Anda di halaman 1dari 116

BRAHMA-SUTRAS

C
Karya ini dipersembahkan kembali kepada Prabu Sri
Wyasa, Bhagawan Jagat Guru Shankaraacharya
dan kepada Srimad Appaya Dikshitar

Diterjemahkan Oleh :
Mohan M. S.

Diedit Oleh :
Suratsih

SHANTIGRIYA GANESHYA POOJA


CISARUA, BOGOR
2002 - 2005

www.shantiwangi.com [Type text]


BRAHMA - SUTRAS

Brahma-sutras adalah salah satu maha karya dari Resi Agung


Sri Wyasa (Resi Abiyasa) yang juga dikenal dengan nama Resi
Abhiyasa di Indonesia. Nama lain beliau adalah Resi Krishna-
Dwaipayana dan Resi Badarayana. Karya ini bersifat sangat khusus
dan seyogyanya hanya dipelajari oleh kaum cendekiawan yang
telah mendalami berbagai Weda dan Upanishads (Sruti dan juga
Smriti), tanpa landasan ini, maka karya ini akan bersifat asing dan
membingungkan. Tidak ada suatu sekte ajaran Hindu-dharma
yang tidak berpedoman ke Brahma-sutras ini. Konon dikatakan
seorang guru yang ingin membangun sebuah perguruan spiritual di
India, diharuskan untuk menulis sebuah referensi penelitian
mengenai Brahma-sutras ini melalui sudut pandangannya yang
pribadi. Demikianlah, dari masa ke masa kode etik pendirian
perguruan spiritual dilaksanakan di tanah Bharata.

Para resi guru dari zaman-zaman yang lalu sampai ke eranya


resi-resi guru seperti Sri Shankara Acharya, Sriharsha, Chitsukha
dan Madhu Sudana berupaya mengukuhkan faham Monisme secara
Hakiki (Keesaan dan Keekaan Tuhan yang serba maha).

Sri Wyasa dianggap sebagai Awatara Wishnu yang juga


dikenal dengan nama Badarayana dan Sri Krishna Dwaipayana.
Beliau telah menyarikan berbagai Upanishad, Weda, Wedanta, dsb.
dan mendiskusikannya di karya Brahma-Sutra ini.

Berbagai Weda terdiri dari tiga bagian utama yaitu :


¾ Karma-kanda, yang berhubungan dengan berbagai ritual-
ritual upacara, pengorbanan dan lain sebagainya.
¾ Upasana-kanda, yang berhubungan dengan pemujaan dan
meditasi (Upasana).
¾ Jnana-kanda, yang berhubungan dengan Sang Brahman
(Tuhan Yang Maha Esa).

Karma-kanda diibaratkan sebagai kaki manusia, Upasana-


kanda diibaratkan sebagai jantung manusia, dan Jnana-kanda
ibarat kepala manusia. Yang dimaksudkan kepala ini adalah

www.shantiwangi.com
berbagai Upanishad (Siras), yang dianggap sebagai intisari penting
berbagai Wedas.

Kata Mimamsa berarti investigasi atau penelitian yang


berhubungan dengan teks (sloka-sloka) suci yang terdapat di
berbagai shastra-widhi. Mimamsa dibagi dua, yaitu Purwa
Mimamsa (masa silam) dan Uttara Mimamsa (masa-masa
selanjutnya). Mimamsa yang pertama mensistimasikan Karma-
kanda, yaitu bagian Weda yang berhubungan dengan pelaksanaan
dan pengorbanan, bagian ini juga terdiri Samhitas dan
Brahmanas. Kemudian Mimamsa yang kedua mensistimasikan
Jnana-kanda yaitu bagian-bagian dari Weda yang termasuk bagian
Aranyaka yang masuk ke dalam kategori Brahmanas dan berbagai
Upanishads. Resi Jaimini adalah pengarang Purwa Mimamsa dan
Resi Wyasa guru Resi Jaimini adalah pengarang atau Sutrakara
dari Brahma-sutras ini yang juga dikenal dengan nama Wedanta-
Sutras. Penelitian Brahma-sutras adalah penelitian synthetik dari
berbagai Upanishads yang adalah intisari dari filosofi Wedanta.

Berbagai Weda-Weda adalah karya-karya abadi, yang tidak


ditulis atau dikarang oleh manusia, namun dipercayai sebagai nafas
yang terhembus keluar dari Sang Hyang Brahma
(Hiranyagarbha). Wedanta adalah akhir dari berbagai Weda, dan
berhubungan dengan pengetahuan, dan bukanlah spekulasi
semata. Wedanta adalah catatan autentik dari berbagai
pengalaman mistik spiritual melalui persepsi langsung, maupun
melalui realisasi aktual para resi yang agung. Brahma-sutras ini
juga disebut sebagai ilmu pengetahuan tentang jiwa.

Sutras adalah intisari dari berbagai argumen spiritual, dan


sutras di karya ini telah disingkat ke dalam susunan kata-kata
sesedikit mungkin. Hanya para resi agung yang berwawasan luas
saja yang mampu untuk menciptakan sutras. Tanpa penjelasan,
maka sutras-sutras ini sulit untuk difahami oleh kaum awam
(Bhashya, bahasa). Interpretasi sutras telah menghasilkan berbagai
faham atau sekte-sekte di jajaran Sanatana Dharma. Sebagian
dari faham-faham ini disebut Writtis dan sebagian lagi disebut
Karikas. Berbagai Acharyas (pendiri perguruan spiritual)
memakai interprasi atau doktrin ajaran mereka secara masing-
masing seperti Sri Shankara dengan faham Bhashya yang disebut

www.shantiwangi.com
Sariraka Bhashya dan perguruannya disebut Kewala Adwaita.
Bhashyanya Sri Ramanuja menghasilkan perguruan
Wisishtadwaita, ajarannya disebut Sri Bhashya. Kemudian
ajaran-ajaran Sri Nimbakarcharya dikenal sebagai Wedanta
parijata-saurabha. Sri Wallabhacharya mengajarkan filosofi
Suddhadwaita (Monisme murni) dan ajaran-ajarannya yang
berdasarkan Brahma-sutra ini dikenal sebagai Anu Bhashya.

Bahasa Sansekerta adalah bahasa kuna yang teramat elastis,


ibaratnya Kalpataru. Setiap peneliti dapat mengintisarikan
berbagai rasa, sesuai dengan daya spiritual dan budhi yang
dimilikinya. Itulah sebabnya ajaran-ajaran resi masa lalu masih
eksis pengaruhnya sampai kini. Madhwa menemukan ajaran
Dwaita, pemuja Wishnu menemukan Bhagawata atau juga
disebut Pancharatra; dan pemuja Shiwa (Pasupati, Maheswara)
menginterpretasikan Brahma-sutras ini sesuai dengan intuisi dan
tendensi spiritual mereka. Resi Nimbharkacharya menemukan
ajaran Bheda-bheda-Dwaitadwaita dan beliau ini sangat
dipengaruhi oleh ajaran Resi Bhaskara, yang amat populer pada
abad ke sembilan. Ajaran Resi Bhaskara dan Resi Nimbharka
menjadi ajaran panutan pada masa tersebut khususnya sangat
mempengaruhi Resi Audolomi. Badarayana sendiri banyak
menyitir teori ajaran ini di Brahma-sutras.

Ada lebih dari empat belas komentar atas karya Brahma-


sutras. Sri Appaya Dikshita misalnya berkomentar atas ajaran Sri
Shankara Acharya. Kemudian juga hadir pendapat para guru-guru
lainnya seperti Sri Wachaspati Misra dengan karyanya yang
disebut Bhamati dan Sri Amalananda Saraswati melalui
karyanya yang disebut Kalpataru.

Kesalahan manusia yang memahami diri (raga)nya berbeda


dengan Sang Atman adalah akar penderitaan dan kelahiran yang
berulang-ulang. Manusia menghubungkan dirinya dengan raganya
sehari-hari, bukan dengan Atmannya, sehingga timbul berbagai
pemahaman duniawi seperti : “Aku hebat, aku agung”, “Aku cantik
dan rupawan”, “Aku jelek dan buruk rupa”, “Aku adalah Raja atau
Aku adalah Brahmana”, dsb., dsb. Lalu hadir juga identifikasi
dengan berbagai indriyasnya seperti : “Aku bodoh”, “Aku buta, aku
tuli”, dsb. Kemudian terdapat juga identifikasi dengan pikiran-

www.shantiwangi.com
pikirannya seperti : “Aku cerdas, aku bodoh”, “Aku marah, aku
sakit”, dsb. Objek atau tujuan dari Brahma-sutras ini adalah untuk
menyingkirkan kesalahan-kesalahan identifikasi manusia ini dengan
berbagai aspek-aspek raganya. Hal ini berhubungan dengan
kesalahan atau kekurang-fahaman (kebodohan) dan disebut
awidya.

Pada awalnya Upanishad yang beragam-ragam tersebut


terkesan penuh dengan kontradiksi. Resi Wyasa meletakkan ke
dalam satu sistim di dalam Brahma-sutras ini. Pada hakikatnya
intisari seluruh Upanishad sama saja adanya. Resi Audolomi dan
Resi Asmarathyapun melakukan hal yang sama dan muncul dengan
perguruan-perguruan mereka.

Bagi yang ingin mempelajari filosofi Wedanta, maka


diharuskan untuk mempelajari Upanishad Klasik dan Brahma-
sutras. Semua Acharya telah menuliskan ulasan mereka akan
Brahma-sutras ini. Lima Acharya agung adalah Sri Shankara
Acharya dari perguruan Kewala Dwaita, Sri Ramanuja dari
perguruan Wisishtadwaita, Sri Nimbarka dari perguruan
Bhedabheda-wada, Sri Madhwa dari perguruan yang beraliran keras
Dwaita-wada (Dwaitisina), dan Sri Wallabha dari perguruan
Sudhadwaitta-wada. Kesemua Resi-resi agung ini setuju
bahwasanya Brahman adalah penyebab hadirnya jagat-raya dan
isinya ini, dan berbagai ajaran mengenai Brahman ini mengarahkan
seseorang ke moksha. Merekapun kemudian mendeklarasikan
bahwa Sang Brahman dapat dihayati melalui shastra-widhis dan
bukan melalui berbagai diskusi. Namun kelima guru besar ini
berbeda pendapatnya satu dengan yang lainnya akan sifat-sifat
hakiki Sang Brahman, juga akan hubungan sang jiwa dengan-Nya.
Tahap yang dicapai sang jiwa dalam perjalanannya ke arah
Brahman dan status jagat-raya, dsb.

Menurut Sri Shankara Acharya, hanya ada satu Brahman


yang hakiki yang bersifat Sat-chit-ananda dan homogeneous.
Dunia ini adalah Maya, yaitu ilusi (daya ilusif) Sang Brahman yang
tidak bersifat Sat maupun Asat. Dunia ini berupa hasil modifikasi
Sang Maya (Wiwarta). Brahman hadir sebagai jagat-raya ini
melalui ilusi Sang Maya. Beliau adalah satu-satunya Realitas yang
Hakiki.

www.shantiwangi.com
Sedangkan menurut Sri Ramanuja, Brahman dengan berbagai
atribut-atribut-Nya disebut Sawisesha. Beliau menyandang
berbagai sifat-sifat. Beliau bukanlah intelegensia, namun
intelegensia adalah sifat yang utama. Beliau ini berisikan seluruh
jagat-raya dan isinya, yang bersifat nyata. Benda (Achit) dan jiwa
(Chit) adalah raga-Nya, ia disebut Hyang Narayana yang adalah
Penguasa Dalam (Antaryamin). Berbagai wujud-wujud benda dan
jiwa adalah Prakara-prakara (mode-mode)-Nya. Para jiwa-jiwa
tidak akan menyatu dengan Hyang Brahman. Menurut Resi
Ramanuja, Sang Brahman bukan satu atau homogeneous. Pada
saat pralaya, para jiwa akan berkontraksi. Mereka berekspansi lagi,
sewaktu semesta diciptakan lagi (kembali). Brahmannya Sri
Ramanuja ini disebut Sakara Brahman, yaitu Tuhan yang memiliki
wujud. Para jiwa adalah individu-individu benar, dan akan tetap
hadir sebagai manusia. Sang Maha Jiwa bersemayam di
Waikuntha-loka sebagai Ishwara atau Hyang Narayana. Bhakti
dan bukan Jnana adalah jalan moksha. Sri Ramanuja di dalam
ajaran Bhashyanya berpedoman kepada Resi Boghayana.

Menurut Sri Nimbarkacharya, Brahman adalah wujud gaib


dan non-gaib. Beliau adalah Nirguna (tidak berwujud) dan juga
Saguna (berwujud). Semesta adalah wujud nyata dari Sang
Brahman (Parinama). Sang guru ini yakin sekali bahwa Brahman
itu ibarat susu dan semesta ini adalah yogurt yang terbuat dari
susu tersebut. Menurut ajaran beliau, sang jiwa mampu
mendapatkan moksha melalui sifat sejati sang jiwa itu sendiri.
Berbagai jiwa di jagat-raya ini adalah bagian dari Sang Brahman,
namun moksha tidak berarti penyatuan jiwa dengan Sang Atman
(Brahman), namun merupakan tahap final emansipasi yang dicapai
melalui bahkti. Seperti Ramanuja, maka sang resi ini yakin setiap
jiwa ibaratnya adalah pengejawantahan dari Hyang Wishnu yang
berlengan empat.

Mengapa terdapat sedemikian banyak opini dan kebhinekaan


di Hindu Dharma ini ? Ini semua karena ajaran Sri Shankara yang
agung itu menyatakan Tuhan sebagai Atman yang hakiki, dan hal
tersebut tidak dapat difahami oleh setiap manusia. Oleh sebab itu
Sri Madhwa dan Sri Ramanuja mendirikan perguruan yang berbasis
bhakti. Bagi kaum yang bijak, maka semua ajaran ini lebih

www.shantiwangi.com
merupakan anak-anak tangga, yang meniti kita sampai suatu saat
kita benar-benar mampu memahami ajaran Sri Shankara yang
disebut Kewaladwaita. Sri Shankara sangat anti dengan ritual-ritual
yang konsumtif dan berkepanjangan, bagi beliau bhakti semacam
ini sia-sia belaka, sebaliknya gyana atau pengetahuan akan Yang
Maha Esa secara hakiki adalah lebih utama, namun begitu resi
agung ini setuju dengan Nishkama Karma Yoga (Yoga tanpa
pamrih). Ajaran Shankara dan Wyasa bersifat sangat identik. Para
sishya perguruan ini harus mempelajari Sariraka Bhashyanya Sri
Shankara Acharya karena filosofi Adwaita ini dianggap yang paling
utama di antara ajaran dan tafsir-tafsir Hindhu Dharma.

Seseorang akan memahami Brahma-sutras ini dengan mudah


seandainya ia telah mempelajari kedua belas Upanishad; dan anda
dapat memahami bab dua karya ini seandainya anda telah
memahami pengetahuan atau ajaran-ajaran seperti Sankhya,
Nyaya, Yoga, Mimamsa, Waiseshika, Darsana dan Buddhisme.
Seluruh ajaran tersebut telah mendasari keterangan Sri Shankara
di karya ini. Dr. Thibault telah menterjemahkan karya ini ke Bahasa
Inggris. Karya Brahma-sutras ini disebut sebagai salah satu karya
Prasthanatraya, dan merupakan buku wajib bagi peneliti dan
cendekiawan Hindu Dharma. Karya ini memuat 4 Adhyayas (bab)
dan 16 Padas (Bagian), 223 Adhikaranas (Topik), dan 555
Sutras (aphorism).

Bab kesatu (Samanwyayadhyaya) menggambarkan penyatuan


dengan Sang Brahman.

Bab kedua (Awirodhadhyaya) membicarakan berbagai filosofi-


filosofi yang lainnya.

Bab ketiga (Sadhanadhyaya) berhubungan dengan upaya-upaya


Sadhana demi mencapai Brahman dan,

Bab keempat (Phaladhyaya) membicarakan pahala atau hasil dari


pencapaian Sang Jati Diri. Setiap Adhikarana mempunyai
pertanyaan-pertanyaan tersendiri yang layak didiskusikan. Kelima
Adhikarana dari Bab I, dianggap teramat penting untuk dipelajari.

www.shantiwangi.com
Puja-puji bagi Sri Wyasa Bhagawan, putra Resi Parasara,
yang telah menulis berbagai Puranas dan memilah-milah berbagai
Weda-Weda. Semoga karunia sang resi yang agung dan suci ini
beserta kita semua

OM SHANTI, SHANTI, SHANTI.

www.shantiwangi.com
DHYANA-SLOKAS
‰ Kami bersujud kepada Guru, Sang Eksistensi, yang jauh dan
lepas dari berbagai gunas, Yang Maha Tak Terjabarkan, Sang
Shaksi dari berbagai fungsi pikiran, Yang Maha Murni dan tak
berubah-ubah, Yang Maha Abadi, Yang melampaui kedua
unsur Dwandas, Yang Maha Luas, Yang dapat diutarakan
melalui kata-kata : “Dikau adalah ITU”, Karunia Brahman,
Yang Maha Pemberi Kebahagiaan Utama, Kebijakan Yang
Maha Hakiki”.

‰ Beliau yang dipuja oleh kaum Shiwais sebagai Shiwa, oleh


kaum Wedantin sebagai Yang Maha Hakiki (Brahman), oleh
kaum Buddhist sebagai Sang Buddha, oleh kaum yang
berlogika sebagai Sang Pencipta, oleh kaum Jaina sebagai
Arhat, dan oleh kaum ritualitas sebagai yajna, semoga Hari,
Penguasa ketiga loka ini memberkahi kita semua.

‰ Kami memuja Resi Agung Wyasa, yang dikenal sebagai


Krishna Dwaipayana, yang dipuja oleh para dewa, manusia
dan para asuras, yang adalah Awatara Hyang Wishnu, yang
ibaratnya cahaya yang menerangi zaman Kali yang gelap ini,
yang adalah keluarga Resi Vasishtha, yang memilah-milah
Weda-Weda, yang merupakan benih Dharma, yang menulis
Puranas, Brahma-sutras, Mahabharata dan Smriti.

‰ Kami bersujud ke Shankara Acharya, yang bersemayam di


dalam posisi Padmasana, yang shanti di dalam kendali
dirinya, yang agung secara gilang-gemilang, yang
mengenakan abu suci di keningnya, yang tersenyum ibarat
bunga teratai, yang matanya ibarat kelopak teratai, jenjang
lehernya ibarat Sankha, yang memegang pustaka di satu
tangan, dan berjenana-mudra di tangan yang lainnya, yang
dikagumi oleh para dewata, yang mengkaruniai mereka yang
bersujud kepadanya.

www.shantiwangi.com
Sri Sankardesikashtam
Puja-puji ke Sri Shankara Acharya yang telah menafsirkan
Brahma-sutras karya Resi Wyasa ini

(Oleh : Hastamalaka)

1. Wahai samudra nektar dari keseluruhan shastra-widhi.


Dikau telah mengungkap makna harta-karun berbagai
Upanishad. Kami bermeditasi ke kaki terataimu, wahai
Shankara Desika (Acharya), sudilah menuntunku.

2. Wahai samudra pengampunan, mohon kami dilindungi dari


penderitaan duniawi ini, Dikau telah menjabarkan kebenaran
sebagai ajaran, sudilah menuntunku.

3. Melaluimu, insan manusia ini mencapai kebahagiaannya.


Dikau diberkahi oleh daya budhi yang memantulkan
pengetahuan Sang Atman. Aku bermeditasi kepadamu yang
telah menjabarkan identitas sang jiwa dan Sang Ishwara,
wahai Shankara sudilah menuntunku.

4. “Dikau adalah Tuhanku”....... berfikir demikian, hatiku


penuh dengan kebahagiaan. Singkirkanlah lautan delusi,
wahai Shankara, sudilah menuntunku.

5. Berkat karma-karma baikku di masa-masa yang lampau,


maka kini aku diberkahi oleh dharsanamu. Lindungilah kami
wahai Shankara, sudilah melindungiku.

6. Demi penebusan dosa-dosa umat manusia dikau berkelana


dari tempat ke tempat. Dikau ibaratnya mentari yang cerah
dan bercahaya gilang-gemilang, wahai Shankara sudilah
menuntunku.

7. Wahai yang terbaik diantara jajaran para guru wahai dewa


Shiwa. Sangat sulit untuk menggapai pola pikiranmu. Wahai
Pelindung umat, wahai akumulasi dari seluruh pengetahuan,
wahai Shankara, sudilah menuntunku.

www.shantiwangi.com
8. Sejauh ini aku belum berhasil mendapatkan harta-karun
selain Dirimu, Wahai Guru. Sudilah memaafkan daku sesuai
dengan sifat-sifatmu, wahai Shankara, sudilah menuntunku.

Demikianlah karya Brahma-sutras ini didedikasikan :

¾ Kepada Bhagawan Wyasa, sang penulis shastra ini.


¾ Kepada Sri Shankara Acharya yang telah menafsirkan.
¾ Kepada Srimad Appaya Dikshitar,
¾ Kepada Swami Siwananda, dan
¾ Kepada semua pihak yang telah memungkinkan
pengalihan karya ini kedalam Bahasa Indonesia yang
sederhana ini.

Semoga sharma shastra-widhi ini bermanfaat bagi kita semua.

OM TAT SAT

Dialihkan ke Bahasa Indonesia yang sederhana oleh :


Mohan M.S.

Cisarua, 28 Desember 2002.

www.shantiwangi.com
BAB I
SAMANWAYA ADHYAYA

Bagian 1. Penjelasan (Introduksi)


Wedanta-Sutra ini disebut “Sariraka Mimamsa” karena
sutra-sutra ini berhubungan dengan Para Brahman (Tuhan Yang
Maha Esa) dan sarira (yang memiliki raga).
Di bab pertama, penulis karya ini menunjukkan bahwa semua teks-
teks Wedik secara sama rata menunjuk (mengarah) ke Brahman
dan menemukan rekonsialisasi (samanwaya) mereka di Brahman.
Di bab kedua, dibuktikan bahwa tidak ada perbedaan maupun
konflik antara Wedanta dan berbagai shastra-widhi lainnya. Di bab
ketiga dijelaskan cara-cara mencapai Brahman. Di bab keempat
dijelaskan hasil dari pencapaian Brahman.

Sang Adhikarin (seseorang yang memiliki kompetensi untuk


mamahami dan mempelajari shastra-widhi) adalah seseorang yang
berpikiran tenang dan memiliki sifat-sifat Sama (ketenangan),
Dama (kendali diri), dsb., penuh dengan iman, senantiasa terserap
ke dalam pikiran-pikiran yang baik dan berasosiasi dengan mereka-
mereka yang memahami kebenaran, kalbunya murni dan suci oleh
berbagai kewajiban dharma dan bersifat sekuler, tanpa mengharap
pamrih. Shastra ini menjabarkan Brahman sebagai Sambandha.
Wishaya atau subyek utama shastra ini adalah Brahman Yang
Hakiki. Prayojana (maksud, tujuan) shastra ini adalah pencapaian
Brahman Yang Maha Kuasa, dengan menghapus ilusi atau
pemahaman-pemahaman yang salah yang menjegal seseorang
untuk merealisasikan-Nya.

Shastra ini memuat beberapa Adhikaranas atau topik atau


proposisi. Setiap proposisi ini memuat lima bagian :
1. Thesis atau Wishaya
2. Keragu-raguan atau Samyasa
3. Anti-thesis atau Purwapaksha
4. Synthesis, konklusi benar (Siddhanta), dan
5. Sangati atau persetujuan dari proposisi dengan bagian-
bagian lain dari shastra ini.

www.shantiwangi.com
Di seluruh Wedanta Sutras, Brahman adalah tema utama
diskusi ini. Tidak ada interpretasi yang tidak lepas dari Sang
Brahman. Setiap bab memiliki topiknya yang tersendiri, dan setiap
penjelasan diartikan secara konsisten dengan topik di bab tersebut.
Terdapat hubungan yang tegas antara Adhikaranas atau topik-topik
ini. Satu Adhikarana berhubungan dengan Adhikarana yang lainnya
melalui asosiasi berbagai ide. Di dalam satu Pada (bagian)
terdapat banyak Adhikaranas dan kesemuanya ini tidak diletakkan
secara kebetulan.

Sinopsis
Bagian ini secara singkat menerangkan subjek-subjek yang
berhubungan dengan Brahma-sutras yaitu sifat sejati Brahman
Yang Maha Kuasa atau Jati Diri Yang Maha Tinggi; subjek-subjek
yang berhubungan dengan jiwa-jiwa individu dan jagat-raya, dan
hubungan antar subjek-subjek tersebut. Juga terdapat petunjuk
mengenai meditasi ke Brahman.

Adhikarana I : Sutra 1, memberikan petunjuk bahwasanya karya ini


diperuntukkan bagi mereka-mereka yang memang sangat
berhasrat untuk mencapai pengetahuan akan Brahman.

Adhikarana II : Sutra 2, menjabarkan mengenai dunia dan semesta


yang berasal dari Brahman, dsb.

Adhikarana III : Sutra 3, menjabarkan bahwa Brahman adalah


sumber berbagai Weda, dan hanya Brahman yang difahami melalui
studi akan Sruti, dan bukan melalui jalan lain.

Adhikarana IV : Sutra 4, membuktikan bahwa Brahman adalah


topik yang sama di dalam seluruh teks Wedanta.

Adhikarana V : Sutras 5 sd. 11, menunjukkan bahwasanya hanya


Brahman yang diakui oleh Sruti sebagai Pencipta semesta.

Adhikarana VI : Sutras 12 sd. 19, mempertanyakan apakah yang


disebut “Anandamaya” di dalam Taittiriya Upanishad II-5, itu
adalah jiwa individu atau Sang Jati Diri. Menurut Sruti yang
dimaksud dengan “Anandamaya” ini adalah Brahman semata.

www.shantiwangi.com
Adhikarana VII : Sutras 20 dan 21, menunjukkan bahwa manusia
emas yang disaksikan di matahari dan di dalam mata adalah
Brahman atau Sang Jati Diri (Atman).

Adhikarana VIII : Sutra 22, menunjukkan bahwa ether (Akasa


atau Akash) yang merupakan asal seluruh ciptaan ini adalah
Brahman.

Adhikarana IX : Sutra 23, menunjukkan bahwa Prana, adalah


Brahman Yang Maha Kuasa.

Adhikarana X : Sutras 24 sd. 27, menguraikan tentang Cahaya


Ilahi, cahaya tersebut adalah bukan lain dan bukan tidak Brahman
semata.

Adhikarana XI : Sutras 28 sd. 31, menentukan bahwa yang


dimaksud dengan Prana adalah Brahman.

www.shantiwangi.com
Bagian 1. Jijnasadhikaranam :
Topik 1. Pertanyaan akan Brahman dan berbagai aspek-aspek-
Nya.

Athato Brahmajijnasa
1.1.1 (1)

“Sekarang, selanjutnya, pertanyaan akan Brahman Yang Hakiki”

Keterangan : Berbagai pertanyaan timbul di dalam berbagai sekte


dan ajaran-ajarannya mengenai apakah Brahman (Tuhan Yang
Maha Esa) ini. Tanpa berhasrat akan Ke Hakikian Yang Maha Esa,
maka seseorang tidak akan memahami dan menyadari-Nya
(merealisasikan-Nya melalui studi shastra-widhi, Sruti).
Pertanyaannya sekarang, seperti apakah Brahman ini, pertanyaan
yang sama telah sering dipertanyakan pada masa-masa yang lalu.

