba Dalem sudah
dimulai empat hari sebelum Usaba Dalem yang dimana pada hari itu terdapat
kegiatan yang bernama ngererata atau yang dapat disebut juga dengan gotong
royong. Pada kegiatan ngererata, semua masyarakat Desa Adat Ulakan akan
memasang penjor di lingkungan Pura Dalem dan yang bertugas untuk menghias
balai atau pelinggih di Pura Dalem adalah para remaja yang berasal dari Dadia
Dalem dari pukul 01.00 siang. Berdasarkan pernyataan Bendesa Adat Ulakan yaitu
“…kenapa Dadia Dalem diberikan tugas karena Dadia Dalem karena Dadia
Dalem saja yang diperkenankan dan Dadia Dalem yang meminta izin untuk
ngaskara di Pura Dalem. Oleh karena itu, ada tugas yang diberikan kepada
Dadia Dalem, yaitu upacara Nyahcahin dan menghias pelinggih-pelinggih
serta piasan yang bahan-bahannya disediakan oleh desa dan yang
mengerjakannya adalah dari Dadia Dalem…” (wawamcara 19 Deember
2020)
Pada saat puncak upacara Usaba Dalem, pukul 06.00-09.00 pagi diadakan
kuburan dekat Pura Dalem yang dilaksanakan oleh Krama Desa Pingajeng. Tidak
38
hanya itu saja, Krama Desa Pingajeng juga memiliki tugas untuk mundut Ida
Bhatara dari tempat penyimpanan di Dadia Dalem sampai melinggih Pura Dalem.
Pada saat mundut Ida Bhatara menuju Pura Dalem juga akan diiringi oleh tapakan
Ida Bhatara yang berupa Barong dan Rangda. Untuk krama tempek yang lainnya
sudah sejak pagi berada di Pura Dalem untuk melaksanakan tugasnya masing-
tugasnya masing-masing, seperti ada tempek yang bertugas untuk mapurwe daksina
akan menyiapkan wewalungan (hewan), seperti banteng, bawi (babi), dan ayam
yang nantinya akan digunakan saat upacara Usaba Dalem. Mapurwe daksina
merupakan prosesi mengelilingi dari arah timur ke selatan sesuai dengan arah jarum
jam sebanyak tiga kali. Sebelum mapurwe daksina, banteng, bawi (babi), dan ayam
akan diperantos atau diikat-ikat terlebih dahulu dan kemudian dihaturkan banten
Setelah Ida Bhatara beserta tapakan Ida Bhatara melinggih di Pura Dalem,
Dalem. Pada saat tepat pukul 12.00 siang, krama tempek yang memiliki emponan
atau tugas mapurwe daksina akan mulai mapurwe daksina sebanyak tiga kali secara
bersamaan. Pada saat pelaksanaan mapurwa daksina, para perempuan dari Dadia
belakangnya akan diikuti oleh wewalungan, seperti banteng, bawi (babi), dan ayam.
dipotong lalu dimasak oleh tempek yang bertugas. Setelah selesai dimasak, olahan
sampai sore.
Pada saat pukul enam sore, para pemangku akan mulai memberikan arahan
untuk memulai prosesi pecaruan dan setelah prosesi pecaruan selesai selanjutnya
banten pecarauan tadi akan dibawa untuk diletakkan di depan Pura Dalem.
Sebelum prosesi pecaruan, sebelumnya pada pukul dua atau tiga sore terdapat
upacara nyahcahin yang di empon oleh Dadia Dalem mulai dari persiapan sampai
Dalem, selanjutnya Ida Bhatara yang tadi melinggih di Pura Dalem akan kembali
Desa Ulakan akan mengiringinya dengan membawa obor atau yang diistilahkan
ngemumu untuk menerangi atau menyinari prosesi mundut Ida Bhatara menju
40
tempat penyimpanan yang pada saat itu belum terdapat sumber penerangan dari
listrik. Walaupun saat ini sudah terdapat penerangan dari listrik, proses mundut Ida
Bhatara masih tetap diiringi dengan obor atau tradisi ngemumu karena tradisi
Gambar 4.3 prosesi mundut Ida Bhatara beserta tapakan Ida Bhatara
Setelah Ida Bhatara sudah berada di tempat penyimpanan, mulai malam itu
krama Desa Ulakan akan melaksanakan Nyepi Adat dan diikuti dengan pelaksanaan
Catur Brata Penyepian sampai dengan besok pukul 12.00 siang. Pada saat prosesi
Nyepi Adat berlangsung, lingkungan di Desa Adat Ulakan akan dijaga oleh prajuru
dan Krama Desa Pingajeng. Prajuru dan Krama Desa Pingajeng akan berjaga di
setiap batas desa sampai Nyepi Adat selesai. Pada pelaksanaan Nyepi Adat di tahun
2020 sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang dimana di tahun 2020
(Nusabali, 2020). Pelaksaan Catur Brata Penyepian tetap dilakukan, tetapi terdapat
41
pengecualian untuk malam hari diperbolehkan untuk menyalakan lampu dan jika
terdapat krama Desa Adat Ulakan yang melanggar peraturan Nyepi Adat yang
Ngayah merupakan salah satu tradisi masyarakat Bali yang masih tetap
dilaksanakan hingga saat ini. Masyarakat yang masih memilih untuk tetap tinggal
yang tingal di kota cenderung sulit meluangkan waktu untuk melasanakan ngayah.
Hal tersebut dikarenakan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah adanya
keterikatan dengan jam kerja. Lain halnya dengan masyarakat yang memilih tetap
tinggal di desa asalnya, mereka bisa meluangkan waktu lebih banyak ketika
terdapat ngayah karena tidak memiliki keterikatan dengan jam kerja. Selain karena
Pada saat menjalankan ngayah harus diikuti dengan perasaan yang tulus
Ulakan biasa dilaksakan secara rutin menjelang upacara Usaba Dalem yang
42
bertempat Pura Dalem dan upacara Usaba Puseh atau Usaba Kapat yang bertempat
saja, melainkan dapat juga diadakan jika terdapat kegiatan yang bersifat insidental.
Misalnya seperti terdapat pura yang baru selesai proses perbaikan, maka bendesa
Pada saat proses pelaksanaan ngayah di Desa Adat Ulakan terutama saat
upacara Usaba Dalem dan Usaba Kapat, masing-masing tempek sudah memiliki
memiliki tugas pokok dalam menyambut upacara Usaba Kapat dan Usaba Dalem.
