Anda di halaman 1dari 29

TUGAS RESUME

MATA KULIAH KEPEMIMPINAN HINDU

DOSEN : Dr. I Wayan Sujana, S.Ag.,M.Ag

NAMA : Ni Putu Siska Meiyanti

NIM : 1813081046

KELAS : INDUSTRI PERJALANAN PAGI B

SEMESTER : 6

JURUSAN PARIWISATA BUDAYA

UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA DENPASAR

202I
Keterangan:

Judul buku : Kepemimpinan Hindu Dalam Lontar Wrati Sasana

Penulis : I Ketut Subagiasta

Penerbit : Paramita Surabaya

Tahun terbit : 2010

Halaman : 1-76

Resumer : Ni Putu Siska Meiyanti

Tgl. Resume : 20 Maret – 1 Mei 2021

BAB I

PENDAHULUAN

Sumber-sumber naskah klasik banyak ada di daerah Bali. Sebagian besar naskah
tradsional yang da di Bali isi kandungannya berbahsa sansekertha, berbahasa Jawa Kuna, dan
berbahasa Bali. Begitu juga dari isi ajaran yang kandungnya sebagian besar memeliki nilai
ajaran Hindu. Mengingat naskah kalsik yang ada di Bali masih banyak yang belum diteliti
maka upaya kea rah menggali dan meneliti naskah tersebut adalah Sebagian upaya yang
sangat positif.

Dalam kondisi dinamika masyarakat Bali yang semakin pesat, apalagi pengaruh
global yang semakin merajarela, aka upaya untuk mendalami isi naskah tradisional yang ada
di Bali, merupakan kebutuhan mendesak. Banyak naskah klasik atau tradisional yang ada
Bali sampai saat saat ini belum banyak disentuh oleh para peneliti, para intelektual, para
ilmuwan, dan para ahli yang peduli terhadap keberadaan nskah tersebut, mengingat peluang
dan sumber pembiayaan yang masih terbatas. Untuk iti upaya meneliti naskah klasik Hindu
yang ada di Bali dan di Lombok adalah hal yang sangat positif, oleh karena di Bali banyak
tersimpan naskah klasik di Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, di Museum Bali, di Gedong
Kirtya Bali Singaraja, dan masih banyak lagi.
Menanamkan ajaran kepemimpinan Hindu sesuai sumber suci ajaran agama Hindu
kepada para generasi muda (Sekaa teruna-teruni) atau kelompok pemuda-pemudi bangsa
Indonesia, para pemimpin dalam bidang kependidikan, seperti kepda kepala sekolah, wakil
kepala sekolah, para pengawas ataupun komponen kependidikan yang lainnya dalam bidang
Pendidikan dari berbagai jenjang adalah upaya positif dan terpuji guna untuk meningkatkan
pemahaman dan praktek kepemimpinan Hindu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Generasi muda Hindu merupakan kader penerus bangsa dan para kepala sekolah, wakil
kepala sekolah, dan para pengawas adalah para pemimpin yang handal di bidang
kependidikan yang secara teori dan praktek masih perlu dibekali materi dan pemahaman
kepemimpinan Hindu sejak dini dan berkesinambungan tnpa pernah mandek.

Kemudian dalam realitanya di lapangan, terutama dalam penerapan pola


kepemimpinan Hindu dalam dunia Pendidikan, apkah telah mengacu pada sumber susastra
agama Hindu yang ada Atau apakah ada keterlibatan yang Nampak oleh para para pemimpin
Hindu, khususnya para pendidik yang berbekalkan ajaran agama Hindu dapat berimplikasi
pada kesuksesan pendidika formal. Harapannya adalah dapat memberikan manfaat positif
dari adanya kategori para pemimpin Hindu sehiggaa dapat memberikan kontribusi terhadap
keberhasilan Pendidikan agama Hindu dan mengenai hakikat Pendidikan pada umumnya
dalam Pendidikan formal. Juga bagaimana para pemimpin Hindu dalam mengantisipasi
dilemma Pendidikan dan sosial dewasa ini da bagaimana strategi yng ditempuh dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menemukan kesuksesan pelaksanaan
Pendidikan dalam Pendidikan informal, formal, dan nonformal.

Itulah yang menjadi alasan, mengapa penelitian tentang Lontar Wrati Sasana yang
berisikan tentang ajaran kepemimpinan Hindu diteliti. Jadi selain belum ada yang mengkaji
dan menelitinya, maka Lontar Wrati Sasana sangat sarat dengan nilai-nilai agama Hindu.,
terutama mengenai ajaran kepemimpinan Hindu yang harus disebarrluaskan melalui
Pendidikan formal di Bali maupun di Indonesia pada umumnya.

Dengan ditelitinya Lontar Wrati Sasana maka umat Hindu dapat memahami,
mengerti, mengetahui isi ajaran agama Hindu yang terkandung dalam lontar tersebut,
utamanya mengenai ajaran kepemimpinan Hindu. Terkait dengan manfaat dari pada kajian
ini, maka ada dua manfaat yangdiperoleh yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua
manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini, sudah tentu peneliti ingin mewujudkan
harapan mulia, agarumat Hindu pada khususnya menjadi semakin memahami dan dapat
menerapkan ajaran agama Hindu dengan bik dan benar berdasarkan sumber Pustaka yang
jelas dan pasti dari hasil kajian.

Naskah atau Lontar Wrati Sasana adalah sebuah teks yang berbahasa Sansekertha
dengan terjemahannya ke dalam Bahasa Jawa Kuna. Inti ajarannya adalah mengeai etika bagi
pemimpin dan masyarakat. Terutama sekali yang terkait dengan kepemimpinan dalam
berguru yakni guru sebagai pemimpin dan siswa sebagai yang dipimpin. Dalam landasan
konsep ini, maka ada beberapa istilah yang perlu penjelasan atau arti. Istilah yang
dimaksudkan adalah kepemimpinan Hindu, Lontar, dan Wratisasana. Dengan penjelasan
beberapa istilah yang terkait dengan judul penelitian ini, maka diperoleh pemahaman yang
komprehensif mengenai kepemimpinan Hindu dalam Lontar Wrati Sasana.

Dari beberapa pengertin istilah yang telah dijelaskan di depan, maka dpat ditegaskan
mkna dari judul penelitian ini yaitu berisikan nsihat atau tuntutan kerohanian mengenai cara
memimpin sesuai ajara agama Hindu yang bersumber dari Pustaka suci Weda pada umumnya
dan yang bersumber dari Lontar Wrati Sasana pada khususnya. Dengan dipahami makna
pokok dari hal yang dibahas di dalam penelitian ini maka diharapkan adanya pemahaman
yang komprehensif terhadap hasil penelitian, yang nantiny disumbangkan kepada pihak lain ,
terutama kepada para pembaca dan penentu kebijakan dalam pemetintahan.

Dalam kajian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data. Adapun metode
yang dimaksudkan adalah metode observasi , metode wawancara, dan metode kepustakaan.
Analisa data merupakan upaya untuk mengolah data yang telah digali di lapangan. Analisis
data dilakukan secara uraian demi uraian dengan data kualitatif yang diperoleh di lokasi
kajian. Dalam hal ini, Analisa datanya dilakukan secara deskriptif kualitaif dan analisis
filologi. Maksud dari Analisa ini adalah untuk melakukan uraian-uraian secara mendalam
yang didukung dengan dta primer dan data sekunder, sehingga dalam analisanya diperoleh
hasil penelitian yang berkualitas dan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Jadi Analisa deskriptif kualitatif dan filologi, merupakan Analisa data yang
sangat tuntas berdasarkan data pokok dan data penunjang, sehingga dapat ditemukan solusi
dari permasalahan yang dimunculkan.
BAB II

GAMBARAN UMUM LONTAR WRATI SASANA

2.1 Proses Menulis Lontar Wrati Sasana

Seni menulis lontar bagi masyarakat Bali merupakan hal yang sama terjadi secara
turum-temurun. Para intelektual, para pujangga, para wiku, para sulinggih, para pandita, para
pedanda, dan para penekun lontar di Bali, dan lain-lainnya, bahea tradisi menulis lontar
merupakan kegiatan mulia dan kegiatan untuk melestarikan susastra Hindu. Sejak dahulu kala
para pujangga Hindu di Bali sampai pada jaman modern ini masih tetap melakukan tradisi
menulis lontar. Materialnya adalah terbuat dari daun lontar, yang kalua masyarakat Bali
disebut dengan don ental. Daun lontar yang sudah agak tua dipilih yang memiliki lebar yang
memadi antara 3 cm-3,5 cm dan panjangnya antara 30 cm-50 cm dapat dipakai menulis
Lontar.

Proses pemakaian daun lontar untuk digunakan enulis lotar dengan proses yang cukup
lama.daun Lontar yang dipetik dipohonnya dipilih yang memiliki ukuran yang memenuhi
syarat untuk menulis lontar. Setelah pemilihan dengan seksama dilakukan maka daun lontar
itu dipotong sesuai dengan ukurannya, lalu direbus dengan air hangat alam waktu yang cukup
lma. Tujuan merebus adalah untk membuat daun lontar menjadi awet, tahan lama, dan tidak
tidak cepat rusak. Beberapa potongan daun lontar setelah selesai direbus lalu dikerigkan
dengan dijemur di sinar matahari sampai cuku kering. Setelah betul-betul kering lalu
dibuatkan garis-garis menggunakan sepat dari benang dengan tinta dari buah kemiri yang
telah dibakar, jadi kemiri yang telah berwarna hitam itu lalu digesekkan pada benang yang
digunakan sebagai sepat atau penggaris pada daun lontar yag telah kering.

