Om Awignam Astu
Bila seseorang ingin membangun sebuah rumah yang kuat dan indah, mungkin pertama kali ia
ingin mengetahui struktur tanah, dimana bangunan itu akan didirikan, berikutnya mungkin
memikirkan tentang galian dasar tanah itu, lalu bahan dasarnya apakah perlu dengan pasir, batu kali,
batu bata, semen, besi beton dan sebagainya. Jika bangunan ini akan ditangani oleh seorang insinyur
arsitek atau insinyur sipil masih banyak lagi hal-hal yang harus dipikirkan agar bangunan itu dapat
terwujud dengan kokoh serta memenuhi selera keindahannya.
Demikianlah sama halnya jika seorang dosen diwajibkan untuk membuat sebuah karya tulis
mengenai materi atau bidang studi “Dasar-dasar Agama Hindu”. Banyak hal yang perlu dituliskan,
karena agama Hindu adalah agama yang kuat di India, Indonesia, khususnya di Bali. Setiap agama
tentu mengalami pasang surut dalam sejarah perkembangannya. Mengingat bidang studi “Dasar-
dasar Agama Hindu” yang akan ditulis ini untuk mahasiswa semester permulaan (I) dan nilai SKS
(Sistem Kredit Semester) hanya 2 atau 4, maka tentu materinya yang dapat dituliskan belum lengkap
sekali untuk dapat dikatakan materi yang sudah sempurna dan representatif menggambarkan seluruh
dasar-dasar agama yang luas itu. Kesimpulannya ada tiga hal yang membatasi penulisan ini, yaitu :
1) kekurangan penulis, 2) singkatnya waktu, dan 3) luasnya dasar-dasar agama Hindu itu.
Melalui diskusi yang intensif di kelas, dan disertai dengan usaha yang keras oleh para
mahasiswa membaca materi yang disarankan oleh para dosen, maka diharapkan pemahaman tentang
bidang studi “Dasar-dasar Agama Hindu” itu akan menjadi lebih mudah lagi.
Demikianlah sedikit pengantar mengenai penulisan “Dasar-dasar Agama Hindu” yang dapat
kami sajikan ini. Mudah-mudahan para mahasiswa mendapat manfaat yang setinggi-tingginya dari
handout yang anda baca ini. Semoga !.
Penulis
2
Penulisan ini dimaksudkan untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang
menyimpang serta adanya pengertian yang belum jelas dari hal-hal yang sebenarnya terhadap
agama Hindu.
Di bawah ini saya kutipkan tulisan Drs. Oka Netra, sebagai berikut :
a. Agama Hindu di India
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4
(empat) fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha.
Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa,
menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jaman dahulu telah
mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah
patung yang menunjukkan perwujudan Siwa.
Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan jaman Weda, karena pada jaman ini
telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa. Jaman Weda dimulai pada waktu
bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun
Sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida ke sebelah Selatan sampai ke dataran
tinggi Dekkan. Bangsa Arya telah mempunyai peradaban tinggi, mereka menyembah
Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-
dewa itu banyak, namun semua adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Tunggal.
Tuhan Yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta,
yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya,
Vaisya dan Sudra.
Pada zaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan
keagamaan, kaum Brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa
pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara"
beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adatah kitab yang menguraikan tentang saji dan
Upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan Wahyu-wahyu
Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas kepada
Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih
tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman
pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar
Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian
3
dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak Jaman Purana,
pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha, adalah pengembangan logika, yoga dan samadhi.
Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta",
menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan samadhi,
sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa
cara. Diantara sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.
4
4) Dari data peninggalan sejarah di Indonesia disebutkan Rsi Agastya menyebarkan
agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini diketemukan di dalam beberapa prasasti
di Jawa dan Lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Rsi Agastya menyebarkan
agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui Sungai Gangga, Yamuna, India Selatan
dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran
agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti, misalnya:
a) Prasasti Dinoyo (Jawa Timur) bertahun Saka 628, di mana seorang raja yang
bernama GAJAHMANA membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud
memohon kekuatan suci dari Beliau.
b) Prasasti Porong (Jawa Tengah) yang bertahun Saka 785, juga menyebutkan
keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka
banyak istilah yang diberikan kepada Beliau, diantaranya adalah : Agastya Yatra,
artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam
pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena
mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
5
keterangan yang menyebutkan bahwa "raja Purnawarman adalah raja Tarumanagara
beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya
disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”.
Bukti lain yang diketemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuaya,
yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa raja
Tarumanagara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa raja Purnawarman adalah
penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang
Esa.
Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan
dengan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa
Sansekerta, memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman.
Prasasti ini yang menggunakan atribut dewa Tri Murti, yaitu Tri Sula, Kendi, Cakra,
Kapak dan bunga teratai mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa Sansekerta
dan memakai huruf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun
654 Saka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi “sruti indriya rasa”. Isinya
memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai
Tri Murti.
Adanya kelompok candi Arjuna dan candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat
Wonosobo dari abad ke 8 Masehi dan candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri
Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan
agama Hindu di Jawa Tengah.