Krama Desa Pingajeng merupakan kelompok masyarakat yang terdiri dari dua
puluh lima rang dan memiliki tugas untuk menjalankan upacara yadnya di Pura
Khayangan Tiga. Krama Desa Pingajeng sudah dibentuk sejak lama yang sampai
saat ini masih tetap ada dan dilanjutkan oleh keturunan dari Krama Desa Pingajeng.
yadnya di Pura Khayang Tiga, Krama Desa Pingajeng dibantu oleh masyarakat
1. Tempek Pengejeroan 1
2. Tempek Pengejeroan 2
3. Tempek Mangku 1
4. Tempek Mangku 2
43
5. Tempek Belong 1
6. Tempek Belong 2
7. Tempek Pasek
segala persiapan menjelang upacara Usaba Dalem dan Usaba Kapat. Berdasarkan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019, disebutkan bahwa banjar
adat merupakan bagian dari desa adat. Dikarenakan banjar adat di Desa Adat
Ulakan kurang memiliki peran dalam proses kegiatan di Desa Adat Ulakan,
bendesa Desa Adat Ulakan memutuskan untuk mendaftarkan tujuh tempek tersebut
menjadi banjar adat. Dengan demikian, setiap terdapat hajatan atau upacara di
Desa Adat Ulakan yang rutin diadakan setiap tahunnya, seperti pada saat upacara
Usaba Dalem dan Usaba Kapat, setiap kepala keluarga dari masing-masing tempek
akan memiliki kewajiban untuk ngayah minimal satu kali untuk perempuan yang
dimana untuk pembagiannya tersebut akan diatur oleh masing-masing klian tempek,
perbedaan dengan pelaksanaan ngayah saat menjelang upacara Usaba Kapat. Pada
upacara Usaba Kapat yang jatuh pada Purnama Sasih Kapat, masyarakat Desa Adat
Ulakan sudah mulai melaksanakan ngayah sejak lebih kurang tujuh hari sebelum
upacara Usaba Puseh. Masing-masing tempek mendapat bagian dua hari untuk
banyak dan tidak memungkinkan untuk datang semua pada hari itu saja. Krama
tempek yang ngayah selama tujuh hari tersebut memiliki tugas untuk mejejaitan
44
dan metanding untuk perempuan, sedangkan yang laki-laki memiliki tugas untuk
membuat taring (atap yang dibuat dari janur muda), membuat lawar, serta
ngererata (gotong royong di sekitar pura). Pada saat menjalankan ngayah di pura,
masyarakat Desa Adat Ulakan berkumpul pada satu tempat sesuai dengan tugasnya
mereka diberikan kebebasan untuk memilih antara ikut mejejaitan atau ikut
seperti keterangan dari Onik Mariani yang merupakan anggota masyarakat Desa
Adat Ulakan yang merantau tetapi ikut dalam tempek sebagai berikut:
(Sumber: https://jurnalpost.com/tantangan-ngayah-individualisme-dan-era-new-normal/15497/)
45
persiapan yang dirasa masih kurang sampai dengan selesai. Berbeda halnya dengan
persiapan upacara menjelang upacara Usaba Dalem di Pura Dalem. Jika untuk
upacara Usaba Kapat proses pembuatan banten dilaksanakan di Pura Puseh, untuk
masing. Setiap Krama Desa Pingajeng dan prajuru desa diberikan tugas untuk
seperti membuat banten pejati, banten suci, dan lain sebagainya yang dibuat oleh
bantennya besar dan pengerjaannya cukup rumit maka akan dikerjakan oleh serati
(orang yang bekerja untuk membuat banten) yang dimana serati tersebut
Pasca Gunung Agung Meletus pada tahun 1963, masyarakat Desa Adat
Ulakan mulai memilih untuk pergi merantau ke kota dan hingga saat ini, hampir
60% sudah masyarakat Desa Adat Ulakan memilih untuk merantau ke kota. Pasca
Gunung Agung Meletus, Desa Adat Ulakan menerima dampak dari letusan Gunung
tersebut yang membuat masyarakat Desa Adat Ulakan memilih untuk merantau
meninggalkan desa asalnya untuk mencari sumber penghidupan yang lebih baik
lagi. Selain karena ingin mendapatkan sumber penghidupan yang lebih baik lagi,
alasan masyarakat Desa Adat Ulakan menjadi perantau karena mengikuti orang tua
mereka yang juga sudah sejak lama menjadi perantau. Masyarakat Desa Adat
46
Ulakan yang sudah merantau sejak lama menjadikan anak dan keterunannya yang
selanjutnya sudah menjadi perantau. Seperti keterangan dari masyarakat Desa Adat
Ulakan yang merantau tetapi masih masuk dalam tempek yaitu Wayan Kariasa:
“… saya sudah merantau di Denpasar sudah dari orang tua. Orang tua saya
asli Karangasem tapi merantaunya ke Denpasar semenjak Gunung Agung
meletus tahun 1963an. Di samping itu juga kan pekerjaan di kampung juga
lapangan pekerjaannya kurang…” (wawancara 5 Desember 2020)
tinggal menetap di kota Denpasar dengan jumlah hampir 60% membuat mereka
diberikan keringanan oleh bendesa Desa Adat Ulakan dengan tidak diwajibkan
untuk mengikuti ngayah karena sudah membayar iuran setiap tahunnya atau yang
merupakan kabar baik bagi anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang pergi
merantau karena mereka tidak perlu bingung lagi ketika ada jadwal ngayah yang
berbenturan dengan jam kerja. Selain itu, mereka yang merantau tersebut
kebanyakan sudah memiliki saudara yang sudah tinggal menetap di Desa Adat
Iuran yang dibayarkan tersebut dapat dikatakan sebagai cara bagi anggota
masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau sedikit lega karena sebelumnya
memikul dua beban sekaligus, yaitu beban pekerjaan dan juga beban ketika tidak
bisa menjalankan kewajiban ngayah. Kondisi inilah yang disebut oleh Simmel
bahwa dengan membayarkan sejumlah uang dapat dikatakan sebagai solusi untuk
membebaskan individu dari kewajiban sosial yang bersifat mengikat. Adanya iuran
47
yang diberlakukan di Desa Adat Ulakan tersebut secara tidak langsung telah
memberikan kebebasan bagi anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau.