Setelah garis-garis pada daun lontar kelihatan, maka dipilih hari yang baik yang
disebut dengan subhadewasa, untuk mengawali menulis lontar sesuai dengan teks yang telah
disiapkan. Tulisan demi tulisan telah di goreskan pada daun lontar denga memakai pemutik
atau mutik yang ujungnya tajam, lalu tulisan pada daun lontar diberi warna hitam dengan
menggunakan kemiri yang telah dibakar sampai hitam. Pada bagian tulisan itu dioleskan
kemiri bakar, lalu tulisan itu dibersihkan kembali dengan alat pembersih yang halus dari kain
agar tulisan tidak rusak. Setelah tulisan dibersihkan secara pelan-pelan, maka lontar sudah
siap dibaca. Namun sebelum dibaca secara utuh, agar lontar itu menjadi aman tersimpan dan
agar tidak cepat keropos, lalu lalu dibuatkan keropaknya terbuat dari kayu cendana atau kayu
lainnya yang kuat da tahan lama. Lontar yang sudah rapi tertulis lalu dimasukkan ke dalam
keropak untuk disimpan di tempat khusus di Bale Piasan di Sanggah Pemerajan, atau Pura
Pedharman yang diawali dengan upacara pemasupati unruk memohon kehadapan Dewi
saraswati, agar lontar menjadi memiliki kekuatan spiritual yang disebut Taksu.

Berdasakan beberapa informasi yang diperoleh dari para informan, bahwa daun lontar
kalau di Bali dapat diperoleh di daerah Bali Timur, terutama di wilayah Kabupaten
Karangasem yaitu banyak petani menanam pohon ental atau lontar dan juga ada di daerah
Kabupaten Buleleng bagian Timur.

2.2 Panjang Lontar Wrati Sasana

Panjang Lontar Wrati Sasana ketiga-tiganya adalah 40 cm. Dia Lontar yang berasal
dari Griya Prabhu, Den Kayu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung dan satu lontar yang
berasal dari Kubontubuh, Lombok, NTB dengan panjang lontar yang sama. Namun dari
ketiga lontar tersebut hanya lebarnya yang berbeda.

2.3 Lebar Lontar Wrati Sasana

Lebar Lontar Wrati Sasana yng berasal dari Geriya Prabhu Den Kayu Mengwi
Badung yang jumlah halamannya 100 lembar lebarnya 3 cm. Sedangkan yang satu dengan
jumlah halamannya 34 lembar, lebar lontar 3,5 cm. begitu juga lontar yang berasal dari
Kubontubuh, Lombok, NTB yang berjumlah 32 lembar, lebar lontar adalah 3,5 cm. Demikian
mengenai lebar lontar yang diperoleh dari para informan.

2.4 Penulis Lontar Wrati Sasana

Lontar Wrati Sasana yang berasal dari Geriya Prabhu, Den Kayu, Kecamatan
Mengwi, Kabupaten Badung ditulis oleh Ida Bagus Mudha pada tahun 1907. Sedangkan
Lontar Wrati Sasana berasal dari Kubontubuh, Lombok, NTB tidak diketahui siapa
penulisnya, karena dalam lontar tersebut tidak tersurat nama penulisnya. Dalam Lontar Wrati
Sasana itu hanya tersurat tahun penulisannya adalah Babon tahun Saka 1802.

2.5 Isi ringkas Lontar Wrati Sasana

Penelitian Lontar yang terkait dengan kepemimpinan dalam agama Hindu, telah
dilikukan di dua daerah propinsi di Indonesia yaitu Bali dan Nisa Tenggara Barat. Selama
penelitian d kedua daerah ersebut, ada dijumpai beberapa kendala, terutama pelaksanaan
penelitaian di NTB yakni: 1) terbatasnya koleksi lontar yang diwilayah di wilayah NTB
sebagaimana lokasi yang telah disebutkan diatas; 2) koleksi lontar yang dilakukan oleh
perseorangan atau pribadi juga belum ditemukan data dan informasi yang akurat; 3) setelah
dicoba dilakukan penggalian data di beberapa lokasi pertokoan buku, seperti : di Mall
Mataram, di toko buku Airlangga Mataram, serta di toko-toko buku yang lainnya, juga sama
bahwa sumber data berupa buku pendukung yang terakit dengan kepemimpinan Hindu tidak
ada ditemukan. Sebagai solusinya adalah data-data tentang kepemimpnan Hindu dalam
lontar, terutama dalam lontar Warti Sasana secar intensif dilakukan penelitian di Bali
sebagaimana lokai tersebut di atas, maka data yang digali pada akhirnya ditemukan secara
memadai. Data lontar dan beberapa buku penunjang terakit dengan kepemimpinan Hindu
telah dapat dikoleksi, yang selanjutnya untuk dilakukan analisa data sesuai teksnya.

Lontar Wrati Sasana yang ada di Bali juga ada sebelunya terjemahkan ke dalam
Bahasa ingris yang diedit oleh pakar asing dari India yakni Dr. Mrs.Sharada Rani,
M.A.,D.Litt.ett.Phil. selan itu bahwa Lontar Wrati Sasana dalam perkembangan terakhir ini
juga sudah diterjemahkan pula ke dalam Bahasa Indonesia oleh ‘Tim Pengembagan Bahan
Pustaka Budaya Bali’ dimana Bapak Drs. I Nyoman Dunia, Ida Bagus Putra Pudharta,
S.Ag.,Drs.I Gusti Ketut Dalem, Drs.I Wayan Sukayasa, S.S., dan Drs.I Nyoman Ratmaja.
Lontar Wrati Sasana inilah yang peneliti data penelitian untuk selanjutnya diverivikasi,
diklasifikasi, dan dianalisa mengenai ajaran kepemimpinan yang diajaran kepemimpinan
yang diajarkan di dalam lontar tersebut.

Dilihat secara teks bahwa Lontar Wrati Sasana merupakan teks yang multi Bahasa,
oleh karena teks aslinya memakai bahsa Sansekertha yang terjemahan awalnya memakai
Bahasa Jawa Kuna atau Bahasa kawi, yang yang kemudian oleh tim penerjemah di Bali
kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Teks Lontar Wrati Sasaa terdiri atas 37
sloka dan kalua dicermati secara seksama bahwa isinya sangat pas untuk dipakai oleh para
pemimpin Hindu pada khususnya, oleh karena semua ajarannya berisikan tuntuna moralitas
sebagai pemimpin. Tidak saja bagi pemimpin, tetapi juga bagi umat Hindu pada umumnya,
sangat penting untuk memahami dan menerapkan ajaran yang dikandung dalam Lontar Wrati
Sasana.

Apa isi pokok dari Lontar Wrati Sasana ? sebelum dipaparkan mengenai isi pokok
dari Lontar Wrati Sasana. Maka ada baiknya dijelaskan mengenai makna kepemimpinan yang
dikandung dalam Lontar Wrati Sasana yang mengandung ajaran tenang moralitas bagi para
wiku. Wiku sebagai sumber spiritual, sebagai intelektual kerohanian, sebagai penutur atau
pemberi wejanngan. Namun demikian ada juga yang disebutkan dengan istilah Bhagawanta,
Purahita, Dang Acarya, Pandita, Bagawan. Sesuai makna katanya Wrti memiliki makna
Wrata dan Brata yang berarti janji. Juga dapat diartikan pantangan atau larangan. Jadi Lontar
Wrati Sasana mengandung makna peraturan-peraturan suci dan mulia tentang janji,
pantangan, larangan yang wajib yang ditaati oleh para pemimpin umat Hindu, tatkala
menunaikan swdharma atau kewajibannya untuk menunutun umatnya menuju kelepasan
yang sempurna secara lahir dan batin.

Kemudian isi pokok Lontar Wrati Sasana adalah berisiskan tentang ajaran
pengendalian diri secara internal yang dinamai Panca Yama Brata dan ajaran pengendalian
diri secara eksternal yang disebut Panca Niyama Brata, Dasa Niyama Brata.

1. Ahimsa yang artinya dilarang membunuh.


2. Brahmacarya yang aartinya masa menuntut ilmu pengetahuan. Bagi para
pemimpin Hindu belajar adalah hal yang utama dalam hidupnya.
3. Satya yang artinya jujur, benar, setia. Menjadi seorang pemimpin Hindu wajib
menjungjung tinggi kejujuran, kebenaran, kebijaksanaan, dan kesetiaan.
4. Awyawaharika yang artinya tidak bertengkar. Menjadi seorang pemimpin
tidak boleh bertengkar karena itu merupakan hal yang tidak terpuji. Jangan
sampai ada masalah kecil khirnya mengakibatkan pertengkaran. Dalam hal ini
bahwa pemimpin harus tampil dengan tenang, sabar, damai, dan
menyenangkan bagi semua orang.
5. Astainaya artinya tidak mencuri. Menjadi seorang pemimpin ini yang penting
juga dipahami dan diterapkan untuk mewujudkan kesehajahteraan
masyarakatnya.

