Anda di halaman 1dari 57

BAHAN AJAR

MATA KULIAH DARSANA

DRS. INYOMAN WARTA.M.HUM


NIP.196509101991031002

SEKOLAH TINGGI HINDU DHARMA KLATEN


JAWA TENGAH
TAHUN
2020

1
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu
Om Ano Badrah Kratawo Yantu Wiswatah
Atas asung kerta wara nugraha Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga kami dapat
menyelesaikan Materi Bahan Ajar judul “ DARSANA” yang merupakan sistim filsafat
Hindia yang penuh makna, semoga sistim filsafat Hindia ini dapat diimplentasikannya
oleh Mahasiswa dalam kehidupan seharai hari.
Setiap asfek kehidupan Hindu tidak terlepas dari filsafat yang dilaksanakan
masyarakat Hindu tidak bisa dilepaskan dengan hadirnya tiga bentuk Krangka dasar
tersebut. Artinya sulit untuk membedakan antara ajaran agama, kebudayaan dan filsafat,
karena ketiganya terintergritas ke dalam satu rutinitas kehidupan.
Keunikan tersebut justru menjadi daya tarik bagi orang untuk meneliti dan
mengkajinya. Keunikan merupakan identitas kultur atau semacam cultural studies yang
hendaknya dilestarikan sebagai tradisi-tradisi kepilsafatan yang penuh makna. Tertarik
pada fenomena tersebutBahan Ajar ini disarikan dari berbagai buku , sebagai upaya
merespon berbagai keinginan untuk mengungkap mengapa sistim filsafat Hindu ini sangat
penting ditelaah untuk menyikapi berbagai fenomena alam serta kemajuan diberbagai lini
ilmu pengatahun dan Tehnologi. Akhirnya Bahan Ajar ini dapat diselesaikan, dengan
harapan semoga karya ini bermanfaat bagi semua fihak. Dengan segala kerendahan hati,
penulis menyadari bahwa Bahan Ajar ini masih jauh dari harapan, karenanya tentu saja
memerlukan berbagai masukan dari semua fihak. Atas perhatian dan kerja samanya yang
baik diucapkan terima kasih dengan tulus.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan anugrahnya sebagai pahala
karma yang baik.
Om Santi-Santi-Santi Om
Klaten, 15 Juli 2020

Drs. I Nyoman Warta, M.Hum


NIP. 196509101991031002

2
DAFTAR ISI
BAB. I PRAVACANA
PENDAHULUAN...........................................................................1
Metoda Darsana..............................................................................1

BAB. II NYAYA
MetafisikaNyanya...........................................................................5
Ketuhanan dalam Nyaya.................................................................6
Epistemologi Nyaya........................................................................8
Etika Nyaya.....................................................................................9

BAB. III WASASIKA


Pendahuluan.................................................................................11
Metafisika. ...................................................................................11
Epistemologi.................................................................................14
EtikaWasasika ..............................................................................15

BAB. IV MIMANSA
Pendahuluan................................................................................16
Metafisika Mimamsa...................................................................18
Epistemologi Mimamsa...............................................................18
Etika Mimamsa............................................................................20

BAB. V SAMKYA
Pendahuluan...............................................................................22
Metafisika Samkya.....................................................................22
Epistemologi Samkya.................................................................27
Etika Sankya...............................................................................28

BAB. VI AJARAN YOGA


Pendahuluan...............................................................................29
Metefisika Yoga.........................................................................30
Epistemologi Yoga.....................................................................31
Etika Yoga..................................................................................32

BAB. VII ADWAITA WEDANTA


WEDANTA DARSANA
Pandangan Umum......................................................................38
Metafisika Adwaita Wedanta.....................................................39
Efistemologi Adwaita Wedanta..................................................41
Etika Adwaita Wedanta..............................................................42

3
BAB. VIII WASISTADWAITA WEDANTA
Pendahuluan................................................................................43
Epistemologi Wasistadwaita Wedanta........................................44
Etika Wasistadwaita Wedanta.....................................................45

BAB. IX DWAITA WEDANTA


Pendahuluan................................................................................47
Metafisika Dwaita Wedanta........................................................47
Epistemologi Dwaita Wedanta....................................................49
Etika Dwaita Wedanta.................................................................50

Bio Data Penulis..............................................................................................52

*******

4
BAB I
PRAVACANA
1. Pengertian Darsana
Sarva Darsana Samgraha adalah kumpulan sistem filsafat Hindu, yang terdiri
dari Sad Darsana, yang bersumberkan ajaran Veda dan Siva Darsana yang bersumberkan
pada Saivagama.
Darsana, secara mendekati dapat diterjemahkan sebagai sistem filsafat dalam arti
bukan sebagai spekulasi atau angan-angan dari para bijak (cendikiawan) tentang manusia,
alam semesta dan Tuhan, tetapi merupakan pandangan spiritual terhadap Jiwa, Jagat dan
Siva atau Brahman, yang keberadaan dan kebenarannya hanya dapat dibuktikan dengan
menjalani kehidupan spiritual atau sadhana yang intensive, karena diri manusia itu sendiri
merupakan laboratorium pengujian terhadap kebenaran.
Pada awalnya ajaran spiritual, termasuk juga Darsana, tidak dapat diteriama
secara ilmiah oleh ilmuwan karena methodeloginya dianggap subjektif, intuitif dan tidak
teruji didalam laboraturium, namum dalam perkembangan selanjutnya, methode subyektif,
intuitif dan mengalami sendiri diterima sebagai cara yang benar oleh para ilmuwan itu
sendiri dalam mendekati Kasunyatan.

2. Methodelogi Dalam Ajaran Spiritual


Pengertian dan pemahaman tentang “ kebenaran” di dalam ajaran spiritual bersifat
subjektif, karena “Kasunyatan” atau “Kebenaran” ini adalah “Dirinya” atau “Kebenaran
Murni” atau kesadaran yang menerangi pikirannya, kecerdasannya serta nalarnya seperti
yang dinyatakan dalam Brhadaranyaka Upanisad IV.5.15,…..vijnataram are kena vijaniyat,
….” Yang artinya,…wai para pencari Kesunyatan, dengan siapa atau dengan cara
bagaimanakah Dirinya Sendiri dapat diketahui?; jawabannya untuk mengalami pencerahan
dari sang diri yang ada dalam dirinya sendiri, seseorang harus mengalami sendiri” bukan
dengan cara biasa.
Pendekatan Subyektif tidak berarti, ajaran spiritual tidak menggunakan method
penelitian. Ajaran spiritual tidak menggunakan methode penelitian ilmiah, seperti method
induksi, pengamatan maupun percobaan yang merupakan method terdapat dalam
mendekati “ Kebenaran”. Pendekatan ini mengharuskan si pencari Kebenaran mempelajari
bekerjanya pikiran hakekatnya, karakteristiknya, aspirasinya dan menghaluskan
komponen-komponen kepribadiannya. Disamping tersebut harus memperhatikan disiplin
tertentu dan jalan kehidupan tertentu. Hal ini dapat kita dapatkan dalam Brahma Sutra.I.

3. Atha Brahma jijnasa


Pencari kebenaran harus mengembangkan jiwanya untuk mencapai Brahman dan
melakukan usaha-usahan secara intensif untuk mewujudkan Kesunyataan. Untuk
memandu dan memberikan insprasi si pencari kebenaran pada jalan yang sukar ini,
Upanisad mengatakan beberapa contoh pencari kebenaran, seperti Naciketa, Swetaketu,
Uddalaka, Gargi, Maetreya dan lain-lain, yang dengan sunguh-sungguh menunjukkan
proses untuk mempelajari ilmu pengetahuan (jnana) dari seorang guru yang berwenang,
melalui Tanya jawab, keraguan dan nalar, pencerian dan penemuan fakta, Langkah logis
yang menuntun menuju pengetahuan Yang dialami, juga dinyatakan dalam
Brhadaranyaka Upanisad IV.5.6:,…atma va are drstavyah srotavyo mantavvyo
nidhidhyasitavyah…”, yang artinya…wai pencari kebenaran, engkau harus mendengar
dan mengumpulkan semua pengetahuan tentang diri”. Dari seorang guru kemudian
mempertingbangkan secacara mendalam semuanya yang telah dipelajari dan
kembangkanlah pengetahuan ini. Kemudian bayangkan hakekat dari Kesunyataan, engkau
harus mencoba diam secara tenang ( merenungkan) dalam pandangan ini sampai khayalan

1
sirna dan engkau akan mengalami pencerahan Kesadara yang ada di dalam dirimu dan juga
semua alam semesta disekitarmu”.

Di dalam Nyaya sastra, disamping menggunakan akal sehat, juga seperti methode
lain untuk memperoleh kebenaran seperti 1. methode pembuktian (pramana), 2. Methode
Penyaksian (prameya), 3. Methode penggunaan (prayojana), 4. Methode diskusi (Veda), 5.
Methode pengamatan (pratyaksa), 6. Methode pengalaman (pratyaya) dan lain sebagainya,
dalam hal mencapai kebenaran. Itulah sebabnya Adi Sankaracarya, pendiri Advaita
Vedanta menyatakan “ Apapun yang tidak didasarkan pada nalar, bukan ajaran spiritual”.

Jadi jelaslah ajaran spiritual, maskipun bersifat subyektif di dalam pengalaman,


bukan berarti subyektif pada suatu hal. Untuk memperoleh “Kebenaran” dimana seseorang
juga harus obyektif di dalam pengertian bahwa seseorang juga harus mempelajari dan
mengetahui sebanyak mungkin sang “Diri” jadi dengan mengikuti displin, berlatih dan
melaksanakan disiplin tersebut sampai ia mewujudkan sang “Diri” tersebut. Walaupun
setelah mengalami subyektifitas dari Kasunyatan sebagai kesadaran Kosmis yang
mendasari semua kejadian di alam semesta ini, untuk kebahagiaan semua mahluk.

Dengan demikian ajaran spiritual merupakan “ Pengetahuan dari subyektifitas


Kasunyatan yang harus dilaksanakan secara obyektif, sampai pencapaian tujuan dan juga
harus selayaknya dengan cabang ilmu pengetahuan humanitas lain., demikian pula dengan
pencari kebenaran lainnya. Ajaran spiritual tidak monolak dunia obyektif umumnya, tetapi
hanya menerimanya sebagai manifestasi Kasunyatan subyektif yang tidak terpisahkan
dengannya. Pengertian ini lebih tepat kalau disebut sebagai “subyektif-obyektif.

Pada saat ini, Sir William James, seorang psikologis terkenal mengatakan bahwa
permulaan abab ini” Pengalaman Subyektif penuh dengan kenyataan di mana seluruh
kenyataan dari pengalaman obyektif harus dimiliki. Bagaimana ajaran spiritual dapat
disebut pengalaman tidak lengkap, bila kesadaran adalah satu-satunya hal yang mengisi
seluruh alam semesta dan aktifitas nyata kita? Poros dari kenyataan luar bergerak melalui
ego, aktifitas subyektif semata”.(Varietties of Grligion Experience, hal 485-490 oleh Sir
William James).

Pada saat ini pula Kwantun Fisika telah menemukan bahwa pada tingkatan sub-
atom, unsure mencair kedalam prinsip yang lebih halus, dimana Gary Zukap mengatakan
kepada kita, dalam karyanya, “Overwiew of New Physics” bahwa Pikiran yang diamati
pengamatan adalah berhubungan dalam pengertian nyata dan mendasar” yang
menunjukkan perbedaan antara subyek dan objek lebih merupakan penampakan dari pada
kenyataan. Itulah sebabnya psikhiawan Dr Fritjof Capra menyatakan kepada kita bahwa;
kita tidak dapat membicarakan alam semesta tanpa membicarakan diri kita sendiri pada
saat yang bersamaan.

4. Intuisi Didapatkan dengan Nalar


Dalam kenyataan ajaran Weda dan Sivagama diperoleh dengan pewayuan dari
intuisi mistis, apa bila dibandingkan dengan methode ilmiah, yaitu dengan pengamatan
(termasuk percobaan laboratorium) pengumpulan data, nalar percobaan dan lain lain. Yang
menyebabkan ajaran spiritual dianggap tidak ilmiah. Hal ini timbul sebagai akibat salah
pengertian tentang intuisi. Sebagai contoh dalam kamus yang umum pengertian intuisi
disamakan dengan “ pengertian segera pikiran atau indra tanpa nalar”.

2
Pengertian umum intuisi adalah sebagai” Sugesti” dari penampakan di dalam
kehidupan, alam atau pikiran mental, yang dihubungkan pada dukungan eksternal terhadap
jiwa,”. Dimana Veda merupakan penerimaan langsung wahyu tersebut oleh para Maha Rsi
pada saat pencapain puncak relaksasi sadhi, yang berwenang untuk menerimanya dari
sumber yang sempurna tanpa cacat.
Jadi dalam ajaran spiritual intuisi (prajna atau pratibha), yaitu kemanpuan laten
(terpendam) dari setiap orang, yang diperoleh langsung dari kecermelangan kesadaran
kosmis, yang menerai pikiran, akal, nalar dan kecerdasan. Jadi merupakan kemanpuan
memandang secara mendalam terhadap suatu obyek, kejadian atau penampakan ,pada
mana ia dipusatkan; sehingga intuisi tidak dapat dipertentangkan dengan nalar atau
kecerdasan yang dilampaui oleh akikat makhluk yang identik dengan sumbernya. Bila
intuisi bekerja, wahyu datang dari kesadaran yang paling dalam secara spontam sebagai
kesadaran Aku adalah yang timbul dari sumber yang sama.
Jika pikiran manusia teramati menjadi sutu dengan Kesadaran Kosmis yang ada di
dalam dan disekitar serta pemusatan perhatian pada setiap persoalan, kebenaran dasar
datang sebagai cahaya atau meningkat secara perlahan-lahan sebagai pengetuan yang
terpadu pada myanyian seluruh keperluan Kemuadian dia menyaring kecerdasan yang
mungkin menyederhanakan pengembangan pengetahuan yang sedang dipikirkan.
Kenyataan mendasar dari kebenaran dalam Wedanta, dapat dilaksanakan dan dialami, yang
merupakan suatu bukti bahwa pengetahuan intuisi selalu bersesuain dengan nalar dan
kecerdasan manusia.
Seperti yang dinyatakan oleh Dr.R.D. Ranade, ex-Vice Chancellor of Allahabad
Universiti bahwa: “ Intuisi jauh dari pertentangan dengan nalar, perasaan, saling,
menyusupi karena sumbernya dapat dikembalikan pada hal yang sama.
Ajaran spiritual menyatakan bahwa intuisi sebagai Kecerdasan melihat (pasyati
buddhi) dan juga sebagai “Kecerdasan melihat kebenaran (rtamibharaha), yang memahami
kesunyataan secara spontan. Dan lengkap, tanpa menerima walaupun menelusuri ketidak
benaran. Didalam istilah modern dikenal sebagai”pemahaman super nalar.
Kini, para ilmuwan menyadari keterbatasan nalar, apabila sudah sampai pada
ajaran Kesunyataan, yang mendasari kejadian pada tingkatan sub-atom. Dilain pihak
psikhologist, biologis dan fisicis, pada masa kini semakin sadar peranan intuisi manusia
untuk memperoleh pengetahuan dan Kasunyataan. Dr. Cecil A Poole, seorang psikhologist
menyatakan intuisi sebagai “Suara kosmis dan manifestasi Pertama dari Kesadaran Kosmis
manusia.
Fisikawan Dr.Fritjop Capra, secara jujur mengatakan: Meskipun pengetahuan
nalar dan kegiatan akal merupakan bagian utama penelitian ilmiah, tetapi ini bukan
segalanya. Penguasaan Nalar dalam penelitian menjadi tidak berguna, jika tidak dilengkapi
dengan intuisi, yang memberikan cakrawala baru bagi para ilmuan dan membuatnya
kreatif.

5. Percobaan dan Pengalaman


Salah satu lagi kekawatiran para ilmuwan adalah: Adakah Kebenaran spiritual
yang hukum-hukumnya tunduk pada hasil percobaan. Seandainya ada, bagaimana kita
menerima pengalaman subyektif sebagai hal yang sah? Jawabannya adalah ajaran spiritual
itu sendiri, yang menyatakan sebagai berikut: Ajaran spiritual bukan tanpa percobaan
dengan hasil yang terukur. Percobaan-percobaannya disebut “ Sadhana” atau pelaksanaan
Yoga yang dilakukan pada diri seseorang, yang bertindak sebagai laboraturium hidup,
yang disinari kesadaran Murni. Di dalam ajaran spiritual, percobaan dan pengalaman
berjalan bersama-sama.

3
BAB II
NYAYA
Pendahuluan
Tokoh pendiri filsafat Nyaya adalah Maha Rsi Gotama atau Gautana/ Aksapada.
Maka sering sisebut dengan sistem Nyaya juga sistem Aksapada. Sistem filsafat ini
menaruh pengertian utama terhadap cara berpikir dan metoda untuk mengadakan
penelitian yang kritis. Penelitain yang kritis untuk mendapatkan pengetahuan tentang
rialitas atau kebenaran. Dengan demikian sistem Nyaya dinamai dengan Nyanyawidya.,
Tarkasastra (Ilmu yang penuh dengan pertimbangan) dan Anwiksaki ( Ilmu pengatahuan
yang kritis). Tiap ilmu sebenarnya adalah suatu Nyaya artinya suatu penelitian yang
analitis dan kritis.
Pemikiran yang kritis untuk mendapatkan pengatahuan tentang realirtas atau
kebenaran bukanlah hanya dimiliki oleh sistem Nyaya, tetapi juga oleh sistem fifsafat India
yang lainnya. Tujuan dari filsafat India adalah untuk melepaskan keterikatan dan
penderitaan di dunian untuk mencapai kelepasan. Kelepasan merupakan tujuan akhir dari
kehidupan manusia yang dicapai melalui pengetahuan yang benar.

1. Pokok-Pokok Ajaran Nyaya


Sumber utama ajaran Nyanya adalah Nyanyasutra buah karya Maha Rsi Gotama.
Kitab ini terbagi lima adhyaya atau bab yang setiap babnya berisi ahnikas atau bagian.
Ada beberapa kitab komentar dari Nyanyasutra yaitu: Nyanyabhasya oleh Wastyayana,
Nyanya-wartika-tatparya-tika oleh Uddyotakara, Nyanya-wartika-tatparya-tika oleh
Wacaspati, Nyanya-wartika-tatparya-parisuddhi dan Kusumanjali oleh Udayana dan
Nyanya-menjari oleh Jayanta. Semua kitab-kitab komentar ini menjelaskan dan
mengembangkan ciri-ciri ajaran Nyanya yang ada dalam kitab Nyanyasutra serta
mempertahankan cirri-ciri itu dari serangan, kritik oleh pihak-pihak yang menentangnya.
Dalam sistem Nyanya-sutra yang berasal dari dua sekolah yang berbeda, yaitu
sekolah kuno dan sekolah modern dari Nyanya. Dari Sekolah Nyanya kuno mengajarkan
tentang cara cita-cita yang ada dalam kitab Nyanya-sutra. Melalui beberapa proses yaitu:
Menyerang, membalas serangan dan bertahan di antara para pengikutnya dan kritis yang
keras. Sekolah kuna nyanya ini sering disebut dengan Pracina-Nyanya. Sedangkan
Sekolah modern disebut dengan Nawya-Nyanya mengajarkan cara menyebar luaskan cita-
cita Nyanya-Sutra melalui bentuk pemikiran yang logis yaitu perpaduan antara konsep,
waktu dan cara pemecahannya. Sekolah modern ini dipelopori oleh Ganggesa di Mithila
yang ajarannya ditulis pada sebuah kitab komentator yang disebut Tattwa Cintamani.
Kemudian Sekolah modern dari Nyanya ini pindah kedaerah Bangal dengan nama
Nawadwipa yang sangat terkenal dan merupakan pusat belajar dan mengajar ajaran
Nyanya. Dengan datangnya pemikiran baru maka pemikiran lama mulai terdesak
populeritasnya, tetapi dalam perkembangannya kedua dari sekolah Nyanya yang berbeda
ini dipadukan menjadi satu sistem yang disebut Nyanya-Waisasika.
Dalam sistem Nyanya-waisasika mengemukakan enam belas (16) pokok
pembicaraan (padartha) yang perlu diamati dan diteliti yaitu:
1. Pramana: adalah suatu jalan untuk mengetahui sesuatau secara benar.
2. Prameya: adalah sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan yang benar dari
obyek dari pengetahuan yang benar, yaitu kenyataan. Obyek dari setiap
pengetahuan dalam ajaran Nyanya adalah:
1. Atman (diri sendiri)
2. Sarira (badan)
3. Indria (alat tubuh)
4. Artha (obyek) kualitas dari bau,r asa, warna, sentuhan dan bunyi

4
5. Budhi (pengertian dan pengamatan) bagiann tibuh yang dapat mengerjakan
sesuatu
6. Manas (pikiran)
7. Prawertti (aktifitas)
8. Dosa (kerusakan mental)
9. Pretyabhawa yaitu kelahiran kembali
10. Phala yaitu pengalaman
11. Dukha pahit getir kesedihan yang dialami
12. Apawarga yaitu bebas dari penderitaan
3. Samsaya adalah keragu-raguan terhadap pernyataan yang tidak pasti
4. Prayojana adalah akhir penglihatan seseorang terhadap suatu benda yang
menyebabkab kegagalan aktifitasnya untuk mendapatkan benda tersebut
5. Drstanta adalah suatu contoh yang berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambara
yang umum. Misalnya ada asap pasti ada api didapur.
6. Siddhanta adalah mengajarkan sesuatu melalui pengatahuan yang benar. Misalnya
atman atau jiwa adalah substansi yang memiliki kesadaran yang berbeda dari hal-
hal keduniaan.
7. Awaya atau berpikir yaitu sistematis melalui metoda-metode ilmu pengetahuan.
8. Tarka atau alasan yang dikemukakan berdasarkan hipotesis untuk mendapatkan
kesimpulan yang benar
9. Nirnaya: Pengatahuan yang pasti, tentang sesuatu yang dapat dicapai melalui
metoda Ilmu pengetahuan yang sah.
10. Wada adalah suatu diskusi yang didasari oleh prilaku yang baik dan garis
pemikiran yang rasional untuk mencapai suatu kebenaran
11. Jalpa adalah suatu diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok hanya untuk
mencapai kemenangan atas yang lain
12. Witanda adalah sejenis perdebatan. Lawan berdebat tidak mempertahankan
posisinya tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa yang dilakukan oleh
lawan.
13. Hetwabhasa adalah suatu alasan yang kelihatannya masuk akal, tetapi sebenarnya,
tidak dapat diartikan sebagai kesimpulan yang salah.
14. Chala adalah suatu penjelasan yang tidak hadil dalam usaha mempertentangkan
pertanyaan antara maksud dan tujuan, jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
15. Jati : adalah suatu jawaban yang tidak hadil yang didasarkan analogi.
16. Nigrahashana adalah kekalahan dalam berdebat.

Sistem filsafat nyanya disebut pula dengan sistem realitas dalam artian bahwa
keberadaan dunia ini berdiri sendiri yang lepas dari pikiran. Tujuan hidup tertinggi nyanya
adalah kelepasan yang akan dicapai melalui pengatahuan yang benar. Apakah pengetahuan
itu benar atau tidak ini tergantung dari alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan
pengetahuan.

2. Metafisika Nyaya
Terjadinya Alam Semesta
Sistem Nyanya mengakui adanya pramana yaitu cara mendapatkan pengetahuan yang
benar prameya yaitu objek dari pengatahuan itu sendiri. Yang termasuk objek dari
pengatahuan itu menurut Nyayayikas adalah: Jiwa atau Atman, badan, indriya,, budhi,
pikiran, aktivitas, dosa, kelahiran kembali, perasaan suka dan duka (pahala, penderitaan,
dukha) dan kebebasan dari segala macam penderitaan (apawarga).
Disamping tersebut masih ada tujuh (7) kata gori yang termasuk objek: substansi
(drawya), kualitas (guna), aktivitas (karma), sifat umum (samaya), sifat perorarangan

5
(wiwesa), pelekatan (samawaya) dan ketiadaan (abhawa). Semua dari prameya ini
bukanlah sebagai bahan dari terwujudnya alam semesta, karena ia hanyalah objek
pengatahuan. Sebagai halnya jiwa, pengatahuan dan pikiran itu bukanlah benda demikian
pula waktu dan ruang yang merupakan dua substansi yang berbeda. Akasa atau eter juga
merupakan suatu substansi tetapi tidak dapat memproduksi apapun.
Menurut ajaran Nyaya alam semesta atau dunia ini disusun oleh empat substansi
(Catur Bhuta) yaitu: tanah, air, api dan udara. Keempat substansi ini bersifat kekal dengan
susunan atom-atomnya yang berbeda satu dengan yang lain. Sedangkan akasa, waktu, dan
ruang juga merupakan substandi yang abadi tidak terbatas serta meliputi setiap mahluk.
Dengan gabungan atom-atom dari keempat substnsi (catur bhuta) itu dengan tiga substansi
yang tidak terbatas (akasa, waktu dan ruang), maka terbentuklah alam semesta beserta
isinya.
Dengan demikian teori yang dikemukakan oleh sistem nyanya tentang
terbentuknya alam semesta sama dengan teori yang dikemukakan oleh Waisasika, maka itu
digabungkan kedua ajaran ini disebut dengan Nyaya-Waisasika.

