Oleh
I.B. Putu Suamba
1. Pendahuluan
I.B. Mantra
2. Sumber Acuan
Kajian ini berdasarkan hanya pada dua tulisan beliau yang sudah
diterbitkan secara maluas. Prof. Dr. I.B. Mantra pernah menulis makalah
bertema Siwa-Buddha, yaitu Pengertian Siwa-Buddha dalam Sejarah di
Indonesia yang disajikan dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional di
Malang, 3-9 Agustus 1958. Paper ini bersama-sama dengan artikel senafas
3. Tradisi Saiwa-Bauddha
Yang mendesak perlu diketahui oleh masyarakat Hindu di Bali waktu itu
adalah bagaimana penyatuan Siwa dan Buddha itu bisa terjadi? Bagaimana
teologi (ajaran ketuhanan) agama ini? Apakah Saiwa-Bauddhagama ini berbeda
dengan agama Hindu dan agama Bauddha? Inilah sejumlah pertanyaan yang
kira-kira Prof. Mantra ingin jelaskan kepada pembaca/masyarakat. Jika hal ini
bisa dijelaskan secara baik berarti tradisi keagamaan (yang ritualistik) di Bali
dan Lombok memiliki landasan tattwa atau ilmu ketuhanan yang jelas sehingga
umat Hindu tidak merasa apa yang telah ditradisikan salah secara tattwa.
Berikut ini dicoba diungkapkan kembali kajian5 Prof. Mantra atas kedua
tradisi ini secara singkat.
4. 1 Saiwa-Siddhanta
Dari sifat kasih Siwa Tattwa yang tidak terbatas muncul sebagian kecil
dari diri-Nya lima Sakti, yaitu (1) Para Sakti (kadang-kadang disebut juga
dengan Santyatita Sakti), (2) Adi Sakti atau Santi Sakti, (3) Ichcha Sakti atau
Widya Sakti, (4) Jnana Sakti atau Pratishta Sakti dan (5) Kriya Sakti atau
Nirwriti Sakti. Masing-masing sakti mempunyai kedudukan tertentu terhadap
jiwa sendiri9.
Pada Sakala-Niskala terdapat lima Sada Siwa Tattwa yang muncul dari
lima Sakti yang telah disebutkan di atas. Proses ini mulai dari Para Sakti ke
bawah. Dari Para Sakti muncul Sada Siwa (Siwa Sadakhya). Sada Siwa ini
disebut demikian oleh karena muncul dari Para-sakti; alamnya suci (pure). Dari
Adi Sakti muncul perwujudan kedua yaitu Sada Siwa tattwa, juga disebut Isana.
Dianggap sebagai Niskala (amurtata) karena muncul dari Adi Sakti yang tidak
berbentuk. Yang ketiga muncul dari Ichcha Sakti. Ini adalah Sada Siwa yang
ketiga juga disebut Brahma. Tattwa ketiga ini dianggap sebagai yang
mempunyai wujud dan disebut dengan nama murta. Dalam alamnya yang
Sakala, Sada Siwa Tattwa muncul dari Jnana Sakti dan disebut Iswara.
Barulah kita sampai pada yang terakhir yaitu Sada Siwa Tattwa yang mana
adalah hasil dari Kriya Sakti. Tattwa ini disebut Karma Sadakhya dan juga
dikenal sebagai Isana. Kelima Sadakhya ini biasanya dikenal sebagai Wama
4.2 Buddha-Mahayana
Secara agama, ada dua mazab besar dalam Buddhisme, yaitu Hinayana
(kendaraan kecil) dan Mahayana (kendaraan besar). Di antara kedua mazab ini,
terdapat sejumlah perbedaan disamping persamaan. Metafisika Buddha-
Mayahana dinilai mempunyai perkembangan yang mendekati bentuk ilmu
ketuhanan Saiwa-Siddhanta. Tujuan akhir ajaran Mahayana adalah tercapainya
ke-buddha-an (buddha-hood). Tidak sama dengan ajaran Hinayana, Mahayana
percaya dengan adanya badan bayangan perseorangan dari Buddha. Hinayana
Kaya yang ketiga adalah Sambhoga kaya. Kaya ini biasanya disebut
dengan badan bahagia. Ini adalah badan penjelmaan dari Dharma kaya,
mahasuksma dan memperlihatkan dirinya sebagai superhuman dalam berbagai
keadaan yang berbahagia; yang mengajarkan kebijaksanaan pada manusia16.