Bagian 1. Janmadyadhikaranam :
Topik 2. Definisi Sang Brahman.

Janmadyasya Yatah
1.1.2 (2)

“Brahman adalah Sesuatu Yang Darinya semua ciptaan ini berasal


dan demikian juga semuanya ini diayomi (dipelihara) dan suatu
waktu nanti semua ini akan berakhir di dalam-Nya juga”.

Keterangan : Brahman bercirikan murni, bijaksana dan bebas


(Nitya, Buddha dan Mukta Swabhawa), semuanya berasal,
dipelihara dan akan berakhir ke dalam-Nya. Tentunya Beliau ini
serba Maha. Baik itu ditinjau dari segi intelegensia maupun
kemampuan, Beliau ini sulit untuk dijabarkan, namun melalui
refleksi diri Beliau dapat difahami dan dimasuki Hakikat-Nya. Sruti
juga menyatakan “Satyam Jnanam Anantam Brahman”, yang
berarti Brahman adalah Kebenaran, Pengetahuan dan
Keabadian Yang Tanpa Batas. Hal ini disebut Swarupa
Lakshana.

Pengetahuan akan Brahman dicapai melalui intuisi, bukan melalui


logika duniawi maupun melalui diskusi, ataupun melalui dharsana,

www.shantiwangi.com
namun melalui pemahaman langsung (Aparakosha-anubhuthi).
Yang mengarahkan seseorang ke intuisi ini adalah Srawana (studi
akan Srutis), Manana (refleksi) dan Nididhyasana (meditasi yang
berkesinambungan, melalui tuntunan seorang guru yang telah
faham akan kebenaran “Tat Twam Asi” Mahawakya).

Bagian 1. Sastrayonitwadhikaranam :
Topik 5. Brahman hanya dapat direalisasikan melalui skripsi-
skripsi suci.

Sastrayonitwat
1.1.3 (3)

“Skripsi adalah sumber dari pengetahuan yang benar”

Keterangan : Brahman bukan saja adalah Sang Pencipta,


Pemelihara dan Akhir dari jagat-raya dan isinya ini, namun juga
adalah sumber dari berbagai skripsi-skripsi suci (shastra-widhi),
jadi hanya melalui skripsi suci inilah Beliau dapat dipelajari dan
difahami. Srutis menyatakan berbagai Weda berasal dari-Nya
semata.

Bagian 1. Samanwayadhikaranam :
Topik 4. Brahman adalah Tujuan dari semua skripsi suci.

Tattu Samanwayat
1.1.4 (4)

“Namun Brahman hanya dapat difahami melalui skripsi dan bukan


secara bebas, melalui upaya-upaya lain, karena Beliau adalah
Tujuan Utama dari seluruh teks (isi) Wedanta”.

Keterangan : “Tat Twam Asi” (Dikau adalah Itu) adalah pesan


yang hadir secara nyata atau secara tidak langsung di dalam setiap
Upanishad. Dan Brahman dikenal dengan berbagai sebutan seperti
Atman, Jati Diri, Para Brahman, Paramatman, dsb.

www.shantiwangi.com
Bagian 1. Ikshatyadyadhikaranam :
Topik 5. Brahman (Prinsip Intelegensia) adalah Penyebab Yang
Pertama.

Ikshaternasabdham
1.1.5 (5)

“Berdasarkan penglihatan (bahwasanya di Upanishad, disebutkan


bahwa Pradhana adalah penyebab pertama), namun sebenarnya
Pradhana ini bukanlah unsur penyebab pertama (semesta ini)
karena hal ini tidak berdasarkan ajaran-ajaran yang
terdapat di skripsi-skripsi suci”.

Keterangan : Berbagai Upanishad sebenarnya sudah jelas, bahwa


Brahman adalah Pencipta Utama dari seluruh semesta ini termasuk
Pradhana (Prakriti) dan bukan sebaliknya. Wedanta
menambahkan bahwa Chetana (kesadaran) adalah penyebab
terciptanya dunia semesta ini. Kaum Sankhyas berkata
bahwasanya api dan air juga disebut sebagai unsur-unsur yang
memiliki daya intelegensia, demikian juga halnya dengan Pradhana,
namun Sutra berikutnya menyangkal hal tersebut.

Gaunaschet na Atmasabdat
1.1.6 (6)

“Seandainya dikatakan bahwa (kata “melihat atau berfikir”


dipergunakan sebagai kata tidak langsung) maka kami
nyatakan tidaklah demikian, karena kata Atman
telah diaplikasikan ke penyebab semesta ini”.

Keterangan : Sruti berkata : “Seluruh semesta ini adalah intisari


dari ITU, ITU adalah Kebenaran. ITU adalah Atman. Dikau adalah
ITU wahai Swetaketu” (Kisah Uddalaka dan putranya di Chh. Up.
VI. 8.7). Kemudian ada teori yang berkata bahwa kata Atman
dapat berarti Pradhana, ibarat cahaya yang berasal dari bara api.
Namun sutra berikutnya menolak argumen tersebut.

www.shantiwangi.com
Tannishthasya mokshopadesat
1.1.7 (7)

“Sang Pradhana tidak dapat diibaratkan sebagai Atman atau Sang


Jati Diri, karena moksha hanya dapat dianugerahkan kepada
seseorang yang berbakti kepada Sat”.

Keterangan : Pradhana (Prakriti atau Maya) bukanlah Zat yang


tertinggi, ataupun Yang Maha Kuasa, karena Pradhana berasal dari-
Nya, dan mempunyai fungsi untuk mengantarkan seseorang ke
moksha atau ke arah kesesatan, dan moksha merupakan anugerah
khusus dari Yang Maha Kuasa, bukan dari Prakriti.

Heyatwawachanaccha
1.1.8 (8)

“Dan Sang Pradhana tidak dapat disebut dengan kata “Sat”,


karena tidak disebut oleh shastra-widhi, bahwasanya
“Sat” berarti demikian.

Keterangan : Bab ini dimulai dengan sebuah pertanyaan :


“Apakah itu yang seandainya dapat difahami maka semuanya ini
dapat difahami?”. Pradhana bukanlah yang dimaksudkan dengan
pertanyaan ini, yang dimaksud adalah Brahman. Simak sutra
selanjutnya.

Swapyayat
1.1.9 (9)

“Berdasarkan proses penyerapan Sang Jiwa individu ke dalam Jati


Dirinya sendiri (maka disebut Sang Jati Diri ini
bukanlah Pradhana)”.

Keterangan : Demikianlah pernyataan yang sering tersirat di


berbagai Upanishad.

www.shantiwangi.com
Gatisamanyat
1.1.10 (10)

“Berdasarkan persamaan pendapat (yang hadir di berbagai teks


Wedanta) maka disebutkan bahwa Brahman adalah
Sang Penyebab”.

Keterangan : Seluruh teks Wedanta memberikan contoh, misalnya


seisi semesta ini termasuk unsur-unsur dewata, antariksa, ether,
prana, maha panca butha, semua ini berasal dari Brahman bukan
sebaliknya. Simak lagi sutra berikutnya ini.

Keterangan : Swestaswatara Upanishad VI.9, menyatakan : “ Dia


adalah Sang Penyebab, Tuhan dari segala tuhan. Dia tidak
bertuhan maupun memiliki orang tua”. Demikianlah
kesimpulannya, Pradhana bukanlah Tuhan namun merupakan alat-
Nya belaka. Sutra 1 dan selanjutnya sampai akhir Bab I ini, akan
mendiskusikan topik yang lain. Berbagai Upanishad menyatakan
hadirnya dua bentuk Brahman yaitu Nirguna Brahman (Tanpa
manifestasi dan Tak Terjabarkan), dan Saguna Brahman (Tuhan
Yang Berwujud).

Berbagai Upanishad juga menyiratkan bahwasanya Brahman


bersifat ganda. Bagi mereka-mereka yang baru atau yang sedang
meniti jalan ke arah-Nya, maka wujud Saguna Brahman hadir
sebagai Ishtadewata (tujuan pemujaan) mereka, namun bagi
mereka yang telah mapan, maka yang dipuja adalah Yang Maha
Gaib Nirguna Brahman, Yang Tak Terjabarkan. Kaum Wedantin dan
kaum Jnanis malahan berpendapat Nirguna Brahman itu bebas dari
Maya, Beliau disebut Nirupadhika, oleh mereka. Bagi yang sedang
mempelajari berbagai shastra-widhi, maka akan ditemui banyak hal
yang meragukan maupun yang sebaliknya, semua hal ini tentunya
terasa berbeda berdasarkan kadar pemahaman spiritual masing-
masing. Demikianlah kesebelas sutras ini berakhir di sini. Sutra
kesebelas hadir di bawah ini sebagai penutup.

www.shantiwangi.com
Srutatwaccha
1.1.11 (11)

“Dan karena telah dinyatakan secara langsung oleh Sruti bahwa


Brahman Yang Maha Tahu adalah Satu-satunya Penyebab
(Pencipta) semesta ini”.

Bagian 1. Anandamayadhikaranam :
Topik 6. Anandamaya adalah Para Brahman

Anandamayo’bhyasat
1.1.12 (12)

“Anandamaya berarti Para Brahman (Berdasarkan kata-kata “Penuh


dengan Karunia Ilahi” , kata-kata tersebut berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Tinggi)”.

Keterangan : Resi Badarayana mengajukan topik Samanwaya,


beliau memulainya dengan kata Anandamaya, dan akan berakhir
dengan kata-kata lainnya, di akhir bab ini. Di dalam Taittriya
Upanishad dikatakan : “Berbeda dari Wijnanamaya, maka
hadirlah Sang Jati Diri di dalam, Beliau dipenuhi oleh Anandamaya
(Karunia Ilahi). Wijnanamaya dipenuhi oleh Anandamaya,
Kebahagiaan (Priya) adalah kepalanya. Kepuasan (Moda) adalah
tangan dan sayap kanannya. Kepuasan agung (Pramoda) adalah
tangan atau sayap kirinya. Ananda adalah belalainya. Brahman
adalah Penunjangnya.

Kemudian hadir keragu-raguan. Apakah Anandamaya ini berbentuk


jiwa manusia ataukah adalah Para Brahman itu sendiri. Seandainya
Beliau ini tidak Terjabarkan manifestasinya, lalu bagaimana Ananda
Purusha ini dapat merasakan kebahagiaan dsb. ? Sutra ini ingin
menyatakan bahwasanya Anandamaya adalah wujud manifestasi
dari Yang Maha Tak Terjabarkan, dan pada hakikatnya Karunia Ilahi
ini berasal dari Sang Brahman itu sendiri.

www.shantiwangi.com
Wikarasabdanneti chet na prachuryat
1.1.13 (13)

“Seandainya (dikatakan bahwa kata Anandamaya bukanlah Sang


Jati Diri) karena hanya berupa sebuah kata yang diaplikasikan
ke sebuah wujud transformasi, (maka kami katakan bahwa
sanggahan ini tidaklah valid), karena Sang Maya itu
sebenarnya sangat banyak dan variatif
wujud-wujudnya”.

Keterangan : Menurut sang penulis karya ini, Sang Maya bukanlah


sebuah kata pemanis atau kata pengganti, namun lebih bermakna
penuh dengan Karunia yang teramat sangat luas yang berasal dari
Yang Maha Esa itu sendiri. Ibarat mentari yang bermandikan
cahaya karena merupakan sumber cahaya itu sendiri. Demikian
halnya dengan Anandamaya yang berasalkan dari Brahman itu
sendiri. Brahman itu kalau dihayati secara rasionil akan terasa amat
menakjubkan karena sedemikian luas Karunia, ciptaan dan wujud-
wujud-Nya.

Taddhetuwyapadesaccha
1.1.14 (14)

“Dan karena Beliau ini disebut sebagai Penyebab dari Anandamaya


tersebut, maka Maya berarti penuh dengan Karunia-Nya
yang amat sangat”.

Keterangan : Sruti menyatakan bahwasanya Yang menghasilkan


Karunia ini tentunya berlimpahan dengan Karunia tersebut, ibarat
seorang yang teramat kaya raya yang mampu membagi-bagikan
kekayaannya kepada yang lain-lainnya tanpa merasa kekurangan
sedikitpun. Oleh sebab itu Anandamaya adalah sebagian atau
keseluruhan dari Brahman itu sendiri, yang amat berlimpahan.

Mantrawarnikamewa cha giyate


1.1.15 (15)

“Lebih dari itu Brahman yang dimaksud ini telah dipuja-puji di


bagian mantra (di bagian Brahmana) dalam wujud
Anandamaya”

www.shantiwangi.com
Keterangan : Brahman senantiasa dijabarkan di dalam Mantras
(Satyam Jnanam Anantam Brahman), dan juga di dalam
Brahmanas sebagai Anandamaya. Mantras dan Brahmanas adalah
bagian-bagian dari berbagai Weda.

Netaro’nupapatteh
1.1.16 (16)

“Hanya Brahman yang dimaksud (dan bukan jiwa-jiwa individu),


karena sang jiwa tidak mungkin sanggup berasumsi sebagai
Yang Maha Esa (Satyam Janam Anantam Brahman)”.

Bhedawyapadesaccha
1.1.17 (17)

“Dan berdasarkan pernyataan maka perbedaan itu nyata


(antara jiwa individu dan Brahman)”.

Keterangan : Sruti menyatakan bahwa sang jiwa hanya dapat


menerima, sebaliknya Brahman adalah Maha Pemberi kepada
setiap ciptaan-ciptaan-Nya, Tujuan dan yang menuju jelas tidak
sama, dan amat nyata perbedaannya.

Kamachcha Nanumanapeksha
1.1.18 (18)

“Kata akamyata (tekad, bertekad) di berbagai teks suci


menunjukkan bahwa Anandamaya ini bukanlah
Pradhana (Prakriti)”.

Asminnasya cha tadyogam sasti


1.1.19 (19)

“Skripsi-skripsi suci menyatakan bahwa Karunia Ilahi tercapai


sewaktu jiwa individu menyatu dengan Sang Brahman”.

Keterangan : Sewaktu sang jiwa menyatu dengan Pradhana atau


terikat dengan Prakriti maka yang dihasilkan adalah Samsara
(penderitaan) namun sebaliknya kalau bersatu dengan Atman

www.shantiwangi.com
(Brahman) maka yang dihasilkan adalah Karunia Ilahi (Moksha).
Itulah sebabnya dinyatakan dengan tegas bahwa Anandamaya
tersebut bukanlah Pradhana (Prakriti, Maya).

Bagian 1. Antaradhikaranam :
Topik 7. Yang terlihat di surya dan di mata adalah Brahman.

Antastaddharmopadesat
1.1.20 (20)

“Yang disaksikan di dalam (Surya dan di mata) adalah Brahman,


karena atribut-atribut-Nya hadir di dalam
unsur-unsur tersebut”.

Keterangan : Chandogya Up. 1. 6. 6. menyatakan : “Yang terlihat


ibarat emas (cahaya) di dalam surya, dengan janggut dan
rambutnya berkilau-kilauan laksana emas, bahkan sampai ke
ujung-ujung kukunya, Yang matanya ibarat bunga teratai berwarna
biru. Nama Beliau disebut “UT” karena Beliau telah melampaui
Udita (tahap di atas semua bentuk iblis). Beliau ini melampaui
semua batas, semua iblis dan semua dewa”. “Yang terlihat di dalam
mata disebut RIK. Beliau adalah Sama, Beliau adalah Uktha.
Beliau adalah Yajus. Beliau adalah Brahman. Beliau berwujud
serupa dengan yang disaksikan di dalam Surya. Wujud dan nama
mereka adalah wujud dan nama yang sama.

Bhedawyapadesachchanyah
1.1.21 (21)

“Dan ada yang lainnya yang berbeda, yaitu Tuhan yang berbeda
dengan yang disaksikan di surya, dsb.
berdasarkan pernyataan”.

Keterangan : Brihadaranyaka Up. III. 7. 9, menyatakan : Tuhan


Yang Maha Hakiki itu berbeda dengan penampakan di Surya
maupun yang di mata. Beliau itu bahkan hadir tanpa disadari oleh
manusia itu sendiri.

www.shantiwangi.com
Bagian 1. Akasadhikaranam :
Topik 8. Kata Akasa seyogyanya difahami sebagai Brahman.

Akasastallingat
1.1.22 (22)

“Kata Akasa yaitu ether di sini berarti Brahman sesuai


dengan ciri-ciri-Nya”.

Keterangan : Di Chandogya Up. diterangkan bahwa setiap unsur


di semesta ini termasuk jagat raya dan segala isinya berasal dari
ether (akasa). Akasa di Upanishad ini menunjuk ke Brahman yang
bercirikan kekosongan. Demikian juga petunjuk-petunjuk di
berbagai Upanishad lainnya, semuanya menunjuk ke Brahman
sebagai satu-satunya Sumber bagi segala-galanya di dunia ini.

Bagian 1. Pranadhikaranam :
Topik 9. Kata Prana seyogyanya difahami sebagai Brahman.

Ata ewa Pranah


1.1.23 (23)

“Melalui alasan yang sama, nafaspun menunjuk ke Brahman.

Keterangan : Nafas, udara atau Prana adalah salah satu elemen


vital yang menghidupi bumi ini. Berbagai planet-planet lain
kekurangan unsur ini, sehingga tidak memungkinkan hadirnya
kehidupan di planet-planet tersebut. Itulah sebabnya sutra ini
menegaskan bahwa prana adalah Brahman itu sendiri, karena
semua hadir dari Prana dan kembali ke Prana juga.

Bagian 1. Jyotischaranandhikaranam :
Topik 10. Cahaya adalah Brahman.

Jyotischaranabhidhanat
1.1.24 (24)

“Cahaya adalah Brahman, sesuai dengan ukuran yang berhubungan


dengan ukuran cahaya (ibarat kaki-kaki cahaya)”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Sruti menyatakan : “Cahaya yang bersinar di atas
loka-loka lebih tinggi dari setiap unsur, di dunia yang tertinggi, di
mana tidak hadir loka-loka lainnya...... cahaya yang sama ini juga
hadir di dalam diri manusia”. Demikianlah kata Jyoti (Cahaya atau
Nur Ilahi) menunjuk ke Brahman bukan ke cahaya surya, dsb.

Chhando’bhidhanneti chet na tatha


chetorpananigadat tatha hi darsanam
1.1.25 (25)

“Seandainya disebutkan bahwasanya yang dimaksud tersebut


adalah Metrum Gayatri dan bukannya Brahman, maka
jawab kami tidaklah demikian, karena melalui
Gayatri sebagai sarana, maka difokuskanlah
pikiran ke Brahman”.

Keterangan : Metrum Gayatri adalah manifestasi dari Brahman


yang merupakan sarana meditasi yang amat efektif ke arah
Brahman. Menurut Sruti : “Semua ini adalah Brahman”. Banyak
sekali sebutan untuk berbagai manifestasi Brahman, seperti
Gayatri, Mahat-Uktha (Maha Prana), Agni, Maha Wrata, dsb.

Bhutadipadawyapadesopapatteschalwam
1.1.26 (26)

“Dengan demikian juga (kami tegaskan bahwasanya Brahman ini


adalah subjek atau topik dari pernyataan di atas, dengan
nama Gayatri), oleh karena itu perumpamaan di atas
tidaklah mungkin”.

Keterangan : Perumpamaan Gayatri sebagai yang “memiliki 4 kaki


dan wujud 6”, dsb. sebenarnya lebih menyiratkan berbagai aspek,
wujud dan perumpamaan Sang dari logika manusiawi, disamping
juga manifestasi-Nya sebagai cahaya, bhur, bwah, swah, dsb.

www.shantiwangi.com
Upadesabhedanneti chet na
ubhayasaminnapyawirodhat
1.1.27 (27)

“Seandainya dikatakan bahwa Brahman hadir di sabda-sabda


Gayatri tidak dapat dikenali dari sudut pandangan “Cahaya”,
karena berbeda tujuan dan spesifikasinya, maka kami
menjawab tidak, karena dalam setiap aspek apapun
juga tidak terdapat perbedaan”.

Keterangan : Sloka 24 di atas ternyata dioposisi oleh sebagian


kaum terpelajar. Mereka menyatakan bahwa tujuan dari Gayatri-
Sruti dan Jyoti-sruti itu berbeda. Dalam hal ini yang dipersoalkan
adalah kata Div yang berarti swarga. Gayatri menyatakan :
“Terdapat tiga kaki-Nya yang bersifat abadi di swarga”. Sedangkan
Jyoti-sruti menyatakan : “Cahaya yang bersinar di atas swarga ini”.
Para oposan berpendapat tidak mungkin Brahman yang sama yang
dimaksud di kedua sruti tersebut, namun sutra ini menyatakan
hakikat yang dimaksud kedua sruti tersebut tidaklah berbeda, yang
berbeda adalah ungkapan-ungkapannya.

Bagian 1. Pratadhanadhikaranam :
Topik 11. Prana adalah Brahman.

Prasnastathanugamat
1.1.28 (28)

“Prana adalah Brahman, difahami dalam bentuk prana, dari sudut


pandang penjelasan mengenai hal tersebut”.

Keterangan : Di dalam Kaushitaki Up. terdapat sebuah dialog yang


dinyatakan oleh Hyang Indra kepada Pratardana, putra Diwodasa,
seperti berikut :
Pratardana : Sudilah memilih karunia bagiku, karunia tersebut
seharusnya bermanfaat bagi umat manusia.
Indra : Fahami Aku semata. Hal ini teramat penting dan
bermanfaat bagi umat manusia. Aku adalah Prana, Sang Jati Diri
yang intelijen (Prajnatman). Bermeditasilah kepada-Ku dalam
bentuk kehidupan dan keabadian (Kau. Up. III.2). Kemudian Kau.

www.shantiwangi.com
Up. III.8. menyatakan: “Prana tersebut sebenarnya adalah Sang
Jati Diri yang bersifat intelijen, Karunia, senantiasa abadi dan tidak
dapat binasa”.

Na wakturatmopadesaditi chet
Adhyatma sambhandhabhuma hyasmin
1.1.29 (29)

“Seandainya dinyatakan bahwa bukan Brahman (namun Indra)


yang dimaksud dengan prana ini, maka kami nyatakan
bukan demikian, karena terdapat banyak sekali
penjelasan mengenai prana tersebut di
Upanishad ini”.

Keterangan : Sutra berikutnya menjelaskan kesimpang-siuran ini.

Sastradrishtya tupadeso wamadewawat


1.1.30 (30)

“Dari sudut pandangan Sruti maka yang dinyatakan Indra bahwa ia


adalah sama dengan Sang Brahman, dapat dibenarkan,
sama halnya dengan kasus Wamadewa”.

Keterangan : Di Sruti terdapat sebuah kisah mengenai Resi


Wamadewa yang konon pada suatu saat “menyatu dengan
Brahman”, iapun lalu berubah menjadi Brahman. Dengan demikian
Indra (kata lain dari pikiran), yang telah menyatu dan sadar akan
hakikat Brahman, telah bersabda secara benar (namun tidak
disadari hakikatnya karena terhalang oleh awidya).

www.shantiwangi.com
Jiwamukhyapranalinganneti chet na upasatraiwidhyat
asritatwadiha tadyogat
1.1.31 (31)

“Seandainya dikatakan bahwa bukan Brahman yang dimaksud,


ditinjau dari tanda-tanda yang terdapat pada jiwa individu
dan prana, maka kami menyatakan tidaklah demikian,
karena interpretasi tersebut akan berhubungan
dengan meditasi (upasana), karena Prana
telah dijelaskan hakikat dan makna
sejatinya di Sruti, demikian juga
halnya dengan Brahman”.

Dengan ini berakhirlah Pada pertama (Bagian kesatu) dari


Adhyaya I, Brahma-Sutra atau Filosofi Wedanta ini.

www.shantiwangi.com
Bagian kedua : Introduksi
Pada bagian kesatu, Sang Brahman telah dijelaskan sebagai
Penyebab dari asal mula, sebagai Pemelihara dan sebagai Pralaya
alam semesta ini. Juga diajarkan agar kita mencari dan memahami-
Nya, yang bersifat Maha Abadi, Maha Hadir dan Maha Kuasa. Beliau
juga telah dijelaskan sebagai Anandamaya, Jyoti, Prana, Akasa,
dsb.

Di bagian kedua ini akan dijelaskan berbagai aspek-aspek


Brahman yang tidak lazim (kurang jelas) yang disebut spashta-
Brahmalingga. Di dalam Sruti berbagai aspek-aspek Brahman ini
sering meragukan, karena artinya tidak begitu jelas. Namun di
bagian kedua dan bagian-bagian selanjutnya hal-hal ini akan
dijabarkan secara terperinci.

Sinopsis :
Di bagian ini dibuktikan bahwa berbagai ekspresi akan Sang
Brahman di berbagai Srutis ternyata mengarah dan
mengindikasikan Sang Brahman, Yang Maha Abadi.
Di ajaran Sandilya Widya yang terdapat di Chhandogya
Upanishad, dikatakan bahwa masa depan seorang manusia
ditentukan oleh pikiran-pikirannya di masa kini, oleh sebab itu
dianjurkan agar kita senantiasa menghasratkan dan memfokuskan
diri dan pikiran kita ke Brahman yang adalah Sat-Chit-Ananda,
yang serba Maha di dalam segala aspek-aspek-Nya, dengan
memahami hakikat-Nya kita akan identik dengan-Nya.

Adhikarana I (Sutra 1-8). Dijelaskan di sini bahwa setiap makhluk


terdiri dari pikiran dan raga yang bernafas (Chandogya Up. III. 14)
yang bukan lain dan bukan tidak adalah Brahman itu sendiri.

Adhikarana II (Sutra 9-10). Di sini dijelaskan bahwa Brahman


adalah Yang Melahap kembali semua brahmana dan kshatriya.

Adhikarana III (Sutra 11-12). Di bagian ini dijelaskan bahwa yang


menghuni guhayam (gua di relung sanubari kita yang paling
dalam) adalah sang jiwa dan Brahman.

www.shantiwangi.com
Adhikarana IV (Sutra 13-17), menjelaskan akan fenomena yang
hadir di mata adalah Brahman semata, dan bukan refleksi ataupun
sang jiwa.

Adhikarana V (Sutra 18-20). Di bagian ini dijelaskan bahwasanya


yang berkuasa di dalam (Antaryamin) yang dijelaskan di
Brihadaranyaka Up. III.7.3, sebagai penguasa lima unsur maha
panca butha dan juga pengendali langit, bulan, surya, bintang-
bintang, jagat-raya, dsb. adalah Brahman itu semata.

Adhikarana VI (Sutra 21-23). Di bagian ini menjelaskan bahwa


Yang Maha Tak Terlihat, yang dijelaskan di Mundaka Upanishad
adalah Brahman itu semata.

Adhikarana VII (Sutra 24-32). Di bagian ini dijelaskan bahwa


Atman (Sang Waiswanara) di Chandogya Upanishad (1.1.6)
adalah Brahman itu semata. Berbagai opini dari berbagai resi-resi
seperti Jaimini, Asmarathya dan Badari dihaturkan juga di sini,
untuk memperjelas hakikat Sang Brahman dalam berbagai wujud-
wujud-Nya.

www.shantiwangi.com
Bagian 2. Sarwatra Prasiddhyadhikaranam :
Topik 1. Manomaya adalah Brahman.

Sarwatra prasiddhopadesat
1.2.1. (32)

“Berbagai hal yang terdiri dari jalan pikiran yang disebut


“Manomaya” adalah Brahman yang terkenal sebagai
Penyebab dan Pencipta dunia ini, seperti yang
hadir tertulis di berbagai Upanishad”.

