Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HARI RAYA KARO SUKU TENGGER


DI LERENG GUNUNG BROMO
Dosen Pengampu : Putu Sanjaya, S.Ag., M.Pd.H

OLEH

YOGA KUSUMA ANGGARA

NIM 18.1.1.1.1.04

JURUSAN DHARMA ACARYA

PRODI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI

MPU KUTURAN SINGARAJA

SINGARAJA

2021
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
telah memberikan karunianya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah saya
tentang tentang hariraya karosuku tengger dilereng gunung bromo.

Dalam kesempatan ini sayai mengucapkan terima kasih kepada


narasumber, buku maupun di internet yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu
saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, guna kesempurnaan
makalah ini, sehingga makalah ini akan menjadi bekal pengalaman bagi saya
untuk lebih baik dimasa mendatang dan sebagai pembelajaran bagi saya untuk
pembuatan makalah kedepannya

Om Santih Santih Santih Om

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian karo..................................................................................................3
2.2 hubungan karo dengan ajaran tri hita karana.....................................................4
BAB III PENUTUP
3.1    Kesimpulan.....................................................................................................7
3.2    Saran................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap suku memiliki keyakinan terhadap manusia pertamanya, pada


masyarakat tengger berpatokan terhadap prasasti walandidt yang berbunyi “hulun
hyang abdhi Dewata tanah hila hila”memuja dan menjunjung tinggi sebagai abdi
dewata tanah tengger. (menurut Hartono salah satu sesepuh adat desa tosari 3
november 2020).

Joko Seger dan Roro Anteng dipercaya masyarakat sebagai leluhur yang
melahirkan anak-anak Tengger. Nama Tengger sendiri mereka percayai berasal
dari penggalan nama Roro Anteng (Teng) dan Joko Seger (Ger). Menurut
legenda, pasangan ini setelah menikah berharap bisa segera memiliki keturunan.
Namun karena tidak juga mendapatkan anak, Joko Seger pun mengumbar
sumpah: Jika dia diberi 25 anak oleh dewa, maka dia akan mengorbankan salah
satu anaknya ke kawah gunung Bromo sebagai persembahan. Sumpah Joko Seger
didengar langit. Tidak lama kemudian, Roro Anteng pun dikaruniai 25 anak.
Terlena hidup bahagia bersama anak-anak dan istrinya, Joko Seger lupa akan
sumpahnya. Alam pun marah. Desa tempat mereka tinggal di kaki kawah Bromo
dilanda banyak bencana. Pada akhirnya, anak bungsu Joko Tengger merelakan
diri untuk dikorbankan ke kawah Bromo. Akan tetapi sebelum masuk ke kawah
Bromo, dia berpesan “bapa biyung lan dudlur dulurku kabeh sing ana ing bumi
tengger reang wus ikhlas nampa iki kabeh reyang wus seneng, reang njaluk
tulung supaya kabeh iklhas nampa kadadean iki, lan kabeh dulurku ing tlatah
tengger engetana saben dina iki sedekahna separo hasil bhumi menyang kawah
gunung brama saben sasi kasada, kanggo nengeti reang uga rasa wales budhi
menyang dhewata sing mapan ana kawah gunung brama”. Yang mengandung
arti dan makna sebagai pengingat untuk melaksanakan yandnya atau sedekah