Di samping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan
dengan diketemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat kota Malang berbahasa
Sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara
besar yang diadakan oleh raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh
para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha
adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Badut adalah bangunan suci yang
terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 muncullah Mpu Sindok dari dinasti Isana Wamsa dan
bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai
pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa.
6
Selanjutnya muncullah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-
1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur muncullah kerajaan Kediri (tahun 1042-
1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya
sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka,
Wrtasancaya dan Kitab Kresnayana. Dan selanjutnya muncul kerajaan Singosari (tahun
1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah candi Kidal, candi Jago dan
Candi Singosari sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke 13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit,
sebagai kerajaan besar yang meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit
merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan agama Hindu. Hal ini dapat
dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu Banguan suci Hindu terbesar di Jawa
Timur di samping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di
Bali diperkirakan abad ke 8. Hal ini di samping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-
prasasti, juga adanya Arca Siwa di Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu Gianyar. Arca ini
bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke 8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama
Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bail pada abad ke 11, yakni pada masa
pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bail cukup besar. Adanya sekte-sekte
yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Kahyangan
Tiga, Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat
dalam Usana Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di
Pura Kahyangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa Beliau dibuatlah pelinggih
Menjangan Salwang. Beliau moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajah Mada ke Bail (tahun
1343) sampai akhir abad ke 19 masih tejadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran
agama. Dan pada masa dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman
keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwiljendra) ke Ball pada abad ke 16.
Jasa Beliau amat besar dalam bidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula di bidang
bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu
(Klungkung).
7
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan
kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha
pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun
1923 di Ubud Gianyar, Surya Kanta tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa
Dirga Gama Hindu Bail tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Pandita tahun 1949 di
Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun
1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebiuari 1959 terbentuklah Malelis Agama Hindu.
Kemudian tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan
Dharma Asrama para sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan Piagam Campuan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7
s/d 10 Oktoder 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis
keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnva menjadi Parisada Hindu
Dharma Indonesia.
8
5. Falsafah Kehidupan : Serasi, Seimbang dan Harmonis
Yang dimaksud dengan falsafah kehidupan di atas ini ialah selalu menerapkan dan
menempatkan segi-segi kehidupan pada falsafah serasi, seimbang dan harmonis. Contoh :
a. Rumah pekarangan (Hindu Bali) selamanya mengacu pada mandala utama (tempat
sembahyang), madya mandala (tempat mengadakan kegiatan sosial keluarga), nista
mandala (tempat kegiatan masak memasak, mandi, buang air kecil / besar, dan
sebagainya).
b. Ada pembagian pekarangan yang disebut hulu (kepala) dan teben (bagian bawah).
c. Ada peristilahan suci – cemar.
d. Atas – bawah dan sebagainya.
9
Tri Hita Karana maksudnya tiga hal yang menyebabkan kehidupan manusia itu menjadi
bahagia (Tri berarti tiga, hita : bahagia dan karana berarti sebab). Jadi yang dimaksud dengan
falsafah Tri Hita Karana ini ialah bagaimana sikap manusia itu terhadap Tuhannya, bagaimana
sikap manusia satu dengan manusia lainnya, sedangkan yang terakhir bagaimana sikap
manusia itu terhadap lingkungannya (pekarangannya) termasuk tumbuh-tumbuhan yang ada
disekitarnya, demikian pula terhadap binatang peliharaannya.
Jika manusia hidup dalam suatu lingkungan, mampu mengadakan hubungan yang
harmonis dengan Tuhannya, mampu melaksanakan hubunganan yang serasi dengan manusia
lain yang ada disekitarnya, demikian pula hubungannya terhadap lingkungannya baik, maka
dijamin bahwa manusia itu akan mendapatkan kebahagiaan hidup, sesuai dengan konsep Tri
Hita Karana itu.
Walaupun demikian, sebenarnya manusia itu mempunyai derajat yang sama, karena
manusia mendapat hidup yang sama dari Tuhan. Jiwa atau atma kita sama, tidak ada jiwa yang
satu lebih besar dari jiwa yang lain. Inilah yang harus kita sadari. Ini pula yang patut kita
10
renungkan. Ajaran ini disebut Tattwam Asi. Karena itu, dalam pengamalannya manusia satu
dengan yang lain perlu saling menghormati, menghargai, mengasihi, dan sifat-sifat beradab
lainnya.
Tujuan mengadakan pranayama ialah agar jiwa kita menjadi tentram, tenang dan damai.
Setelah itu, baru kita mulai mengucapkan puja Tri Sandhya atau disebut juga mantra Gayatri.
11
Puja Tri Sandhya
Setelah sikap badan itu baik, maka lanjutkan dengan melaksanakan Puja Tri Sandhya,
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Asana
Asana ini adalah sikap duduk bersila (bagi pria) dan bersimpuh (bagi wanita) serta
memusatkan pikiran kehadapan Hyang Widhi, dengan mantram :
“Om prasadasthiti carira Ciwa cuci nirmla namah”.