2. Ketuhan Dalamn Nyaya


Dalam kitab nyaya sutra Karya Maha Rsi Gautama terdapat uraian singkat tetapi
tegas tentang keterangan adanya Tuhan. Tetapi dalam kitab Waisasika-Sutra uraian
semacam ini tidak kita dapati, walaupun demikian interprestasi terhadap hal itu sudah
menunjukkan adanya Tuhan. Menurut ajaran Waisasika semua jiwa perorangan akan
mencapai pengetahuan yang benar dan kelepasan bila Tuhan berkenan menganugrahinya.
Bila Tuhan tidak berkenan memberikan anugrah-Nya berupa pengatahuan yang benar dan
kelepasan, maka seseorang tidak dapat mencapai hal tersebut dalam hidupnya. Sehubungan
dengan hal itu muncul pertanyaan. Apakah Tuhan itu dan bagaimana kita mengetahui
keberadaan-Nya. Terkait kedua pertanyaan tersebut Nyaya menjelaskan sebagai berikut:

a.Tuhan dalam Pikiran


Tuhan adalah zat yang sangat istimewa yang menciptakan, memelihara dan
meleyapkan alam beserta isinya. Tuhan menciptakan alam ini dengan gabungan atom-atom
catur butha ditambah dengan ruang, waktu dan ether. Penciptaan alam semesta atau dunia
ini bersifat permanen yang keberadaanya selalu dihubungkan dengan Tuhan sebagai jiwa
alam semesta. Disamping itu alam atau dunia ini diciptakan untuk sang jiwa menikmati
kesenangan dan pahala dari perbuatannya dalam hidup ini.
Dia adalah Maha kuasa, penuntun dan menentukan pahala baik buruk dari semua
perbuatan mahluk. Dia adalah yang maha tahu, hanya dialah yang mengetahui atau
memiliki pengatahuan yang benar tentang sesuatu dan semua peristiwa. Dan memiliki
kesadaran dan pengamatan yang kekal sebagai kekuatan yang langsung terhadap semua
objek. Kesadaran yang abadi dalam Nyaya adalah wujud Tuhan yang berpribadi, dalam
artian dapat ditangkap oleh pikiran dan perasaan manusia, bukan wujud Tuhan yang
transenden sebagai yang dikemukakan oleh Adwaita Wedanta.
Tuhan memiliki enam macam kesempurnaan yang disebut dengan Sad Wara
yaitu: 1. keagaungan, 2.mahakuasa, 3.maha mulia, 4. maha indah, 5. maha tahu, dan 6.
maha sempurna. Tuhan diumpamakan sebagai seorang ayah yang bijaksana, dan cinta
kasih kepada putra-putrinya serta memberi anugrah sesuai dengan perbuatan manusia
yang berupa kenikmatan dan penderitaan di dunia ini.

b. Beberapa Bukti tentang keberadaan Tuhan.


Munculnya suatu pertanyaan yang amat penting dalam ajaran Nyaya ialah tentang
keberadaan Tuhan. Adapun pertanyaan itu adalah bagaimana cara membuktikan bahwa
Tuhan itu ada. Ajaran Nyaya memeiliki suatu cara tersendiri untuk membuktikan adanya

6
Tuhan, dimana hampir semua alasan yang dikemukakan tidak berbeda dengan alasan yang
dikemukakan oleh Nyaya tentang adanya Tuhan sebagai berikut:
1. Adanya Sebab Akibat
Alam semesta beserta isinya terjadi dari penggagungan atom-atom catur butha
ditambah dengan unsur rohani seperti jiwa, manas dan substansi yang tidak terbatas yaitu,
waktu, ruang dan akasa. Jika kita menghayati adanya gunung-gunung, laut, bulan dan
matahari dialam ini tentulah ada yang membuatnya. Adanya benda-benda dan mahluk
dialam semesta ini merupakan suatu akibat dari suatu sebab.
2. Adanya Adrsta
Alasan kedua yang dikemukakan oleh Nyayayikas (pengikut ajaran Nyaya)
tentanga adanya Tuhan adalah adanya beberapa keanehan di dunia ini yaitu banyaknya
perbedaan-perbedaan yang ada dan tak terhitung dialam ini. Di Dunia ini banyak orang
berbahagia dan banyak pula orang yang susah dan menderita, banyak orang yang bijaksana
banyak pula orang yang dungu. Apakah kiranya yang menyebabkan semua perpedaan
kehidupan, macam-macam peristiwa, dan setiap peristiwa memiliki sebab musababnya
tersendiri. Sebab-sebab yang mengakibatkan adanya kesenangan dan kesusahan dalam
hidup ini ialah yang berasal dari perbuatan kita sendiri pada masa sekarang dan terdahulu.
Dengan demikian kebahagian dan kesesahan adalah ditentukan oleh perbuatan kita masing-
masing.
Bagaimana akibat prilaku kita itu sampai kepada kita sepanjang waktu. Banyak
dari kebahagiaan dan kesusahan kita terima dalam hidup bukan saja berasal dari perbuatan
kita sekarang, tetapi merupakan dari perbuatan kita dimasa lampau. Pahala dari semua
perbuatan baik dari suatu kehidupan kehidupan lainnya disebut Punya. Sedangkan pahala
dari perbuatan buruk dari suatu kehidupan ke kehidupan yang lain disebut papa.
Pahala yang muncul dari adrsta ditentukan oleh Tuhan sampai kepada tuannya,
maka ia akan datang tepat pada waktunya. Hanya Tuhanlah yang dapat mengetahui adrsta
dan hanya Beliau pula yang berhak menentukan pahala baik dari semua perbuatan mahluk
di dunia ini. Manusia hanya dapat merencakan tetapi akhir keputusannya terletak di tangan
tuhan.

3. Pernyataan Yang Diberikan Oleh Kitab Suci Weda


Kitab Suci Weda menyatakan bahwa Tuhan itu ada. Pernyataan-pernyataan kitab
Suci Weda dapat diterima oleh semua pihak dan semua agama karena bersifat universal.
Kemudian dari itu munculah suatu pernyataan, apakah yang menjadi sumber dari
kenyataan Weda itu.
Menurut pandangan Nyaya semua pernyataan Weda berasal dari sumber tertinggi
yang diterima oleh para penulisnya. Keistimewaan dari kitab suci Weda memberikan jalan
bagaimana caranya melepaskan dairi dari keinginan yang bertentangan dengan kebenaran
dalam hidup ini. Tentukanlah pernyataan kebenaran yang dikemukakan oleh kitab suci
Weda, berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh ilmu pengetahuan biasa.
Kita menerima pernyataan-pernyataan kebenaran yang dikemukakan oleh Weda
dan ilmu pengetahuan untuk kemudian kita kombinasikan guna mencapai tujuan hidup
yang tertinggi. Pernyataan dari Weda merupakan karena berasal dari sumber yang
tertinggi. Kitab Suci Weda bersifat apurusya dalam artian bukan karangan manusia.
Tuhan sebagai pencipta Weda, karena setiap ayat Weda mengandung Brahman
atau Tuhan di dalamnya. Tuhan adalah jiwa yang tertinggi yang berada dimana-mana dan
merupakan kesadaran agung. Tuhan juga disebut Paramatman yang merupakan sebab
adanya sesuatu. Demikian keberadaan sifat-sifat Tuhan itu dinyatakan dalam kitab suci
Weda.
Dibawah ini ada beberapa ayat-ayat Weda yang menyatakan tentang Tuhan demikian:

7
1. Tuhan Yang Maha Esa, para arif bijaksana mengatakan dengan banyak nama,
Agni,Yama, Matariswa (R,Weda I.164.46).
2. Sesungguhnya Ia adalah Bapak Kami, Pencipta Kami, Penguasa Kami, siapakah
yang mengenal atas semua fungsinya pada-Nya. Ia Yang Maha Esa, Dewa dengan
berbagai nama Dewa-dewa. Ia juga yang dituju oleh semua yang ada dengan
bertanya-tanya (R.Weda.X.82)
3. Bersujudlah kepada-Nya yang membewa keselamatan, kepada Pasupati, Dewa
segala Mahluk. Bersujudlah kepada yang ganas tersebut, yang menaklukkan itu
( Y.Weda.13.10)
4. Ya Tuhan karunialah kami kekayaan yang mulia, pikiran yang baik, dan kemuliaan
spiritual. Harta benda yang berlipat ganda, kesehatan jasmani, suara yang merdu,
dan hari-hari yang cerah. (R.Weda. II.21.6)
5. Ya Tuhan, semoga kami mampu mendegarkan yang baik, dan Yang Maha Suci,
mampu melihat dengan baik. Dan semoga kami, dengan jasmani yang sehat dan
kuat,dengan mempersembahkan lagu kepada-Mu, menikmati hidup yang diberkati
oleh Tuhan (R, Weda.I.89.8).

Lebih lanjut Nyaya mengemukakan tentang adanya Tuhan, yaitu disebutkan dengan
bukti-bukti yang bersifat Kosmologis dan Teologis. Bukti Kosmologis menyatakan bahwa
alam semesta ini merupakan suatu akibat, maka keberadaan alam semesta, ada suatau tata
tertib. Tuhan oleh Nyaya disebut dengan nama Siwa, yang memiliki aspek Pencipta,
Pemelihara dan Pamralina.

4. Efistemologi Nyaya
Menurut sistem Nyaya ada empat alat untuk mendapatkan pengetahuan yang
berlaku atau yang benar: Pratyaksa (pengamatan langsung), Anumana (penyimpulan),
Upamana (perbandingan) dan Sabda (kesaksian). Dan ada empat pengetahuan yang tidak
benar yaitu: Smrti (ingatan), samsaya (keragu-raguan, brahma atau wiparyaya (kesalahan
dan tarka (hipotesa).
Pratyaksa dapat dibedakan menjadi dua bagian: Nirwikalpa ialah pengamatan
terhadap sesuatu hanya sebagai sasaran atau objek belaka tanpa penilaian, tanpa asosiasi
dengan sebuatan apapun. Misalnya seseorang melihat sesuatu tetapi mereka tidak tahu
apakah itu meja, bola, bangku, kursi, atau besar kecil, panjang pendek dan sebagainya.
Dalam hubungan ini seseorang hanya mengenal sesuatu sasaran pengamatan sebagai
sesuatu saja. Sedaangkan pengamatan Sawikalpa ialah pengamatan yang ditentukan atau
yang dibedakan sehingga seseorang dapat mengenal sesuatu sasaran yang dapat diamati
dengan segala cirri-cirinya, sifat-sifatnya serta namanya. Misalnya seseorang mengamati
golongan yang termasuk alat dapur yang berwarna hitam yaitu: priyuk. Pengamatan
semacam ini dianggap benar, jika mengemukakan corak-corak atau sifat-sifat yang benar-
benar dimiliki oleh sasaran itu sendiri.
Sistem Nyaya menyatakan adanya ajaran Anumana atau penyimpulan. Anumana
secara harfiah pengetahuan kemudian. Melalui pratyaksa atau pengamatan seseorang
mendapatkan pengetahuan langsung. Sedang pengamatan anumnana atau penyimpulan
memerlukan sesuatu yang berada diatara subjek yang mengamati dan objek atau sasaran
yang diamati. Umpama seseorang melihat gunung berapi mengeluarkan asap. Pengamatan
memberitahukan bahwa yang dilihat itu adalah gunung berasap. Akan tetapi penyimpulan
memberitahukan bahwa yang dilihat itu gunung berapi. Diantara mata yang mlihat dan
asap yang dilihat ada api ditengah-tengahnya. Adapun cara menyusun uraian sebagai
berikut:
1. Gunung itu berapi
2. Sebab Ia berasap

8
3. Apa yang berasap tentu berapi
4. Gunung itu berasap, sedangkan asap senantiasa menyertai api.
5. Kesimpulan gunung itu berapi.

Nyanya untuk mendapatkan pengatahuan yang benar adalah memalui Upamana


atau perbandingan yaitu alat pengetahuan yang menyebabkan seseorang tahu adanya
kesamaan antara dua hal. Perbandingan menghasilkan pengetahuan tentang adanya
hubungan nama dengan objek atau sasaran yang disebut dengan nama itu. Umpamanya
seseorang telah pernah mendengar nama tentang gawaya yaitu jenis lembu hutan, tetapi
belum pernah melihat hewan tersebut . Dira sorang dokter hewan menjelaskan kepadanya,
bahwa gawaya itu adalah sejenis hewan hutan yang serupa dengan lembu. Sedangkan
orang tersebut telah tahu benar tentang lembu. Pada suatu hari ia pergi kehutan untuk
berburu dan melihat hewan seperti lembu tetapi tidak tahu namanya kemudian mereka
teringat atas penjelasan dari dokter hewan kepada dirinya mengenai gawaya itu. Dan
menyatakan bahwa hewan yang mereka lihat adalah gayawa.
Contoh lain dari pengatahuan yang didapat dengan upamana, seseorang yang tidak
tahu harimanu itu seperti kucing. Pada suatu hari mereka kehutan melihat binatang
sepewrti kucing, kemudian mereka menarik kesimpulan bahwa itu adalah harimau.

Pramana terakhir Nyaya adalah Sabda atau kesaksian ada dua jenis anatara laian:
laukika dan waidika penjelasannya sebagai berikut:
1. Sabda/kesaksian laukika: adalah kesaksian yang diberikan oleh orang yang dapat
dipercaya, yang dinyatakan dalam kata-kata.
2. Sabda/kesaksian waidika adalah kesaksian yang dinyatakan oleh Weda. Menurut
kitab Nyaya kitab Weda adalah wahyu Tuhan itu kesaksian Weda dipandang yang
paling sempurna.
Disamping empat pengatahuan yang benar dalam Nyanya dinyatakan masih ada
empat alat pengatahuan yang tidak benar (apramana) yaitu: Smrti (ingatana), Samsaya
(keragu-raguan) bhrama/wiparya (kesalahan) dan tarka (hipotesa).
Keragu-raguan tidak bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar, karena ia
merupakan pengetahuan yang tidak jelas. Demikian pula wiparya (kesalahan) bukan pula
termasuk alat pengetahuan yang benar karena segala sesuatu dinyatakan tampak salah atau
keliru, seperti hal “ seutas tali sebab objek itu benar-benar ada. Kesalahan ada pada
keterangan tambahan yaitu disangka ular. Apramana yang terakhir Tarka atau hipotesa.
Tarka tidak dipandang sebagai pramana sebab dari semula ia tidak pernah memberikan
pengatahuan yang benar kepada kita tentang suatu objek.

6. Etika Nyaya
Filsafat adalah filsafat hidup yang mencari dan membimbing seseorang untuk
menuju kepada kebenaran dan kebebasan. Dengan adanya atman yang bersatu dengan
unsure-unsur alam semesta kita merasakan adanya hidup di dunia ini. Adanya empat
pandangan tentang atman atau jiwa perorangan dalam filsafat India dipandang Carwaka,
Buddha, Adwaita Wedanta dan Waisika dwaita yang dipergunakan sebagai banding oleh
Nyaya dalam pandangannya tentang atman.
Carwaka memandang bahwa jiwa itu adalah badan kita sendiri yang terdiri dari
gabungan catur butha dengan kesadaran yang ada padanya. Carwaka tidak mengakui
adanya jiwa yang kekal abadi. Pandangannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa atman
itu tidak dapat dibuktikan. Yang jelas ada gabungan catur butha yang menyebabkab
manusia hidup, tetapi jika catur butha memisalkan dieri maka berakhirlah hidup ini.
Baudha/ Buddha menyatakan bahwa sang diri atau atman adalah suatu rangkaian dari
perwujudan karma. Budha tidak mengakui adanya jiwa yang kekal dan abadi yang

9
menempati badan kasar ini. Sedangkan Adwaita wedanta menyatakan bahwa atman/jiwa
itu adalah tunggal, kekal, penuh dengan kesadaran, tidak dapat disamakan dengan suatu
objek apapun dan ia bukan pribadi yang sama dengan “ Aku dan Punyaku” melainkan
pribadi yang sejati, agung dan mulia. Sedangkan Wisista dwaita menganggap bawah jiwa
itu tidak memiliki kesadara yang sempurna, melainkan kesadaran yang bersifat pribadi
yang tersentuh oleh ego yaitu “Aku dan punyaku”. Kedua pandangan dari aliran wedanta
ini disebut pandangan idealis dalam artian yang satu bersifat transenden dan yang lainnya
bersifat imanen.
Menurut Nyaya atman itu adalah hal yang unik yang dapat dibuktikan
keberadaannya melalui pikiran dan tubuh. Atman dikatakan merupakan bagian dari adanya
Brahman, yang keberadaannya dapat dibandingkan dengan aliran listrik dengan kabel.
Aliran listrik itu sendiri tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan bila kita memegang
kabel-kabel tersebut. Demikian pula halnya dengan atman, kita rasakan keberadaanya
melalui pikiran dan tubuh itu sendiri. Ajaran Nyaya menyatakan Atman atau jiwa
perorangan bukan saja memiliki kesadaran dan pengetahuan, tetapi juga maha tahu,
berpribadi (ahamkarasraya) dan sebagai yang menikmati (bhokta). Kesadaran yang kita
rasakan pada hahekatnya bersifat sementara, selama atman bersatu dengan badan jasmani.
Atman bersifat Sat, Cit, Ananda artinya keberadaan, kesadaran dan kebahagiaan.
Naiyikas menyatakan tidak akan ada kesenangan tanpa kesusahan, seperti halnya
sinar tanpa bayang-bayang. Maka menurutnya apawarga adalah pembebasan seseorang
dari pendiritaan (rasa sakit) dan kesangsaraan dalam hidup ini, bukan kebahagiaan yang
sejati. Bila jiwa memisahkan dari badan jasmani maka ia membawa semua wasana dari
prilaku yang dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya. Wasana dari perbuatan baik
maupuyn perbuatan buruk akan bersama dengan sang jiwa, yang kemudian semua ini akan
menentukan seseorang untuk bersatu dengan Tuhan atau kembali menjelma ke dunia ini.
Nyanya mengatakan dunia ini diciptakan semata-mata untuk sang jiwa menikmati karma
wasananya.
Guna mencapai kebebasan seseorang hendaknya mempergunakan pengatahuan
yang benar atau Tattwa Jnana yaitu pengetahuan tentang attman atau jiwa dan
pengetahuan tentang hidup keduniawian yang luhur. Supaya seseorang sampai pada
kebebasan hendaknya kita membaca kitab suci dan melakukan upacara, kemudian
mewujudkan ajaran itu kedalamm kehidupan melalui pola pikir dan prilaku yang luhur,
dan yang terakhir adalah melakukan meditasi yaitu menghubungkan diri melalui
pemusattan pikiran dengan tuhan.
Referensi
1. Chatterjee Satischandra, M.A,Ph.D and Data Dhirrendramohan,M.A.Ph.D: An
Introdaction to Indian philosophy, University of Calcuta, India, 1954.
2. Hariyana,M: Essential of Indian Philosophy, Londen, 1978.
3. Hadiwijono, Harun : Sari Filsafat India, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1985
4. Oka I Gusti Agung: Sad Darsana, Denpasar, 1980
5. Sinha Jadunath, M.A. Ph.D; the Fondation of Hindusm, Sinha Publising House,
Calcuta, 1955.

10
BAB III
WAISASIKA
1. Pendahuluan
Sistem filsafat Waisasika dipelopori oleh Maha Rsi Kanada, beliau juga disebut
dengan nama Uluku. Sehingga filsafat waisasika dikenal dengan Sistem kanada Aulukya.
Sumber pokok ajaran Waisasika adalah kitab Waisasika Sutra, buah karya Maha Rsi
kanada Kitab ini terdiri dari 10 adhyaya atau 10 jilid dan setiap jilid terdiri dari dua ahnikas
atau bab. Dalam perkembangan selanjutnya muncullah kitab komentar dari Waisasika
Sutra yang ditulis oleh para tokoh yaitu: Prasastapada yang menulis kitab Padarta-dharma-
sangraha yang juga dikenal nama Bhasya, Sankara menulis kitab Sariraka Bhasya,
Wyomasiwa menulis kitab Wyomawati, Udayana menulis kitab Kirawana dan Sridhara
menulis kitab Nyaya-kendali.
Simtem filsafat Nyaya muncul pada Abab ke empat sebelum masehi yang mula-
mula sebagai filsafat yangt berdiri sendiri, akan tetapi kemudian sistem ini menjadi satu
dengan Nyaya. Pada Abab kesebelas masehi kedua sistem ini berfungsi secara sempurna.
Sehingga para penulis kedua filsafat ini disebut Nyaya Waisasika. Tujuan pokok Waisasika
adalah bersifat metepisik. Isi pokok ajarannya menerangkan tentang dharma yaitu apa yang
memberikan kesejahtraan didunia dan memberikan kelepasan yang menentukan.
Yang terpenting dari ajaran Waisasika adalah ajaran tentang katagori-katagori dari
semua yang ada dialam semesta ini. Menurut Waisasika ada tujuh katagori (padharta)
yaitu: 1. Drawya atau substansi, 2. Guna atau kualitas, 3. Karma atau aktivitas, 4. Semanya
sifat utama, 5. Wisesa atau sifat perorangan, 6. Samawaya atau pelekatan dan 7. Abhawa
atau ketidakadaan. Sedangkan menurut Nyaya ada enam belas katagori (padharta) yaitu:1.
Pramana, 2. Prameya, 3. Samsaya, 4. Prayojana. 5. Disthanta. 6. Siddhanta. 7. Awayaya,
8. Tarka. 9. Nirnaya. 10. Weda, 11. Jalpa, 12. Witanda, 13. Hetwabhawa, 14. Chala, 15.
Jati, 16. Nigrahastana. Kedua pandangan filsafat ini memeliki pandangan yang sama
tentang kebebasan, tentang atman atau jiwa perorangan dan penderitaan yang disebabkan
oleh awidhya.

2. Metafisika Waisasika
Drawya (Substansi
Yang dimaksud dengan drawya adalah katagori yang bebas dan tidak tergantung dengan
katagori yang lain. Drawya disebut sebagai kekuatan dan kegiatan zat-zat yang terdapat
pada lapisan alam yang paling bawah. Tanpa drawya katagori yang lain tidak dapat
menjalankan dirinya. Karena Drawya mempunyai sifat yang melekat dalam artian telah ada
didalam sesuatu yang dihasilkan oleh katagori-katagori yang lain. Ada Sembilan jenis
drawya yaitu: 1. Tanah, 2. Air, 3. Api ,4. Udara. 5. Akasa. 6. Waktu. 7.Ruang, 8. Jiwa dan
9. Pikiran.
Drawya yang termasuk bahan jasmani yaitu: tanah, air, api, udara, waktu, akasa
dan ruang, sedangkan yang termasuk bahan rohani adalah jiwa dan pikiran.

Guna (Kualitas)
Di dalam substansi terdapat guna atau kualitas, tetapi guna tidak dapat berdiri
sendiri tanpa substansi. Sedangkan drawya dapat berada tanpa kualitas. Menurut ajaran
Waisasika ada
24 guna atau kualitas :
Rupa (warna), Rasa (perasaan), Gandha (bau), Sparsa (sentuhan), Sabdha (suara),
Samkhya (jumlah/hitungan), Parimana (jarak), Prthakwa (penerangan), Samyoga
(persatuan), Wibhaga (tak terbagi), Paratwa (tipis/sedikit), Aparatwa (dekat), Budhi
(pengetahuan), Sukha (kesenangan), Dukha (kesedihan), Iccha (keinginan), Dwesa

11
(kesegenan), Prayatna (usaha), Gurutwa (keberatan), Drawatwa (keadaan cair), Sneha
(dalam), Samskara (kecendrungan), Dharma (berpaedah) dan Adharma (cacat).
Kualitas-kualitas sebagai yang tersebut di atas terbagi lagi menjadi beberapa jenis
Kualitas warna ada beberapa bagian yaitu: putih, hitam, merah, biru, kuning, hijau, oranya,
dan coklat. Demikian juga ada jenis jenis rasa seperti: manis, pahit, asam dan sebagainya.
Mengenai bahu ada dua bahu baik dan bahu buruk. Kualitas dari sentuhan ada tiga yaitu:
Panas, Dingin, Campuran antara panas dan dingin. Suara ada dua yakni: Dhwani adalah
suara yang tidak jelas. Dan warna ialah suara yang jelas, Samkya (jumlah hitungan).
Samyoga adalah persatuan antara dua atau lebih dari benda-benda tertentu yang
keberadaanya berpasangan misalnya, buku diatas meja. Prayatna atau usaha ada tiga jenis
yaitu; Prawrti, Niwrti dan Jiwnayoni. Prawerti ialah usaha menuju kearah sesuatu. Nirwerti
ialah meninggalkan sedangkan Jiwanayoni ialah fungsi yang sangat utama. Dengan
demikian guna atau kualitas yang dianggap oleh Sistem Waisasika sebagai yang paling
sederhana yaitu kualitas yang positif dari suatu substansi.

Karma (aktivitas)
Karma atau perbuatan adalah sesuatu gerakakan deri badan. Seperti halnya
kualitas karma tidak dapat berdiri sendiri tanpa substansi, tetapi antara karma dan kualitas
memiliki perbedaan. Dalam ajaran waisasika disebutkan ada lima macam gerakan yaitu:
utksepana, awaksepana, akuncana, prasarana, dan gamana.
Utksepana adalah gerakan melempar keatas, Awaksepana adalah gerakan yang
melempar kebawah. Akuncana adalah gerakan yang menimbulkan goncangan. Prasarana
adalah gerakan yang menimbulkan perluasan. Sedangkan Gemana adalah gerakan dari satu
tempat ketempat yang lain. Dari semua ini utksepana adalah penyebab adanya kontak
tubuh dengan daerah yang lebih tinggi, umpamanya melemparkan sebuah bola keatas.
Awaksana menyebabkan adanya kontak tubuh dengan daerah yang lebih rendak, misalnya
melemparkan benda ke bawah dari puncak rumah. Akuncana menyebabkan dari kontak
tubuh yang tidak ada sebelumnya, misalnya menggulung kain.
Semua jenis perbuatan tidak dapat dipahami, dilihat, dan dirasakan. Perbuatan
dari pikiran atau manas tidak menampilkan suatu persepsi yang biasa, tetapi gerakan yang
muncul dari catur butha dapat dirasakan oleh indrya seperti rasa dan sentuhan.
Dalam hubungan dengan karma atau gerakan sistem Waisasika mengemukan ada
satu pokok yang amat penting yang mesti mendapatkan perhatian, yaitu yang
menyebabkan gerakan itu. Waisasika berpendapat bahwa gerakan itu senantiasa dimulai
oleh sesuatu yang memiliki kesadaran, karena tiada satu bendapun pada dirinya dapat
bergerak. Suatu benda dapat menerima gerak dari benda yang lain, misalnya kelereng yang
satu digerakkan dengan kelereng yang lain.

Samanya (sifat umum)


Suatu benda dalam kelompok tertentu memiliki hubungan yang sangat erat antara
nama, wujud dan alam tempat mereka berada. Demikian pula halnya dengan manusia,
disamping sama- sama memiliki sifat dan cirri-cirinya tersendiri dan hubungan yang erat
antara nama, wujud dan alam tempat hidupnya.
Menurut ajaran sistem Waisasika sifat umum, kekal (nitya) dan nyata, tetapi
didalamnya terdapat saling keterikatan diantara individu-individu yang ada (anekanugata).
Beberapa pandangan pemikiran modern menyatakan bahwa sifat umum itu merupakan
wujud yang kekal dan nyata yang sudah ada semenjak benda itu ada. Dan lebih jauh
mereka mengatakan bahwa pandangan Naiyayikas menyebutkan adanya perbedaan sifat
umum yang dimiliki oleh setiap individu dapat diterima, karena pada hakekatnya sifat
umum itu ada pada bendanya.

12
Dalam ajaran Waisasika ada tiga jenis sifat umum atau semanya itu, yaitu: para,
apara dan para-para. Para berarti yang tertinggi, apara beranti yang terendah dan para-para
berarti yang menengah.

Wisesa (keistimewaan)
Wisesa dan samanya adalah kata gori-katagori keduanya berbeda satu dengann
yang lainnya, tetapi tidak dapat dipisahkan karena berada pada substansi . Melalui
Wisesa kita dapat mengetahui keunikan masing-masing substansi yang pada dasarnya tidak
terbagi-bagi bersifat kekal seperti misalnya ruang, waktu, akasa, jiwa pikiran dan atom-
atom dari catur butha.
Dengan melihat bagian wisesa (keistimewaan) suatu benda kita dapat membedakan
jenis dan benda benda tersebut. Cara membedakan itu adalah sangat sulit terutama
terhadap substansi yang memiliki sifat meliputi sesuatu, tetapi tidaklah demikian pada
substansi yang termasuk catur butha.
Sebagai bagian dari substansi yang bersifat kekal, wisesa pada dirinya sendiri
bersifat abadi (nitya). Wisesa bukanlah sesuatu yang dapat disamakan dengan barang biasa
seperti meja, kursi, pot bungan,. Wisesa tidak terbagi-bagi dan bersifat abstrak, sedangkan
benda-benda seperti meja, kursi dan pot bungan memiliki bagian-bagian yang sangat
mudah ditentukan.

Samawaya (peletakan)
Ada dua hubungan yang sama-sama diakui keberadaannya oleh sistem filsafat
Nyaya dan Waisasika yaitu samyoga (persekutuan) dan samawaya (pelekakan).
Persekutuan merupakan hubungan sementara antara dua benda atau lebih yang sengaja
disatukan dengan yang lain. Umpanya gerakan dua buah bola yang datangnya dari arah
berlawanan dan kemudian bertemu pada suatu tempat. Pertemuan akibat gerakan dua buah
bola itu dinamakan persekutuan.
Dalam hubungan dengan semaya, Waisasika menyatakan bahwa semawaya adalah
hubungan yang kekal yang terdapat pada masing-masing bagian dari suatu benda yang
disebabkan oleh adanya gerakan, kualitas dan sifat umum dari wujud yang terkecil dari
benda itu sendiri. Umpamanya selembar kain sebagai suatu keseluruhan selalu ada jalinan-
jalinan benang, warna merah sebagai suatu kualitas dari bunga mawar, gerakan sebagai
suatu aksi yang dimiliki oleh benda.

Abhawa (ketidakadaan)
Sesungguhnya ketiadaan itu bukanlah sesuatu penyangkalan adanya sesuatu. Hal
ini dapat dijelaskan, lihatlah langit dimalam hari, anda tidak melihat matahari, melainakan
melihat bulan dan bintang-bintang. Dalam sistem Waisasika, hal seperti itu dinamakan
abhawa atau ketiadaan sebagai katagori ketujuh. Maha Rsi Kanada tidak pernah menyebut
sebagai obyek pengetahuan. Beliau hanya menyebutkan enam katagori dalam kitab
Waisasika Sutra bukanlah tujuh katagori. Penambahan ini diberikan oleh para komentator
Waisasika Sutra belakangan yang beranggapan bahwa ketiadaan itu merupakan suatu
kenyataan dalam hidup ini. Maka dari itulah dia dimasukkan katagori ketujuh.
Bahwa terdiri dari dua jenis: Samsargabhawa berarti tidak ketidaadaan suatu
substansi di dalam suatu tempat. Sedangkan Anyonyabhawa tidak ada hubungan antara dua
buah benda yang saling berbeda. Samsargabhawa terdiri dari tiga jenis: Prabhawa,
dhwamsabhawa dan atyanthabawa.
Prawabhawa adalah suatu benda yang tidak ada sebelum dibuat. Dhwamsabhawa
adalah tidak adanya sesuatu benda setelah benda itu dirusakkan. Dan Atyantabhawa artinya
tidak adanya suartu benda (sfat suatu benda) pada benda lain. Misalnya ketiadaan warna
pada udara sejak jaman dulu sekarang dan yang akan datang.

13
Terjadinya alam semesta menurut Waisasika
Terjadinya alam semesta menurut sistem filasafat Waisasika kesamaan dengan
ajaran Nyaya yaitu: gabungan dari atom-atom catur bhuta ( tanah, air, cahaya dan udara)
ditambah dengan lima substansi yang bersifat universal seperti: akasa, waktu, ruang jiwa,
dan manas. Lima substansi universal ini tidak memiliki atom-atom , maka itu dia tidak
dapat memproduksi suatu dunia. Cara penggabungan atom-atom itu dimulai dari dua atom
(dwynuka), tiga atom (triyanuka) dan tiga atom ini saling menggabungan diri dengan cara
yang bermacam-macam, maka terwujudlah dunia dengan berbagai isinya.
Bila gabungan atom-atom dari catur butha ini terlepas satu dengan yang lainnya
maka lenyaplah alam semesta beserta isinya. Gabungan atau terpisahnya gerakan atom-
atom itu tidak terjadi dengan sendirinya, mereka digerakkan oleh suatu kekuatan yang
memiliki kesadaran dan kemahakuasaan. Yang memiliki kesadaran dan kekuatan yang
maha dahsyat itu menurut Waisasika adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Alam semesta dengan segala isinya bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhanlah yang menuntu terwujudnya dan musnahnya alam semesta beserta isinya yang
semua itu tergantung pada kehendaknya. Tuhan dalam ajaran Waisasika disebut dengan
Siwa. Bila Tuhan berkehendak untuk meleyapkan alam semesta beserta isinya ini, maka
atom catur butha dan substansi lainnya akan kembali ke asalnya yaitu Tuhan.
Tuhan dipandang sebagai yang bersifat transcendental tetapi terpancarkan dalam
diri manusia dan pada alam semesta. Tuhan ada dalam diri setiap orang , pada semua
mahluk dan pada semua objek yang ada dialam semesta ini. Bila Tuhan berkehendak
meleyapkan alam semesta ini di dasarkan pada moral para penghuninya. Jika moral para
penghuni dunia melanggar dharma dan tidak ada kehendak untuk memperbaiki dirinya,
maka Tuhan akan melenyapkan dunia dengan cara melepaskan gabungan atom-atom dari
catur butha, demikian juga dengan keberadaan substansi Universal seperti ; akasa, ruang,
waktu, manas dan jiwa ke asalnya yaitu pada diri-Nya sendiri. Dengan demikian Waisasika
mengharapkan agar setiap orang selalu dan menegakkan dharma dalam hidupnya.

3. Efistemologi Waisasika
Untuk mendapatkan pengetahuan Waisasika hanya mengakui adanya dua pramana
saja yaitu pratyaksa dan anumana. Pratyaksa paramana atau pengamatan memberikan
pengetahuan kepada kita mengenai sasaran yang dapat diamati menurut ketentuan dari
sasaran itu masing-masing. Misalnya kita melihat bola itu bulat, batu itu padat, batu itu
hijau dan sebagianya. Pengetahuan yang demikian kita dapati karena adanya hubungan
indryia dengan sasaran yang dianut. Hubungan ini merupakan hubungan yang realitas,
sebab setiap indriya memiliki sifat-sifat khas dengan objek yang diamati.
Panca indriya manusia memiliki kaitan dengan panca maha butha, karena
sesungguhnya keberadaan tubuh kita termasuk indriya berasal dari unsure-unsur tersebut.
Maka indriya menangkap sinar untuk melihat, telinga menangkap suara yang berasal dari
udara dan sebagainya. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa memerlukan indriya yang
disebut pengamatan transenden yang dilakukan oleh para Yogi. Hal ini disebabkan oleh
karena Yogi itu memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan dia mampu berhadapan
dengan sasaran yang mengatasi indriya.
Praktyaksa dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni: Nirwikalpa ialah pengamatan
terhadap sesuatu hanya sebagai sasaran atau objek belaka tanpa penilaian, tanpa asosiasi
dengan suatu sebutan apapun. Sedangkan Sawikalpa ialah pengamatan yang ditentukan
sehingga seseorang dapat mengenal sasaran yang diamati dengan cirri-cirinya, sifat-
sifatnya serta namanya.

14
Tidak semua pengetahuan itu benar, ada kalanya timbul khayalan atau keragu-
raguan. Sesuatu dikatakan salah jika sesuatu itu tampak secara berlainan sekali dengan
keadaan yang sebenarnya.
Anumana berarti “pengetahuan yang kemudian” pengetahuan yang di dapat dengan
anumana atau kesimpulan adalah dengan melihat sesuaatu tanda (lingga) yang selalu
memiliki hubungan dengan objek yang ditarik kesimpulan (sadhya). Perhubungan antara
lingga dan sadhya disebut wyapi. Dalam ajaran Waisasika dikemukakan bahwa dalam
anumana harus ada dua syarat yaitu: Paksa kesimpulan yang akan ditarik, Sadhya objek
yang ditarik kesimpulannya.

4. Etika Waisasika
Sistem filsafat Waisasika sebagai juga sistem filsafat India lainnya mencari atman
atau diri sejati dalam badan yang merupkan gabungan atom-atom Catur Butha, sedangkan
pikiran adalah sesuatu yang sangat halus yang sulit diketahui, tidak dapat dilihat bersifat
abstrak yang dengan kata lain disebut anu. Ia merupakan alat daripada jiwa yang
dipergunakan untuk merasakan bermacam-macam perasaan, sebagai perasaan senang,
susah dan sebagainya. Pikiran itulah yang disebut antara rasa dan bahaya rasa karena ia
dapat merasakan getaran kebahagiaan dan kesusahan dalam tubuh.
Dalam ajaran Waisasika atman dikatakan berjumblah banyak atau jamak
merupakan bagian dari pada Brahman, maka itu atman pada dasarnya adalah suci. Setelah
atman bersatu dengan badan kasar ini maka terjadilah beraneka kebahagiaan, kegembiraan,
kesenangan, penderitaan, kesengsaraan, kesedihan dan sebagainya. Adanya perasaan suka
dan dukha itu sesungguhnya disebabkan oleh manah memalui indrya yang dirasakan
kepedihanya oleh badan.
Sesungguhnya atman itu suci dan mengatasi segala hal. Ia tampak menjadi pelaku
klesa atau sumber kesedihan yang ada dalam manas setiap orang. Adanya klesa-klesa yang
muncul dalam pikiran itu adanya awidya yaitu pengetahuan yang salah terhadap
kebenaran asmita yaitu pandangan yang keliru yang menganggap bahwa atman itu sama
dengan budi, dan manas, raga yaitu keinginan yang didorong oleh nafsu-nafsu yang
berlebihan untuk memuaskan indriya-indriya dan yang terakhir adalah abhinewesa yaitu
ketakutan menghadapi penderitaan dan kematian. Kelima klesa ini disebut mthya jnana
yang memaksa badan untuk bekerja dengan segala konsentrasinya.
Waisasika mengajarkan agar seseorang menguasai manas dan indriya dengan
sebaik-baiknya dengan selalu mengikuti ajaran weda untuk kemudian sampai pada tujuan
yang tertinggi yaitu kelepasan (sommum bonum).
Jalan yang ditunjuk oleh Waisasika mencapai kelepasan itu adalah melalui tattwa
jnana, srawana, manana dan meditasi (nididdhyasana). Memalui tatwa jnana hendaklah
memahami bahwa sesungguhnya atman itu adalah berbeda dengan badan, indriya dan
pikiran. Atman adalah bagian dari atman Brahman yang pada hakekatnya adalah suci.
Tuhan dalam ajaran Waisasika disebut dengan Siwa yang transenden dan terpancar dalam
hukum sebab akibat.
Srawana mendengarkan kata-kata yang ada pada kitab suci weda yang
disampaikan oleh guru kerohanian. Menana adalah melaksanakan, apa yang didengar,,
dibaca dari kitab suci. Meditasi melakukan pemusatan pikiran dan merealisasikan sang diri
sejati

15
BAB IV
MIMAMSA
1. Pendahuluan
Sistem filsafat Mimamsa termasuk dalam kelompok Astika yang ajarannya
didasarkan pada kitab suci weda. Mimamsa mengakui sepenuhnya kewenangan Weda
sebagai kitab suci yang mengandung kebenaran sejati. Filsafat Mimamsa terbagi menjadi
dua jenis yaitu: Purwa Mimamsa dan Utara Mimamsa. Purwa Mimamsa berarti
penyelidikan sistematis yang pertama, yang dimaksud adalah sistem ini membicarakan
bagian Weda yang kedua yaitu: kitab Upanisad. Sebuttan lain untuk utara mimamsa adalah
wedanta. Mimamsa dan Wedanta merupakan bagian dari filsafat India yang langsung dan
sepenuhnya berdasarkan ajaran kitab suci Weda.
Mimamsa berkembang dari aspek ritual kebudayaan Weda dengan objek sasaran
adalah untuk membantu dan menopang praktek keagamaan, melalui dua cara yaitu:
a. Memberi metode interprestasi dan bantuan terhadap aturan-aturan hukum Weda
yang menyangkut keagamaan, sehingga dapat dimengerti, diselaraskan dan
dapat diikuti tanpa kesulitan.
b. Memberikan pertimbangan-pertimbangan filosofis dari kepercayaan-
kepercayaan dalam hal upacara agama.
Kesetiaan atau kejujuran yang mendasari keyakinan keagamaan Weda terdiri dari macam-
macam unsure yaitu:
a. Percaya dengan adanya roh yang menyelamatkan dari kematian dan menikmati
hasil dari ritual di sorga.
b. Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang melestarikan dampak dari
ritual yang dilaksanakan.
c. Percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita
lakukan dalam hidup ini bukanlah ilusi.

Kelompok Nastika seperti Buddha, Jaena dan Carwaka menentang kewenangan


Weda. Pengikut Buddha tidak mengakui adanya roh dan kenyataan dunia, walaupun
demikian Mimamsa tetap menegagkan keagamaan Weda dan mengakui unsure asli yang
mendasari upacara tersebut.
Pokok pembicaraan pada sistem Mimamsa adalah pengukuhan kewibawaan Weda
bagian Brahman yang menekankan pada upacara keagamaan. Dengan demikian Mimamsa
sering disebut dengan Anma Karma Mimamsa atau dharma Mimamsa, karena kitab
brahmana merupakan Karma kanda dari Weda. Pembicaraan mengenai upacara keagamaan
sesungguhnya sudah ada pada jaman Brahmana dan sebagai hasilnya termuat dalam kitab
Kalpasutra.
Tokoh pendiri dari sistem filsafat Mimamsa adalah Maha Rsi Jaimini. Beliau
menulis kitab Mimamsa sutra yang menjadi sumber pokok ajaran Mimamsa. Ajaran
Mimamsa bersifat pluralistis dan realistis dalam artian jiwa itu berjumbelah banyak atau
jamak sedangkan alam semesta adalah nyata dan berbeda dengan jiwa.

2. Metafisika Mimamsa
Pandangan umum
Ajaran Mimamsa bersifat pluraristis dan realistis, artinya filsafat ini menerima
adanya kemajemukan jiwa dan pengadaan asas benda yang menyelami alam semesta ini,
serta mengetahui bahwa objek-objek pengamatan adalah nyata. Mimamsa percaya pula
dengan adanya jiwa, sorga, neraka, dan para dewa yang semua ini dapat dicapai melalui
upacara yang tepat menurut petunjuk kitab suci Weda. Jiwa menurut Mimamsa bersifat
permanan atau kekal, demikian juga dengan unsure-unsur materi pembentuk dunia ini.
Semua benda yang ada didunia ini ditentukan oleh hukum karma.

16
Di dunia ada tiga komposisi yaitu:
a. Kehidupan jasmani sebagai tempat jiwa menikmati akibat perbuatannya dari
masa-masa kehidupan yang silam (bhogayatana)
b. Indriya yang dipergunakan sebagai alat oleh jiwa untuk menikmati adanya rasa
suka dan duka dalam hidup ini (bhoga sadana)
c. Objek-objek yang merupakan buah dari suka dan duka (bhogya sadana).
Mimamsa tidak mengakui adanya Tuhan, sedangkan mengenai teori tentang atom-atom itu
ada pada peredarannya, menurut mimamsa atom-atom yang tidak membutuhkan
pengaturan dari Tuhan di dunia ini, melainkan diatur oleh hukum karma. Tidak ada
penciptaan dan penghancuran dunia ini, melainkan keberadaan dunia ini kekal adanya.
Pandangan Mimamsa merupakan pandangan yang unik dalam filsafat India.
Metafisika Mimamsa bersifat pluralistis dan realistis dalam artian percaya adanya
jumlah jiwa yang tidak terhitung dan dunia yang nyata, tetapi keduanya berbeda. Mimamsa
percaya dengan adanya realitas seperti kenyataan adanya energy, moral sorga, neraka dan
sebagainya yang tidak dapat diketahui melalui pengalaman indriya.

1. Teori dari kekuatan sakti dan apurwa


Mimamsa menyatakan bahwa setiap benda di alam semesta ini memiliki kekuatan
tertentu didalamnya. Kekuatan yang ada didalamnya disebut dengan nama Sakti yang tidak
dapat dilihat dengan mata biasa. Seperti contonya: biji-bijian didalamnya ada kekuatan
sehingga ia dapat tumbuh.
Mimamsa mengatakan bahwa dharma tidak akan mendatangkan pahalanya secara
langsung melainkan dengan perantara. Dalam hal ini walaupun orang melakukan segala
upacara keagamaan dengan benar dan berdasarkan kemurnian kesusilaan, ia tidak akan
secara langsung memetik buah dari perbuatannya itu. Sebab semua tindakannya mengenai
upacara hanya bersifat sementara, tidak abadi. Dengan demikian maka upacara itu tidak
mungkin hubungan langsung dengan hasilnya. Pelaksanaan upacara adalah suatu kelompok
tindakan yang akan berakhir bila tindakan itu telah selesai dilakukan. Sehubungan dengan
itu maka pahala yang diperoleh dari suatu upacara tidak akan diperoleh setelah upacara itu
dikerjakan, melainkan harus menunggu beberapa waktu lagi. Hal ini terlebih lagi bagi
orang yang mengaanggap hasil tertinggi dari berbagai bentuk upacara yaitu; sorga. Hal ini
baru akan dicapai setelah orang itu meninggal dunia.
Sehubungan dengan hal ini, maka timbul pertanyaan bagaimana mungkin upacara
yang telah selesai dapat mendatangkan pahala pada waktu yang tepat?.
Terhadap masalah ini, Sistem Mimamsa mengemukakan suatu ajaran yang disebut
apurwa. Kata apurwa berarti tenaga yang tidak tampak. Suatu upacara telah dilakukan
seseorang akan melahirkan suatu tenaga atau daya yang tidak tampak dalam jiwa yang
telah melakukan ritual tersebut. Tenaga atau daya akan terus bertahan, hingga pahala yang
sesuai dengan perbuatan itu menjadi masak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwab
apurwa adalah suatu jembatan yang menghubungkan sebuah ritual dan buahnya.
Dengan ajaran Mimamsa dikatakan bahwa dharma menurut Weda ada dua jenis,
yaitu: tindakan yang diwajibkan dan tindakan yang tidak diwajibkan. Tindakan yang
diwajibkan meliputi ritual yang berlaku setiap hari dan berkala. Sedangkan tindakan yang
tidak diwajibkan adalah ritual yang dilakukan secara fakultatif.

2. Pandangan Mimamsa tentang Jiwa


Dalam ajaran Mimamsa ada emapat katagori yaitu: Substansi, kualitas, aktivitas
dan sifat umum . Mengenai Substansi terdiri dari: Tanah, Air, Udara, Api, Akasa, Akal,
Waktu, Ruang dan Jiwa.
Substansi, kualitas, sifat umum dan khusus tidak boleh dibeda-bedakan secara
mutlak. Seandainya katagori-katagori ini dibedakan secara mutlak tentulah yang satu dapat

17
dipisahkan dari yang lain. Umpamanya kita hendak memisahkan mawar dengan merahnya
tentulah merupakan suatu pekerjaan mustahil.
Mengenai Jiwa dalam sistem Mimamsa dipandang sebagai substansi, akan
keadaanya berbeda dengan tubuh, indriya dan budhi. Jiwa itu berjumbelah banyak dan
tidak terhitung, tiap tubuh ada satu jiwa. Semua jiwa memiliki kesadaran bersikap kekal
berada dimana-mana meliputi segala sesuatu. Walaupun jiwa tidak dapat dihormati, namun
senantiasa menjdi pelaksana segala pengetahuan.
Yang dimaksud dengan unsure substansi ialah pribadi yang menjadi objek
pengetahuan, sedangkan unsure kesadaran ialah pribadi yang menjadi subjek pengetahuan.
Menurut Mimamsa Jiwalah yang mengemudikan tubuh, sehingga orang mendapat
kelepasan. Pada mulanya Mimamsa menyatakan tujuan hidup manusia adalah untuk
mencapai sorga, akan tetapi dalam perkembangannya kemudiaan Mimamsa menyesuaikan
diri dengan sistem-sistem filsafat lainnya yaitu mencari kelepasan.
Mengenai Weda, mimamsa menyatakan bahwa Weda tanpa memiliki penyusun
baik manusia maupun Tuhan. Mimamsa tidak memberikan tempat kepada Tuhan di dalam
sistemnya. Dunia bukan diciptakan oleh Tuhan, sebab dunia ini tidak berawal dan tidak
berakhir. Tidak ada penciptaan dan peleburan dunia. Adapun alasan yang diberikan oleh
Mimamsa adalah seandainya dunia ini diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dan Maha
Pengasih, tidak mungkin dunia ini ada penderitaan. Walaupun demikian bukan berarti
Mimamsa bersifat atheis. Sesungguhnya bila dikaji secara mendalam Mimamsa bukan
berarti tidak percaya dengan Tuhan, karena sistem Mimamsa percaya dengan adanya
Weda yang bersifat kekal yang didalamnya terdapat Dewa-Dewa sebagai manifestasi
Tuhan disebut dengan nama yang berbeda-beda seperti Dewa-Dewa itu.

3. Epistemologi Mimamsa
Dalam usahanya untuk membuktikan kewenangan Weda Mimamsa membahas
secara berhati-hati tentang alam dari ilmu pengetahuan, dunia dan kreteria dari kebenaran
dan kesalahan, sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya dan masalah-masalah lain
yang mirip atau hampir serupa. Tujuan Mimamsa tentang sumber, alam dan keterbatasan
dari ilmu pengetahuan terkait dengan beberapa hal atau masalah yang sangat menarik.
Sistem filsafat lain, seperti Wedanta dengan bebas menggunakan sumber alam serta
keterbatasan ilmu pengetahuan yang dikemukan oleh Mimamsa. Dibawah ini kita akan
memperhatikan uraian yang penting-penting saja tentang ilmu pengetahuan yang ada
dalam sistem Mimamsa.

1. Alam dan Sumber dari Ilmu Pengetahuan


Sistem Mimamsa, seperti pula kebanyakan dari sistem filsafat India yang lain,
menerima dua jenis pengetahuan, yaitu: Immediate dan Mediate. Immediate ialah
pengetahuan yang terjadi secara tiba-tiba, langsung dan tidak terpisahkan. Sedangkan
Mediate pengetahuan yang diperoleh melalui perantara atau media-media. Pengetahuan
yang benar adalah pengetahuan yang lain dan tidak dipengaruhi oleh keadaan yang salah.
Objek pengetahuan Immediate haruslah sesuatu yang ada atau zat, bila objek
pengetahuan itu dikaitkan dengan indriya-indriya kita, maka dalam jiwa kita akan muncul
pengetahuan kita, maka dalam jiwa kita akan muncul pengetahuan immediate tentang hal
tersebut. Bila objek ini dikaitkan dengan indriya, mula-mula muncul kesadaran tentang
objek itu. Yang kita ketahui bahwa objek itu sendiri adalah benda, seperti apa adanya,
tetapi belum dapat dimengerti.
Pengetahuan yang berdasarkan apa yang tidak dapat ditentukan terlebih dahulu
serta datangnya secara tiba-tiba ini, disebut Nirwikalpa pratyaksa atau alocana-jnana. Dan
Bila pada tingkatan berikutnya kita menginterprestasikan arti dari objek itu berdasarkan
pengetahuan yang kita miliki sebelumnya, sampai kita mengerti benar mengenai benda

18
itu. Itulah persepsi yang sudah kita tentukan yang dinyatakan dengan pertimbangan-
pertimbangan. Pengetahuan semacam ini dinamakan sawikalpa pratyaksa.
Pengetahuan yang di dapat dari indriya-indriya adalah pengetahuan yang
sebenarnya tentang dunia yang dibentuk oleh bermacam-macam benda.

2. Sumber Pengetahuan yang tidak berasal dari pengenalan indriya


Mengenai alat-alat guna mendapatkan pengetahuan atau prana, Kumarila Bhatta
mengajarkan hanya enam alat pengetahuan sedangkan Prabhakara hanya mengakui lima.
Disamping melalui mimamsa, yaitu: Pratyaksa (pengamatan), Anumana (penyimpulan),
Upamana (perbandingan), Sabda (kesaksian), arthapati (perkiraan tanpa bukti), dan
Anupalabdhi (tanpa persepsi). Yang terakhir hanya diakui oleh aliran Kumarila Bhatta,
sedangkan aliran Prabhakara tidak mengakuinya. Pada dasarnya mengenai pengamatan dan
penyimpulan dalam ajaran Mimamsa sama dengan yang dikemukakan oleh Nyaya. Empat
dari alat pengetahuan tersebut akan dibicarakan selanjutnya:

a. Upamana atau perbandingan


Pandangan Mimamsa tentang upamana berbeda dengan pandanga Nyaya, Nyaya
mengakui bahwa perbandingan adalah sumber pengetahuan yang unik. Tetapi Mimamsa
walaupun mengakui perbandingan sebagai sumber yang berdiri sendiri, menerima pula
perbandingan sebagai yang sangat berbeda.
Hendaknya juga persamaan atau sadraya yang menjadi objek upamana dipandang
oleh Mimamsa sebagai katagori kenyataan yang mendiri. Disebut bahwa persamaan itu
tidak bisa disebut guna atau kualitas, karena kualitas tidak memiliki oleh kualitas yang
lain, tetapi persamaan itu dimiliki oleh kualitas.
b. Sabda (pernyataan seseorang tentang sesuatu)
Bagi Mimamsa pengetahuan yang penting ialah kesaksian atau sabda, yaitu sabda
kitab suci Weda. Weda dipandang bukan sebagai hasil karya manusia dan juga hasil dari
Tuhan, karena Weda tidak disusun oleh manusia dan juga oleh Tuhan. Weda sendir adalah
kekal. Aliran Mimamsa memberikan perhatian yang besar kepada sabda sebagai sumber
pengetahuan, karena sabda harus membuktikan kekuasaan dari Weda, yaitu;
1. Yang bersifat pribadi
2. Yang tidak bersifat pribadi
Yang pertama terdapat dalam bentuk tulisan atau lisan dari seseorang, sedangkan
yang kedua dari Weda itu sendiri. Kekuatan atau kekuasaan memberikan informasi tentang
adanya suatu objek (siddharta-wakya), atau memberikan memberikian arah untuk
penampilan suatu perbuatan (widhayaka-wakya). Sistem mimamsa pada dasarnya tertarik
pada kekuatan atau kekuasaan Weda yang tidak bersifat pribadi,karena weda memberikan
arah untuk melakukan apacara keagamaan. Weda dipandang sebagai buku yang
mengandung printah penting untuk melakukan dan bersifat kekal.
Ajaran weda adalah kekal didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut; karena adanya hubungan yang kekal anatara sebuah kata dan artinya, hingga
hubungan huruf-huruf yang menyusun sebuah kata tidak memiliki bagian-bagiannya, ,
berada dimana-mana dan kekal. Sebuah hurup adalah suatu suara yang jelas dibedekan
dengan suara lain, bahkan dengan suara yang dipakai untuk mengucapkan huruf yang
sama. Sebuah huruf dapat diucapkan dengan bermacam-macam nada dengan bermacam-
macam cara,namun suaranya tetap sama. Kesimpulannya ialah, bahwa hubungan antara
kata-kata dan sifat umum juga kekal adanya.
Dengan uraian yang demikian diajarkan bahwa, weda sebagai sabda adalah kekal.
Sifat kekal yang dimiliki oleh huruf-huruf dan kata-kata serta hubungan dengan, segala
sesuatau itulah dasar kekekalan Weda. Kata-kata yang ada dalam Weda bukan disusun
oleh manusia, dan bukan dissusun oleh Tuhan, karena semua kata-kata itu bersifat khas

19
dan tetap. Inilah yang membedakan Weda dengan tulisan manusia. Weda menyatakan
dirinya sendiri dan memeliki kebenaran kebenaran didalam dirinya sendiri. Oleh karena itu
apa yang dinyatakan dalam Weda adalah benar. Weda juga tidak mungkin bertentangan
dengan alat-alat pengetahuan yang lain, sebagai umpamanya sebuah pengamatan,
penyimpulam dan sebagainya.Alat-alat pengetahuan berhubungan dengan dunia yang
dapat diamati, sedangkan Weda berhubungan dengan dunia yang tidak dapat diamati.

c. Artha (perkiraan tanpa bukti)


Arthati adalah suatu bentuk perkiraan yang sangat diperlukan terhadap suatu yang
sulit dipahami melalui beberapa penjelasan yang beelawanan sartu dengan yang lainnya.
Bila kita memberikan penjelasan tentang suatu benda yang belum pernah dilihat wujudnya
kepada seseorang, hendaklah kita menjelaskan benda yang dimaksud itu dengan yang lain
yang sudah dikenalnya, sehingga orang itu mudah dapat mengertikannya.
d. Anupalabdhi (tanpa persepsi)
Anupalabdhi adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya
pengamatan terhadap suatu objek dikarenakan bendanya memang tidak ada. Misalnya ada
orang yang bertanya bagaimana saya tahu tentang ketidakadaan itu, maka jawabannya
adalah, cobalah lihat dan katakana apakah ada meja dikamar itu. Orang itupun tidak dapat
mengatakan tantang hal tersebut karena memang benda itu tidak ada. Terhadap hal itu oleh
Mimamsa dikatakan bahwa ketiadaan meje dimakar itu diketahui karena tidak adanya
pengamatan terhadap benda tersebut.
Rangkuman
Dalam epistemologinya sistem Mimamsa mengenal dua jenis pengetahuan yaitu:
Immediate dan Mediate. Immediate ialah pengatahuan yang terjadi dengan tiba-tiba,
langsuang dan tidak terpisahkan. Sedangkan Mediate pengamatan yang diperoleh melalui
perantara. Objek dari pengamatan Immediate haruslah sesuatu ada atau zaat. Pengetahuan
yang datangnya tiba-tiba dan tidak dapat ditentukan terlebih dahulu disebut dengan
Nirwikalpa pratyaksa atau alocana-jnana. Sedangkan dari pengatahuan mediate adalah
seseuatu yang ada dapat diinterprestasikan dengan baik berdasarkan pengetahuan yang kita
miliki. Dalam hubungan pengetahuan mediate objeknya dapat dimengerti dengan benar,
pengatahuan semacam ini dinamakan saeikalpa pratyaksa. Menurut Mimamsa pengetahuan
yang didapat dengan perantara indrya dipandang sebagai pengetahuan yang benar.
Mengenai alat pengetahuan dalam ajaran Mimamsa diakuai ada enam jenis anatara
lain: Pratyaksa, Anumana, Upamana, Sabda, Arthapatti dan Anupalabdhi.

3. Etika Mimamsa
1. Kedudukan Weda di dalam Agama
Mimamsa tidak percaya dengan adanya penciptaan atas dunia ini. Dalam
kecemasannya untuk menyelamatkan Weda. Mimamsa tidak percaya adanya Tuhan yang
kekuasaanya berada diatas atau minimal setara dengan Weda. Menurut Mimasa Weda itu
sendiri mendasari kebenaran yang abadi atau hukum-hukum tentang adanya perintah
Weda. Weda itu sendiri menyiapkan ciptaan dari apa yang baik dan apa yang salah.
Kehidupan yang baik adalah; kehidupan yang mengabdi kepada kesetiaan terhadap
perintah-perintah Weda.
2. Kewajiban yang mendasar
Ritual atau upacara yadnya harus dilaksanakan karena berkaitan dengan Weda,
bukan dengan tujuan-tujuan yang lain. Pengorbanan yang dilakukan pada Zaman Weda
dikalkulasi untuk menyenangkan Dewi Matahari, Dewa hujan, dan Dewa-dewa yang
lainnya atau untuk memenangkan peperangan dengan mengusir penyakit. Walaupun
Mimamsa merupakan kelanjutan dari pada sistem keagamaan yang bersumber dari Weda,
maka upacara keagamaan secara detail lebih mendapat tempat dari para Weda-Weda itu

20
sendiri, yang secara perlahan-lahan menjauh dan menghilang ke dalam atau menjadi objek
dari struktur. Tujuan dari pada melaksanakan upacara yadnya itu bukan persembhaan,
maksudnya tidak bertujuan untuk menyenangkan Dewa apapun. Juga bukan untuk
menyucikan jiwa atau memperbaiki moral. Upacara keagamaan dilaksanakan hanya karena
Weda memerintahkan demikian atau untuk melakukannya. Beberapa dari upacara ini
adalah diperuntukkan menikmati sorga atau memperoleh keuntungan-keuntungan duniawi
sepeerti, air hujan, Tetapi disamping itu ada beberapa upacara yang harus dilakukan hanya
perintah Weda. Mimamsa mencapai puncaknya yang tertinggi dengan kemegagahannya,
antara lain melaksanakan kewajiban demi untuk kepentingan kewajiban itu.
Seperti halnya Kant (seorang filsuf barat) . Mimamsa pecaya bahwa perbuatan
yang wajib untuk dilakukan bukan untuk memberikan keuntungan kepada pelakukanya
tetapi kita harus melalukan. Mimamsa percaya bahwa suatu kewajiban tidak harus
dilakukan dengan tujuan yang menarik, tetapi alamlah yang menganjurkan agar seseorang
melakukan tugasnya, bukan yang lain. Bedanya dari Mimamsa adalah; Mimamsa
menganggap benar adanya hukum karma dari seseorang di dunia ini, tetapi Kant
menganggap benar adanya Tuhan. Menurut Kant, pemujaan kepada Tuhan adalah
kewajiban yang tertinggi, sedangkan bagi manusia kewajiban adalah kekuasaan Weda
secara pribadi yang berkaitan dengan tugas.
3. Kebaikan yang tertinggi
Kebaikan pada awal sistem Mimamsa adalah untuk mencapai sorga atau
kebahagiaan sejati. Sorga dianggap sebagai akhir dari suata upacara keagamaan. Penulis
Mimamsa atau Para Mimamsa perlahan-lahan dipengaruhi oleh pemikir-pemikir dari
sistem filsafat India yang lainnya dan kemudian menerima kelepasan sebagai tujuan
tertinggi.
Mereka menyadari bahwa perbuatan baik dan buruk itu ditentukan oleh keinginan
yang akibatnya akan menimbulkan yang berulang-ulang. Apa bila seseorang memahami
bahwa kehidupan duniawi hanya permainan pikiran dan indriya yang menjadikan manusia
menderita, maka seseorang akanmmengontrol pikiran dan indriyanya supaya tidak
melakukan perbuatan yang terlarang.
Dengan melakukan kewajiban yang diperintahkan oleh Weda, seseorang akan
terbebas dari kelahiran. Menurut Mimamsa jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah
pelaksanaan Upacara keagamaan seperti yang dianjurkan oleh kitab suci Weda, yaitu
tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan perbuatan yang terlarang.
Kebebasan adalah keadaan yang tidak disadari, bebas dari kesenangan dan rasa
sakit. Mimamsa mengatakan keadaan mental dan kesadaran tidak ada pada jiwa, muncul
kesadaran dan keadaan mental itu, bila jiwa dikaitkan dengan objek melalui tubuh dan
bagian-bagian tubuh yang lainnya. Kebebasan berarti lenyapnya hubungan jiwa dengan
tubuh-tubuh dan kembali kepada keadaan yang semula, yang bersipat kekal, berada
dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.

21
BAB V
SAMKHYA
1. Pendahuluan
Menurut tradisi pendirinya Maha Rsi Kapila. Samkhya mengakui kewenangan
Weda dengan demikian ajarannya cendrung mengarah pada konsep-konsep kitab-kitab
keagamaan yang terkuno seperti Weda Sruti, Weda Smrti dan purana. Maha Rsi Kapila
menulis tentang sistem ajaran samkhya pada sebuah buku yang bernama Samkhya Sutra.
Atau sering disebut dengan kitab Samkhya-prawacana Sutra, maka fisafat samkhya
dikenal dengan Samkhya prawacana. Kadang dinamakan pula atheistic Samkhya atau Nir
Iswara Samkhya, kenapa pada Samkhya pada ajarannya didasarkan pada Samkya
dinamakan theistic Samkhya atau Siswara Samkhya karena Yoga menambahkan satu
aspek dalam ajarannya tentang keberadaan Tuhan yang disebut dengan Iswara. Satu
alas an yang dikemukana Maha Rsi Kapila tentang keberadaan Tuhan disebut-sebut dalam
ajarannya, karena Tuhan itu sangat sulit untuk dapat dibuktikan. Inilah suatu pernyataan
yang tidak sejalan dewa Weda, tetapi Samkhya mengakuai tentang adanya Purusa sebagai
suatu asas yang tertinggi.
Menurut para bijak perkataan Samkhya terdiri dari dua kata yaitu: “Sam” yang
berarti bersama-sama dan kata “ Khya” yang berarti Bilangan. Jadi Samkhya berarti
susunan yang berukuran bilangan. Perkataan Samkhya juga berarti pengetahuan yang
sempurna (Sayag-jnana) yakni filsafat tentang sesuatu. Ajaran Samkhya bertujuan
membebaskan seseorang dari penderitaan di dunia. Samkhya memberikan pelajaran untuk
mengenali mengenali dirinya sendiri secara metafisika.
Ajaran Samkhya bersifat dualism karena mengakuia adanya rialitas sebagai asal
mula dari sesuatu yakni Purusa dan Prakerti. Sistem samkhya disebut juga realities karena
mengakui adanya rialitas alam semesta yang berbeda Purusa. Samkhya mengakui Purusa
itu banyak sehingga disebut menganut sistem pluralistis.
Ajaran pokok Samkhya adalah realitas Purusa dan Prakerti yakni asas kejiwaan dan
asas kebendaan yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Prusa dan Prakerti bersifat
kekal dan tidak dapat dihayati. Purusa berjumlah banyak dan tidak terhitung, hal ini
berbeda dengan pernyataan Upanisad yang mengakui satu Purusa yang bersifat Universal.
Sedangkan prakerti asas kedendaan yang merupakan sebab adanya alam semesta pada
hakikatnya juga tidak bisa diamati, namun nyata-nyata ada.

2. Metafisika Samkhya
Pembicaraan dalam aspek metafisika Samkhya adalah pada Prakerti, Tri Guna,
Purusa, Penciptaan Dunia dan pandangan Samkhya tentang Tuhan.

Prakerti
Pokok ajaran Samkhya tentang Purusa dan Prakerti yakni asas kerohanian dan
kebendawian. Dari kedua asas inilah tercipta alam semesta beserta isinya. Teori Samkhya
tentang sebab asal benda-benda ini menimbulkan ajaran bahwa Prakerti adalah sebab
terakhir dari dunia ini. Semua objek pikiran baik badan, perasaan adalah terbatas dan
merupakan saling ketergantungan satu dengan yang lain.
Pada hakekatnya alam semesta ini merupakan serentetan akibat dari suatu sebab.
Sebab itu bukan asas bukan roh, bukan kesadaran dan sebab itu haruslah lebih halus dari
akibat yang ditimbulkannya. Sebab terakhir ini adalah suatu asas yang tidak merupakan
akibat dari suatu sebab lagi. Suatu sebab yang kekal abadi yang menjadi sumber dari
terciptanya dunia ini. Sebab yang terakhir inilah yang disebut yang disebut Prakerti dalam
ajaran samkhya. Karena prakerti merupakan sebab pertama dari sebab yang ada dalam
semesta ini, ia haruslah bersifat kekal abdi, sebab tidak mungkin yang tidak kekal menjadi

22
sebab pertama dari semua yang ada dialam semesta ini. Akan adanya prakerti sebabai
sebab terakhir itu dapat diketahui dari kesimpulan berikut:

1. Tiap hal yang ada di dunia bersifat terbatas. Apa yang bersifat terbatas tergantung
kepada sesuatu yang tidak terbatas dan berdiri sendiri yang menyebabkan adanya
hal-hal yang terbatas. Adapun yang bersifat terbatas tidak terbatas itu adalah
Prakerti.
2. Benda-benda di dunia ini mempunyai sifat-sifat umum tertentu, yang menyebabkan
pemiliknya dapat menjadi senang, susah, dan netral. Karena semuanya ini haruslah
mempunyai sumber-sumber mempunyai sumber yang sama dari ketiga sebab itu.
Sumber itu adalah Prakerti.
3. Semua sebab itu mengalir dari semua aktifitas, dari semua sebab yang mengndung
potensi di dalamnya. Karena itu dunia ini haruslah mengandung akitifat yang
menyebabkan perkembangan yang berasal dari suatu sebab pertama yaitu Prakerti.
4. Suatu akibat tidak mungkin menjadi sebabnya sendiri. Karena itu tentu ada suatu
sebab asasi, yang menyebabkan adanya segala macam akibat itu. Sebab asasi itu
adalah Prakerti.
5. Alam semesta ini mewujudkan suatu kesatuan. Adanya suatu kesatuan
menunjukkan adanya suatu sebab yang menyatukannya, yaitu Prakerti.
Demikianlah seterusnya sampai pada sebab pertama, pada waktu peleburan unsure-
unsur kebendaan ini akan lebur menjadi atom-atom kemudian menjadi tenaga dan
demikian seterusnya sampai pada sebab pertama. Dan akhirnya kita akan sampai pada
sebab pertama yang tidak terbatas, terdapat dimana-mana, kekal abadi dan inilah disebut
prakerti.
Samkhya mengajarkan bahwa di dalam Prakerti ada tiga guna, ketiga ini
dipandang sebagai ketentuan-ketentuan yang menyusun Prakerti, tetapi bukan berarti
Prakerti terbentuk dari ketiga guna itu. Namun keduanya saling ketergantungan dan tidak
dapat dipisah-pisahkan. Baik prakerti maupun ketiga guna itu memiliki sifat tidak terbatas
dan juga tidak dapat diamati.

Tri Guna
Prakerti dibangun oleh Tri Guna yaitu: Satwam, Rajas dan Tamas. Guna artinya;
unsure-unsur atau kompenen-kompenen penyusun. Tri Guna tidak dapat diamati dengan
indriya, Adanya dapat disimpulkan atas objek dunia ini yang merupakan akibat
daripadanya. Karena adanya kesamaan antara akibat dan sebab, maka dapat diketahui sifat-
sifat guna dari alam yang merupakan wujud hasil darinya. Semua objek dunia ini memiliki
tiga sifat yakni sifat senang, susah dan sifat netral. Nyanyiann burung yang merdu
menyenangkan bagi seniman, tetapi menyusahkan orang yang sedang sakit dan tidak
berpengaruh apaun bagi orang yang acuh. Demikianlah sifat-sifat ini terkandung dalam
satwam, rajas dan tamas.
Karena dunia ini terbentuk dari prakerti yang didalmnya ada Tri Guna, maka dunia
ini pun kita saksikan selalu ada pertentangan dan kerja sama dalam kesatuan. Ketiga ini
selalu bersama dan tidak pernah terpisah satu dengan yang lainnya. Kerja sama ketiga
guna ini laksana minyak, sumbu dan api yang bersama-sama menyebabkan adanya nyala
lampu walaupun sifat dari masing-masing elemen itu berbeda dan bertentangan. Ketiga
Guna itu memiliki sifat yang terus menerus berubah.
Ada dua perubahan bentuk Triguna yaitu: Swarupa parinama dan Wirupa
parinama. Pada waktu pralaya masing-masing guna berubah pada dirinya sendiri tanpa
mengganggu yang lain perubahan seperti itu disebut swarupa parinama. Dalam keadaan
seperti ini tidak mungkin terjadi ciptaan, karena tidak ada kerja sama antara guna-guna

23
tersebut. Namun bila guna yang satu menguasai guna yang lain, maka terjadilah sutau
ciptaan. Perubahan ini disebut wirupa parinama.

Purusa
Jenis kebenaran yang tertinggi yang kedua dalam ajaran samkhya ialah Purusa dan
Roh. Setiap orang merasa bahwa ia ada dan memiliki sesuatu. Rasa yang ada dalam
dirinya,adalah rasa yang bersifat alamiah dan pengalaman yang pernah dialami dalam
hidup.
Samkhya mengatakan bahwa roh itu ada dan roh itu pulalah yang menjelma tetapi
keberadaannya tidak dapat dinyatakan dengan jalan apapun. Menurut ajaran samkhya Roh
itu berada dengan indriya, pikiran dan akal. Ia bukan sama dengan dunia ini, atau benda-
benda lainnya. Ia adalah kesadaran yang selalu menjadi subjek pengetahuan dan tidak
pernah menjadi objek pengetahuan.. Perusa adalah kesadaran yang abadi yang tidak
mengalami perubahan, tanpa sebab,meresapi segala namun bebas dari segala ikatan dan
pengaruh dunia ini.
Keberadaan Purusa atau Roh dinyatakan oleh Samkhya sebagai berikut:
1. Susunan alam terdiri dari banyak bagian, bahwa keberadaan alam bukanlah untuk
kepentingan diri sendiri, melainkan demi kepentingan sesuatu yang berbeda-beda
dengan alam semesta itu sendiri. Hal ini dapat disamakan dengan sebuah tempat
tidur. Sebuah tempat tidur terdiri dari banyak bagian. Keberadaan tempat tidur itu
bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk kepentingan sesuatu yang
akan menidurinya. Demikianlah keberadaan dunia bukan dunia itu sendiri
melainkan untuk keperluaan yang bukan untuk dunia, yang bukan benda, yaitu Roh
atau purusa.
2. Semua manusia berusaha untuk mendapatkan kelepasan. Hal ini mengaruskan kita
menyimpulkan, bahwa tentu ada yang dapat dicapai untuk mendapatkan kelepasan
itu.Yang mendapatkan kelepasan itu adalah Purusa.
3. Semua objek didunia ini termasuk pikiran dan kecerdasan harus diawasi agar ia
dapat mencapai tujuannya. Karena itu haruslah ada sesuatu yang menggarakkan
objek ini, dan ia adalah Purusa.
4. Semua objek dunia memberikan rasa senang, susah dan netral. Rasa senang, susah
dan Netral hanya ada artinya bila ada sesuatu yang mengalaminya, Yang
mengalami itulah Purusa.

Menurut Samkhya Purusa atau Roh itu banyak jumlahnya yang masing-masing
berhubungan dengan satu badan. Adanya Purusa yang banyak itu didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Dalam kehidupan di dunia ini ada perbedaan antara hidup dan mati. Kelahiran dan
kematian seseorang tidak berarti kelahiran atau kematian orang lain. Demikian
juga ada orang kaya dan orang miskin, oleh kerena itu roh itu banyak.
2. Jika seandainya ada satu roh untuk semua mahkluk, maka aktifitas seseorang
haruslah menyebabkan yang lain akktif. Tetapi kenyataannya, bila seseorang tidur
yang mungkin gelisah, resah dan sebagainya.
3. Orang laki dan orang perempuan berbeda satu dengan yang lainnya demikian pula
burung-burung, berbeda dengan binatang buas. Perbedaan ini akan hilang
seandainya ada satu roh. Karena itu mestilah roh itu banyak. Roh bersifat abadi
dan transcendental.
Penciptaan Alam Semesta
Prakerti akan mengalami perkembangan, bila berhubungan dengan Purusa. Melalui
perhubungan ini Prakerti dipengaruhi oleh Purusa seperti halnya dengan anggota badan

24
kita dapat bergerak karena kehadiran pikiran. Evolusi alam semesta ini tidak akan terjadi
karena hanya purusa, karena ia bersifat pasif. Demikian juga dengan Prakerti karena ia
tanpa kesadaran. Dengan demikian hanya perhubungan Purusa dan Prakerti sajalah terjadi
alam semesta beserta isinya dapat terjadi. Hungan Purusa dan Prakerti seperti kerja sama
orang buta dengan orang lumpuh yang dapat keluar dari hutan, mereka bekerja sama untuk
mencapai tujuannya. Akibat kerja sama anatara Puru dan Prakerti menyebabkan
terganggunya keseimbangan Tri Guna.
Dalam hungan Purusa dan Prakerti rajas mulai mengalami keguncangan dan
menyebabkan guna yang lainnya, maka itu terjadilah pemisahan dan penyatuan Tri Gura
yang menyebabkan munculnya objek-objek secara evolusi. Yang pertama muncul dari
pikiran ialah Mahat atau Budhi. Mahat adalah benih-benih alam semesta. Segi kejiwaan
atau segipsikologisnya disebut budhi, yang memiliki sifat-sifat dharma-jnana, wairagya
aiswarya yaitu kebijikkan, pengetahuan, tidak bernafsu dan Ketuhanan. Perbedaan antara
mahat dan budhi. Mahat adalah asas kosmis, sedangkan budhi asas kejiwaan. Budhi adalah
zat halus dari segi proses mental, kecakapan, untuk membedakan objek atau hal yang
bermacam-macam serta menerimanya sebagai apa adanya. Budi Merupakan unsure
kejiwaan yang tertinggi dari segi segala macam perbuatan moril dan intelektual.
Dari mahat atau budhi timbulah ahamkara yaitu asas individuasi, asas yang
menimbulkan individu-individu. Ia merupakan manifestasi perta dari mahat. Fungsi
ahamkara ini merasakan aku. Dengan ahamkara sang diri merasakan dirinya bertindak
yang berkeinginan dan yang memiliki.
Setelah ahamkara perkembangan Prakerti menuju kedua jurusan, yakni yang bersfat
kejiwaan, tetapi sattwam lebih berkuasa lebih berkuasa dari pada guna yang lainnya., dan
jurusan jasmani atau fisik tamaslah yang menguasai. Dalam hal ini perkembangan rajas
semata-mata berfungsi sebagai tenaga yang memberikan dinamika serta kekuatan kepada
kedua guna lainnya.
Perkembangan Kejiwaan yang kedua adalah: Panca jnanenderiya yakni:
Pengelihatan, Pendengaran, Penciuman, Perasa dan peraba. Perkembangan kejiwaan yang
ketiga Panca Kamenderiya adalah: Daya untuk memegang, Daya untuk berjalan, Daya
untuk membuang kotoran, dan Daya untuk mengeluarkan sperma. Kesepuh inderiya ini
tidak dapat diamati, tetap berada dilam alat-alat tubuh yang tampak itulah orang dapat
mengamati serta menenal objek-objek diluar diri manusia.
Perkembangan jasmani atau fisik mengahasilkan asas dunia yang ada diluar
manusia yang disebut Panca tan matra yang terdiri dari benih suara, sentuhan, warna,
rasa dan bau. Semua ini hanya dapat diketahui dari akibat yang ditimbulkannya,
sedangkan ia sendiri tidak dapat diamati karena bersifat halus.Dari benih suara terjadilah
akasa (ether), dari gabungan benih sentuhan dan suara terjadilah suara terjadilah udara
(waya). Dari gabungan benih warna suara dan sentuhan terjadilah cahaya atau api, Dari
benih suara, sentuhan dan warna terjadilah air dan dari benih badan empat atau tanmatra
terjadilah bumi (pertiwi).
Dari anasir kasar itu berkembanglah alam semesta beserta isinya namun
perkembangannnya ini tidak menimbulkan asas-asas baru lagi seperti perkembangan
Mahat. Alam semesta adalah benda-benda yang dijadikan bukan yang benda-benda yang
menjadikan. Setelah terbentuknya alam semesta ini belumlah sempurna sampai disitu,
sebab ia memerlukan asas lagi yakni roh yang menjadi saksi dan menikmati ala mini.Bila
roh itu nyata adanya, maka perlulah adanya penyesuain moral yang berupa kenikmatan dan
kesusahan dalam hidup ini. Evolusi Prakerti menjadi asas alam semesta memungkinkan
Roh menikmati kebahagiaan dan penderitaan sesuai dengan baik buruknya perbuatan,
namun tujuan akhir evolusi Prakerti ialah kelepasan.

Purus------------------------ Prakerrti

25
Mahat: berfungsi untuk berpikir

Budhi: berfungsi untuk menntukan kepuasan

Ahamakara : berfungsi untuk merasakan atau bertindak

Manas (pikiran)---------------------Panca Tanmatra


a. Sabdha Tan Matra
b. Saparsa Tan Matra
c. Rupa Tan Matra
d. Rasa Tan Matra
e. Gandha Tan Matra

Panca budhindriya-------------------- Panca Maha Bhuta


a. Caksuindriya : Mata a. Pertiwi : tanah
b. Srotendriya : Telinga b. Teja : Api
c. Ghranendriya : Hidung c. Apah : Air
d. Jihwendriya : Lidah d. Wayu : Bayu
e. Twakindriya : Kulit e. Akasa : Eter /ruang

Panca karmendriya.------------------- Alam semesta


a. Panindriya : Tangan
b. Padendriya : Kaki
c. Grabhendriya : Perut
d. Payuindriya : Anus
e. Upastendrya : Kelamin

Tuhan “ Brahman
Mengadakan Tapa Muncullah
Purusa…………………..O………………Parakerti

Ciptaan
Bhuana Agung------------ O----- -------Bhuana Alait
1. Citt 1. Ciita
2. Bhudi 2. Bhudi
3. Manah 3. Manah
4. Ahamkara 4. Ahamkara
5. Tri Guna 5. Tri Guna
6. Dasendriya 6. Dasendriya
7. Panca Tan Matra 7. Panca Tan Matra
8. Parama Anu 8. Paramaanu
9. Panca Maha Bhuta 9. Panca Maha Bhuta
10. Brahmanda 10. Sukla Swanita

Sukla Swanita

Sapta Loka Manusia


Sapta Petala Tri Sarira

26
Pandangan Samkhya Tentang Tuhan
Sikap Samkhya terhadap Tuhan sebagai yang dikemukan oleh paratokoh dan
komentatornya, sangatlah bertentangan dengan tradisi yang ada dalam masyarakat India.
Beberapa diantara mereka menjelaskan tentang Tuhan sebagai sesuatu yang tidak dapat
dibuktikan dalam hidup ini. Sikap seperti ini sungguh tidak dapat diterima oleh masyrakat
India yang bersifat Theis. Walaupu samkhya tidak menyebut-nyebut Tuhan dalam
ajarannya, tetapi samkhya mengakui adanya adanya Tuhan dengan berbagai alasan
sebagai berikut:
a. Alam ini merupakan sistem sebab akibat yang tidaki dapat diragukan lagi, tetapi
Tuhan bukanlah sebab adanya alam ini . Tuhan yang dikatakan yang dikatakan
sebagai sesuatu yang kekal abadi tidaklah mungkin demikian itu adalah sesuatu
yang abadi tetapi dapat berubah, yaitu Prakerti atau asas kebendaan
b. Prakerti adalah sesuatu asas kebendaan yang tidak memiliki kesadara yang dalam
perkembangannya menjadi alam semesta tetulah diawasi dan dibimbing oleh
sesuatu yang memiliki kesadaran. Oleh karena itu hendaklah diakui adanya sesuatu
yang Maha kuasa yaitu Tuhan yang langsung membimbing dan mengawasi prakerti
untuk mengadakan sesuatu. Maka dari pernyataan itulah timbulah pertanyaan:
Seandainya Tuhan yang mengawasi dan membimbing Prakerti 7untuk mengadakan
alam ini , tentulah segala sesuatu yang ada didunia ini sempurna, karena diadakan
oleh yang sempurna. Tetapi kenyataannya dunia ini penuh dengan dosa dan
penderitaan.
c. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Kekal dan abadi tidak ada hubungannya dengan
jiwa atau roh perorangan.
Kesimpulan dari semua ini bahwa Tuhan itu tidak ada, dan alam semesta beserta
isinya muncul dari Prakerti. Prakerti mengadakan dunia ini adalah untuk keperluan Purusa
yaitu roh pererangan yang berbuat baik. Ini sama dengan seekor lembu yang susunya
diperah untuk menganbil airnya,tanpa kesadaran ia telah membantu orang yang sedang
dirawat dirumah sakit atau orang yang memerlukannya.

3. Episthemologi Samkhya
Menurut Ajaran Samkhya ada tiga macam pengetahuan yang benar, ketiga macam
itu: Pratyaksa Pramana , Anumana Pramana dan Sabdha Pramana. Pengetahuan itu
dipandang benar bila pengenalan akan objek itu pasti dan benar melalui budhi. Sang diri
akan tahu sesuatu objek melalui budhi, manas dan indrya-indrya. Dalam pengetahuan
yang benar terdapat tiga anasir: Subyek, objek dan sumber pengetahuan itu. Subjek adalah
asas kesadaran yang tidak lain adalah Roh atau purusa tersebut.
Pengetahuan pengenalan langsung pada objek dengan perantara indrya. Dila ada
sebuah objek misalnya meja pada wilayah pandangan mata, itu berarti ada hubungan
antara meja dengan indrya mata. Meja itu menghasilkan suatu kesan yang kemudian
dianalisis oleh pikiran. Melalui kegiatan indrya, ahamkara kemudian budhi menjadikan
kesan saja.
Ada dua macam pengetahuan yakni: Nirwikalpa dan Sawikalpa. Pengamatan
Nirwikalpa adalah pengamatan yang tidak menentukan. Ia timbul sebagai peristiwa
pertama pada hubungan antara indrya dengan objek yang mendahului semua analisis
mental. Pada Tahap yang demikian hanya ada pengenalan yang menentukan. Ia merupakan
hasil analisis, sentetis dan interpretasi alam pikiran. Demikianlah pengamatan yang
diperoleh didasarkan pengamatan langsung atau Praktyaksa Pranama.

27
Pengetahuan yang didapat dengan anumana pramana adalah pengetahuan yang
didapat atas dasar kesimpulan. Dalam hal ini apa yang diamati akan menghantarkan
seseorang pada yang tidak diamati langsung melalui hubungan universal untuk kedua
pengetahuan itu, yaitu pengetahuan yang didapat atas dasar pengamatan langsung dan tidak
langsung. Bila seseorang melihat asap maka dapat disimpulkan disani ada api. Orang
mengetahui ada api hanya melalui asap. Pengetahun yang didapat atas dasar Sabda, ialah
pernyataan dari yang Kuasa dan memberikan pengetahuan akan seuatu objek yang tidak
dapat diketahui atas dasar pengetahuan dan penarikan kesimpulan.
Pengatahuan yang didapat atas dasar sabda dapat dibagi menjadi dua macam: 1.
Kesaksian yang diberikan oleh orang yang dapat dipercaya, yang dinyatakan dalam kata-
kata (laukika).2. Kesaksian Weda atau waidika.

4. Etika Samkhya
Dalam etika Samkhya tidak membedakan seseorang atas golongannya untuk
mempelajari kitab suci Weda. Semua orang dapat mempelajari weda tanpa kecuali. Karena
pada hakikatnya Weda adalah untuk semua orang. Dalam hubungannya seseorang dengan
orang lain. Samkhya menganjurkan agar seseorang dapat mengendalikan pikiran yang
jahat dan mengarahkan kepada pikiran-pikiran yang baik. Karena pada pikiran yang baik
akan dapat membawa seseorang pada keseimbangan lingkungan dan dirinya sendiri.
Kekuatan pikiaran itu hendaknya dijaga agar dapat diarahkan kepada hal-hal yang baik.
Kesucian seseorang adalah jika seseorang dapat melepaskan dirinya dari ikatan-
ikatan yang berpangkal pada awidhya (ketidaktahuan), asmita (kelakuan yang buruk), Raga
(napsu serakah), dewesa (kebencian), dan abhinewesa (ketakutan)
Dalam ajaran Samkhya pribadi itu sesungguhnya tidak ada. Perasaan adanya
pribadi merupakan perpaduan dari beberapa faktor yang pada hakikatnya tidak lain dari
rangkian proses yang tidak pantang berhenti yang disebut jasmani. Samkhya juga
mengajarkan bahwa pada hakikatnya tidak ada punyaku, semua itu adalah diluar punyaku
biarlah ia pergi. Yang dimaksud dalam hal ini adalah badan kita yang terdiri dari panca
maha bhuta, tidak perlu dirisaukan, jika pada saatnya hancur. Hidup didunia adalah
campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan yang dapat dinikmati, banyak pula
keseushan dan sakit yang diderita orang. Bila seseorang dapat menghindar dari kesesahan
dan sakit tetapi mereka tidak bisa melepaskan diri dari kematian.
Ada tiga macam penyakit dalam hidup ini:
1. Adhyatmika : sakit karena penyebab dari dalam tubuh, contoh kerja orga tubuh
yang tidak normal mengganggu akan mengganggu perasaan
2. Adhibautika: sakit karena pengaruh gaib.
3. Adhibautika sakit yang disebabkan karna faktor lain

28
BAB. VI
YOGA

1. Pendahuluan
Filsafat Samkhya ajaran Yoga selalu kita dapatkan di kitab-kitab ajaran agama
Hindu yang berbahasa jawa Kuno. Di Indonesian istilah Yoga sudah dikenal berabad-abad,
hal ini dapat dilihat dalam lontar Arjuna Wiwaha yang berbunyi sebagai berikut :
“Caci Wimba haneng gata mesi banyu, ndang suci neirmala mesi wulan, Iwa
mangkana kiteng kandadin, ring angambeki Yoga kiteng sakala (Arjuna Wiwaha.
11.1)”
Artinya :
Bagaikan bulan di dalam tempayan berisi air, di dalam air yang suci jernih
tampaklah bulan, sebagai itulah Dikau (Tuhan) dalam tiap mahluk, kepada orang
yang melakukan Yoga engkau menampakan diri.
Jika diperhatikan dari sloka di atas, jelaslah Yoga dapat diterapkan dalam agama atau
aliran kepercayaan Ketuhanan apapun, tetapi dasarnya tetap terletak dalam kitab suci
agama Hindu yaitu Weda dan Upanisad.
Rsi patanjali mengajarkan kepada siapa saja yang ingin hidup dalam Rohani, yang
ingin mengisyafkan kenyataan adanya Roh sebagai asas bebas, bebas dari tumbuh indriya,
dan pikiran dan terbatas. Karya pertama dari ajaran ini ialah Yoga Sutra tulisan Rsi
Patanjali, walupun unsur-unsurnya sudah ada sebelumya. Kemudian menyusul komentar-
komentar atas ajaran beliau, seperti Yoga-bhasya atau Wyasabhasya yang ditulis oleh
Wyasa dan Bhojaraja yang menulis Yoga Maniprabha dan lain-lain.
Komentar ini menguraikan ajaran Yoga Patanjali yang di tulis dalam kalimat
pendek dan padat isinya. Kata yoga artinya adalah hubungan antara Roh yang Pribadi
dengan Roh yang Universal yang tidak berpribadi. Rsi Patanjali mengartikan Yoga sebagai
Cittawrtti niroda yaitu penghentian pikiran.
Yoga Sutra dibagi menjadi empat yaitu :
a) Samadhi, isinya tentang sifat tujuan dan bentuk ajaran yoga. Dalam bagian ini
diterangkan tentang perubahan pikiran dan pelaksanaan yoga.
b) Sdhaha, isinya tentang pelaksanaan yoga seperti cara mencapai Samadhi,
kedudukan, karma phala dan sebaginya.
c) Wibhuti, mengajarkan segi batiniah ajaran yoga dan ajaran gaibyang terdapat
karna melaksanakan ajaran yoga.
d) Kailwalyapada, melukiskan tentang alam kelepasan dan kenyataan Roh yang
mengatasi alam duniawi.
Sering ajaran yoga disebut Samkya-Yoga karena ajaran yoga adalah pelaksanaan
ajaran Samkya dalam kehidupan nyata. Yoga menerima ajaran dari prmananya Samkya,
demikian pula 25 tattwasnya, namun menghindarkan Tuhan sebagai roh tertinggi, berbeda
dengan roh-roh lainya. Yoga merupakan jalan untuk memperoleh Wiwekajnana yaitu
pengetahuan untuk membedakan antara yang salah dengan benar sebagai kondisi
kelepasan. Hampir seluruh ajaran Hindu mengajarkan Yoga, karena yoga sudah sangat tua
umurnya. Hal ini dinyatakan dalam kitab-kitab Upanisad, Smerti, dan Purana yang di
dalamnya sudah ada ajaran yoga.
Pelaksanaan ajaran yoga adalah jalan yang baik untuk mencapai tujuan itu. Yoga
mengajarkan tentang kelepasan secara langsung perbedaan Roh dan dunia jasmani ini
termasuk badan, pikiran, dan sifat aku. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengendalian
fungsi badan, indriya, pikiran, rasa aku dan sebagainya. Dan menyadari adanya Roh itu
kekal dan abdi bebas dari penderitaan dan kematian. Yoga mengajarkan jalan praktis untuk

29
pemusatan pikiran, yang mengatur orang untuk dapat membedakan roh dengan jasmani
atau purusa dan prakerti.

2. METAFISIKA YOGA
Metafisika yoga sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metafisika Samkhya. Materi
tentang pengertian Purusa, Prakerti, triguna, dan penciptaan alam Samkhya dapat di terima
oleh Yoga, walaupun ada sedikit perbedaan dengan ajaran yoga.
a. Penciptaan Alam Semesta Menurut Ajaran Yoga
Sistem Filsafat Yoga didasarkan pada sistem filsafat Samkhya, Maka itu ajaran
Yoga sebagian besar diambil dari ajaran Samkhya. Dalam ajaran Yoga dijelaskan bahwa
dua asasi pokok yaitu Purusa dan Prakerti merupakan suatu kenyataan terakhir dari segala
sesuatu. Jumlah Purusa jamak dan alam semesta dilahirkan dari prakerti, dengan
perkembangan mahat/budhi, ahamkara, manas, panca maha budhindriya, panca
karmendriya, panca tanmantra dan panca maha butha di terima oleh yoga.
Dalam penciptaan alam semesta menurut ajaran yoga sama pula denganajaran
samkhya yaitu secara evolusi dimana citta dipandang sebagai hasil pertama dari
perkembangan Prakerti. Yang dimaksud dengan citta ialah gabungan budhi, ahamkara, dan
manas. Citta memantulkan kesadaran dari purusasehingga dengan demikian citta menjadi
sadar dan berfungsi dengan bermacam-macam cara.
Tiap purusa berhubungan dengan suatu citta, yang disebut karana citta. Karana citta
dapat mengembang dan mengecil sesuai dengan tubuh atau tempat yang ditempatinya.
Karena citta mengecil dalam tubuh binatang dan membesar di tubuh manusia. Karana citta
yang berhubungan dengan tubuh disebut karya citta. Tujuan sistem Yoga adalah
mengendalikan citta dalam keadaaan yang semula, yang murni tanpa perubahan sehingga
dengan demikian purusa bebas dari penderitaan.
Penyebab dari penderitaan yaitu Awidya (ketidak tahuan), asmita yaitu
menyamakan purusa dengan tubuh, pikiran dan perasaan diri pribadi, raga (terikat hawa
nafsu), dwesa ( keenganan untuk menderita), dan abhineswara (keinginan hidup yang
panjang).
Agar purusa dapa dilepasakan dari ikatan dari prakerti, seseorang hendaknya
menindas wretti, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa sebab klesa-klesa itu wujudkan
suatu fungsi yang menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya. Dalam
hidup kejiwaan manusia terdapat suatu perputaran yang tiada putus-putusnya, yaitu
perputara wretti, keinginan klesa-klesa, ketidak tahuan dan sebagainya. Tujuan akhir dari
yoga adalah memberhentikan perputaran yang tiada putus-putusnya itu, dengan cara
bertahap meniadakan antara yang pribadi dengan yang priabadi. Hanya dengan usaha yang
panjang manusia mendapatkan kebiasaan untuk lepas dari nafsu-nafsu, sehingga mereka
dapat membedakan anatara pribadi dan yang bukan pribadi.
b. Tuhan dalam Ajaran
Berbeda dengan ajaran Samkhaya, yoga mengakui adanya Tuhan. Tuhan dapat
dibuktikan dengan adanya alam semesta beserta isinya. Maka itu sistem yoga besifat teori
dan praktek terhadap keberadaan Tuhan. Tuhan dalam ajaran yoga dipandang sebagi jiwa
Maha Agung yang mengatasi perorangan dan bebas dari penderitaan.
Tuhan maha sempurna, kekal abadi, maha kuasa, dan maha mengetahui. Sedangkan
jiwa perorangan diliputi klesa-klesa, seperti kebingungan, rasa aku, keinginan yang
berlebihan, ketakutan dan kematian. Manusia melakukan perbuatan baik dan buruk yang
disebut karma dan karmawasan yang dapat mempengaruhi kehidupan di dunia. Buah
perbuatan akan selalu dinikmati baik dikehidupan sekarang maupun sesudahnya, yang
semua ini merupakan kesengsaraan. Manusia bisa bebas dari semua pengaruh ini, bila ia

30
sudah mencapai kelepasannyaitu pengetahuan realitas diri sejati. Tuhan sendiri adalah
maha sempurna dan bebas dari karma dan sifat keakuan.
Keberaan Tuhan dalam ajaran yoga dikemukakan dengan beberapa alasan sebagai
berikut :
1) Pernyataan kitab suci Weda, Upanisad, dan kitab suci lainya dalam agama
Hindu yangmenyatakan bahwa Tuhan itu jiwa yang Maha Agung dan Realitas
tertinggi.
2) Pada manusia terdapat perbedaan dalam tingkatan pengetahuan, kekuasaan, dan
lain sebagainya. Sesuatu hal itu yang disebut dengan Tuhan.
3) Keberadaan alam semseta beserta isinya berasal dari penyatuan purusa dan
prakerti dan Tuhanlah yang menyatukannya. Menentukan purusa dan prakerti
mengadakan alam semesta beserta isinya.
Demikianlah alasan yang dikemukakan oleah ajaran yoga tentang keberadaan
Tuhan yang juga disebut iswara. Bhakti kepada Tuhan tidak hanya merupakan praktek
yoga, tetapi juga merupakan sarana pemusatan pikiran dan Samadhi. Tuhan memberikan
karunia kepada seseorang yang bhakti kepadanya berupa kesucian dan penerangan bathin.
Tuhan melenyapkan semua rintangan jalan orang-orang yang berbhakti kepada-Nya,
seperti duka cita dan menempatkanya dalam situasi yang menyenangkan.

3. Epistimologi Yoga
Ajaran yoga mengenal tiga pengamatan yang benar yaitu Pratyaksa, Anumana, dan
Sabda Prmana. Ketiga pengamatan ini sama dengan ajaran Samkhya, keduanya
menyatakan bahwa Roh di pandang sebagai kekautan yang bebeas bersatu dengan badan.
Roh sifatnya kesadaran murni, bebas dari batas-batas jasmani dan kegoncangan dalam
pikiran. Tapi karna kebodohan, Roh menyamakan dirinya dengan alam pikiran. Dalam
ajaran yoga pikiran disebut citta.
Citta merupakan hasil pertama dari Prakerti, yang pada dirinya sattwamlah yang
lebih berkuasa dari pada rajas dan tamas. Bila citta berhubungan dengan suatu obyek dunia
melaui mana ia memiliki kesadaran dan kecakapan. Perubahan citta itu banyak jumlahnya,
semuanya dapat diklasifikasikan menjadi lima yaitu :
1) Pramana yaitu pengamatan yang benar
2) Wiprayaya yaitu pengamatan yang salah
3) Wikalpa yaitu pengamatan hanya dalam kata-kata
4) Nidra yaitu tidur
5) Smerti yaitu ingatan
Citta memandang dirinya mengalami kelahiran, kematian, tidur, jaga, berbuat salah
benar dan sebagainya. Sesungguhnya Roh itu mengatasi segala hal ini. Ia nampak menjadi
pelaku lima klesa atau sumber kesedihan yaitu :
1) Awidya yaitu pengetahuan yang salah, misalnya mengangap dirinya kekal
2) Asmita yaitu pandangan yang salah, dimana memandang Roh itu sama dangan
budhi, ahamkara, dan manas.
3) Raga atau Nafsu keinginan dan alat-alat pemuasanya
4) Dwesa yaitu kebencian
5) Abhinewesa yaitu takut pada kematian semua mahluk
Dengan tidak adanya wiweka jnana maka ia menyamakan dirinya dengan yang
diubah-ubah itu. Akhirnya roh, merasa susah dan senang, benci dan cinta sesuai dengan
citta. Bila seseorang ingin bebas dari ikatan itu, ia harus dapat menguasai aktifitas
indriyanya dan pikiranya. Akhirnya Roh menyadari dirinya sebagai diri yang sejati berbeda
dengan pikiran, ahamkara, manas dan indriya.

31
Dalam ajaran Yoga terjadi proses pengamatan : pertama indriya menerima obyek
dari luar tanpa wujud, dan menyampaikan pengamatan kepada manas. Selanjutnya masalah
yang menyampaikan pengamat itu hingga menjadi sintesis dan kemudian menentukan sifat
pengamat. Demikian proses terjadinya pengamatan dalam yoga.

3. Etika Yoga
Yoga berarti penghentian goncangan-goncangan pikiran. Ada lima keadaan pikiran
yang ditentukan oleh intensitas sattwam, rajas, tamas. Kelima keadaan itu ialah :
a) Mudha artinya tidak diam pikiran diombang-ambingkan oleh rajas dan tamas dan
ditarik oleh indriya dan sasarannya.
b) Mudha artinya lamban atau malas akibatnya orang cenderung bodoh, senang tidur,
dan sebagainya
c) Weksipta artinya bingung atau kacau pikiran mampu mengarahkan pikranya
menuju kebajikan, pengetahuan, dan sebagainya.
d) Akgra artinya terpusat
Disini citta terhapus dari cemarnya rajas sehingga satwamlah yang menguasai
pikiran. Ini merupakan awal dari pemusatan pikiran sebagai persiapan untuk
menghaentikan perubahan pikiran.
e) Nirudha artinya terkendali semua pikiran, hanya ketenanganlah yang ada.
Akagra dan Nirudha merupakan persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan
akhir.

Tingkatan Nirudha juga disebut Asamprajnata yoga, karena semua perubahan dan
guncangan pikiran berhenti, tiada satupun diketahui oleh pikiran. Ada empat Asamprajnata
dalam ajaran yoga menurut jenis obyeknya renungan diantaraya :
a) Sawitarka ialah bila pikiran itu di pusatkan pada suatu obyek yang benda kasarnya
arca dewa atau dewi.
b) Sawicara ialah pikiran itu di pusatkan pada obyek yang halus tidak nyata sepeti
tanmantra.
c) Sananda bila pikiran dipusatkan pada obyek yang halus seperti rasa indiya.
d) Sasmita pikiran dipusatkan pada asmita yaitu rasa aku yang biasanya roh
menyamakan dirinya dengan ansir ini.
Untuk meningkatkan kebersihan pikiran itu seseorang harus melaksanakan praktek
yoga dengan cermat dan dalam waktu yang lama. Yoga mengajarakan adanya delapan
jalan dengan bertahap yang disebut Astanggayoga tahapanya yaitu :
a. Yama
Yama artinya pengendalian diri yang berisi lima perintah
1) Ahimsa artinya tidak membunuh, tidak menyakiti mahluk hidup, tidak melaukan
kekearasan, tidak melukai mahluk lain manapun baik dalam pikiran, perkataan
dan perbuatan termasuk ahimsa.
2) Satya artinya kebenaran dalam berkata-kata, perbuatan maupun pikiran.
3) Asteya pantang mengingini sesuatu yang bukan miliknya atau pantang mencuri.
4) Bermacarya pantang kenikatan seksual antau mengendalikan nafsu asmara.
5) Aparigraha artinya tidak menerima pemberian yang tidak penting dari orang lain.
Kelima yama diatas merupakan keharusan bagi seorang yogin atau pelajar yoga.
Karena yama merupakan kode kelakuan yang universal (sarwabauma mahavrata). Kelima
perintah agung ini hendaknya diterima secara universal bukan sebagai penafsiran.

a. Niyama
Niyama artinya pengendalian diri lebih lanjut, ia terdiri dari

32
1) Sauca artinya suci lahir bantin. Seorang siswa Yoga diajurkan melakukan sauca
meningkatkan kesucian dirinya. Adapun kesucian pikiran yaitu :
a) Sattwasuddhi, yaitu kesucian untuk membedakan baik dan buruk
b) Saumanasya, yaitu hati yang selalu gembira
c) Ekagrata yaitu pemusatan budi
d) Atmadarsana yaitu realisai diri
Kesemuanya dapat dicapai dengan melaksanakan sauca atau kesucian dalam
pikiran , perkataan dan perbuatan.
2) Santosa artinya puas dengan apa yang datang dengan wajar.
Kebajikan ini mengantarkan kepada kesenangan yang tak terkalahakan. Seorang yogin
adalah aktivitas yang dipribadikan karena itu kepuasanya tidak menjadikan non aktif,
bahkan membantunya melaksanakan usaha baru. Kepuasan yang ada dalam dirinya
merupakan kesenangan yang transenden.
3) Tapa artinya tahan uji terhadap gangguan-gangguan. Tapa menghasilkan kepuasan
semua kebutuhan badan dan alat-alat imdriya.
4) Swadiyaya artinya seseorang mempelajari buku-buku agama secara teratur.
5) Iswarapranidhana artinya memusatkan pikiran dan bhakti pada Tuhan.
Iswarapranidhana dapat menghantarkan seseorang untuk mencapai Samadhi yaitu Supra-
Sadhar-Transenden.

b. Asana
Asana duduk yang ditunun menjadi sikap yang kuat dan menyenangkan. Ada
beberapa macam asana seperti padmasana, dhanuh-sana, wijrasana dan sebagainya. Dalam
yoga mengajarkan bermacam-macam yoga untuk memelihara kesehatan dan menyucikan
badan dan fikiran. Sikap asana dalam yoga berjumlah delapan belas yang perinciannya
sebagi berikut:
1) Sarwanga-asana (sikap berdiri diatas bahu)
2) Hala-asana (sikap bajak)
3) Bujangga-asana (sikap ular kobra)
4) Danuh-asana (sikap busur)
5) Salabha asana (sikap belalang)
6) Pascimottana-asana (sikap melurus muka)
7) Padhasta-asana (berdiri membungkuk ke muka)
8) Ardha-matyendra-asana (sikap berputar)
9) Wajra-asana (sikap tabah)
10) Supta wajra-asana (sikap panggul)
11) Dhanu Wajra-asana (sikap bujur tabah)
12) Mayura-asana (sikap merak)
13) Padma-asana (sikap teratai)
14) Matsya-asana (sikap ikan)
15) Budha padma-asana (sikap teratai guru)
16) Kukkuta-asana (sikap ayam jantan)
17) Uttana-kurmaka-asana (sikap penyu)
18) Sirsa-asana (sikap bandan terbalik)
Semua sikap asana sebagai yang tersebut diatas akan dapat membantu seseorang
dalam ushanya untuk maju dalam bidang yoga. Tetepi tidaklah mesti dilakukan semuanya,
melainkan dapat dipilih sesuai dengan kesenangan dan kemampuan seseorang.

33
c. Pranayama
Pranayama artinya pengaturan napas. Pranayama ini terdiri dari Puruka yaitu
pemasukan napas, Kumbhaka yaitu menahan napas, dan Recaka mengeluarkan napas.
Ada bebrapa latihan yang bisa kita lakukan dalam praktek yoga dinataranya yaitu :
1. Latihan pertama
Tutuplah bibir dan tarik napas panjang kedalam selama tiga detik lalu keluarkan
napas itu dan mencoba mengosongkan diri selama tiga detik. Kemudian lakukan seperti itu
terus menerus dgn teratur dan semakin lama.
2. Latihan kedua
Tutuplah lubang hidung kiri dengan telunjuk tangan kiri, dan tariklah napas ke dalam
melalui lubang kanan hidung, perlahan-lahan selama 3 sampai 5 detik. Kemudian dengan
jari tengah tangan kiri yang sama tutuplah lubang kanan hidung dan keluarkan napas
melalui lubang kiri.
3. Latihan releks (merdeka)
Tarik napas melalui lubang hidung sebanyak munkin tanpa memaksakan diri.
Kemudian membuka mulut dengan membuat lubang bundar dan keluarkan napas melalui
mulut sedikitnya selama 5 detik. Latihan releks ini dilakukan dua atau tiga kali sesudah
suatu latihan yang berat.
4. Latihan ketiga
Tariklah nafas sedalam mungkin selama 3sampai 5 detik. Duduk dengan tenang dan
tahanlah nafas sambil menghitung sampai 7 (bhur, bhuah, swah, mahah, janah, tapah.
Satyah). Kemudian keluarkan nafas selama 5 detik dan berhentilah bernafas sampai
hitungan 3 (bhur, bhuah, swah)
5. Latihan keempat
Latihan ini merupakan ulangan latihan ketiga, tetapi abdomen (bawahnya perut)
tidak diperkenankan mengembung. Pernafasan dilakukan dnegan bantuan tulang rusuk dan
otot-otot intecostal (diantar rusuk-rusuk).
6. Latihan kelima
Untuk latihan ini duduklah dengan kepala maju sedikit kedepan. Tarik ke dalam
abdomen (bawah perut) tariklah nafas ke dalam sambil sambil mengangkat bahu dan
menahan rusuk dan otot-otot rusuk setenang mungkin. Sesudah menarik nafas kedalm,
tahan nafas sampai 7 hitungan dan kemudian keluarkan nafas perlahan-lahan sambil
menurunkan bahu.
7. Latihan ketujuh
Latihan ini adalah kumbhaka (penahan nafas) tanpa melakukan puraka dan recaka.
Duduklah seenaknya dengan punggung tegak dan bernafaslah normal, tetapi dengan
penahanan nafas 15 sampai 1 menit. Latihan ini dapat dilakukan berulang-ulang tetapi
lebih dari pada 1 menit, kemudian rileks dan beristirahat secukupnya. Demikianlah
bebrapa latihan tentang prnayamadalam ajaran yoga, yang kemudian dilanjutkan dengan
tahapan selanjutnya.
2. Pratyahara
Pratyahara artinya menarik indriya dari wilayah sasaran dan menempatkan di
bawah pengawasan pikiran. Alat-alat indra cenderung untuk mengejar nafsunya (wiyasa),
mata mengejar keindahan warna dan bentuk, telingga mengejar bunyi dan nada, lidah ingin
menikmati rasa lezat, hidung mencari bau yang harum yang semerbak, peraba ingin
memegang dan memeluk apa yang halus.
Seorang yogin membiasahkan diri dari pengaruh indriyanya, bila ia melihat dan
mendengar sesuatu maka ia akan terikat oleh semua itu. Syarat pratyahara yang pertama
ialah untuk melepaskan alat-alat indranya itu dalam hubugannya dengan nafsu-nafsunya
masing-masing. Syarat kedua menurut patanjali ialah hubungan nafsu disejajarkan dengan
34
aktifitas citta dalam bentuknya yang asli (swarupa) melainkan citta yang bebas dari
keguncangan, itulah citta dalam bentuknya yang murni.
Tentang Pratyahara Patanjali mengatakan sebagi berikut :
“ Swa wiyasa-asamprayoga-cittayasa swarupa anukara
Iwa indriyanam pratyaharah. Tatah parana wasyata indriyanam”

Artinya :
Pratyahara (alat penyaluran) terdiri dari pelepasan alat-alat indriya dan nafsunya
masing-masing, dan penyesuian alat-alat indriya dan nafsunya masing-masing, dan dari
penyesuaian alat-alat indriya dalam bentuk citta dan budhi yang murni.
Yama, Nityama, Pranayama, dan Pratyahara dinamakan sendi-sendi lahir
(bahirangga) dari yoga. Sedangkan Dharana, Dhayana dan Samadhi sebagai sendi-sendi
bathin (antaranga).
3. Dharana
Dharana adalah memandang dan memusatkan pikran pada sasaran yang diijinkan.
Patanjali memberikan 7 metode yang diperhatikan dalam memusatkan pikiran. Adapun
metode tersebut yaitu :
1) Metode pertama
Dalam budhi mengalami kegoncangan oleh patanjali diajurkan untuk bermeditasi
pada sutu obyek supaya budhi mendapatkan ketenangan. Kutipan sutranya demikian : “Tat
pratisedhatam eka tatwa abhyasa (I.32). artinya, hancurkanlah ini, bermeditasilah pada
suatu obyek.
2) Metode kedua
Menenangkan budhi adalah dengan memperbaiki sikap mental anda terhadap orang
lain di sekitar anda atau dalam linkungan pergaulan anda.
Patanjali dalam yogasutranya :
“Maitri-maitri mudoita upeksanam
Subha dukha punya apunya wisanam
Bhawanatas citta prasadanam (I.33)
Artinya :
Budhi mencapai ketenangan dengan melakukan hubungan baik dengan orsng yang
berbahagia, dengan mengucapkan perasaan kasihan kepada orang-orang yang menderita,
dengan mengucapkan kepuasan terhadap orang bijaksana, dengan menunjuk sikap acuh
terhadap orang jahat.
3) Metode ketiga
Untuk mencapi ketenangan budhi adalah dengan melatih pranayama atau dengan
mengikuti perkataan patanjali dalam yoga sutranya : “Pracchardana wiradhana-bhayamwa
pranasya (I.34)
Artinya : dengan menguasai dan menundukkan nafas.
4) Metode keempat
Dalam mengatasi keguncangan batin, patanjali berbicara tentang suatu prestasi atau
pengamatan yang luar biasah atau perasaan yang lebih tinggi. Bilamana seseorang melatih
pemusatan pada persepsi berperasaan lebih tinggi maka ia akan mencapai kematangan
budhi. Adapun persepsi itu adalah diwya rupa (Bentu supra), dhywya gandha (ciuman
supra), diwya sabda (bunyi supra), diwya rasa( rasa supra), dan diwya sparsa (rabaan
supra).
5) Metode kelima
Dalam metode ini seseorang diajurkan melakukan meditasi pada cahaya batin yang
cemerlang (jyotismati) yang berada di luar penderitaan (wisoka) yang dapat mengantarkan
seseorang kepada kebahagiaanyan (ananda) bebas dari segala kesusahan. Inilah meditasi
pada cahaya yang ada dalam jantung dan cahaya tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

35
6) Metode keenam
Dalam metode ini diajurkan melakukan pemusatan pikiran ditujukan kepada orang-
orang suci yang telah melepaskan keterikatan duniawi untuk membantu menenangkan
budhi. Renungan yang bersungguh-sungguh pada orang suci akan sangat besar pengaruh
dalam praktek yoga.
7) Metode ketujuh
Untuk memenangkan budhi diajurkan merenungkan pengetahuan yang diperoleh
dalam mimpi waktu tidur. Dalam hubungan ini Yoga Sutra. I.38 menatakan : “swapna
nidra jana alambanan”. Artinya, merenungkan pengetahuan yang diperoleh melalui mimpi
atau tidur. Kadang kala seseorang dapat anugrah saat tidur nyenyak (susutpi) sesunguhnya
mereka telah mendekatkan dirinya dengan diri yang Agung yaitu Brahman. Pendekatan
pada diri yang Agung itu dapat pula dilakukan dalam keadaan Samadhi.

4. Dhyana atau Kontemplasi


Dhayana berati aliran pikiran yang tenang pada obyek yang tak tergoyahkan oleh
gangguan sekelilingnya. Hal ini menyebabkan orang memiliki gambaran yang jelas tentang
bagian-bagian yang direnungkanya.
Patanjali dalam yogasutra III.2 mengartikan dhyana sebagi berikut :
“Tantra pradyaya ekatanata dhyanam”. Artinya arus budhi yang tak putus-putusnya
pratyana atau tujuan, itulah renungan atau dhyana. Seperti sungai mengalir terus kelaut,
maka segenap kesadaran diri mulai mengalir terus menerus kearah Tuhan atau Diri Agung.
Dalam hubungannya dengan dhyana dikemukakan oleh Sanagkara garis-garis indah
yangdikatakan berasal dari Yajnawalkya sebagai berikut
Pranayamair dahed dosan dharanbhisca kilbisan
Prataharaca sansargan dhyananean amswaan gunan.
Artinya :
Dengan pranayama terbuanglah kotoran badan, kotoran budhi, dengan pratyahara
terbuanglah kotoran ikatan, dengan dhyana dihilangkan segala apa yang berada diantara
manusia.

5. Samadhi
Tahap terakhir dari astangga yoga adalah Samadhi. Samadhi juga disebut keadaan
supra sadar transenden. Dalam samadhi pikiran telah lebur menyatu pada obyek renungan
dan tidak ada kesadaran akan dirinya sendiri. Samadhi adalah penyatuan yang sempurna
dari yang dicintai, pecinta dan kecintaan. Seorang yogin yang telah mencapai samadhi atau
supra kesadaran transenden sepenuhnya terserap dalam Tuhan.
Dalam Maitrya Upanisad VI.34 ada disebutkan tentang keadaan tertinggi yaitu
Samadhi yang dicapai seseorang merupakan suatu kebahagiaan yang tak dapat diuraiikan,
yang dinyatkan demikian :
Sebagai api, yang kehabisan bahan bakar,
Tepatlah dalam sumbernya
Demikianlah pikiran yang kehilangan aktivitasnya,
Terpadamlah dalam sumbernya sendiri.
Menjadi terpadam dalam sumbernya sendiri karena budhi mencari yang sejati.
Bagi seorang yang terlibat oleh hal-hal indriya,
Menyusul kekuasaan yang palsu.
Dengan noda-noda budhi dicuci hilang melalui pemusatan,
Alangkah bagahagianya dia memasuki Atman,
Tak mungkin menguraikannya dengan bahasa,
Orang harus mengalaminya sendiri dalam bahasa batin.
36
Dalam samadhi tercapailah penyelamatan karena wahyu Tuhan, sebagaimana
disebutkan dalam Manduka Upanisad III.1.3 sebagai berikut :
Bilamana pengelihatan melihat Yang Cemerlang, Pencita, Tuhan, Brahman,
Sumber, Maka sebagai pengenal, yang membebaskan baik dan jahat, tanpa noda, ia
mencapai identitas utama (samya).
Samadhi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :
1) Samprajanata yaitu Samadhi yang disadari Prajna atau kesadaran. Masih
ada unsur Samskara, samadhi ini juga bisa disebut sabija Samadhi.
2) Asamprajnata Samadhi yaitu Samadhi yang tidak disertai Prajna. Lebih
tinggi tingkatnya dari yang sebelumnya sering disebut nirbija Samadhi, karena masih
mengandung benih samskara.
Beberapa sinonim yang perlu diperhatikan terhadap samprajnata dan asamprajanata
samadhi yaitu :
1) Mengakui segalanya
2) Bebas dari segala penyakit
3) Terpenuhi segala hasratnya
4) Bebas dari segala ikatan
5) Bebas dari kebingungan, kegelisahan, kekhawatiran, dan keguncangan dari purusa dan
citta.
6) Terpengaruh dari tiga guna.
7) Berkedudukan dalam diri sejati
Dalam hubungan ini merasakan eksistensi kehidupan ketuhanan yang sempurna
yang pencapaianya di dapat secara bertahap.

37
BAB VII
ADWAITA WEDANTA

1.Pendahuluan
Sistem Wedanta yang terbesar adalah aliran Adwaita. Kata Adwaita berarti tiada
dualism. Sistem Adwaita menyangkal adanya realitas atau kenyataan yang lebih dari pada
satu. Sistem Adwaita juga disebut dengan nama monism, yang mengajarkan bahwa segala
sesuatu dialirkan dalam suatu asas yaitu Brahman. Tiada satupun yang lepas dari Brahman
karena Brahman yang mutlak ada.
Tokoh pendiri Adwaita Wedanta adalah Sankara diperkirakan hidup pada tahun
788-820 Masehi. Dalam kitab Upanisad disebutkan adanya guru-guru kerohanian yang
telah banyak mengajarkan monism yaitu Yajnawalkya dan Uddalaka. Ajaran Adwaita pada
hakikatnya bersumber dari Wedanta-sutra dan kitab-kitab Upanisad.
Penganjur ajaran Adwaita yaitu Sankara dan Gaudapada, yang dianggap sebagai
gurunya. Gaudapada disebut sebagai penulis kitab Maudukya-karika yang isinya
menguraikan tentang ajaran Adwaita. Sankara mengemukakan bahwa Brahman adalah
satu-satunya reslitas yang ada dan tidak ada duanya. Sedangkan jiwa perorangan adalah
Brahman seutuhnya bukan yang lain yang menampakkan diri dengan sarana
tambahan(Upadhi). Alam semesta atau dunia ini adalah sebagai penampakan yang semu
dari Brahman, maka itu keberadaanya tidak nyata.
Dengan memperoleh pembelajaran yang mendekati konsep adwaita Wedanta
diharapkan anda dapat:
a. Menjelaskan ajaran Wedanta secara umum
b. Menjelaskan ajaran Adwaita Wedanta
c. Menjelaskan tujuan Adwaita Wedanta
d. Menjelaskan metafisika Adwaita Wedanta
e. Menjelaskan epistimologi Adwaita Wedanta
f. Menjelaskan etika Adwaita Wedanta
g. Mempergunakan ajaran Adwaita Wedanta dalam meningkatkan kwalitas keimanan
dan perilaku siswa terhadap agama Hindu.

WEDANTA DARSANA
Pandangan Umum
Kata Wedanta berarti akhir Weda. Wedanta juga disebut Uttara Mimamsa. Mula-mula
Wedanta berarti Upanisad karna dianggap sebagai akhir Weda, Sebutan ini muncul karena
adanya pandangan terhadap Upanisad sebagai berikut:
1. Upanisad merupakan karya terakhir dari zaman Weda
2. Dalam program pelajaran di jaman Weda, Upanisad merupakan mata pelajaran
teralhir.
3. Upanisad merupakan kumpulan syair-syair Weda yang ajaranya diuraikansecara
filosofis, oleh karena itu Upanisad adalah puncak Weda atau Wedanta.
Kata Upanisad berarti duduk dekat guru atau berarti mendekatkan diri kepada
Tuhan. Upanisad merupakan kitab dokrin keagamaan yang bersifat rahasia dari Weda yang
oleh para guru dinamakan Wedoparisad. Kitab Upanisad berjumlah 108 buah yang
kemunculannya berbeda waktu dan tempatnya antara satu dengan yang lain.
Badrayana menyusun secara sistematis pengajaran Upanisad dalam buku Wedanta Sutra
yang dipergunakan sebagai sumber ajaran sistem filsafat Wedanta. Kitab Wedanta Sutra
terdiri atas 4 bab, yakni:
1. Kitab Wedanta Sutra bahwa Brahman adalah realitas tertinggi dan semua ayat Weda
terkandung di dalamnya.
38
2. Menyatakan bahwa semua ajaran yang tidak sesuai dengan Weda tidak akan dapat
dipertahankan.
3. Membicarakan syarat-syarat untuk menyatukan diri dengan Brahman atau syarat-
syarat untuk mencapai Brahman.
4. Membicarakan pahala dari seseorang yang mendapat pengetahuan tentang Brahman
atau Brahma Widya.
Adapun tokoh-tokoh aliran dalam sistem filsafat antara lain adalah Sankara
menampilkan aliran Adwaita, Ramanuja menampilkan ajaran Wasistaadwaita, Madhwa
menampilkan aliran dwaita, Wallabha, Nirbarka dan banyak lainnya. Pokok pembicaraan
yang dikemukaakan adalah tentang alam semesta, tentang jiwa, tentang Brahman dan
tentang hubungan alam semesta dengan jiwa dan Brahman.
Aliran Wedanta terdiri atas aliran absolutis dan theistis. Aliran absolutis
mengajarkan bahwa Brahman adalah asas yang tidak berpribadi, sedangakan theistis
mengajarkan bahwa Brahman adalah Tuhan yang pribadi.
Aliran dalam Wedanta menurut para tokoh di atas saling kontradiktif. Adapun
pernyataan Upanisad demikian: Brahma adalah samadengan jiwa perorangan dan sama
dengan alam semesta, di pihak lain disebutkan bahwa Brahman tidak dapat disamakan
dengan jiwa perorangan maupun dengan alam semesta.

2.Metafisika Adwaita Wedanta


Dalam Metafisika Adwaita Wedanta ditampilkan 2 pokok pembahasan:
1. Keberadaan Alam Semesta atau Dunia
Adwaita Wedanta menyatakkan dalam ajaran hanya Brahman yang ada,yang
tunggal, sedangakan jiwa perorangan adalah Brahman seutuhnya yang menampakkan diri
dengan sarana tambahan(Upadhi). Alam semesta dipandangsebagai suatu penampakan
khayal Brahman, oleh karena itu keadaanya khayal atau semu.
Sankara menerima teori Samkhya mengenai proses terjadinya alam semesta, yaitu:
pertemusn Purusa dan Prakerti kemudian akibat dari pertemuan ini muncullah secara
berturut-turut Budhi, Ahamkara, Manas, sepuluh individu, Panca Tanmantra, Panca
Mahabutha dan gabuangan dari Panca Maha Butha ini akan muncul alam semesta beserta
isinya. Dalam ajaran Adwaita Purusa disamakan dengan Brahman dan Prakerti disamakan
dengan Maya. Proses terjadinya alam semesta sebagai tersebut di atas hanya kelihatanya
saja demikian, sesungguhnya semua itu adalah semu.
Hanya Brahmanalah yang disebut Sat, artinya hanya Brahman yang demikian
keberadaanya. Di luar Brahman keadaanya adalah a-sat artinya tidak ada sesuatu di luar
Brahman. Alam semesta tidak kekal. Alam semesta adalah suatu penampakan hayati dari
Brahman, hal ini diumpamakan tali seperti ular.
Sebenarnya yang benar-benar ada adalah seutas tali, akan tetapi tampak bagi orang
yang mengamatinya dalah seekor ular. Sebenarnya kita tidak dapat menyatakan bahwa ular
itu tidak ada(mungkin di suatu tempatlain) demikian pula kita tidak dapat mengatakan
bahwa ular itu ada, karena yang benar-benar ada dan dilihat adalah seutas tali.
Dunia merupakan penampakan khayal dari Brahman, penampakan seperti ini oleh
Sankara dinamakan Wirarta Wada yaitu segala sesutau yang kelihatannya berubah itu,
hanya kelihatanya saja demikian, sebenarnya tidak.
Benda-benda di dunia tidak dapat dikatakan secara mutlak, namun secara empiris
mereka ada, nyata dan dapat diamati. Sesungguhnya semuanya bergantung pada realitas
yang lebih tinggi, yaitu Brahman. Seandainya Brahman itu tidak ada maka alam
semestapun tidak ada, karena pada hakikatnya keberadaan dunia tergantung kepada
Brahman, bukan sebaliknya.

39
Maya merupakan kekuatan Brahmanyang tidak dapat dibedakan dengan Brahman
itu sendiri, seperti halnya matahari dengan sinarnya. Semua yang ada di alam semesta ini
terlatak pada kekuatan maya dari Brahman. Maya dapat pula disamakan dengan Awidhya
atau ketidaktahuan. Karena adanya maya maka manusia menjadi tertipu mengenai alam
semesta ini dan tertipu pula dengan hakikat Brahman itu sendiri yang merupakan satu-
satunya realitas yang ada dan tunggal.

2. Pandangan Adwaita Tentang Adanya Tuhan


Brahman (Tuhan) dikenal sebagai Neti-Neti yang artinya bukan ini buakan itu.
Dipihak lain Upanisad Brahman memiliki sifat-sifat dan merupakan sumber dari segala
sesuatu. Terhadap hal ini Sankara memberikan penjelasan:
Brahman memiliki dua wujud yaitu: Para Brahman dan Apara Brahman. Para Brahman
adalah perwujudan Brahman yang absolute tanpa sifat, tanpa bentuk tanpa perbedaan,
tanpa pembatasan (Nirupadhi). Dalam wujud ini Tuhan disebut Nirgunam Brahman (Sunya
Niskala), Parama Siwa yaitu suatu istilah yang digunakan untuk memahami hakikat Tuhan
dalam keadaanya semula.
Dalam istilah filsafat dikatakan sebagai alam transedental, yang artinya ada di luar
batas jangkauan pikiran manusia Tuhan dalam Nirgunam Brahman tidak disertai dengan
maya, tanpa sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta. Brahman itu sendiri
tanpa pribada dan tanpa sifat.
Apara Brahman adalah perwujudan Brahman yang relative dalam artian Brahman
memiliki sifat-sifat dan pembatasan. Apara Brahman ini tercipta demi untuk manusia
dalam pemujaan terhadap Tuhan. Apara Brahman dipandang sebagai pencipta, pemelihara
dan pelebur alam semesta beserta isinya, maka Tuhan dipandang sebagai Yang Maha
Kuasa. Karena dunia diciptakan oleh Tuhan maka dunia dianggap benar-benar nyata atau
sering juga disebut Saguna Brahman atau iswara yang dipuja dan disembah manusia.
Penggambaran Tuhan menurut alam pikiran manusia menyebabkan sifat Tuhan
dibawa pada sifat-sifat manusiawi, sehingga timbulnya penggambaran pantheistis, Tuhan
sebagai manusia dengan sifat yang lebih. Karena penggambaran ini merupakan suatu usaha
yang paling mudah bagi manusia, maka Tuhan dilukiskan secara abstrak sebagai Yang
Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Pencipta dan Maha segalanya. Yang semua itu
didambakan oleh manusia. Hal semacam ini sudah ada dalam Weda.
Penampakan Tuhan sebagai Iswara memiliki aspek mencipta, memelihara, dan
melebur alam semesta beserta isinya disebut Maya. Maya adalah cara kerja Brahman, yang
menjadikan alam semesta beserta isinya. Maya disamakan pila srtinya dengan Sakti (daya
gaib), Semu dan Prakerti. Dari pihak manusia maya tampak sebagai kemahakuasaan Tuhan
yang menutupi hakikat Brahman yang sebenarnya merupakan realitas tertinggidan nyata.
Brahman adalah tunggal tanpa hubungan dengan apapun.

3.Epistemologi Adwaita Wedanta


Di dalam ajaran Adwaita Dinyatakan bahwa ada enam jenis pramana yaitu:
 Pratyaksa (pengamatan)
 Anumana (penyimpulan)
 Upamana (perbandingan)
 Sabda (Kesaksian)
 Arthapati (perkiraan)
 Anupalabdhi (tanpa pengamatan)
Di mana Pramana yang di kemukakan ini sama dan jumlahnya sama oleh Sankara
dan kumarila bhatta. Sedangkan prabhakara dalam ajaran mimamsa mengemukakan lima
jenis Pramana.
 Pratyaksa
40
 Anumana
 Upamana sabda
 Arthapati
Antara Sankara dengan Kumarila Bhatta memiliki perbedaan pandangan tentang
Weda. Menurut Kumarila Bhatta Weda menjelaskan bahwa Weda tidak di susun oleh
manusaia atau di ciptakan oleh Tuhan. Sankara Weda di ciptakan oleh Tuhan dan
keberadaan Weda kekal.
Pratyaksa menurut Adwaita ada dua jenis yaitu : Nirwikalpa adalah pengamatan
terhadap suatu obyek tanpa asosiasi,tanpa penilaian,tanpa sebutan. Contoh Seseorang
melihat suatu benda hanya dalam pengamatan tidak begitu memperhatikan
tinggi,rendah,rimbun dll. S awikalpa adalah pengamatan terhadap suatu benda mendetail
dengan ciri-ciri,namanya dsb. Contoh seseorang mengamati golongan barang yang
termasuk alat dapur yaitu belanga bulat, hitam dsb. Pratyaksa memberikan pengetahuan
kepada kita dari obyek yang di amati ,dimana memiliki hubungan yang realistis ,karena
setiap indriya memiliki sifat-sifat khas yang di amati.
Indriya-indriya memiliki kaitan yang sangat erat dengan panca maha butha, sebab
kita berasal dari unsur-unsur tersebut. Perbuatan memberikan corak yang sebenarnya tidak
di miliki oleh sesuatu yang di amatinya. Menurut Adwaita yang dapat di amati bukan saja
substansinya, melainkan juga yang bersifat abhawa atau ketidakadaan.
Anumana ialah Pramana yang kedua dari Adwaita, yang artinya pengetahuan yang
kemudian. Pengetahuan Anumana adalah dengan melihat suatu tanda (Lingga) yang selalu
memiliki hubungan dengan objek yang di tarik kesimpulannya (Sadhya). Hubungan antara
lingga dan sadhya disebut wyapti. Ajaran Adwaita dikemukakan dalam Anumana
semestinya ada tiga syarat yaitu Paksa (suatu kumpulan yang akan di tarik), sadhya (obyek
yang akan di tarik kesimpulannya), dan Lingga (tanda yang terpisahkan dengan benda dan
kesimpulannya).
Penyimpulannya bahwa dalil umum itu perlu diperkuatkan dengan contoh yang
khas , seperti apa saja yang berasap tentu berapi. Dengan demikian pengalaman seseorang
tentang api di suatu tempat itu, tergantung dari pada pengamatanya tentang asap yang
memang sudah selalu menyertai api.
Pramana ketiga mendapat pengetahuan yang benar adalah Upamana
(perbandingan), yaitu alat pengetahuan yang di jadikan orang tahu adanya kesamaan
antara dua hal. Pandangan adwaita dan nyaya memiliki pandangan berbeda. Menurut
Nyaya bahwa Upamana adalah merupakan pengetahuan unik. Adwaita berpandangan
Upamana adalah sebagai sumber yang tersendiri sebagai hal yang berbeda . Contoh dalam
melihat seseoarang bila sebelumnya melihat sapi di rumah. Kemudian melihat sapi ke
hutan dan gawaya dan menerima persamaan itu seperti sapi di rumah. Kesimpulannya
pengetahuan yang menyatakan bahwa binatang itu adalah gawanya hanya sekedar
pengetahuan yang lalu.
Dalam sabda (kesaksian) di nyatakan oleh Adwaita sabda Weda adalah benar. Isi
Weda tidak bertentangan dengan Pramana-pramana yang lainnya, karena Pramana yang
lainya itu lebih banyak berhubungan dengan dunia yang dapat di amati. Weda menurut
Sankara diciptakan oleh Tuhan dan bersifat kekal. Pada waktu dunia pralaya, Weda ikut
lenyap, tetapi kapan dunia ini di ciptakan Weda muncul kembali untuk membimbing umat
manusia ke arah kesempurnaan. Adwaita memandang benar bila sabda Pramana dipandang
benar bila berasal dari orang yang dapat di percayaan.
Pramana kelima dari adwaita yaitu Arthapati atau persangkaan atau perkiraan.
Artha pati adalah suatu bentuk perkiraan yang sangat di perlukan terhadap suatu yang sulit
di pahami dengan melalui beberapa penjelasan yang berlawanan dengan yang lainnya.
Penjelasan ini memerlukan beberapa fakta untuk menerangkan kebenarannya. Contoh ada

41
lseorang laki-laki gemuk tidak pernah makan siang hari tetapi mengapa gemuk padahal dia
puasa ,kita dapat mendamaikan kedua fakta dia gemuk dan puasa kecuali kita menerima
perkiraan tentulah orang itu makan pada waktu malam. Temuan kontradiktif inilah
kenyataannya.
Pengetahuan yang diperoleh ini bukanlah merupakan suatu kesimpulan dan bukan
merupakan suatu bentuk perbandingan. Suatu pengetahuan yang dapat disebut sebagai
suatu kesimpulan bila kita tidak melihat orang laki itu makan pada waktu malam hari.
Tidak pula di jumpai adanya sebab yang jelas yang berhubungan erat antara kegemukan
dan makan, demikian pula kita dapat menyatakan dimana ada orang gemuk jelas sering
makan malam hari, sebagaimana halnya, orang menyatakan di mana asap di sana ada api.
Mimamsa membedakan antara dua jenis perkiraan (arthapatti) dari penjelasan
mengenai kegemukan seseorang laki-laki yang puasa di siang hari dan penggunaan kata-
kata yang di dengar (sutarthapatti) dalam suatu kalimat sebagai yang tersebut. Arthapati
dapat di samakan dengan hipotesa dalam pikiran barat,tetapi coraknya beda. Arthapatti
adalah suatu pencarian untuk suatu alasan, sedangkan kesimpulan adalah suatu pencarian
untuk suatu sebagai akibat.
Etika Adwaita /

42
BAB VIII
WASISTADWAITA WEDANTA
1.Pendahuluan
Pemecahan sankara terhadap pernyataan upanisad mngenai Brahman, jiwa dan
alam semesta tidak dapat memuaskan semua pihak. Pernyataan sankara mengenai
perbedaan Brahman dan Nirgunam (Tanpa sifat, tanpa pribadi). Apakah Brahman
dipandang sebagai Nirgunam atau sagunam. Terhadap hal ini Ramanuja adalah tokoh
wedanta yangmuncul setelah sankara. Ramanuja diperkirakan hidup pada tahun 1050-1137
Masehi, beliau menulis buku Sribhasva dan buku komentar mengenai Bhagawadgita.
Alirannya disebut Wasistadwaita yang terdiri dari kata Wasista dan Adwaita. bersifat
qualivaid monismenva menyatakan bahwa Brahman adalah Esa dan tidak ada bagian-
bagian di dalamnya. Sankara dan Ramanuja adalah dua tokoh Wedanta yang sangat
popular, tetapi memiliki_pandangan berbeda mengenai Brahman,
Dalam sistem filsafat Wedanta dikenal dua jenis perubahan yaitu : Wiwartawada
dan Parinamawada. Wiwartawada ialah sesuatu yang kelihatannya saja berubah,
sesungguhnya perubahan itu-tidak ada. Parinamawada ialah sesuatu yang benar-benar
mengalami perubahan bukan merupakan sesuatu yang semu.
Menurut kitabkitab upnisad alam semesta ini merupakan suatu evolusi dari
Brahman karena adanya maya. Maya disamakan artinya dengan prakerti, kekuatan, sakti,
pradana, dan sebagainya. Dalam praklerti ada 3 guna yaitu sattwam, rajas dan tamas.
Berdasarkan teori wiwartawada dan parinamawada maka maya itu dapat
dipandang dari dua susut yang berbeda, yaitu:
1. Maya adalah sebab dari keberadaan alam semesta atau dunia
2. Maya adalah kekuatan yang dimiliki oleh Brahman, tetapi maya tidak dapat
mempengaruhi Brahman.
Dalam metafisika Wisistadwaita Wedanta ini akan ditampilkan dua pokok bahasan
yaitu, tentang pandangan Wisistadwaita terhadap Tuhan dan alam semesta.

1. Pandangan Wisista dwaita Tentang Adanya Tuhan


Brahman menurut Wisistadwaita dipandang realitas tertinggi_441bersifat sagunam atau
imanen. Brahmantah yang menjadi asal mula dari segala sesuatu, tappa Brahman jiwa dan
alam semesta.tidak akan ada. Brahman adalah jiwa alam semesta dan sekaligus pula
berada_dalam jiwa manusia.
Dalam sistem Adwaita menekankan kepada dualisme, karena Brahman adalah
tunggal, tetapi dalam sistem Wisistadwaita Brahman yang satu ini dijelaskan atau
ditentukan oleh sifat-sifat-Nya. Brahman yang satu itu juga_menjelma dalam jiwa dan juga
dalam alam semesta.
Ramanuja menjelaskan pandangannya itu dengan mempergunakan "cara orang
memakai bahasa" pada umunya. sebagai contoh mawar adalah merah. Mawar adalah
substansi,_sedangkan merah adalah suatu sifat.. Suatu contoh yang lain, dalam suatu
ucapan " Aku seorang laki-laki". Aku adalah jiwa yang hidup, sedangkan laki-laki adalah
fana.
Hubungan yang tak dapat dipisahkan inilah yang menghubungkan Brahman dengan jiwa
dan Brahman dengan alam semesta. Baik jiwa dan alam semesta tidak dapat digambarkan
lepas dari Brahman.
Ramanuja memandang Brahman sebagai Tuhan yang berpribadi dan menjadi
tujuan pemujaan dalam semua aspirasi keagamaan. Dengan melakukan pemujaan yang
didasari oleh keyakinan yang mendalam seseorang akan terlepas dari ikatan keduniawian
sehingga pada akhirnya sampai pada tujuan yang tertinggi yaitu kelepasan.

43
2. Keberadaan Alama Semesta Menurut Wisistadwaita Wedanta
Dalam pernyataan Upanisad disebutkan bahwa alam semesta ini berasal dari
Tuhan. Ramanuja mengikuti sepenuhnya pernyataan-pernyataan Upanisad itu, dan
menyebutkan bahwa di dalam Brahman yang Esa itu terdapat dua jenis unsur pokok yaitu
Cit dan Acit. Cit adalah spirit (jiwa) yang memiliki kesadaran. Cit dan Acit dapat
disamakan dengan Purusa dan Prakerti._Prakerti pada Wedanta tergantung kepada Tuhan
dalam proses penciptaan, sedangkan Prakerti pada Samkhya tergantung pada roh dalam
proses penciptaan dan tidak ada yang menciptakan. Menurut Wisistadwaita alam semesta
ini diciptakan oleh tuhan dari Prakerti. Prakerti disamakan pula dengan maya. Di dalam
tubuh Brahman yang absolut itu terda at banvak hal, oleh karena itulah sistem Ramanuja
disebut qualivaid monisme yaitu monisme yang mempunyi bagian-bagian didalamnya,(Cit
dan Acit).
Menurut sistem filsafat Wedanta ada tiga jenis perbedaan itu, Wijatya-Bheda, Sejatya-
Bheda dan Swagugata:Rheda.
1. Wijaya-Bheda yaitu: perbedaan yang ada di luar dari suatu kelompok. Misalnya, anjing
berbeda dengan kuda dan berbeda pula dengan sapi.
a. Sajatya-Bheda yaitu perbedaan yang ada diantara satu warga. Umpamanya, sapi betina
berbeda dengan sapi jantan. Sapi berwarna merah berbeda dengan sapi berwarna putih,
demikian pula sapi benggala berbeda dengan sapi Bali dan sebagainya.
2. Swagata-Bheda yaitu perbedaan yang ada antara bagian dari satu benda. Misalnya,
perbedaan antara ekor, kaki, perut dan sebagainya dari satu mahluk.
perbedaan antara Tuhan dengan Cit dan Acit menurut Ramanuja adalah perbedaan
Swakata-Bheda bukan Wijatya dan Sajatva-Bheda. Tuhan menurut Ramanuja adalah asas
yang merupakan imanen yang menjiwai Cit dan Acit atau berada dalam Cit dan Acit.
Sedangkan hasil yang muncul dari pertemuan Cit dan Acit menimbulkan tiga kualitas,
yaitu berubah, tumbuh dan mati. Dalam proses penciptaan terhadap segala sesuatu di alam
ini dinamakan Karya Brahman, yaitu Brahman sebagai pelaksana sedangkan dalam proses
pralaya disebut karana Brahman,yaitu Brahman sebagai bentuk sebab.
Pandangan Wisistadwaita dan Samkhya dan Samkhya. Mengenai Prakerti berbeda,
menurut Ramanuja dalam Prakerti ada tiga guna yaitu Sattwam, Rajas, dan Tamas.
proses terjadinya ciptaan dalam Wisistadwaita adalah sama dengan yang dikemukakan
oleh Samkhya, yaitu Tuhan munculah Cit dan Acit. Pertemuan Cit dengan Acit
menimbulkan secara berturut-turut dari yang halus sampai kepada yang kasar, yaitu Citta
dan Buddhi, Ahamkara, Minas, Sepuluh Indriya (Panca Budhindriya dan Panca
Karmendriya), Panca Tan Matra, Panca Maha Butha dan yang terakhir alam semesta
dengan isinya.

2.Epistemologi Wisistadwaita Wedanta


SistemWisistadwaita mengenal tiga jenis Pramana alat pengetahuan yaitu :
Pratyaksa (pengamatan), Anumana (penyimpulan), dan Sabda (kesaksian). Prayaksa
memberikan pengetahuan kepada kita dari objek yang diamati. Sebenarnya indriya-indriya
kita memiliki kaftan yang sangat erat dengan Panca Maha Butha, sebab keberadaan tubuh
kita berada dari unsur-unsur tersebut. Maka itu mata dapat menangkap sinar, telinga dapat
mendengar, lidah dapat merasa dan sebagainya. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa
memerlukan bantuan indriya, yang disebut pengamatan transenden yang dilakukan oleh
para Yogi.

44
Pengamatan menurut Wisistadwaita ada dua jenis yaitu Nirwikalpa dan Sawikalpa.
Nirwikalpa adalah pengamatan terhadap suatu objek tanpa asosiasi, tanpa penilaian, tanpa
sebutan apapun. Upamanva seseorang melihat sesuatu mereka tidak tabu apakah yang
dilihat itu periuk guci, pot, panjang atau pendek, rendah, tinggi dan sebagainya. Sawikalpa
adalah pengamatan terhadap suatu objek dengan ciri-cirinya, sifat-sifatnya, namanya dan
dengan penilaian tertentu. Misalnya seseorang mengamati golongan barang yang termasuk
alat dapur, yaitu belanga yang berbentuk bulat, hitam dan sebagainya.
Anumana merupakan Pramana yang kedua dari Wisistadwaita, yang artinya
pengetahuan yang kemudian. pengetahuan yang di dapat dengan Anumana adalah dengan
melihat suatu tanda (Lingga) yang selalu memiliki hubungan dengan objek yang ditarik
kesimpulannya (Sadhya). Berhubungan antara Lingga dengan Sadhya disebut Wyapti.
Dalam Wisistadwaita dikemukakan bahwa dalam Anumana semestinya ada tiga syarat
yang harus dipenuhi, yaitu : Paksa (suatu kesimpulan yang akan ditarik), Sadhya (objek
yang akan ditarik kesimpulannya), dan Lingga(tanda yang tak terpisahkan dengan benda
-dan kesimpulannya).
Mengenai Sabda (kesaksian) dinyatakan oteh Wisistadwaita bahwa Sabda Weda
mengandung kebenaran yang mutlak. Apa yang dinyatakan oleh Weda adalah benar. Isi
Weda tidak bertentangan dengan Pramana-Pramana lainnya, karena Pramana yang lain itu
lebih banyak berhubungan dengan dunia yang dapat diamati, sedangkan Weda
berhubungan dengan dunia yang tidak dapat diamati.
Wisistadwaita juga mengakui bahwa pengetahuan yang di dapat melalui Sabda
Pramana dipandang benar bila berasal dari orang yang dipercaya. Misalnya, pertanyaan-
pertanyaan para Maha Rsi tentang kebenaran adanya Tuhan dan kesucian ajaran-Nya.
Mengenai pengetahuan diajarkan oleh sistem Wisistadwaita, bahwa segala
pengetahuan adalah benar, sekalipun ada tingkat-tingkat kebenaran, yaitu: kurang benar,
cukup benar, dan sebagainya.
Sesungguhnya semua pengetahuan menunjukkan adanya objek pengetahuan yang
kompleks, yang tidak sederhana, suatu keruwetan yang telah diberi kualifikasi, yang telah
ditentukan sifat-sifatnya. Alat apa kiranya yang dipergunakan untuk menentukan
keruwetan itu, jawaban dari pernyataan itu adalah pengalaman. Oleh karma itu apa saja
yang tanpa kualitas, yang tanpa sifat, umpamanya tanpa rasa, tanpa warna dan sebagainya,
tentu tidak data dipakai sebagai asas atau pangkal penilaian. Menurut Ramanuja kekeliruan
sankara terhadap pernyataan Upanisad tentang Neti, Neti (bukan ini, bukan iniy yang
dikenakan kepada Brahman sebagai pengakalan terhadap semua sifat Brahman.
Dalam sistem Wisistadwaita Brahman dipandang berhakikatkan intelegensi, beras
dari semua cacat dan cela, memiliki sifat vang mulia seperti Maha Tahu, Maha Kuasa,
berada dimana-mana, Maha Pemurah dan sebagainya. la menyebabkan adanya alam
semesta dan Wisistadwaita berada di dalam jiwa dan dunia. Brahman dalam wasistadwaita
disebut dengan nama Wisnu Narayana,

3.Etika Wisistadwaita Wedanta


Dalam sistem filsafat Wisistadwaita jiwa dipandang sebagai atom yang bilangannya
banyak sekali serta mewujudkan satu kelompok, satu rumpun, satu kelas jiwa. jika Tuhan
berhakikatkan mtelegensi atau akal, maka jiwa berhakikatkan perasaan yang dalam
keadaan bahagian yang dapat mengetahui segala sesuatu sekalipun dalam jarak yang
sangat jauh. Walaupun demikian jiwa dapat menderita dan dilahirkan kembali, karena
Karma yang dilakukan oleh manusia semasa hidup yang dialaminya. Berdasarkan itu jiwa
dibedakan dalam tiga golongan yaitu :
a. Jiwa yang tak pernah terbelenggu oleh benda, yang disebut Nitya.
b. Jiwa yang telah bebas dari belenggu disebut Mukti.

45
c. Jiwa yang masih terbelenggu oleh benda sehingga masih mengalami Punarbhawa
(lahirberulang-ulang).
Tujuan hidup manusia menurut Wisistadwaita ialah mencapai alam Narayana untuk
menikmati kebebasan dan kebahagiaan yang sempurna. Ada dua jalan yang ditunjuk oleh
Wisistadwaita untuk mencapai itu vaitu, Prapatti dan bhakti.
Prapatti adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, sebagai satu-satunya tempat
untuk berlindung. Penyerahan diri hendaklah disertai dengan kepercayaan yang sempurna
bahwa Narayana bersifat maka Kuasa, Cinta kasih, Maha Pemurah untuk melimpahkan
berkah-Nva.
Prapatti dipandang Oleh Ramanuja sebagai suati yang amat penting dalam
kehidupan ini. Barang siapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan ia akan
dilepaskan dari ikatan suka dan duka serta akan mencapai kebahagiaan. bila ia meninggal
akan langsung menuju Waikuntha yaitu tempat kebahagiaan yang tak terhingga dan
menikmati kehadiran Brahman secara terus menerus.
jalan kedua.untuk menuju alam Narayana-adalah melalui bhakti, bhakti menurut
Wisistadwaita terbagi atas tiga tahap yaitu : Karma Yoga, Jnana Yoga, dan Bhakti Yoga.
Karma Yoga, berarti melakukan kewajiban hidup tanpa terikat akan hasilnya melainkan
dilakukan sebagai pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karma Yoga merupakan suatu
usaha untuk mencapai tujuan hidup tertinggi.
Karma Yoga dalam Wisistadwaita juga diartikan dengan upacara keagamaan yang
dilakukan menurut petunjuk Weda, melakukan pemujaan melalui patung-patung, dan
mengulang-ngulang mantra suci dalam pemujaan. Dalam hubungan dengan upacara
keagamaan adalah melakukan panca yadnya yaitu 1) Dewa Yadnya ialah Yadnya kepada
Tuhan, 2) Resi Yadnya ialah mengajar dan membaca kitab-kitab suci, 3) Pitra Yadnya
ialah pemberian kepada leluhur, 4) Manusia Yadnya ialah memberikan pertolongan kepada
mereka yang memerlukan, bantuan kepada orang miskin, 5) Butha Yadnya ialah
memelihara dan memberikan makan kepada Oinatang, tUnIbulian dan sebagainya. Trap-
trap rumah tangga hendaklah menjalankan Yadnva ini karena dengan melakukan Yadnya
seseorang akan mendapatkan anugrah dari Brahman.
Ketiga bagian dari Karma Yoga ini dilakukan secara bersamaan karena memiliki
hubungan yang sangat erat sekali.
Jnana Yoga adalah suatu usaha untuk merenungkan diri sendiri yang berhakikatkan
rohani dan jasmani yang berasal dan berada di bawah kekuasaan Tuhan. Hubungan antara
jiwa dan Tuhan hendaklah dipahami bahwa keduanya tidak dapat dipisahklan. Tuhan ada
dalam jiwa dan jiwa ada dalam Tuhan. Hal ini yang patut dimengerti oleh setiap orang
sehingga dengan demikian mereka akan lebih mudah merealisasikan sang diri sejati dalam
hubungan dengan Tuhan.
Bhakti Yoga ialah melakukan meditasi kepada tuhan. Meditasi itu bertujuan untuk
menguatkan ingatan bukan untuk menuju kepada pengamatan Tuhan. Ingatan yang teguh
berbeda dengan ingatan yang biasa, ingatan yang teguh adalah ingatan yang yang penuh
cinta kasih kepada objek yang direnungkan. Menurut Ramanuja Moksa baru akan dapat
dicapai setelah ini hancur. Penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan tanpa disertai dengan
Bhakti, tidak mungkin mencapai tujuan akhir atau Moksa.
Mengenai Moksa Ramanuja menjelaskan pandangan terhadap pernyataan Upanisad yang
mengajarkan bahwa Tuhan dan jiwa itu sama. Persamaan disini bukanlah persamaan yang
absolute, Karena tidaklah mungkin manusia disamakan dengan Tuhan. Demikian pula
halya dengan istilah Tat Twan Asi, tidaklah dapat dipergunakan dalam arti persamaan yang
absolute. Badan adalah wujud dari prakerti dan jiwa adalah asas rohani yang kedua unsure
ini ada dalam Tuhan dan di bawah kekuasaan-Nya.

46
BAB IX
DWAITA WEDANTA
1.PENDAHULUAN
Tokoh pendiri system Dwaita Wedanta adalah Maha Rsi Madhwa diperkirakan
lahir pada akhir abad ke-12 antara tahun 1199-1278M, lahir di desa Udipi distrik Kanara
Selatan. Sistem Dwaita menganggap dirinya sama tuanya dengan kitab Upanisad. Mulanya
sistem ini hanya berpengaruh dibagian Barat India, tetapi pengaruhnya menjalar kebagian
lebih luas diwilayah India dan lainnya.Madhwa oleh orang tuanya diberi nama Wasudewa,
tapi Ia meninggalkan ikatan keduniawian dan mnjadi Sanyasin kemudian dikenal dengan
sebutan Purna Prajna, artinya orang yang mendapat pencerahan sempurna. Madhwa juga
disebut dengan Ananda Tirtha.Buah tulisan Beliau ialah buku-buku komentar kitab
Upanisad.Bhagawadgita dan Wedanta Sutra, dan banyak lagi. Sebagai Sanyasin, Madhwa
memiliki siswa bernama Jaya Tirtha dan Wyasa Tirtha. Keduanya menulis kitab komentar
ajaran Dwaita.
Sistem filsafat Wedanta dianjurkan oleh Madhwa disebut Dwaita atau Dualisme
sebab ajaran filsafatnya perbedaan (Bedha).Sistem ini juga disebut realistis mengakui
bahwa alam semesta adalah nyata.Sistem ini bersifat theistis, karena menerima adanya
Tuhan.Segala yang ada dianggap bergantung kepada Tuhan, dalam ajaran Dwaita
dinamakan Wisnu.

Kegiatan Belajar 1
2.Metafisika Dwaita Wedanta
Dalam pandangan metafisika Dwaita Wedanta ditampilkan dua pokok bahasan,
yaitu pandangan Dwaita terhadap Tuhan dan benda.
Pandangan Dwaita Wedanta Mengenai Tuhan
Pokok ajaran sistem Dwaita adalah perbedaan Bheda bersifat theistis, karena
menerima Tuhan berpribadi satu-satunya realitas tertinggi.Perbedaan system Dwaita
adalah hakikat dari segala sesuatu.Tiada hal yang ada secara khas dan ciri kekhasan ini
yang mewujudkan perbedaan antara hal yang satu dengan semua hal lainnya.
Dalam sisitem Dwaita dikemukakan ada 5 perbedaan, yaitu:
1.) Perbedaan antara Tuhan dengan Jiwa,
2.) Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa,
3.) Perbedaan Tuhan dengan Benda,
4.) Perbedaan Jiwa dengan Benda,
5.) Perbedaan benda yang satu dengan benda lainnya.
Semua itu berbeda mutlak, walaupun perbedaan tidak berarti bahwa semua tidak
saling bergantungan.Misal tubuh bergantungan pada Jiwa, walau keduanya berbeda sekali.
Hanya satu hal yang tidak bergantungan pada yang lain yaitu Tuhan. Tuhan, Jiwa, benda
sama-sama kekal, walaupun Tuhan tidak bergantung pada Jiwa dan Benda. Tuhan dalam
ajaran Dwaita dipandang suatu realitas tertinggi dan memiliki sifat yang banyak.Walaupun
Tuhan dapat dipahami tapi Beliau tidak dapat dikenal menyeluruh dan sempurna. Tuhan
berhakikatlan pengetahuan dan kebahagiaan memiliki kebahagiaan mutlak, kekuasaan,
cinta kasih tiada terbatas dan banyak sifat luhur lain. Tuhan yang menjadi sebab adanya
alam semesta, Ia sebagai pencipta, pemelihara, dan pengambil semua yang ada. Tuhan
memenifestasikan diri-Nya dalam berbagai wujud, bahkan Beliau menjelma sebagai
Awatara untuk menegakkan Dharma didunia. Tuhan dalam ajaran Dwaita dinyatakan ada
pada patung yang telah disucikan dan dipergunakan sebagai sarana pemujaan umat
manusia.
Pandangan Dwaita Wedanta Mengenai Jiwa

47
Sistem Dwaita tentang jiwa dikemukakan bahwa Jiwa itu jumlahnya tidak
terhitung.Maka itu setiap Jiwa memiliki pengalamannya, cacadnya, sengsaranya sendiri-
sendiri. Jiwa berbentuk atom, tetapi karena bersifat intelegensi, maka Ia dapat meliputi
tubuh yang ditempati. Jiwa adalah kekal dan penuh kebahagiaan, karena adannya
hubungan dengan benda maka Jiwa mengalami penderitaan dan kelahiran yang berulang
ke dunia. Menurut Dwaita ada 3 tingkatan Jiwa:
1.) Jiwa-jiwa bekas /tidak pernah terbelenggu (Nitya),
2.) Misalnya Dewi Laksmi yaitu saksi Wisnu,
3.) Jiwa yang mencapai kelepasan dari penderitaan (Murka), yaitu para Dewata dan
Roh Nenek Moyang.
Jiwa terbelenggu (Baddha). Golongan jiwa yang tergolong Baddha ada 2 yaitu:
a.) Jiwa yang masih bisa dibebaskan (Mukti-Yoga),
b.) Jiwa yang tidak dapat dibebaskan lagi.
Ada dua macam Jiwa yang tidak dapat dibebaskan lagi:
1.) Jiwa yang untuk selamanya terikat pada perputaran alam semesta,
2.) Jiwa yang dipastikan dihukum dialam neraka, yaitu tempat gelap gulita,. Lagi ada
JIwa yang dipastikan terlebih dulu dilepaskan, ada jiwa yang dihukum untuk
selamanya, dengan dilahirkan kembali tanpa batas atau dihukum didunia gelap gulita.
Jiwa dapat dipengaruhi oleh Tiga Guna, ada jiwa Satwika, jiwa Rajasa, dan jiwa
Tamas.Jiwa Satwika yaitu dikuasai oleh Sattwam dan jiwa ini tetap dalam keadaan
Samsara. Yang terakhir adalah jiwa Tamas yaitu dikuasai sifat Tamas, jiwa ini akan jatuh
kealam neraka.
Pengaruh Tiga Guna ini yang menentukan jiwa untuk mencapai surge, kelahiran
kembali kedunia dan masuk kealam neraka yang menyebabkan seseorang mengalami
kebahagiaan dan penderitaan, maka hendaknya semua orang waspada akan Tiga Guna
tersebut. Menurut Dwaita Tiga Guna itu produk pertama dari Prakerti yang menjadi asas
kebenaran maka pengaruhnya sangat kuat terhadap jiwa.

Pandangan Dwaita Wedanta Mengenai Benda


Sistem Dwaita benda disamakan denganPrakerti yang merupakan asas kebendaan yang
tidak memiliki kesadaran.Prakerti dalam Dwaita bergantung pada Tuhan dan alam semesta
berbeda dalam prakerti secara potensial. Dengan perantara Laksmi atau Akti, Tuhan
bertindak dalam Prakerti kemudian dari Prakerti keluarlah alam semesta neserta
isinya..Terciptanya alam semesta menurut Dwaita tidak jauh berbeda dari ajaran Samkhya.
Yang pertama dilahirkan dari Prakerti adalah ketiga Guna, yaitu Sattwam, Rajas, dan
Tamas. Ketiga Guna itu lahirlah Mahat, Ahamkara, Tamas, Sepuluh Idriya, Panca Tan
Matra, Panca Mahabutha, dan gabungan Panca Mahabutha, muncullah alam semesta
beserta isinya.
Tri Guna atau Tiga Guna itu tidak dapat diamati dengan Indriya.Adanya disimpulkan
obyek dunia yang merupakan akibat dari padanya.Karena kesamaan asas, antara akibat dan
sebab dapat diketahui sifat Guna dari alam semesta yang merupakan wujudnya. Obyek
dunia ini mempunyai mempunyai tiga sifat, yaitu sifat menimbulkan rasa senang, susah,
dan netral.Sattwam adalah unsur dari Prakerti, alamnya bersifat senang, riang, terang
bercahaya.Wujudnya berupa kesadaran, sifat ringan menimbulkan gerak keatas, seperti
angin, dan air diudara semua bentuk kesenanga, kepuasan, kebahagiaan. Rajasa adalah
unsur gerak benda, Ia selalu bergerak, menyebabkan benda dan mahluk bergerak.
Rajas menyebabkan api berkobar, angina berhembus, dan pikiran berkeliaran berkeliaran
kesana kemari. Tamas menyebabkan sesuatu menjadi pasif dan bersifat negative.Ia

48
bersikeras menentang aktivitas, menahan gerak piikiran, sehingga menimbulkan kegelapa,
kebodohan, mengantarkan seseorang pada kebengungan. Karena menentang aktivitas,
seseorang menjadi malas, acuh, suka tidur.Karena dunia terbentuk dari Tiga Guna, maka
dalam dunia dapat kita saksikan ada pertentangan dan kerjasama dalam kesatuan.Ketiga
Guna ini selalu bersama dan tidak pernah terpisah satu dengan lainnya. Kerjasama ketiga
Guna itu laksana minyak, sumbu, dan api bersama-sama menyebabkan adanya nyala lamp,
walaupun masing-masing elemen berbeda sifatnya bertentangan. Ketiga Guna berubah
terus menerus. Ada tiga perubahan bentuk dari Tri Guna itu, yaitu: Swarupaparinama dan
Wirupaparinama. Waktu pralaya masing-masing Guna berubah pada dirinya sendiri,
Waktu demikian tidak mungkin ada ciptaan karena tidak ada kerja sama antara Ketiga
Guna itu. Namun Guna yang satu menguasai Guna yang lain, maka terjadilah suatu
penciptaan. Perubahan ini disebut Wiripaparinama.
Pertama yang timbul dari Tri Guna adalah Mahat.Mahat adalah benih dunia ini.Segi
kejiwaan atau Psikilogisnya disebut Buddhi memiliki sifat kebijakan, pengetahuan, tidak
bernafsu, dan keTuhanan atau Dharma, Jana, Wairagya, dan Aiswarya.
Perbedaan Mahat dan Buddhi adalah, bahwa Mahat adalah asas kosmis dan Buddhi adalah
asas kejiwaan.Tapi Buddhi bukanlah jiwa yang tidak bersifat kebendaan itu. Buddhi adalah
zat halus dari segala proes mental, kecakapan untuk membedakan hal dan menerima
sesuatu seperti apa adanya. Fungsinya untuk mempertimbangkan, memutuskan segala hal
yang dianjurkan oleh alat yang lebih rendah dari padanya.Buddhi adalah unsur kejiwaan
tertinggi dan tempat terakhir bagi semua jenis perbuatan moral dan intelektual.
Dari Buddhi (Mahat) timbullah Ahamkara, yaitu asas individualisasi, asas yang
menimbulkan individu.Karena Ahamkara memiliki segi kosmis dan bersifat kejiwaan.Dari
segi kosmis timbullah subjek dan objek yang berdiri sendiri dan dari segi kejiwaan
timbullah rasa aku manusia.
Setelah Ahamkara perkembangan Prekerti menuju kedua jurusan, yaitu jurusan bersifat
Kejiwaan, dimana Guna Sattwam lebih berkuasa dari Guna lainnya dan jurusan bersifat
Fisik, dimana Tamas yang merajai. Dalam perkembangan ini Guna Rajas semata berfungsi
sebagai tenaga yang memberi dinamika dan kekuatan pada kedua Guna lain.
Perkembangan kejiwaan pertama adalah Manas, yaitu alat pusat kerjasama dengan indra
untuk mengamati kenytaan diluar dari manusia. Tugas Manas untuk mengkoordinir
perangsang keindraan, mengaturnya sehingga menjadi petunjuk dan meneruskan pada
Ahamkara dan Buddhi.Sebaliknya Manas bertugas meneruskan putusan kehendak Buddhi
pada alat lebih rendah. Gabungan Buddhi, Ahamkara, dan Manas disebut Antahkarana
(Alat Batin).
Perkermbangan kejiwaan kedua adalah Panca Budhindriya

3.Efistemologi Dwaita Wedanta

Dalam Dwaita Wedanta untuk memperoleh pengetahuan yang benar, diajarkan dua
jenis Pramana, yaitu: Alat yang primer disebut dengan Kewalapramana dan Anupramana
disebut dengan alat sekender. Yang dimaksud dengan pengetahuan Kewalapramana ialah
pengetahuan yang benar yang menunjuk langsung kepada suatu peristiwa bukan alat untuk
mendapatkan pengetahuan. Sedangkan pengetahuan Sekunder ataua Anupramana ialah
alat-alat guna mendapatkan pengetahuan melalui perentara. Anupramana. Anupramana
dalam Dwaita di bagi atas tiga bagian yakni: Pengamatan,Penyimpulan dan Kesaksian.
Dalam hal kesaksian sistem Dwaita lebih dominan bersandar pada Kitab-kitab Agama dan
Purana dari kitab Weda.
Dalam sistem Dwaita dinyatakan bahwa ;pengamatan hanya terjadi melalui indriya
bukan dilaur dari pada itu. Dalam Dwaita ada tujuh Indriya, yaitu kelima Indriya yang

49
biasa ditambah Manas dan Saksin. Saksin adalah pribadai manusia, yang pada hakekatnya
sama dengan jiwa, yaitu kesadaran yang dipandang sebagai salah satu alat pengamatan
karena Saksin mengenal segala sesuaitu yng dihadapakan indriya yang lain kepadanya.
Dengan adanya Saksin manusia dapat mengenal kesenangan, kebahagiaan, kesusahan
waktu dan ruang ini dapat diraih hanya melalui perantara diri sendiri.
Mengenai proses terjadinya pengetahuan menurut ajaran Dwaita pada umumnya
sama dengan ajaran Nyaya-Waisasika. Akan tetapi ajaran pengetahuan itu sendiri ada
bedanya menurut Dwaita pengetahuan adalah suatu perubahan bentuk dari Manas,
sehingga pengetahuan itu memberikan sifat kepada manas bukan kepada pribadi manusia.
Namun didalam proses pengetahuan itu manusialah yang menjadi pengelolanya, seba ia
yang memprekasai prose situ, sehingga ada hubungan antara pribadi manusia dengan
pengetahuan yang timbul itu.
Dalam Sistem Dwaita dikemukakan bahwa pengetahuan yang benar ialah
pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan yang ada diluar diri manusia. Dan
pengatauhuan yang salah ialag asat yaitu hal yang tidak ada secara mutlak. Lebih
dipertegas lagi obyek pengatahuan yang salah adalah benar-benar nyata. Kepalsuan objek
tidak berarti di dalamnya terkandung kepalsuan ilmu pengetahuan.
Mengenai Anumana ataua menyimpulkan adalah sama dengan jaran Awedanta
yang lainnya. Pengetahuan yang didapat dengan menyimpulkan adalah dengan melihat
melihat suatu tanda atau Lingga yang selalu memiliki hubungan dengan obyek yang ditarik
kesimpulannya yang disebut dengan Sadhya. Perhubungan anatara lingga dengan Sadhya
disebur wyapti. Dalam penyimpulan ini ada tiga syarat utama antara lain: Paksa (suatu
kesimpulan yang ditarik, Sadhya (obyekyang ditari kesimpulannya) dan Lingga (tanda
yang tidak terpisahkan dengan benda dan kesimpulannya).
Kesaksian atau sabda, sistem Dwaita lebih dominan bersandar pada Kitab Agama
dan Purana. Ini dapat kita pahami karena ajaran yang terdapat dalam Kitab Agama dan
Purana tidak bertentangan dengan isi Weda.

3. Etika Dwaita Wedanta


Tujuan tertinggi dari Dwaita Wedanta untuk mencapai kelepasan. Kelepasan dalam
hal ini adalah untuk peniadaan Awidya secara sempurna. Karena adanya Awidya mencul
samsara atau penderitaan dalam hidup ini. Jumlah penderitaan itu adalah sangat banyak
seperti kesedihan, keputusasaan, penyakit, tidak harmonis dan sebagainya. Penderitaan
merupakan belenggu bagi setiap orang untuk mencapai kelepasan. Karena itu semua
bentuk penderitaan disebabkan oleh awidhya. Sehingga manusia tidak lagi mengetahui
hakikat Tuhan yang sebanarnya dan tidak dapat mengerti hakikat dirinya sendiri. Jadi jalan
utama adalah meniadakan/peniadaan Awidhya itu sendiri, maka orang akan mengetahui
hakikat Tuhan dan hakikat dirinya sendiri.
Semua penderitaan dalam hidup ini kelihatannya selalu diimbangi oleh
kesenangan, akan tetapi jika kesenangan itu direnungkan secara mendalam, maka akan
ditemukakanlah bahwa kesenangan itu sendiri direnungkan secara mendalam, maka akan
ditemukan bahwa kesenangan itu sendiri akan menjadi penderitaan. Sebab penderitaan
timbul dari kelimpahan kesenangan, oleh karena itu kesengan itu sendiri adalah bentuk
penderitaan.
Penyebab penderitaan adalah keingainan hidup yang dikaitkan dengan nafsu
kepada hal-hal duniawi. Ketidaktahuan atau Awidhya bersifat kosmis yang menjadikan
orang memiliki pandangan yang kabur terhadap hakikat Tuhan yang sebenarnya dan
kahikat dirinya sendiri.
Untuk mencapai kelepasan, sistem Dwaita mengajarkan beberapa jalan yaitu,
Karmayoga, Srawana, Manana dan Dhyana atau meditasi. Karmayoga: Mengajarkan
orang harus melaksanakan tugasnya tanpa mengharapkan pahalanya. Menurut Karmayoga,

50
tindakan yang dilakukan seseorang tidak dapat dihancurkan sebelum tindakan itu
membuahkan hasilnya. Tidak ada kekuatan dalam alam semesta ini yang dapat
menghentikan tindakan itu sehingga tidak membawa akibat. Jika seseorang berbuat baik,
maka kebaikan itulah yang akan dinikmatinya. Demikian juga sebaliknya jika seseorang
berbuat jahat atau negative, maka kejahatan dan penderitaan itulah yang akan mereka
nikmati.
Dwaita mengajarkan bekerjalah tanpa henti, tetapi lepaskanlah segala pengikatnya
kepada pekerjaan itu. Serahkan semua hasil kerja kepada Tuhan, karena pada hakikatnya
apa yang dikerjakan oleh seseorang, apa yang ia dengar, rasakan dan ia lihat adalah
semata-mata untuk Tuhan. Untuk pekerjaan apapun juga janganlah hendaknya seseorang
meminta pujian, semua itu adalah kepunyaan Tuhan, berikanlah buahnya kepada Tuhan.
Karmayoga berusaha mencapai kebebasan yang menjadi tujuan tertinggi bagi
semua umat manusia melalui jalan kerja, dengan tidak mementingkan diri sendiri. Karena
semua tindakkan yang egoism akan memperlambat terciptanya kelepasan dan sebaliknya
tindakan tanpa keakuan akan mempercepat tercapainya tujuan tertinggi itu. Hendaklah
manusia hidup di dunia hatinya selalu menghadap Tuhan dan tangannya pada pekerjaan.
Karmayoga dalam Dwaita juga termasuk melakukan upacara keagamaan yang
dilakukan menurut petunjuk Weda melalui Kitab Agama dan Purana. Melakukan penujaan
melalui bentuk-bentuk simbolik dan mengulang-ngulang mantra-mantra suci dalam
pemujaan kepada Tuhan juga termasuk dalam pelaksanaan Karmayoga.
Srawanam adalah mendengarkan petuah-petuah guru tentang isi Kitab Weda,
Agama dan isi Kitab Purana. Dwaita mengatakan jika ingin mempelajari isi kitab suci
hendaknya dibimbing oleh seorang guru yang berwenang dibidang itu. Dan Mananam
yaitu: memahami, membahas dan menguji apa yang didengar itu sehingga muncul
keyakinan yang mendalam mengenai kebenaran yang didukung oleh kitab suci hendaknya
dimeditasikan atau Dhayana atau direnungkan secara mendalam supaya dapat pengetahuan
Tuhan yang penuh dengan cinta kasih.
Dhyana/meditasi diharapkan Tuhan berkenan menganugrahkan karunianya.
Karena karunia inilah manusia akan mendapatkan merialisasikan hakikatg Tuhan dan
hakikat dirinya sendiri secara intuisi. Meditasi adalah berbagai penolong untuk hidup
spiritual, karena dalam meditasi orang akan dapat melepaskan semua ikatan pada dirinya,
dan merasakan geteran suci dari tuhan.

REFRENSI
1. Chatterjee Satischandra, M.A,Ph.D and Dhirrendramohan, M.A.Ph.D.An
Introduction to Indian philosophy, University of Calcuta, India,1954.
2. Hariyana, M: Esential of Indian Philosophy, Londan,1978
3. Hadiwijino,Harun: Sari Filsafat India, BKP Gunung Mulia, Jakarta, 1985.
4. Oka I Gusti Agung: Sad Darsana, Denpasar,1980
5. Sinha Jadunath, M.A, Ph.D: the Fondation of Hinduism, Sinha Publishing
House,calcuta, 1955.

51
BIO DATA PENULIS

1. Nama Lengkap : Drs. I Nyoman Warta, M.Hum


2. Tempat/tanggal lahir : Belusung Gianyar, 10 September 1965
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Unit Kerja : STHD Klaten Jawa Tengah
5. NIDN /NIP : 2410096501/196509101991031002
6. Jabatan Fungsional : Dosen
7. Jabatan Struktural : WAKIL KETAU I
8. NOMOR KTP ; 3471131009650004
9. Unit Kerja : STHD Klaten Jawa Tengah
10. Alamat Kantor : Desa Karanganom, Klaten Jawa Tengah
11. Telp/Fax. Kantor : (0272) 3352795
12. Alamat Rumah :Klampok, RT.02/RW.04 Karangasem,
Sleman
13. Telpon/HP : 08122763019

Riwayat Pendidikan
1. SDN Tahun 1977
2. SMP Tahun 1981
3. SMA Tahun 1984
4. IHD. S1 Tahun 1989
5. UGM. S2 Tahun 2004

Pengalaman Pekerjaan/Mengajar
1. Staf Direktorat Jenderal Bimas Hindu Depag RI
2. Penyuluh Agama Hindu Kanwil Agama DIY
3. Pembimbing Masyarakat Hindu Kementeriaan Agama
Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Dosen STHD dari Tahun 2011 sampai sekarang
5. Ketua PHDI DIY Perioda 2019-2024

Kegiatan Profesi
1. Aktif dalam Kegiatan Workshop, Seminar dan pengabdian dalam
masyarakat.
2. Aktif memberikan Dharma Wacana, mengisi Lentera Hindu Di TVRI
Yogyakarta.
3. Mengisi Mutiara Senja Hindu di JOGJA TV
4. Mengisi Percikan Bening Hindu di Harian Jogja

Yogyakarta, 15 Juli 2020

Drs. I Nyoman Warta, M.Hum


NIP. 196509101991031002

52
53

Anda mungkin juga menyukai