Anda di halaman 1dari 5

Sad Dharma Sebagai Metode Pembinaan Umat

Metode pembinaan umat dan metode pendididkan agama adalah suatu metode atau cara yang
ditempuh untuk menanamkan nilai-nilai agama hindu ke dalam lubuk hati sanubari umat,
sehingga nilai agama benar-benar merupakan bagian yang integral dalam diri pribadi setiap
umat Hindu.

Apabila agama telah menjadi bagian yang integral dalam pribadi setiap umat Hindu, maka
agama akan kelihatan dalam segala tingkah laku umat Hindu baik secara individu maupun
secara bersama-sama. Tingkah laku yang selalu mencerminkan nilai-nilai luhur agama akan
dapat mewujudkan tujuan hidup mencapai kebahagiaan hidup jasmani dan rohani.

Memahami agama dimulai dengan adanya keyakinan. Dengan adanya keyakinan tentang
adanya Ida Sang Hyang Widhi maka kita dapat membuktikan kebenaran agama. Keyakinan ini
diperoleh dengan cara mempelajari ajaran agama, menyelami isinya dan diamalkan dalam
bertindak, berbicara, ataupun berpikir.

Dalam kitab Sarasamuccaya mengatakan bahwa agama baru berguna bila dipelajari dan
diamalkan, maka kidung tantri mengilustrasikan sebagai berikut:

Kadi angganing padyut tinukuping dyun, tan kawedar juga padangnya

Terjemahan:

Bagaikan pelita yang ditutup dengan tempayan, tak akan memancarlah sinarnya sehingga tak
dapat menunjukkan terangnya. (Tim penyusun, 1999 : 7)

Tentang metode pedidikan agama dan metode pembinaan umat Hindu kiranya dapat
mempergunakan metode yang telah ditetapkan dalam buku pedoman Pembinaan Umat Hindu
yang telah dapat rekomendasi atau pengesahan pada Pesamuhan Agung Parisada Hindu
Dharma Indonesia yang berlangsung pada tanggan 4-7 Februari 1988. Metode tersebut dikenal
sebagai metode Sad Dharma. Sad dharma antara lain :

1. Dharma wacana

Dharma Wacana adalah metode penerangan Agama Hindu yang disampaikan pada setiap
kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan penerangan
semacam ini dimasa lalu disebut Upanisada. Terminologi Upanisada atau upanisad
mengandung arti dan sifatnya yang "Rahasyapadesa" dan merupakan bagian dari kitab Sruthi.
Pada masa lalu ajaran upanisad sering dihubungkan dengan "Pawisik" yakni ajaran rahasia
yang diberikan oleh seorang guru kerohanian kepada siswa atau muridnya dalam jumlah yang
sangat terbatas.

Pendharma wacana disebut Dharma pracaraka. Dharma pracaraka memiliki tugas


meyebarkan ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci weda. Di dalam kitab suci disebutkan
bahwa persembahan ilmu pengetahuan lebih tinggi nilainya dari pada persembahan materi.

Dalam sloka Bhagawad Gita IV. 33 disebutkan sebagai berikut :

Sreyan dravyamayad yajna


Jnanayajnah paramtapa
Sarvan karma khilam partha
Jnane parisamapyate

Terjemahan:

Persembahan korban berupa pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari korban benda yang
berupa apapun juga. O Arjuna, sebab segala pekerjaan dengan tak terkecualinya memuncak di
dalam kebijaksanaan (Mantra, 2006 : 76)

Dharma wacana, artinya berbicara mengenai ajaran agama atau dharma. Yang dimaksudkan
metode Dharma Wacana ini adalah ceramah-ceramah agama yang bertujuan untuk
memperluas wawasan dan memperdalam penghayatan nilai spiritual agama Hindu itu sendiri.

Dharmawacana ini hendaknya benar-benar murni menjelaskan ajaran agama yang jelas
sumbernya. Yang paling utama dan harus jelas adalah sumbernya dari kitab suci Weda.
Setelah itu barulah dapat diambil sumber-sumber selanjutnya yang juga merupakan sumber
dari penjabaran Weda. Pandangan masyarakat pelaksana Vedayang sudah mentradisi dapat
juga disebut Vedaterapan (Acara Dharma) sedangkan sumber yang langsung berasal dari
Vedayang masih murni disebut Satya Dharma (Pure Vedic). Pandangan individual sebagai
pengamal Veda(Agama hindu) disebut Atmanastuti (Wiana, 2009 : 73)

Materi Dharma Wacana yang dapat disampaikan pada setiap kesempatan yang ada, pada
dasarnya meliputi semua aspek ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Dalam
hal ini dapat diklasifikasikan kedalam Sruthi, Smerthi, Purana, Itihasa dan Sang Sistha.
Penyampaian materi disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan persembahyangan
bersama hari purnama dan tilem, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan arisan dan
sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka/ayat kitab suci yang relevan dengan thema
dan jenis kegiatan itu.