Keterangan : Sruti menyatakan : “Semua ini adalah Brahman


semata, semua ini hadir dari-Nya, hidup dan bergerak di dalam-
Nya, dan pasti akan berakhir di dalam-Nya juga, demikianlah
seyogyanya seseorang bermeditasi kepada-Nya”. Mengenai sang
jiwa, Sruti menjabarkan jiwa sebagai : “Ia sang jiwa ini hadir di
dalam hati, ia lebih kecil daripada sebutir beras, lebih kecil dari
sebutir gandum”.

Wiwakshitagunopapattescha
1.2.2 (33)

“Lebih lanjut, berbagai kwalitas (sifat atau ciri-ciri) yang dinyatakan


hanya dimungkinkan oleh Sang Brahman, itulah sebabnya
dinyatakan bahwa sloka-sloka ini menyatakan Brahman”.

Keterangan : Sifat-sifat seperti yang tertulis di Chandogya


Upanishad, III 14.2 adalah seperti berikut : “Ia yang terdiri dari
sang pikiran, yang raga-Nya adalah Prana (tubuh halus), yang
bentuk-Nya adalah Cahaya, yang tujuan-Nya adalah Kebenaran,
bersifat ibarat ether (tidak terlihat namun hadir di mana-mana).
Dari-Nya hadir semua bentuk aksi, hasrat, nafsu, semua
keharuman, rasa, dsb. Yang Maha Hadir, Yang Tak Bersuara dan
Tak Terlihat”. Semua fenomena ini hanya dimiliki oleh Brahman
semata.

www.shantiwangi.com
Anupapattestu na saarirah
1.2.3 (34)

“Di sisi lain karena semua kwalitas ini tidak mungkin disandang
oleh sang jiwa, maka ia tidak dapat disebut sebagai Manomaya”.

Keterangan : Seperti diketahui faham Sanatana Dharma dengan


tegas menyatakan bahwa yang hadir di dalam raga ini adalah sang
jiwa, dan yang hadir di dalam sang jiwa adalah Sang Atman
(Brahman, Sang Jati Diri). Kedua aspek ini sangat berbeda daya
dan hakikatnya, sesuai yang telah dijelaskan sebelumnya.

Karmakartriwyapadesaccha
1.2.4 (35)

“Sesuai dengan kaidah-kaidah yang menyatakan perihal akan sang


pencapai dan objek-objek yang harus dicapai. Maka dinyatakan
pikiran (Manomaya) adalah sebagian dari Brahman
dan bukan bagian dari jiwa individu”.

Keterangan : Di Chandogya Up. III. 14.4, “Sewaktu aku berpisah,


maka aku akan mencapai-Nya”. Kata “Nya” di sini jelas mengarah
ke Brahman dan kata “aku” mengarah ke sang jiwa yang hadir di
dalam setiap jiwa individu. Inilah sebabnya dinyatakan bahwasanya
Manomaya ini bukanlah sang jiwa, melainkan Brahman itu sendiri.

Sabdawiseshat
1.2.5 (36)

“Karena perbedaan kata-kata”.

Keterangan : Perbedaan antara sang jiwa dan Sang Atman,


menurut sloka ini ternyata hanya pada perbedaan kata-kata saja.

Smritescha
1.2.6 (37)

“Dari Smriti juga dapat kita fahami bahwasanya sang jiwa dan
Sang Atman ini berbeda”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Smriti dalam hal ini Bhagawat-Gita menjelaskan :
“Yang Maha Kuasa bersemayam di dalam hati semua makhluk,
wahai Arjuna, melalui daya ilusif-Nya, Beliau menyebabkan semua
makhluk untuk bekerja, ibarat gerabah yang berputar di atas alat
pembuat gerabah tersebut”. (B-Gita).

Arbhakaukastwattadwyapadesaccha neti chet na


nichayyatwadewam wyomawaccha
1.2.7 (38)

“Seandainya dikatakan pada sloka-sloka sebelumnya bahwa semua


perihal tersebut tidak sesuai dengan hakikat Brahman,
karena hati tempat bersemayam-Nya itu sangat kecil
ukurannya, maka kami nyatakan bahwa hal
tersebut adalah tidak benar, karena Brahman
itu harus dijadikan fokus meditasi,
ibarat ether”.

Keterangan : Sifat ether itu sebenarnya lebih luas dari bumi ini,
lebih luas dari antariksa, lebih luas dari berbagai swarga-loka dan
jagat raya yang maha luas ini. Bentuk kecil adalah wujud atom-
Nya, namun atom ini hadir dan mencakup segala-galanya. Jadi
yang terasa kecil secara duniawi, secara Niskala itu ternyata tidak
terbatas sifat-Nya.

Sambhogapraptiriti chet na waiseshyat


1.2.8 (39)

“Seandainya dikatakan bahwasanya Brahman yang berhubungan


dengan setiap jiwa itu bersifat Maha Hadir, maka Beliau tentunya
juga merasakan berbagai kebahagiaan dan penderitaan; kami
nyatakan bahwa hal tersebut tidaklah benar, karena
hadirnya perbedaan diantara keduanya”.

Keterangan : Brahman tidak berkarma, dan tidak dapat


dipengaruhi oleh karma, Beliau itu tidak melaksanakan apapun juga
(Nishkriya, Akarta). Di Bhagawat-Gita, Beliau bersabda : “Aku
tidak tersentuh oleh karma dan tidak terikat oleh berbagai bentuk
pahala dan karma”. Perbedaan antara Brahman dan sang jiwa itu
sangat jelas, salah satu misalnya : sang jiwa berasal dari Brahman

www.shantiwangi.com
dan bukan sebaliknya. Sang jiwa terbatas waktu dan dayanya,
Brahman adalah Maha Abadi, dan serba maha dalam segala-
galanya. Kebahagiaan dan penderitaan adalah fenomena-fenomena
sang pikiran, berdasarkan sifat-sifat awidya seseorang. Sruti
menyatakan : “Dua ekor burung tinggal di sebatang pohon (raga)
ini. Burung yang satu disebut jiwa, ia menyantap berbagai buah
dan hasil dari perbuatannya, sedangkan burung yang satu lagi
(Atman, Brahman) duduk bersaksi tanpa makan atau terlihat oleh
makanan tersebut”. (Mun. Up. III. 1. 1).

Demikianlah Sutra 1-8, memperjelas Chandogya Upanishad bagian


III.14, yang membedakan antara Brahman dan sang jiwa individu.

Bagian 2. Attradhikaranam :
Topik 2. (Yang menyantap adalah Brahman).

Atta characharagrahanat
1.2.9 (40)

“Yang menyantap adalah Brahman, karena Beliau menyantap yang


bergerak dan yang tidak bergerak (seisi semesta ini) sebagai
bahan santapan-Nya”.

Keterangan : Kathopanishad dan Bri. Up. menyatakan Brahman


sebagai Penyantap para brahmanas, kshatriyas, sebagai penyantap
Soma, sebagai bara api yang melahap semuanya. Kematian (Kala)
adalah penyantap jagat-raya dan segala isinya. Yang menciptakan
kematian adalah Brahman, jadi yang dimaksud dengan penyantap
di sloka ini adalah Brahman semata.

Prakaranaccha
1.2.10 (41)

“Sesuai dengan shastra-widhi, maka Brahman adalah Sang


Penyantap segala-galanya”.

Keterangan : Di Katha Up. 1.2.15, Dewa Yama bersabda ke


Nachiketas : “Om adalah Beliau yang berada di atas baik dan
buruk, di atas sebab dan akibat, yang berbeda dari masa lalu dan

www.shantiwangi.com
masa yang akan datang”. Yamapun mengibaratkan para brahmana
dan para kshatriya sebagai santapan sang kematian. Yama sendiri
tidak dapat menjelaskan di manakah tinggalnya Sang Brahman ini.
Di sisi lain B-Gita menyatakan : “Dikau adalah Penyantap berbagai
loka-loka, Penyantap dari semua yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, Dikau layak dipuja-puji dibandingkan Sang Guru, tidak
seorangpun mampu melampaui kedigjayaan-Mu ini”.

Bagian 2. Guhaprawishtadhikaranam :
Topik 3. Yang bersemayam di dalam relung hati yang paling
dalam adalah sang jiwa dan Sang Brahman.

Guham prawistawatmanan hi taddarsanat


1.2.11 (42)

“Kedua (unsur) yang telah memasuki relung hati (guham)


sebenarnya adalah sang jiwa dan Sang Atman,
demikianlah yang dapat disaksikan”.

Keterangan : Di Kathopanishad I. 3. 1, kita dapatkan “setelah


memasuki guham (Guhayam), kedua-duanya menikmati pahala
pekerjaan mereka di dalam raga. Mereka-mereka yang mengenal
Brahman menyebutnya sebagai bayangan dan cahaya. Demikian
juga halnya dengan para pemimpin rumah-tangga yang
melaksanakan pengorbanan “Tinachiketa”. Taittriya Up. II. 1,
juga menyatakan kehadiran-Nya di guhayam”.

Wiseshanaccha
1.2.12 (43)

“Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang mencolok diantara


keduanya, (yang terdapat di berbagai sloka)”.

Keterangan : Bhagawat-Gita menyatakan bahwa Sang Atman


adalah kusirnya dan raga ini adalah keretanya, tujuannya adalah
Tuhan Yang Maha Esa (Brahman). Jadi jelas di sini jiwa-raga (kusir-
kereta) mempunyai tujuan utama yaitu Brahman. Kedua unsur ini
berbeda sekali hakikatnya.

www.shantiwangi.com
Bagian 2. Antaradhikaranam :
Topik 4. Yang terlihat di mata itu adalah Sang Brahman.

Antara upapatteh
1.2.13 (44)

“Yang disaksikan di mata adalah Sang Brahman, berdasarkan


atribut-atribut yang hanya disandang-Nya semata”.

Keterangan : Kata yang disaksikan di mata di atas mungkin


dimaksudkan titik fokus meditasi di antara kedua alis mata di mana
Sang Atman bersemayam. Menurut Chandogya Up. IV.5.1., yang
disaksikan di dalam mata (bukan oleh mata) ini sifat-Nya Abadi dan
Tak Kenal Takut”, Beliau itu adalah Brahman itu sendiri.

Sthanadiwyapadesaccha
1.2.14 (45)

“Demikian juga hal-hal yang berdasarkan pernyataan akan


tempat dan lain sebagainya”.

Keterangan : Brahman juga mampu hadir di organ tubuh mana


saja, ataupun di mana saja sesuai dengan penyaksian para resi
guru di berbagai shastra-widhis.

Sukhawisishtabhidhanadewacha
1.2.15 (46)

“Dan berdasarkan sloka-sloka yang menyebut-Nya sebagai


Karunia (Ilahi, Brahman)”.

Keterangan : Di Chh. Up. IV.10.5., Agni mengajarkan ke


Upakosala : “Nafas adalah Brahman, Karunia adalah Brahman,
ether adalah Brahman. “Brahman yang sama ini hadir di mata,
sabda Hyang Agni”.

www.shantiwangi.com
Srutopanishatkagatabhidhanaccha
1.2.16 (47)

“Dan berdasarkan sabda-sabda dari yang telah memahami


Kebenaran Upanishad”.

Keterangan : Di Prasna Up. 1 – 10., Persemayaman Abadi


Brahman disebutkan sebagai berikut : “Mereka-mereka yang telah
mencapai Sang Atman melalui tapa-brata, pantangan, iman, dan
pengetahuan akan mencapai Surya melalui jalur utara (jalur
Dewayana). Dari titik ini mereka tidak kembali lagi. Di sinilah letak
persemayaman yang abadi, yang jauh lepas dari rasa khawatir,
persemayaman yang tertinggi”.

Anawasthiterasamhhawaccha netarah
1.2.17 (48)

“Yang disaksikan diantara (di dalam) mata adalah Sang Jati Diri
Yang Maha Kuasa dan bukanlah sang jiwa, namun tidak
selamanya demikian”.

Keterangan : Bisa saja seseorang terefleksi di bola mata kita,


demikian asumsi sloka ini namun orang tersebut bukanlah Sang
Atman yang dimaksud.

Bagian 2. Antaryamyadhikaranam :
Topik 5. Brahman sebagai penguasa dalam.

Antaryamyadhidaiwadishu taddharmawyapadesat
1.2.18 (49)

“Yang bersemayam di dalam, memerintah di atas para dewa dan


lain-lainnya, Beliau adalah Brahman sesuai dengan
atribut-atribut-Nya yang telah disebutkan”.

Keterangan : Sloka di atas adalah keterangan mengenai sloka III.


7. 1., yang terdapat di Brihadaranyaka Upanishad yang berbunyi :
“Ia yang memerintah dunia ini, dunia-dunia lainnya dan semua
makhluk”. Juga sloka III.7. 3., mengatakan : “Ia yang bersemayam

www.shantiwangi.com
di bumi dan di dalam bumi, yang tidak difahami oleh bumi, yang
raganya adalah bumi ini, yang memerintah bumi dari dalam, Ia
adalah Atman-Mu, Sang Penguasa di dalam, Yang Maha Abadi”.
Namun selalu saja ada yang bersilang pendapat. Bagi mereka sang
pencipta dalam (Antaryamin) ini, adalah sang jiwa setiap makhluk.
Namun Upanishad di atas jelas mengatakan bahwa bahkan sang
bumi sendiri tidak dapat memahami-Nya, yang juga hadir di dalam
berbagai planet, antariksa, ether dan lain sebagainya.

Na cha smartamatadharmabhilapat
1.2.19 (50)

“Dan juga Penguasa di dalam ini bukanlah Pradhana yang diajarkan


di dalam Sankhya Smriti, karena sifat-sifatnya telah jelas
disebutkan di sini”.

Keterangan : Pradhana (Prakriti) bukanlah Atman, Antaryamin


ataupun Brahman, karena berbeda atributnya. Brahman berciri
Abadi dalam arti Maha dan selama-lamanya, sedangkan Prakriti
datang dan pergi sesuai dengan penciptaan dan pralaya. Kaum
Purwapakshin berkata kalau demikian yang dimaksud dengan
Penguasa dalam pastilah sang jiwa. Sloka berikutnya berkata :

Sarirraschobhayepi hi bhedenainamadhiyate
1.2.20 (51)

“Sang jiwa bukanlah penguasa dalam karena kedua mahzab, yaitu


Kanwa dan Madhyana Sakhas (dari Brihadaranyaka Upanishad)
jelas membedakannya dari Sang Antaryamin ini”.

Keterangan : Kaum Kanwas menjabarkan Brahman sebagai yang


bersemayam di dalam pengetahuan (jiwa individu), dan kaum
Madhyandina Sakhas (dari Brihadaranyaka Up.) menyatakan-Nya
sebagai : “Ia yang bersemayam di dalam Sang Jati Diri (Atman)”.

www.shantiwangi.com
Bagian 2. Adrisyatwadhikaranam :
Topik 6. Yang tidak dapat disaksikan adalah Brahman.

Adrisyatwadigunako dharmokteh
1.2.21. (52)

“Brahman adalah Yang Tak Dapat Dibagi-bagi (dipisah-pisahkan)


demikianlah sifat-sifat Beliau ini”.

Keterangan : Sloka di atas berhubungan dengan Mundaka Up.


1.15.- 16 : “Yang disebut Pengetahuan Tertinggi adalah Yang Tak
Terhancurkan, yang seharusnya difahami. Beliau ini tidak dapat
disaksikan maupun diserang, Beliau ini tanpa mula, tanpa sifat,
tanpa tangan dan tanpa kaki, abadi senantiasa, maha hadir,
bersemayam di dalam segala-galanya, tak terbatas, yang tidak
dapat dibinasakan maupun dipisah-pisah, yang bijak dan sumber
dari segala makhluk (Bhutayoni). Semua pernyataan di atas
merefleksikan Para-widya atau Pengetahuan Tertinggi, yang
menggambarkan Brahman dan bukan Pradhana, apalagi sang jiwa.

Wiseshanabhedadawyapadesabhyam cha netaram


1.2.22 (53)

“Pradhana dan sang jiwa bukanlah sumber dari segala makhluk,


sesuai dengan berbagai atribut dan perbedaan
yang telah disebutkan”.

Keterangan : Pradhana dan sang jiwa itu memiliki wujud, rupa


dan masa (waktu) yang terbatas, namun Brahman itu sebaliknya
sesuai sloka II. 1. 2 di Mundaka Upanishad : “Purusha sorgawi
tersebut tidak memiliki rupa (wujud). Ia tidak berada di dalam
maupun di luar, tanpa kelahiran, tanpa nafas, dan tanpa jalan
pikiran. Beliau itu murni, lebih tinggi dari yang tertinggi dan Tak
Terbinasakan”.

Rupopanyasaccha
1.2.23 (54)

“Sehubungan dengan bentuk (rupa) yang telah disebutkan,


maka yang diuraikan ini adalah Brahman”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Mundaka Up. II. 1. 4, menyatakan : “Agni adalah
kepala-Nya, Surya dan Rembulan adalah kedua mata-Nya, keempat
arah adalah telinga-Nya; Weda-Weda adalah Sabda-Sabda-Nya;
angin adalah nafas-Nya, semesta adalah jantung-Nya. Dari kaki-
Nya hadir sang bumi ini, Beliau adalah Sang Atman di dalam
kesemuanya”. Demikianlah semua sabda Upanishad ini secara
tegas menyatakan Hakikat Brahman, dan tidak mengarah ke unsur-
unsur yang lain, yang bukan Brahman.

Bagian 2. Waiwanaradhikaranam :
Topik 7. Waiswanara adalah Brahman.

Waiswanarah sadharanasabdawiseshat
1.2.24 (55)

“Waiswanara adalah Brahman”, sesuai dengan perbedaan kata-


kata: “Waiswanara” dan “Jati Diri”.

Keterangan : Di Chh. Up. V. 18. 1-2, disebut : “Barangsiapa


bermeditasi ke Jati Diri Waiswanaram yang luas-Nya mencakup
langit dan bumi, yang identik dengan Jati Dirinya sendiri, yang
menyantap santapan di dalam diri setiap makhluk. Jati Diri
Waiswanara ini memiliki antariksa sebagai kepala-Nya; Surya
sebagai mata-Nya, bumi sebagai kaki-Nya, dan api Ahawaniya
sebagai mulut-Nya”.

Keterangan : Kaum Purwapakshin berpendapat bahwa


Waiswanara ini adalah api gastrik (Brihara. Up. V. 9 menyatakan
api ini sebagai unsur api yang mencernakan makanan di lambung),
atau api saja yang juga dapat bermakna jiwa, dsb.

Kaum Siddhantin berkata yang dimaksud ini adalah Brahman


(Atman Yang Maha Esa), karena “api” ini adalah meditasi yang
membakar dosa-dosa dan kebodohan seseorang. Kata Waiswanara
terdiri dari dua kata yaitu : “Wiswa” yang berarti “semua”, dan
“Nara” yang berarti manusia, juga dapat berarti sumber. Jadi
makna arti Waiswanara adalah “Ia yang menjadi sumber dari setiap

www.shantiwangi.com
manusia, di dalam Dirinya Sendiri”. Beliau itu pastilah Brahman
Yang Maha Kuasa.

Smaryamanamanumanam syaditi
1.2.25 (56)

“Karena bentuk kosmis Yang Maha Esa yang diterangkan di Smriti


sudah merupakan indikasi yang jelas”.

Keterangan : Seperti ini Smriti menjelaskan Brahman Yang Maha


Esa: “Ia yang bermulut api, yang berkepala antariksa, yang pusar-
Nya adalah ether. Yang mata-Nya adalah Surya, yang telinga-Nya
adalah berbagai loka-loka; puja-puji bagi-Nya, yang raga-Nya
adalah jagat-raya ini”.
Di Bhagawat-Gita, XV-14, Waiswanara diekspresikan sebagai :
“Setelah Aku berubah menjadi api kehidupan, maka Aku menguasai
berbagai raga yang bernafas sambil menyatu dengan nafas
kehidupan, Aku menyantap keempat jenis santapan”. Dengan
demikian yang disiratkan oleh Chandogya Up. ini sama dengan
yang tersirat di B-Gita.

Sabdadibhyontahpratisthanaccha neti chet na tatha


drisshtyupadesat asambhawat purushamapi chainamadhiyate
1.2.26 (57)

“Seandainya dikatakan bahwa Waiswanara ini bukannya Brahman


atau Tuhan Yang Tertinggi (karena berbagai arti yang difahami
secara berbeda), maka kami nyatakan hal tersebut tidaklah
demikian, karena kaum Wajasaneyin menerangkan-Nya
sebagai “personalitas” (Purusham), bukan sebagai api
yang berada di dalam sistim pencernaan
seorang manusia”.

Keterangan : Dalam ajaran kaum Wajasaneyin, Waiswanara


dijabarkan sebagai seorang Purusha Yang Maha Agung, demikian
kata Sat. Br. 10.6. 1 – 11 : “Agni Waiswanara ini adalah seorang
Purusha”. Namun kaum Siddhantin membantah hal ini dengan
menyatakan-Nya sebagai api pencernaan di dalam tubuh setiap
makhluk.

www.shantiwangi.com
Ata ewa na dewata bhutam cha
1.2.27 (58)

“Berhubungan dengan alasan-alasan yang sama, maka Sang


Waiswanara ini tidak bisa disebut agni (api) ataupun
sebagai unsur-unsur api”.

Keterangan : Kaum Purwapakshin menyatakan-Nya sebagai api


yang amat berdaya tinggi ibarat dewa yang teramat shakti, karena
jagat-raya ini ibaratnya dikuasai oleh api ini. Bagi golongan ini kata
Atman tidak dapat mereka fahami atau artikan sama sekali.

Sakshadapyawirodham jauminih
1.2.28 (59)

“Resi Jaimini menyatakan bahwa kata Waiswanara seharusnya


tidak menjadi polemik perbedaan, karena kata tersebut
secara langsung sudah mengarah ke Brahman”.

Keterangan : Kata Waiswanara juga dapat berarti : totalitas


kehidupan, atau jiwa dari kesemuanya (Sarwatmatwat) yang
berarti Brahman secara amat jelas. Kata ini juga diartikan sebagai
“Purusha yang bersifat Universal” (“Ia yang memiliki insan
manusia”), kata tersebut juga berarti : Ia adalah pemimpin dan
sumber (Nara) dari semuanya (Wiswa) ini. Sekali lagi kata
akumulasi dari kata tersebut adalah Brahman Yang Maha Kuasa.

Abhiwyakterityasmarathyah
1.2.29 (60)

“Kata ini dapat berarti berbagai manifestasi, demikian


sabda Resi Asmarathya”.

Keterangan : Berbagai shastra-widhi mengartikan atau


menjabarkan kata Waiswanara ini sebagai bentuk-bentuk
manifestasi yang terbatas sifatnya seperti api, prana, dsb. Menurut
Resi Asmarathya, hal tersebut sah-sah saja, karena berhubungan
dengan tingkat-tingkat spiritual (pemahaman) atau individu ke
individu yang lainnya. Ajaran Sanatana Dharma memang
mengekspresikan-Nya secara variatif. Bagi yang menyaksikan-Nya

www.shantiwangi.com
sebagai sebesar ibu jari di dalam relung hati sanubari mereka yah
boleh-boleh saja. Bagi yang memfokuskan diri ke Atman, akan
menyaksikan-Nya sebagai Atman dan begitu juga seterusnya.
Apapun ekspresi kata-katanya, menurut sang resi ini tujuannya
tetap sama yaitu Hakikat Yang Maha Esa.

Anusmriterbadarih
1.2.30 (61)

“Sesuai dengan sabda-sabda Resi Badari....... maka demi tujuan


meditasi agar mengingat-Nya secara berkesinambungan”.

Keterangan : Menurut Resi Badari, maka Brahman Yang Maha Esa


ini boleh saja divisualisasikan sebagai rupa-rupa yang berwujud
kecil, namun semua itu demi tujuan pemfokusan meditasi dan
dengan mengingat-Nya selalu. Itulah sebabnya Brahman juga
disebut Pradesamatra, yaitu Beliau yang berbentuk kecil (sekecil
rongga di jantung, atau sebesar ibu jari) dan bersemayam di dalam
diri setiap makhluk dan insan. Tentu saja asosiasi mental
(Anusmriti) ini sesuai dengan tingkatan pemuja yang masih dalam
taraf dini. Bagi bhakta-bhakta ini diperlukan visualisasi pada
mulanya, namun akan segera berubah begitu tingkat spiritual
mereka menanjak ke hakikat Yang Maha Esa.

Sampatteriti Jaiminihstatha hi darsayati


1.2.31 (62)

“Sesuai dengan imajinasi, maka identitas Tuhan Yang Maha Esa


disebut Pradesamatra (Yang berukuran kecil). Demikian sabda
Resi Jaimini yang sesuai dengan sabda-sabda Sruti”.

Keterangan : Menurut ajaran Resi Jaimini, keterangan akan


Pradesamatra ini berhubungan dengan tahap realisasi bentuk atau
rupa yang hadir di antara mustaka (kepala) dan dagu. Berbagai
wujud-Nya dipuja sebagai titik-titik cahaya (cakra) di tubuh kita
ini; yang paling tinggi tentunya cakra-cakra diantara dagu dan
ubun-ubun kepala. Kepala bagi seorang mediator adalah swarga
(antariksa), mata baginya adalah surya dan chandra, dsb. Dalam
metode meditasi ini Yang Maha Esa divisualisasikan sebagai rupa
yang berbentuk kecil dan terbatas, sebatas dagu dan kepala.

www.shantiwangi.com
Demikianlah sabda Resi Jaimini, sebagian pemuja menuja-Nya
dalam wujud yang terbatas ini.

Sruti juga menyabdakan nada yang mirip : “Sang guru berkata,


sambil menunjuk ke arah kepalanya sendiri : “ini adalah
Waiswanara Yang Tertinggi (Utama)”....... demikian yang terdapat
di Wajasaneyi Brahmana”.

Amananti chainamasmin
1.2.32 (63)

“Lebih lanjut, kaum Jabalas mengajarkan bahwa Yang Maha Esa


seyogyanya di meditasikan dalam spasi ini
(di antara kepala dan dagu)”.

Keterangan : Jabala Sruti juga menyatakan, bahwasanya Beliau


seharusnya direalisasikan secara total oleh seorang Awimukta
(pemuja ini) di antara Warana (penghalang dosa) dan Nasi
(penghancur dosa).
Jabala Up. Bersabda : “Seperti apakah lokasi tersebut ?. Lokasi ini
adalah titik di mana kedua alis mata dan hidung bertemu (titik di
antara kedua alis mata). Titik atau lokasi ini adalah tempat
bersatunya dunia swarga yang diwakili oleh kepala bagian atas dan
oleh dagu bumi-loka, yang diwakili oleh dagu”. Dengan demikian
sekali lagi Waiswanara berarti Brahman.