Dhatu yang kedua, yaitu Wajradhatu mempunyai lima aspek; yang tiga
termasuk ketiga sifat-sifat tadi di atas dan dua lainnya termasuk
Ratnasambhawa untuk memperlihatkan kebenaran dan kebebasan yang
sempurna dari Buddha tanpa batas dan yang lima Karmanubhawa
memperlihatkan penyelesaian dari semua pekerjaan19.
Dari sini, lanjut Prof. Mantra menyatakan bahwa apa yang dimaksud
dengan tiga kelas tadi sebenarnya adalah tiga kaya. Jika demikian, maka Wajra
satwa merupakan inti sari dari semua dewa dalam Sambhoga kaya. Ini rupanya
benar jika diperhatikan sistem ketuhanan Saiwa Siddhanta yang mempunyai
kemiripan dalam beberapa hal.
Lanjut Prof. Mantra, jika kita melihat persamaan dari kedua sekte ini
maka keyakinan kita bertambah-tambah bahwa kedua susunan ilmu
pengetahuannya sebenarnya dibuat atas dasar yang sama. Dari persamaan
tersebut tidak diragukan lagi adanya keharmonisan26.
Di dalam kedua tradisi ini ditekankan pada prinsip dari jiwa yang tunggal
(duality in non-duality). Keduanya mempunyai dua aspek yaitu negatif dan
positif (Niwrti dan Prawrti); yang statis dan dinamsi. Dalam agama Hindu
kedua aspek ini diwakili oleh Siwa dan Sakti-nya dan di dalam Buddhisme
diwakili oleh Sunyata dan Karuna. Di dalam Tantra, Siwa-Sakti diwujudkan di
dunia ini dalam bentuk laki dan perempuan. Pandangan yang sama juga
ditemukan di dalam Buddhisme. Kedua prisip tadi berjuang dalam hidupnya
untuk persatuan yang sempurna, yaitu tunggalnya kebenaran tadi. Jika
mempelajari sistem susunan ilmu ketuhanannya kita jumpai bahwa kedua ini
berdasarkan yang sama. Jadi, ada pandangan yang harmonis antara kedua
agama, yaitu Bauddha dan Saiwa. Inilah keadaannya Buddhisme sewaktu
mengalami proses persatuan dengan Saiwaisme di Indonesia (baca: Jawa
Timur).
6. Refleksi
7. Penutup
i
Makalah disampaikan dalam Diskusi Pendalaman Pemikiran Filsafat dan Budaya Prof. Dr. Ida Bagus
Mantra, Minggu, 29 Juni 2014 di Griha Giri Sunya, Br. Umah Anyar, Mambal, Abiansemal, Badung,
Bali.
2
Mengenai pemikiran-pemikiran sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, agama, dan lain-lain, silakan
baca Prof.Dr. I.B. Mantra, Bali: Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi (Denpasar: Upada Sastra,
1990); Landasan Kebudayaan Bali (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 1996); dan I.B.G. Agastia,
Menemuai Diri Sendiri: Percikan Pemikiran Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (Denpasar: Yayasan
Dharma Sastra, 2006).
3
Lihat I.B. Putu Suamba, Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha I Gusti Bagus Sugriwa (Makalah)
disampaikan dalam Diskusi Sastra Memperingati 36 Tahun Wafatnya I Gusti Bagus Sugriwa,
Minggu, 24 November 2013 di Griha Giri Sunya, Br. Umah Anyar, Mambal, Abiansemal, Badung,
Bali.
4
Prof. Dr. I.B. Mantra, Biografi Seorang Budayawan (1928-1995). Denpasar: Upada Sastra, 1998.
5
Kajian yang lebih detail, dipersilakan membaca kedua sumber yang diacu di dalam makalah ini.
6
I.B. Mantra, Pengertian Siwa-Buddha dalam Sejarah Indonesia dalam Siwa-Buddha Puja di
Indonesia (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 2002), hal. ?
7
Ibid., hal. 3.
8
Ibid., hal. 3-5.
9
Ibid., hal. 4.
10
Ibid .hal. 6-7.
11
Ibid., hal. 7.
12
Ibid., hal. 6.
13
Ibid., hal. 8.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Ibid.,hal. 9.
17
Ibid.,hal. 10.
18
Ibid.,hal. 10-11.
19
Ibid.,hal. 11.
20
Ibid.,hal. 12.
21
Ibid.,hal. 12-13.
22
Ibid.,hal. 13.
23
Ibid.,hal. 14.
24
Ibid., hal. 14-15.
25
Ibid.,hal. 17.
26
Ibid.,hal. 15-16.
27
Ibid.,hal. 17.
28
Ibid.,hal. 18-19.
29
Ibid.,hal. 19.
***