Dharma Wacana sangat baik apabila disampaikan melalui ungkapan bahasa yang mudah
dimengerti, dihayati dan diresapkan oleh hadirin. mampu memukau dan dihindari penggunaan
istilah-istilah asing, kecuali belum atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa
yang dipergunkan dalam Dharma Wacana disamping bahasa Indonesia dapat juga dipakai
bahasa daerah setempat.

2. Dharma Tula

Dharma tula adalah metode pendalaman agama melalui diskusi agama untuk mendapatkan
kesamaan persepsi dalam meningkatkan penghayatan pada nilai-nilai yang dianut. Kata Tula
berasal dari bahasa Sansekerta artinya perimbangan, keserupaan, dan bertimbang. Secara
harpiah dharma tula dapat diartikan dengan bertimbang, berdiskusi atau berembug atau temu
wicara tentang ajaran agama Hindu dan Dharma. Secara tradisional dharma tula itu
dilaksanakan berkaitan dengan dharma gita. Biasanya untuk memperoleh pemahaman atau
pengertian yang lebih jelas dari bagian-bagian Dharma gita yang mengandung ajaran falsafah.

Biasanya seluruh peserta aktif berperan serta memberikan ulasan atau membahas apa yang
menjadi subyek pembicaraan. Dalam pelaksanaan lebih jauh, dharmatula diharapkan tidak
hanya menyertai Dharma gita melainkan pula diadakan secara mandiri melibatkan semua
potensi terutama generasi muda, menampilkan topik tertentu untuk kemudian dibahas bersama
atau dalam kelompok yang ada.
Dharma tula dimaksudkan sebagai metoda pendalaman ajaran-ajaran agama Hindu melalui
peningkatan peran serta yang aktif dari semua peserta. Kegiatan dharma tula sesuai dengan
tingkat umur remaja dan dewasa. Oleh karena itu melalui metode ini setiap peserta akan
memperoleh kesempatan mengemukankan pendapatnya atau sebaliknya menerima pendapat
dari orang lain yang akan menambah pengetahuannya dibidang agama Hindu dengan dilandasi
sikap tenggang rasa dan rasa dan kekeluargaan. Cara serupa ini sangat cocok untuk
pendidikan orang dewasa yang dikenal dengan sistem "andragogi". Tujuan lebih jauh adalah
dharma tula itu diharapkan tumbuh dan berkembang persepsi baru tentang ajaran agama Hindu
yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi, sehingga agama akan selalu dapat berperan
dikehidupan manusia disepanjang jaman.

Materi dharmatula akan sangat baik apabila dapat diambil diketengahkan dari jenis materi yang
sesuai dengan tingkat pemahaman serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang
akan membahasnya. Misalnya dalam kelompok remaja dapat diketengahkan materi ajaran
agama Hindu yang berkaitan dengan kehidupan dan permasalahan remaja (kepemudaan).

Dengan demikian metoda dharmatula akan dharapkan mencapai titik kulminasi/sasaran.


Bahasa pengantar yang dipergunakan perlu disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan
pengetahuan serta pemahaman penanya. Sedangkan dalam pelaksanaannya dapat dikaitkan
dengan kegiatan menyambut/merayakan hari-hari raya keagamaan, seperti Saraswati,

Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi dan sebagainya. Untuk tidak terlalu banyak menyita
waktu dapat dilaksanakan setelah selesainya persembahyangan bersama atau pada hari-hari
libur yang khusus dimanfaatkan untuk itu.

Tujuan utama dari dharmatula adalah untuk mendapat pertimbangan dan pandangan yang
sedalam dalamnya dan seluas-luasnya melalui mendengarkan pandangan-pandangan peserta
dharmatula. Dharmatula tiddaklah mengutamakan ketahanaan adu argumentasi dan adu
kepintaran berbicara. Bukan pembicara-pembicara yang pintar yang dicari, tetapi yang dijadikan
sasaran adalah orang-orang yang siap sebagai pelalsana-pelaksana dari apa yang dibicarakan.