bekerja tanpa harus merasakan beban dan tidak enak hati ketka tidak bisa hadir
masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau memiliki keinginan untuk mengikuti
ngayah tetap diperbolehkan dan tidak ada masalah. Selain itu, semisal ada anggota
masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau ingin hadir ngayah mebat
semisalkan, maka setelah selesai mebat akan mendapatkan bagian dari hasil mebat
tersebut, seperti lawar dan sate, seperti keterangan dari Bapak Made Sudiarta
sebagai berikut:
“… seandainya ada kegiatan apa di Puseh (Pura Puseh) atau di Dalem (Pura
Dalem), kalau kita ada berkeinginan untuk ngayah tidak masalah. Bagian
pun kita akan dapat, seperti misalnya dapat ngayah mebat, kan dapat duman
(bagian) itu dapat juga kita, kalau sekarang seperti itu. Kalau dulu itu baru
ketat karena sedikit orang meranta, kalau sekarang di Denpasar dibebaskan,
kalau mau ngayah boleh, dapat bagian, tetap dapat bagian…” (wawancara
15 Desember 2020)
Uang iuran yang dibayarkan tersebut semacam bentuk ikatan batin terhadap
Ida Bhatara di Pura Khayangan Desa Adat Ulakan yang dimana uang tersebut akan
seperti upacara Usaba Dalem serta Usaba Kapat. Dengan kita rutin membayarkan
iuran setiap tahunnya juga termasuk bentuk tanggung jawab dari anggota
masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau terhadap desa asal mereka. Selain
iuran rutin setiap tahunnya, jika terdapat kegiatan perbaikan pura maka seluruh
48
masyarakat Desa Adat Ulakan baik yang merantau dan tidak merantau akan
Desa Adat Ulakan yang tinggal di Denpasar, iuran yang dibayarkan setiap tahunnya
akan dibayarkan melalui klian dadia yang kemudian akan disetorkan kepada desa
Untuk masyarakat Desa Adat Ulakan yang masih masuk dalam tempek baik
yang tidak merantau maupun merantau tetap diwajibkan untuk mengikuti ngayah
sesuai dengan pembagian jadwalnya. Jika terdapat anggota yang tidak hadir dengan
tanpa alasan, maka orang tersebut akan dikenakan sanksi dalam bentuk uang atau
barang atau moral. Tujuan diberikannya sanksi kepada anggota yang tidak dapat
tidak hadir ngayah dengan tanpa alasan yang jelas agar mereka tersebut memiliki
rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya sebagai anggota masyarakat Desa Adat
Ulakan. Selain itu, adanya sansksi tersebut sebagai bentuk ikatan dengan desa adat
kecemburuan sosial pada saat ngayah berlangsung. Adanya mogpog atau dedosan
di Desa Adat Ulakan sudah berlangsung lama sebagai bentuk menjaga ketertiban
dan menjaga tradisi ngayah untuk terus tetap dilakukan. Seiring perkembangan
zaman yang membuat anggota masyarakat Desa Adat Ulakan mulai memilih untuk
merantau sehingga sulit meluangkan waktu ngayah, maka mogpog atau dedosan
inilah yang berubah sebagai pengikat bagi masyarakat Desa Adat Ulakan terutama
Jika tidak terdapat aturan seperti itu, tidak menutup kemungkinan bahwa
anggota masyarakat Desa Adat Ulakan semakin lama akan terus pergi merantau.
Manakala sampai itu terjadi, maka tradisi ngayah di Desa Adat Ulakan lambat laun
akan mulai hilang karena semakin sedikitnya jumlah tenaga untuk melaksanakan
ngayah dengan perasaan senang hati dan tulus ikhlas. Terutama bagi perempuan,
ketika mereka ikut ngayah akan dapat belajar bagaimana cara membuat banten.
Selain itu, adanya sanksi yang diberlakukan jika terdapat anggota masyarakat Desa
Adat Ulakan yang tidak hadir ngayah merupakan hasil keputusan bersama
masyarakat Desa Adat Ulakan pada saat pembentukan awig-awig Desa Adat
Ulakan, hal tersebut sesuai dengan keterangan dari bendesa Desa Adat Ulakan
sebagai berikut:
Bagi masyarakat Desa Adat Ulakan yang melanggar awig-awig Desa Adat
Ulakan akan dikenakan sanksi membayar dengan beras sesuai dengan pelanggaran
yang dilakukan atau juga bisa membayar dengan uang sesuai dengan harga beras
tersebut. Semisal jika terdapat anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak
dapt hadir ngayah dengan tanpa alasan yang jelas akan dikenakan sanksi yang
diistilahkan dengan mogpog atau dedosan membayar dengan beras senilai tiga
50
kilogram atau bisa juga membayar dengan uang sejumlah harga tiga kilogram beras.
Pemberlakuan mogpog atau dedosan tersebut hanya berlaku bagi masyarakat Desa
Adat Ulakan yang tidak pergi merantau dan tinggal menetap di Desa Adat Ulakan
serta masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau dan masih masuk ke dalam
tempek.
Pemberlakuan mogpog atau dedosan yang saat ini terjadi di Desa Adat
Ulakan dapat dijelaskan oleh Simmel bahwa uang mampu mengukur atau
kewajiban sosial bagi masyarakat Bali pada saat ini sudah mulai dapat digantikan
dengan sejumlah uang ketika tidak bisa hadir ngayah. Sama halnya dengan adanya
mogpog atau dedosan yang berlaku bagi anggota masyarakat Desa Adat Ulakan
yang tidak bisa hadir ngayah. Ketika tidak dapat meluangkan waktu untuk ngayah,
maka sebagai gantinya akan dikenakan sanksi mogpog atau dedosan dalam bentuk
uang atau barang. Tetapi, tidak jarang mereka yang dikenakan mogpog atau
Mogpog atau dedosan tersebut berlaku untuk sekali tidak hadir ngayah,
sehingga jika semisal tiga kali tidak hadir ngayah maka mogpog tersebut akan
dikalikan tiga serta nantinya mogpog tersebut akan dibayarkan pada saat sangkepan
yang rutin diadakan sebulan sekali pada saat anggara kasih. Pada saat sangkepan
tempek yang tidak hadir ngayah tanpa ada alasan yang jelas serta ditambah dengan
tidak membawa papeson. Sebelumnya, pada saat terdapat jadwal ngayah maka
kesepakatan bahwa jika nanti biaya upacara untuk banten kurang dari desa, maka
Pada saat anggota masyarakat yang hadir ngayah akan mendapatkan tugas
papeson biasanya hanya dibawa oleh yang laki-laki saja, seperti jika terdapat jadwal
yang diperlukan untuk mebat, seperti ada yang membawa kelapa, daun, dan danyuh
(daun kelapa yang sudah kering) yang dimana pembagiannya tersebut akan diatur
mejejaitan dan metanding sudah disiapkan langsung dari desa. Jika terdapat
anggota masyarakat yang berhalangan hadir ngayah dengan alasan sakit atau alasan