1
bumi setiap hari kasada

Desa Tosari adalah salah satu desa yang didiami oleh masyarakat Adat
Suku Tengger. Desa Tosari berada di ibukota Kecamatan Tosari, Kabupaten
Pasuruan, yang merupakan masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru. Keberadaan setting sosial tersebut yang kemudian mampu
memberikan warna yang berbeda kepada masyarakat sekitar gunung Bromo baik
dalam hal agama maupun adat istiadat dan kepercayaan berupa foklor misalnya.
Foklor yang berkembang di masyarakat desa ini misalnya ”Toyokoyo” yang
berarti air yang mendatangkan kekayaan. Selain itu daerah ini memang kaya akan
sumberdaya air. Seiring dengan perjalanan waktu istilah Toyokoyo kemudian
berubah Toyosari, yang memiliki arti untuk penjernihan dalam pengartian sebuah
istilah yang mempunyai arti lebih tinggi. Pada proses pelafalan atau penyebutan
masyarakat desa ini sering disingkat dengan sebutan Tosari, dengan alasan untuk
mempermudah pengucapan atau penyebutan, sehingga sampai pada saat ini desa
ini disebut dengan Desa Tosari. Upacara karo pada saat ini masih di lakukan
masyarakat tengger khususnya di Tosaari karena upacara karo adalah upacara
yang sakral.pelaksanaan hari raya karo sediri memiliki perhitungan jawa dalam
melaksanakan upacara karo.sampai sekarang upacara karo tetap dilaksanakan
setiap tahunya,dengan ditentukan perhitungan jawa yang di lakukan kemudia
menemukan hari karo yang di laksanakan mulai dari pemukaan karo sampai
dengan penutupan karo.jadi upacara ini adalah upacara yang sakral dan tidak bisa
di hilangkan di masyakrakat suku tengger(Mukhtaromi, Soeaidy, & Hayat, 2013).
Dimana dalam penelitian ini merumuskan masalah hubungan upacara adat dengan
bidang keilmuan wariga dalam prespetif hindu implementasi tri hita karana.

Yadnya karo menurut tokoh desa bapak romo Puja Pramana adalah
upacaraagama hindu tengger yang memperingati terciptanya alam semesta.
Masyarakat tengger menggunakan pakaian adat hindu dengan baju hitam dan ikat
kepala atau udeng melilit di kepala. Yadnya karo di lakukan pada bulan karo di
penanggalan suku tengger. Dengan rangkaian upacara yang di awali dengan ritual

2
kumpul karo di rumah masing-masing kepala desa. Di lanjutkan dengan ritual
tekaning ping pitu bertujuan mengundang arwah para leluhur agar datang
kerumah masing-masing warga dan pada puncak upacara karo di laksanakan ritual
sodoran atau nginum. Di Jawa Timur tepatnya di Gunung Bromo, hidup dan
berkembang sebuahadat yang sangat tersohor dan tetap dilestarikan hingga kini
yakni upacara Karo, sebuah upacara hari raya terbesar masyarakat Tengger yang
konon masih memiliki darah keturunan dengan kerajaan Majapahit. Oleh karena
itu, karena masih memiliki hubungan darah dengan kerajaan Majapahit inilah
agama yang dianut oleh hampir keseluruhan masyarakat Tengger ini adalah Hindu
Majapahit. Maka dari itu sebagaimana halnya kebudayaan dari Hindu Majapahit
pada umumnya, di wilayah Tengger ini pun di percaya sebagai Hila-hila, yang
dalam bahasa Tengger berarti tanah yang suci. Masyarakat adat Tengger sendiri
paling tidak memiliki 6 ritual adat dalam setahunnya untuk memberikan pemujaan
kepada Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati roh leluhur sekaligus meminta
berkah dan keselamatan. Dan yang terbesar dan tersohor dari keenam upacara adat
itu diantaranya adalah Ritual Adat Karo itu sendiri yang akan saya bahas dalam
kesempatan kali ini. ’’Upacara Karo adalah perayaan besar Desa, kata Karo
berarti dua atau keduanya. Nama itu diambil karena kegiatan tersebut
diselenggarakan pada bulan Karo (Bulan kedua dalam sistem kalender Suku
Tengger. Upacara ini diselenggarakan karena wujud syukur atas berkah yang
diberikan Tuhan sepanjang tahun.’’ Ritual upacara Adat Karo sendiri dipimpin
oleh beberapa Ratu yang telah ditunjuk oleh mereka. Kata Ratu sendiri di mata
masyarakat Tengger berarti pemimpin dan sama sekali tidak berkonotasi
perempuan. Jadi Ratu dalam hal ini adalah pemimpin yang bisa saja berkelamin
laki-laki. Ritual karo sendiri dibuka dengan pertemuan kedua orang Ratu dalam
sebuah tempat yang nantinya akan dipakai sebagai tempat berlangsungnya
upacara. Pertemuan kedua ratu ini menjadi tanda dimulainya Upacara. Sodoran,
salah satu bagian dari rangkaian Karo. Perjumpaan tersebut melambangkan
bersatunya roh leluhur, cikal bakal manusia, yakni laki-laki dan perempuan.
Sambil bergandengan tangan, kedua ratu memasuki tempat tersebut. Dalam ritual
ini yang boleh mengikuti jalannya upacara hanya kaum laki-laki saja dan kaum