(Artinya : Oh Hyang Widhi, hamba puja Hyang Widhi dalam wujud Ciwa suci dan tak
bernoda, hamba telah duduk dengan tenang).
b. Pranayama
Pranayama artinya mengatur jalannya nafas. Gunanya untuk menenangkan dan
mengheningkan pikiran agar dapat menyatu dengan Hyang Widhi yang disertai mantram :
1) Om Ang Namah (waktu menarik nafas / puraka)
2) Om Ung Namah (waktu menahan nafas / kumbaka)
3) Om Mang Namah (waktu mengeluarkan nafas / recaka)
d. Mantram Trisandhya
Om bhur bhvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat
12
nirvikalpo nirakhyatah
suddho deva eko
narayano na dvitiyo
asti kascit
Hendaknya puja Tri Sandhya itu dilagukan dengan baik dan tenang, sehingga bergema dan
mampu memberikan getaran yang baik. Pengucapan atau lafalnya sesuai dengan bahasanya
yaitu bahasa Sansekerta. Seharusnya kita bukan saja dapat mengucapkan mantram itu, namun
juga mengerti maksudnya (artinya). Dengan demikian anda dapat menghayati dengan
sempurna.
13
Arti mantram itu adalah sebagai berikut :
a. Om adalah bhur bhuvah svah
Kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Hyang Widhi. Semoga Ia
berikan semangat pikiran kita.
b. Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada bebas dari noda,
bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah Dewa Narayana,
Ia hanya satu tidak ada yang kedua.
c. Om Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan
Purusa.
d. Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba papa, kelahiran hamba papa,
lindungilah hamba Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba.
e. Om ampunilah hamba Hyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua
mahluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah Oh Hyang Widhi.
f. Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba, ampunilah
dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.
Om damai, damai, damai, Om.
9. Panca Sraddha
Panca Sraddha artinya lima kepercayaan atau keyakinan-keyakinan itu meliputi :
a. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disebut juga “Widhi Tattwa”. Kata Widhi
artinya mentakdirkan.
Widhi Tatwa artinya falsafah tentang Tuhan atau disebut juga sebagai Brahma
Tatwa Jnana. Brahma Widhya artinya ilmu tentang hakekat Brahma (Tuhan). Jadi sama
dengan theology dalam dunia barat. Theos (bahasa Yunani) berarti Tuhan dan logos
(bahasa Yunani) berarti ilmu.
Menurut Hindu memantapkan keyakinannya terhadap Tuhan melalui tiga cara
disebut tri pramana (tri = tiga dan pramana = cara), yaitu :
1) Agama pramana atau sabda pramana yaitu keterangan yang diperoleh dari orang suci
(rsi).
2) Anu pramana : berdasarkan analisa kesimpulan (logika)
3) Pratyaksa pramana : dengan cara langsung mengamati melalui seluruh indranya. Cara
ini dapat diperoleh para rsi kita, karena beliau orang suci dan bijaksana.
14
Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa
Berdasarkan kitab suci Hindu (Weda) Sang Hyang Widhi adalah Esa atau tunggal.
Tidak benar kalau dikatakan bahwa umat Hindu menyembah banyak Tuhan. Tuhan itu
memang disebut dengan banyak nama, tetapi hakekatnya Beliau hanyalah satu. Jadi kita
menganut paham monotheisme (mono : satu) bukan polytheisme (poly : banyak).
Marilah kita petik beberapa bait kitab suci kita :
1) Ekam ewa advityam Brahma (Chandogga Upanisad IV.21) : Tuhan hanya satu, tidak
ada yang kedua.
2) Eko Narayanad na dwityo ‘sti kaccit. Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
(bait Puja Trisandhya ke 2).
Para ahli agama Hindu yang disebut “Wipra” menyebutkan Sang Hyang Widhi itu
dengan banyak nama. Sesuai dengan sifat, fungsi dan prabawaNya, Sang Hyang Widhi
diberi gelar sebagai berikut :
1) Sang Hyang Tunggal
2) Sang Hyang Guru
3) Sang Hyang Sangkamparan
4) Sang Hyang Jagatnatha
5) Sang Hyang Parameswara
6) Sang Hyang Triloka Sarana
7) Sang Hyang Acintya
8) Sang Hyang Paramatma
9) Sang Hyang Parama Kawi
10) Sang Hyang Wenang
11) Sang Hyang Tuduh
12) Sang Hyang Parama Wisnu
13) Sang Hyang Taya
14) Sang Hyang Parama Tattwa
15) Sang Hyang Maha Dewa
15
Sang Hyang Widhi adalah maha pencipta, pelindung dan pemelihara. Ketiga
perwujudan Sang Hyang Widhi ini disebut Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, dan
dengan kemahakuasaanNya disebut Tri Sakti yaitu Utpeti (mencipta), Stiti (pemelihara)
dan pralina (pelebur). Dalam aksara, Beliau disimbolkan :
• Sebagai Ang (untuk Brahma ………)
• Sebagai Ung (untuk Wisnu …………)
• Sebagai Mang (untuk Siwa …………)
Kalau ketiga huruf itu digabungkan atau disandikan, maka menjadilah Aum atau
Om. Maka itu, setiap memulai dan mengakhiri suatu mantra selalu dipakai ucapan Om.
16
Demikianlah delapan sifat keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Tempat duduk /
singgasana Beliau dilambangkan dengan delapan daun teratai (asta dala), asta berarti
delapan dan dala artinya daun bunga (tajuk bunga).