masing. Dengan begitu, anggota masyarakat yang tidak bisa hadir ngayah akan
tidak dikenakan mogpog karena sudah menitipkan papesonnya dan sudah meminta
izin tidak hadir ngayah dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, hal
tersebut sesuai dengan keterangan dari salah satu masyarakat Desa Adat Ulakan
“… kalau papesonnya itu wajib, tapi kalau ngayah tidak sempat cukup
menyerahkan papesonnya manten (papesonnya saja). Pembagian tugasnya
itu tetap diberikan…” (wawancara 19 Desember 2020)
52
memiliki saudara yang tinggal menetap di Desa Adat Ulakan serta sudah masuk ke
dalam tempek. Jika dalam satu keluarga yang tinggal di Desa Adat Ulakan memiliki
empat anak laki-laki, saat sudah dewasa nanti minimal satu orang dari keempat laki-
laki tersebut harus tetap tinggal di Desa Adat Ulakan dan tiga saudara yang lainnya
dan ikut masuk ke dalam tempek. Dengan demikian, anggota masyarakat yang
tinggal menetap di Desa Adat Ulakan yang akan bertanggung jawab untuk
mengikuti ngayah, sangkep¸ dan yang lain sebagainya karena mereka sudah
membayarkan iuran rutin Rp 50.000 tersebut. Jika anggota masyarakat ada yang
tidak bisa hadir ngayah atau sangkepan, maka yang menanggung mogpog atau
Tuhan Yang Maha Esa sehingga dengan kita melaksankan ngayah maka kita tentu
akan mendapatkan pahala. Pada saat anggota masyarakat Desa Adat Ulakan
anggota lainnya yang tidak hadir ngayah. Karena pada dasarnya mereka
melaksanakan ngayah dengan hati tulus ikhlas tanpa harapan imbalan atau tujuan
lainnya. Mereka yang tidak merantau secara ikhlas mengorbankan tenaga dan
mereka akan mendapatkan kepuasan batin tersendiri, seperti dapat belajar membuat
banten serta dapat untuk mengakrabkan diri dengan cara bercanda tawa antar
53
sesama anggota masyarakat Desa Adat Ulakan. Hal tersebut karena pada dasarnya
manusia merupakan makhluk sosial yang hidup saling membutuhkan satu sama
lain. Menurut Aristoteles (dalam Dewi, 2017: 5) manusia merupakan zoon politicon
yang berarti manusia merupakan makhluk yang pada dasarnya selalu ingin berbaur
dengan masyarakat yang lainya, sehingga manusia disebut sebagai makhluk sosial.
kewajiban untuk mogpog atau dedosan jika terdapat saudaranya yang tinggal
menetap di desa tidak hadir ngayah atau sangkepan karena mereka sudah
membayar iuran Rp 50.000 tersebut rutin setiap tahunnya. Namun, hal tersebut
tidak berlaku jika terdapat anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang ikut dalam
tempek tetapi tinggal di Denpasar, maka jika tidak bisa hadir ngayah atau
sangkepan akan tetap dikenakan mogpog atau dedosan. Kegiatan ngayah di Desa
Adat Ulakan dapat dikatakan cukup fleksibel dan tidak mengikat bagi anggota
masyarakat yang merantau. Hal tersebut dikarenakan pada saat upacara di Desa
Adat Ulakan, seperti Upacara Usaba Dalem dan Usaba Kapat untuk persiapannya
itu hanya dilaksanakan ngayah yang melibatkan masyarakat Desa Adat Ulakan
yang tinggal menetap di desa dan masuk ke dalam tempek. Lain halnya jika terdapat
upacara besar di Desa Adat Ulakan yang memerlukan waktu untuk ngayah hampir
sebulan, seluruh masyarakat Desa Adat Ulakan baik yang tinggal di Desa Adat
Ulakan maupun yang tinggal di Denpasar akan diwajikan untuk mengikuti ngayah.
Hal tersebut berdasarkan keterangan dari anggota masyarakat Desa Adat Ulakan
yang sudah lama merantau dan tidak masuk dalam tempek yaitu Wayan Sudiana
sebagai berikut:
54
Di era saat ini, kota memiliki daya tariknya tersendiri untuk menarik minat
masyarakat desa untuk tinggal di kota. Jamaludin (2017: 181) menjelaskan bahwa
perpindahan penduduk dari desa ke kota dipengaruhi oleh faktor lain selain daya
Tarik kota, seperti adanya kemiskinan serta minimnya jumlah lapangan kerja di
desa sehingga membuat desa tidak mampu lagi memberikan sumber penghidupan
untuk penduduknya. Begitu juga dengan masyarakat di Desa Adat Ulakan yang
dimana mereka ingin mendapatkan sumber penghidupan yang lebih baik dan lebih
menjanjikan dengan cara mencari pekerjaan di kota. Di saat mereka yang merantau
sudah memiliki pekerjaan tetap, secara tidak langsung akan membuat mereka untuk
memilih tinggal menetap di kota. Selain karena agar dekat dengan tempat kerja
mereka di kota, adanya keterikatan dengan jam kerja yang membuat mereka harus
tinggal menetap di kota serta harus pandai dalam mengatur waktu mereka.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh individu tentu memiliki motif dan
tujuan tertentu, begitu juga dengan tujuan anggota masyarakat Desa Adat Ulakan
pergi merantau ke kota. Tindakan sosial adalah tindakan individu yang yang
memiliki makna serta berdampak terhadap individu lain. Weber (dalam Radjab,
2014: 18) membedakan tindakan sosial individu menjadi empat jenis, yaitu
Adat Ulakan yang memilih untuk pergi merantau ke kota didasari oleh tindakan
rasionalitas afektif. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika anggota masyarakat Desa
Adat Ulakan memilih untuk pergi merantau dikarenakan mereka memiliki rasa
tidak puas dengan apa yang sudah mereka miliki saat ini serta ingin mendapatkan
kehidupan yang lebih baik lagi dan lebih menjanjikan. Oleh karena itu, tindakan
yang harus dilakukan untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih
tinggal di kota merupakan sebuah tantangan yang akan dihadapi kota. Menurut Tjuk
yang dihadapi kota saat meningkatnya jumlah masyarakat desa yang pindah tinggal
1. Golongan masyarakat desa yang baru pindah ke kota masih harus perlu belajar
yaitu di kota yang dimana jika di kota akan selalu memerlukan uang lebih
2. Lapangan kerja yang diciptakan sendiri oleh masyarakat desa yang baru
tinggal di kota, seperti menjadi kurir, tukang lem amplop, dan tukang jok yang
3. Keterikatan batin pada kota tempat tinggal masih lemah, bahkan tidak ada.
Selain itu, tanggung jawab pada lingkungan tempat tinggalnya pun masih
cukup kurang. Seperti contoh banyaknya ada kebakaran di Jakarta yang salah
56
lingkungannya.