Kemudian ajaran kepemimpinan berikutnya adalah Panca Niyama Brata yang pembagiaanya
sebagai berikut :

a. Akrodha artinya tidak disusupi marah. Jadi inti pemimpin sedapat mungkin harus
mengendalikan diri supaya tidak marah, apalagi ada dihadapan public serta dalam
kondisi sedang memberikan pembinaa terhadap rohani kepada umatnya.
b. Gurususrusa artinya hormat pada guru. Makna dari ajaran ini adalah pemimpin
diharapkan selalu berbakti kepada gurunya.
c. Sauca artinya suc lahir dan batin. Ajaran sauca ini mengingatkan para pemimin Hindu
untuk selalu dalam kondisi diri yang suci, bersih, tenang, nyaman, damai. Dan
terhindar dari berbagai pikiran, perkataan, dan perkataan serta perbuatan yang cemar
atau asucih yang lazim juga dinamai kasmala yaitu perilaku kotor, perilaku jorok,
perilaku acak-acakan, dan sebagainya.
d. Aharalaghawa artinya tidak memakan sembarang makanan. Hal ini sangat diekankan
dalam Lontar Wrati Sasana. Mengingat sebagai pemimpin kerohanian dalam Hindu
bahwa makanan itu juga menentukan sebuah keberhasilan pemimpin untuk membina
umatnya. Sedapat mungkin pemimpin harus dapat menahan diri untuk makan
makanan yag dilarang.
e. Apramanda artinya tidak lalai. Maksudnya bahwa pemimpin kerohanian dan
pemimpin umat Hindu semestinya sadar dan selalu ingat dengan Sasananya atau
kewajibannya. Hal ini sangat peting diperhatikan demi kemuliaan profesinya sebagai
pemimpin dibidang keagamaan Hindu.

Dengan menyimak isi pokok dari ajaran kepemimpinan dalam Lontar Wrati Sasana seperti
dipaparkan diatas maka seharusnya pemimpin Hindu untuk memahami dan menerapkan
dengan sebaik-baiknya mengenai ajaran kepemimpinan guna dapat melenyapkan segala
derita, sengsara, duk, cemar, kebodohan, petaka, mala, papa, dosa, kekurangan, keterbatasan,
serta hal negative lainnya yang dimiliki oleh masyarakat yang dipimpinnya. Bilamana
seorang pemimpin tidak mampu melaksanakan hal ini sebaiknya pemimpin itu urung saja
melakukan tugasnya, oleh karena tidak sanggup dan tidak memenuhi syarat sebagai
pemimpin serta kepercayaan yang telah diberikan oleh umatnya sangat disia-siakan begitu
saja. Hal ini sangat tegas diajarkan di Lontar Wrati Sasana pada bagian akhir.

Keutamaan dari memahami dan menerapkan ajaran dalam Lontar Wrati Sasana
adalah dapat ditemukannya alam Siwapada. Hal ini maksunya bahwa pemimpin yang taat
mengikuti ajaran dalam Lontar Wrati Sasana dapat mencapai kemulian yang tertinggi, serta
dapat melaksanakan tugas dengan sukses. Dapat mencapai kewibawaannya, mencapai
kebahagiaan lahir dan bati, menjadi pemimpin yang Susila. Jadi isi ringkas Lontar Wrati
Sasana adalah perihal sila sasananing Wiku aturan-aturan kewajiban para Wiku yang harus
dilaksanakan dengan baik. Akhir kalimat Lontar Wrati Sasana berbunyi “ Apan antukning
mudhalpa sstar wastu kapajongana de sang suddhyamaca samapta, ring
ngwe.,Ra.,Pa.,Dunggulan tithi tang,ping,2,Asuji,Rah,7 teng.,0,Isaka yusaning,loka 1907”.
BAB III

ANALISIS KEPEMIMPINAN HINDU DALAM LONTAR WRATI SASANA

3.1 Tipe Kepemimpinan

Bila diperhatikan tipe kepemimpinan yang terdapat dalam Lontar Wrati Sasana maka
dengan jelas bisa dikategorikan ke dalam bentuk kepemimpinan yang religius. Dalam
penjelasan awal pada Lontar Wrati Sasana telah dikemukakan, bahwa Wiku sebagai
pemimpin Hindu yang taat daam memberikan pembinaan kepada para warga Hindu guna
terwujudnya tujuan hidup secara duniawi dan tujuan hidup yang tertinggi secara abstrak atau
niskala.

Dalam sloka pertama Lontar Wrati Sasana ada dinyatakan berikut ini.

Avighnam astu, Om namah Sivaya

Pranamya bhaskaram devam

Bhuktu mukti varapradam

Sarvaloka hitarthaya pravaksye pratisanam

Bhatara Siwditya sira sinembah ni nghulun, sira dewa sakala, mangunugraha bhukti
mwang mukti, bhukti, nga. Abhyudaya, mukti nga. Kanihsreyasan, apa ta don I
nghulun sumembah si sire, pratisasanam pravaksye, hulun humajaraken sasana sang
wiku, sarvalokahitarthaya, makadon sukha ning loka, ndya ta nihan

Semoga tiada rintangan. Om hormat kepada bhatara Siva Pranamya bhaskaram devam
bhukti mukti varapradam srvaloka hitarthaya pravaksye pratisanam. Bhatara
Siwaditya beliau yang hamba sembah. Beliau adalah dewa yang nyata menganugrahkan
bhukti dan mukti, yang disebut bhukti adalah kebahagiaan duniawi, mukti adalah
kebahahagian tertinggi. Apa tujuan hamb menyembah beliau ? Pratisasanam
pravaksye, hamba menguraikan sasana saing wiku, sarvalokahitarthaya, dengan
tujuan kebahagian masyarakat, manakah itu ? Inilah (Tim Penyusun, 2006:5).

Bilamana direnungkan secara lebih mendalam, bahwa tipe kepemimpinan religious


yang ditanamkan daam sumber Lontar Wrati Sasana dapat dimaknai dari sebagaimana sang
wiku yang telah mampu untuk menjadi dalam aktivitas keagamaan melalui sembahyang,
pemujaan dan berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini beliau digelari
sebagai Sang Hyang Siwaditya/ Bhatara Siwaditya. Namun ada satu hal yang sangat penting
dicermati disini bahwa isi dari Lontar Wrati Sasana masih tergolog terbatas diketahui oleh
umat Hindu secara kebanyakan terlebih lagi mengenai makna dan nilai-nilai kepemimpinan
Hindu. Jdi dapat ditegaskan disini bahwa tipe kepemimpinan yang dianut dalam Lontar Wrati
Sasana adalah tipe kepemimpinan religious. Alasannya karena yang dinamai Wiku itu adalah
seorang pemimpin agama Hindu secara mental, spiritual, dan kerohanian.

3.2 Etika Kepemimpinan

Berbicara tentang etika kepemimpinan Hindu, tentu hal ni yang sangat banyak
ditemuai dalam Lontar Wrati Sasana. Sebagian besar dari suber ini ada diuraikan mengenai
etika Hindu terkait dengan etika Hindu yang sesungguhnya sangat penting sebagai tuntunan,
padoman, acuan dan panutan dalam bertingkah laku bukan untuk kalangan pemimpin saja,
tetapi juga untuk segenap umat Hindu. Tentang etika Hindu yng banyak diungkapkan dalam
Lontar Wrati Sasana yang sekaligus sebagai etika kepemimpinan, maka berikut ini dapat
disimak kutipannya.

3.2.1 Yama Brata sebagai Etika Kepemimpinan Hindu

Dalam lsloka kedua, ada dijelaskan mengenai ajaran etika yang dinamai Yama Brata.
Ajaran etika ini mnjadi bagian yang penting bagi pemimpin dalam pandangan agama Hindu.
Termasuk juga dalam Lontar Wrati Sasana dengn ditegaskan bahwa wiku wajib
mempadomani dan memegang teguh etika Yama Brata tersebut.

Yamamsca niyamaamcewa yada raksennu pnditah,


Tesam sangraksitenaiva buddihirasya na calyate.

Sang pandita sira,rinaksa nira ikang yama brata, mwang kang


Niyamabrata, apan yan karaksa yama niyama brata, tan cala
Buddhinira, ndya tang yamabrata. Yamamsca niyamamscewa
Yada raksennu panditah, tesam sangraksitenaiva buddhirasya na calyate

Sang pandita, yamabrata dan niyamabrata yang beliau pegang, sebab bila yama dan
niyama telah dapat dipegan, pikiran beliau tidak akan goyah, Manakah yama brata
itu? (ibid,5)
Dalam kutipan didepan telah jelas diungkpkan bahwa etika pemimpi yang bernama
yama brata merupakan hal yang wajib menjadi pegangan bagi seorang pandita, yang
tujuannya agar tidak goyah dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Pemipi
yang stabil dalam perkataan, pikiran dan perilaku untuk bertindak sangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Pemimpin yang tetap pada pendirian merupakan identitas pemimpin yang baik
da mulia bagi masyarakat. Bagaimana rinciannya berikut jumlah bagiannya ada 5 yaitu
sebagai berikut :

Ahimsa brahmacaryanca atyamavyavaharikam


astainyam iti pancaite yama rudrena bhasitah

Ahingsa ngaraning tan pamati-mati, brahmacaryya ngaraning tan keneng stri


sangkan rare, mwang sang kumawruhi mantra kabrahmacaryan, satya ngaraning
tuhu mojar, awyawaharika ngaraning tan tan pawyawahara, astainya ngaraning tan
chidra ring drewya ning len, ika tan kalmia, yama brata ngaranya, ling bhatara
rudra.