3
perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengikutinya. Dan setelah semua
hadirin dipastikan telah hadir semua maka upacara ini pun dibuka dengan
pembacaan mantera yang dilakukan oleh kedua Ratu mereka untuk mensucikan
tempat dimana upacara itu berlangsung. Setelah itu barulah diadakan upacara
memandikan Jimat Kelontongan diiringi dengan tarian sodor. Jimat kelontongan
sendiri merupakan sekumpulan benda keramat. Sedangkan tarian sodor adalah
sebuah tarian yang dilakukan oleh 4 orang secara bergiliran (dari semula hanya
satu penari kemudian secara simultan bertambah hingga kemudian genap menjadi
4 penari dan saling berpasangan satu sama lain) yang melambangkan pertambahan
generasi masyarakat Karo dari waktu ke waktu. Sementara upacara sodoran ini
hampir usai di luar kaum ibu-ibu beserta anak mereka pun mulai berdatangan
sambil membawa makanan buat suami dan ayah mereka yang sedang melakukan
upacara sodoran. Mungkin inilah alasan kenapa selama berlangsungnya acara
sodoran ini kaum perempuan tidak diperbolehkan ikut, karena mereka harus
menyiapkan makanan yang akan disantap oleh suami dan ayah mereka seusai
upacara selesai. Pada sore harinya secara marathon upacara sodoran ini pun
dilanjutkan dengan upacara tumpeng gede untuk mengungkapkan perasaan syukur
mereka dangan hasil panen yang melimpah dan dianugerahi tanah yang subur.
Tumpeng-tumpeng ini dikumpulkan dari warga, lalu dimantrakan oleh dukun adat
desa setempat. Tumpeng yang sudah dimantrai, dibagi-bagikan kepada warga
untuk digunakan dalam ritual selanjutnya, Sesandingan. Ritual Sesandingan inilah
yang diyakini masyarakat Tengger sebagai Puncak Karo. Begitu upacara tumpeng
gedhe selesai pada keesokan harinya warga pun menggelar upacara Sesandingan
di rumah masing-masing yang bertujuan untuk memberikan makanan atau
dedaharan kepada leluhur mereka. Yang unik dari upacara ini adalah upacara itu
harus dipimpin oleh dukun adat mereka masingmasing yang dalam satu desa atau
Hilahila biasanya hanya terdapat satu dukun adat saja. Bayangkan, ang dukun
harus mendatangi rumah warganya satu persatu untuk memimpin upacara
tersebut. Maka dari itu tak heran kiranya jika satu dukun dalam masyarakat
Tengger dalam upacara ini harus berkeliling mendatangi rumah warganya satu
persatu memakan waktu hingga 15 jam nonstop. Padahal tugasnya tidak berhenti