Di saat masyarakat desa yang merantau ke kota tidak dibekali oleh kemampuann
soft skill dan hard skill dari desa asal mereka agar sesampainya nanti di kota bisa
kedua kemampuan tersebut untuk bisa bersaing dengan dunia kerja di perkotaan.
Tidak bisa hanya dengan bermodalkan berani saja untu bisa pergi ke kota karena
pengangguran, kriminalitas, dan masih banyak lagi. Selain itu, dengan memilih
pergi merantau ke kota merupakan salah satu cara bagi masyarak desa terutama
masyarakat Desa Adat Ulakan untuk melepaskan diri dari keterikatan ngayah.
lebih menjanjikan baik dari segi materi dan non materi. Bagi masyrakat desa, salah
satu cara agar bisa mendapatkan sumber penghidupan yang lebih baik lagi yaitu
dengan memilih pergi merantau. Marta (2014) menjelaskan bahwa merantau dapat
menempati tempat tinggal yang baru. Di tempat tingal yang baru, mereka akan
perantau. Pada saat mereka memilih pergi merantau, maka mereka akan mulai
57
meninggalkan kewajiban serta tanggung jawab mereka ketika mereka masih tinggal
Hal serupa juga dialami oleh anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang
memilih pergi merantau ke kota. Selama tinggal di kota dan sudah memiliki
pekerjaan yang tetap membuat mereka akan sulit meluangkan waktunya untuk
mereka yang sudah memiliki mata pencaharian tetap, secara tidak langsung
pekerjaan mereka yang di kota akan bersifat mengikat. Lain halnya dengan
masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak merantau, mereka dapat meluangkan
waktu lebih banyak untuk melaksanakan ngayah karena mata pencaharian mereka
bersifat fleksibel atau mudah di atur sendiri. Mereka yang dikenakan mogpog atau
dedosan tentu akan merasakan beban atau tidak enak hati ketika tidak dapat
masyarakat Desa Adat Ulakan yang sudah lama merantau dan masih masuk dalam
“…sebenarnya berat hati sekali ya karena dengan acara mogpog itu jadi rasa
kekeluargaan, rasa memiliki tu (itu) berkurang gitu (begitu). Lebih baik
sepertinya kalo (kalau) kita ngayah. Kalo (kalau) ngayah kita tu (itu) lebih
awal tahu proses-proses dari pelaksanaan upacara itu. Kalo (kalau) misalnya
terus mogpog kita bayar pake uang, jadi rasa memiliki, rasa persaudraan antar
krama itu tipis gitu (begitu), tidak erat…” (wawancara 5 Desember 2020)
Pemikiran Simmel yang mengatakan bahwa uang dapat sebagai solusi untuk
selamanya berlaku bagi anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau.
58
Tidak selamanya disaat kewajiban sosial ngayah ketika dapat digantikan dengan
uang akan mampu memberikan rasa lega dan kebebasan bagi mereka yang
merantau. Hal tersebut terlihat dari beban moral yang dirasakan oleh Wayan
Kariasa merupakan salah satu bentuk rasa kurang lega dan merasa bebas saat sudah
menggantikan ngayah dengan uang. Jika hal tersebut terus dirasakan ketika tidak
bisa hadir ngayah yang kemudian dikenakan mogpog atau dedosan, tentu nantinya
misalnya kurang fokus saat bekerja karena beban moral yang dirasakan ketika tidak
bisa hadir ngayah, maka tidak menutup kemungkinan jika nantinya Wayan Kariasa
menjaga serta melestarikan kebudayaan dan tradisi yang ada di Bali karena ngayah
ngayah sudah dilaksanakan sejak dahulu secara turun-temurun sampai dengan saat
ini. Pada dasarnya, tujuan utama dari dilaksanakan ngayah ini adalah sebagai
bentuk wujud bhakti dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang sudah
ngayah yang berbenturan dengan dengan jam kerja yang membuat tidak bisa hadir
ketidakhadiran tersebut. Mogpog atau dedosan tersebut hanya berlaku bagi anggota
masyarakat Desa Adat Ulakan baik yang tidak merantau maupun yang merantau
masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak hadir ngayah tentunya akan membawa
59
pengaruh sosial, baik bagi masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak merantau
maupun yang juga merantau. Wang dan Chou (dalam Haryono, 2015: 4)
seorang individu melakukan suatu tindakan yang secara tidak langusng juga
mengenai individu lain. Begitu juga bagi anggota masyarakat Desa Adat Ulakan
yang tergabung dalam tempek memilih pergi merantau. Jika mereka sulit membagi
waktu antara pekerjaan dan ngayah secara terus menerus tentu akan memberikan
Bagi anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau dan masih masuk
ke dalam tempek karena tidak memiliki saudara yang tinggal menetap di Desa Adat
Ulakan, adanya mogpog atau dedosan dapat dikatakan sebagai kabar baik bagi
ketika tidak bisa hadir ngayah. Secara umum, dengan diberlakukannya sanksi
mogpog atau dedosan bagi mereka yang tidak bisa hadir ngayah tidaklah dijadikan
permasalahan besar bagi anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak
merantau. Sebagian besar dari mereka masih memberikan toleransi bagi mereka
yang merantau karena tujuan mereka merantau adalah untuk mengubah nasib
mereka menjadi lebih baik lagi, hal tersebut seperti keterangan Wayan Susila
Dharma yang merupakan perantau yang masih masuk ke dalam tempek sebagai
berikut:
60
Mereka yang merantau tetapi masih masuk dalam tempek akan dikenakan
mogpog atau dedosan karena mereka selain tidak bisa hadir ngayah, mereka juga
tidak menitipkan papeson untuk ngayah. Lain halnya jika mereka tidak bisa hadir
klian tempek atau krama tempek yang lainnya, maka mereka tidak akan dikenakan
mogpog atau dedosan. Anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau,
ketika memang terdapat jadwal ngayah dan pada saat itu juga tidak ada jadwal
kerja, mereka akan senang hati akan hadir untuk ngayah. Waktu yang dihabiskan
untuk ngayah dalam satu hari hanya menghabiskan lebih kurang lima sampai enam
jam, lain halnya jika terdapat upacara besar maka bisa menghabiskan waktu lebih
banyak lagi untuk ngayah. Walaupun demikian, jika ngayah dilaksanakan dengan
perasaan senang dan ikhlas maka waktu yang dianggap lama akan terasa cepat,