Dengan ini berakhirlah bagian ke-2 dari Adhyaya (Bab I),


dari Brahma Sutras (Filosofi Wedanta) ini.

www.shantiwangi.com
Bagian 3. Introduksi
Pada bagian kedua, berbagai tema dan ungkapan yang
meragukan mengenai Brahman Yang Maha Esa telah dijabarkan. Di
bagian ini, berbagai ungkapan-ungkapan lainnya mengenai Tuhan
Yang Maha Esa yang belum diuraikan di bagian-bagian sebelumnya,
akan diterangkan lebih lanjut, demi pembuktian bahwa yang
dimaksud adalah Brahman Yang Maha Tak Terbatas, yang sama ini
juga.
Pada bagian pertama, di bab pertama, sang pengarang
(Sutrakara) menjabarkan berbagai sebutan seperti Akasa (ether),
Prana (energi), Jyoti (cahaya) sebagai Brahman. Di bagian kedua
beliau menunjuk dan menjabarkan berbagai unsur-unsur yang
hadir di raga manusia sebagai aspek-aspek Brahman dalam bentuk
Nirguna Brahman (Tuhan Yang Maha Gaib, Yang Tidak
Terjabarkan). Subjek utama di sini adalah diskusi akan Para
Brahman yaitu Nirguna Brahman Yang Maha Mulia, Agung dan
Maha Gaib.

Sinopsis :
Berbagai upaya-upaya meditasi di berbagai Srutis, yang
belum sempat di uraikan di atas, akan didiskusikan di bagian ini
demi membuktikan bahwa semua itu mengarah ke Yang Maha Tak
Terbatas, Satchitanada, Yang Maha Hadir, Abadi, dan Tak
Terbinasakan (Para Brahman).

Adhikarana I : (Sutras 1-7), di bagian ini dibuktikan bahwasanya


Brahman adalah unsur di mana semua elemen seperti antariksa,
bumi, jagat-raya, dsb., ini terjalin secara rapi di dalam-Nya.

Adhikarana II : (Sutras 8 – 9), di bagian ini keterangan yang


mengarah ke Bhuma (Chh. Up. VII-23) juga berarti Brahman.

Adhikarana III : (Sutras 10 – 12), menerangkan mengenai


Akshara (Yang Tidak Terbinasakan, yang terdapat di Bri. Up. III.
8.8, yang menyatakan bahwa unsur ether yang tersusun ibarat
tenunan adalah Brahman itu sendiri.

Adhikarana IV : (Sutra 13), di bagian ini dijelaskan mengenai


Purusha Tertinggi Yang menjadi tujuan meditasi, yang disertai

www.shantiwangi.com
Pranawa Om (Prasna V-5). Purusha ini juga ternyata adalah
Brahman Yang Maha Tinggi.

Adhikarana V : (Sutras 14 – 21). Bagian ini berbicara mengenai


ether kecil (Daharakasa) yang hadir di Cakra jantung (Chh. Up.
VIII. 1). Ether ini ternyata adalah Brahman.

Adhikarana VI : (Sutras 22-23). Bagian ini membuktikan bahwa Ia


yang memberikan Cahaya-Nya kepada seluruh unsur-unsur lainnya
di jagat-raya ini adalah Sang Brahman itu sendiri (Katha Up. II.
2.15).
Adhikarana VII : (Sutras 22-25). Bagian ini menjelaskan (Katha Up.
II. 1 – 12), mengenai Purusha sekecil ibu jari, yang bukan lain
adalah Brahman itu sendiri.

Adhikarana VIII : (Sutras 26 – 33). Di bagian ini dan bagian-bagian


selanjutnya (Adhikarana selanjutnya) dijelaskan bahwa para
dewatapun diharuskan mempraktekkan Brahma Widya seperti yang
dianjurkan oleh berbagai Weda. Sutra 29 – 30 menyatakan
bahwasanya berbagai Weda bersifat abadi.

Adhikarana IX : (Sutras 34 – 38), menyatakan bahwa kaum Sudra


tidak layak untuk mempelajari Brahma-Widya.

Adhikarana X : (Sutra 39), menyatakan bahwa Prana adalah


Brahman (Katha Up. II. 3. 2).

Adhikarana XI : (Sutra 40), menyatakan bahwa cahaya atau Nur


(Jyoti) yang hadir di Chh. Up. VIII. 12.3, adalah Brahman (Tuhan
Yang Maha Tinggi).

Adhikarana XII : (Sutra 41).... menyatakan bahwa ether yang


berwujud berbagai nama dan rupa (Chh. Up. VIII.14) bukanlah
elemental ether namun yang dimaksud sebenarnya adalah
Brahman.

Adhikarana XIII : (Sutras 42 – 43)... menyatakan bahwasanya


yang disebut Wijnanamaya (yang penuh dengan Pengetahuan) di
Bri. Up. III.3.7, bukanlah jiwa individu melainkan Brahman itu
sendiri.

www.shantiwangi.com
Bagian 3. Dyubhwadyadhikaranam :
Topik 1. Langit, bumi, dan lain sebagainya adalah Brahman.

Dyubhwadyayatanam Swasabdat
1.3.1 (64)

“Langit, bumi dan lain sebagainya (Jagat-raya) ini adalah Brahman,


sesuai dengan Kemandirian (Jati Diri), yang telah menjadi
ciri-ciri sejati-Nya”.

Keterangan : Sloka di atas adalah pernyataan yang hadir di


Mundaka Up. II.2.5, yang berbunyi : “Ia yang di dalam-Nya hadir
tersusun langit, bumi, dan antariksa, juga sang pikiran dan
berbagai indriyasnya; kenalilah Dia sebagai Sang Jati Diri satu-
satunya, lupakanlah hal-hal yang lainnya. Beliau (Tuhan) adalah
Jembatan Keabadian.

Muktopasripyawyapadesat
1.3.2 (65)

“Sesuai dengan yang telah dinyatakan di berbagai shastra-widhis


maka ITU (Para Brahman) adalah yang harus dicapai oleh
mereka-mereka yang telah bebas secara spiritual”.

Keterangan : Briharadaranaka Up. IV. 4- 7, menyatakan :


“Sewaktu semua hasrat yang hadir di dalam hati telah hancur,
maka seorang yang dapat mati akan berubah menjadi abadi, iapun
lalu akan mencapai Sang Brahman”.

Nanumanamatacchabdat
1.3.3 (66)

“Jajaran langit, bumi dan antariksa bukanlah Pradhana karena tidak


ada referensi mengenai hal tersebut”.

Pranabhriccha
1.3.4 (67)

“Dan juga yang dimaksud (Tuhan) ini bukanlah sang jiwa”.

www.shantiwangi.com
Bhedawyapadesat
1.3.5 (68)

“Juga berdasarkan perbedaan di antara sang jiwa individu dan


juga jagat-raya”.

Prakarcanat
1.3.6 (69)

“Berdasarkan materi subjek (di berbagai shastra-widhi)”.

Keterangan : Brahman (Tuhan Yang Maha Kuasa) adalah subjek


materi utama di berbagai shastra-widhi. Menurut Mundaka Up.,
sewaktu Tuhan (Brahman) ini dapat difahami, maka semuanya
yang hadir di jagat-raya ini dapat difahami (Mund. Up. 1.1.3).
Namun tidak demikian halnya seandainya seseorang mampu
memahami sang jiwa.

Sthityadanabhyam cha
1.3.7 (70)

“Berdasarkan ciri-ciri keduanya yang berbeda; yang pertama


bersifat Tidak Terikat (Achintya), sedangkan yang kedua
dapat menikmati secara sensual (jiwa individu)”.

Bagian 3. Bhumadhikaranam :
Topik 2. Bhuma adalah Brahman.

Bhuma samprasadadadhyupadesat
1.3.8 (71)

“Bhuma adalah Brahman, karena ia hadir setelah tahap tidur lelap


(Pada tahap ini Prana tetap terjaga dan berfungsi walaupun
seseorang sudah memasuki tahap tidur lelap)”.

Keterangan : Kata Bhuma, menurut Sruti juga berarti Karunia


Bhagawat (Ilahi). Menurut ajaran para resi Sanatkumara kepada
Resi Narada, Bhuma juga bermakna Kebenaran Yang Tertinggi di

www.shantiwangi.com
mana yang hadir hanyalah Brahman semata dan tidak ada unsur-
unsur apapun yang lainnya (Chhandogya Up. VIII. 22 – 24).

Dharmopapattescha
1.3.9 (72)

“Dan sesuai dengan shastra-widhi maka Bhuma itu ciri-cirinya


hanya dimiliki oleh Para Brahman”.

Keterangan : Sruti menyatakan :”Di tahap mana seseorang tidak


melihat apapun juga, tidak mendengar apapun juga, tidak
memahami apapun juga, maka hal tersebut dikatakan sebagai
Bhuma”. Bri. Up. Menyatakan : “Kalau semua ini adalah Atman,
bagaimana mungkin ia menyaksikan yang lain-lainnya ? (Bri. Up.
IV. 5 – 15). Semua argumen di atas menyatakan Bhuma sebagai
Brahman.

Bagian 3. Aksharadhikaranam :
Topik 3. Akshara adalah Brahman.

Aksharamambarantadhriteh
1.3.10 (73)

“Yang Maha Tak Terbinasakan (adalah Brahman), berdasarkan


Kekuasaan-Nya yang menunjang seluruh jagat-raya ini
sampai ke Akasa (ether)”.

Keterangan : Menurut kaum Purwapakshin Akshara(m) berarti


Pranawa OM, bukan Brahman, namun Bri. Up. III. 8 – 11
menyatakan : “Wahai Gargi, di dalam Akshara ini ether teranyam
secara amat sempurna “ (Bri. Up. 8.11). Oleh sebab itu Akshara ini
disebut sebagai Brahman itu sendiri.

Sa cha prasasanat
1.3.11 (74)

“Sesuai dengan komando (perintah-perintah-Nya), demi


berfungsinya jagat-raya ini, maka semua itu hanya
mungkin dapat diperintahkan oleh-Nya semata,
bukan oleh Sang Pradhana”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Bri. Up. III.8.9, menyatakan : “Sesuai dengan
perintah-Nya (Akshara tersebut) wahai Gargi ! maka surya dan
chandra berfungsi secara seksama”. Kalau bukan Yang Maha Esa
itu sendiri yang memerintahkannya (mengendalikannya), maka
tidak mungkin jagat-raya ini berfungsi sesuai dengan hukum-
hukum-Nya.

Anyabhawawyawrittescha
1.3.12 (75)

“Sesuai dengan ajaran-ajaran Sruti, Akshara (Brahman) tersebut


berciri lain dibandingkan unsur-unsur yang lainnya”.

Keterangan : Ciri khas Sang Brahman (Aksharam) ini, menurut


Bri. Up. III. 8 – 11, adalah “Akshara tersebut, wahai Gargi ! Tidak
terlihat namun senantiasa melihat; tidak terdengar namun
senantiasa mendengar; tidak terasa namun senantiasa merasakan;
tidak difahami namun senantiasa mampu memahami. Tidak ada
unsur-unsur yang lainnya yang melihat namun ia semata, tidak ada
unsur lainnya yang berfikir namun ia semata, tidak ada unsur
lainnya yang memahami namun ia semata. Di dalam Yang Maha
Tidak Terbinasakan ini, sang ether teranyam (tersusun) secara
sempurna”. Pradhana bukanlah unsur-unsur Yang Maha Intelijen,
namun semua ciri ini adalah ciri utama Sang Para Brahman semata.

Bagian 3. Ikshatikarmawyapadesadhikaranam :
Topik 4. Purusha Tertinggi yang menjadi tujuan meditasi adalah
Brahman Yang Tertinggi.

Ikshatikarmawyapadesat cha
1.3.13 (76)

“Beliau (Sang Brahman) disebut sebagai objek dari Ikshana


(realisasi akan Yang Maha Esa melalui penyaksian pribadi),
Ia adalah tujuan dari meditasi”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Berbagai Upanishad dan shastra-widhi menyatakan
bahwasanya puncak dari meditasi tertinggi akan menghasilkan
penampakan Ilahi.

Bagian 3. Daharadhikaranam :
Topik 5. Dahara (Akasa alit) adalah Brahman.

Dahara uttarebhyah
1.3.14 (77)

“Sehubungan dengan berbagai argumen dan pernyataan, maka


dikatakan ether (Akasa kecil) adalah Brahman”.

Keterangan : Dahara di sloka ini berarti ether kecil (buana alit).


Chh. VIII.1.1, menyatakan : “Raga ini adalah pura (kota) tempat
bersemayam-Nya Sang Brahman, tepatnya di suatu lokasi teratai
(Chakra kecil) di jantung, dan di titik ini hadirlah Akasa (ether).
Pura atau kota ini disebut Brahmapuri (Kotanya Sang Brahman).
Dengan demikian dinyatakan bahwa lokasi/titik kecil (dahara) ini
yang hadir di setiap raga insan-insan manusia adalah Brahman itu
sendiri.

Gatisabdabhyam tatha hi drishtam lingam cha


1.3.15 (78)

“Akasa (ether) kecil adalah Brahman sesuai dengan pelaksanaan


(karya-karya-Nya) dan juga berhubungan dengan kata Brahma-
loka; sesuai dengan berbagai Sruti-Sruti maka jiwa individu
akan memasuki Brahman; sehari-harinya selama tahap-
tahap tidur lelap berlangsung, maka sang jiwa akan
memasuki tahap Brahman; dan fenomena ini
merupakan tanda untuk menginterpretasikan
kata “Brahmaloka” secara benar”.

Keterangan : Kata “Brahmaloka” harus diinterpretasikan sebagai


Brahman itu sendiri, dan bukan sebagai Brahman (Satyaloka),
karena dikatakan di berbagai Sruti bahwasanya sang jiwa sehari-
harinya selalu mamsuki “Brahmaloka” ini di dalam tahap tidur
lelapnya (Chh. Up. VIII. 3.2; Chh. Up/VI.8.1). Dan di dalam bahasa

www.shantiwangi.com
sehari-harinya senantiasa dikatakan “Seseorang yang telah
memasuki tahap tidur lelap telah menjadi Brahman”; ada juga
ungkapan yang lain : “Ia telah masuk ke tahap Brahman”.

Dhritescha mahimno’syasminnupalabdheh
1.3.16 (79)

“Lebih lanjut, sesuai dengan berbagai hal-hal yang menunjang


maka buana alit (ether kecil) ini pastilah Brahman, karena
keagungan ini hanya hadir di Brahman semata
(Demikianlah sabda-sabda yang tersirat
di berbagai sloka-sloka Sruti)”.

Keterangan : Sloka ini didasarkan pada Chh. Up. VIII. 4.1, di


mana dinyatakan bahwa ether (atau atom) kecil ini ternyata adalah
Sang Penunjang jagat-raya ini. Siapa lagi yang mampu menunjang
jagat-raya ini kalau bukan Brahman itu sendiri. Dengan kata lain
ether kecil ini adalah Brahman itu sendiri.

Prasiddhescha
1.3.17 (80)

“Juga sesuai dengan arti yang amat difahami (yaitu), Akasa (ether)
adalah Brahman, maka Daharakasa (ether kecil)pun
adalah Brahman.

Keterangan : Pernyataan di atas dihubungkan dengan Chh. Up.


VIII. 14.1 : “Akasa adalah sumber dari seluruh nama dan rupa”.
Kemudian Tait. Up. II.7, menyatakan ; “Siapakah yang mampu
bernafas seandainya Akasa (ether) ini bukannya sebuah Karunia
Ilahi”. Demikianlah Akasa (Ether) ini disamakan dengan Brahman.

Haraparamarsat sa iti chen nasambhawat


1.3.18 (81)

“Seandainya sang jiwa yang dimaksud (sebagai Brahman), maka


kami katakan bahwa hal tersebut tidaklah benar, karena bukti-
bukti menunjukkan hal tersebut tidaklah mungkin”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Seperti yang telah dijelaskan pada keterangan-
keterangan sebelumnya, maka sang jiwa yang terbatas durasinya
ini tidak mungkin disejajarkan dengan Brahman Yang Maha Abadi.

Uttaracchedawirbhutaswarupastu
1.3.19 (82)

“Seandainya dikatakan sesuai dengan berbagai teks di shastra-


widhi bahwa jiwa individu adalah Brahman yang dimaksud,
maka hal tersebut dikarenakan oleh sifat sejati sang
jiwa itu yang telah bermanifestasi
(menyatu dengan Brahman)”.

Keterangan : Hyang Prajapati menjelaskan di Sruti bahwasanya


sang jiwa yang berjuang secara berkesinambungan ke arah
Brahman, pada akhirnya akan manunggal (menyatu) dengan-Nya.
Tahap ini disebut manifestasi sang jiwa tersebut. Iapun memasuki
tahap Satchidananda yang lepas dari berbagai unsur-unsur awidya.
Mun. Up. III. 2-9, menyatakan : “Ia yang telah memahami
Brahman Yang Tertinggi berubah menjadi Brahman”. Inilah sifat
sejati jiwa individu ini. Sutra berikutnya menerangkan mengapa
jiwa dihubungkan dengan Brahman.

Anyarthascha paramarsah
1.3.20 (83)

“Dan petunjuk mengenai jiwa individu ini sebenarnya


bermaksud lain”.

Keterangan : Sebenarnya semua argumen mengenai sang jiwa ini


dimaksudkan untuk memperjelas status Sang Brahman itu sendiri.
Untuk itu bagi yang masih awam contoh tentang sang jiwa (yang
masih terliput awidya) dan yang telah berubah menjadi sejati
diperbandingkan, agar terungkap kesejatian Sang Brahman.
Dahara dan jiwa sama-sama kecil bentuknya, dengan kata lain
dahara adalah juga sang jiwa itu sendiri, sutra berikutnya
menjawab seperti berikut :

www.shantiwangi.com
Alpasruteriti chet taduktam
1.3.21 (84)

“Seandainya dikatakan bahwa sesuai dengan deklarasi


(pernyataan) mengenai kecilnya sang ether maka bukan
Brahman yang dimaksud, maka kami nyatakan hal
tersebut sudah dijelaskan (di atas)”.

Bagian 3. Anukrityadhikaranam :
Topik 6. Semuanya dicahayai oleh Brahman.

Anukritestasya cha
1.3.22 (85)

“Berdasarkan (fakta alami) bahwasanya semua yang bercahaya di


jagat-raya ini sebenarnya bersumber kepada Cahaya-Nya.
Karena Brahman maka semua unsur-unsur inipun
mendapatkan dan mampu bercahaya”.

Keterangan : Di Mundaka Up. II. 2-10, dan Kathopanishad II. 11 –


15, terdapat sloka-sloka mirip sekali dengan pernyataan di atas.
Selama ini kita berasumsi bahwa mentari bersinar melalui dayanya
sendiri, demikian juga halnya dengan api, halilintar, bintang-
bintang dan lain sebagainya. Namun sutra di atas mengungkapkan
bahwasanya semua itu tidak mungkin seandainya Sang Brahman
tidak menjadi pemasok (sumber) dari daya penghasil cahaya
tersebut.

Api cha Smaryate


1.3.23 (86)

“Lebih lanjut Smritipun menyatakan bahwa Ia adalah


Cahaya Universal”.

Keterangan : Smriti (Bhagawat-Gita) menyatakan : “Cahaya yang


hadir di mentari menyinari seisi dunia ini, demikian juga yang hadir
di rembulan dan di api, fahamilah bahwa semua cahaya ini berasal
dari-Ku (B-Gita XV.12).

www.shantiwangi.com
Bagian 3. Pramitadhikaranam :
Topik 7. Purusha yang berukuran sebesar ibu jari adalah
Brahman.

Sabdadewa pramitah
1.3.24 (87)

“Sesuai dengan kata-kata yang menyatakan-Nya sebagai Purusha


yang berukuran ibu jari, maka Beliau ini adalah Sang Brahman”.

Keterangan : Kathopanishad II. 4-12 menyatakan : “Purusha yang


berukuran seibu jari bersemayam di tengah, di pusat raga, dsb.”.;
Di Kathopanishad II.4-13 dikatakan : “Purusha tersebut, yang
seukuran ibu jari itu ibaratnya seberkas cahaya tanpa cahaya,
Beliau adalah Tuhan masa lalu, kini dan masa-masa yang akan
datang. Beliau ini sama hari ini maupun hari esok. Memahami-Nya
maka seseorang tidak akan menyembunyikan dirinya sendiri. Ini
adalah itu. “Sang jiwa terbatas durasi hidupnya, namun Sang
Brahman dalam bentuk Purusha kecil ini, abadi sifatnya. Sutra
selanjutnya masih berbicara mengenai Purusha ini.

Hridyapekshaya tu manushyadhikaratwat
1. 3. 25 (88)

“Manusia itu layak untuk mempelajari berbagai Weda-Weda dan


bermeditasi ke Sang Brahman, dan mencapai pembebasan
secara spiritual (Realisasi akan Sang Atman)”.

Keterangan : Hanya manusia yang layak untuk bermeditasi ke


Tuhan, melalui penghayatan berbagai shastra-widhi. Makhluk-
makhluk lainnya tidak memenuhi syarat untuk bermeditasi ke
Tuhan Yang Maha Esa. Namun bagi pemula, maka wujud Purusha
atau Atman yang kecil (sebesar ibu jari) itu mudah dijadikan fokus
meditasinya. Bagi yang sudah terbiasa, maka semua visualisasi ini
sudah tidak diperlukan lagi.

www.shantiwangi.com
Bagian 3. Dewatadhikaranam :
Topik 8. Para dewapun layak untuk mempelajari berbagai Weda.

Taduparyapi Badarayanah sambhawat


1. 3. 26 (89)

“Menurut Resi Badarayana, para makhluk (dewa) yang statusnya


di atas manusia layak untuk mempelajari dan melaksanakan
berbagai ajaran-ajaran Weda”.

Keterangan : Ternyata para dewata inipun bukanlah makhluk-


makhluk yang sempurna dan serba suci. Mereka inipun
mendambakan penyatuan dengan Sang Brahman, karena masa
hidup mereka di swargaloka (Dewa-loka)pun terbatas. Brahma
pernah belajar dari Sang Hyang Wishnu; Hyang Indra selama
ratusan tahun mempelajari Brahma-Widya dari Hyang Prajapati,
dan Bhrigu Waruni mempelajarinya dari Waruna.
Kaum Purwapakshin menyatakan seandainya para dewata memiliki
raga, maka pastilah sulit bagi mereka untuk hadir sekaligus di
berbagai upacara yajna yang biasanya dilakukan serentak di
berbagai lokasi. Jadi dengan demikian sia-sia sajalah yajna
tersebut. Di bawah ini terdapat sanggahan.

Wirodhah Karmaniti chet, na, anekapratipatterdarsanat


1. 3. 27 (90)

“Seandainya dikatakan bahwa para dewa tidak mampu menghadiri


berbagai yajna pada saat yang sama, maka kami nyatakan tidaklah
demikian, karena shastra-widhi mengatakan bahwasanya mereka
mampu hadir sekaligus di berbagai upacara pengorbanan ini”.

Keterangan : Smriti bersabda : “Bahkan seorang yogi, wahai


pahlawan Barata, mampu menghadirkan beribu-ribu wujudnya di
bumi ini.....dsb. dsb”. Ini baru daya kesaktian seorang yogi, apalagi
para dewata, hal tersebut tidak perlu diragukan lagi.

www.shantiwangi.com
Sabda iti chet, na, atah prabhawat
pratyakshanumanabhyam
1. 3. 28 (91)

“Seandainya dikatakan bahwa Sabda bersifat tidak abadi (karena)


berasal dari Weda (Sabda-Sabda Dewa), maka kami nyatakan
hal tersebut tidaklah benar, sesuai dengan ajaran dan
persepsi yang terdapat di Sruti dan di Smriti”.

Keterangan : Kaum Purwapakshin mengatakan bahwasanya


Sabda-Sabda Weda seharusnya bersifat abadi, tanpa mula dan
tanpa akhir. Namun karena Weda-Weda berarti sabda-sabda dewa,
dan dewa tidak abadi masa hidupnya, maka secara otomatis ajaran
weda juga seyogyanya tidak bersifat abadi. Namun menurut Sruti
dan Smriti para dewata sebaliknya juga berasal dari sabda-sabda
Wedik. Dan sabda Wedik berasal dari Yang Maha Esa, dan Brahman
Yang Abadi ini senantiasa Hadir dari masa ke masa, jadi tidak ada
alasan bahwa sabda-sabda Weda harus tidak abadi. Smriti dan
Sruti juga menyatakan bahwa Brahman menciptakan jagat-raya
dan segala isinya termasuk para dewa-dewi melalui Sabda (Sabd)
Beliau yang dikenal secara umum sebagai sabda Wedik. Doktrin ini
dianggap abadi oleh kaum Sanatana (Hindhu) Dharma.

Ata ewa cha nityatwam


1. 3. 29 (92)

“Oleh sebab itu (di atas) maka dinyatakan berbagai


Weda-Weda ini abadi statusnya”.

Keterangan : Berbagai Weda tidak ditulis oleh seorang


pengarang, namun adalah nafas-Nya Yang Maha Esa. Para resi
mendapatkan wahyu-wahyu dalam bentuk sabda-sabda Weda
sebagai wujud Karunia Ilahi. Resi Wyasa : “Pada masa-masa
yang silam para resi yang agung, melalui tapa-brata mereka
yang ketat dan berkesinambungan, mendapatkan karunia dalam
bentuk Weda, sesuai dengan persetujuan Swayambhu (Manu
Swayambhu, manusia pertama)”. Para resi agung ini juga
mendapatkan berkah dalam bentuk Itihasah, semua wahyu-
wahyu ini disembunyikan dahulunya dari kaum awam sampai
dengan akhir yuga.

www.shantiwangi.com
Samananamarupatwat cha awrittawapyawirodho
darsanat smritescha
1. 3. 30 (93)

“Sehubungan dengan kesamaan nama dan bentuk yang diciptakan


pada permulaan setiap penciptaan yang baru, maka tetap saja
hal tersebut tidak bertentangan dengan sabda-sabda Weda,
seperti yang dinyatakan oleh Sruti dan Smriti”.

Keterangan : Sruti dan Smriti menyatakan, bahwasanya Yang


Maha Esa Brahman senantiasa menciptakan dan menghancurkan
jagat-raya dan isinya (Maha-Pralaya). Setiap kali mencipta Beliau
akan mengulangi kembali semua bentuk-bentuk yang eksis
sebelumnya secara baru, melalui sabda-sabda Beliau. Jadi tidak
benar kalau disebut bahwa sabda-sabda Weda ini tidak abadi, yang
tidak abadi adalah seluruh semesta dan isinya ini. Swestara
Upanishad menyatakan : “Pada saat Pralaya, semua bentuk akan
sirna, namun Shakti tetap hadir. Penciptaan ini selanjutnya hadir
melalui Shakti (daya Ilahi) ini semata.

Madhwadishwasambhawadanadhikaranam Jaiminih
1. 3. 31 (94)

“Sehubungan dengan pernyataan yang mengatakan bahwa para


dewa tidak mampu memuja (bermeditasi) baik itu puja
Upasana ataupun puja Brahma-Widya atau demi
pengetahuan akan Sang Jati Diri”.

Keterangan : Resi Jaimini, pengarang Purwamimansa menyatakan


bahwa dewa Surya, dewa Chandra yang dipuja di Madhu-Widya dan
shastra-widhi lainnya tidak mampu memuja Tuhan ibarat manusia
atau para resi karena sebenarnya mereka ini adalah tujuan
pemujaan juga, jadi tidak berstatus sebagai pumuja, karena
seyogyanya yang memuja dan yang dipuja itu tidak sama status
(standardnya). Apa lagi para Wasus misalnya, tidak memerlukan
pemujaan lagi, karena sudah selesai segala hasil dari pahala-pahala
mereka. Meditasi bagi mereka tidak diperlukan lagi karena mereka
sudah memiliki hasil dari meditasi tersebut.

www.shantiwangi.com
Jyotishi bhawacca
1. 3. 32 (95)

“Dan para dewa tidak layak untuk mendapatkan widya, karena


dewa-dewi seperti (Surya, Chandra, Agni, dsb) sebenarnya
adalah kata-kata (wujud) untuk menyatakan berbagai
wujud-wujud cahaya”.