Ahingsa artinya tidak melakukan pembunuhan, brahmacarya rtinya pernah


menyentuh perempuan sejak kecil dan memahami mantra kabrahmacaryan, satya
artiny berkata jujur, awyawaharika artinya tidak bertengkar, astainya artnya tidak
berniat jahat kepada milik orang lain, yang lima itu yama brata Namanya, sabda
bhatara Rudra (ibid,6)

Etika kepemimpinan yang dinamai yama brata sebagaimana dijelaskan dalam kutipan
di depan, intinya ada lima bagian etika kepemimpinan sebagai upaya control diri atau self
control bagi pemimpin. Berhasil tidaknya melakukan tugas mulia bagi pemimpin maka upaya
pengendalian diri secara internal adalah bagian yan sangat penting untuk diterapkan ole para
pemimpin. Jadi etika yama brata merupakan etika kepemimpinan Hindu sebagai upaya
control diri, yang bagiannya jika dirinci seperti :

1. Ahimsa artinya tidak melakukan pembunuhan


2. Brahmacarya artinya tidak pernah menyentuh perempuan sejak kecil dan
memahami mantar kabrahmacaryan
3. Satya artinya berkata jujur
4. Awyawaharika artinya tidak bertengkar
5. Astainya artinya tidak berniat jahat kepada milik orang lain atau tidak
mencuri milik orang lain.

Sebagaimana dipaparkan, bahwa pemimpin hindu memiliki kewajiban mulia untuk


menjalankan kelima jenis etika kepemimpinan yang dinamai panca yam brata. Betapa
kacaunya situasi masyarakat yang dipimpin kalua pemimpinnya melakukan penyiksaan,
menyakiti, berlaku sadis, bertindak kejam, terlebih lagi membunuh. Begitu pula bahwa
pemimpin itu wajib menekuni dan menimba ilmu pengetahuan (brahmacarya) guna
memotivasi rakyat yang dipimpinnya memetovasi rakyatnya agar gemar beajar. Kemudian
dalam bertindak agar berlaku jujur, benar dan tulus (satya), menjauhi perilaku tidak jujur dan
tidak benar, pemimpin juga selalu membangkitkan rasa kasih saying dengan menjauhi
perumusuhan dan pertegkaran. Kemudian satu hal yang penting adalah agar pemimpin tidak
mencuri barang orang lain (astainya atau asteya). Bila yang terjadi bahwa pemimpn yang
mencuri maka hal itu justru membuat warga atau masyarakat seolah-olah diajari berbuat onar
dan curang. Hal yang demikian tentu sudah melanggar etika dalam kepemimpinan.

3.2.2 Niyama Brata sebagai Etika Kepemimpinan Hindu

Sama halnya dengan etika yang dijelaskan diats, bahwa yama brata sebagai etika
kepemimpinan hindu. Dala bagian beriktnya ini juga dijelaskan dalam Lontar Wrati Sasana
mengenai Niyama Brata sebagai etika kepemimpinan Hindu. Dalam kajian berikut ini dapat
disimak bagaimana makna mengenai niyama brata sebagai etika kepemimpinan Hindu?
Selengkapnya tentang niyama brata ada dijelaskan dalam sloka empat berikut ini :

Akrodho gurususrusa saucam aharalaghavam


Apramadasca pancaite niyamah parikirtitah

Akrodha ngaraning tan kataman srengen, gurususrusa ngarning lot umulahaken


siddha ning swakaryya ning guru, guru bhakti klinganya ring mangkana,
makanimitta hyuniran rumengwaken sarinahasyaning warah-warah sang guru, suca
ngaraning nityasah macamana suryya sewana ngarccana ri bhatara, aharalaghawa
ngaraning tan paleh paleh, an angabhyasa ri sang hyang kabhujanggan, ika ta
kalmia niyamabrata nga, ling bhatara Siwa
Akrodha artiny tidak disusupi rasa marah, Gurususrusa artinya tak henti-hentinya
mengusahakan selesainya tugas-tugas terhadap guru, yang demikian itu sesungguhnya
adalah guru bhakti yaitu bhakti kepada guru, agar supay ia bersedia menyampaikan
ajaran-ajaran yang dirahasiakannya, Sauca artinya selalu menyucikan diri, memuja
surya, menyembah Bhatara, Aharalaghawa artinya tidak makan sembaragan
makanan, Aprmada artinya ogah-ogahan mengulang-ngulang mempelajari ajaran
kabhujanggan itulah niyama brata yang lima banyaknya, sabda Bhatara Siwa ( ibid, 6-
7).

Bilamana dirinci secara sistematis lagi, bahwa etika kepemimpinan yang dinamai niyama
brata yakni :

1. Akrodha artinya tidak disusupi marah


2. Gurususrusa artinya tak henti-hentinya mengusahakan selesainya tugas-tugas
terhdap guru atau selalu hormat kepada guru tau guru bhakti yaitu bhakti dan
patuh pada ajaran guru yang memiliki banyak ajaran yang dirahasiakannya
3. Sauca artinya selalu menyucikan diri, memuja surya, menyembah bhatara
4. Aharalaghawa artinya tidak makan sembarang makanan
5. Apramanda artinya ogah-ogahan mengulang-ngulang mempelajari kabhujanggan
atau ajaran kepanditaan sebagai syarata utama menjadi pemimpin sejati.

Idealnya bahwa pemimpin Hindu pada umumnya, wajib menerapkan ajaran etika
kepemimpinan niyama brata. Alasannya bahwa pemimpin itu agar dapat mengendalikan
dirinya dengan seksama. Paling tidak ada lima hal yang penting dikedepankan sesuai nilai
niyama brata diatas. Pertama bahwa pemimpi perlu menjauhi sifat pemarah. Kedua pemimpin
wajib berbakti pada gurunya atau yng lebih senior, karena yang lebih senior merupakan
pemimpin yang lebih berpengalaman lebih berwawasan baik dalam hal pengetahuan umum
maupun pengetahuan kerohanian. Ketiga pemimpin wajib berlaku bersih lahir dan batin
(sauca), pemimpin wajib mengutamakan keiklasan secara jasmani dan rohani, sehingga
pengabdian pemimpin tidak menjadi beban yang berat bagi warganya. Keempat, pemipin
wajib hidup sederhana, hidup hemat, tampil dengan tidak berfoya-foya dan mengutamakan
kondisi yang stabil tanpa menonjolkan kemewahan (aharalaghawa). Kelima, menjad
pemimpin diwajibkan tidak lalai, ceroboh, menganggap enteng tugas-tugasnya.jika pemimpin
tidak lalai (apramada) berarti pemimpin itu menuju kesuksesan dalam menunaikan
kewajibannya dan pelayanannya pada warga.

3.2.3 Pemimpin Tidak Boleh Lalai

Bilamana pemimpin lalai, maka keadaan masyarakat menjadi tidak terkontrol, tidak
terkendali dan tidak kondusif. Ada 6 hal yang tergolong tidak lalai (apramada) bgi pemimpin
sesuai Lontar Wrati Sasana. Berikut ini dapat disimak kutipannya
Siwarccana, adhayaya, adhypaka,
Swadhayaya, brata, dhyana, yoga

Siwarccana nga, sang weruh ring dipana pranawa tepet ring kapujan
bhatara. Adhyaya nga. Sng mangaji sarwawsastra. Adhyapaka nga. Sang
mamarahi ring sisyaniran mangaji sarwawasastra. Swdhayaya nga. Sang
muccaraken slih niran mangaj sarwawasastra sangkeng guru. Brata nga.
Lumekasa brata nirahadi. Dhyana nga. Sang umangon angen bhatara, sang
suksma dewa kahidep inarccana. Yoga nga. Prana samadhi, mwang wruha t
sire ri sang hyang upadesa, margga ning umaangguhaken ng kalepasan don
ika inulahaken, ya ta matangnyan lawakna tekap sang wiku.

Siwarrcana, adhyaya, adhyapaka, swadhayaya brata, dhyana, yana, yoga.


Siwarccana artinya orang tahu pranawa yang terang yang tidak menyimpang
dalam pemujaan terhadap bhatara. Adhayaya artinya orang yang mempelajari
bermacam-macam pengetahuan, Swadhayaya artiny merafalkan bermacam-
macam pengetahun yang didapatinya dari seorang guru, Brata artinya
melaksanakan brata berpuasa dan sejenisnya. Dhyana artinya orang yang
membayangkan bhatara itu dewa yang gaib dalam pikiran untuk dipuja, dan
Yoga artinya pengatur prana melaksanakan samadhi dan paham akan tuntunan
suci sebagai jalan untuk menemukan kelepasan tujuannya, itulah sebabnya hal
itu dilakukan oleh Sang Wiku ( ibid, 27).