seperti keterangan dari Wayan Sudana yang merupakan anggota masyarakat Desa
“…bisa gak (tidak) bisa cuma kerjaannya kan sebentar, kecuali karya pas
puncak karya wawu (baru) full nike (itu). Nike (itu) lancar aja ten wenten
(tidak ada) masalah karna rage (saya) di desa nak (mau) ngayah nike (itu)
suatu asane (rasanya) kebanggaan. Ngidaang rage ngayah ring desa (bisa
saya ngayah di desa). Ten wenten istilahne (tidak ada istilahnya) kayak
(seperti) tekanan…” (wawancara 15 Desember 2020)
mereka bisa meluangkan waktu untuk ngayah di tengah kesibukan mereka, mereka
61
akan merasakan kebanggaan pada diri sendiri serta juga mendapatkan kepuasan
batin. Oleh karena itu, mereka jarang ada yang mempermasalahkan mereka yang
jarang mengikuti ngayah. Selain itu juga, mereka yang selalu meluangkan waktu
untuk ngayah adalah sebagai bentuk wujud bhakti dan syukur dengan apa yang
sudah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum masuknya era modernisasi,
angota masyarakat Desa Adat Ulakan selalu memprioritaskan untuk hadir ngayah
mengingat pekerjaan yang mereka jalani dapat dikatakan bersifat fleksibel. Hal
menjaga kelestarian tradisi ngayah yang sudah ada sejak lama dan juga diturunkan
kekeluargaan, saling tolong menolong, dan juga interaksi sosial antar sesama
Pada saat ini di era moderanisasi, mereka yang memilih pergi merantau
secara perlahan mulai jarang bisa untuk hadir ngayah karena terikat dengan jam
kerja di tempat mereka merantau. Sulitnya meluangkan waktu untuk hadir ngayah
membuat interaksi antar sesama masyarakat Desa Adat Ulakan semakin berkurang.
Terlebih dengan adanya mogpog atau dedosan yang diberikan kepada mereka jika
tidak bisa hadir ngayah tanpa ada alasan yang jelas. Mogpog atau dedosan yang
semula dianggap sebagai denda atau sanksi kini sudah dianggap sebagai
kompensasi bagi mereka ketika tidak bisa hadir ngayah. Terlebih bagi mereka yang
secara finansial sudah dikatakan cukup mampu, maka mereka tidak akan
Anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau serta jarang hadir
ngayah, sebelum mereka pergi merantau tentu selalu meluangkan waktu untuk
sesama anggota masyarakat Desa Adat Ulakan. Rasa keakraban tersebut muncul
mereka sudah mulai merantau serta memilih tinggal menetap di kota, mereka akan
mulai jarang dan sulit meluangkan waktu untuk ngayah. Fenomena inilah yang
disebut oleh Simmel bahwa ketika uang mampu mengkonversi segala sesuatu akan
impersonal. Dengan demikian, secara tidak langsung rasa keakraban yang dulu
sudah ada perlahan mulai berkurang karena interaksi sosial yang dulu mereka
lakukan sudah mulai jarang dilakukan karena jarang hadir ngayah. Ketika mereka
yang merantau memiliki waktu luang untuk mengikuti ngayah, saat hadir ngayah
mereka akan merasa canggung, merasa terpojokan, dan lain sebagainya karena
jarang hadir ngayah, seperti keterangan dari Wayan Kariasa sebagai berikut:
“…sangat terasa sekali (terasa terpojokkan), apalagi dalam setahun itu kita
gak (tidak) pernah ngikutin (mengikuti) acara ngayah di desa, kita merasa
tidak bisa mengambil suatu pekerjaan yang memang sudah seharusnya
dikerjakan dalam proses ngayah itu. Jadi terkadang orang-orang pada sibuk
ngayah, kita masih bingung apa yang harus saya kerjakan karena dalam
ngayah itu kan sudah ada bagian-bagiannya. Pada bagian kita, kita gak
(tidak) bisa mengerjakan proses pekerjaan itu, jadi ya terjadilah seperti
dikucilkan…” (wawancara 5 Desember 2020)
jarang ngayah dan ketika mereka memiliki waktu luang untuk hadir ngayah, maka
pada saat mereka datang ngayah ke pura akan merasakan malu karena sadar diri
63
jika jarang hadir ngayah. Selain itu, rasa malu atau terpojokkan akan dirasakan juga
pada saat mereka mengerjakan bagian mereka tetapi mereka tidak bisa. Pada
kepada mereka yang jarang hadir ngayah karena merantau. Tidak jarang dari
mereka tetap bersikap ramah dan tetap mau berbaur saat ngayah dengan orang-
orang yang jarang hadir ngayah karena mereka pun bisa mengerti jika tujuan
mereka merantau adalah untuk mendapatkan sumber penghidupan yang lebih baik
lagi, hal tersebut juga dirasakan oleh Onik Mariani dalam keterangan sebagai
berikut:
“…untuk tempek kelompok itu sendiri sebetulnya welcome aja sih, warga
disana tidak terlalu memikirkan karena mereka juga tahu kalo (kalau) kita
merantau ke Denpasar..” (wawancara 17 desember 2020)
menjadi semakin bersifat impersonal tidak sepenuhnya selalu seperti itu. Hal
tesebut hanya dirasakan oleh mereka yang jarang hadir ngayah dan lebih memilih
untuk dikenakan mogpog atau dedosan karena setelah mereka jarang ngayah dan
melakukan interaksi, mereka pun akan merasa sungkan untuk meminta bantuan atau
hal yang lainnya. Sedangkan anggota masyarakat yang tidak merantau jarang ada
yang pernah merasakan kesal, iri, dan lain sebagainya kepada mereka yang jarang
hadir ngayah. Tidak jarang juga dari mereka justru tetap menerima mereka yang
merantau apa adanya dan tidak pernah mempermasalahkan mereka yang jarang
hadir ngayah.
64
Ketika kita memilih untuk merantau, kita juga harus pandai mengatur
keuangan kita karena jika nanti ketika terdapat jadwal ngayah tapi kita ada jadwal
kerja, maka kita akan dikenakan mogpog atau dedosan yang dibayarkan dalam
bentuk uang. Terdapat anggota yang merasa sedikit lega dan ada juga yang merasa
tidak enak hati ketika harus dikenakan mogpog atau dedosan ketika tidak bisa hadir
ngayah. Kondisi yang dirasakan tersebut dinilai oleh Simmel sebagai efek atau
dampak dari adanya berbagai bentuk pembayaran dengan uang yang dimana efek
atau dampak tersebut tentunya berbeda-beda yang dirasakan pada setiap individu
Hal tersebut kembali kepada perasaan individu masing-masing karena saat kita
memilih ngayah atau tidak ngayah adalah urusan kita dengan Tuhan Yang Maha
Esa.