Keterangan : Kaum Purwapakshin bertanya bagaimana mungkin


para dewa dan jajaran semesta (non-manusia) mampu memuja
atau bermeditasi, tanpa memiliki raga maupun kaki dan tangan,
yang diperlukan sekali sewaktu kita bersembahyang dan
bermeditasi.
Bhawam tu Badarayano’sti tu
1. 3. 33 (96)

“Namun menurut Resi Badarayana, sebaliknya para dewa ini


sebenarnya memiliki kemampuan untuk mendapatkan
Brahma-Widya, karena shastra-widhi menyatakan
para dewata ini juga memiliki wujud-wujud
(manusiawi mereka)”.

Keterangan : Resi Badarayana menunjuk ke berbagai kisah di


Smriti dan Sruti yang menyatakan bahwa para dewata dapat
merubah wujud mereka seperti manusia bahkan dengan empat
tangan. Merekapun mampu merubah diri mereka ke berbagai
wujud fauna dan flora, dsb. Resi ini dan juga para resi-resi agung
lainnya sering bertemu dengan para dewata ini dalam berbagai
wujud-wujud mereka, caranya sebut Yoga sutra adalah “Melalui
Swadhaya (usaha-usaha spiritual yang berkesinambungan, maka
seseorang akan mampu berhubungan dengan para dewa
pujaannya)”. Oleh sebab itu dikatakan bahwasanya para dewa
memiliki wujud-wujud yang menakjubkan untuk menghaturkan
puja sembahyang mereka kepada Yang Maha Kuasa dan demi
mendapatkan Brahma-Widya. Objek atau tujuan puja mereka
adalah Brahman dan bukan diri mereka sendiri.

www.shantiwangi.com
Bagian 3. Apasudradhikaranam :
Topik 9. Diskusi mengenai hak kaum Sudra untuk mempelajari
Weda.

Sugasya tadanadarasrawanat tadadrawanat suchyate hi.


1. 3. 34 (97)

“Raja Janasruti sangat sedih sewaktu ditolak oleh seorang resi


dalam wujud angsa. Resi Raikwa tersebut menyebut
sang raja sebagai seorang Sudra”.

Keterangan : Sang raja ini ditolak oleh sang resi, sewaktu ingin
menjadi murid sang resi karena dianggap sebagai seorang sudra.
Namun pada kesempatan berikutnya ia diterima menjadi murid.
Kaum Purwapakshin berpendapat bahwa seharusnya kaum Sudra
diperbolehkan memuja dan mendapatkan widya, karena mereka
memiliki raga dan kemampuan lahir batin yang sama dengan kaum
yang lainnya. Sebenarnya Smriti penuh dengan kisah-kisah kaum
Sudra yang naik tinggi ke jenjang spiritual, contoh Widura di
Mahabharata, Resi Narada yang lahir sebagai anak seorang
pembantu wanita. Bahkan Bhagawat-Gita menyatakan, kaum
Sudra, pelacur, dsb. dapat meningkat status spiritualnya melalui
ajaran-ajaran suci. Demikian Panca Weda (sebutan bagi B-Gita).

Kshatriyatwawagateschottratra chaitrarathena lingat


1. 3. 35 (98)

“Dan karena Kesatriyaan Janasruti, ia sudah memiliki tanda-tanda


yang khusus, apalagi ia didampingi oleh Chaitraratha
(yang adalah juga seorang Kesatriya)”.

Keterangan : Janasruti adalah seorang raja, sewaktu ia dilecehkan


oleh sang guru (padahal sang guru sedang menguji ketangguhan
mentalnya), ia berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa
ia adalah seorang raja.

www.shantiwangi.com
Samskaraparamarsat tadabhawabhilapacca
1. 3. 36 (99)

“Upacara-upacara pemurnian (penyucian) bagi yang dwijati dan


yang sebaliknya yaitu kaum Sudra disebutkan di berbagai
pengetahuan (skripsi-skripsi suci)”.

Keterangan : Upacara Upanayama dilaksanakan bagi kasta-


kasta yang tinggi, sedangkan kaum Sudra pada zaman tersebut
tidak layak melaksanakan upacara tersebut. Sudra di sini bersifat
warna bukan kasta yang bersifat diskriminatif. Sutra berikutnya
melarang seorang Sudra mendapatkan Samskara.

Tadabhawawanirdharane cha Prawritteh


1. 3. 37 (100)

“Dan Resi Gautamapun menurunkan ilmunya ke Jabala Satyakama


karena melihat tidak hadirnya unsur Sudra
di dalam diri sang murid ini”.

Keterangan : Jabala Satyakama lahir sebagai putra seorang


pelayan dan tidak diakui oleh ayahnya sendiri yang berstatus
barhmana. Iapun berterus terang kepada gurunya mengenai jati
dirinya yang sebenarnya. Oleh sang guru kejujurannya ini malahan
dianggap sebagai sifat seorang brahmana (Chh. Up. IV. 4 – 5).

Srawanadhyayanarthapratishedhat smritescha
1. 3. 38 (101)

“Smriti menyatakan pelarangan bagi kaum Sudra untuk


mendengarkan, mempelajari dan memahami Weda,
juga dilarang untuk melaksanakan berbagai
upacara wedik (karena dianggap tidak layak
untuk mendapatkan pengetahuan akan
Sang Brahman)”.

Keterangan : Yang dilarang Smriti adalah Sudra yang chandala


(kafir), bukannya berdasarkan keturunan, orang tersebut bisa
berasal dari golongan siapa saja. Smriti mengatakan : “Telinga
sudra yang mendengarkan Weda akan terisi oleh cairan besi

www.shantiwangi.com
panas”. Karena seorang kafir adalah ibarat sebuah kuburan, jadi
tidak layaklah kalau kuburan mendengarkan Weda. Smriti
menambahkan : “Lidah seorang sudra harus ditebas, seandainya ia
memahami Weda”. Namun seorang berwarna Sudra seperti Widura,
Dharma Wyadha dan Narada ternyata mampu menghayati dan
melaksanakan ajaran-ajaran Weda dengan baik, karena mereka
bukan kafir. Sutra ini menyatakan Weda tidak seharusnya dipelajari
dan difahami oleh kaum kafir.

Bagian 3. Kampanadhikaranam :
Topik 10. Prana yang mengakibatkan semuanya bergetar adalah
Brahman.

Kampa nat
1. 3. 39 (102)

“Prana adalah Brahman, sesuai dengan unsur-unsur getaran


(semuanya di semesta ini)”.

Keterangan : Kita kembali ke topik utama yaitu makna dan isi


teks-teks Wedanta. Di Kathopanishad II.3.2 dikatakan : “Apapun
yang hadir di jagat-raya ini, datang dari Prana dan bergetar di
dalam Prana. Prana adalah teror yang amat menakutkan, ibaratnya
halilintar yang menggelegar. Barangsiapa memahami hal ini akan
berubah menjadi abadi”. Sedemikian dashyatnya Prana atau nama
lain dari Brahman ini, sehingga Beliau diibaratkan sebagai
fenomena yang amat menggetarkan sukma. Bagi sebagian umat
manusia, Tuhan itu amat menakutkan, namun bagi yang
menghayati Hakikat-Nya, maka yang memahami-Nya akan
melampaui kematian (Swet. Up. VI. 15).

Bagian 3. Jyotiadhikaranam :
Topik 11. Cahaya (Nur) adalah Brahman.

Jyotirdarsanat
1.3. 40 (103)

“Sehubungan dengan penampakan Ilahi (Dharsana) maka


Cahaya adalah Brahman”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Sruti menyatakan bahwasanya sewaktu Ia
melepaskan raga ini maka Ia akan memasuki Cahaya Yang
Tertinggi (Chh. Up. VIII.1. 2-3), dan pada saat itu akan terlihatlah
wujud asli-Nya (sebagai Cahaya Ilahi).

Bagian 3. Arthantaratwadiwyapadesadhikaranam :
Topik 12. Akasa (ether) adalah Brahman.

Akaso’rthantaratwadiwyapadesat
1. 3. 41 (104)

“Akasa adalah Brahman, karena Beliau ini berbeda dari nama


dan rupa dan lain sebagainya”.

Keterangan : Brahman atau Tuhan Yang Maha Esa itu tidak dapat
dijabarkan bentuk maupun Hakikat sejati-Nya, walaupun jagat-raya
dan seisinya berasal dari-Nya semata.

Bagian 3. Sushuptyutkrantyadhikaranam :
Topik 13. Sang Jati Diri (Atman) yang berisikan pengetahuan
adalah Brahman.

Sushuptyukrantyorbhedena
1. 3. 42 (105)

“Sang Jati Diri Yang Tertinggi itu berbeda dari sang jiwa di dalam
tahap tidur lelap dan kematian”.

Keterangan : Topik utama bagian ini adalah Brahman dalam


berbagai aspek-aspek-Nya. Perbedaan antara sang jiwa dan Sang
Atman (Brahman) telah dijelaskan melalui berbagai argumentasi di
atas.

www.shantiwangi.com
Patyadisabdebhyah
1. 3. 43 (106)

“Beliau yang dimaksud di Sutra 42 adalah Sang Brahman sesuai


dengan kata-kata yang dipergunakan seperti : “Tuhan”, dan
lain sebagainya yang khusus diperuntukkan bagi-Nya.
“Beliau adalah Sang Pengendali, Sang Penguasa,
dan Tuhan dari semuanya”. (Bri. Up.IV.4–22).

Dengan ini berakhirlah Pada (Bagian) Ketiga dari Adhyaya


Pertama Brahma Sutras dan Sariraka Bhashyanya
Sri Shankaracharya.

www.shantiwangi.com
Bagian 4. Introduksi
Di dalam topik 5 dari bagian 1, dijelaskan bahwasanya
Pradhana (Sankhya Filosofi) itu tidak berdasarkan skripsi-skripsi
suci, dan sebenarnya semua teks-teks Sruti mengarah ke Brahman,
yang merupakan prinsip utama.
Sifat-sifat Sang Brahman telah dijelaskan di 1.1.2. Dijelaskan
bahwasanya tujuan teks-teks Wedanta adalah penjabaran akan
hakikat Yang Maha Esa (Brahman) bukannya Sang Pradhana
(Maya, Prakriti). Tentu saja hal ini kurang diterima oleh kaum
Sankhyas, bagi mereka Pradhana adalah faktor yang teramat
dominan.
Di Pada (bagian) ini akan ditemui pemikiran-pemikiran kaum
Sankhyas yang menyatakan Pradhana adalah penyebab hadirnya
jagat-raya ini. Namun seluruh bagian keempat ini dipenuhi oleh
jawaban yang menuntaskan berbagai sangghan kaum Sankhyas.

Sinopsis :
Pada keempat dari bab kesatu ini khusus diperuntukkan
menyanggah filosofi Sankhya. Kebanyakan dari nara sumber ini
berasal dari Upanishad. Bagian ini menunjukkan bahwa Brahman
adalah penyebab efisien maupun materi dari jagat-raya ini.
Adhikarana I : (Sutras 1 – 7), mendiskusikan sloka di Katha
Up.1-3-10,11, yang menjabarkan Mahat Yang Agung dan mengenai
Awyaktam (unsur-unsur yang belum berkembang). Awyakta
adalah kata lain untuk Pradhana di Sankhya Sutra; sedangkan
Mahat (Prakriti) berarti intelek di filosofi Sankhya. Sri
Shankaracharya menyatakan bahwa kata Awyakta menunjuk ke
badan (raga) halus atau juga yang disebut Sukshma Sarira dan
juga pada saat yang sama menunjuk ke raga kasar, juga berarti
Mahat Brahman atau Jati Diri (Atman) Yang Maha Agung dan
Mulia.

Adhikarana II : (Sutras 8 – 10) menjabarkan keterangan yang


telah diberikan oleh Sri Shankara bahwa yang disebut “Aja”
(berwarna tiga) di Swetaswatara Upanishad IV. 5 bukanlah
Pradhananya kaum Sankhyas namun mungkin Daya Kekuatan
(Kesaktian) Yang Maha Esa yang menjadi asal-mula semua
penciptaan semesta dan isinya ini, atau daya utama yang pertama-
tama, yang dihasilkan oleh Daya Kesaktian ini.

www.shantiwangi.com
Adhikarana III : (Sutras 11 – 13) menjelaskan bahwa kata-kata
“Pancha-pancha-janah” yang disebut-sebut di Bri. Up. IV. 14 –
17 bukanlah kedua puluh lima prinsip kaum Sankhyas.

Adhikarana IV : (Sutras 14 – 15) dijelaskan di bagian ini walaupun


banyak konflik hadir mengenai penciptaan semesta ini, namun
shastra-widhi tidak pernah saling berkontradiksi, khususnya
mengenai hakikat Sang Brahman Yang Maha Esa. Beliau difahami
sebagai Intisari dan intelegensia Yang Maha Tinggi, yang menjadi
penyebab hadirnya semesta dan isinya ini.

Adhikarana V : (Sutras 16 – 18) membuktikan bahwa “Ia yang


menciptakan para insan, dan semua ini adalah hasil karya-Nya”
(Kau. Up. IV. 1 – 19) bukanlah Prana ataupun sang jiwa, melainkan
yang dimaksudkan itu adalah Brahman.

Adhikarana VI : (Sutras 19 – 22) menegaskan bahwa “Sang Jati


Diri yang seharusnya terlihat dan terdengar” (Bri. Up. II. 4. 5)
adalah Atman atau Jati Diri Yang Maha Agung dan Suci, dan
bukannya sang jiwa. Di bagian ini hadir pandangan-pandangan dari
berbagai resi agung seperti Jaimini, Asmaratha, Audolomi dan
Kasakritsna.

Adhikarana VII : (Sutras 23 – 27) mengajarkan bahwa Brahman


bukan saja adalah penyebab efisien dan operatif (Nimitta) dari
semesta ini, tetapi juga penyebab materinya. Dunia ini adalah
produksi Sang Brahman dalam bentuk modifikasi-modifikasi-Nya
(Parinama, Sutra 26).

Adhikarana VIII: (Sutra 28) Sanggahan terhadap teori Sankhyas


ternyata juga dapat diaplikasikan ke teori-teori lain, misalnya
pemikiran yang menyatakan dunia semesta ini berasal dari atom.

www.shantiwangi.com
Bagian 4. Anumanikadhikaranam :
Topik 1. Mahat dan Awyakta yang terdapat di Kathopanishad
tidak berhubungan dengan Sankhya Tattwas.

Anumanikampyekeshamiti chet na
Sarirarupakawinyastagrihiterdarsayati cha
1. 4. 1 (107)

“Seandainya ada yang mengatakan bahwa sebagian Weda


mengarah ke Pradhana (sebagai Prinsip Utama), maka kami
nyatakan hal tersebut bukanlah demikian, karena kata
“Awyakta” yang terdapat di Katha Upanishad bermakna
raga, dan bukan Pradhananya kaum Sankhyas,
demikian juga yang dijelaskan oleh Sruti”.

Keterangan : Katha Sakha dari ajaran Sankhya menyatakan : “Di


atas Mahat hadir Awyakta (yang belum berkembang, belum
bermanifestasi). Di atas Awyakta hadir Sang Purusha (Katha Up.
1.3 – 11). Menurut kaum Sankhyas kata Awyakta berarti Pradhana.
Pradhana disebut tidak berkembang karena ciri-cirinya yang jauh
lebih inferior dari Sang Pencipta. Raga adalah bagian atau Pradhana
itu sendiri (materi), yang menghidupi raga ini adalah Yang Maha
Esa, demikian yang tersirat di Katha Up. 1.3. 3-4. Sedangkan Katha
Up. 1.3. 10-11 menyatakan : “Di atas indriyas hadir sang pikiran, di
atas sang pikiran hadir sang budhi (intelek), di atas budhi hadir
Sang Mahat (Jati Diri Yang Agung). Di atas Mahat hadir Awyakta,
dan di atas Awyakta hadir Sang Purusha...... Di atas Purusha tidak
hadir apapun lagi.... hal ini disebut tujuan akhir, atau Jalan Yang
Tertinggi”.
Sutra berikutnya berbicara mengenai raga ini yang berciri kasat
mata (Wyakta), kasar dan bermanifestasi (berwujud), namun
disebut juga belum berkembang dan berwujud secara benar.

Sukshmam tu tadarhatwat
1. 4. 2 (108)

“Namun raga halus ini (disebut Awyakta), karena kemampuan


yang dimilikinya”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Sutra ini menunjukkan bahwa raga halus adalah
raga yang belum berkembang atau yang belum termanifestasi,
demikian juga dengan lima unsur maha pancha butha yang hadir di
raga dan sekitarnya (semesta ini), karena bentuk unsur-unsur ini
sangat halus dan lembut. Unsur-unsur ini semuanya layak disebut
Awyakta.

Tadadhinatwat arthawat
1.4. 3 (109)

“Sesuai dengan ketergantungan kepada daya ini”.

Keterangan : Kaum Siddhantin berpendapat bahwasanya


Pradhananya kaum Sankhyas itu adalah unsur yang independen,
namun raga halus semesta yang telah disebutkan sebelumnya ini
tergantung kepada Yang Maha Esa. Tanpa daya tersebut Yang Maha
Esa tidak berfungsi secara semestinya dan tidak mencipta. Oleh
sebab itu melalui daya ini (permainan Ilahi, Lila), Yang Maha Esa
berkarya di jagat-raya dan bermanifestasi semestinya. Daya Ilahi
ini diakui sangat potensial statusnya. Jadi dengan kata lain Awyakta
adalah semacam “asisten” Tuhan Yang Maha Esa (Sahakari).
Sahakari ini dipergunakan oleh Brahman untuk melaksanakan
tugas-tugas-Nya di seluruh semesta ini. Tanpa Brahman, maka
daya ini bersifat Jada (non-fungsi). Di sutra selanjutnya sang
pengarang memberi alasan bahwa Awyakta di Katha Upanishad
seharusnya tidak diartikan sebagai Pradhana.

Jenyatwawachanaccha
1. 4. 4 (110)

“Karena Awyakta tidak disebutkan sebagai yang harus difahami


(maka Awyakta bukanlah Pradhananya kaum Sankhyas)”.

Keterangan : Shastra-widhi jarang membahas status Maya atau


Pradhana sebagai tujuan terakhir kehidupan insan-manusia, oleh
sebab itu Pradhananya kaum Sankhyas tidak mungkin dibahas,
kata sutra tersebut. Karena yang menjadi pedoman baku adalah
shastra-widhi, Sruti juga tidak menyatakan bahwasanya status
Pradhana adalah Jneya (yang harus difahami) atau sebagai
Upasya (yang harus dipuja). Sebaliknya Sruti menyatakan objek

www.shantiwangi.com
pengetahuan adalah Tad Wisnoh Paramam Padam
(persemayaman Wishnu Yang Maha Agung dan Mulia).

Wadatiti chet na prajno hi prakaranat


1. 4. 5 (111)

“Dan seandainya dikau bersikeras bahwa teks-teks menyatakan


Pradhana (sebagai tujuan pengetahuan) maka kami bantah
hal tersebut, karena Sang Atman (Jati Diri) Yang Maha
Agung dan Yang Maha Kuasa adalah sebenarnya
yang dimaksud oleh teks-teks tersebut”.

Keterangan : Katha. Up. II. 3-15, menyatakan : “Barangsiapa


telah mencapai-Nya yang tanpa suara, tanpa sentuhan, tanpa
bentuk, tanpa kematian, yang berciri abadi, tanpa penciuman,
tanpa mula dan tanpa akhir”.

Trayanamewa chaiwamupanyasah prasnascha


1. 4. 6 (112)

“Hadir (terdapat) tiga buah pertanyaan dan jawabannya saja


(dan semuanya tidak menyatakan Pradhana)”.

Keterangan : Kaum Sankhyas mengartikan Mahat sebagai (Yang


Maha Kuasa), yang telah hadir pada awal mula semesta ini, bahkan
sebelumnya. Sedangkan berbagai teks Weda mengartikan Mahat
sebagai Atman (Jati Diri). Bagi kaum Sankhyas Mahat adalah
Buddhi (Intelek Ilahi). Namun Katha Upanishad menyatakan Mahat
itu lebih tinggi statusnya daripada Buddhi (Buddheratma mahan
parah). Dengan demikian jelas sekali Mahatnya Kathopanishad itu
berbeda jauh dari Mahatnya kaum Sankhyas.

www.shantiwangi.com
Bagian 4. Chamasadhikaranam :
Topik 2. Aja yang hadir di Swetaswatara Upanishad tidak berarti
Pradhana.

Chamasawadawiseshat
1.4. 8 (114)

“Tidak dapat dikatakan bahwa Aja berarti Pradhana karena


tidak ada ciri-ciri khas yang disebutkan”.

Keterangan : Sebuah cangkir memiliki bentuk, namun Aja di atas


tidak memiliki ciri-ciri khas apapun juga, jadi bagaimana
menghubungkannya dengan Pradhana. Sutra berikutnya berbicara
Aja ini secara baik.

Jyotirupakrama tu tatha hyadhiyata eke


1. 4. 9 (115)

“Namun berbagai unsur-unsur yang bermuatan cahaya (disebut


sebagai Aja), karena demikianlah yang diartikan di
teks-teks shastra-widhi”.

Keterangan : Difahami dalam shastra-widhi bahwasanya unsur-


unsur api, air dan bumi berasal dari Aja, karena unsur-unsur ini
mengandung elemen-elemen cahaya yang dihubungkan dengan
berbagai warna. Contoh : warna merah adalah warna api, putih
adalah warna air, dan hitam adalah warna bumi (Chh. Up. VI : 2 –
4) (4-1). Di Swetaswatara Up. Bab I, kata Aja dipergunakan
berdampingan dengan kata “Dewatma Shakti”, yaitu Daya
Kesaktian-Nya. Dengan ini seharusnya sudah jelas bahwa Aja tidak
berarti Pradhana.

Kalpanopadesaccha madhwadiwadawirodhah
1. 4. 10 (116)

“Dan sesuai dengan metaphor (persamaan) tidak ada yang


berlawanan dengan logika (Aja, sebagai materi kausal),
ibaratnya madu (di Madhu-widya, mentari diibaratkan
sebagai madu), demi tujuan meditasi
dan lain sebagainya”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Kaum Purwapakshin berkata: “Kata Aja
berhubungan dengan sesuatu yang tidak dilahirkan. Lalu,
bagaimana mungkin Aja dapat berarti tiga unsur yang terdapat di
Chandogya Up. , yang adalah unsur-unsur yang diciptakan ? Hal ini
bertentangan dengan logika”. Sutra di atas menyatakan tidak ada
pernyataan yang bertentangan dengan logika hanya karena
diterangkan dalam bentuk metaphor. Madu adalah suplemen yang
amat bermanfaat bagi kesehatan manusia, demikian juga
seandainya surya diibaratkan sebagai madu atau nektar. Demikian
juga seandainya Aja diibaratkan sebagai unsur yang berwarna-
warni tiga rupa. Semua ini untuk mempermudah manusia awam
untuk menghayati ajaran dharma. Jadi janganlah semua ini
malahan dipersulit dengan permainan kata (diskusi), dengan
argumen-argumen tata-bahasa, dsb.

Na sankhyapasangrahadapi nanabhawadatirekassha
1. 4. 11 (117)

“Pernyataan pancha-pancha-janah (lima x lima = 25 kategori kaum


Sankhya) seharusnya tidak diartikan sebagai Pradhananya Sruti,
karena terdapat perbedaan-perbedaan persepsi baik dari
sudut kategori maupun jumlah angka-angka”.

Keterangan : Filosofi Sankhya Tattwa atau 25 prinsip kaum


Sankhya mengarah ke Pradhana sebagai Tuhan, namun Sruti tidak
pernah menjelaskan hal tersebut secara pemahaman Sankhya.
Menurut Sruti ada 26 unsur dasar semesta ini, yaitu tambahan
“ether” yang tidak terdapat di filosofi Sankhya. Ether adalah
kategori yang terpisah dari keduapuluh lima unsur tersebut.
Kemudian terdapat unsur Atman, menurut Sruti, jadi total
berjumlah 27 elemen. Kata Pancajanah sebenarnya berarti lima
anggota, dan setiap anggota disebut juga pancajanah, jadi bukan
berarti lima kali lima, juga kata pancha-pancha janah sama sekali
tidak berarti dua puluh lima, namun setiap anggota terdiri dari lima
janah (lima anggota yang masing-masing terdiri dari 5 janah
adalah arti sebenarnya). Dalam ajaran Sankhya terdapat 25 Tatwas
seperti berikut ini : Satu Prakriti, tujuh modifikasi Prakriti
(termasuk Mahat, dsb.) sebagai unsur kausal, kemudian terdapat
16 efek, dan terakhir sang jiwa. Di sutra berikutnya Panchajanah
dijabarkan lebih lanjut.

www.shantiwangi.com
Pranadaya wakyaseshat
1. 4. 12 (118)

“Panchajanah atau lima insan yang dimaksud adalah Prana,


seperti yang telah difahami”.

Keterangan : Ungkapan lima insan ini adalah metaphor dari lima


unsur Prana (sifat-sifat Brahman). Bri. Madhya IV. 4-21,
menyatakan : “Mereka-mereka yang memahami Prananya Prana
(nafas dari nafas), mata dari mata, telinga dari telinga, makanan
dari makanan, pikiran dari pikiran dsb.”. Chh. Up. VII. 13 – 16
menyatakan : “Kelima ini adalah kelima insan Sang Brahman”. Chh.
Up. VII.15 – 1 menyatakan : “nafas adalah ayah, nafas adalah ibu”.

Jyotihshaikeshamasatyanne
1. 4. 13 (119)

“Menurut ajaran kaum Kanwa, maka “cahaya” termasuk


di dalam lima insan tersebut”.

Keterangan : Menurut kaum Kanwa, hadir unsur “Cahaya Ilahi”


di salah satu Panchajanah tersebut, demikianlah pernyataan ajaran
Satapatha Brahmana mereka.

Bagian 4. Karanatwadhikaranam :
Topik 4. Brahman adalah penyebab Pertama.

Karanatwena chakasadishu yathawyapadishtokteh


1. 4. 14 (120)

“Walaupun terdapat konflik akan isi Wedanta (perbedaan


penafsiran) akan berbagai ciptaan, namun ternyata tidak
ada perbedaan tafsir mengenai Brahman sebagai
Penyebab Pertama, dalam berbagai teks-teks di
(berbagai shastra-widhi)”.

Keterangan : Kaum Sankhya berpendapat bahwasanya teks-teks


Wedanta saling berbeda maknanya, dalam menjabarkan berbagai
ciptaan-ciptaan-Nya, apalagi mengenai Ketuhanan Yang Maha Eka

www.shantiwangi.com
dan Esa. Namun sutra di atas membantah hal tersebut, karena
semua Upanishad dan hampir semua shastra-widhi ternyata
menjabarkan Brahman sebagai Tuhan Yang Serba Maha, dan
sebagai asal-usul seluruh jagat-raya dan isinya ini. Sedemikian
banyaknya bukti-bukti tersebut sehingga sudah menjadi
pengetahuan umum kaum Hindu Dharma secara universal. Bahkan
Hakikat Yang Maha Esa ini telah menjadi pedoman dan dasar bagi
berbagai ajaran-ajaran agama lainnya di dunia, yang hadir sesudah
ajaran Sanatana Dharma ini. Demikianlah ajaran Sruti, demikian
juga tegas kaum Siddhantin.