Menyimak penjelasan dari 6 hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang pemimpin
sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat dirinci ke-6 hal yang tidak boleh dilalaikan oleh
pemimpin diantaranya :

1. Siwarccana artinya orang tahu pranawa, yang terang, yang tidak


menyimpang dalam pemujaan terhadap bhatara
2. Adhyaya artinya orang yang mempelajari bermacam-macam
pengetahuan, termasuk juga pengetahuan keduniaawian (wijnana) dan
pengetahuan kerohanian (jnana).
3. Adhyapaka artinya orang yang mengajar muridnya mempelajari
berbagai pengetahuan.
4. Swadhayaya artinya orang yang merafalkan bermacam-macam
pengetahuan yang didapatinya dari belajar pada guru.
5. Brata artinya melaksanakan brata berpuasa dan sejenisnya, terlebih
lagi saat upacara suci.
6. Dhyana artinya orng yang membayangkan bhatara yaitu dewa yang
diproses dalam pikiran dan dipuja dan dimuliakan untuk memohon
waranugraha.
7. Yoga artinya pengatur prana melaksanakan samadhi dan paham akan
tuntunan suci sebagai jalan untuk menemukan kelepasan tujuannya,
itulah sebabnya hal itu dilakukan oleh sang wiku.

3.2.4 Sad Atatayi sebagai Pemimpin Hindu

Salah satu etika yang penting diperhatikan oleh pemimpin Hindu adalah Sad Atatayi
( enam jenis perilaku yang kejam ). Etika ini bila dilanggar, maka pemimpin Hindu ada
dijelaskan dalam Lontar Wrati Sasana tidak dapat diampuni kesalahannya oleh guru suci.
Perilakunya akan selalu diawasi agar tidak melanggar lagi. Mari simak kutipan mengenai sad
atatayi berikut ini

Kunang ring sad atatayi nga.nem lwirnya, ndya ta nihan, aneluh, mangupas,
angamuk, amurugul, anumwani, amisunakeni sang prabhu, ya sad atatayi nga. Ika ta
kabeh tan wenang ampuranen de sang guru, tan hana prayascittanira muwah-
muwah. Ikang bhujangga mangkana, ya ta bhagavrata ling sang hynag agama,
dosanya walatungen de sang prabhu, apan agawe pariksirnna ning rat sang wiku
mangkana, tan ulahang pandita ika. Matangnyan ike sang guru marahana ri
sisyaniramagehakna nga sila yukti, marapwan ing sakala niskala mangguhang
rahayu, makadon katemwa ning pada mawisesa, makalarapan parama rahasya ning
jnana

Adapun tentang sad atatayi, enam jenisnya. Manakah itu ? inilah : menyihir dengan
ilmu hitam, mengamuk, menyerang, membakar, memfitnah raja, semuanya itu sad
atatayi Namanya. Semuanya itu dapat diampuni oleh sang guru, tidak ada prayascitta
(penyucian ) lagi untuk itu. Pandeta yang demikian itu, gugur bratanya, menurut
ajaran agama, karena dosanya hendak ia diikat dengan tali rotan oleh sang prabhu
karena membuat negara rusak sang wiku yang demikian itu. Kerena itu sang guru
harus membimbing muridnya menegakkan tingkah laku yang benar, agar supaya
mendapatkan keselamatan lahir batin, dengan tujuan mendapatkan alam tertinggi,
berdasarkan rahasia tertinggi pengetahuan itu (ibid, 40-41).

Adapun pembagiaan dari sad atatayi (6 jenis perilaku kejam yang harus dijauhi oleh para
pemimpin adalah :
1. Aneluh artinya menyihir dengan ilmu hitam
2. Mangupas artinya meracuni
3. Angamuk artinya mengamuk
4. Amurugul artinya menyerang
5. Anumwani artinya membakar
6. Anisunakeni sang prabhu artinya memfitnah sang raja.

Ke-6 perilaku kejam tersebut secara aturan kepanditaan atau aturan bagi pemimpin Hindu
yang sudah berkedudukan sebagai wiku, pandita, pedanda, empu, resi, bagawan, dukuh,
tapaswi, dang acarya, guru nabhe, dan sejenisnya lagi, sam sekali tidak boleh dilakukan.
Namun perlu dicermati disini bahwa pihak negak hukum (pada jaman kerajaan tempo dulu)
ada dijelaskan diatas, dapat melakukan pengikatan dengan tali rotan, bilamana wiku yang
melakukan pelanggran melakukan peiaku sad atatayi ha ini sudah didak sesuai lagi, oleh
karena bisa membuat cacat fisik bagi pelanggarnya, terebih lagi yang melakukan adalah
orang yang memiliki posisi terkemuka. Walaupin demikian, ada letak perbedaan penerapan
hukum saat itu yakni dengan tidak melakukan pilih kasih terhadap perlakuan hukum. Itu
artinya penerapan pelanggaran hukum sudah berlaku adil. Pemimpin yang salah, mak
pemimpin itu dihukum juga, walaupun dengan cara mengikatnya dengan tali rotan. Namun
bila dibandingkan lagi dengan kondisi di alam modern dengan supremasi hukumnya, bahwa
cara itu sudah tidak digunakan lagi. Rupanya hal seperti itu juga sudah menjadi pemikiran
positif bagi penegak hukum tempo dulu sesuai yang diajarkan dalam Lontar Wrati Sasana.
Tinggal sekarang perlu pemahaman, bahw ajaran etika yang disebut sd atatayi juga dipahami
dengan sebaik-baiknya, agar tidak terjadi perilaku ceroboh di kalangan pemimpin Hindu,
termauk juga bagi warga masyarakat adalah hal yang perlu dijauhi.

3.2.5 Himsa Harus Dijauhi Pemimpin Hindu

Dalam sloka 15 pada Lontar Wrati Sasana ada dijelaskan mengenai ajaran etika bagi
pemimpin Hindu hendakny menjauhi atau menghindari perilaku membunuh dan lakukanlah
perilaku tidak membunuh. Bagaimana ketentuan yang disebut himsa tersebut, maari simak
makna kutipan sloka berikut ini :

Balah stri garbini gausca brahmani brahmano nrpah,


Acaryo yajamanasca tan vadhan bhrunaha smrtah.
Kalinganya ikang wwang amatyani rare, mwang rare ring jero
Weteng antyani wwang ameteng, amtyani lembu, amatyam
Brahmani mwang brahmana, amatyani ratu, amatyani sang
Huwus prabhu, amatyani sang acarya diksita, amatyani
Yajamana nga. Sang wiku watek puja, yatika brahmahatya nga.
Kunang ikang sinanggah bhrunahatya nga. Ikang wwang amatyani rare jero weteng
Yeka bhrunahatya, hila-hila temen, kangetakna de sang wiku, sangksepanira
Sng wiku haywa jug mati-mati, yadyapi sawakan ing wwang,
Haywa juga mati-mati padanya manusa, yan nirdosa. Patitwa nga.
Angrabyani ibu, nini, bibi, sanak, kaponakan, mantu,
kawalwan, ipen, rabi ning paman, rabi ramatuha,
rabi ning sapangalapan, warang, ramtuha,
rabinang kaponakan, rabi ning mantu, yeka patitwa ling ning agama

Orang yang membunuh bayi, dan bayi dalam kandungan membunuh orang
yang sedang mengndun, membunuh, sapi, membunuh brahmani dan brhmana,
membunuh raja terutama bekas raja, membunuh acarya diksita, membunuh yajamana
yaitu pendeta kelompok pemuja, semua itu brahmahatya, membunuh brahmana
Namanya. Adapun yang disebut bhrunahtya ialah orang yang membunuh bayi dalam
kandungan, akan mendapatkan petaka yang berat, amat berbahaya, hendaknya diingat
oleh sang wiku membunuh-bunuh jika terhadap orang. Janganlah sesama manusia,
bila tidak berdosa. Patitwa artinya mengawini ibu, nenek, bibi, saudara, kemenakan,
mantu, kewalon, ipar, istri paman, istri ayah mertua, istri dari saudara istri, besan, ibu
mertua, istri kemenakan, istri menantu, istri saudara, itu semua patitwa Namanya
menurut ajaran agama (ibid, 37-39).

Jadi dapat ditegaskan bahwa pemimpin Hindu sangat banyak aturan yang harus
ditaati. Termasuk juga dinamai membunuh atau menyakiti yang disebut Himsa. Sebaliknya
jika tidak membunuh perilakunya disebut Ahimsa. Seperti membunuh bayi (Bhrunahatya)
membunuh brahmana dan brahmani hal-hal seperti itu sangat dilarang dan harus dijauhi oleh
pemimpin Hindu. Hal itu sangat berdosa dan membawa petaka. Apalagi ada juga yang
dinamai patitwa yaitu mengawani yang bukan istrinya, seperti : nenek, bibi, ibu kandung, dan
lain-lainnya, hal itu juga berdosa yang harus dihindari. Selain itu jangan sampai menentang
ajaran guru suci, maka hal itu dinamai Guru Talpaka atau Alpaka Guru hal ini juga dijauhi
oleh pemimpin Hindu, karena tergolong petaka atau berdosa.
3.3 Kewajiban Pemimpin Hindu

Apa saja yang menjadi kewajiban pemimpin Hindu ? Tentu banyak hal yang dapat
dilakukan sebagai seorng pemimpin yang baik dan bijaksana. Pemimpin sangat diharapkan
untuk dapat menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Dapat bertindak yang tulus,
benar, suci, membel kepentingan masyarakat, serta melakukan hal-hal untuk tercapainya
kesejahteraan masyarakat secara luas.