Pedoman berbicara di dalam dharmatula ada tiga yaitu:

a. Sastra Wada
Sastra maksudnya adalah hukum-hukum atau ajaran-ajaran agama yang bersumber dari kitab
suci yang telah tertulis. Wada artinya berbicara. Sastra wada artinya berbicara dalam dharma
tula hendaknya berpegang teguh pada kitab-kitab suci yang tertulis seperti Catur Weda,
Dharmasastra, Bhagawad Gita, Sarasamuscaya dan kitab lainnya.

b. Budhi Wada
Yang dimaksud Budhi wada adalah peserta dharma tula harus bebicara berdasarkan kesadaran
budhi yang tinggi. Tidak boleh didominasi oleh emosi atau rasio saja. Berbicara dengan
perasan yang halus, rasionalitas yang tinggi dengan keyakinan budhi yang mendalam. Dengan
kata lain pembicaraan harus didorong oleh daya nalar yang tinggi. Kata-kata yang kasar, yang
menghardik, yang menyindir, menyinggung perasaan, merusak nama baik seseorang,
berbohong, semuanya itu tidak dibenarkan dalam dharma tula.

c. Prema wada
Prema wada artinya setiap peserta yang ikut berbicara dalam dharmatula itu tidak ada yang
saling membenci. Dharma tula harus diselenggarakan dengan kasih sayang (prema). Kasih
inilah merupakan dasar berbicara bagi setiap peserta dharma tula. Dharma tula dapat dilakukan
melalui pembahasan umum dari ajaran agama Hindu yang ingin didalami. Suasana kasih
sayang itulah yang dipakai dasar untuk mengadakan dharma tula tersebut (Wiana. 2009 : 74)

3. Dharma yatra

Dharma Yatra mempunyai pengertian yang hampir sama dengan Tirta Yatra yakni usaha untuk
meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Agama Hindu melalui kunjungan untuk
persembahyangan ketempat-tempat suci, patirtan baik yang bertempat di pegunungan atau di
tepi pantai.

Dharma yatra atau tirta yatra sebagai perjalanan suci menurut kitab Sarasamuccaya dikatakan
lebih utama daripada beryajna. Keutamaan tirta yatra itu dapat dilakukan oleh umat yang paling
miskin sekalipun. Sarasamuccaya samapai menyebutkan demikian karena modal dharma yatra
hanyalah niat yang suci dan tulus ikhlas.

Untuk meningkatkan kesucian pribadi serta keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Hyang
Widhi Wasa, melihat/ memperluas cakrawala memandang keagungan-Nya, mengagumi alam
semesta dan ciptaannya sehingga semakin teguh untuk mengamalkan ajaran dharma. Dharma
Yatra sangat baik dilakukan pada hari-hari raya keagamaan atau upacara-upacara
persembahyangan pada pura atau tempat suci. Dapat juga dilaksanakan pada hari-hari libur
sekolah sambil melaksanakan persembahyangan dan praktik yoga semadi.

4. Dharma Santhi

Dharma Shanti adalah suatu ajaran untuk mewujudkan perdamaian diantara sesama umat
manusia. Acara dharma shanti ini dapat dilaksanakan sesuai dengan keperluan situasi dan
relevansinya dengan kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.
Kegiatan dharma shanti untuk saling maaf memaafkan dengan hati dan pikiran yang suci serta
ucapan yang tulus iklas. masing-masing pihak secara sadar dan dengan segala keterbukaan
serta kejernihan hati menghapuskan kekilafan dan kealpaan diantara sesama kita.

Dharma Shanti sebaiknya dilaksanakan dalam menyambut tahun baru Saka (hari Raya Nyepi)
pada bulan chaitra setiap setahun sekali, yang dilaksanakan baik di dalam tingkat kelompok
kecil (suka duka) maupun tingkat desa atau yang lebih besar lagi dengan melibatkan berbagai
unsur dilingkungannya. Secara perorangan hal ini dapat dilakukan pada setiap kesempatan dan
dimanapun berada.