Samakarshat
1. 4. 15 (121)

“Sehubungan dengan teks-teks yang menjabarkan Brahman,


(khususnya kata non-eksistensi), hal ini tidak bermakna
Non-eksistensi yang absolut (total)”.

Keterangan : Kaum Sankhya berkata bahwasanya Wedanta


menyatakan Sang Atman adalah Penyebab Pertama (Utama)
seluruh jagat-raya dan isinya berasal dari non-eksistensi (Tait.
II.7). Kemudian dikatakan juga di Wedanta bahwasanya non-
eksistensi adalah sama dengan Penyebab Pertama (Chh. Up. VI.
1.2). Namun kaum Siddhantin meluruskan semua ini dengan
menyitir Tait. Up. II.7 dan sloka-sloka Taitriya Up. lainnya seperti :
“Semua ini pada mulanya berasal dari non-eksistensi” dan
“Barangsiapa memahami Brahman sebagai unsur non-eksis maka ia
sendiri akan berubah menjadi non-eksis, dan barangsiapa
memahaminya sebagai eksistensi maka ia sendiri akan berubah
menjadi eksistensi”. (Tait. Up. II-6). Upanishad ini juga
menyatakan : “Semoga aku menjadi banyak”. Brahman yang non-
eksisten ini menggandakan Dirinya ke berbagai menifestasi (dari
jagat-raya sampai ke atom yang paling kecil). Briharadaranyaka
Up. I.4.7, melanjutkan : “Semua ciptaan ini pada saatnya itu
bersifat belum berkembang”. Chh. Up. VI. 3-2, kemudian
menyatakan “Aku sekarang akan memasuki semua makhluk dan
ciptaan-ciptaan ini melalui Atmanku yang penuh kasih, kemudian
Aku akan mengembangkan berbagai nama dan rupa (wujud)”, dsb.
dsb.

www.shantiwangi.com
Bagian 4. Balakyadhikaranam :
Topik 5. Brahman adalah Pencipta surya, chandra, dan lain
sebagainya, bukannya Sang Prana maupun sang jiwa.

Jagadwachitwat
1. 4. 16 (122)

“Brahman adalah sumber dari semua karya ini


(Karya = jagat-raya dan segala isinya)”.

Keterangan : Sutra di atas diambil dari Kaushitaki Brahmana yang


banyak menjabarkan hasil karya Sang Brahman, dan Beliau itulah
yang harus dijadikan tujuan meditasi, puja dan kehidupan ini,
demikian ajaran Raja Resi Ajatasatru kepada seorang brahmana
pembual yang bernama Balaki.

Jiwamukhyapranalinganneti chet tad wyakhyatam


1. 4. 17 (123)

“Seandainya dikatakan bahwa terdapat tanda-tanda yang amat


mencolok bahwasanya Prana dan Jiwa bukanlah Sang
Brahman, maka kami menjawab bahwa hal tersebut
sudah dijelaskan (di sutra-sutra sebelumnya).

Anyartham tu Jaiminih prasnawyakhyanabhyamapi chaiwameke


1. 4. 18 (124)

“Namun Resi Jaimini berpendapat bahwasanya sang jiwa yang


dimaksud sebagai Sang Brahman, sebenarnya bermakna lain,
hal tersebut berhubungan dengan tanya dan jawab (diskusi),
demikian juga jalan pikiran kaum Wajasaneyin”.

Keterangan : Ada yang bertanya, pergi ke manakah sang jiwa


sewaktu ia tidur, dan dari manakah ia kembali lagi setelah ia
sadar?. Mungkin mereka-mereka ini juga saling bertanya :
“Seandainya sang jiwa adalah Tuhan itu sendiri, maka bukan tidak
mungkin Ia dapat mati (tidur lelap) dan bangun (sadar kembali)
sesuka hatinya. Bagi kaum ini tidur lelap dianggap sebagai
kematian, bukan merupakan salah satu tahap dari kehidupan ini
sehari-harinya.

www.shantiwangi.com
Bagian 4. Wakyanwayadhikaranam :
Topik 6. Sang Atman harus disaksikan melalui pendengaran dsb.

Wakyanwayat
1. 4. 19 (125)

“Sang Atman (Jati Diri) yang seharusnya terlihat, terdengar, dan


lain sebagainya adalah Sang Atman Yang Maha Kuasa, sesuai
dengan makna-makna yang berhubungan dengan-Nya”.

Keterangan : Sutra ini sedang membicarakan sebuah sloka yang


terdapat di Bri. Up. Di bagian Maitreyi-Brahmana yang berbunyi
seperti berikut ini : “Sebenarnya seorang suami itu tidak
sedemikian berharga, jadi tidak perlu dicintai, dsb. Namun yang
seharusnya dikau cintai adalah Sang Atman, karena Beliau ini
adalah unsur yang teramat berharga. Sang Atman inilah yang
harus disaksikan, yang harus didengar, direfleksi dan
dimeditasikan, wahai Maitreyi! Sewaktu Sang Atman telah terlihat,
terdengar, terrefleksi dan terrealisasi, maka semua ini dapat
difahami”. (Bri. Up. IV-5.6).

Dialog di atas bersumber dari Maitreyi, istri Resi Yagnawalkya yang


bertanya : “Wahai suamiku, apa gunanya harta-benda bagiku
seandainya aku tidak mampu berubah abadi dengan memiliki
semua itu ? Mohon suamiku yang aku muliakan mengajarkan
kepadaku hal-hal yang telah dikau fahami”. Demikianlah kemudian
sang resi mengajarkan hakikat Tuhan (Brahman) Yang Maha Esa
dalam bentuk Atman yang hadir di Upanishad tersebut di atas.
Demikianlah diterangkan bahwasanya sang jiwa manusia bukanlah
Atman atau Brahman.

Pratijnasiddherlingmasnarathyah
1. 4. 20 (126)

“Resi Asmarathya berpendapat bahwasanya sang jiwa individu ini


adalah tujuan yang harus direalisasikan”.

Keterangan : Resi Asmarathya berpendapat bahwa sloka-sloka


“Atmani wijnate sarwamidam wijnatam bhawati” dan “Idam
sarwam yadayamatma” membuktikan identitas yang sama antara

www.shantiwangi.com
sang jiwa dan Sang Atman. Percikan api berasal dari bara api,
ibaratnya jiwa berasal dari Atman. Namun apapun bentuknya api
itu tetap api, apakah itu sepercik api maupun api yang membara.
Jadi apapun yang berasal dari Brahman atau Atman itu seyogyanya
adalah Brahman itu sendiri, baik itu jiwa maupun benda-benda
ciptaan-Nya. Namun ternyata terdapat unsur-unsur budhi (intelek)
yang mebeda-bedakan antara berbagai ciptaan dan Sang Pencipta,
jadi setiap jiwa manusia adalah ciptaan yang agak berbeda dari Asli
(Sejati)-Nya. Ajaran ini disebut ajaran Resi Asmarathya (ajaran
Bhedabhedawada).

Utkramishyata ewambhawadityaudulomih
1. 4. 21 (127)

“Resi Audolomi berpendapat bahwasanya pada saat-saat akhir


hayatnya, maka jiwa yang telah merealisasikan Sang
Brahman akan menyatu dengan-Nya. Jadi sang
jiwa itu identik dengan Sang Brahman”.

Keterangan : Ajaran Resi Audolomi ini disebut Satyabhedawada.


Namun menurut sutra tersebut di atas, hal yang benar ini adalah
tahap masa depan yang harus direalisasikan oleh sang jiwa yang
pada saat ini masih dalam tahap awidya. Selama seseorang masih
terliput oleh awidya maka ia disebut jiwa individu, begitu
pengalaman dan pelajaran hidupnya tercapai, maka ia menyatu
(manunggal) dengan Brahman, dan melebur ke dalam-Nya
kembali. Ajaran Resi Audolomi ternyata memutar-balikkan semua
ini.

Awasthiteriti Kasakritsnah
1. 4. 22 (128)

“Pernyataan ini menyatakan bahwa Sang Atman Yang Maha Kuasa


eksis di dalam jiwa individu (pada tahap emansipasinya),
demikian pendapat Resi Kasakkritsna”.

Keterangan : Menurut Resi Kasakkritsna adalah mungkin-mungkin


saja Sang Brahman hadir di berbagai tahap sang jiwa, baik itu pada
tahap paling awal, tahap awidya, kesadaran dan pada tahap
penyatuan dengan-Nya. Ajaran ini tidak bertentangan dengan

www.shantiwangi.com
konsep-konsep Wedanta yang memang demikian adanya. Yang
berbeda adalah tahap, bentuk atau nama sang jiwa, dari masa ke
masa, dari tahap atau bentuk non-sempurna..... kurang
sempurna.... sampai ke tahap sempurna, ibaratnya percikan api.....
bara api..... lautan api.

Bagian 4. Prakrityadhikaranam :
Topik 7. Brahman adalah penyebab efisien dan penyebab materi.

Prakritischa pratijna dhrishtantanuparodhat


1. 4. 23 (129)

“Brahman adalah penyebab materi sesuai dengan berbagai


proposisi dan ilustrasi yang terdapat di Sruti”.

Keterangan : Semua ini berasal dari Brahman. Kalau demikian


apakah Brahman ini merupakan sebuah benda atau seorang
makhluk yang berdasarkan materi juga. Ibarat tempayan yang
berasal dari tanah liat ? Namun kaum Purwapakshin yang
berargumentasi di atas lupa, bahwa di atas unsur-unsur tempayan
dan tanah liat ada unsur sang pembuat, sang perancang yang
menghasilkan tempayan tersebut dari tanah liat tersebut. Sutra
selanjutnya menyatakan bahwa Brahman adalah penyebab materi
dunia ini, namun juga sebagai sang pencipta dan sang pelaksana
sekaligus.

Abhidhyopadesacca
1. 4. 24 (130)

“Sehubungan dengan sabda-sabda-Nya, maka Atman Yang Maha


Kuasa adalah penyebab materi”.

Keterangan : Kita semua faham, bahwasanya Sruti telah berkali-


kali menyatakan sabda-sabda Para Brahman, contoh : “Semoga
Aku menjadi banyak”. Tuhan juga memiliki hasrat untuk
memanifestasikan Dirinya Sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa Ia,
Yang Maha Kuasa adalah penyebab materi dan non-materi (gaib)
pada saat yang sama.

www.shantiwangi.com
Sakshaccobhayamnanat
1. 4. 25 (131)

“Karena Sruti menyatakan bahwa kedua hal, yaitu penciptaan dan


pralaya, bersumber pada sebab-sebab materi yang berasal
dari Sang Brahman”.

Keterangan : Chandogya Up. I.9.1, mengatakan : “Semua ciptaan


ini berasal dari Akasa (Brahman) semata dan kembali ke Akasa”.
Taiteriya Up. III.1, menyatakan : “Dari (ITU) semua ciptaan
berasal, oleh-Nya ditunjang, kedalam-Nya lagi semuanya akan
terserap..... fahamilah ITU. ITU adalah Brahman. Semua bukti-
bukti tersebut di atas menunjukkan bahwa Brahman adalah juga
Penyebab materi. Beliau juga disebut sebagai Penyebab langsung
(Sakshat).

Atmakriteh parinamat
1. 4. 26 (132)

“Brahman adalah penyebab materi dunia ini karena Beliau


menciptakan dari Dirinya berbagai modifikasi”.

Keterangan : Tait. Up. II.7, menyatakan : “Beliau ITU


memanifestasikan Dirinya Sendiri”. Dengan demikian jelas sekali
lagi Sang Pencipta adalah Brahman, dan Atman adalah bagian kecil
dari Beliau juga, yang bertugas sesuai dengan Kehendak Beliau
juga. Modifikasi ini disebut Karta (Pencipta.....wakil-Nya), dan
disebut juga Karma (Ciptaan dan hukum-hukum-Nya). Beliau
menjadi ciptaan-ciptaan Beliau melalui Parinama (evolusi atau
modifikasi).

Menurut Sri Shankaracharya berbagai modifikasi ini hadir dan dapat


disaksikan maupun dirasakan. Menurut (Resi Sri Ramanujacharya),
semua modifikasi ini bersifat realistis. Menurut shastra-widhi dunia
ini tidak realistis (ilusif) dan tidak abadi, karena bersifat sementara
saja. Kehidupan ini tidak mungkin eksis tanpa Brahman.

www.shantiwangi.com
Yonischa hi giyate
1. 4. 27 (133)

“Karena Brahman itu disebut Sumber”.

Keterangan : Kata yoni di atas berarti sumber, perut dan juga


berarti asal-usul (rahim). Demikianlah dikatakan bahwasanya
Brahman adalah penyebab materi jagat-raya dan isinya ini.

Bagian 4. Sarwawyakhyanadhikaranam :
Topik 8. Sanggahan bagi kaum Sankhyas berlaku juga bagi
semuanya yang lain.

Etena Sarwe Wyakhyata wyakhyata


1. 4. 28 (134)

“Dengan ini semuanya diterangkan”.

Keterangan : Semua sloka-sloka sutra sejauh ini telah


menyiratkan bahwasanya Sruti menyatakan Brahman adalah
Pencipta Jagat-raya dan isinya ini. Demikianlah yang seyogyanya
difahami. Semua teori selain filosofi Wedanta tidak diterima.

Demikianlah akhir dan Bagian Keempat (Pada IV) dari


Adhyaya (Bab) I, dari Brahman Sutras
(Filosofi Wedanta) ini.

Dengan ini berakhirlah Bab I

www.shantiwangi.com
BAB II
AWIRODHA ADHYAYA

Bagian I. Introduksi
Smriti-nyaya-wirodha dan parihara adalah isi-isi di dalam
Pada pertama. Smritiwirodha terdapat di sutra 1, 3, dan 12.
Nyayawirodha terdapat di berbagai sutra-sutra lainnya. Pada kedua
beroposisi kepada bentuk-bentuk Darsanas atau berbagai filosofi
lainnya. Pada ketiga dan keempat berbicara banyak mengenai
pemikiran-pemikiran physchologi sloka-sloka di Wedanta.
Demikianlah judul Awirodha bagian ini yang berarti : “tidak
terdapat kontradiksi”.

Sinopsis :
Adhikarana I : (Sutras 1-2) : Bagian ini memuat perdebatan antara
kaum Sakyas dan penganut Wedanta.

Adhikarana II : (Sutra 3), Argumentasi di atas dilanjutkan, dan


sekali ini mengenai Yoga-Smriti.

Adhikarana III : (Sutras 4-5). Brahman adalah bentuk gaib,


sedangkan dunia ini nyata, jadi mungkinkah Brahman adalah
penyebab (pencipta) dunia semesta ini ?

Adhikarana III : (Sutras 6-7), menyatakan, adalah tidak perlu


bahwa penyebab dan yang disebabkan (yang diciptakan) harus
sama dalam segala aspek.

Adhikarana III : (Sutra 8), menyanggah pernyataan yang


mengatakan bahwa pada saat pralaya, dunia yang menyatu
kembali dengan Sang Pencipta, akan mengotori Brahman Sang
Pencipta itu.

Adhikarana III : (Sutra 9) : menyanggah pernyataan yang


mengatakan bahwa pada saat pralaya terjadi pergantian sifat-sifat
benda.

Adhikarana III : (Sutras 10-11) : Adhikarana IV : (Sutra 12) dan


Adhikarana IX : (Sutra 29).... menyatakan ada berbagai pendapat

www.shantiwangi.com
yang berbeda-beda mengenai Brahman, namun akhirnya tetap saja
harus berpedoman kepada Weda.

Adhikarana V : (Sutra 13) : menyatakan, walaupun sang jiwa dan


berbagai objek-objeknya, kesemuanya adalah Brahman, namun
pada prakteknya tetap saja berbeda, ibarat gelombang dan lautan,
sama-sama air namun fungsi dan pelaksanaannya, serta bentuknya
berbeda-beda.

Adhikarana VI : (Sutras 14-20) : Ditegaskan di bagian ini, bahwa


tidak ada perbedaan antara sebab dan akibat.

Adhikarana VII : (Sutras 21-22) : Bagian ini menyatakan bahwa


sang jiwa adalah budak dan Brahman adalah pengendali Maya,
sewaktu sang jiwa bebas dari awidya, maka ia berubah menjadi
identik dengan Brahman.

Adhikarana VIII : (Sutras 23-25) menunjukkan bahwasanya,


walaupun Brahman itu tidak terikat dengan benda-benda materi
duniawi ini, namun Beliau mampu atau adalah Pencipta dunia yang
serba materi ini.

Adhikarana IX : (Sutras 26-29) menunjukkan bahwasanya semesta


ini hanyalah sebagian kecil dari Sang Brahman itu sendiri (Padahal
pada hakikatnya Beliau tidak memiliki bagian-bagian). Brahman
tidak pernah letih dalam berkarya dan mencipta.

Adhikarana X : (Sutras 30-31) : Brahman tidak memiliki alat-alat


(perangkat kerja) namun tetap saja Beliau mampu mencipta
melalui Daya Shakti-Nya.

Adhikarana XI : (Sutras 32-33), Brahman tidak memiliki motif-


motif tertentu dalam mencipta dunia ini, namun Beliau mencipta
karena “impulsi-impulsi-Nya” yang disebut Lila (Permainan Ilahi).

Adhikarana XII : (Sutras 34-36), Brahman sering dituduh manusia


sebagai dalang dari berbagai penderitaan dan kejahatan umat
manusia, namun sutras-sutras di atas menyatakan semua itu
berhubungan dengan Sang Pencipta melalui bentuk-bentuk karma
baik dan karma buruk.

www.shantiwangi.com
Adhikarana XIII : (Sutra 37) : Brahman dinyatakan sangat layak
menyandang berbagai gelar yang serba Maha, Contoh : Maha
Kuasa, Maha Hadir, Maha Esa, dsb. (ada 1008 nama Brahman di
ajaran Hindu Dharma). Namun semua nama-nama ini masih belum
mampu menjabarkan Kehakikian-Nya.

www.shantiwangi.com
Bagian I. Smrityadhikaranam :
Topik 1. Penolakan akan Smriti yang tidak berdasarkan Srutis.

Smrityanawakasadoshaprasanga iti chet na


anyasmrityanawakasadoshaprasangat
II.1.1. (135)

“Seandainya dikatakan sebagian Smriti diabaikan (seandainya


Pradhana bukan penyebab jagat-raya ini) maka bukanlah
Smritis lebih agung seperti misalnya Manu-Smriti akan
terabaikan, juga seandainya dikatakan bahwasanya
Brahman bukanlah Pencipta jagat-raya
dan isinya ini ?”.

Keterangan : Manu-Smriti adalah Smriti yang paling kuno dan


paling ortodox. Pada saat Smriti tersebut hadir, kaum Sankhyas
belum eksis, karena Manu adalah manusia pertama di dunia ini,
dan Manu-Smriti adalah cikal-bakal dari seluruh ajaran Smritis dan
agama-agama yang kita kenal dewasa ini. Sutra di atas adalah
sanggahan ke teori yang berasal dari Kapila-Smriti yang
menyatakan Pradhana sebagai penyebab dan pencipta jagat-raya
dan segala isinya ini.

Itaresham chanupalabdheh
II.1.2. (136)

“Dan juga karena tidak tertulis di berbagai skripsi suci,


akan hadirnya Pradhana sebagai yang dimaksud
oleh kaum Sankhya”.

Keterangan : Kata maupun unsur Mahat (produk dari Pradhana)


tidak terdapat di Weda. Namun unsur maha panca butha dan
indriyas hadir di Weda dan berhubungan dengan Smriti. Jadi kalau
terdapat kata mahat di Smriti maka hal tersebut tidak berarti
Pradhana namun merujuk ke hal-hal yang lainnya yang hadir di
Sruti (Perhatikan sutra I,4.1). Oleh sebab itu teori kaum Sankhyas
tidak setinggi tingkatan ataupun kandungan filosofi yang terdapat
di Weda dan tidak dapat dijadikan acuan.

www.shantiwangi.com
Apalagi Sri Shankaracharya telah membuktikan bahwa kata mahat
berarti intelek kosmis atau Hiranyagarbha atau jiwa, namun tetap
bukan berarti Pradhana-nya kaum Sankhyas. Kaum ini juga sering
melontarkan pendapat yang sangat berbeda dengan kandungan
Weda, misalnya Brahman itu bukan Tuhan Yang Maha Esa; Prana
adalah bentuk-bentuk fungsi dari kelima indriyas manusia, dsb.

Bagian 1. Yogapratyuktyadhikaranam :
Topik 2. Sanggahan terhadap Yoga.

Etena yogah pratyuktah


II.1.3 (137)

“Dengan ini kami menyanggah juga teori yoga”

Keterangan : Filosofi yoga dari Patanjali ditolak juga. Yoga oleh


kaum Sakhyas disebut sebagai “Seswara-Sankhya”, dan Prakriti
adalah tuhan mereka di ajaran yoga ini. Padahal bagi kaum
Purwapakshin, semua ajaran Upanishad mengarah ke Brahman,
dan untuk mencapai Brahman maka Yoga adalah alat atau
sarananya, demikian rangkuman dari berbagai Upanishad. Ajaran
Sankhyas dan yoganya dikatakan sebagai ajaran yang
menggandakan tuhan, padahal pemahaman universal menganggap
Tuhan atau Brahman itu Ekam (Satu, Tunggal).

Bagian 1. Na Wilakshanatwadhikaranam :
Topik 3. Brahman mampu hadir sebagai pencipta jagat-raya ini,
walaupun Beliau berbeda sifat-Nya dari semesta ini.

Na Wilakshanatwadasya tathatwam cha sabdat


II.1.4 (138)

“Mereka yang menolak berkata bahwasanya Brahman bukanlah


penyebab dunia ini, karena sifat-sifat Brahman yang berbeda
dengan jagat-raya ini, demikianlah yang difahami dari
berbagai skripsi oleh mereka”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Ada delapan sutra di Adhikarana ini, sutra pertama
dan kedua memuat penolakan kaum Purwapakshin, sutra-sutra
selanjutnya memihak ke kaum Siddhanta. Kaum oposan
berpendapat bahwasanya sifat-sifat Sang Brahman, Intelegensia,
Kemurnian (Maha Intelegen, Maha Murni, dsb), namun sebaliknya
semesta ini bersifat materi, tidak gaib (nyata), dan tidak murni.
Jadi menurut mereka Brahman bukanlah Pencipta dunia yang kotor
ini karena Hakikat Beliau itu Maha Suci dan Sejati. Karena akibat
itu seharusnya sama dengan sebab atau penyebabnya.
Namun Sruti sebenarnya telah menyatakan hal tersebut di Taitriya
Up. Seperti berikut : “Brahman memanifestasikan Dirinya sebagai
intelegensia dan juga sebaliknya (dunia ini)”. (Wijnanam cha
awijnanam cha abhawat”.) Tait. Up. Brahmananda Walli, Anuwaka
keenam.

Abhimaniwyapadesastu wiseshanugatibhyam
II.1.5 (139)

“Namun keterangan tersebut di atas sebenarnya menunjuk ke


berbagai dewa-dewa yang hadir di berbagai organ-organ
tubuh manusia sesuai dengan karakternya
masing-masing”.

Keterangan : Para dewa yang hadir di buana agung, hadir juga di


buana alit (raga manusia). Setiap organ tubuh seperti mata, mulut,
hidung dsb. memiliki satu dewa penjaga yang berfungsi
melaksanakan berbagai tugas organ tersebut secara masing-
masing dalam suatu bentuk kesatuan, sama seperti yang
terlaksana di buana agung (semesta). Demikianlah yang terdapat
di Aitereya Chandogya dan Brihadaranyaka Upanishad. Namun
manusia tidak dapat memahami karya agung ini karena terliput
awidya, dan merekapun menyatakan bahwa semesta ini berbeda
dengan Brahman. Sutra selanjutnya menjawab argumentasi kaum
Purwapakshin di atas.

Drishyate tu
II.1.6 (140)

“Namun “hal tersebut” dapat disaksikan”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : “Hal tersebut” adalah fenomena Ilahi, yaitu
semesta ini sebenarnya tercipta dari Sesuatu Yang Maha Inteligen
(Tuhan, Brahman), walaupun berbentuk materi. Fenomena yang
sama sebenarnya dapat dilihat sehari-hari di sekitar kita, contoh
bulu rambut, kotoran, dsb. adalah hasil dari tubuh kita yang
bersifat materi dan non-intelegen, padahal manusia disebut sebagai
makhluk yang cerdas. Lalu apa bedanya kalau Brahman yang Maha
dalam segala-galanya mampu juga menciptakan sesuatu yang
bersifat materi di semesta ini.

Kalau dihayati secara cermat maka bukankah bumi ini adalah suatu
ciptaan yang amat intelegen (cerdas). Kalau tidak mana mungkin
berbagai makhluk termasuk manusia yang cerdas dapat hadir dari-
Nya. Teknologi dan sains hadir dari bumi melalui manusia, dan seisi
bumi ini harus tunduk kepada hukum alam di bumi ini. Sedangkan
bumi ini hanyalah salah satu sistim planet di tata-surya kita, dan
tata-surya kita ini hanyalah sebagian kecil dari semesta yang tak
terbatas ini. Dan yang maha menakjubkan adalah fenomena bahwa
seluruh benda-benda ruang angkasa ini ternyata berorbit secara
sistimatis, jadi mungkinkah semua ciptaan ini bodoh, kotor, dsb. ?
Sebaliknya para resi yang takjub akan Keagungan ini menyatakan,
seisi semesta ini merupakan produk yang inteligen dan bersifat
sama dengan Penciptanya. Pencipta adalah Yang Maha Tak
Terbatas. Jadi wajar saja kalau dinyatakan oleh kaum Wedantin
bahwasanya Brahman adalah Pencipta Semesta dan segala isinya
ini (Korelasi antara Buana Agung dan Buana Alit).

Asaditi chet na pratishedhamatratwat


II.1.7 (141)

“Seandainya dikatakan (bahwa dunia ini hasil produksi atau


ciptaan-Nya) dan bersifat non-eksis sebelum penciptaan,
maka kami katakan tidak, karena hal tersebut hanya
merupakan dugaan belaka”.

Keterangan : Kaum oposan berpendapat seluruh ciptaan ini


berasal dari non-eksistensi pada mulanya, namun kaum Wedantin
menyatakan hal tersebut hanyalah merupakan dugaan belaka
tanpa didukung bukti-bukti yang kuat. Karena pada hakikatnya

www.shantiwangi.com
yang mencipta (Brahman) dan yang diciptakan adalah unsur yang
sama, demikian sabda Sruti di Brihadaranyaka Up.

Apitan tadwatprasangadasamanjasam
II.1.8 (142)

“Pada saat pralaya maka ciptaan dalam bentuk semesta ini (akibat)
akan menyatu dengan Brahman (Sebab, Penyebab), keduanya
akan terlebur ke dalam satu dan yang lainnya, dan Brahman
akan ternoda oleh kekotoran semesta. Dengan demikian
(Brahman Yang maha Murni) pasti bukanlah Penyebab
semesta ini”.

Keterangan : Karena Brahman adalah Yang Maha Murni, maka


pastilah Beliau tidak akan murni lagi seandainya harus menyerap
kembali semesta yang sudah tercemar ini, demikian opini kaum
oposan. Kaum oposan juga berpendapat pada saat pralaya semua
unsur penyebabpun akan terlebur kembali ke Brahman, lalu tidak
ada lagi sisa-sisa penyebab semesta yang baru. Lalu apakah para
kaum suci yang sudah manunggal dengan-Nya akan dilahirkan
kembali. Sutra berikutnya menjawab :

Na tu drishtantabhawat
II.1.9 (143)

“Namun hal tersebut sebenarnya tidaklah demikian adanya”.