4
pada ritual Sesandingan, tapi berlanjut hingga akhir acara Karo. Yang perlu anda
tahu, untuk menjadi dukun adat ini seseorang setidaknya harus menghafal sekitar
90 bab mantra, yang berbahasa Jawa Kuno. Mungkin itulah sebabnya, sosok
dukun adat yang begitu sentral perannya dalam masyarakat Tengger tak banyak
yang mampu melakoninya. Baru setelah acara puncak sesandingan selesai, pada
hari keempat dan kelima masyarakat Tengger berkeliling kampung untuk
bersilaturahmi dengan sanak kerabat mereka layaknya hari lebaran pada agama-
agama lainnya berikut sowan ke kuburan untuk nyekar kepada makam leluhur dan
anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Berziarah ke makam leluhur atau
nyadran, adalah bagian dari ritual Karo yang dilakukan sehari sebelum ritual
penutup, yakni hari ke-6. Makam pertama yang didatangi adalah makam kramat
Sang Eyang Guru. Masyarakat Tengger percaya, doa dan harapan mereka akan
dikabulkan, bila rajin memberikan sesajian kepada Sang Guru. Yang menarik
dalam ritual tersebut adalah, saat dukun adat melemparkan uang logam dan ayam
yang telah dimanterakan sebelumnya, untuk diperebutkan anak-anak dan remaja.
”Dalam kegiatan ini, berbagai ritual juga dilakukan seperti Doa Petren, Kauman,
Tayuban, Tumpeng Gede, Sesanti, Sedekah Panggonan (Tamping), dan berakhir
dengan ritual Sadranan serta Ojung. Tradisi ini dilakukan di empat wilayah
Kabupaten yaitu Ngadisari (Probolinggo), Wonokitri (Pasuruan), Ngadas
(Malang), dan Ranupane (Lumajang)” Dari makam Sang Guru, nyadran kemudian
dilanjutkan ke makam keluarga. Ini bukanlah aksi gaya-gayaan warga Tengger.
Ini adalah atraksi tarian Ujungujungan, yang mengawali rangkaian penutupan
upacara Karo pada hari ketujuh. Disebut Ujung-ujungan karena para penari yang
bertelanjang dada, secara bergantian memukul lawannya, menggunakan ujung
rotan. Tarian ini sendiri merupakan ungkapan rasa syukur mereka karena telah
berhasil dan lancar melaksanakan upacara Karo, oleh karenanya tak ada istilah
kalah dan menang dalam kegiatan ini. Semuanya saling pukul dan begitu
permainan usai tak ada dendam sama sekali di hati mereka meski badan harus
wilur-wilur perih karena pukulan rotan sang lawan. Kemudian menjelang Magrib,
sebagai penanda selesainya rangkaian upacara Karo warga berduyun-duyun
mendatangi rumah dukun adat membawa kemenyan untuk dimantrakan oleh sang

5
dukun adat. Kemenyan ini sendiri nantinya akan dipakai oleh keluarga masing-
masing dalam upacara memulangkan arwah leluhur. Dengan ritual pemulangan
roh leluhur atau biasa dikenal dengan istilah Mulehi Ping Pitu tersebut, maka
rangkaian upacara Karo pun berakhir sudah.

Warga adalah ilmu pengetahuan yang ilmunya miliaran tahun lebih tua
dari ilmu agama yang baru kurang lebih berumur 3500 tahun. Warga yang ada di
Bali berasal dari Jawa dan dari Jawa ke Bali. sebelum orang Hindu datang ke
Indonesia orang Indonesia sudah mengenal ilmu bintang namun sifatnya
sederhana sekali dan datangnya orang Hindu memperluas serta memperdalam
ilmu wariga. (I.B.P Bangli 2005) ilmu warga tidak sebagaimana ilmu lain yang
oleh karena untuk menjadi ahli waris akan memakan waktu puluhan tahun ilmu
yang sangat sukar dan besar sekali dipercaya karena banyak sekali segi abstrak
dan sangat luas sekali di dalam Hindu ilmu perbintangan ini di termuat dalam
kitab jyotisa.