17
(4) Adahyo = tidak dapat dibakar
(5) Akledyo = tidak dapat dibasahi
(6) Asosya = tidak dapat dikeringkan
(7) Nitya = kekal
(8) Sarwagatah = maha ada, ada dimana-mana
(9) Sthanur = tidak berubah, tidak berpindah
(10) Acala = tidak bergerak
(11) Sanatana = kekal abadi
(12) Awyakta = tidak terlahirkan
(13) Acintya = tidak terpikirkan
(14) Awikarya = tidak berubah
Ketiga badan ini dipengaruhi oleh adanya kekuatan sinar atau cahaya atma (jiwatma) yaitu
triguna (satwam, rajas dan tamah).
Penjelasan :
* Sattwam bersifat sakti dharma, bagi lapisan badan anta karana sarira. Sifatnya tenang,
tentram, damai, adil, peri kemanusiaan, rasa ketuhanan dan suci.
18
* Rajas : bersifat sakti kama, bagi lapisan badan suksma sarira atau lingga sarira.
Geraknya resah, bergelora, emosi, ambisi, cita-cita tinggi, kuasa, sakti dan sebagainya.
* Tamas : bersifat sakti artha, bagi lapisan badan kasar (stula sarira). Geraknya berat,
bersifat keduniawian, malas, kurang senang, apatis, dan sebagainya.
Setiap manusia mempunyai ketiga sifat ini hanya tentu berbeda-beda prosentasenya.
Karena itu, kita dapat melihat sifat dan bakat seseorang dari pantauan pengaruh triguna ini.
Yang mana yang dominan, sattwamkah, rajaskah atau tamas. (Perhatikanlah gerak-gerak
orang itu, tenangkah, resahkah, atau mungkin pasif dan sebagainya). Dari tanda-tanda itu
kita dapat mengetahui sifat yang mana yang dominan, sattwamkah, rajahkah atau tamas
dan sebagainya.
c. Karma Tattwa
1) Pengertian, Sumber Karma dan Hukum Karma
Menurut etimologinya, karma berasal dari kata “kr” (bahasa Sansekerta) berarti
kerja atau berbuat. Setiap perbuatan orang dipengaruhi oleh triguna yaitu sattwam,
rajah dan tamah. Orang berbuat mungkin dengan penuh kesadaran atau mungkin juga
tidak disadari. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa karma adalah segala perbuatan dan
kegiatan yang dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar.
2) Sumber Kegiatan
Sumber kegiatan terdiri dari 3 macam, yaitu :
a) Manah (pikiran)
b) Wacika (ucapan)
c) Kayika (perbuatan)
Dilihat dari sumber ini, maka dapat dikatakan bahwa karma itu ada 3 macam, yaitu :
a) Karma dalam bentuk pikiran
b) Karma dalam bentuk perkataan
c) Karma dalam bentuk perbuatan
3) Jika orang itu membuat karma yang baik, maka ia akan menerima hasil yang baik, dan
jika sebaliknya maka ia akan menerima hasil yang tidak baik. Hasil ini disebut pahala.
19
Karena itu terjadilah apa yang disebut karmapahala atau karmapala. Hukum yang
berlaku untuk itu disebut “hukum karma pala”.
Hukum karma adalah hukum alam semesta yang telah ditetapkan oleh Tuhan / Sang
Hyang Widhi Wasa. Hukum itu berlaku bagi siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
Hukum ini berlaku sejak alam ini diadakan dan akan terus berlaku sampai alam ini
pralaya (musnah, lebur).
4) Jenis Karmapala
Karmapala itu ada 3 macam, yaitu :
a) Sancita karmapala : karma yang lalu namun baru dapat di nikmati buahnya pada
kelahiran sekarang.
b) Prarabda karmapala : yaitu karma yang dilakukan sekarang dan buahnya di terima
sekarang juga.
c) Kriyamana karmapala : yaitu pembuatan yang tidak sempat di nikmati sekarang.
Namun akan diterima pada kehidupan yang akan datang.
Karena itu seyogyanyalah setiap orang berbuat yang baik, berpikir yang baik dan
berkata yang baik. Hasilnya pasti baik sesuai dengan hukum karmapala tersebut.
Manfaat yang di peroleh dari penghayatan hukum karma ada beberapa buah :
a) Menimbulkan kesabaran, ketenangan, dan ketabahan.
b) Keyakinan diri
c) Pengendalian diri
d) Kebijaksanaan
e) Bhakti kepada Sang Hyang Widhi karena Beliau telah menetapkan hukum karma
pala itu.
d. Punarbawa
Kata punar berarti “musnah, hilang” dan bhawa berasal dari “bhu” artinya timbul
atau lahir. Jadi punarbhawa artinya musnah, tumbuh lagi, atau lenyap, lahir lagi, lahir
berulang kali. (baca : Gde Pudja : 1984 : 47).
Hukum karma sangat berpengaruh pada punarbhawa itu. Kalau timbunan (investasi)
karmanya sangat baik mungkin ia di lahirkan di sorga, atau mungkin sebaliknya ia akan
20
dilahirkan di neraka kalau sebagian besar atau seluruh karmanya tidak baik. Dan
kemudian, mungkin juga di lahirkan ke dunia ini lagi.