3.3.1 Sad Snana sebagai ajaran kesucian Bagi Pemimpin

Bagi pemimpin Hindu bahwa eajib melakukan penyucian diri dan penyucian bagi
umatnya sesuai dengan ajaran sad snana yang sangat penting untuk dihayati dan diamalkan
dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.

Nahan ulahanira sang wiku, lawan ta muwah haywa tan utsaha ring snana widhi
karma, apan kumwa ling ning agama.

Demikianlah perilaku sang wiku, dan juga janganlah tidak mengusahakan penyucian
diri, karena demikianlah apa yang diajarkan oleh agama (ibid,41)

Agneyam varunam caiva brahmyam vayavyam eva ca, Manasam parttivam snanam
ucyate. Kanem ikang sinengguh snana nga. Ling ning pandita, Lwirnya nihan,
agneya, varuna, brahmya, vayavya, manasa, partthiva, nahan ta lwirnya nem
kayatnakna.

Agneyam bhasmana snanam jale gahanam tu varunam, brahmyam vai mantratah


snanam vayavyam tu gavam rajah.

Agneya nga, snana makalaksanan bhasma, kunang ikang waruna, masilem ing wai
laksananya. Brahmya nga. Snana malaksanam mantra. Kunang ikang wayawya nga.
Snana makalaksanam sumilemken sarira teekeng uttamangga, makanimitta
welekning lembu, sakeng suk ning lembu, anginerek ing lemah pawitra. Yapyan tu
manasah snanam trisadhyopasanam bhavet, purna titham rdam sparsah prthivam
snanam ucyate. Kunang ikang manasa snana, makalaksanam japa mantra, ri sedeng
ing masa trisandhyopasana, kunang ikang prthivi snana, makanimitta kaharasan ing
lemah ning punya tirtha. Nahant a lwir sat snana, upalaksanakna de sang wiku.

Enam banyaknya disebut penyucian, menurut ajaran sang pandita, jenisnya ialah :
agneya, varuna, brahmya, vagavya, manasa, partthiva, demikianlah yang enam itu
supaya diperhatikan. Agneya ialah penyucian dengan sarana abu suci, Adapun waruna
adalah (penyucian) dengan cara menyelam dalam air. Brahmya ialah penyucian
dengan mantra. Adupun Wayawya ialah penyucian dengan sarana dengan
mebenamkan diri dalam air sampai kepala karena kena pusaran debu, dari kaki sapi
yang dihalau ditanah yang suci. Adapun manasa adalah penyucian dengan sarana japa
mantra, pada waktu melaksanakan puja trisanddhya, Adapun penyucian tanah
(prthivi) ialah berdasarkan atas mencium tanah ditempat pemandian yang suci.
Demikian sat snana, enam penyucian, dicontohkan oleh sang wiku (ibid, 41-42).

Berdasarkan pparan diatas, maka ke-6 cara penyucian bagi para wiku yang mencakup
halyang diajarkan untuk berlaku suci dan mulia. Adapun bagiannya sebagai berikut :

1. Agneya ialah penyucian dengan sarana abu suci


2. Waruna adalah penyucian dengan cara menyelam dalam air
3. Brahmya ialah penyucian dengan mantra
4. Wayawya adalah penyucian dengan sarana membenamkan diri dalam air sampai
kepala, karena kena pusaran debu, dari kaki sapi, yang dihalau di tanah yang suci.
5. Manasa adalah penyucian dengan sarana japa mantra, pada waktu melaksanakan
puja tri Sandhya.
6. Prthivi ialah penyucian diri dengan tanah, berdasarkan atas mencium tanah
ditempat pemandian yang suci.

3.3.2 Dasa Dharma sebagai Kewajiban Pemimpin Hindu

Guna memenuhi kebutuhan dan keperluan segenap masyarakatnya, maka salah satu
kewajiban mulia bagi pemimpin Hindu ialah menjalankan nilai kepemimpinan dasa dharma
(10 kewajiban pemimpin Hindu Dalam sloka 22 jelas ditegaskan seperti kutipan berikut ini.

Dhrtih ksama damo’steyam saucam indriyanigrhah, hrir vidya satyam akrodho


dasakam dhama laksanam. Dhreti nga. hening ning ambek, ksama nga. tan maling,
sauca nga. acamana bhasma snanadi, indriyanigraha nga. angretindriya, hr inga.
Irang, widya nga. mangaji, satya nga. tan keneng krodha, ika ta kabeh dasadharma
nga.

Dhreti artinya suci pikiran, Ksama artinya kesabaran, Dama artinya teguh budi,
Asteya artinya tidak mencuri, Sauca artinya membersihkan diri dengan Bhasma,
mandi, dan sebagainya, Indrayanigraha mengekang hawa nafsu, Hri artinya malu,
Widya artinya belajar, Satya artinya tidak berbohong, Akrodha artinya tidak disusupi
kemarahan. Semuanya itu Dasa Dharma (ibid,44).

3.3.3 Dasa Niyama sebagai Kewajiban Pemimpin Hindu

Dalam sloka 23 ada dijelaskan mengenai 10 kewajiban pemimpin yang dinamai Dasa
Niyama. Bagaimana kewajiban pemimpin dalam ajaran Dasa Niyama berikut ini makna
kutipannya.

Saucam ijya tapo danam svadhyayopastha nigraha, vratopavasa maunam ca niyama


dasa. Sauca nga. nityasuci acamana,ijya nga. nityamuja, tap nga. amanesi
sarirendriya, dana nga. mawewh, swadhayaya nga. muccaranaken solih ning anama
nama, upasthanigraha nga. pankret upastha, brata nga. niramisadi, upawasa nga.
nirahara, mauna nga. umeneng, snana nga.nityadyus, ika ta sapuluh kkwehnya, ya ta
sinanggh niym nga.

Sauca artinya bersuci membersihkan diri, Ijya artinya selalu menuji, Tapa artinya
mengendalikan badan indra. Dana artinya memberi, Swadhayaya artinya
mengungkapkan segala yang didapat dari belajar, Upasthanigraha artinya
mengurangi nafsu asmara, Brata artinya tidak makan daging dan sebagainya,
Upawasa artinya tidak makan, Mauna artinya tidak berkata-kata, Snana artinya selalu
membersihkan diri dengan mandi, semuanya itu 10 banyaknya Niyama Brata.

3.3.4 Dasa Yama sebagai Kewajiban Pemimpin Hindu

Pada sloka 24 juga dijelaskan mengenai kewajiban pemimpin yang dinamai Dasa
Yama Brata. Mari maknai kutipan berikut ini.

Anrsamsyam ksama satyam ahimsa dama arjavam. Dhyanam prasado madhuryam


mrduta ca yama dasa. Anresangsya nga. tan bwat stuti, ksama nga. kopasaman, satya
nga. tan lenyok, ahingsa nga. tan pamati-mati, dama nga. kasaktining buddhi,
sarjjawa nga. umangen-angen swrupa bhatara, prasada nga. sih, madhurya nga.
amanis mojr amanis wisnulatan, mreduta nga. kadadi ning alembat, ika ta kabeh
sapuluh kwehnya, ya ta sinngguh yama nga.

Anresangsya artinya tidak mengharapkan pujian, ksama artinya senang dan sabar,
satya artinya tidak berbohong, ahingsa artinya tidak membunuh, dama artinya
kautnya budi, sarjjawa artinya lurus hati, dhyana artinya membayangkan wujud
bhatara, prasada artinya kasih sayang madhuryya artinya berkata lembut dan
berwajah manis mreduta artinya menampakkan diri lemah lembut, itu semua sepuluh
banyaknya itulah yang disebut yama (ibid, 45-46).

3.4 Larangan Pemimpin Hindu

Ada petunjuk mulia yang juga diperhatikan sebagai pemimpin. Petujuk yang
dimaksudkan adalah sebagai larangan bagi pemimpin, agar tidak terjerumus ke dalam bahaya
dan bencana bagi pemimpin dan masyarakatnya. Beberapa larangan bagi pemimpin yang
penting untuk diindahkan seperti berikut ini.

3.4.1 Jauhi Astacaurah

Dalam sloka 30 dijelaskan mengenai astacaurah seperti kutipan berikut ini.

Karta karayita bhokta nirdest sthanadesakah, trata jnata ca astacaurahvidhah


smrtah.

Kawwalu kwehning maling nga manglap, anuduhaken, maweh pangan, maweh


ungguhan, anulungi, maweh wruha ring maling, manyingidaken, na tang sinenggah
astacaurah nga.