Sasih adalah masa, yang dalam setahun sasih terdiri dari 12 masa atau 12
sasih. Dimana perubahan sifat bulan dalam setiap pengunyan sasih juga
disebutkan akan dapat mengakibatkan perubahan musim yang berdampak pada
suka dan duka dalam kehidupan ini.

Dan dengan tujuan supaya sasih-sasih tersebut memberikan pengaruh yang


baik bagi kehidupan manusia oleh umat Hindu di Bali biasanya dilaksanakan
upacara caru sasih untuk setiap bulannya.

Dalam wariga dan penanggalan saka Bali, beberapa perhitungan sasih ini


disebutkan sebagai berikut :

1. Sasih Wuku : mengikuti jalannya wuku yaitu 2 x 210 hari = 420 hari. Tiap


sasih umurnya 35 hari.
2. Sasih dalam perhitungan Surya Candra,
 Sasih Candra : mengikuti peredaran bulan mengeliling bumi
lamanya 354/355 hari, setiap bulan umurnya 29/30 hari tepatnya 29
hari 12 jam 44 menit 9 detik
 Sasih Surya : mengikuti perderan bumi mengeliling matahari
lamanya 365/366 hari. Tepatnya dalam setahun 365 hari 5 jam 43

6
menit 46 detik. Tiap bulan umurnya berkisar 30/31 hari dan sasih
kawolu umurnya 26/29 hari.
Nama – nama sasih (jawa) (Bali) (sekitar bln)

1. Srawana - kasa - Juli


2. Bhadrawada - karo - Agustus
3. Asuji/aswino - Katiga - September
4. Kartika - Kapat - Oktober
5. Marggasirsa - Kalima - November
6. Posya - Kanem - Desember
7. Magha - Kapitu - Januari
8. Palguna - Kawolu - Februari
9. Caitra - Kasanga - Maret
10. Waisaka - Kadasa - April
11. Jyesta - Desta - Mei
12. Asadha - Sada - Juni.

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Siwaratri


Hari raya karo diperingati sebagai hari lahirnya dunia, peringatan karo
diperingati setiap perhitungan sasih karo/Bhadrapada yakni bulan agustus hingga
September. Upacara pawedalan jagat ini dirayakan oleh suku tengger hindu yang
ada di lereng gunung bromo.Tengger di percaya sebagai Hila-hila, yang dalam
bahasa Tengger berarti tanah yang suci. Masyarakat adat Tengger sendiri paling
tidak memiliki 6 ritual adat dalam setahunnya untuk memberikan pemujaan
kepada Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati roh leluhur sekaligus meminta
berkah dan keselamatan. Dan yang terbesar dan tersohor dari keenam upacara adat
itu diantaranya adalah Ritual Adat Karo itu sendiri yang akan saya bahas dalam
kesempatan kali ini. ’’Upacara Karo adalah perayaan besar Desa, kata Karo
berarti dua atau keduanya. Nama itu diambil karena kegiatan tersebut
diselenggarakan pada bulan Karo (Bulan kedua dalam sistem kalender Suku
Tengger. Upacara ini diselenggarakan karena wujud syukur atas berkah yang
diberikan Tuhan sepanjang tahun.’’ Ritual upacara Adat Karo sendiri dipimpin
oleh beberapa Ratu yang telah ditunjuk oleh mereka. Kata Ratu sendiri di mata
masyarakat Tengger berarti pemimpin dan sama sekali tidak berkonotasi
perempuan. Jadi Ratu dalam hal ini adalah pemimpin yang bisa saja berkelamin
laki-laki. Ritual karo sendiri dibuka dengan pertemuan kedua orang Ratu dalam
sebuah tempat yang nantinya akan dipakai sebagai tempat berlangsungnya
upacara. Pertemuan kedua ratu ini menjadi tanda dimulainya Upacara. Sodoran,
salah satu bagian dari rangkaian Karo. Perjumpaan tersebut melambangkan
bersatunya roh leluhur, cikal bakal manusia, yakni laki-laki dan perempuan.
Sambil bergandengan tangan, kedua ratu memasuki tempat tersebut. Dalam ritual
ini yang boleh mengikuti jalannya upacara hanya kaum laki-laki saja dan kaum
perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengikutinya. Dan setelah semua

8
hadirin dipastikan telah hadir semua maka upacara ini pun dibuka dengan
pembacaan mantera yang dilakukan oleh kedua Ratu mereka untuk mensucikan
tempat dimana upacara itu berlangsung.

2.2 Nilai-nilai Tri Hita Karana


Trihita karanana sendiri merupakan sebuah teori yang mengajarkan ajaran
suci yakni parahyangan,pawongan ,dan pelemahan, hubungan manusia dengan
tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.

Pada upacara yadnya karo terkandung banyak sekali implementtasi ajaran


agama hindu salah satunya ialah trihita karana.

2.2.1 parahyanagan (hubunganmanusia dengan tuhan).


Pada implementasinya hari raya karo ini ber tujuan untuk mengingat
hakekat arti hidup dan sang pemberi hidup. Dengan dilaksanakanya
persembahan suci yang di tujukan kepada tuhan dalam sarana yadnya
inilah umat hindu tengger menjaga keharmonisan antara manusia
dengan sang pencipta
2.2.2 Pawongan ( hubungn manusia dengan manusia)
Pelaksanaan karo tidak berhenti di perdsembahanya saja namun pada
saat pelaksananinilah umat dengan penuh sukacita melakukan
gotongroyong persihan punden atau tempat suci pura, dan pelinggih
pedanyangan. Sera umat juga saling ber anjangsana dari rumah
kerumah untuk menjalin ikatan bai kantar sesame manusia
2.2.3 Palemahan( hubungan manusia dengan alam)
Pelaksanaan karo dilaksanakan upacara perembahan tumpeng yang
berisikan hasil bumi,berupa asahan yakni tumpeng tang berisika hasil
bumi yang sudah dimasak dan juga hasil ternak, seperti buah2ahn,
panggang, sambal goreng wortel kentang,dan lain sebaginya. Yang
dihaturkan kepada Ida Shang Hgyang Widi Wasa, sebagai ucap syukur
kepada alam semeesta dihari pawedalan jagad karo.

9
BAB III

PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Hari raya karo yang memiliki arti kedua atau dua duanya yang di ambil
sebagai hari peringatnyan lahirnya bhumi. Hariraya karo merupakan hari raya adat
suku tengger yang merupakan sarana untuk menghaturkan parasuksemaning idep
kepada sang pencipta guna menyelaraskan hubungan bhuwana alit dengan
bhuwana agung.

3.2    Saran
       Kita sebagai generasi muda sudah sepetutnya memahami esensi dari setiap
ajaran luhur nenek moyang atau leluhur yang sudh dilaksanakan semanjak jaman
dahulu. Sebegai generaasi milenial kita tidak boleh mininggalkan butiran berllian
yang ada dinusan tara. Dan janagn ter kecoh oleh gemerlap pecahan kaca budaya
luar.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I. (2005). pokok pokok wariga. surabaya: paramita.

Bangli, I. (2005). wariga dewasa praktis . surabaya: paramita.

Mukhtaromi, A., Soeaidy, ochammad saleh, & Hayat, A. (2013). Sinergi


Pemerintah Daerah Dan Lembaga Adat Dalam Melaksanakan Pelestarian
Kebudayaan (Studi pada Budaya Suku Tengger Bromo Sabrang Kulon Desa.
Administrasipublik.Studentjournal.Ub …, 1(2), 155–163. Retrieved from
http://administrasipublik.studentjourn al.ub.ac.id/index.php/jap/article/view/ 40

Novitasari, d. (2020). HARMONISASI MASYARAKAT TENGGER. JURNAL ILMU BUDAYA,


8(1), 140-152.

11

Anda mungkin juga menyukai