Seperti halnya yang dirasakan oleh Wayan Suarta yang merupakan anggota
masyarakat Desa Ulakan yang sudah hampir tiga belas tahun tidak bisa mengikuti
ngayah yang dikarenakan bekerja di luar Bali dan memiliki keterikatan kerja. Saat
ini, beliau sudah pensiun dan sudah kembali lagi tingal di Bali. Selama beliau
tinggal di luar Bali, ketika terdapat kegiatan ngayah, maka beliau lebih sering
dikenakan mogpog atau dedosan karena tidak bisa hadir ngayah. Saat Wayan Suarta
sudah kembali tinggal di Bali, jika terdapat kegiatan ngayah maka beliau akan
Desa Adat Ulakan pun masih cukup baik dan mereka bisa saling mengerti bahwa
alasan Wayan Suarta lama tidak pernah hadir ngayah karena bekerja di luar Bali
dan memiliki keterikatan kerja. Selain itu, Wayan Suarta pun jarang merasakan
65
tidak enak hati ataupun dikucilkan dengan anggota masyarakat Desa Adat ulakan
“…tergantung perasaan kita sih, kalau saya sih biasa saja. Malah diterima
ini karena ya namanya keluarga kan…” (wawancara 12 Desember 2020)
Desa Adat Ulakan merupakan sesuatu yang cukup baik untuk terus dipertahankan.
Rasa tolernasi antara anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak merantau
dengan yang merantau masih terus ada hingga sampai saat ini. Dengan demikian,
tak jarang akan membuat mereka yang merantau menjadi sedikit lebih tenang
karena keberadaan mereka yang jarang hadir ngayah masih mau diterima dengan
baik. Tindakan toleransi yang dilakukan anggota masyarakat Desa Adat Ulakan
kepada anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau dapat digolongkan
oleh Weber ke dalam bentuk tindakan rasionalitas tradisional. Hal tersebut sesuai
dengan ajaran Tat Twam Asi, yaitu ajaran moral dari Agama Hindu yang dimana
identik dengan perikemanusiaan dalam Pancasila (Budiadnya, 2018). Tat Twam Asi
mengajarkan bahwa “aku adalah kamu, kamu adalah aku, dan semua makhluk
hidup sama saja”. Ajaran tersebut sudah ada sejak lama yang kemudian masih terus
diturunkan dan dilakukan hingga saat ini. Tindakan toleransi yang dilakukan oleh
anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau terhadap anggota masyarakat
yang merantau merupakan salah satu bentuk pengamalan dari ajaran Tat Twam Asi.
Walaupun rasa toleransi antara anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang
tidak merantau dengan yang merantau dapat dikatakan masih terjalin dengan baik,
66
tidak jarang juga terdapat anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak
merantau merasakan adanya kesenjangan. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh
Oakes (dalam Ritzer, 2011: 179) bahwa dengan meningkatnya pembagian kerja
yang dirasakan seperti sulitnya mencari pekerjaan di kota yang disebabkan karena
mereka yang merantau tidak membekali diri dengan soft skill atau hard skill
sehingga membuat mereka merasa kalah saing dalam dunia kerja di perkotaan.
Pada saat ini, hampir semua masyarakat desa mulai belajar meningktakan
soft skill maaupun hard skill mereka. Tujuannya adalah sebagai bekal mereka nanti
untuk bersaing dalam dunia kerja di perkotaan. Di Desa Adat Ulakan, jumlah
masyarakatnya perlahan mulai terus bertambah untuk pergi ke kota. Hal tersebut
sehingga beberapa anggota masyarakat mulai memilih untuk pergi merantau. Jika
hal tersebut terus terjadi, maka tenaga ngayah untuk persiapan upacara di desa,
seperti upacara Usaba Dalem dan Usaba Kapat akan semakin sedikit. Jika semakin
sedikit, maka waktu dan tenaga yang diperlukan untuk ngayah mempersiapkan
upacara tersebut akan semakin banyak. Oleh karena itu, anggota masyarakat Desa
Adat Ulakan jika ingin pergi merantau, diusahakan agar terdapat satu KK yang
masih tinggal menetap di Desa Adat Ulakan, hal tersebut sesuai keterangan dari
“…setiap punya keluarga, paling tidak satu KK sudah dia harus tinggal di
desa. Misalnya dia bersaudara bertiga, minimal satu, dia harus tinggal. Gak
(tidak) boleh semua ketiga-tiganya niki (ini) merantau…” (wawancara 18
Desember 2020)
67
diberlakukannya seperti itu akan mampu menjaga kelestarian tradisi ngayah yang
sudah ada sejak lama. Ketika dalam satu keluarga hanya memiliki satu anak laki-
laki, jika ingin pergi merantau akan dipersilahkan dan disaat sudah merantau akan
tetap diwajibkan untuk mengikuti ngayah. Apabila jika terdapat jadwal ngayah
tidak bisa hadir ngayah, maka nantinya akan dikenakan mogpog atau dedosan.
dengan mogpog atau dedosan, bagi masyarakat luar Bali yang sudah lama tinggal
di Bali dinilai cukup efektif, seperti keterangan dari Suratin yang merupakan
anggota masyarakat Bali yang sudah lama tinggal menetap di Bali sebagai berikut:
“…ya efektif sih, kan biar ada rasa tanggung jawabnya. Karena ada
kesibukan, jadinya diganti (ngayah dengan uang)…” (wawancara 18
Desember 2020)
Dari kutipan wawancara tersebut dapat dijelaskan bahwa walaupun mogpog atau
dedosan dinilai cukup efektif bagi masyarakat luar Bali, jika hal tersebut terus
dilakukan juga akan berdampak pada lingkungan sosial di tempat asal mereka
karena tujuan pokok dari adanya mogpog atau dedosan itu adalah sebagai bentuk
ikatan atau tanggung jawab seseorang ketika tidak bisa mengikuti ngayah di tempat
asal mereka.