Ia akan dilahirkan lagi dalam keadaan yang baik atau tidak baik, tergantung pada
perbuatannya : Subha karma (perbuatan baik) atau asubha karma (perbuatan jahat). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa karma (perbuatan) itu merupakan rahim kelahiran.
e. Moksa tattwa
1) Pengertian Moksa
Kata moksa atau mukti atau nirwana berarti kebebasan, atau kemerdekaan. Yang
di maksud dengan kebebasan disini ialah terlepasnya atma dari ikatan karma, kematian,
kelahiran, dan penderitaan keduniawian dan bersatu dengan sumbernya yaitu brahman
Dengan persatuan antara atman dan brahman Atau atma dengan parama atma, maka
berakhirlah proses atau lingkaran punarbhawa itu. Karena itu terjadilah kebahagian
yang kekal dan abadi. Hal ini hanya bisa dicapai oleh orang yang luar biasa, orang
bijaksana yang di sebut para “ wipra”.
Bila moksa telah terjadi, maka tujuan ajaran yang disebut “moksartham
jagadhita”, juga tercapai dengan sempurna. Bila belum, maka tujuan kebahagian dunia
masih tetap dalam proses yakni tujuan untuk melaksanakan : dharma, artha dan kama.
2) Tingkatan moksa
Ada 3 macam yaitu : jiwan mukti, wideha mukti, dan purna mukti.
a) Jiwan mukti : suatu kebebasan yang dapat dicapai pada masa hidup ini.
b) Wideha mukti atau disebut juga krama mukti, yaitu suatu kebebasan yang dapat
dicapai dalam hidup ini, atau terlepas dari stula sarira dan ikatan karma tidak kuat.
c) Purna mukti : yaitu kebebasan paling sempurna dan tertinggi. Dalam hal ini atma
telah bersatu dengan parama siwa.
3) Cara mencapai moksa
Menurut Manawa Dharma Sastra, untuk mencapai rahmat yang tertinggi (nicreyasa)
yakni moksa dapat di capai dengan :
a) Mempelajari weda
b) Melakukan tapa
c) Mempelajari / mencari pengetahuan yang benar
d) Menundukkan panca indra
21
e) Tidak melukai / membunuh makluk
f) melayani / menghormati guru
Keenam cara ini harus dikerjakan serentak, jadi tidak hanya memilih salah satu saja.
Selain itu, dikenal pula cara lain, yaitu dengan mengadakan “yoga”
menghubungkan dan memusatkan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ada
empat macam yoga (catur yoga), yaitu : a) karma yoga, b) bhakti yoga, c) jnana yoga
dan 4) raja yoga. Kata yoga berasal dari kata “juj” yang artinya menghubungkan diri
dengan Tuhan.
a) Karma Yoga : dengan jalan berbuat kebajikan (subha karma) untuk melepaskan diri
dari ikatan dunia. Karma Nirwritta bukan karma prawritta.
b) Bhakti Yoga : berlandaskan atas ajaran cinta kasih pada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa.
Ia selalu memupuk dan mengembangkan sifat maitri, karuna, mudita dan upeksa
(catur paramita). Ia membebaskan dirinya dari belenggu ke-aku-an (ahangkara).
c) Jnana Yoga : mencapai persatuan dengan Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan
pengetahuan suci.
Orang ini memusatkan trikayanya yaitu bayu, sabda dan idepnya untuk mendalami
pustaka suci.
d) Raja Yoga ; Jalan ini dilaksanakan dengan cara pengendalian dan penggemblengan
diri yaitu tapa, brata dan samadi. Ada 8 tahap yang harus dijalankan, disebut
astangga yoga, yaitu : yama, niyama, asana, prana yama, pratyahara, dharana,
dyana dan samadhi.
- Yama : pengendalian diri pada tahap pertama.
- Niyama : pengendalian diri pada tahap lanjutan.
- Asana : latihan berbagai sikap badan untuk meditasi.
- Prana yama : pengaturan pernafasan.
- Pratyahara : pengendalian indria.
- Dyana : pemusatan pikiran
- Dharana : pemusatan pikiran pada obyek meditasi.
- Samadi : meditasi taraf tinggi.
22
10. Pustaka Suci : Weda dan lain-lainnya
Pustaka suci “Weda” adalah sumber hukum Hindu. Karena itu Weda seharusnya
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Weda berasal dari kata “wid” artinya mengetahui
dan Weda berarti “pengetahuan”. Weda disebut juga mantra. Weda digubah dalam bentuk
puisi dan dilagukan. Dalam pengertian sempit Weda berarti pengetahuan suci.
Kitab suci Weda memuat wahyu Tuhan, yaitu suara Tuhan yang diterima secara gaib
oleh para Maha Rsi. Wahyu itu disebut Sruti dalam bahasa Sansekerta. Wahyu-wahyu itu
dihimpun sesuai dengan tujuannya yaitu yang bersifat umum, yang memuat do’a-doa dan
sebagainya. Karena itu kita mengenal empat himpunan (samhita), yaitu :
1. Rg Weda Samhita
2. Sama Weda Samhita
3. Yayur Weda Samhita
4. Atharwa Weda Samhita
Dalam mempelajari agama Hindu, orang hanya menyebut dengan singkat saja yaitu
Catur Weda atau Catur Samhita. Bahasa yang digunakan dalam Weda adalah bahasa
Sansekerta.