Keterangan : Kaum Wedantin berpendapat jagat-raya dan isinya


sewaktu melebur ke Yang Maha Murni tidak akan menyebabkan
Sang Brahman terkontaminasi, sebaliknya jagat-raya dan isinya ini
akan berubah murni seperti asal-Nya. Kemudian jagat yang murni
ini diciptakan dan dihadirkan kembali. Jadi pralaya adalah proses
pemurnian bukan sebaliknya, ibarat seekor ular kobra yang tidak
terpengaruh oleh racun hasil tubuhnya sendiri.

Swapakshadosacca
II.1.10 (144)

“Demikian juga berbagai oposisi kaum Sankhya terjawab”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Sanggahan-sanggahan kaum Wedantin terhadap
oposisi kaum yang lain juga sekaligus menyanggah berbagai
argumen kaum Sankhya.

Tarkapratishthanadapi anyathanumeyamiti chet


ewamapyanirmoksha prasangah
II.1.11 (145)

“Seandainya sebuah pernyataan oposisi disanggah karena


kekurangan bukti, maka yang menyanggah seharusnya
memiliki sanggahan (argumentasi) yang kuat,
namun hal tersebutpun masih
akan berkelanjutan”.

Keterangan : Para resi seperti Resi Kapila dan Resi Kanada tidak
habis-habisnya saling berargumentasi akan hakikat Yang Maha Esa
dan jagat-raya ini. Kalau diikuti maka semua argumentasi ini
betapapun kuatnya tetap saja dapat disanggah oleh pihak yang
lebih bijaksana dan kuat. Dengan demikian kapan akan habis
semua diskusi ini ? Kaum Wedantin berpendapat sebaiknya kita
berpijak ke berbagai maha karya Upanishad dan Sruti yang tidak
merupakan rangkuman dan rangkaian dari ajaran-ajaran para resi
yang agung yang telah dijabarkan secara sempurna. Dengan
demikian kesimpulannya adalah, Brahman Yang Maha Inteligen ini
seharusnya difahami sebagai Penyebab dan Pencipta semesta-raya
ini sesuai dengan skripsi-skripsi suci.

Bagian 1. Sishtaparigrahadhikaranam :
Topik 4. Kanada dan Gautama

Etena sishtaparigraha api wyakhyatah


II.1.12 (146)

“Demikianlah semua argumentasi terhadap kaum Sankhyas


merupakan berbagai teori yang tidak diterima oleh
kaum bijak telah kami jelaskan”.

Keterangan : Pada masa tersebut para resi dari berbagai aliran


kepercayaan, ilmu pengetahuan, spiritual, dan kebijaksanaan

www.shantiwangi.com
berargumentasi mengenai berbagai topik, seperti keberadaan
hakiki dari unsur-unsur atom, ether, akasa, Brahman, Prana,
semesta dan lain sebagainya. Berbagai hal tersebut telah dijelaskan
di sutra-sutra di atas.

Bagian 1. Bhoktrapattyadhikaranam :
Topik 5. Perbedaan yang menikmati-dinikmati.

Bhoktrapatterawibhagaschet syallokwat
II.1.13 (147)

“Seandainya dikatakan (bahwa Brahman adalah Sang Penyebab),


sehubungan dengan berbagai objek yang dinikmati-Nya,
kemudian Ia berubah menjadi Sang Penikmat, maka
akan hadir non-perbedaan (di antara sang penikmat
dan yang dinikmatinya); kami jawab : perbedaan
tersebut pastilah hadir sesuai dengan yang
difahami sehari-harinya di dunia ini”.

Keterangan : Secara duniawi hadir perbedaan antara sang jiwa


dan benda/objek yang dinikmati. Seandainya ada pendapat yang
menyatakan bahwasanya Brahman adalah sang jiwa dan sekaligus
penikmat berbagai hal, objek dan benda, maka jelas akan terlihat
juga perbedaan antara yang menikmati dan yang dinikmati.
Ibaratnya seperti lautan (Brahman) dan gelombang (para jiwa).
Sekali lagi dikatakan semua itu adalah air, namun mempunyai
wujud dan tugas masing-masing. Jadi sah-sah saja seandainya
terjadi atau tidak terjadi perbedaan, tergantung dari sudut mana
kita menghayatinya.

Bagian 1. Arambhanadhikaranam :
Topik 6. Dunia (efek) ini tidak berbeda dengan Brahman (Sang
Penyebab).

Tadananyatwamarambhasabdadibhyah
II.1.14 (148)

“Persamaan keduanya (sebab dan akibat) adalah hasil dari kata-


kata: “asal-mula”, dan kata-kata lainnya yang sejenis.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Pernyataan di atas didasarkan pada ajaran
Wiwartada yang didasarkan lagi pada ajaran Adwaitanya Sri
Shankaracharya, yang menyatakan bahwa modifikasi Sang
Brahman yang bersifat ilusif (jagat-raya ini) dan isinya, ibaratnya
adalah ular dan tali. Teori ular dan tali dijabarkan sebagai berikut.
Pada malam hari yang gelap, di suatu lokasi tertentu, seutas tali di
jalan dapat diasumsikan sebagai seekor ular, padahal hakikatnya
tali tersebut tetaplah seekor tali, dan ular (ilusi) tidak terlihat.
Namun hasil modifikasi yang berupa jagat-raya dan isinya terkesan
nyata, karena kita semua terliput oleh awidya, padahal sang
pencipta malahan tidak dapat disaksikan.

Bhawe chopalabdheh
II.1.15 (149)

“Dan karena sebab itu hadir, maka hadir juga akibat


(yang dapat dirasakan)”.

Keterangan : Tidak mungkin jagat-raya ini hadir, kalau Sang


Pencipta tidak eksis. Chandogya Up. VI.8.4 berkata : “Semua
ciptaan-ciptaan ini, wahai anakku, berasal dari Sat, yaitu Brahman,
bersandarlah kepada-Nya”, Demikianlah hukum alam ini, tidak
mungkin ada asap kalau tidak ada api”.

Sattwaccawarasya
II.1.16 (150)

“Dan sesuai dengan Kehadiran-Nya sebelum penciptaan ini”.

Keterangan : Sekali lagi dinyatakan bahwa sang penyebab jagat-


raya ini telah hadir bahkan jauh sebelum jagat-raya ini diciptakan.
Chandogya Up. : “Pada mulanya, anakku yang tersayang, hanya
Inilah yang eksis”. Aitereya Ar. 2.2.1 menyatakan “Pada mulanya,
hanya Sang Jati Diri (Atman), Satu-satunya yang eksis”.
Sedangkan Bri. Up. 1.4.10 menyatakan : “Sebelum penciptaan,
jagat-raya ini hadir sebagai Brahman. Demikianlah sekali lagi
dinyatakan bahwa Brahman (Sebab) dan berbagai ciptaan-Nya
(akibat) sebenarnya Satu hakikatnya”.

www.shantiwangi.com
Asadwyapadesanneti chet na dharmantarena wakyaseshat
II.1.17 (151)

“Seandainya dikatakan bahwasanya akibat disebut juga sebagai


“unsur yang bukan”, yaitu akibat belum hadir sebelum
penciptaan, maka kami jawab tidaklah demikian,
karena yang disebut “unsur yang bukan” ini
sebenarnya adalah karakter lain yang dapat
kita saksikan pada akhir teks
yang dimaksud”.

Keterangan : Seandainya ada yang berasumsi bahwa jagat-raya


dan isinya ini (akibat dari penciptaan) tidak eksis sebelum
penciptaan, maka hal ini adalah kesalahan, karena sudah
diterangkan sebelumnya, bahwa tidak ada yang eksis dan yang
non-eksis, demikian sabda Sruti melalui berbagai Upanishad.

Yukteh sabdantaracca
II.1.18 (152)

“Melalui penalaran yang logis, dan sesuai dengan teks-teks Sruti


yang lainnya, maka jelaslah relasi antara sebab dan akibat”.

Keterangan : Pengarang Sutra ini akan menjelaskan berbagai


ilustrasi untuk menegaskan bahwasanya akibat itu identik dengan
sebab”.

Patawacca
II.1.19 (153)

“Dan ibarat sehelai kain”.

Keterangan : Ibarat kain yang digulung kemudian diuraikan dan


dilepas dari gulungannya, demikian juga jagat-raya ini
disingkapkan oleh Sang Brahman sehingga terurai luas. Sewaktu
pralaya tiba maka semua ciptaan ini digulung kembali ke asalnya.

www.shantiwangi.com
Yatha cha pranadi
II.1.20 (154)

“Dan juga ibarat berbagai Prana atau udara vital”.

Keterangan : Di semesta ini hadir unsur Prana Utama, darinya


hadir berbagai prana-prana lainnya, yang sebenarnya adalah
berbagai modifikasi Prana Utama ini. Prana utama ini disebut
Mukhyaprana, sedangkan berbagai modifikasinya memiliki
beragam-ragam nama dan fungsi. Pada intinya semua prana ini
satu adanya. Demikian juga halnya dengan Brahman dan berbagai
ciptaan-ciptaan-Nya.

Bagian 1. Itarawyapadesadhikaranam :
Topik 7. Brahman tidak menciptakan kebatilan.

Itarawyapadeshaddhitakaranadidodoshaprasaktih
II.1.21 (155)

“Sehubungan dengan unsur yang lain, yaitu sang jiwa yang disebut
sebagai sama dengan Brahman; lalu bagaimana mungkin Ia
melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi
Dirinya Sendiri”.

Keterangan : Kaum Purwapakshin berpendapat bahwasanya


skripsi-skripsi suci senantiasa menyebutkan bahwa sang jiwa itu
bersatu dengan Sang Brahman, lalu bagaimana mungkin
seandainya jiwa dan Brahman itu Satu ? Lalu mengapa Brahman
menyengsarakan Dirinya sendiri dengan berbagai penderitaan yang
diciptakan oleh-Nya Sendiri juga ?

Adhikam tu bhedanirdesat
II.1.22 (156)

“Namun Brahman Sang Pencipta, itu Status-Nya lebih tinggi dari


jiwa individu, sesuai dengan sabda-sabda
yang terdapat di Srutis”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Sekali lagi perbedaan antara sang jiwa dan Sang
Brahman didiskusikan. Brahman itu adalah Sang Pencipta, Yang
Maha Berkuasa, dan bukanlah jiwa individu yang terperangkap di
dalam sebuah raga. Tidak ada yang bermanfaat atau merugikan
bagi Sang Brahman. Tuhan (Brahman) itu tidak bertambah maupun
berkurang dengan dalih apapun juga. Beliau ini sebagai Maha
dalam segala-galanya. Sebaliknya sang jiwa lahir dan mati secara
berulang-ulang sesuai dengan karma-karmanya, namun Brahman
tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah mati.

Asmadiwacca tadanupapattih
II.1.23 (157)

“Dan karena ibarat berbagai bebatuan yang dihasilkan oleh sang


bumi, maka pernyataan tersebut kami bantah”.

Keterangan : Para oposan berpendapat bahwasanya Brahman


Yang Maha Tahu dan Maha Pengasih bukanlah asal-muasal
berbagai kebaikan dan kebatilan. Namun coba saksikan bumi ini,
berbagai bebatuan mulia dan batu-batu jenis lainnya hadir di bumi
ini, bahkan berbagai fauna dan flora. Dan kemudian semua ini
diserap kembali oleh-Nya.

Bagian 1. Upasamharadarsanadhikaranam :
Topik 8. Brahman adalah Penyebab hadirnya jagat-raya ini.

Upasamharadarsananneti chenna kshirawaddhi


II.1.24 (158)

“Seandainya dikau menyatakan bahwa Brahman bukanlah


Penyebab karena tidak dapat berfungsi tanpa alat-alat
pembantu-Nya, kami katakan hal tersebut tidaklah
demikian, karena hal ini sama saja ibaratnya
dengan susu yang berubah menjadi
yogurt (atau mentega)”.

Keterangan : Kaum Purwapakshin menilai Sang Brahman dari


sudut pandangan duniawi. Bagi mereka sebuah rumah tidak
mungkin dibangun tanpa bantuan para pekerja, tanpa seorang
mandor pengawas, dan berbagai alat-alat yang diperlukan. Oleh

www.shantiwangi.com
sebab itu Brahman pastilah bukan penghasil semesta dan segala
isinya ini, karena manusia tidak pernah melihat beliau bekerja
memerintahkan para pekerja apalagi menyaksikan alat-alat berat
untuk membangun semesta ini. Sutrakara karya ini langsung
membantah argumentasi ini, karena bukan demikian cara Yang
Maha Gaib bekerja, namun semua ini tercipta melalui proses
evolusi yang panjang dan rumit. Namun ada sebuah contoh
sederhana misalnya susu dapat diubah menjadi susu asam (yogurt)
dan mentega melalui proses fermentasi dan pemasakan.
Demikianlah mungkin proses penciptaan alam ini dari satu bentuk
berubah ke bentuk yang lain tanpa meninggalkan unsur-unsur
dasarnya. Sedangkan proses gaibnya, hanya beliau sendiri yang
memahami-Nya. Swetswara Up.VI.8 menyatakan : “Ia tidak
mempergunakan alat atau penunjang, namun tidak seorangpun
atau sesuatu unsur apapun yang lebih canggih daripada-Nya. Daya
Kekuatan (Shakti)-Nya tersaksikan dan hadir dalam berbagai daya-
daya dan ilmu-pengetahuan”.

Dewadiwadapi loke
II.1.25 (159)

“Penciptaan yang dilakukan oleh Brahman ini ibaratnya seperti


yang dilakukan oleh para dewa dan unsur-unsur gaib lainnya,
juga oleh berbagai unsur yang hadir di dunia ini”.

Keterangan : Dipercayai, bahwasanya para dewa dapat


menghasilkan berbagai daya dan ciptaan, demikian juga sebuah
contoh kecil, yaitu laba-laba yang dapat menciptakan sebuah jaring
yang lebih luas dari ukuran tubuhnya sendiri. Lalu mengapa
Brahman Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta tidak mampu,
padahal semua ini berasal dari-Nya semata.

www.shantiwangi.com
Bagian 1. Kritsnaprasatyadhikaranam :
Topik 9. Brahman adalah Penyebab materi semesta, walaupun Ia
tidak terpisah-pisah.

Kritsnaprasaktirnirawayawatwasbdakopo wa
II.1.26 (160)

“Salah satu pilihan ini harus diterima yaitu Brahman ini tidak
memiliki bagian-bagian, atau Sruti harus diabaikan”.

Keterangan : Sruti termasuk B-Gita, menyatakan bahwasanya


seluruh jagat-raya dan isinya, yang maha luas ini hanyalah
sebagian kecil dari Brahman Yang Maha Kuasa. Kaum oposisi
berkata seandainya seluruh Brahman merubah Dirinya menjadi
jagat-raya ini maka Ia akan mudah dikenali, dan Sang Penyebab
tidak akan eksis lagi karena telah berubah secara total menjadi
akibat. Padahal Sruti juga menyatakan bahwasanya Brahman itu
hakikat-Nya tidak berubah-ubah atau terpisah-pisah. Kalau
demikian ada yang bertanya, apakah Brahman dapat binasa,
karena Ia dianggap memiliki bagian-bagian tubuh. Tidak, kata sang
sutrakara sambil menunjuk ke Swetswara Up. VI.19 yang
menyatakan : “Ia tidak terdiri dari berbagai bagian-bagian, tanpa
aksi, tenang, tanpa kesalahan dan tanpa noda”. Mundaka Up. II.1.2
juga menyatakan : “Beliau itu tanpa akhir, Tak terbatas, dan
bersifat Pengetahuan”. Briharadaranyaka Up. II.4.12 menyatakan :
“Ia dijelaskan dengan kata-kata tidak, tidak”. Bri. Up. III.8.8,
menyatakan : “Beliau ini bukanlah unsur kasar maupun halus”.
Kaum oposan tidak puas dengan bukti-bukti Sruti di atas dan tetap
bersikeras bahwa Brahman bukanlah pencipta jagat-raya ini. Sutra
selanjutnya kembali menolak hal tersebut.

Srutestu sabdhamulatwat
III.1.27 (161)

“Namun hal tersebut bukanlah demikian, sesuai dengan


penjelasan-penjelasan yang ada di Sruti, khususnya
yang menjelaskan tentang Brahman”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Pertama-tama tidak benar sanggah kata Sutrakara,
bahwa seyogyanya Brahman merubah Dirinya menjadi seisi jagat-
raya ini, walaupun Sruti mengatakan : “Satu kali (1/4) dari-Nya
menjadi seluruh ciptaan, dan 3 kali (3/4) dari-Nya adalah Yang
Maha Abadi di alam-Nya”. Bhagawat-gita mengatakan : “Sebagian
kecil dari-Ku menunjang seisi semesta ini”. Lalu, Sruti juga
menyatakan Brahman (Atman) dapat direalisasikan di dalam relung
sanubari yang paling dalam. Semua argumentasi ini seakan-akan
mengecilkan arti dan Keagungan-Nya, hal ini terjadi karena awidya
seseorang, karena Sruti juga berkata : ”Sesuatu yang tidak dapat
dijabarkan itu, jangan ditimbang dari sudut duniawi”. Namun Sruti
juga mengakui berbagai pandangan bijaksana para resi yang
berbicara melalui persepsi wahyu-wahyu yang mereka terima. Juga
harus diingat bahwasanya perbedaan persepsi terjadi karena
banyak sishya dan bhakta yang belum siap tingkatan spiritualnya,
bagi mereka Brahman ini harus diajarkan sebagai yang berwujud,
namun tetap hadir juga berbagai ajaran bagi yang di tingkat
madhya dan yang di tingkat atas. Sruti melalui kebinekaan ini
sebenarnya mengajar secara bijaksana. Kesimpulannya : Brahman
memanifestasikan Dirinya dalam berbagai ciptaan, namun pada
saat yang sama Beliau tidak berkurang maupun bertambah dengan
semua ciptaan-ciptaan ini.

Atmani chaiwam wichitrascha hi


II.1.28 (162)

“Dan juga karena di setiap jiwa individu (baik itu jiwanya para
dewa, maupun para manusia, dsb) hadir berbagai ciptaan
(kemampuan mencipta). Demikian juga halnya
dengan Brahman (dalam skala yang
teramat agung dan luas)”.

Keterangan : Manusia saja diberi kemampuan untuk berdaya-


cipta. Bahkan seorang tukang sulap saja mampu mencipta secara
langsung, apa lagi para resi, para cendekiawan, kaum ilmuwan dan
para dewa. Dan di atas semua ini hadir Tuhan Yang Maha Kuasa,
yang dari-Nya mengalir keluar semua daya dan ciptaan ini. Ada
perbedaan khusus, yaitu Tuhan abadi sifatnya dan para ciptaan
terbatas kodratnya.

www.shantiwangi.com
Swapakshadoshacca
II.1.29 (163)

“Dan sehubungan dengan argumen-argumen mereka sendiri


yang dapat diajukan kepada mereka sendiri”.

Keterangan : Ternyata banyak sekali pandangan para oposan ini


kalau disilangkan dan dihantamkan kembali kepada yang beroposisi
ternyata malahan menimbulkan kotroversi di antara mereka
sendiri. Contoh : Kaum Sankhyas berpendapat bahwa Pradhana
atau Prakriti itu adalah Tuhan, namun mereka sendiri juga tidak
menyatakan bahwa Pradhana tersebut terpisah-pisah wujudnya.
Namun bagi mereka Pradhana terdiri dari tiga jenis Gunas yaitu
yang bersifat Satwas, Rajas, dan Tamas, namun juga kesatuan dari
semua Gunas tersebut dan lain sebagainya.

Bagian 1. Sarwopetadhikaranam :
Topik 10. Brahman yang serba maha.

Sarwopeta cha taddarsanat


II.1.30 (164)

“Dan Brahman adalah yang Maha dalam segala hal, sesuai dengan
kaidah-kaidah yang terdapat di berbagai skripsi-skripsi suci”.

Keterangan : Kaum Purwapakshin berkata : “Manusia memiliki


raga fisik, itulah sebabnya manusia ini berdaya tinggi dan serba
bisa, Tuhan itu tidak memiliki raga, lalu bagaimana mungkin dapat
memiliki kekuatan yang serba dashyat ? Mereka ini lupa pada
kaidah-kaidah utama shastra-widhi bahwasanya cukup Sang Maya
yang bekerja sebagai alat-Nya Yang Maha Kuasa, dan seisi semesta
termasuk jajaran galaksi dan isinya ini berfungsi sesuai dengan
kehendak-Nya.

Wikaranatwanneti chet taduktam


II.1.31 (165)

“Seandainya dikatakan bahwasanya Brahman tidak memiliki organ-


organ tubuh, jadi tidak mungkin mencipta, maka kami jawab
hal tersebut telah diterangkan berulang kali sebelumnya”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Swet. Up. III.19 berkata : “Ia menjangkau tanpa
menggunakan tangan, Ia bergerak kesana-kemari tanpa
menggunakan kaki, Ia menyaksikan tanpa menggunakan mata, dan
Ia mendengarkan tanpa menggunakan telinga”. Melalui Maya-Nya,
Ia hadir di mana dan kapan saja.

Bagian 1. Prayojanatwadhikaranam :
Topik 11. Titik akhir penciptaan.

Na prayojanawattwat
II.1.32 (166)

“Brahman bukanlah Sang Pencipta karena tidak memiliki motif”.

Keterangan : Kaum oposan berkata setiap organ pasti ada tujuan


dan maksudnya di dunia ini. Sedangkan Sruti menyatakan Tuhan
tidak mendapatkan manfaat apapun juga dengan mencipta jagat-
raya dan isinya ini, jadi Brahman pastilah bukan Sang Pencipta
semua ini. Sutra ini menjawab, semua fenomena ini adalah bentuk
maha gaib, hanya Beliau semata Yang Maha Tahu akan arti dan
tujuan kehidupan ini. Manusia sangat terbatas penalarannya, jadi
serahkan kembali saja semua hal ini kepada Kehendaknya semata.

Lokawattu lilakaiwalyam
II.1.33 (167)

“Namun berbagai aktivitas kreatif Sang Brahman adalah lila


(permainan)-Nya semata, demikianlah pandangan dari
sisi duniawi ini”.

Keterangan : Dari sudut pandangan duniawi yang serba tidak


dapat memahami berbagai karya-karya-Nya, maka dinyatakan
bahwasanya ciptaan semesta-raya ini adalah ciri-ciri khas (Sifat-
sifat Pribadi-Nya) Yang Maha Agung dan Mulia tanpa didasari
pamrih; semua proses penciptaan ini adalah Yajna (pengorbanan)
dari-Nya semata. Dari sisi duniawi fenomena Ilahi ini disebut Lila
(Permainan atau olah-raga-Nya). Sudut pandang manusia tentunya
sangat berbeda dengan sudut pandang Ilahi (Bhagawat), Yang
Maha Kuasa dan Tidak Terbatas. Semua ini juga berasal dari-Nya,
untuk-Nya dan akan kembali kepada-Nya jua. Itulah Kehendaknya

www.shantiwangi.com
yang suci, agung dan mulia. Nama dan rupa adalah ekspresi awidya
kita, hakikat-Nya sejati sebagai Brahman, Atman atau Tuhan
sebenarnya adalah Maha Eka dan Maha Esa.

Di sutra berikutnya hadir sanggahan terhadap teori yang


menyatakan bahwaanya Brahman itu kejam, keji, dsb., karena
dunia ini penuh penderitaan yang juga berasal dari-Nya semata.

Bagian 1. Waisamyanairghrinyadikaranam :
Topik 12 . Brahman ini tidak terpisah-pisah dan juga tidak kejam.

Waishamyanaighrinye na sapekshatwat tatha hi darsayati


II.1.34 (168)

“Keterpisah-pisahan dan kekejaman tidak dapat dihubungkan


dengan Brahman, karena ada alasan-alasan lain yang
berhubungan dengan unsur-unsur tersebut,
demikian telah dijelaskan oleh berbagai
skripsi-skripsi suci”.

Keterangan : Teori oposan menyatakan, ada yang dilahirkan


miskin dan ada yang dilahirkan kaya-raya. Brahman ini terkesan
pilih kasih dan kejam kepada sebagian umat manusia bersikap
kasih kepada yang lainnya. Jadi Ia tidak layak dinyatakan sebagai
Pencipta semesta ini. Tidak, jawab sutra di atas. Hal tersebut
terjadi sesuai dengan karma masing-masing individu itu sendiri.
Tuhan itu Maha Pengasih terhadap sesama makhluk, namun
kehidupan ini bukannya karunia yang gratis namun adalah realisasi
dari karma-karma kita yang terdahulu, ada hukum alam yang
mengaturnya. Berkah dalam bentuk kehidupan ini seharusnya
disyukuri, difahami dan dihayati. Hasil baik dan buruk adalah akibat
ulah kita sendiri, Yang Maha Kuasa tidak dapat dipersalahkan kalau
yang bersalah itu manusia itu sendiri. Kau. Up. III.8 berkata :
“Yang Maha Esa memperkenankan siapapun juga untuk berbuat
baik. Iapun memperkenankan siapapun juga untuk berbuat
kebatilan”. Bri. Up. III.2-13, menyatakan : “Seseorang menjadi
bajik melalui kebajikan, ia menjadi keji melalui kebatilannya”.
Sedangkan Bhagawat-Gita menambahkan IV-11, bersabda : “Aku
melayani manusia sesuai dengan cara-cara yang ditempuh mereka
masing-masing yang menuju ke arah-Ku”.

www.shantiwangi.com
Na karmawibhagaditi chet na anaditwat
II.1.35 (169)

“Seandainya ada yang berkata bahwa teori karma ini tidak memiliki
basis karena tidak hadirnya perbedaan di permulaan penciptaan,
maka kami nyatakan hal tersebut tidak benar, karena
hukum karma bersifat tanpa mula”.

Keterangan : Kaum oposisi bertanya : Menurut Sruti bahwa pada


permulaan penciptaan tidak hadir unsur baik dan buruk, lalu dari
mana datangnya karma ini ? Sutra ini menyatakan karma itu
sifatnya Anadi (tanpa mula). Penciptaan jagat yang baru itu
menurut para resi didasarkan pada karma jagat-raya itu sendiri
sebelumnya secara keseluruhan. Itulah hukum karma dalam skala
Maha. Bagi yang telah sadar akan Hakikat-Nya, maka hukum
karma ini tidak ada habis-habisnya, sedangkan bagi para pemula,
maka Sruti mengajarkan pada asal-mula penciptaan semuanya
hadir secara netral (jauh dari baik dan buruk). Bagi yang telah
faham, maka pralaya itu sendiri adalah akumulasi dari karma-
karma jagat-raya itu secara keseluruhan, jadi harus diserap
kembali, dimurnikan dan dikembalikan lagi dalam bentuknya yang
baru.

Upapadyate chapyupalabhyate cha


II.1.36 (170)

“Dan (semesta ini dan juga Karma bersifat tanpa mula), dan
disebut sebagai sesuatu yang masuk akal, sesuai dengan
pernyataan-pernyataan di berbagai skripsi-skripsi suci”.

Keterangan : Keterangan mengenai sutra ini telah dijelaskan di


atas.

www.shantiwangi.com
Bagian 1. Sarwadharmopapattyadhikaranam :
Topik 13. Saguna Brahman adalah unsur penting bagi penciptaan

Sarwadharmopapattescha
II.1.37 (171)

“Dan karena semua kemampuan yang diperlukan untuk


menciptakan semesta ini, ternyata dimiliki oleh Sang
Brahman. Seyogyanya Beliau ini harus diakui
sebagai Pencipta semesta ini”.

Keterangan : Untuk membuktikan bahwasanya Brahman adalah


Pencipta semesta ini, maka dikatakan sesuai dengan semua bukti-
bukti yang terdapat di shastra-widhi dan yang dapat kita hayati di
dunia ini, maka Tuhan (Brahman) adalah Satu-satunya yang
memiliki kemampuan-kemampuan untuk mencipta semesta dan
segala isinya ini.

Dengan ini berakhirlah Pada (Bagian ) I dari Adyaya kedua,


dari Brahma-Sutras (Filosofi Wedanta) ini.

www.shantiwangi.com
Bagian 2. Introduksi.

Pada bagian kesatu dan bab kedua, Brahman telah


dinyatakan sebagai Pencipta semesta dan isinya ini. Semua oposisi
yang berlawanan dengan filosofi ini telah ditolak secara tegas.

Di bagian ini, Sang perancang sutra-sutra ini (Sutrakara)


memeriksa berbagai teori mengenai penciptaan yang diajukan oleh
berbagai perguruan spiritual pada masa itu. Semua teori-teori ini
ditolak oleh Sang Sutrakara ini melalui akal sehat (logika
berpikirnya) tanpa menghubungkan berbagai penjelasan-
penjelasannya dengan berbagai Weda. Beliau menyanggah teori
Pradhana dari kaum Sankhyas, teori atom dari kaum Wisheshika,
teori Nihilistik dari kaum Buddhist, teori kaum Jain yang
menyatakan bahwasanya eksistensi dan non-eksistensi hadir secara
bersamaan, dan teori kaum Pasupata yang menyatakan kordinasi
dualitas, dan teori energi (daya) tanpa bantuan oleh intelegensia.

Sinopsis :
Sri Wyasa Bhagawan pada bagian ini, menolak berbagai teori
dan mengakumulasi semuanya secara singkat, semua teori-teori ini
di zaman beliau dianggap bertentangan dengan filosofi Wedanta.
Selain berbagai teori-teori di atas, ada tambahan lagi dari berbagai
teori-teori yang ditolak oleh sang resi ini yaitu : Teori Buddha
Realis, Teori Pasupata mengenai Tuhan sebagai pencipta efisien
dan bukan pencipta materi; teori Pancharatra atau doktrin
Bhagawata yang menyatakan sang jiwa berasal dari Tuhan dsb.dsb.

Adhikarana I : (Sutras 1-10) memuat sanggahan terhadap kaum


Sankhyas bahwasanya Pradhana itu tidak mampu mencipta
ataupun melebur kembali.

Adhikarana II dan III (Sutras 11-17) memuat sanggahan terhadap


kaum Waiseshika yang menyatakan bahwasanya dunia ini berasal
dari berbagai atom yang difungsikan oleh Adrishta.

Adhikarana IV dan V : Memuat sanggahan kepada berbagai kaum


Buddhist.

www.shantiwangi.com
Adhikarana IV : (Sutras 18-27) memuat sanggahan terhadap
pandangan kaum Buddhist Realis yang menyatakan realitas dunia
eksternal dan dunia internal.

Adhikarana V : (Sutras 28-32) memuat sanggahan terhadap


pandangan kaum Wijnanawadin (Buddhist idealis), yang
menyatakan berbagai ide-ide adalah satu-satunya realitas. Sutra
terakhir adhikarana ini menyanggah pandangan kaum Madyamika
(Sunyawadin atau kaum nihilis), yang mengajarkan bahwasanya
semesta ini kosong, jadi tidak ada ciptaan yang nyata (realis).

Adhikarana VI : (Sutras 33-36) memuat sanggahan terhadap kaum


Jainas.

Adhikarana VII : (Sutras 37-41) memuat sanggahan terhadap


kaum Pasupata yang menyatakan bahwasanya Tuhan itu adalah
penyebab operatif dunia ini.

Adhikarana VIII : (Sutras 42-45) memuat sanggahan terhadap


teori Bhagawatas atau Pancharatras.

www.shantiwangi.com
Bagian 2. Rachananupapattyadhikaranam :
Topik 1. Sanggahan terhadap teori Sankhya mengenai Pradhana
sebagai pencipta dunia ini.

Rachananupapattescha nanumanam
II.2.1 (172)

“Yang dinyatakan oleh kaum Sankhyas mengenai Pradhana sebagai


pencipta dunia ini tidaklah mungkin, karena unsur tersebut tidak
mampu merekayasa susunan unsur-unsur yang terdapat di
penciptaan (semesta) ini”.

Prawrittescha
II.2.2 (173)

“Dan juga karena unsur Pradhana tersebut tidak mungkin


beraktivitas”.

Payo’mbuwaccet tatra’pi
II.2.3 (174)

“Seandainya dikatakan bahwa Pradhana secara bebas mampu


memodifikasikan dirinya ke berbagai produk (contoh menjadi
susu atau air, tanpa disertai unsur intelegensia), maka
kami jawab bahwasanya unsur intelegensia harus
hadir dalam setiap penciptaan”.

Keterangan : Intelegensia di sutra-sutra ini berarti Tuhan


(Brahman).

Wyatirekanawashiteschanapekshatwat
II.2.4 (175)

“Dan karena dikatakan bahwasanya Pradhana tidak ditunjang


oleh unsur eksternal lainnya untuk beraktivitas maupun
untuk tidak beraktivitas”.

www.shantiwangi.com
Anyatrabhawaccha na trinadiwat
II.2.5 (176)

“Dan karena Pradhana ini tidak mampu bermodifikasi secara


mandiri (contoh dari rumput berubah menjadi susu),
karena ia hanya hadir di dalam unsur
feminin semata”.

Keterangan : Rumput berubah menjadi susu melalui proses


pencernaan sapi betina (unsur feminin), bukan melalui unsur jantan
(purusha), jadi Pradhana ini tidak dapat dinyatakan sebagai Tuhan
karena Brahman mencakup unsur Purusha dan Prakriti (Lingga dan
Yoni).

Abhyupagame’pyarthabhawat
II.2.6 (177)

“Walaupun (seandainya) kita mengakui modifikasi Pradhana sesuai


dengan filosofi Sankhya, tetap saja ia tidak dapat disebut
sebagai Sang Pencipta semesta ini karena tidak terdapat
sesuatu tujuan baginya untuk mencipta”.

Purushasmawaditi chet tathapi


II.2.7 (178)

“Seandainya dikatakan bahwa Sang Purusha (Jiwa) dapat


memfungsikan Sang Pradhana ibarat seorang lumpuh
yang menuntun seorang yang buta, atau ibarat
magnet yang menggerakkan logam, tetap
saja teori Sankhya tersebut tidak
dapat dibenarkan”.

Angitwanupapattescha
II.2.8 (179)

“Lagi-lagi Pradhana ini tidak dapat aktif karena hubungan antara


sang pemimpin dan bawahan-bawahannya tidak dapat
dilaksanakan diantara berbagai Gunas”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Teori Sankhya menyatakan bahwasanya Pradhana
adalah penyeimbang ketiga Gunas (Sattwa, Rajas dan Tamas).
Padahal sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya setiap
Guna itu sama kuatnya, jadi tidak mungkin Pradhana berkuasa di
atas Gunas ini.

Anyathanimitau cha jnasaktiwiyogat


II.2.9 (180)

“Alasan apapun juga yang menyatakan Pradhana sebagai Sang


Pencipta tidak dapat diterima karena tidak hadirnya unsur
intelegensia yang terlibat di dalamnya”.

Wipratishedhaccasamanjasam
II.2.10 (181)

“Apalagi doktrin Sankhya ini penuh dengan berbagai kontradiksi,


jadi layak ditolak”.

Bagian 2. Mahaddirghadhikaranam :
Topik 2. Sanggahan terhadap pandangan kaum Waiseshika.

Mahaddirghawadwa hraswaparimandalabhyam
II.2.11 (182)

“Semesta ini mungkin saja hadir dari Brahman, ibarat (ukuran)


besar dan panjang yang lahir dari ukuran pendek
dan kecil (atom)”.

Keterangan : Resi Kanada, maha guru kaum Waiseshika


menyatakan semua benda di semesta ini berasal dari atom (unsur
terkecil) yang disebut Anu. Terdapat empat jenis Anu yaitu atom
bumi, atom air, atom api, dan atom udara. Masing-masing atom ini
lepas dari atom-atom lainnya pada mulanya, namun pada saat
penciptaan maka atom-atom ini mulai bergabung satu dengan yang
lainnya kemudian membentuk kelompok dua, tiga dan empat dan
seterusnya. Demikianlah benda-benda ini kemudian terbentuk dan
akhirnya semestapun tercipta. Namun teori inipun ditolak, karena
pada zaman tersebut para resi sudah memahami bahwa ada unsur

www.shantiwangi.com
inti yang lebih kecil lagi dari atom yang menggerakkan berbagai
atom-atom ini.

Bagian 2. Paramanujagadakaranatwadhikaranam :
Topik 3. Sanggahan terhadap teori atom kaum Waiseshikas. Di
atas terdapat jawaban-jawaban sanggahan terhadap
pandangan kaum Wedantin, sekarang sistim Waiseshika
akan disanggah selanjutnya.

Ubhayathapi na karmatastadabhawah
II.2.12 (183)

“Kedua hal ini yaitu Adrishta (unsur inti yang tidak terlihat yang
hadir di dalam ether atau jiwa) dan aktivitas atom,
tidaklah mungkin; jadi kami menolak teori
penggabungan atom tersebut”.

Keterangan : Kaum Waiseshikas mengatakan bahwasanya inti


atom yang mereka sebut Adrishta adalah penyebab penggabungan
atom-atom tersebut, yang pada giliran selanjutnya menciptakan
seisi semesta ini. Namun kaum Wedantin menyatakan secara
shastra-widhi dan yang seperti difahami sehari-hari, maka Adrishya
adalah inti dari ether atau jiwa. Menurut kaum Wedantin, Adirishta
itu sifatnya gaib dan adalah unsur penyebab kebaikan dan kebatilan
setiap jiwa, jadi tidak berhubungan dengan unsur-unsur atom
(Anu).

Samawayabhyupagamaccha samyadanawasthiteh
II.2.13 (184)

“Dan karena argumen tersebut adalah argumen yang salah; ajaran


yang menerima hubungan samawaya (demi penggabungan
atom), tidak dapat diterima, karena bersifat sia-sia dan
tidak berguna (berdasarkan asumsi yang salah)”.

Keterangan : Seandainya atom ini bersifat aktif, maka tidak akan


terjadi pralaya. Dan seandainya atom bersifat inaktif maka tidak
akan ada penciptaan. Padahal pralaya dan penciptaan merupakan
proses yang abadi.

www.shantiwangi.com
Rupadimatwacca wiparyo darsanat
II.2.15 (186)

“Dan berdasarkan pernyataan kaum Waiseshika itu sendiri,


bahwasanya atom ini memiliki warna dan bentuk,
karena dapat terlihat atau diteliti”.

Keterangan : Kaum Waiseshika yakin bahwa atom itu merupakan


sesuatu unsur yang memiliki bentuk dan warna. Hal ini sangat
kontradiktif dengan pernyataan mereka sendiri bahwa atom ini
adalah Brahman atau Atman. Sudah menjadi pengetahuan umum,
sanggah kaum Wedantin bahwasanya Tuhan itu tidak dapat
disaksikan maupun diteliti, karena Beliau itu Maha Tak
Terterangkan.

Ubhayatha cha doshat


II.2.16 (187)

“Dan berdasarkan cacat yang terdapat di pernyataan tersebut”.

Keterangan : Sanggahan ini masih berhubungan dengan


sanggahan di atas.

Aparigrahacchatyantamanapeksha
II.2. 17 (188)

“Dan juga teori atom ini tidak diterima oleh Manu dan para resi-resi
agung lainnya, jadi kami menolak total teori ini”.

Keterangan : Manu (manusia pertama) masih bersikap agak


toleran terhadap sebagian ajaran teori kaum Sankhyas, namun
beliau tidak menerima teori atom kaum waiseshika, juga berbagai
teori lainnya seperti teori unsur, kwalitas (Gunas), karma, dsb.

www.shantiwangi.com
Bagian 2. Samudayadhikaranam :
Topik 4. Sanggahan terhadap kaum Buddhist Realis.

Samudaya ubhayahetuke’pi tadapraptih


II.2.18 (189)

“Walaupun kesatuan dari kedua (pernyataan tersebut) berasal dari


dua penyebab, namun tetap saja hal tersebut
tidak dapat diterima”.

Keterangan : Sidharta Buddha Gautama bermuridkan empat


orang, mereka semua masing-masing mengajarkan sistim filosofi
Buddhist secara berbeda-beda, yaitu : Waibhashika, Santrantika,
Yogachara dan Madyamika. Kaum Waibhashikas juga disebut Realis
(Sarwastitwadins). Kaum ini menerima suatu kesatuan, yaitu dalam
bentuk kenyataan adanya unsur luar dan dalam dari semesta ini,
yang berisikan berbagai objek-objek eksternal, pikiran
(pemahaman), kesadaran, rasa dan lain sebagainya. Sedangkan
kaum Santrantikas disebut juga sebagai kaum Idealis
(Wijnanawadins), bagi mereka pikiran adalah satu-satunya
kenyataan, dan unsur-unsur lainnya tidak eksis di semesta ini.
Hanya pemahaman ide yang eksis bagi mereka. Kemudian kaum
Yogacharas berpendapat bahwasanya hanya ide yang merupakan
kenyataan dan tidak dunia eksternal yang berhubungan dengan
ide-ide ini, bagi mereka objek-objek eksternal tidaklah nyata,
ibaratnya objek-objek di dalam mimpi. Sedangkan bagi kaum
Madyamikas, semua ide-ide ini tidaklah nyata dan tidak ada yang
hadir selain kekosongan (Sunya, Sunyam). Mereka dikenal sebagai
kaum Nihilis (atau Sunyawadins) yang berpendapat bahwasanya
semesta dan isinya ini sebenarnya kosong dan tidak nyata. Namun
semua sekte Buddhist ini setuju bahwasanya semesta dan isinya ini
sebenarnya kosong dan tidak nyata. Namun semua sekte Buddhist
ini juga setuju bahwasanya semua ini bersifat sementara, dan
hanya hadir sekejab. Benda-benda yang hadir di masa lalu tidak
hadir di masa kini, semuanya tidak saling berhubungan.

Kaum Realis memahami adanya dua bentuk kesatuan, yaitu dunia


materi eksternal dan dunia mental internal, kesemuanya (kedua
bentuk kesatuan) ini membentuk jagat semesta raya ini. Dunia
eksternal terdiri dari kesatuan-kesatuan atom-atom yang terdiri

www.shantiwangi.com
dari empat jenis yaitu atom bumi, yang bersifat solid, atom air
yang berbentuk wiskid (cair), atom api yang bersifat panas dan
atom udara yang bersifat mobil (bergerak).

Lima skandha (grup) adalah unsur-unsur pembentuk dunia, yaitu


masing-masing Rupa Skandha, Wijnana Skandha, Wedana
Skandha, Samjna Skandha, Samskara Skandha. Indriyas dan
berbagai objek-objeknya membentuk Rupa Skandha. Wijnana
Skandha adalah aliran kesadaran yang memunculkan rasa egoisms
“aku”. Wedana Skandha berisikan rasa nikmat dan derita. Samjna
Skandha berisikan nama (kata-kata) seperti Ramakrishna, dan lain
sebagainya. Skandha kelima adalah Samskara Skandha yang
berisikan berbagai atribut pikiran seperti rasa kasih sayang,
kebencian, delusi, Dharma, Adharma, dan lain sebagainya. Semua
objek-objek internal hadir di dalam keempat Skandha yang
terakhir, dan membentuk objek-objek internal. Semua aktivitas
bergerak didasarkan oleh objek-objek internal, yang merupakan
motif-motif penggerak setiap benda (makhluk). Sedangkan semua
objek-objek eksternal hadir di skandha yang disebut Rupa
Skandha. Jadi bagi kaum Buddhist ini, seluruh semesta ini berisikan
kedua kesatuan (objek-objek internal dan eksternal) ini. Kesatuan
internal atau dunia mental dibentuk oleh empat Skandha di atas,
demikianlah kedua kesatuan internal dan eksternal yang dimaksud
oleh sutra di atas.

Kaum Wedantin menolak argumen-argumen kaum Buddhist di atas,


karena mereka yakin bahwasanya semua kesatuan-kesatuan
tersebut di atas ada unsur penyebabnya, dan unsur tersebut adalah
Brahman, tidak bisa hadir akibat tanpa ada sebab. Oleh sebab itu
argumen tersebut di atas tidak dapat diterima, apalagi teori mereka
tidak mengenal pralaya, jadi semuanya senantiasa abadi (namun
tidak berhubungan). Teori tersebut di atas sangat membingungkan
dan tidak masuk akal, sanggah kaum Wedantin.

www.shantiwangi.com
Itaretarapratyayatwaditi chennotpattimatranimittwat
II.2.19 (190)

“Seandainya dikatakan bahwa (pembentukan kesatuan-kesatuan ini


dapat dijabarkan) melalui akal sehat, yang berdasarkan hubungan
kausalitas yang saling menunjang, maka kami tolak hal tersebut,
karena hal-hal tersebut berasal dari penyebab Asal, bukan
dari penyatuan (berbagai unsur)”.

Keterangan : Kaum Buddhist berpendapat bahwasanya tidak ada


unsur Maha Inteligen (Tuhan), yang ada kausalitas yang saling
menunjang, jadi tidak diperlukan Penyebab asal-mula semua itu
(yaitu Tuhan). Namun sutra tersebut tetap berpendapat hal
tersebut Ada dan Asal (Brahman) itu Eksis, Tidak Terjabarkan,
namun hadir mengatur semuanya ini, termasuk teori-teori kaum
Buddhist tersebut.

Uttarotpade cha purwanirodhat


II.2.20 (191)

“Juga tidak ada hubungan kausal (yang disebutkan di atas) karena


sesuatu benda hadir setelah benda yang sebelumnya sirna”.

Keterangan : Menurut kaum Buddhist ini, semua benda bersifat


sementara, sesuatu yang baru eksis setelah yang lama sirna. Jadi
teori tersebut tidak dapat diterima karena ternyata sudah berciri
kontradiktif semenjak awalnya. Emas misalnya dapat berubah
menjadi perhiasan namun tetap statusnya adalah sebagai emas,
dan setelah itu kalau kembali dilebur maka ia tetap akan berwujud
emas. Hanya wujud dan namanya yang berganti-ganti, intinya
tidak, demikian juga halnya dengan inti permulaan di jagat-raya ini
(Brahman), yang sanggup mengubah-ubah wujud-wujud-Nya
sesuai dengan Kehendaknya tanpa kehilangan status Jati Dirinya
yang sejati. Jadi teori “sementara” tadi tidak berlaku bagi kaum
Wedantin, apapun dasarnya.

www.shantiwangi.com
Asati pratijnoparodho yangapadyamanyatha
II.2.21 (192)

“Seandainya difahami bahwasanya semua ini berasal dari non-


eksistensi, maka timbul lagi kontradiksi baru. Atau sebaliknya
hadir pengakuan akan hukum sebab dan akibat”.

Keterangan : Kaum Buddhist di atas beranggapan bahwa semua


di jagat-raya ini berasal dari kekosongan dan bersifat temporer.
Namun pada saat yang sama merekapun memiliki ajaran akan
hukum karma, jadi sekali lagi, hadir kontradiksi baru akan teori
mereka sendiri.

Pratisankhyapratisankhyanirodhapraptirawicchedat
II.2.22 (193)

“Kehancuran secara sadar dan secara tidak sadar menjadi tidak


mungkin kalau dihubungkan dengan unsur non-interupsi”.

Keterangan : Sebagian kaum Buddhist berteori bahwasanya


kehancuran senantiasa berlangsung dari waktu ke waktu tanpa
henti-hentinya, dan terdapat dua jenis kehancuran yaitu
kehancuran yang berdasarkan kesadaran, contoh : sewaktu kita
merusak sesuatu benda secara sengaja. Contoh lainnya : Kemudian
terjadi kehancuran karena unsur-unsur yang tidak disengaja atau
disadari, atau oleh unsur-unsur lainnya. Namun kaum Wedantin
berpendapat semua bentuk kehancuran ini adalah proses daur
ulang ibarat air yang menguap (hancur, sirna) ternyata berubah
menjadi uap, dan uap yang sirna menjadi hujan (air). Jadi
sebenarnya tidak ada yang hancur maupun hilang. Yang eksis
adalah prosesnya, unsur asli (sejati) hanya berganti-ganti rupa dan
wujud (reinkarnasi). Dan semua proses ini diatur oleh Sang
Pengendali. Jadi kedua teori penghancuran inipun ditolak.

www.shantiwangi.com
Ubhayata cha doshat
II.2.23 (194)

“Dan berdasarkan berbagai perolehan yang hadir sendiri


di kasus-kasus tersebut”.

Keterangan : Ada dua teori Buddhistik yang masing-masing


menyatakan : 1. Awidya atau kebodohan dapat dihilangkan melalui
berbagai usaha-usaha tapa-brata, pengetahuan dan lain
sebagainya (penghancuran secara sadar). Atau kebodohan itu akan
hancur sendiri (spontanitas). Namun kedua kasus alternatif
tersebut dianggap cacat oleh sutra di atas, karena bukankah
ajaran-ajaran Buddhistik menganggap semua hal/benda itu
temporer sifatnya, jadi bagaimana mungkin menghasilkan sesuatu,
apalagi secara spontan, padahal pada waktu yang sama mereka
mengetahui hukum akrma, jadi teori tersebut di atas terasa amat
kontradiktif dan membingungkan.

Aakase chaiwiseshat
II.2.24 (195)

“Demikian juga halnya dengan ether”.

Keterangan : Kaum Buddhist tidak mengakui keberadaan Akasa


(Ether), bagi mereka Akasa adalah non-unsur (Awaranabhawa).
Kaum Wedantin langsung menolak teori ini, karena mereka
berpendapat ether memiliki unsur-unsur suara, bau, rasa, bentuk
dan lain sebagainya. Bagi mereka ether adalah suatu unsur. Dan
seandainya ether bukan sesuatu unsur, maka ruang angkasa tidak
akan eksis, lalu bukankah seisi jagat raya akan saling berbenturan
dan akan terjadi pralaya yang dashyat. Jadi teori inipun ditolak.

Anusmritescha
II.2.25 (196)

“Dan sesuai dengan memori (ingatan) maka tidak ada


yang bersifat temporer”.

Keterangan : Teori kaum Buddhist disanggah di sutra di atas.


Seandainya semua benda/hal bersifat temporer, maka pengalaman

www.shantiwangi.com
setiap individupun bersifat sementara saja, namun manusia dapat
mengingat masa-masa lalu, masa kecil, dan lain sebagainya. Apa
yang dapat diingat oleh Si A tidak mungkin diingat oleh si B,
seandainya kedua individu tersebut berbeda perjalanannya.
Demikian teori temporer (sementara) ini ditolak oleh kaum
Wedantin.

Nasato’dristatwat
II.2.26 (197)

“Eksistensi atau benda tidak lahir dari non-eksistensi atau


dari non-benda, hanya karena tidak terlihat”.

Keterangan : Kaum Buddhist menyatakan semua modifikasi


mental, pikiran, lahir dari empat Skandha, dan semua benda materi
lahir dari berbagai atom, namun mereka juga berpendapat pada
saat yang sama bahwa benda-benda lahir dari unsur-unsur non-
benda (non-unsur). Mereka dianggap mengacaukan teori mereka
sendiri.

Udasinanamapi chaiwan siddhih


II.2.27 (198)

“Seandainya eksistensi lahir dari non-eksistensi, maka akibatnya


tujuan hidup dapat dicapai oleh siapa saja bahkan oleh
mereka-mereka yang tidak aktif”.

Keterangan : Kalau benar teori tersebut di atas, maka tumbuh-


tumbuhan akan tumbuh sendiri tanpa benih, manusia-manusia
malas akan ke swarga semuanya tanpa upaya sama sekali, dan lain
sebagainya. Lalu untuk apa diperlukan ajaran dharma, para nabi,
Awatara maupun para resi apalagi shastra-widhi ? Toh, semuanya
dapat berlangsung secara spontan dan otomatis, dalam hal ini lalu
buat apa diskusi panjang lebar akan dharma, karma dan lain
sebagainya. Jadi teori inipun dianggap sangat rancu dan tidak
berdasar sama sekali atau tidak berdasarkan logika umum.

Kaum Buddhist berkilah bahwa yang dimaksud di atas adalah


(nalar) pikiran kosmis, bukan jalan pikiran manusia. Hal tersebut
dikatakan sebagai Alaya-Wijnana yang adalah sumber semua

www.shantiwangi.com
jalan pikiran dalam bentuk potensial. Namun bagi kaum Wedantin
ini lebih rancu lagi, karena jagat-semesta ini adalah hasil dari
Pikiran Universal (Brahman).

Waidharmyaccha na swapnadiwat
II.2.29 (200)

“Sesuai dengan perbedaan yang terdapat di tahap sadar dan tahap


mimpi, maka ditegaskan bahwa pengalaman yang terjadi
di tahap sadar tidak sama dengan yang terjadi
di tahap mimpi, dsb. dsb.”.

Keterangan : Kesadaran di alam mimpi dan di alam sadar tidaklah


sama. Kesadaran di alam mimpi tergantung oleh kesadaran
sebelumnya, sedangkan kesadaran di tahap sadar tidak
berdasarkan hal-hal yang lainnya. Kemudian setelah sadar dari
mimpi seseorang langsung faham bahwa objek-objek mimpi
tersebut ternyata adalah ilusi atau tidak bersifat realistis, namun
hal-hal yang ditemui sehari-hari secara sadar dan secara duniawi
bukanlah sebuah ilusi.

Na Bhawo’nupalabdheh
II.2.30 (201)

“Ekstasi Samsakaras (impresi mental) tidaklah mungkin (menurut


kaum Baudhas (Buddhist), karena tidak hadirnya persepsi
benda-benda eksternal”.

Keterangan : Kaum Buddhist menyatakan bahwa wasana adalah


samsakara atau impresi yang bersifat Anadi (tanpa mula, tanpa
penyebab), padahal bagaimana mungkin sesuatu yang dikatakan
tidak berunsur eksternal dapat menghadirkan impresi.

Kshanikatwacca
II.2.31 (202)

“Dan berdasarkan kesementaraan dari kesadaran ego


(Alayawijnana), maka ego tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai persemayaman dari
Samskaras (atau impresi mental)”.

www.shantiwangi.com
Keterangan : Impresi mental ini tidak dapat hadir tanpa ia
memiliki basis (dasar) atau persemayaman. Bahkan Alayawijnana
ini juga bersifat sementara, kecuali ada suatu prinsip yang secara
sama rata menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa-masa
yang akan datang.

Sarwathanupapattescha
II.2.32 (203)

“Dan karena sistim Baudha ini terasa tidak logis dalam berbagai
pernyataannya, maka hal tersebut kami tolak”.

Keterangan : Pernyataan kaum Sunyawada (Nihilis) bahwasanya


tidak ada yang eksis di semesta ini berlawanan dengan ajaran
Sruti, karena dianggap tidak logis, karena bertentangan juga
dengan prinsip-prinsip yang mereka anut”.

www.shantiwangi.com

Anda mungkin juga menyukai