BAB V
5.1 Kesimpulan
proses kompensasi ngayah atau yang diistilahkan dengan mogpog atau dedosan
sudah ada sejak lama. Zaman dulu, anggota masyarakat dapat membayarkan
mogpog atau dedosan dalam bentuk barang, seperti beras. Karena anggota
masyarakat Desa Adat Ulakan mulai memilih merantau, maka proses pembayaran
mogpog atau dedosan sudah mulai beralih dengan cara membayarkan sejumlah
uang karena dianggap lebih efektif dan efisien. Diberlakukannya mogpog atau
dedosan sebagai bentuk tanggung jawab serta sebagai bentuk ikatan batin terhadap
Ida Bhatara di Pura Khayangan Tiga Desa Adat Ulakan yang dimana uang tersebut
Pemikiran Simmel yang mengatakan bahwa uang dapat sebagai solusi untuk
selamanya berlaku bagi anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau.
Tidak selamanya disaat kewajiban sosial ngayah ketika dapat digantikan dengan
uang akan mampu memberikan rasa lega dan kebebasan bagi mereka yang
68
69
bagi semua masyarakat Desa Adat Ulakan. Adanya mogpog atau dedosan hanya
demikian, anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak merantau tetap
menerima baik mereka yang jarang hadir ngayah karena muatan kultural seperti
toleransi, saling mengerti, dan kekeluargaan masih ada hingga saat ini pada
5.2 Saran
sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat Desa Adat Ulakan, wajib untuk bisa patuh mengikuti
2. Bagi masyarakat Desa Adat Ulakan yang merantau, jika memiliki waktu
diterima baik oleh anggota masyarakat yang lainya. Hal tersebut mengingat
70
3. Bagi masyarakat Bali maupun luar Bali, ada baiknya kita sebagai generasi
penerus untuk bisa terus menjaga dan melesetarikan tradisi yang sudah ada
sejak lama agar tidak hilang. Dengan demikian, generasi selanjutnya akan
Buku;
Arnaya, I Wy Satra. 1998. Babad Pengawit Desa Adat Ulakan. Karangasem: Desa
Adat Ulakan
Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Jamaludin, Adon Nasrullah. 2017. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat
Kota dan Problematikanya. Bandung: Pustaka Setia
Media, Tim. Tanpa Tahun. Kamus Lengkap Bahsa Indonesia
Ritzer, George. 2011. Sociological Theory. New York: McGraw-Hill
Rukin. 2019. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Takalar: Yayasan Ahmar Cendekia
Indonesia.
Semiawan, Cory R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan
Keunggulan. Jakarta: Grasindo.
Sena, I Gusti Made Widya. 2017. Implementasi Konsep “Ngayah” dalam
Meningkatkan Toleransi Kehidupan Umat Beragama di Bali. Denpasar:
IHDN Press
Simmel, Georg. 2004. The Philosophy of Money. London: Routledge
Sutinah & Bagong Suyanto. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: Berbagai
Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Suyatno, Bagong & Sutinah. 2005. Metode Penelitian Kualitatif: Berbagai
Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Jurnal;
Atmadja, Nengah Bawa & Tuty Maryati. 2014. Geria Pusat Industri Banten Ngaben
di Bali Perspektif Sosiologi Komodifikasi Agama. Kawistara, Vol. IV (2)
Dewi, Made Ayu R., Anantawikrama Tungga A., & Nyoma Trisna H. 2017.
Analisis Kontribusi Naub Terhadap Besarnya Biaya Upacara Pada
Beberapa Pura Di Lingkungan Desa Pakraman Tabola, Kecamatan
Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. e-Journal S1 AK
Universitas Pendidikan Ganesha, Vol. VIII (2)
Haryono, Steven., Ritzky Karina., & Brahmana. 2015. Pengaruh Shopping
Orientation, Social Influence, dan System Terhadap Costumer Attitude
Melalui Perceived Ease of Use (Studi pada Apple Store). Jurnal Manajemen
Pemasaran Petra, Vol. III (1: (1-10))
Mahendra, Putu Ronny A. 2018. Civiv Culture Ngayah Dalam Pembelajaran PPKn.
Jurnal PPKn. Vol. 6 (1: 1241-1251)
Marta, Suci. 2014. Konstruksi Makna Budaya Merantau di Kalangan Mahasiswa
Perantau. Jurnal Kajian Komunikasi, Vol. II (1: (27-38))
Noviasi, Ni Kadek P., Grace J. Waleleng., & Johny R. Tampi. 2015. Fungsi Banjar
Adat dalam Kehidupan Masyarakat Etnis Bali di Desa Werdhi Agung,
71
72
Internet;
73
DAFTAR INFORMAN
Informan Kunci
Umur : 68 tahun
Umur : 58 tahun
Umur : 44 tahun
Umur : 63 tahun
74
75
Umur : 38 tahun
Umur : 36 tahun
Informan Utama
Umur : 64 tahun
Umur : 69 tahun
Umur : 55 tahun
Umur : 50 tahun
Umur : 70 tahun
Umur : 37 tahun
Informan Pelengkap
Umur : 65 tahun
Umur : 37 tahun
PEDOMAN WAWANCARA
Pertanyaan Penelitian
I. Informan Kunci
a. Tokoh Adat
1. Apa itu ngayah?
2. Sudah berapa lama bapak menjadi tokoh adat?
3. Bagaimana sistem ngayah di Desa Adat Ulakan?
4. Selama setahun, ngayah itu dilakukan berapa kali?
5. Pada umumnya, ngayah dilakukan pada saat menjelang upacara apa saja?
6. Apakah ada sanksi atau kompensasi jika terdapat masyarakat Desa Adat
Ulakan tidak dapat mengikuti ngayah?
7. Apakah ada kebijakan yang diberlakukan bagi masyarakat yang tidak
dapat mengikuti ngayah karena mereka merantau, seperti mengganti
kehadiran ngayah dengan sejumlah uang?
8. Sejak mulai kapan kebijakan tersebut diberlakukan?
9. Bagaimana tanggapan masyarakat dengan diberlakukannya kebijakan
tersebut?
10. Apakah masyarakat yang merantau tetap memenuhi kewajiban sosialnya
untuk meluangkan waktu untuk ngayah?
11. Bagaimana tanggapan bapak mengenai anggota masyarakat Desa Adat
Ulakan yang jarang mengikuti ngayah karena merantau?
77
78
LAMPIRAN 3
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1.
Wawancara dengan Bendesa Adat Ulakan (I Ketut Arsana)
Gambar 2.
Wawancara dengan salah satu Tokoh Adat Desa Adat Ulakan (Made Sudiarta)
81
Gambar 3.
Wawancara dengan salah satu anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang
merantau (Wayan Susila)
Gambar 4.
Wawancara dengan salah satu anggota masyarakat Desa Adat Ulakan yang tidak
merantau (Nengah Sumerta)
82
Gambar 7.
Pura Puseh Desa Adat Ulakan
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.