Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Umat Hindu umumnya tidak asing lagi dengan istilah Kali Yuga. Kata Kali sendiri berasal
dari Bahasa Sanskerta yang berarti keadaan yang penuh dengan pertentangan, perkelahian,
percekcokan, bahkan pembunuhan yang dipicu oleh kecurigaan, ketidakadilan, kebohongan
dengan kekerasan, di mana kejujuran sudah tidak ada tempatnya dan tersingkirkan. (Mertha,
2009 :1). Kali Yuga sendiri merupakan salah satu bagian dari pembagian jaman menurut
Agama Hindu. Dalam susastra Purana, khususnya Brahmanda Purana dijelaskan tentang
pembagian jaman yang dimaksud. Terdapat 4 pembagian jaman dalam hal ini yaitu Krta
Yuga, Treta Yuga, Dvapara Yuga, dan Kali Yuga. Krta Yuga ditandai dengan keadaan
manusia yang mengutamakan tapa, yoga sebagai medium bhakti kepada dewata dan leluhur.
Pada Treta Yuga mulai dirasakan ketidakserasian Dharma dalam Weda, mulai dituliskannya
kitab suci Weda, dan struktur masyarakat ditegakkan dalam
konsep Varnasramadharma. Dvaparayuga ditandai dengan terjadinya kemunduran dan
kekacauan kehidupan sosial, agama dan berbagai kondisi menuju kehancuran, setiap orang
menginginkan kemasyuran dan kejayaan dengan jalan yang tidak benar, serta cenderung
melakukan upacara-upacara agama yang besar. Memasuki jaman Kali sangat jelas terlihat
bahwa Dharma sudah kehilangan jatidirinya sehinga banyak uat manusia yang prilakunya
melenceng dari ajaran dharma. Jaman ini ditandai dengan prilaku umat manusia, baik itu laki-
laki dan perempuan kehilangan sifat mulianya, para edagang dan politisi akan melakukan
pekerjaan yang kotor, para pandita akan jatuh dan hidup dengan orang-orang hina. Para
pekerja akan menjadi pemimpin seperti pandita, para pemimpin dan politisi mestinya
melindungi masyarakat, malahan menjadi perampok rakyat (Sandhi dan Pudja, 1980 : 192-
193).

Berangkat dari pemikiran tersebut dan dengan mengamati fenomena yang berkembang
dewasa ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sederhana bahwa kehidupan umat manusia saat ini
memang lebih banyak didominasi oleh sifat-sifat adharma. Tindakan kejahatan terjadi
dimana-mana, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, penggelapan pajak, korupsi, perusakan
fasilitas umum, tawuran pelajar, bakan tidak jarang pelaku tersebut merupakan orang yang
seharusnya menjadi teladan masyarakat. Sekilas memang tampak adanya hubungan
antara Kali Yuga dengan keadaan umat manusia saat ini, namun perlu digaris bawahi apa
sesungguhnya yang menjadi faktor degradasi moral tersebut. Umat manusia di jaman Kali
cenderung terikat kepada hal-hal keduniawian yang menjanjikan kebahagiaan jasmani
semata, dan menegesampingkan kebahagiaan rohani. Umat manusia sudah mulai melupakan
dan bahkan meninggalkan dharma, hal itu tercermin dalam prilaku yang melanggar norma
serta hukum yang berlaku, dengan mudahnya berbuat dosa tanpa memikirkan akibat yang
akan ditimbulkan dari perbuatannya tersebut. Hukum sudah kehilangan kekuatannya, karena
hanya dijadikan sebatas wacana, tanpa adanya idealisme dala penerapannya. Para pemimpin
yang seharusnya melindungi rakyat, justru menjadi perampok hak-hak rakyat, politisi
melakukan tindakan atau pekerjaan yang kotor, anak sudah tidak hormat lagi kepada orang
tua dan guru di sekolah, dan pergaulan bebas merupakan beberapa gambaran kehidupan
masyarakat di jaman Kali.

Sesungguhnya Agama Hindu telah mengajarkan umatnya untuk selalu berjalan di atas jalan
dharma (kebenaran). Salah satu ajaran Agama Hindu yang mampu menuntun umatnya ke
arah yang baik dan benar adalaha ajaran tentang etika dan moralitas. Dasar etika dan
moralitas Hindu itu sendiri adalah bersumber dari adanya keyakinan yang mendalam
terhadap adanya kelahiran kembali atau perpindahan roh yang merupakan rangkaian ajaran
Karma Phala, yang mengajarkan bahwa setiap perbuatan baik atau buruk akan mendapatkan
pahala, bukan hanya sorga atau neraka, tetapi juga menjelma berulang-ulang dengan
mengenakan berbagai badan, dari badan yang suci seperti devata yang agung atau menjadi
serangga atau tumbuh-tumbuhan, dan bahkan menjadi batu (Titib, 2004 : 281). Ajaran
tentang Karma Phala banyak tertuang di dalam kitab-kitab suci maupun susastra Agama
Hindu di antaranya Bhagavad Gita, Manava Dharmasastra, Sarasamuccaya, Slokantara,
Itihasa dan Purana. Dalam Sarasamuccaya 32 disebutkan sebagai berikut :

Apanikang kadang warga rakwa, rig tunwan

hingan ikan pangateraken, kunang ikang tumut,

sahayanikang dadi hyang ring paran, gawenya

subhasubha juga, matangyan prihena tiking gawe

hayu, sahayanta anuntunakena ri pona dlaha

Artinya :

“Karena kaum kerabat itu, hanya sampai di tempat pembakaran (kuburan) batasnya mereka
itu mengantarkan, adapun yang turut ikut menemani roh di akhirat, adalah perbuatannya yang
baik, ataupun yang buruk saja, oleh karena itu hendaklah diusahakan berbuat baik, yaitu
teman anda yang menjadi pengantar ke akhirat kelak. (Kajeng dkk, 1997 : 27).”

Berdasarkan kutipan sloka tersebut sesunguhnya umat menyadari bahwa betapa pentingnya
berbuat baik karena itu akan mempengaruhi pahalanya kelak. Dalam Kitab Ramayana,
Mahabrata, dan Sutasoma cukup banyak diajarkan tentang penanaman nilai-nilai etika dan
pendidikan dalam diri sendiri, lingkungan keluarga, dan bermasyarakat. Banyak contoh
perbuatan baik yang diberikan oleh para Maharsi atau orang-orang yang bijak menjadi
rujukan bagi Sila, yakni tingkah laku yang baik, demikian pula acara atau tradisi, mesti
merujuk kepada kitab-kitab Itihasa dan Purana (Titib, 2004 : 61). Selama bumi masih tegak
berdiri, selama sungai masih mengalir di bumi, maka kisah agung Rama dan Sita, akan tetap
termashyur di dunia (Hooykaas dalam Semadi, 1992 : 7). Hal senada juga disampaikan
Pradikto (dalam Semadi, 1992 : 7-8) yaitu “Selama bukit berdiri tegak dan sungai megalir ria
maka kisah Ramayana tiada kan sirna”). Berpijak pada pernyataan Maharsi Valmiki tersebut,
kisah Ramayana sangat layak untuk dijadikan pedoman dalam menerapkan nilai etika yang
tertuang di dalamnya sebagai upaya untuk mengendalikan prilaku umat manusia di jaman
Kali ini. Dalam Phala SrutiRamayana ada disebutkan bahwa “Orang yang mendengarkan
kisah Ramayana ini akan terhapus kesalahannya, dosa-dosanya, dan panjang usianya. Orang
yang mendengarkan dengan penuh bhakti pada kavya kuno yang disusun oleh Rsi Valmiki ini
akan sanggup mengendalikan kemarahannya dan sanggup menghadapi kesulitan hidup yang
terbesar sekalipun. Ia akan disatukan kembali dengan orang yang telah lama berpisah
dengannya. Semua keinginannya akan terpenuhi” (Subramaniam, 2004 : 868). Pernyataan
tentang terhapusnya dosa dari orang yang membaca kitab Ramayana ini perlu dipahami
secara mendalam, bahwa dosa tentunya tidak dapat dihapuskan, akan tetapi dapat
diakumulasikan dengan perbuatan baik. Dalam Jendra (1998 : 58) disebutkan beberapa cara
menghapus dosa agar atman tetap suci adalah dengan cara melaksanakan beberapa hal berikut
:

1. Melaksanakan panca pilar :

a. Berbuat yang benar (sathya)

b. Berbuat kebajikan (dharma)

c. Berbuat penuh kasih sayang (prema)

d. Berbuat santih (kedamaian)

e. Berbuat tidak melakukan kekerasan (ahimsa)

2. Menjauhkan diri dari Sadripu : kama, loba, moha, krodha, mada, kemilikan,

marah,mabuk,iri hati)

3. Melaksanakan bhakti dengan penuh kepasrahan.

4. Melaksanakan pengorbanan dan pelayanan kepada sesama dan mahluk ciptaan Tuhan

lainnya

5. Melaksanakan tapa semadhi.

Agama Hindu banyak memiliki sumber ajaran yang memberikan tuntunan moral secara teori
maupun praktis, namun di jaman Kali ini perlu penekanan tentang pentingnya berprilaku
yang baik dan benar serta pengejawantahan ajaran-ajaran tersebut. Kebaikan itu kekal seperti
yang tertuang dalam Slokantara sloka 12 berikut :

Dagdham dagdham punarapi punah kancanam kantiwarnam,

Ghrstam ghrstam punarapi punascandam carugandham,

Chinnam chinnam punarapi punasceksudandam sakhandam,


Bhawante’pi prakrtiwikrtirjayate nottamanam.

Artinya :

“Emas tulen, walaupun dipanasi dan ditempa berkali-kali, tetap cemerlang, Kayu cendana,
walaupun digosok-gosok berulang kali, tetap mengeluarkan bau harum, Batang tebu
walaupun dipotong-potong dan dikunyah berulang kali, tetap mengeluarkan rasa manis.
Demikianlah kebaikan yang sejati tidak akan berubah walaupun ke akhir zaman (Sudharta,
2003 : 40). Demikian di dalam Slokantara disampaikan tentang kemuliaan dari kebaikan itu
sendiri. Selain itu, adapula sumber ajaran Agama Hindu yang mudah dipahami dan memiliki
kandungan ajaran yang komprehensif salah satunya yaitu Ramayana. Banyak prilaku-prilaku
yang mulia tertuang dalam kisah Ramayana, menyangkut bhakti terhadap Guru
Rupaka (orang tua), Guru Pengajian (Guru di sekolah), Guru Wisesa (Pemerintah), Guru
Swadhyaya (Tuhan), ajaran tentang etika dan moralitas, kepemimpinan, kesetiaan, cinta
kasih, pengorbanan, pengabdian, balas budi, kepahlawanan, dan lain sebagainya yang
diharapkan dapat menjadi pedoman dalam mengendalikan prilaku di jaman kali yang sudah
menjauh dari dharma itu sendiri.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka beberapa permasalahan yang dapat dirumusakan
adalah sebagai berikut :

1.Apakah Nilai Moral dan Pendidikan yang terkandung dalam Kitab Ramayana?

2.Apakah Nilai Moral dan Pendidikan yang terkandung dalam Kitab Mahabrata?

3.Apakah Nilai Moral dan Pendidikan yang terkandung dalam Kitab Sutasoma?

1.3. Manfaat Penelitian

Mengetahui Nilai Moral dan Pendidikan yang terkandung dalam Kitab Ramayana,
Mahabrata, dan Sutasoma.

BAB II

PEMBAHASAN

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Kitab Ramayana merupakan sebuah susastra
agung Hindu karya Maha Rsi Valmiki. Epos ini menceritakan kisah avatara Visnu sebagai
seorang ksatriya Putra Raja Dasaratha bernama Sri Rama yang menyelamatkan dunia dari
kehancuran akibat keangkuhan dan kesombongan seorang raja raksasa bernama Ravana.
Perjalanan panjang Sri Rama untuk menegakkan kebenaran memang tidak mudah, meskipun
beliau adalah avatara Visnu, namun tidak luput dari siklus hidup layaknya manusia, hanya
saja kualitas beliau berbeda dari manusia umunya. Sri Rama dipandang sebagai sosok
manusia ideal. Sebagai seorang anak, beliau sangat menghormati orangtuanya, sebagai
saudara tertua, beliau mengasihi adik-adiknya dan bersikap adil kepada mereka, sebagai
suami, beliau juga adalah suami yang ideal, dan sebagai seorang raja beliau sangat
memperhatikan keadaan rakyatnya dan memimpin atas nama rakyat, karena kebahagiaan
rakyat adalah kebahagiaan raja. Intisari atau pokok-pokok ajaran dalam epos Ramayana
meyiratkan berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya dalam susastra
Hindu banyak dituangkan nilai etika dan moralitas yang sangat relevan dengan realita
kehidupan dewasa ini, namun sayangnya nilai dan ajaran tersebut tidak diimplementasikan
atau hanya berada dalam tataran teori.

Mahabharata disusun dalam bentuk parwa yang jumlahnya 18 buah(18 parwa), oleh karena
itu di dalam uastra Jawa Kuno, Mahabharata juga disebut Auppadauaparva (Sanghyang
Auupadauaparva) yang merupakan karya seorang Maharsi bernama Veda Vyasa seperti telah
disebutkan di depan.

Kitab ini juga sering disebut sebagai Mahabharata yuddha atau disingkat Bharatayuddha,
yakni cerita tentang keluarga besar keturunan Maharaja Bharata yang kemudian menurunkan
dua keluarga yang saling bermusuhan, yakni Pandawa dan Kaurawa. Pandawa merupakan
putra lima bersaudara Maharaja Pandawa yang meninggal dunia karena kutukan akibat
membunuh sepasang kijang yang sedang bercengkrama yang ternyata adalah siluman dua
orang pandita. Saat itu usia Pandawa masih kanak-kanak, maka tahta diwakili kerajaan oleh
Maharaja Dhasarata kakak dari Maharaja Pandawa yang karena menderita cacat mata (buta)
menurut ketentuan hukum, seseorang yang cacat demikian tidak boleh menduduki tahta
kerajaan. Putra-putra Dhasarata sebanyak 100 orang sebagai penerus dinasti Kuru disebut
Kaurava. Sejak kanak-kanak para Kaurava sudah memperlihatkan sifat-sifat jahatnya dan
selalu irihati kepada saudara misannya Pandawa tersebut. Prabhu Dhasarata rupanya sangat
kesulitan mendidik dan mengatasi karakter anak-anaknya tersebut, terlebih lagi kelicikan
pamannya Sakuni sangat mempengaruhi Kaurava sehingga ketika sudah dewasa dengan
kelicikannya pula ingin merebut tahta yang mestinya jatuh ke tangan Pandawa. Dengan
berbagai tipudaya Kaurava berusaha mengalahkan Pandawa dan puncak dari konflik yang
berkepanjangan tersebut meletuslah perang besar selama 18 hari dengan memakan korban
100 orang Kaurava bersaudara tewas di medan perang Kuruksetra. Kitab Mahabharata
berakhir ketika Yudistira mencapai sorga dan bertemu kembali dengan saudara-saudaranya di
sana.

Judul resmi dari Kitab Sutasoma ini sebenarnya adalah Purusadha. Kitab Sutasoma digubah
oleh Mpu Tantular dalam bentuk kakawin (syair) pada masa puncak kejayaan Majapahit di
bawah pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1389). Kitab yang berupa lembaran-lembaran
lontar ini demikian masyhur dalam khazanah sejarah negeri ini karena pada pupuh ke-139
(bait V) terdapat sebaris kalimat yang kemudian disunting oleh para ‘founding fathers’
republik ini untuk dijadikan motto dalam Garuda Pancasila lambang Negara RI. Bait yang
memuat kalimat tersebut selengkapnya berbunyi:

Hyāng Buddha tanpāhi Çiva rajādeva

Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā,

Bhimukti rakva ring apan kenā parvvanosĕn,

Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan bebasnya:

“Hyang Buddha tiada berbeda dengan Syiwa Mahadewa

Keduanya itu merupakan sesuatu yang satu

Tiada mungkin memisahkan satu dengan lainnya

Karena hyang agama Buddha dan hyang agama Syiwa sesungguhnya tunggal

Keduanya memang hanya satu, tiada dharma (hukum) yang mendua”

Dengan demikian pernyataan bhinneka tunggal ika tersebut sebenarnya merupakan bagian
amat kecil dari buah karya Mpu Tantular. Sebagai bagian yang amat kecil, tak ada yang
istimewa pada kata tersebut, apa lagi kemuliaan, bahkan arti harfiahnya pun sangatlah
sederhana: berbeda itu satu itu (bhinne = berbeda; ika = itu; tunggal = satu; ika = itu). Lain
dari itu, kalimat tersebut pun adalah bagian dari konsep beragama, sama sekali jauh
hubungannya dengan konsep politik seperti pada pengertian sekarang.

Lebih jauh, kitab itu pun bukanlah kitab keramat atau pantas dikeramatkan. Mpu Tantular
tidak memaksudkannya sebagai kitab tempat orang berguru untuk menyelenggarakan
pemerintahan di suatu Negara. Kurang-lebihnya ia adalah kitab yang bernuansa Buddha, dan
menceritakan sebuah kisah yang diharapkan dapat diteladani oleh umat Buddha. Kisah
tersebut adalah mengenai seorang pemuda bernama Raden Sutasoma

Kompleksitas ajaran Agama Hindu dalam epos Ramayana hendaknya dicerna dan dipahami
dengan bijaksana. Pengejawantahan ajaran tersebut memang memerlukan usaha dan disiplin
yang kuat. Cerita dalam epos ini sudah banyak mengalami perkembangan berdasarkan intuisi
pengarang, sehingga terdapat perbedaan pemahaman dan penambahan cerita-cerita sisipan
diluar cerita aslinya, namun secara garis besar dapat disampaikan pokok-pokok ajaran yang
terkandung di dalamnya sebagai berikut.

a) Konsep Ketuhanan
Beragam kritikan ditujukan kepada Agama Hindu terutama yang berkaitan dengan
pemahamannya terhadap konsep Ketuhaan, mulai dari pemujaan kepada para dewa,
menyembah berhala, dan tuduhan miring lainnya yang berakar pada dangkalnya
pemikiran orang-orang tersebut terhadap ajaran Agama Hindu. Keyakinan umat
Hindu akan ajaran agamanya harus terus ditingkatkan, agar tidak mudah tergoyahkan
oleh pengaruh-pengaruh keyakinan yang berbeda. Dalam epos Ramayana, secara
gamblang dijelaskan tentang konsep avatara Visnu, dalam hal ini sebagai putra
Maharaja Dasaratha di Kerajaan Ayodya bernama Sri Rama. Dewa Visnu merupakan
salah satu personifikasi Brahman sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya.
Dewa Visnu turun menjelma menjadi seorang ksatrya untuk menegakkan Dharma
yang sudah mulai dikuasai oleh adharma.

b) Karmaphala

Karmaphala ini merupakan dasar dari etika dan moralitas dalam Agama Hindu,
karena karmaphala ini besar pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang baik dalam
kehidupan saat ini maupun selanjutnya. Dalam epos Ramayana, banyak tertuang
ajaran karmaphala, salah satunya ketika Raja Dasaratha secara tidak sengaja
membunuh anak seorang Rsi dimana kedua suami istri tersebut mengalami kebutaan,
sehingga anak satu-satunya itulah yang melayani kedua orangtuanya dalam segala
hal. Ketika anak tersebut sedang mencari air di Sungai Sarayu, pada saat bersamaan
Raja Dasaratha sedang berburu dengan keahlian yang dimiliki yakni ajian sabdavedi,
yaitu keahlian berburu hanya dengan mendengar suara binatang, beliau dapat
membunuh binatang tersebut dari jarak jauh hanya dengan satu anak panah. Pada saat
itu, beliau mendengar suara gajah yang sedang minum air dengan belalainya di
Sungai Sarayu, dan seketika beliau mengambil anak panah dan menembakkannya ke
arah suara tersebut. Terdengar suara rintihan seorang pertapa yang terkena panah sang
raja, saat itulah beliau merasa bersalah karena panahnya menyebabkan pertapa tadi
meregang nyawa. Sebelum meninggal, pertapa itu meminta sang raja untuk segera
menemui orangtuanya dan mengatakan kejadian yang sebenarnya, karena kedua
orangtuanya sudah tua dan buta, dia mengambil air untuk kedua orangtuanya, dan
orangtuanya juga pasti akan meninggal karena tidak bisa hidup tanpa dirinya.
Kemudian sang raja dengan segala kesedihan dan penyesalan menemui orangtua
pertapa tersebut dan mengatakan kejadian yang sebenarnya. Tentu saja kedua
orangtuanya merasa terpukul, dan pada akhirnya menemui ajal karena kepedihan
berpisah dari sang anak. Namun sebelum meninggal, orangtua pertapa tadi mengutuk
Raja Dasaratha agar dia mengalami nasib yang sama, dimana perpisahan dengan sang
anak tercinta yang menyebabkan kematiannya. Ajaran Karmaphala hendaknya
dijadikan suatu pedoman dalam bertingkahlaku sehari-hari, karena pengaruhnya
sangat besar bagi kehidupanmanusia itu sendiri. Dewasa ini, nampaknya umat
manusia sudah bersikap acuh terhadap ajaran karmaphala ini, terbukti dengan
menurunnnya derajat kemulian manusia di jaman kali ini. Namun Satu hal yang harus
selau diingat adalah karma merupakan teman yang paling setia yang akan menemani
sangatmann sampai akhirat nantinya
c) Moksa

Manusia dilahirkan ke dunia tentu memiliki tujuan hidup. Demikian halnya dalam
Agama Hindu, tujuan terakhirnya adalah mencapai kebebasan tertinggi, atau
kebahagiaan sejati yang disebut Moksa. Dalam Ramayana ditekankan hubungan yang
erat antara Dharma, Artha dan Kama. Tujuan tertinggi yakni Moksa di Dalam
Ramayana ditunjukkan hanya sekali ketika Sri Rama melaksanakan upacara
pembakaran jenasah Jatayu. Ia merakmatinya untuk mencapai kebebasan tertinggi
(Atlekar dalam Titib, 2011: 596)

Nilai Moral dan Nilai Penidikan Pada Kitab Ramayana

Dalam epos Ramayana begitu banyak dipaparkan tentang etika dan moralitas menurut Hindu
tentunya, dan banyak diantaranya sangat relevan dengan realitas kehidupan sosial dewasa ini.
Sri Rama merupakan sosok manusia ideal yang disebut Maryada Purusottama, yang patut
dijadikan teladan umat manusia dalam berbagai prilakunya, karakternya sebagai anak, suami,
raja, saudara, dan sahabat.

Perbuatan yang Baik dan Benar

Etika Sri Rama sebagai seorang anak yang berbhakti kepada orangtuanya, ketika dia
diasingkan ke hutan oleh Dewi Kekayi, dan ayahnya Raja Dasaratha yang meskipun dengan
berat hati demi menepati janjinya kepada permaisurinya, namun Sri Rama sedikitpun tidak
menolak permintaan ayahnya tersebut, karena dia memiliki prinsip bahwa ayahnya adalah
dewa baginya, apapun yang ayahnya katakan atau perintahkan, pasti akan dipatuhi, demikian
idealnya Sri Rama sebagai seorang anak. Kemudian etika Sri Rama sebagai seorang suami,
beliau sangat setia dan menyayangi istrinya, dan ketika beliau diasingkan ke hutan, istrinya
Dewi Sita dilarang untuk turut serta, namun karena bujukan dewi Sita, akhirnya beliau
mengijinkan istrinya untuk turut serta mendampinginya. Sri Rama sebagai seorang suami rela
berkorban demi kebahagiaan istrinya dan berjuang dengan penuh kegigihan untuk
menyelamatkan istrinya dari tangan raksasa Ravana. Demikian sebaliknya etika Dewi Sitha
sebagai seorang istri yang sangat hormat dan setia kepada suaminya, kemanapun suaminya
pergi, dia harus selalu mendampingi suaminya dalam keadaan apapun, meskipun dia tengah
disekap oleh Ravana, namun dia tetap menjaga kesuciannya walaupun diiming-imingi harta
berlimpah oleh Ravana. Laksmana selalu mengikuti kemanapun kakaknya Sri Rama pergi.
Dia ingin selalu berada di dekat sang kakak, menjaganya ketika Sri Rama dan Dewi Sita
tertidur lelap di hutan, menjaga Dewi Sita ketika Sri Rama mengejar kijang emas, meskipun
Dewi Sita akhirnya diculik oleh Ravana, namun Laksmana telah menjalankan perintah
kakaknya dengan baik, hanya saja memang karena permohonan Dewi Sita serta karena
kelicikan Ravana, maka Dewi Sita dapat diculik dengan mudah. Bharata sebagai adik dari Sri
Rama sangat menghormati kakaknya, terbukti ketika dia diminta untuk menjadi raja oleh
ibunya Dewi Kekayi, dia menolak keras bahkan menyalahkan sikap ibunya tersebut, dan dia
memutuskan untuk menyusul Sri Rama ke hutan agar beliau berkenan memimpin kerajaan
Ayodya, karena Sri Rama yang lebih berhak. Kemudian ketika kembali dari pengasingan dan
dinobatkan sebagai raja Ayodya, Sri Rama bisa membedakan urusan kerajaan dan urusan
pribadinya, dan beliau lebih mementingkan urusan kerajaan. Etika sebagai seorang raja
benar-benar dipegang teguh oleh beliau. Ketika ada desas-desus dari rakyatnya yang
mengatakan bahwa Dewi Sita yang lama disekap Ravana tidaklah suci dan sudah ternoda.
Mendengar hal tersebut, Sri Rama meminta Laksmana untuk membuang Dewi Sita ke hutan
meskipun dalam keadaan hamil. Sekilas memang hal tersebut tidak dibenarkan dalam kodrat
sebagai manusia, namun kiasan yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah seorang
pemimpin harus mengutamakan kepentingan rakyatnya dan mengesampingkan kepentingan
pribadinya.

Kepemimpinan

Berbicara masalah pemimpin dan kepemimpinan, maka epos Ramayana merupakan salah
satu sumber inspirasi ajaran kepemimpinan, karena di dalamnya terkandung banyak aspek
kepemimpinan yang patut diteladani. Salah satunya yang paling populer adalah Asta Brata.
Demikian hendaknya ajaran kepemimpinan tidak hanya dipahami secara teori namun nilai-
nilainya harus diwujudkan dalam praktik kehidupan, minimal sebagai pemimpin diri sendiri,
karena manusia memili 10 indriya (dasendriya) yang harus dikendalikan, dan pikiran sebagai
rajanya indriya harus mengontrol indriya-indriya lainnya sehiangga tercipta kesejahteraan.

Untuk memenuhi maksud tersebut, seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat kekal dari
Dewa Indra, Wayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra dan Kuwera.

Asta Brata merupakan delapan landasan sikap mental bagi seorang pemimpin yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :

1.Indra Brata yakni para pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Indra yaitu sebagai
dewa hujan. Hujan adalah sumber kemakmuran karena tanpa hujan tumbuhan dan
makhluk hidup lainnya tidak dapat hidup. Dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin
hendaknya seperti air yang berasal dari bawah terus menguap turun kembali menjadi hujan
untuk member kesejukan dan menghidupkan segala isi alam ini. Seorang pemimpin yang
pada mulanya berasal dari manusia biasa, setelah naik menjadi pemimpin janganlah lupa
kepada rakyat yang dipimpin.

2.Yama Brata artinya pemimpin hendaknya mengikuti sifat Dewa Yama, yaitu menciptakan
hukum, menegakkan hukum, dan memberikan hukuman secara adil kepada setiap orang yang
bersalah.

3. Surya Brata artinya pemimpin hendaknya memberikan penerangan secara adil dan rata
kepada seluruh rakyat dan selalu berbuat hati-hati seperti matahari sangat berhati-
hati dalam menyerapkan air. Pemimpin juga harus selalu berusaha meningkatkan
semangat perjuangan hidup seluruh rakyatnya.

4. Candra Brata artinya pemimpin hendaknya selalu dapat memperlihatkan wajah yang
tenang dan berseri-seri sehingga rakyat yakin akan kebesaran jiwa dari pemimpinnya.
5.Bayu Brata artinya pemimpin selalu mengetahui dan menyelidiki keadaan dan kehendak
yang sebenarnya terutama sekali keadaan rakyat yang hidupnya paling menderita. Sifat
pemimpin ini digambarkan bagaikan Sanghyang Bayu yaitu Dewa Angin yang selau
berhembus dari tekanan yang tinggi kepada tekanan yang paling rendah.

6. Danadha (Kwera) Brata artinya pemimpin harus bijaksana dalam mempergunakan dana
atau uang, jangan menjadi pemboros yang dapat merugikan negara dan rakyat. Danadha
Brata disebut juga Artha Brata berarti pemimpin harus mampu mempergunakan uang
sehemat mungkin.

7. Baruna Brata artinya pemimpin hendaknya dapat membersihkan segala bentuk peyakit
masyarakat seperti pegangguran, kenakalan remaja, pencurian, pengacauan politik, dan lain
sejenisnya.

8.Agni Brata artinya pemimpin harus memiliki sifat ksatrya yang disertai dengan semangat
yang tinggi bagaikan api yang tiada henti membakar sebelum apa yang dibakar itu habis.
(Pasek, dkk, 1982: 93-95)

Demikian hendaknya ajaran kepemimpinan tidak hanya dipahami secara teori namun nilai-
nilainya harus diwujudkan dalam praktik kehidupan, minimal sebagai pemimpin diri sendiri,
karena manusia memili 10 indriya (dasendriya) yang harus dikendalikan, dan pikiran sebagai
rajanya indriya harus mengontrol indriya-indriya lainnya sehiangga tercipta kesejahteraan.

Kesetiaan dan Kejujuran

Menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran disebut satya. Ada lima jenis satya
yang disebut Panca Satya yang patut diperhatikan oleh umat Hindu yakni :

Dalam epos Ramayana banyak dikisahkan ajaran tentang kesetiaan maupun kejujuran. Ketika
Raja Dasaratha akan menobatkan Sri Rama sebagai penggantinya, saat itu pula Manthara
yang tidak lain adalah pelayan Dewi Kekayi menghasut ratunya untuk membatalkan
penobatan Sri Rama sebagai raja dan menggantinya dengan putranya sendiri yakni Bharata.
Kelicikan Manthara membuahkan hasil, dia berhasil membujuk Dewi Kekayi yang
sesungguhnya sama sekali tidak berniat merebut tahta kerajaan, dengan cara menagih janji
yang pernah diucapkan oleh raja Dasaratha ketika dia berperang melawan para detya, dan
saat itu dia terluka parah kemudian ditolong oleh Dewi Kekayi yang akhirnya dijadikan
permaisuri kerajaan. Saat itu Raja Dasaratha ingin membalas kebikan Dewi Kekayi yang
telah menyelamatkan nyawanya dengan memberikan dua buah anugrah, namun Dewi Kekayi
mengatakan belum memerlukan saat itu, dan raja Dasaratha pun akan memberikan anugrah
itu kapanpun dia mau. Tepat pada saat Sri Rama akan dinobatkan sebagai penerus kerajaan,
Dewi Kekayi atas hasutan Manthara menagih janji yang pernah diucapkan raja Dasaratha
tersebut. Janjinya tidak lain agar Bharata yang dinobatkan sebagai penerus kerajaan, dan
bukan Sri Rama. Permintaan yang kedua bahwa agar Sri Rama dibuang ke hutan selama 14
tahun. Tentu saja permintaan itu membuat sang raja ragu, bimbang memberikan keputusan.
Jika Raja Dasaratha mengikuti permintaan Dewi Kekayi, maka dia akan berpisah dengan Sri
Rama selama 14 tahun, namun jika dia menolak permintaan Dewi Kekayi, maka seluruh
dunia akan mencemooh sang raja telah mengingkari janjinya. Hal itu segera diberitahu
kepada Sri Rama, dan atas bujukan beliau, maka dengan berat hati dan penyesalan yang
dalam Raja Dasaratha mengabulkan permintaan Dewi Kekayi. Sri Rama dengan
keseimbangan perasaannya telah membujuk ayahnya agar setia kepada perkataan, setia
kepada janjinya terdahulu, karena jika beliau melanggar janji itu maka seluruh dunia akan
mencemoohnya. Disinilah letak ajaran satya wacana dan satya semaya yang memang benar-
benar diterapkan.

Ketika Raja Dasaratha telah wafat, Sri Rama ditemani Dewi Sita dan Laksmana telah
diasingkan ke hutan, kemudian Bharata menolak untuk menjadi raja, dia pun berkeinginan
untuk menjemput kakaknya Sri Rama ke hutan agar bersedia kembali ke Ayodya dan menjadi
raja di sana. Namun usahanya gagal, karen Sri Rama tetap bersikukuh memegang teguh
janjinya bahwa dia harus melewati masa pengasingan tersebut, dan beliau memberikan solusi
yakni terompah atau alas kaki Sri Rama yang dijadikan simbol raja Ayodya dan Bharata
memimpin atas nama Sri Rama. Ajaran satya laksana sangat kental dalam hal ini, dimana Sri
Rama tetap memegang teguh dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah diucapkan.
Demikian pula halnya Bharata yang dengan kejujurannya dan kesetiaannya kepada kakanya,
menolak keras untuk dinobatkan sebagai raja, karena itu bukan haknya pada saat itu.
Kemudian kesetiaan Hanuman dan Sugriwa kepada Sri Rama merupakan bentuk ajaran satya
mitra, atau setia kepada teman dan tidak pernah berkhianat. Mereka ikut membantu Sri Rama
menemukan kembali Dewi Sita yang diculik oleh Ravana, hingga berhasil membawa kembali
Dewi Sita ke Ayodya. Hanuman sebagai utusan Sri Rama benar-benar melakukan tugasnya
dengan baik mengintai dan mengobrak-abrik kerajaan Alengka, dan memastikan keadaan
Dewi Sita yang tengah disekap di taman Angsoka kemudian kembali membawa berita kepada
Sri Rama. Perjuangan Hanuman dan pasukanya membangun jembatan melewati lautan
menuju Alengka, merupakan suatu bentuk pengabdian, kesetiaan yang luar biasa. Ketika
Hanuman akan diberikan imbalan oleh Sri Rama atas jasanya, dia menolak, dan dia hanya
ingin selalu dekat dengan beliau, Hanuman hanya memohon agar Sri Rama dan Dewi Sita
bersedia bersemayam di dalam hati Hanuman. Demikian ajaran kesetiaan dan kejujuran yang
tertuang dalam epos Ramayana agar benar-benar dipahami dan dihayati

Pedoman Bertinkah Laku

Tujuan disusunnya Kitab Ramayana dan Mahabharata selain untuk menyebarluaskan ajaran
Agama Hindu, juga untuk mengatur individu dan masyarakat yang berubah, yang sesuai
dengan ajaran abadi dalam kitab ini. Ramayana tidak menganjurkan manusia masa ini dan
masa-masa selanjutnya harus bertingkah laku seperti pada masa Kerajaan Sri Rama,
hendaknya manusia bertindak sesuai dengan zamannya.

Sikap Keteladanan

Membangkitkan sikap keteladanan dalam ligkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.


Merupakan suatu kewajiban bagi orangtua, guru, maupun tokoh masyarakat untuk tidak
sekedar memberi contoh, namun bagaimana mereka bisa menjadi contoh ataupun teladan
bagi generasi penerusnya. Ibarat pepatah “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga”,
atau “buah jatuh tidak jatuh dari pohonnya”. Artinya bahwa anak cenderung akan mengikuti
prilaku orangtuanya

Demikianlah hendaknya seorang ayah menjadi pemimpin dalam keluarga sekaligus menjadi
teladan bagi keluarganya, karena keluarga merupakan dasar dari pendidikan. Dalam
lingkungan sekolah, seorang guru sudah seharusnya dihormati karena dia dianggap orang
yang harus dijadikan teladan. Dalam Ramayana dikisahkan bagaimana seorang guru dalam
hal ini guru spiritual (Brahmana) benar-benar menjadi contoh bagi murid-muridnya. Seorang
murid dilarang untuk duduk di tempat duduk guru. Murid harus bangun pagi sebelum guru
bangun, dan tidur setelah guru tidur. Demikian pula halnya guru memberikan pengetahuan
yang baik dan benar. Guru tidak boleh berprilaku kasar, baik dalam perbuatan maupun
perkataan. Pada saat Purnama atau hari raya Hindu, guru dan pegawai di sekolah serta murid-
murid hendaknya melaksanakan persembahyangan bersama, selain Tri Sandhya yang wajib
dilakukan setiap harinya. Sekolah memegang peranan penting dalam sosialisasi
anak. Ada empat cara yang dapat digunakan sekolah yakni : 1) Transmisi kebudayaan
termasuk norma-norma, nilai-nilai dan informasi melaui pengajaran langsung; 2)
Mengadakan kumpulan-kumpulan sosial; 3) Memperkenalkan anak dengan tokoh-tokoh yang
dapat dijadikan anak sebagai model yang dapat ditiru kelakuannya.; 4) Menggunakan
tindakan positif seperti pujian, hadiah, serta tindakan negatif seperti hukuman untuk
mengharuskan murid mengikuti kelakuan yang layak (Nasution, 2010: 18).

Peniruan Karakter bagi siswa

Dalam hal ini bisa menggunakan contoh karakter Dasaratha, Sri Rama, Bharata, Laksmana,
Hanuman, Wibisana, Sita, Guha, dan tokok-tokoh lainnya yang dapat dijadikan teladan.
Murid-murid juga dapat diajak bermain peran sehingga lebih mudah memahami karakter
masing-masing tokoh tersebut. Misalkan untuk mengajarkan anak agar tidak menerima
sesuatu yang bukan menjadi haknya, dapat mengambil kisah Bharata yang tidak mau
menerima tahta kerajaan Ayodya karena kakaknya Sri Rama yng lebih berhak, sehingga dia
menyusul kakaknya ke tengah hutan untuk mengajaknya pulang dan mewariskan tahta
kerajaan tersebut. Diharapkan dengan memahami karakter Bharata tersebut, murid akan
memahami bahwa tidak baik mengambil hak orang lain, hal ini merupakan salah satu bentuk
preventif agar terhindar dari prilaku buruk.

Tokoh Masyarakat

Tokoh masyarakat sudah selayaknya menjadi teladan bagi generasi penerusnya. Hendaknya
dia melaksanakan kewajibannya dengan iklas, tanpa terikat pada hasilnya. Menjaga
keamanan wilayahnya, melindungi kesucian tempat suci, mencegah pencurian pratima, selain
itu juga dengan cara melarang segala macam bentuk perjudian di sekitar areal tempat suci
yang marak terjadi ketika akan diselenggarakan piodalan di pura. Mengajak generasi muda
untuk melakukan hal positif ketika mendapat giliran makemit seperti membaca kitab-kitab
suci Bhagavadgita, Sarasamuccaya, Slokantara, Ramayana, Mahabharata, dan sejenisnya
yang kental akan nilai etika dan moralitas, sehingga pikiran mereka akan mengarah kepada
hal-hal positif, dan prilakunya pun akan lebih terarah menjadi lebih baik, disamping vibrasi
tempat suci yang memberikan kekuatan dalam memahami kitab-kitab suci tersebut. Dharma
Gita ketika piodalan hendaknya terus digalakkan terlebih memberi kesempatan bagi generasi
muda untuk ikut berpartisipasi sebgai salah satu bentuk ngayah.

Sarana Pembelajaran

Kisah Ramayana akan selalu menarik untuk diceritakan kembali dalam segala jaman, hanya
saja masih sedikit pihak yang mau dan berkeinginan untuk mentradisikan kisah-kisah dalam
Ramayana tersebut. Sesunggunya dalam Dharma Wacana maupun Dhara Tula dapat
mengambil topik etika dan moralitas dalam Ramayana sehingga masyarakat akan semakin
memahami bahwa Ramayana bukan semata-mata kisah yang menarik, namun banyak nilai-
nilai etika moralitas, dan sejenisnya yang dapat dipelajari dari kisah-kisah tersebut. Hal ini
tentunya bertujuan untuk mengarahkan prilaku umat agar selalu berjalan di atas rel dharma
dan meneladani kemuliaan Sri Rama yang dikatakan sebagai sosok manusia ideal.

Pembukuan

Mempopulerkan Kisah Ramayana melalui Dharma Wacana, Dharma Tula, dan dalam
lingkungan keluarga. Kisah Ramayana akan selalu menarik untuk diceritakan kembali dalam
segala jaman, hanya saja masih sedikit pihak yang mau dan berkeinginan untuk
mentradisikan kisah-kisah dalam Ramayana tersebut. Sesunggunya dalam Dharma Wacana
maupun Dhara Tula dapat mengambil topik etika dan moralitas dalam Ramayana sehingga
masyarakat akan semakin memahami bahwa Ramayana bukan semata-mata kisah yang
menarik, namun banyak nilai-nilai etika moralitas, dan sejenisnya yang dapat dipelajari dari
kisah-kisah tersebut. Hal ini tentunya bertujuan untuk mengarahkan prilaku umat agar selalu
berjalan di atas rel dharma dan meneladani kemuliaan Sri Rama yang dikatakan sebagai
sosok manusia ideal. Misalkan dalam sebuah Dharma Wacana, ketika berbicara mengenai
ajaran Catur Guru Bhakti, dapat dikutipkan prilaku Sri Rama yang sangat menghormati
orangtuanya, menghormati guru atau brahmana, taat kepada aturan pemerintah, dan yang
tidak kalah pentingnya selalu menanamkan bhakti kepada Tuhan. Dalam diskusi tanya jawab
Dharma Tula misalnya, berikan kesempatan audien untuk mengorek segala hal tentang kisah
Ramayana dan ajak ereka berpartisipasi dalam menemukan nilai yang terkandung di
dalamnya. Hal ini akan mempermudah diserapnya ajaran Agama Hindu oleh masyarakat
awam khususnya.

Media elektronik seperti televisi merupakan salah satu media yang dapat dijadikan sarana
untuk menyebarluaskan kisah Ramayana, sehingga semakin banyak umat yang tahu dan
memahami ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Dalam lingkungan keluarga,
orangtua dapat menyampaikan kisah-kisah dalam Ramayana melalui cara masing-masing
misalnya menceritakan kepada anak ketika anak istirahat, atau menjelang tidur, sehingga
anak selalu merasa tertarik untuk mengetahui isi dari kisah tersebut. Ketika anak sudah
dianggap mampu, berikan dia kesempatan untuk menceritakan kembali kisah Ramayana yang
telah dibacanya dan minta untuk mengambil nilai yang terkandung di dalamnya. Diharapkan
dengan cara-cara tersebut mampu membendung prilaku negatif generasi muda terutama
menghadapi jaman kali.

Meningkatkan penerbitan buku-buku terkait Ramayana Buku merupakan jembatan untuk


memperoleh ilmu. Hal ini akan terwujud tentunya didukung pula oleh adanya minat baca dan
jumlah buku yang memadai. Buku-buku tentang ajaran Agama Hindu masih dirasa kurang,
termasuk yang berkaitan dengan epos Ramayana. Kalaupun ada itu tidak diperjualbelikan dan
sulit untuk menemukan buku tersebut. Dalam hal ini perlu dilakukan upaya untuk kembali
membangkitkan nilai-nilai etika dan moralitas Ramayana melalui penerbitan buku yang
bertemakan nilai-nilai etika dan moralitas tersebut secara lebih terperinci dan tajam sehingga
apa yang menjadi tujuan disusunnya Ramayana maupun Mahabharata ini dapat terwujud.

Nilai Moral dan Pendidikan yang terkandung dalam Kitab Mahabrata

MAHABHARATA merupakan sastra klasik India yang besar sekali pengaruhnya terhadap
khasanah sastra Jawa Kuna, disamping Ramayana. Mahabharata disebut juga Astadasaparwa
karena ceritanya dibagi kedalam 18 parwa buah karya Bhagawan Krsna Dwipayana Wyasa.
Dalam tulisan ini tidak membahas cerita masing-masing parwa, tapi lebih menekankan pada
kajian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang dapat dijadikan pedoman dalam
tuntunan kehidupan sehari- hari. Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam teks
Astadasaparwa diantaranya adalah: Nilai ajaran dharma, nilai kesetiaan, nilai pendidikan dan
nilai yajna (korban suci). Nilai-nilai ini kiranya ada manfaatnya untuk direnungkan dalam
kehidupan dewasa ini.

Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam kitab Mahabrata diantaranya adalah: Nilai
ajaran dharma, nilai kesetiaan, nilai pendidikan dan nilai yajna (korban suci). Nilai-nilai ini
kiranya ada manfaatnya untuk direnungkan dalam kehidupan dewasa ini.

Nilai Dharma (kebenaran hakiki) ,

Konflik antara Dharma (kebenaran/kebajikan) yang diperankan oeh Panca Pandawa) dengan
Adharma (kejahatan/kebatilan ) yang diperankan oleh Seratus Korawa. Dharma merupakan
kebajikan tertinggi yang senantiasa diketengahkan dalam cerita Mahabharata. Dalam setiap
gerak tokoh Pandawa lima, dharma senantiasa menemaninya. Setiap hal yang ditimbulkan
oleh pikiran, perkataan dan perbuatan, menyenangkan hati diri sendiri, sesama manusia
maupun mahluk lain, inilah yang pertama dan utama Kebenaran itu sama dengan sebatang
pohon subur yang menghasilkan buah yang semakin lama semakin banyak jika kita terus
memupuknya. Panca Pandawa dalam menegakkan dharma, pada setiap langkahnya selalu
mendapat ujian berat, memuncak pada perang Bharatayuddha. Bagi siapa saja yang
berlindung pada Dharma, Tuhan akan melindunginya dan memberikan kemenangan serta
kebahagiaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh pandawa lima, berlindung di bawah kaki
Krsna sebagai awatara Tuhan. " Satyam ewa jayate " (hanya kebenaran yang menang).

Kesetiaan (satya)

Cerita Mahabharata mengandung lima nilai kesetiaan (satya) yang diwakili oleh Yudhistira
sulung pandawa. Kelima nilai kesetiaan itu adalah: Pertama, satya wacana artinya setia atau
jujur dalam berkata-kata, tidak berdusta, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan.
Kedua, satya hredaya, artinya setia akan kata hati, berpendirian teguh dan tak terombang-
ambing, dalam menegakkan kebenaran. Ketiga, satya laksana, artinya setia dan jujur
mengakui dan bertanggung jawab terhadap apa yang pernah diperbuat. Keempat, satya mitra,
artinya setia kepada teman/sahabat. Kelima, satya semaya, artinya setia kepada janji. Nilai
kesetiaan/satya sesungguhnya merupakan media penyucian pikiran. Orang yang sering tidak
jujur kecerdasannya diracuni oleh virus ketidakjujuran. Ketidakjujuran menyebabkan pikiran
lemah dan dapat diombang-ambing oleh gerakan panca indria. Orang yang tidak jujur sulit
mendapat kepercayaan dari lingkungannya dan Tuhan pun tidak merestui.

Pendidikan

Sistem Pendidikan yang di terapkan dalam cerita Mahabharata lebih menekankan pada
penguasaan satu bidang keilmuan yang disesuaikan dengan minat dan bakat siswa. Artinya
seorang guru dituntut memiliki kepekaan untuk mengetahui bakat dan kemampuan masing-
masing siswanya. Sistem ini diterapkan oleh Guru Drona, Bima yang memiliki tubuh kekar
dan kuat bidang keahliannya memainkan senjata gada, Arjuna mempunyai bakat di bidang
senjata panah, dididik menjadi ahli panah.Untuk menjadi seorang ahli dan mumpuni di
bidangnya masing-masing, maka faktor disiplin dan kerja keras menjadi kata kunci dalam
proses belajar mengajar.

Yajna (koban suci dan keiklasan)

Bermacam-macam yajna dijelaskan dalam cerita Mahaharata, ada yajna berbentuk benda,
yajna dengan tapa, yoga, yajna mempelajari kitab suci ,yajna ilmu pengetahuan, yajna untuk
kebahagiaan orang tua. Korban suci dan keiklasan yang dilakukan oleh seseorang dengan
maksud tidak mementingkan diri sendiri dan menggalang kebahagiaan bersama adalah
pelaksanaan ajaran dharma yang tertinggi (yajnam sanatanam).

Nilai Moral dan Pendidikan yang terkandung dalam Kitab Sutasoma

Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Sutasoma merupakan karya Mpu Tantular. Dikisahkan
Sanghyang Buddha yang menitispada putra Prabu Mahaketu, raja Hastina,yang bernama
Raden Sotasoma. Setelahdewasa dia sangat rajin beribadah cintaakan agama Buddha
(Mahayana). Dia tidakmau dikawinkan dan dinobatkan menjadiraja. Pada suatu malam dia
meloloskandiri dari kerajaan, pintu-pintu yangsedang tertutup dengan sendirinya menjadi
terbuka untuk memberi jalan keluar pada prabu Sutasoma. Di dalam perjalanannya, Sutasoma
tiba pada sebuah candi yang terletak di dalam hutan. Diaberhenti di candi tersebutdan
mengadakansamadhi. Kemudian meneruskan perjalanandan mendaki
pegununganHimalaya dengandiantar oleh beberapa orang pendeta.Mereka tiba si sebuah
pertapaan.Diceritakan bahwa para pertapa yang melaksanakan samadhi di pertapaan itusering
mendapat gangguan dari seorang raja raksasa, yang gemar menyantap daging manusia dan
bernama Purusada,akhirnya menjadi raksasa penghuni hutan.Tenyata Purusada menderita
luka dikakinya dan tak kunjung sembuh.Para pendeta meminta agar Sutasomabersedia
membunuh Purusada, akan tetapipermintaan tersebut ditolaknya. Dalammelanjutkan
perjalanannya, ia mendapatserangan dari raksasa berkepala gajahdan seekor naga. Namun
keduanya dapatdia dikalahkan. Ketika sampai disebuahtebing, ia melihat seekor macan betina
yang sedang bersiap menyantap anaknya sendiri. Melihat kejadian tersebut,Sutasoma
menawarkan diri sebagaipengganti. Maka dihisaplah darahnya olehmacan, dan meninggallah
Sutasoma. Namunsetelah melihat mayat Sutasoma. Kemudiandatanglah Batara Indra untuk
menghidupkan kembali Sutasoma. Setelah kejadian tersebut, Sutasoma bersamadhidi dalam
sebuah goa. Para dewa mencobaketeguhan tekad sang pertapa tersebutdengan pelbagai
godaan. Namun dapatdiatasi oleh Sutasoma. Bahkan dalammelaksanakan samadhi, ia dapat
menjelmamenjadi Buddha Vairocana. Setelah pulih,kembali menjadi Sutasoma dan
dirinyaberniat untuk pulang ke negerinya. Didalam perjalanan pulang, ia bertemudengan bala
tentara Purusada yang sedangdikejar oleh Prabu Dasabahu. Ternyataratu ini masih saudara
sepupunya sendiridan ia pun diminta untuk pulang kembalike negerinya. Setelah
kepulangannya,Sutasoma dinikahkan dengan adik PrabuDasabahu. Setelah selesai perhelatan,
iapun melanjutkan perjalanan ke Hastina,ia kemudian dinobatkan sebagai raja danbergelar
Prabu Sutasoma.Pada waktu itu, raksasa Purusada yangbernazar akan mempersembahkan
seratusmanusia untuk menjadi santapan BataraKala, bilamana luka di kakinya
dapatdisembuhkan. Ketika itu, Purusada dapatmenawan sembilan puluh sembilan orangraja
yang akan dipersembahkan padaBatara Kala. Untuk memperoleh raja keseratus, Purusada
lalu menyamar sebagaiseorang pendeta tua yang kemudianberhasil menawan Raja Widarba.
Kemudianjumlah ke seratus tawanan tersebutdipersembahkan pada Batara Kala.
Namunpersembahan tersebut ditolak oleh BataraKala. Karena menginginkan daging
PrabuSutasoma. Setelah mengetahui duduk persoalan, Prabu Sutasoma bersedia menjadi
santapan Batara Kala, asalkankeseratus tawanan lainnya dibebaskan.Kerelaan ini sangat
berkenan di hati Batara Kala, bahkan Purusada menjadi terharu. Purusada kemudian bertobat
dan berjanji tidak akan makin daging lagi.

Dari cerita tersebut nilai yang terdapat dalam kitab Sutasoma yaitu nilai penorbanan dan
belas kasihan antar sesaa yang sepatutnya dijalankan oleh seorang Boddhisattwa guna
mencapai kesempurnaan sejati yang menjadi cirri ajaran Mahaya.

Dalam buku Sutasoma terdapat istilah Pancasila Krama mempunyai arti Lima Dasar TIngkah
Laku atau Perintah Kesusilaan yang lima, yang meliputi :

1. Tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa)

2. Tidak boleh mencuri (asteya)

3. Tidak boleh berjiwa dengki (indriya nigraha)


4. Tidak boleh berbohong (amrsawada)

5. Tidak boleh mabuk minum-minuman keras (dama)

Selain itu dalam Kitab Sutasoma terdapat semboyan BhinnekaTunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrua yang mengandung arti meskipun agama itu kelihatannya berbeda bentuk
atau sifatnya namun pada hakikatnya satu juga, yang kemudian menjadi motto lambing
Negara kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Hal tersebut mencerminkan keluhuran budaya
bangsa Indonesia pada saat itu, yang dipersepsikan dari adanya toleransi kehidupan umat
beragama antara pemeluk agama Budha dan agama Hindu.

Secara harfiah Pancasila terdiri dari dua kata, yaitu Pnca yang berarti Lima, dan Sila berarti
Dasar. Jadi Pancasila mempunyai makna Lima Dasar. Istilah “sila” diartikan juga sebagai
aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau perbuatan yang
menurut adab (sopan santun); akhlak dan moral.

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan

Dengan adanya makalah ini penulis generasi penerus atau siswa mampu memahami arti dari
kitab Ramayana, Mahabrata, dan Sutasoma. Begitu banyak nilai yang kita dapatkan dari
Kitab-kitab tersebut.dengan membacanya kita bisa memahami betapa sulitnya menjalani
hidup terdahulu maupun yang sekarang. Dengan demikian memahami isi kitab ini kita bisa
mengendalikan diri dan melangkah lebih baik di hari esok.

Saran

Penulis menyarankan walaupun kita sekarang berada pada kondisi yang berbedadari cerita
yang dimuat pada Kitab Ramayana, Mahabrata, dan Sutasoma. Kita harus mampu mengikuti
kemampuan-kemampuan mereka yang semangat menjalani hidup ini.

Anda mungkin juga menyukai