Janis pencuri itu banyaknya delapan yaitu mengambil, memberikan petunjuk,


memberikan tempat tinggal, membantu, memberitahu pencuri, meyembunyikan,
demikian yang disebut astacaurah (ibid, 51).

Dalam Lontar Wrati Sasana tersurat hanya tujuh bagian dari astacaurah. Jika dilihat dari segi
makna kata astacaurah. Jika dari segi makna kata asta artinya 8 kata caurah artinya maling
atau pencuri. Jadi astacaurah adalah 8 jenis pencuri yang harus dijauhi atau merupakan
larangan bagi pemimpin. Namun karena dalam naskahnya tersurat hanya 7 bagiam, maka satu
bagiannya lagi tidak ada dalam teksnya. Pembagian astacaurah yaitu :

1. Mangalap artinya mengambil barang atau milik orang lain tanp ijin.
2. Anuduhaken artinya memberi petunjuk kepada pencuri. Jika demikian, maka yang
memberikan petunjuk pun juga dikategorikan sebagai pencuri
3. Maweh Pangan artinya memberikan makan pada pencuri. Hal inijuga
dikategorikan sebagai pencuri oleh karena menyediakan makanan kepada pencuri
4. Maweh Ungguhan artinya memberikan tempat tinggal. Maksudnya bahwa
seseorang apalagi seorang pemimpin, hal ini juga dikategorikan sebagai pencuri.
5. Anulungi artinya membantu pencuri, bagi pemimpin sangat dilarang untuk
membantu pencuri dalam melakukan aksinya , sebaliknya dalah menangkap
pencuri itu agar tidak membuat masyarakat menjadi resah.
6. Maweh Wruha Ring Maling artinya memberitahu pencuri hal ini merupakan
larangan jngn sampai warga masyarakat termasuk pemimpin untuk memberitahu
pencuri. Sedapat mungkin bahwa hal ini jangan sampai terjadi, karena si pencuri
akan menjadi lancer melakukan aksinya.
7. Manyingidaken artinya menyembunyikan pencuri, sebaliknya yang dilakukan
pemimpin adalah menangkap pencuri untuk supaya di proses secara hukum yang
berlaku, agar pencuri itu menjadi jera dalam perilakunya. Sedangkan satu
bagiannya lagi belum tersurat dalam teksnya.

3.4.2 Jauhi Lima Musuh atau Panca Satru

Dalam sloka 33 dijelaskan mengenai lima jenis musuh yang perlu dijauhi oleh
pemimpin. Sedapat mungkin bahwa semua musuh yang ada agar ditundukkan, dikalahkan,
dan dijauhi dari keberadaannya di masyarakat yang dipimpinnya. Perhatikan kutipan sloka
berikut ini.

Krodho lobhasca mohasca rago dvesa iti smrtah, samsthita ri pavah svasarire tu
pancamah.

Ka ikang satru mungguh ing sarira lima kwehnya, ndya ta lwirnya, nihan karma
nikang musuh lima, krodha, lobha, moha, raga, dwesa, nahan lwirnya ikang panc
satru ring awak, kangetaken ta sang wiku, I wekasan ta ya mawuwuh sanga
hetunyam dadi patbelas.

Musuh yang berada pada diri orang lima banyaknya. Manakh jenisnya ? Inilah urutan
musuh yang lima itu : marah, loba, bingung, nafsu, benci demikian jenis lima musuh
dalam diri, hendangnya diingat wahai sang wiku, kemudian bertambah lagi Sembilan,
maka itu menjadi empat belas (ibid, 55).

3.4.3 Jauhi Nawa Satra

Kemudian pada bagian ini ada lagi Sembilan jenis musuh (Nawa Satru ) yang juga
harus dijauhi atau dilrang bagi pemimpin, oleh karena tergolong perilaku yang tidak baik.
Mari maknai dan simak kutipan berikut ini.
Kalusa dhurta murkhat krauryam ninda ca dambhasca, mithya cersya ca himsa ca
sarve panca caturdasa. Ka matambeh sasanga nimittanyan dadi catur dasa. Ndya
tekang sasanga, kalusa, dhurttha, murkha, krura, ninda, dambha, mithya, irsya,
hingsa, yeka, genepnya patbelas, tan adoh ngke ring sarira ungguhanya, matanyan
ika tinggalakena de sang wiku, haywa tan payatna sira rumakseng, silamira Hana
kumwa ling sang hyang sastra kangetakena de sang wiku.

Bertambah Sembilan maka menjadi empat belas, manakah yang sembilan itu? Kalusa
artinya tidak suci, dhurta artinya curang, murkha artinya sombong, krura artinya
kejam, ninda artinya suka mencela,dambha artinya tamak, mithya artinya bohong,
irsya artinya irihati, hingsa artinya membunuh, itulah genap empat belas, tidak jauh
dari diri sendiri tempatnya, karena itu patut itu semua supaya ditinggalkan oleh sang
wiku, janganlah ia lengah menjaga tingkah lakunya. Ada ucap sastra suci hendaknya
diingat oleh sang wiku (ibid, 55).

3.4.4 Jauhi Musuh Kesenangan atau Sarva Sakta Satra

Bila pemimpin ingin sukses dalam menjalanan kepemimpinannya, maka segala


bentuk kesenangan yang berlebihan hendaknya djauhi dan dilarng untuk melakukannya.
Apalagi si pemimpin itu bercita-cita menjadi pemimpin agama Hindu yang sejati untuk
mencapai alam nirwana, sorga, dan bertemu dengn alm siwa. Berikut ini dalam sloka 35
dijelaskan secara seksama.

Stri pana dyuta saktatvam mrgayahwn sktata, nidra giri grha sunya asana jala
saktata. Stri sakta nga. jenek ing anggama, pna sakta nga, jenek ing anginum twak,
dyuta sakta nga. jenek ing toh salwar ing judi, mrgaya sakta nga. jenek ing aburu-
buru, ahwana sakta nga. jenek ing angundang salwar ing tontonan, nidra sakta nga,
jenek ing aturu, giri skta nga. jenek ing lango ning gnung, grehsakta nga, jenek ing
ramya ning greha, sunya sakta nga. jenek ing kalangon ing asepi, asana sakta nga.
jenek ing amngan urasa, jal sakt nga. jenek ing rmya ning toya, kadyangga ning
senjang, talaga, pancuran, nadhi, narmada, ganga, sarayu, sagara, salwar ing lwah
ramya, ya ta kinalulutan, ika ta kabeh sinanggah satru sang yogiswara salwar ing
wisaya nikang rat, ya ta matang nyan, haywa ta sang wiku jenek ing wisaya,
nimittaniran panemwa ng kayogiswaran, lawan ta uwah sakambekanta wiku, yan
harep amangguhang pada sang hyang Isa, makajnana juga sira byakta
kapangguhang ikang Siwapada denira, an sira waspada ring niskala jnana. Kunang
yan tan kadungkap ikang pada sunya denier, I sedengniran praline, irika ta siran
mangjanma rig manusa, mapa ta lwir ning jamanira ng dadi manusa.

Stri sakta rtinya senang dengan sanggama, pana sakta artiny asyik minum tuak, dyuta sakta
artinya senang berburu, ahwana sakta artinya senang mengundang segala jenis tontonan,
nidra sakta artinya senang tidur, giri sakta artinya senang terhadap keindahan gunung, greha
sakta artinya senang terhadap keindahan rumah, sunya sakta artinya senang kenikmatan
kesunyian, asana sakta artinya senang makan yang enak-enak, jala sakta artinya senang
dengan keindahan air seperti sumber air, semua itu dipandang musuh sang yogiswara, semua
objek kesenangan dunia. Itulah sebabnya janganlah sang wiku terpikat senang terhadap objek
kesenangan agar memperoleh kayogiswaran, dan lagi semua tingkah lakumu wahai wiku, jika
engkau ingin menemukan alam sang hyang Isa, hendaknya berdasarkan pengetahuan, tentu
akan engkau dapatkan alam Siwa, bila engkau mengerti dengan baik pengetahuan niskala.
Adapun bila tidak tercapai alam sunya olehmu, Ketika engkau meninggal, maka pada waktu
engkau akan menjelma menjadi manusia.

Jadi semua jenis kesenangan yang berlebihan diatas digolongkan sebagai musuh yang
mesti dijauhi oleh pemimpin Hindu, sedapat mungkin untuk dapat ditaati. Alasan utamanya
adalah karena pemimpin Hindu (Wiku, Resi, Pandita, Bagawan, Pedanda dan lainnya)
merupakn para pemimpin Hindu yang bergerak di bidang spiritual menuju ke alam niskala
tau alam Siwa. Bila hal ini dilanggar maka kelak dalam kelahinnya akan membawa wasana
yang sesuai dengan karmanya. Demikian ucap sastra atau Lontar Wrti Sasana.

3.5 Kewenangan Pemimpin Hindu

Apakah kewenangan bagi pemimpin Hindu sesuai Lontar Wrati Sasana ?


sesungguhnya pemimpin Hindu memeliki kewenangan yang jelas dan pasti. Dalam statusnya
atau kedudukannya sebagai orang suci, orang mulia, dan sebagai pemuka masyarakat, maka
kewenangannya juga tertuju kepada masyarakat Hindu sendiri.

Dalam beberapa sumber uraian pada Lontar Wrati Sasan secara khusus ada dijelaskan
kewenangan pemimpin Hndu seperti kutipan beikut ini.

Hana pwa sang wiku enak de niran rumegep ras sang hyang yama niyama brata,
sangkan-sangkan rare ndatan panasar-nasar irikang sila yukti, nityasah sakti ng
guru pada, telas kretapadesa, tan hana ulahniran salah sila. Anghing tuhagana
tumaki-taki sang hyang kalepasan magegwen wrah-wah sang gurupaddhayaya, jenek
abhyasa swadhayayang upadhayaya, sang apadhyapanadi tan kalubanasuryasewana,
mangarccanan ri bhatara mwang sakta ring kriya, makadi sang hyang
Siwanusthanan, pujakrama,linggarccana, pancabalikarmma, homawidhi
sawawidhana, tila murti, diksawidhi, teges ri sang hyang paramopadesa, kang inysir
de sang yogiswara, sira wenang umilangaken mala ning para, kimuta mala nikang
bandhu wargga, sira ta yogya makaguruan, wenang madiksanana tapwan genep
nemang puluh tahun.

Ada wiku yang merenungkan inti sari yama niyama brata dengan baik, dari kecil tidak
menyimpang dari perilaku yang benar, sopan santun yang baik, selalu dekat pada kaki
guru telah selesai menerima pelajaran, tidak ada perilakunya melanggar kesusilaan
tetapi terus-menerus menyiapkan kelepasan, berpegang pada petunjuk-petunjuk guru
pengajar tekun melatih berulang-ulang pengajaran guru, petunjuk-petunjuk umum dan
lain-lainnya yang tidak pernah putus-putus melakukan suryawesana, memuja bhatara
dan tekun melakukan pekerjaan terutama pemusatan pemikiran pada bhatar siwa tata
tertib pemujan yang benar pemujaan lingga, pancabalikrama, homawidhi, upacara
untuk jenezah. Tila murthi, tata tertib diksa, makna petunjuk-petunjuk yang utama,
yang hendak dicapai oleh Sang Mahayogi, ia yang demikian itu mampu
menghilangkan cemarnya orang banyak, apalagi cemarnya keluarga, ia itulah patut
dijadikan guru, boleh melaksanakan diksa, walaupun umurnya belum enam puluh
tahun (ibid, 30-31).

Demikian beberapa kewenangan pemimpin Hindu sesuai petunjuk suci dalam ajaran agama
Hindu yang tersurat dalam Lontar Wrati Sasana. Berikut ini dapat disimak lagi beberapa
kewenangan pemimpin Hindu sebagaimana yang diajarkan dalam Lontar Wrati Sasana.

Kunang deya sang yogya mangdiksana, sang tuhu-tuhu weruh I Sang Hyang
Diksawidhi, kakawasa de nira kalekkasani ng indik sang hyang antyadhwa, mwanng
akweh kaweruh nira sang hyang upadesa, setatabhyas ri kgelaran ing nyasa, tuwi
sakta ring puja, japa, homa, yoga, samadhi, ta kalubana suryyasewana, lot anggelar
anusthana, wruh ring yama-niyama brata, mapitenget sireng sisya, tan kurang wara-
warah tan lalanakna ng sisya, niyatan panasara ng sisya sangkeng maryada yukti.
Hama wakya kumwa wih.

Adapun yang harus dilaksanakan oleh orang yan antas mediksa orang, ialah ia benar-
benar mengetahui peraturan diksa, dikuasai olehnya persiapan mengenai jala terakhir
dan banyak pengetahuannya tentang upadesa (tuntunan hidup), tak henti-hentinya
melatih penerapan nyasa, benar-benar tekun akan puja, japa, homa, yoga, Samadhi,
tidak pernah terhalang melaksanakan suryasewana selalu melaksanakan anusthana,
paham akan yama-niyama brata tidak meremehkan diri pada murid, tidak kurang
mengajar, tidak membiarkan kehendak hatinya, sebab kalu murid dibiarkan berlaku
sekehendak hatinya, tentu murid itu akan menyimpang dari sikap sopan yang benar.
Ada ucapan demikian (ibid, 32).

3.6 Kedudukan Pemimpin Hindu

Mengenai kedudukan pemimpin Hindu sesuai Lontar Wrati Sasana, maka dalam sloka
36 dan 37 ada dijelaskan secara Panjang lebar. Yang jelas bahwa pemimpin Hindu (dalam hal
ini Sang Wiku, Yogiswara, pandita, Bhaagawanta, Purahita, Tapaswi, dan lain-lainnya yang
sederajt dengan itu) merupakan orang mulia dan memiliki kedudukan yang terhormat dan
terpuji. Berikut ini mri disimak makna kutipan slokanya.

Bhuya satkulam rupam sila vibhvah sriman tapswi puman, vidyaparago meghavi
subhamatih punyah ksama dhairyavan,

Tyagi bhagyabbhogi dano krtayasa dharmah sa samraksakah, yogi niskalo janmani


trisamayad isa laya vyaptaye. Ka sang yogi yan tan katemu denier ikang Siwa pada
tathapinya tan dadi juga tan paphala yoga nira, homa phaladi, mangjanma ta sira,
makanimitt wruhnira ng trisamaya, mapeka dadiniran manusa, agong prabhawanira
ring rat, makadi kulanira, muwah surupa susia, kinahana ning sri, wibhawa sira,
apan tapswi sira, mangkana lwir sang purusa, widyaparaga sira, wruh mangaji
sarwwa sastra, madhawi menget sira guna mati rahayu ning buddhi. Punya ta sira,
pawitrawaknira, tan pdrewya cancala ksama ta sira upasama ambek ta, dhairyawan
sira, sugih mas pirak, kretayasa agong yasanira, dharma ta sira, wruh ring dharma
rahayu, saraksa ta sira, rumaksa ring sart kabeh, sakhya weruh angambek ing mitra,
tan ucapen ikang bhandhu wargga, muwah yan hana manusa mangkana sawakan ing
yan mati mulih maring Rudra pada, apan sira umulahaken kayogiswaran, kalingan
ika saksat sag hyang Rudra ika wwang mangkana, sira ta mahapurusaa nga.

Sang yogi bilamana Siwa tidak tercapai olehnya, tetapi walaupun demikian tidak
boleh tidak berpahala yoganya, homanya, dan sebagainya, menjelmalah ia disebabkan
leh pengetahuannya tentang trisamaya. Bagaimanakah penjelmaannya sebagai manusa
? perbawanya besar di dunia, terutama keluarganya dan berwajah baik, Susila
diberkati dengan kebahagian, berwibawa, karena ia tapaswi, demikanlah keadaan sang
purusa, orang unggul menguasai ilmu pengetahuan, tahu mengkaji semua sstra,
medhawi sadar guna, baik budi, puny, penuh kebajikan, berpribdi suci, tidak memiliki
kegoncangan, ksama, bersifat sabar, shairya, amat pemberani, tyagi, tidak saying pada
milik dan jiwanya, Bhagya, mendapatkan segala kebahagian dunia, diberkati
kesenangan dalam hidp, dhani ia itu kaya emas dan perak, kretayasa besar jasanya,
dharma ia itu tahu dharma yang baik, suraksa ia itu menjaga rakyat semua, sukhya
tahu menyikapi teman, tidak perlu disebut keluarga dan bia ada orang yang demikian
itu, dirinya bila meninggal akan Kembali ke alam Rudra, karena ia melaksanakan
kayogiswaran, yang sebenarnya ia sungguh-sungguh sang hyang Rudra orang yang
demikian itu. Ia ituah Mahapurusa, manusa unggul Namanya (ibid, 57-58).

Namun demikian masih ada posisi yang terhormat lagi sebagaimana makna sloka diatas
yaitu:

1. Sebagai Sang Yogi atau Yogiswara yakni sebagai ahli dalam spiritual, yang berhail
dala yoga, homa, dan mengetahui trisamaya
2. Sebagai manusia Susila yang diberkati kebahagian dan kewibawaan yang sempurna
3. Sebagai Tapaswi sekaligus sebagai sang Purusa yang menguasai berbagai ilmu
pengetahuan, sebagai susastra, dan teknologi
4. Sebagai Medhavi yakni sebagai manusia sadar, baik budi, punya penuh kebajikan,
berpribadi suci, dan tidak memiliki kegoncangan
5. Sebagai Ksamawan yaitu bersifat sabar dan pemaaf
6. Sebagai Shairya yaitu amat pemberani
7. Sebagai Tyagi yaitu tidak saying pada milik dan jiwanya
8. Sebagai Bhagya yaitu mendapatkan segala kebahagin di dunia, diberkati kesenangan
selama hidupnya
9. Sebagai Dhani yaitu kaya emas dan perak
10. Sebagai Kretayasa yaitu besar jasanya
11. Sebagai Dharmawan yaitu tahu dharma yang baik dan sejati
12. Sebagai Suraksa dapat menjag rakyat semua
13. Sebagai Sakhya tahu menyikapi teman, tidak perlu disebut keluarga

Anda mungkin juga menyukai