5. Dharma Gita

Dharma gita bila ditinjau dari segi etimologinya berasal dari kata Dharma dan Gita. Dharma
berarti kebenaran dan Gita berarti nyanyian. Dharma gita artinya nyanyian keagamaan atau
kenyanyian kebenaran. Disebut nyanyian kebenaran karena Dharma gita mengajarkan ajaran
Weda.Dharma gita secara tradisional telah dilaksanakan di seluruh Indonesia. Kegiatan ini di
Bali disebut makidung, makakawin, magaguritan, atau mamutru. Bila lagu keagamaan ini
dirangkaikan dalam mengiringi suatu upacara seperti Dewa Yadnya, Dharma gita ini dapat
disebutkan sebagai Dharma gita Anjali atau Gitanjali. Disamping itu lagu-lagu keagamaan ini
dikaitkan pula dengan kesenian tradisionil seperti halnya: Arja atau topeng di Bali. Dalam usaha
untuk mempelajari kitab-kitab suci seperti Weda, pembacaan-pembacaan Vedadapat
dinyanyikan. Dharma gita sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan
beragama sangat efektif. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin demikian rupa
dalam bentuk lagu/irama yang indah dan menawan, mempesona pembaca dan pendengarnya.
Usaha untuk melestarikan, mengembangkan Dharma gita bertujuan untuk tetap menjaga dan
memelihara warisan budaya tradisional yang diabadikan kepada keagamaan. Disamping itu
melalui Dharma gita diharapkan akan mampu memberikan sentuhan rasa kesucian
kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan.

Sumber materi untuk dharma gita diambil dari kitab-kitab suci Agama Hindu maupun sastra-
sastra keagamaan lainnya yang dirangkaikan dalam bentuk geguritan, kidung, kakawin, dan
mamutru. Untuk pengembangan lebih jauh perlu ditampilkan karya-karya baru yang bertemakan
ajaran agama Hindu. Pengembangan materi dalam kreasi baru ini perlu dilaksanakan dalam
rangka memperkaya dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman.

Materi Dharma gita diambil langsung dari kitab suci serta sastra-sastra keagamaan umumnya
mempergunakan bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno. Untuk mencapai sasaran
perlu diberikan terjemahan yang mempergunakan bahasa yang mudah, seperti bahasa
Indonesia atau bahasa daerah setempat. Demikian pula kreasi-kreasi dharma gita yang baru
tetap membawakan pesan dan tema keagamaan, pemakaian bahasa daerah tidaklah
merupakan hambatan bahkan justru sangat diharapkan untuk menumbuhkan rasa ikut meiliki
dan ikut bertanggung jawab.

6. Dharma sadhana

Dharma Sadhana artinya realisasi ajaran dharma dalam diri seseorang. Ini dapat dilaksanakan
melalui catur yoga marga yakni: Bhakti, Karma, Jnana dan Raja atau Yoga Marga secara
terpadu, bulat dan utuh, namun pemakaiannya sesuai dengan jalannya Catur Asrama.
a. Bhakti Marga atau upasana kanda adalah jalan bhakti yang pelaksanaannya diwujudkan
dalam bentuk upasana (pemujaan) dan persembahyangan.
b. Karma marga adalah jalan karma yang menitik beratkan pada perbuatan jasa atau amal
kebajikan, melakukan sesuatu dengan penuh ketulusaikhlasan atas dasar Dharma.
c. Jnana marga adalah jalan kebijaksanaan pengetahuan. Dalam konteks dharma sadhana
dilaksanakan dalam bentuk penimplementasian jnana.
d. Raja marga adalah jalan kebatinan dan kerohanian yang dilakukan dalam bentuk tapa
(pengekangan indriya dan tahan derita), brata (ketaatan berpantangan), yoga (menghubungkan
diri dengan Tuhan dan menghentikan gerak pikiran), Samadhi (merealisasikan kesadaran
atman.

Dharma Sadhana berupa latihan-latihan rohani secara sistimatis dan praktis bertujuan untuk
membina mengembangkan dan memupuk keluhuran budi pekerti serta kesucian pribadi
sehingga kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara semakin mantap, kokoh dan
ajeg, sebagai warga negara yang berpancasila.

Materi Dharma Sadhana pada dasarnya berorientasi pada disiplin hidup pribadi seperti: Tapa,
Bratha, Yoga dan Semadhi. Untuk itu perlu disusun suatu pedoman yang sedemikian rupa dan
praktis serta dapat dilakukan oleh setiap umat menurut tingkatan umur, fungsi dan profesinya
masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai