Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH TENTANG KITAB SARASAMUSCAYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Acara Hindu

Dosen Pengampu : I Gede Agus Suparta, S.Ag,.M.Ag.

Oleh Kelompok :

1. Kadek Justine Darmawiyasthini Putri (2114101008)

2. Komang Intan Parti Astuti (2114101009)

3. Wayan Budayasa Merta (2114101010)

PROGRAM STUDI S1 HUKUM HINDU JURUSAN DHARMA SASTRA


SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI MPU KUTURAN
SINGARAJA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan izinnya kami
telah dapat menyelesaikan Makalah Kelompok ini dengan tepat waktu guna untuk memenuhi
tugas kelompok untuk mata kuliah Hukum Acara Hindu dengan mengangkat judul : “Ulasan
Tentang Kitab Sarasamuscaya”. Sesuai tugas yang diberikan kepada kami, kami telah
melakukan pembuatan makalah ini dengan baik dan tepat, dengan menyusun penjelasan, latar
belakang, dan pembahasan tentang Ulasan Kitab Sarasamuscaya ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus turut serta membantu dalam mencari materi dan pembuatan
makalah ini hingga selesai. Sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dikarenakan
keterbatasannya pengalaman dan pengetahuan yang kelompok kami miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan segala bentuk saran serta kritik bahkan masukan yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia Pendidikan tepatnya di dalam Agama Hindu.

Singaraja, 21 Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL……………………………………………………..i

KATA PENGANTAR………………………………………………………ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………..iii

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………..1

A. LATAR BELAKANG……………………………………………1

B. RUMUSAN MASALAH…………………………………………3

BAB II. PEMBAHASAN……………………………………………………4

A. ULASAN TENTANG KITAB SARASAMUSCAYA……………4

B. AJARAN ETIKA SECARA UMUM……………………………..5

C. AJARAN ETIKA SECARA KHUSUS…………………………..10

BAB III. PENUTUP…………………………………………………………14

KESIMPULAN……………………………………………………..14

SARAN………………………………………………………………15

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………16
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Hindu sebagai agama yang berkembang di anak Benua India, mempunyai ciri
khas tersendiri. Ia tidak seperti agama-agama lain yang mempunyai satu kitab suci, seperti
Islam dengan AL-Qur’annya, Kristen dengan kitab Injilnya. Agama tersebut mempunyai
kitab suci, diantaranya adalah kita Weda disebut juga dengan kita Srutti, sedangkan kitab-
kitab suci lainnya disebut dengan kita Smerti.

Secara harfiah kitab Sruti berarti apa yang didengar, yakni apa yang didengar dari
Dewa Tertinggi. Kitab Sruti diyakini oleh umat Hindu sebagai kitab yang di wahyukan secara
langsung oleh Tuhan kepada Rsi. Kitab Sruti merupakan kebenran tunggal dan bersifat
mutlak. Adapun Smerti berarti diingar atau juga berarti tradisi-tradisi. Oleh sebab itu, kita
smerti bukan merupakan wahyu tuhan, melainkan ajaran-ajaran dari seorang Rsi, baik berupa
ucapan, perbuatan maupun tulisan. Kedudukan kitab Smerti adalah sebagai tafsir dari kitab
suci agara mudah ditetapkan oleh umat Hindu dalam kehidupan sosial pribadinya. Adapun
beberapa kitab yang digolongkan ke dalam Smerti, antara lainm Sarasamuscaya, Cilakrama,
Sang Hyang kama hayanikan, Niti sastra, Manu Smerti, slokantara, Yadnya Pawitra dan
lainnya. Smerti ini ditulis untuk memberikan tekanan dan kejelasan terhadapa ajaran yang
terdapat dalam kitab suci Weda, sehingga lenih mudah dipahami, dihayati dan diamalkan
dalam kehidupan masyarakat, yanh berkaitan dengan tugas dan kewajibannya masing-masing.

Khusus berkenaan dengan tulisan-tulisan yang ada didalam Hinduisme, kitab


Sarasamuscaya memiliki peran yang penting dikalangan umat hindu. Kitab Sarasamuscaya
adalah sari pati asta dasa parwa yang disarikan oleh Bhagawan Wararuci. Asta dasa parwa
adalah delapan belas parwa yang membangun kitab Mahabharata karya Bhagawan Byasa.
Mahabharata adalah salah satu dari kitab Itihasa dan merupakan sumber dari kitab Purana.
Kitab Itihasa dan Purana merupakan kitab pengantar menuju pendakian pada kesempurnaan
Weda. Hal ini di jelaskan dalam kitab Vayu purana : 1,201
Ittiha Purana bhayam

Vedam samupabrmhayet

Bibhetyalpasrutad Vedo

Mamyam Praharisyati

Artinya :

“Hendaknya Weda dijelaskan melalui Itihasa dan Purana. Kalau tidak Weda merasa
takut jika orang-orang sudah membacanya. Orang-orang yang menjelaskan mantra Weda jika
tidak dibantu oleh Itihasa dan Purana, tidak diterima oleh weda. Weda takut denganorang
demikian. Katanya, Mamayam Praharisyati, orang bodoh itu akan memukulku”.

Hal tersebut ditekankan Kembali dalam kitab Sarasamuscaya sloka : 39

Itihasapuranabhayam vedam samupavrmhayet,

Bibhetyalpasrutadvedo mamayam pracarisyati.

Ndan Sang Hyang weda, paripurnakena sira,

Makasadhana sang hyang itihasa, sang hyang

Purana, apan atakut, sang hyang weda ring akedik

Ajinya, ling nira, kamung hyang, haywa tiki umara

Ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut.

Artinya :

Weda itu hendaklah dipelajari dengan sempurna

Dengan jalan mempelajari Itihasa dan Purana, sebab

Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit


Pengetahuannya, sabdanya “wahai tuan-tuan,

janganlah tuan-tuan dating kepadaku”,

demikian konon sabdanya, karena takut.

Segala ajarannya lebih mengutamakan Catur warga (dharma, artha, kama, dan moksa), baik
sumber uraian, arti maupun tafsirannya, ada terdapat di sini, singkatnya segala yang gterdapat
di sini akan terdapat dalam sastra lain, yang tidak akan terdapat di sini tidak terdapat dalam
sastra lain.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diambil poin-poin rumusan
masalah yang menjadi perhatian dalam penulisan makalah ini sebagai berikut :

1. Apa prinsip-prinsip ajaran etika menurut Kitab sarasamuscaya ?


2. Apa makna ajaran etika dari Kitab sarasamuscaya bagi umat Hindu ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ulasan Tentang Kitab Sarasamuscaya

Sarasamuccaya berasal dari kata sara, artinya: uta.tna, terbaik, saripati.


Kemudian sam berarti: lengkap, sempurna; Uttjaja artinya: himpunan;
samuttjaja berarti himpunan yang lengkap dan sempurna. Jadi Sarasamuccaya
berarti himpunan saripati isi sastra bharatakatha yang lengkap dan sempurna.
Kitab ini merupakan salah satu bagian dari kitab Smriti. Kitab Sarasamuccaya
mengandung nilai-nilai yang universal, seperti: apa itu manusia, semua
manusia setara, mengapa ia ada di dunia, kemana tujuannya, bagaimana
seharusnya ia menjalankan hidupnya.
Sarasamuccaya adalah salah satu kitab suci agama Hindu.
Sarasamusccaya adalah kitab Smerti dengan 511 sloka (ayat) yang memuat
sejumlah ajaran tentang moral dan etika. Kitab ini disusun oleh Bhagawan
Wararuci, kira-kira pada abad ke 9-10 Masehi. Kitab ini ditulis dengan dua
Bahasa yaitu Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno(kawi). Sarasamuscaya,
sebagai bagian dari Weda, termasuk dalam kelompok Weda Smerti yang
merupakan Kitab suci otoritas kedua yang boleh diinterpretasi ulang bila
ternayat nilai-nilai yang disampaikan dirasa tidak adil.
Kitab Sārasamuścaya terdiri dari 517 sloka yang mana 6 sloka
merupakan prakata dan 511 sloka merupakan pokok ajarannya berupa Catur
Purusha Artha yang direalisasikan ke dalam Catur Asrama. Kitab ini juga
digunakan sebagai isi nasihat oleh Bhagawan Waisampayana kepada Maharaja
Jnanamejaya pada waktu memamparkan cerita Mahabharata.
Dari hasil pemilahan, dapat ditentukan sloka-sloka yang mencakup
nilai-nilai etika secara keseluruhan yang kemudian dianalisis berdasarkan
konsep dan teorinya.
Dalam buku History of Sanskrit Literature, disebutkan bahwa kitab
Sarasamuccaya ditulis sebagai pujian oleh Ratnakara. Sedangkan menurut
lontar Sarasamuccaya itu sendiri, menyebut nama Wararuci sebagai penulisnya.
Tidak jelas apakah Wararuci adalah nama lain dari Ratnakara.
Banyak yang menyebut Bhagawan Wararuci lahir di Nusantara karena
kitab ini ditemukan dengan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno dari aslinya,
Sansekerta. Kedua bahasa itu dipersandingkan. Namun, tidak ada kepastian
bahwa beliau lahir di Nusantara, bisa saja Sarasamuccaya itu datang dari India
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh seseorang yang tak mau
disebutkan namanya. Hal-hal yang anonim itu jamak dalam susastra Hindu di
era kerajaan-kerajaan di Jawa.

B. Ajaran Etika Secara Umum

Nilai Etika secara umum dalam Kitab Sārasamuścaya menekankan


pada ajaran-ajaran agama Hindu khususnya ajaran Tri Kaya Parisudha, Yama
Nyama Brata, Asada Brata dan Catur Prawrti Tri Kaya Parisudha merupakan
tiga laksana baik yang terdiri dari Kayika (berbuat baik), Wacika (berkata
baik), dan Manacika (berpikir baik). Dalam hal ini Sārasamuścaya
menyerukan bagaimana seseorang seharusnya selalu berpegang tegus pada tata
cara berpikir, berkata, dan berbuat layaknya sebagai manusia baik secara
individual maupun sosial.
Di dalam Kitab Sārasamuścaya sloka 259 menjelaskan tentang
ajaran Dasa Yama Brata yaitu 10 jenis pengekangan diri berdasarkan
upaya individu untuk menjauhi larangan agama sebagai norma
kehidupan yang terdiri dari :
1. Anresangsya yaitu tidak egois,
2. Ksama yaitu suka mengampuni dan tahan uji menghadapi pasang surutnya
kehidupan,
3. Satia ialah jujur dan setia atau tidak ingkar janji,
4. Ahimsa yaitu kasih kepada makhluk lain, tidak membunuh, dan menyiksa
secara sewenang-wenang,
5. Dama yaitu dapat menasehati diri sendiri, orang harus dapat mengendalikan
diri menguasai indriyanya atau nafsunya,
6. Arjawa yaitu dapat mempertahankan kebenaran artinya berpegang teguh pada
kebenaran,
7. Priti adalah cinta dan kasih kepada sesama makhluk hidup,
8. Prasada yaitu berfikir dan berhati suci tanpa pamrih,
9. Madurya yaitu ramah tamah dan sopan santun, dan
10. Mardawa yaitu rendah hati dan tidak sombong.

Sedangkan pada sloka 260 menjelaskan tentang Dasa Nyama Brata yaitu
10 jenis pengekangan hawa nafsu yang harus dilakukan oleh setiap orang
dalam menjalankan kehidupan secara individual maupun sosial
kemasyarakatan agar tercapainya kebahagiaan lahir dan bathin yang terdiri
dari :

1) Dana artinya pemberian,


2) Ijya yaitu pemujaan terhadap Hyang Widhi (Tuhan),
3) Tapa yaitu pembatasan terhadap kebutuhan-kebutuhan badan,
4) Dhyana yaitu memusatkan pikiran kepada Tuhan,
5) Swadhyaya yaitu memperdalam dan melaksanakan ajaran-ajaran weda,
6) Upasthanigraha yaitu pengekangan nafsu kelamin,
7) Brata yaitu mengikuti pantangan yang telah ditetapkan,
8) Upawasa yaitu pembatasan makan dan minum,
9) Mona yaitu pembatasan pembicaraan, dan 10) Snana yaitu melakukan
pemujaan tiga kali sehari, dan mandi setiap subuh, tengah hari, dan sore hari.

Mengenai ajaran Asada Brata dijelaskan dalam sloka 57 yaitu 12 brata


atau pengendalian diri atau pantangan yang harus dilaksanakan untuk
kebajikan. Asada Brata terdiri dari :

1) dharma – kebaikan,
2) satya – setia,
3) tapa – mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu
4) dama – tenang dan sabar,
5) wimatsaritwa – tidak dengki/iri hati,
6) hrih – malu,
7) titksa – tidak gusar,
8) anusuya – tidak berbuat dosa,
9) yajna – berkemauan mengadakan puja/upacara,
10) dana – memberi sedekah,
11) dhrti – selalu menyucikan pikiran, dan
12) ksama – tahan, sabar, dan suka mengampuni.

Di dalam sloka 63 menjelaskan tentang Catur Prawrti sebagai dasar


prilaku dari catur warna yang terdiri dari :

1) arjawa yaitu bersikap jujur dan terus terang,


2) anrsangsa yaitu tidak mementingkan diri sendiri,
3) dama yaitu menasehati atau mengendalikan diri, dan
4) indranigraha yaitu mengendalikan hawa nafsu.

Dalam kitab Sarasamuscaya ada beberapa nilai etika yang dijelaskan lebih
mendetail dibandingkan nilai etika lainnya seperti misalnya etika dalam
berbicara. Di sini ditegaskan agar tidak berbicara kasar atau mencaci maki
kepada orang yang cacat, orang buta huruf, orang sengsara, orang yang lemah,
orang yang tercela(tersudutkan), orang yang ditimpa kecelakaan, orang miskin,
orang bodoh, dan orang yang penakut. Hal ini dijelaskan dalam Sloka 123,
yaitu :

Hinanganatiriktangan vidyahinan vigarthitan,


Rupadravinahinamcca sattvahnamsca naksipet
Nyan inilagaken, hanawwang wukara, kurang iwih awayawanya, tanwruh
mangaji kunang, wwang durbhaga, durbala inupet kunang, wwang ahala,
wwang tanpamas, wwang mudha, wwang wedi-wedi kunang, yatika tan
tiraskaran tanuyan, pawak ning parusya angujar mangkana.

Artinya :
Inilah patut dihindari, yaitu mencela orangb yang cacat karena kurang atau
lebih anggota tubuhnya, orang buta huruf, orang sengsara, orang yang tak
bertenaga dan tercela pula, orang yang ditimpa kecelakaan, orang miskin
orang bodoh, begitupun orang yang penakut; orang-orang itu janganlah
dicerca, diabaikan. Berkata atau mengeluarkan kata-kata yang demikian itu
merupakan penghinaan.
Selain mengenai larangan berbicara kasar atau mencaci maki, Sārasamuścaya
juga menegaskan tentang prihal tidak marah yaitu hendaknya tidak marah
kepada para dewata, raja (pemimpin/penguasa), brahmana (orang suci), anak-
anak, wanita hamil, orang yang lebih tua maupun lanjut usia dan kepada orang
yang sakit. Nasihat ini dijelaskan di dalam sloka 108 yaitu :

evātasu viceṣeṇa rājasu brāhmanesu ca,


niyantavyo bhavet krodho bālavṛddhātureṣu ca.
Ring mangke tang krodha prihén témén kahrtanya, lwirnya, ring dewatā, ring
sang prabhu, ring sang brāhmana, ring rare kunang, ikang sédéng mundu,
ring wwang atuha kunéng, irikang télas lilu, wwang alara kunang, i
samangkana ikang krodha prihén témén kahrtanya

Artinya :
Maka sekarang hendaklah nafsu itu benar-benar diusahakan mengekangnya,
misalnya terhadap para dewata, terhadap sang raja, terhadap sang brahmana,
terhadap anak-anak, terhadap wanita yang sedang mengandung, pun terhadap
orang tua yang lanjut usianya; demikian pula terhadap orang yang menderita
sakit; pada waktu menghadapi yang demikian itu hendaknya nafsu murka
diusahakan benar-benar mengekangnya.

Selain itu juga, Kitab Sārasamuścaya mengisyaratkan bahwa boleh berkata


bohong apabila perkataan itu tidak menyakiti atau merugikan orang lain,
seperti yang dijelaskan dalam sloka 134 yaitu:

na tahyavacanaṁ satyam nātathyavacana mrsā


yad bhūtahitamātyarthaṁ tat satyamitaramṛṣa
Kunéng paramārthanya nihan, tan ikang ujar adwa ktikang mithyā ngaranya,
tan ikang si tuhu satya ngaranya, kunéng prasiddhanya, mon mithyā ikang
ujar, téher magéde hita juga, magawe sukhāwasāna ring sarwabhāwa, ya
satya ngarānika, mon yathābhuta ṭowi, yan tan pangede sukhāwasāna ring
sarwabhāwa, mithyā ngaranika.

Artinya :
ada hakekatnya adalah demikian ini; bukan perkataan yang tidak benar,
bohong namanya, dan bukan perkataan yang benar itu, disebut kebenaran,
melainkan sesungguhnya, biarpun bohong kata-kata itu namun selalu
menimbulkan kebaikan saja, membuat akibat yang menyenangkan kepada
semua makhluk hidup, itulah kebenaran disebut; meskipun sesuai dengan apa
yang terjadi jika tidak mendatangkan akibat yang menyenangkan kepada
semua makhluk, dusta disebut itu.

Dalam hal ini, bohong atau tidak bohong, benar atau tidak benar yang
diucapkan adalah tergantung pada motif atau tujuan utama daripada ucapan itu
dimana kebahagiaan menjadi barometernya. Seperti misalnya seorang dokter
yang berbohong menyatakan kebenaran penyakit pasiennya agar pasien
tersebut tidak mengalami guncangan dan begitu juga cara seseorang
melindungi binatang dari kejaran para pemburu.
Ada beberapa kebohongan yang diperbolehkan seperti yang dinyatakan dalam
Kitab Slokāntara sloka 69 yaitu 1) ucapan yang menyebabkan orang tertawa
(lelucon), 2) ucapan untuk meyelamatkan jiwa, 3) ucapan untuk
menyelamatkan harta kekayaan, 4) ucapan untuk menyelamatkan anak dan
istri, dan 5) ucapan pada waktu bersenggama atau bercumbu rayu. Kelima
kebohongan ini juga dinyatakan dalam Kitab Nītiśāstra VI.4 dan Kitab
Adiparwa Bab XI. Kelima kebohongan yang diperbolehkan ini disebut dengan
istilah Pańcanṛta.
C. Ajaran Etika Secara Khusus
Pembahasan nilai-nilai etika secara khusus dimaksudkan untuk
memberikan penekanan lebih rinci dan mengkhusus untuk diaplikasikan.
Namun, pada dasarnya nilai-nilai etikanya sama, baik secara umum maupun
secara khusus. Nilai-nilai etika secara umum terdiri dari etika persedekahan,
etika mencari dan mengelola artha atau kekayaan, etika melakukan hubungan
seks, etika anak terhadap orang tua dan guru, etika seorang brahmana, etika
seorang ksatria, etika seorang waisya, etika seorang sudra, etika seorang
wanita, dan etika seorang kepala rumah tangga.

Ada 10 jenis-jenis etika dalam Etika Khusus, sebagai berikut :


1. Etika Persedekahan
Etika persedekahan didapatkan berdasarkan analisis dari sloka 181, 184,
185, 187, 188, 193, 197, dan 223. Dalam kegiatan bersedekah maupun
menerima sedekah agar dikatakan sebagai Sattvik Dana maka
hendaknya memperhatikan etika yang telah ditentukan dalam pustaka
suci yang meliputi: sikap cermat, efesien, tidak sombong, jujur, tidak
marah, tidak bengis, ramah tamah, sopan santun, ikhlas, sikap hormat,
berhati lembut, dan pemurah. Dalam bersedekah harus bersikap cermat
artinya yang perlu diberikan sedekah adalah orang baik, orang miskin,
orang kelaparan, orang kesusahan, dan tidak memberikan maupun
menerima sedekah dari orang jahat. Selain itu juga harus bertindak
efesien maksudnya adalah barang yang disedekahkan harus tepat guna
dan layak. Selain itu, ada beberapa sedekah yang dikatakan mulia yaitu
berupa tanah yang baik dan suci yang dapat dijadikan tempat suci
maupun tempat tinggal bagi yang membutuhkan, bersedekah ilmu
pengetahuan berupa penerangan tentang ajaran agama, dan barang atau
sesuatu yang disedekahkan merupakan hasil kerja sendiri.
2. Etika Mencari dan Mengelola Artha atau Kekayaan
Etika tentang artha didapatkan berdasarkan analisis sloka 261, 262, 266,
dan 470. Dalam mencari artha atau kekayaan hendaknya bersikap tidak
rakus, tidak mencuri, jujur, dan bekerja keras sedangkan dalam
mengelola artha atau kekayaan harus bersikap bijaksana, cermat, adil,
efesien, hemat, kreatif, dan produktif. Artha atau kekayaan yang
dimiliki harus digunakan sebaik-baiknya yaitu 1/3 digunakan untuk
mencapai dharma (dharmāthah), 1/3 digunakan untuk memenuhi kama
atau kebutuhan hidup (kāmārtha), dan 1/3 artha digunakan untuk
kegiatan ekonomi (vivirddhayet).
3. Etika Melakukan Seks
Etika dalam melakukan hubungan seks yaitu pengendalian diri, disiplin,
berpikiran jauh ke depan, dan cermat. Sesuai dengan penjelasan sloka
255 maka melakukan seks harus memperhatikan pantangan-pantangan
yaitu tidak diperbolehkan pada bulan mati atau tilem, bulan penuh atau
purnama, sehari sebelum purnama, dan 8 hari setelah purnama
4. Etika Anak Terhadap Orang Tua dan Guru
Etika Anak terhadap orang tua dan guru disimpulakan berdasarkan
analisis dari sloka 36, 189, 234, 236, 237, 238, dan 248. Sikap seorang
anak kepada orang tua dan guru adalah tidak angkuh, berhati lembut,
sikap patuh, pemurah, kasih sayang, pengabdian, sikap hormat, ramah
tamah, setia, pengabdian, jujur, tidak berkhianat, dan tidak
berprasangka buruk, tulus hati, bijaksana, tidak menghina, dan sopan
santun. Bila sikap-sikap tersebut dilaksanakan maka seorang anak
niscaya mendapatkan kirti yaitu pujian tentang kebaikan, ayusa yaitu
kehidupan, bala yaitu kekuatan, dan yasa yaitu nama baik.
5. Etika Seorang Brahmana
Kata brahmana berasal dari bahasa Sanskerta “brahma” yang
disamakan dengan Weda, artinya ilmu pengetahuan suci dan “na”
artinya ketempatan atau sebagai tempatnya sehingga brahmana berarti
tempat ilmu pengetahuan suci. Brahman sebagai tempat ilmu
pengetahuan suci maksudnya mereka memahami dan melaksanakan
pengetahuan kerohanian dalam masyarakat yang biasanya disebut
pendeta. Golongan brahmana adalah golongan yang berkecimpung
dalam bidang kerohanian.Setiap agama tentunya mempunyai kaum
brahmana atau orang suci yang mempelajari, melaksanakan, dan
mengajarkan agamanya masing-masing. Brahmana dalam Hindu
seperti pendeta, pemangku, rsi, bhagawan, dan yang lainnya.
Brahmana dalam Budha seperti bhiksu atau bhiku. Brahmana atau
orang-orang suci tersebut harus bertindak sesuai dengan kedudukannya.
Seorang brahmana dipandang sebagai orang suci sehingga
kepribadiannya juga harus mencerminkan orang suci. Berdasarkan
analisis sloka 56, 57, 61, 62, dan 63 maka dapat disimpulkan etika
seorang brahmana meliputi; tekun, beriman, pemurah, susila, setia,
jujur, pengendalian diri, sikap tenang, tidak dengki atau tidak iri, tidak
serakah atau tidak rakus, tidak egois, sopan santun, tidak marah atau
sikap sabar, tidak curang, tidak menyakiti, ikhlas, tulus hati, suka
menolong, pemaaf, dan sikap introspeksi diri.
6. Etika Seorang Ksatria
Kata ksatria berasal dari kata “ksatra” yang artinya tedung, pelindung;
selanjutnya berarti anggota dari suatu susunan pemerintahan yang juga
berarti pemerintahan, prajurit, daerah, keunggulan, kekuasaan, dan
kekuatan (Tim Penyusun, 17). Ksatria merupakan golongan pelindung
dan pengayom seperti pemimpin maupun prajurit. Berdasarkan analisis
sloka 58, 61, 62, dan 63 maka dapat disimpulkan etika seorang ksatria
meliputi; bersikap pemberani, tegas, bertanggung jawab, tangguh,
beriman, suka menolong, suka melindungi, sikap disilpin, sikap adil,
pemurah, sikap jujur, tidak egois, sikap introspeksi diri dan
pengendalian diri.
7. Etika Seorang Waisya
Warna waisya adalah golongan yang bertindak sebagai pengusaha atau
usahawan yang menyangkut bidang produksi, sandang, dan pangan
untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat (Tim Penyusun, 19).
Dalam Slokantara (sloka 38) menyebutkan bahwa golongan waisya
bekerja sebagai petani, pengembala, dan pengusaha sehingga kaum
waisya merupakan orang-orang yang bergelut di bidang perekonomian.
Berdasarkan analisis sloka 59, 61, dan 63 maka seorang waisya juga
memiliki etika yang meliputi; jujur, tidak rakus, pemurah, tekun,
beriman, tidak dengki atau tidak iri, tidak curang, bertanggung jawab,
tidak egois, sikap introspeksi diri dan pengendalian diri.
8. Etika Seorang Sudra
Sudra adalah golongan keempat dalam catur warna yang merupakan
kelompok pekerja yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
menjadi pelayan, pesuruh atau pembantu orang lain, dengan kata
lainnya bekerja dengan bermodal tenaganya (Tim Penyusun, 21). Etika
seorang sudra dijelaskan pada sloka 60, 61, dan 63 yaitu sebagai
pelayan atau sudra mereka harus memiliki sikap setia, pengabdian,
jujur, tidak egois, sikap introspeksi diri dan pengendalian diri.
9. Etika Seorang Wanita
Dalam Sārasamuścaya juga menyinggung tentang etika seorang wanita
yaitu pada sloka 61. Dalam hidup bermasyarakat, wanita mendapat
sorotan yang lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan wanita
dijadikan sebagai barometer dalam keluarga maupun masyarakat
sehingga untuk menghindari pandangan buruk maka hendaknya
seorang wanita menunjukkan sikap bersahaja, sikap patuh, sikap setia,
sikap hormat, tidak dengki, tidak menyakiti, sopan santun, tidak
berkata kasar atau kotor, dan bertanggung jawab.
Dalam sloka 424-442, seolah-olah merendahkan martabat seorang
wanita, tetapi yang dimaksudkan bukan seperti itu. Sloka-sloka
tersebut diperuntukkan bagi seseorang yang sama sekali tidak boleh
berhubungan dengan wanita seperti orang yang nyukla brahmacari,
sanyasi, pertapa, dan pendeta bukan bagi wanita dengan pria pada
umumnya. Dalam banyak ajaran agama Hindu wanita diakui
mempunyai peranan penting dan derajat sangat mulia
(Kadjeng dkk, 1997:398).
10. Etika Seorang Kepala Rumah Tangga
Seorang kepala rumah tangga dapat digolongkan sebagai pemimpin
karena mempunyai tugas mengatur keluarganya. Etika seorang kepala
rumah tangga dimuat pada sloka 62 yaitu seorang kepala rumah tangga
harus memiliki sifat kasih sayang, bertanggung jawab, dan tidak egois.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN :

Dari hasil pembuatan makalah ini, kami dari penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut :

a) Kitab Sarasamuscaya merupakan bagian dari Smerti dan merupakan kitab kedua
setelah sruti, yakni sebagai kitab yang menafsirkan terhadap ajaran-ajaran yang ada
dalam Weda. Kitab ini seluruh isinya diambil dari sari-sari sastra suci Mahabharata.
Keduanya yakni antara Mahabharata dengan Sarasamuscaya memiliki hubungan yang
sangat erat, tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Kitab sangat
penting peranannya dalam keputustakaan Hindu dan sampai sekarang masih dipelajari
serta dijadikan pedoman bagi umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
b) Makna ajaran etika dalam kita Sarasamuscaya bagi umat Hindu sendiri yakni : untuk
menyadarkan kepada umat manusia agara ia dapat mempergunakan waktunya selama
ia di dunia dengan melakukan perbuatan yang baik, yakni dengan menjalankan
dharma. Karena tujuan manusia hidup adalah untuk berbuat baik guna mencapai
kelepasan, yaitu bebas dari keterikatan dunia dan dapat mencapai persatuan
(penunggalan) jitawanman paratman. Di samping itu pula dapat menyadarkan
manusia bahwa ia harus dapat mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh
Sang Hyang Widhi Wasa yakni dilahirkan sebagai umat manusia. Kitab ini
menjelaskan, bahwa dengan menjelama sebagai manusia itu adalah sungguh utama,
karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-
ulang/ reinkarnasi), yakni dengan jalan berbuat baik .

SARAN :
1) Dengan berakhirnya penulisan makalah ini tentang Ulasan dan Etika dalam Kitab
Sarasamuscaya ini, bukan berarti bahwa pembahasan mengenai Kitab
Sarasamuscaya ini telah sempurna, tetapi masih banyak pemasalahan lain yang
sangat menarik untuk di telusuri lebih jauh lagi.
2) Disamping itu perlu adanya penelitian yang lebih dalam lagi mengenai Kitab
Sarasamuscaya, terutama bagi agama lain, sehingga diharapkan mampu
menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam penulisan makalah
ini tentunya kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan semua
manusia.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.komangputra.com/kitabsarasamuscaya.html#:~:text=Nilai%20Etika
%20secara%20umum%20dalam,dan%20Manacika%20(berpikir%20baik)
http://digilib.uin-
suka.ac.id/id/eprint/25990/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sarasamuccaya
https://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/06/sarasamuscaya.html?m=1
https://jurnal.stkipahsingaraja.ac.id/index.php/wspah/article/view/316/281
http://madeanggrawahyuni.blogspot.com/2014/01/etika-hindu-dalam-
sarasamuscaya.html?m=1
http://digilib.uin-
suka.ac.id/id/eprint/25990/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
https://dongengbudaya.files.wordpress.com/2016/04/kitab-sarasamuscaya2.pdf

Anda mungkin juga menyukai