23
Weda, Sumber Hukum Hindu
Weda adalah sumber dari segala Dharma atau hukum Hindu. Hal ini dikatakan oleh
Maha Resi Manu sebagai peletak dasar hukum Hindu. (Titib : Pengantar Weda, h. 23).
Manawadharmasastra II.6 mengatakan bahwa “Weda adalah sumber dari segala sumber
dari segala Dharma, kemudian barulah Smrti, di samping Sila, Acara dan Atmanastuti”.
Berdasarkan kutipan di atas, kita mengenal sumber-sumber hukum Hindu secara kronologis
sebagai berikut :
a. Weda (Sruti)
b. Smrti (Dharmasastra)
c. Sila (Tingkah laku orang suci)
d. Acara (Tradisi yang baik)
e. Atmanastuti (Keheningan hati)
24
11. Hari Raya Agama Hindu
Setiap agama besar di dunia mempunyai hari raya yang disucikan dan dirayakan oleh
umatnya. Begitu juga agama Hindu, khususnya di Indonesia. Secara tradisi Hari Raya Agama
Hindu di Indonesia dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Pertama, hari raya yang berdasarkan sasih atau bulan dan tahun Saka. Contoh Hari Raya
Nyepi dan Hari Raya Siwaratri atau Siwa Latri. Kedua hari raya ini dirayakan oleh umat
Hindu di Indonesia setahun sekali.
2. Kedua, hari raya yang berdasarkan Tahun Pawukon yaitu Hari Raya Galungan dan
Kuningan, Saraswati dan Pager Wesi. Hari raya ini dirayakan dan disucikan oleh umat
Hindu di tanah air, setiap 210 hari sekali. Setahun ada 30 pawukon dan masing-masing
wuku umurnya 7 hari.
Karena itu, perayaan di hari raya Hindu di Indonesia tidak sama dengan di India. Namun
demikian, semangat dan falsafahnya tetap sama karena memiliki sumber dasar yang sama
yaitu Weda, Sruti dan Smerti. Selain itu hakekat kebenarannya juga sama.
Untuk memperluas wawasan dan menambah pengalaman anda tentang hari raya suci
agama Hindu, kami harapkan anda membaca beberapa sumber yang menjelaskan tentang hari-
hari raya tersebut. Buatlah sebuah karya tulis tentang satu hari raya Hindu, dan uraikan tentang
apa hari raya itu, apa maksud hari raya itu (filsafatnya), bagaimana caranya umat Hindu
merayakannya dan aspek-aspek lain yang anda anggap penting dikemukakan, misalnya
pengalaman unik anda merayakan hari raya tersebut. Buatlah dengan bahasa yang sederhana
tetapi jelas, mudah dimengerti dan menarik perhatian.
25
Marilah kita ikuti kedua pembahasan tentang catur purusa artha dan catur asrama.
1. Catur purusa artha
Catur artinya empat, purusa artinya hidup atau berjiwa dan artha berarti tujuan. Jadi empat
tujuan hidup. Perinciannya adalah sebagai berikut :
a. Dharma : adalah segala yang mendukung manusia untuk mendapatkan “kerahayuan”.
Dalam kenyataannya, dharma adalah kebajikan, peraturan-peraturan hidup. Dengan
melaksanakan kebajikan dan peraturan-peraturan hidup manusia akan memperoleh
kerahayuan. Kerahayuan dapat berwujud kesejahteraan, rasa aman lahir dan batin.
Sarasamuscaya 14 mengatakan : dharma adalah seperti perahu yang akan menjadi alat
untuk menyeberangi samudra (kehidupan).
b. Artha : adalah alat atau benda untuk memenuhi kama (nafsu) dan alat pula untuk
melaksanakan dharma. Artha dapat memberi kenikmatan dan memenuhi kebutuhan
hidup dalam menghadapi perkembangan dan kemajuan hidup itu sendiri. Tanpa artha
kita tak mungkin dapat memenuhi kebutuhan hidup itu, namun tidak dapat dilupakan
bahwa dharma adalah alat pengendali dari pada artha itu. Sarasamuscaya 11
mengatakan : hendaknya artha dan kama itu untuk dharma.
c. Kama : artinya keinginan, hasrat atau nafsu. Keinginan / nafsu adalah kenyataan yang
berada pada setiap manusia. Dari keinginan timbul harapan hidup, dan dari harapan
hidup menjadi hidup benar-benar hidup. Tanpa harapan hidup sama saja dengan mati.
Manawadharmasastra II.2 menyebutkan : berbuat hanya keinginan untuk mendapatkan
pahala adalah tidak terpuji, tetapi sebaliknya, perbuatan tanpa keinginan tidak dapat
kita jumpai di dunia ini. Keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbuatan yang tidak didasarkan pada keinginan. Namun dalam memenuhi keinginan
tersebut, hendaknya berdasarkan pada dharma. Setiap manusia yang normal memiliki 3
nafsu / dorongan yaitu nafsu haus, lapar dan sex. Ketiga nafsu ini dapat dipenuhi
berdasarkan dharma. Sebaliknya penderitaan akan timbul, bila ketiga nafsu itu dipenuhi
tanpa berdasarkan dharma.
d. Moksa : adalah kebahagiaan rohani yang tertinggi yaitu bersatunya Atman dengan
Brahman. Moksa juga berarti Mukti yakni kebebasan dari ikatan karma, kelahiran,
kematian serta belenggu dari keduniawian. Moksa adalah tujuan hidup yang tertinggi
dari setiap insan Hindu. Mencapai persatuan dengan Tuhan (Moksa) adalah sangat
sukar. Dalam ruang ini manusia diikat oleh hidupnya sendiri. Orang dapat
26
membebaskan dirinya dari ikatan hidup itu melalui 4 jalan, yaitu : karma, bhakti, jnana
dan yoga (karma yoga, bhakti yoga, jnana yoga dan raja yoga).
27
Untuk perluasan wawasan anda bacalah Bhagavadgitaa IV.2 “Mereka yang
menginginkan hasil dari pekerjaanya di atas dunia ini, menyembah para dewa, karena hasil
dari sesuatu pekerjaan adalah mudah sekali didapat di atas dunia ini”.
2. Bhuta Yajna
Upacara Bhuta yajna adalah sebuah pelaksanaan tri rna khususnya untuk bhuta (yaitu
unsur yang diadakan, oleh Yang Maha Ada, Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Kata Bhuta sering dirangkaikan dengan kata “kala” yang artinya waktu atau energi.
Bhuta kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya. Upacara ini maksudnya untuk
menjalin hubungan yang harmonis dengan bhuta kala dan memanfaatkan daya gunanya.
Untuk perluasan wawasan anda, bacalah Wedasmrti V.39 (penciptaan hewan-hewan
untuk tujuan upacara) dan W.S. V.40 (tentang tumbuh-tumbuhan semak, pohon-pohonan
dan lain-lain yang telah dipakai dalam upacara akan lahir dalam tingkatan yang lebih tinggi
pada kelahiran yang akan datang).
3. Manusa Yajna
Tujuan diadakannya manusia yajna adalah untuk pemeliharaan, pendidikan serta
penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam
kandungan sampai akhir hidupnya.
Karena itu dikenal upacara manusa yajna, sebagai berikut : (a) upacara bayi lahir, (b)
upacara 42 hari, (c) upacara hari lahir (wetuan), dan (d) upacara perkawinan.
4. Pitra Yajna
Ajaran ini berlandaskan pada tri rna, khususnya pitra yaitu hutang karma kepada
orang tua / leluhur. Karena itu patut dilaksanakan oleh anak, cucu, para sentana dan
keluarga terdekat.
Bagi umat Hindu rasa hormat dan duka atas meninggalnya seseorang diwujudkan
dengan mengadakan upacara “Ngaben” dan upacara Nyekah. Tujuannya adalah untuk
membebaskan Sang Atma dari ikatan jasmani, ikatan duniawi dan meningkatkan
kesuciannya agar bisa mendapat tempat yang baik di alam akhirat (sorga).
Adapula upacara yang bersifat sementara yang disebut “Mekingsan”. Upacara ini
belum dianggap sempurna karena belum disucikan serta dipralina sebagaimana mestinya.
Bila keadaan sudah memungkinkan akan diselenggarakan upacara ngaben dan nyekah.
Karena itu, upacara pitra yajna terdiri dari :
a. Upacara Mekingsan (di gni)
b. Upacara Ngaben
28
c. Upacara Nyekah
Untuk perluasan pengetahuan anda bacalah beberapa buku tentang pitra yajna,
misalnya buku yang berjudul “Panca Yajna” oleh Ny. IGA. Mas Mt. Puta, buku “Catur
Yadnya”, dan sebagainya.
5. Rsi Yajna
Maksud daripada yajna ini adalah untuk membayar hutang kepada Rsi (orang suci),
karena beliau telah mengajarkan kita tentang kerohanian, kesucian, ilmu pengetahuan dan
sastra lainnya. Caranya ialah dengan mematuhi ajarannya dan memberikan penghormatan
berupa materi tertentu (buah-buahan, daksina, dan lain-lain) pada waktu-waktu tertentu.
Hal ini juga berdasarkan pada tri rna.
Ad.1. Yang dimaksud dengan Guru Rupaka adalah ibu dan bapak (orang tua). Orang tua
mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya. Pengorbanannya tidak dapat
digambarkan dengan kata-kata. Karena itu kecintaan dan bakti terhadap orang tua sangat
diharapkan dari anak-anaknya. Kewajiban anak adalah menghormati dan memuliakan orang
tuanya, baik pada masa hidup beliau maupun setelah beliau telah tiada (meninggal). Seorang
anak yang tidak memenuhi kewajibannya seperti yang disebut di atas, disebut “alpaka guru
rupaka”. Sungguh sangat besar dosa anak yang demikian itu.
29
seorang anak menjadi pandai dan sebagainya. Karena itu wajib hukumnya bagi si murid
untuk menghormati gurunya dengan setinggi-tingginya.
30
17. Sad Darsana
Pengertian :
Darsana adalah istilah yang umum untuk menunjukkan suatu sistem filsafat India. Kata
ini berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari akar kata yang berarti memandang. Istilah lain
yang artinya sama dengan darsana adalah tattwa, mananasastra, wiracarita dan tarka (Buku
Agama Hindu Tk. SMU III : 1999).
Tujuan :
Kelepasan atau persatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Cara yang mereka pergunakan
untuk mendapatkan kebenaran itu berbeda satu dengan lainnya. Maka itu, mereka memiliki
pandangan yang berbeda satu dengan lainnya.
31
3. Swah : merupakan Swah Loka
Loka berarti dunia.
Jadi Tri Bhuwana = Tri Loka
32
Semua benda yang kita kenal tersusun di panca maha bhuta. Benda yang paling kecil
disebut “anu”, berupa atom atau proton atau elektron atau bersel satu. Satu proton
mengandung unsur panca maha bhuta.
Panca Tan Matra :
Panca artinya lima, tan matra artinya unsur terkecil. Unsur terkecil ini merupakan unsur dasar
yang membentuk maha bhuta yang lima itu. Setiap maha bhuta terdiri atas lima unsur atau
matra.
Sifat dari Panca tan matra ada lima, yaitu :
1) Sifat padat
2) Sifat cair
3) Sifat panas
4) Sifat angin
5) Sifat eter
Bila kelima sifat itu digabung terjadilah benda. Benda itu dibentuk oleh sifatnya.
Manusia dijadikan dari Panca Tan Matra dari Panca Maha Bhuta
Manusia adalah mahluk hidup yang paling sempurna. Paling sempurna dari semua
ciptaan Tuhan. Tuhan mengendalikan ciptaan alam semesta dengan cara memberi hidup.
Untuk menghidupkan benda-benda itu diberi atman sebagai wujud nyata dari Tuhan Yang
Maha Esa. Penciptaan alam semesta dan isinya melalui suatu proses kejadian, dan proses
kejadian itu disebut proses evolusi, karena dengan proses itu terjadi evolusi / perubahan secara
lambat. Demikian panca maha bhuta mengalami proses perubahan sehingga menjadi manusia
dengan segala sifat-sifatnya.
33
Inilah kutipan tersebut :
Sumber
Mahabharata Ramayana
Demikianlah secara singkat dan sangat umum dasar-dasar agama Hindu itu. Untuk
mendapatkan pengetahuan yang lebih luas serta memperoleh wawasan yang lebih mendalam,
maka diharapkan para mahasiswa agar lebih banyak membaca buku-buku yang ada
hubungannya dengan studi yang anda pelajari. Keaktifan anda membaca buku-buku atau
naskah-naskah tertentu sangat mempengaruhi kwalitas kesarjanaan anda.
Demikianlah ulasan kami, semoga materi ini ada manfaatnya, paling tidak merangsang
anda untuk belajar lebih dalam lagi.
34
KEPUSTAKAAN – BIBLIOGRAFI
Catur Yadnya, Tim Penyusun Pemda Tk. I Bali, Cet. 3, Denpasar, Upada Sastra, 1996.
Cudamani, Pengantar Agama Hindu, Jakarta, Hanoman Sakti, 1992.
Netra, A.A.G. Oka, Tuntunan Dasar Agama Hindu, Jakarta, Hanoman Sakti, 1997.
Parisada Hindu Dharma Indonesia, Pasal : Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma,
Denpasar, Upadasastra, 1988
Pedoman Penerangan Agama Hindu dan Budha, Jakata, 1983 / 1984.
Pendit, Nyoman S., Bhagavadgita, Jakarta, Dep. Agama RI, 1967.
Pudja G., dan T. Rai Sudharta, Manawa Dharma Sastra, Jakartaa, Dep. Agama RI, 1973.
Pudja, Gede, Pelajaran Agama Hindu, Jakarta, Penerbit M.S, 1984.
Pudja, Gede, Sarasamuscaya, Jakarta, Dep. Agama RI, 1985.
Pudja, Gede, Sosiologi Hindu Dharma, Jakarta, Yayasan Pura Pita Maha, 1963.
Pudja, Gede, Weda Parikrama, Jakarta, Hanoman Sakti, 1991.
Rai Dekaka, Pedoman Praktis Pokok-pokok Pelaksanaan Upacara Manusa Yajna, Jakarta,
Hanoman Sakti, 1994.
Satya Sai Baba, A Compedium of The Teaching of S.S.B, New Delhi, 1999.
Sri Srimad,. A.C. Bhakti Vedanta S.P., Bhagavadgita : Menurut Aslinya, Jakarta,
Hanoman Sakti, 2000.
Surayan, Ida Ayu Putu, Manusa Yajna, Paramita, 2002.
Wardhana, IB. Rai, Buku Pelajaran Agama Hindu, Jakarta, Hanoman Sakti, 1999.
Widia, I Gusti Made, Ramayana, Denpasar, Penerbit BP, 1993.
35