MAKALAH
BAHASA BALI
DI SUSUN OLEH :
NAMA : I KADEK DWI SAPUTRA WIDI ARSANA
JURUSAN : DHARMA SASTRA
PRODI HUKUM
STAHN GDE PUDJA MATARAM
2020
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!
DAFTAR ISI,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!
BAB 1 PENDAHULUAN,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!
1.LATAR BELAKANG,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,1
2.RUMUSAN MASALAH,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
BAB 2 ISI,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
BAB 3 PENUTUP,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
A.KESIMPULAN,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
B.SARAN,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
C.DAFTAR PUSTAKA,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
3
Latar Belakang
Aksara Bali digunakan untuk menulis bahasa asli penduduk Bali yaitu Bahasa Bali. Aksara Bali berasal
dari Aksara Brahmi Purba, India. Hal tersebut menyebabkan Aksara Bali memiliki banyak kemiripan
dengan Aksara Modern di Asia Selatan dan Asia Tenggara karena berasal dari rumpun aksara yang sama.
Aksara Bali pada abad ke-11 banyak memperoleh pengaruh dari Bahasa Kawi atau Jawa Kuno. Versi
modifikasi Aksara Bali ini digunakan juga untuk menuliskan Bahasa Sasak yang digunakan di Pulau
Lombok. Beberapa kata-kata dalam Bahasa Bali meminjam dari Bahasa Sansekerta yang kemudian juga
mempengaruhi Aksara Bali. Tulisan Bali tradisional ditulis pada daun pohon Siwalan (sejenis Palam),
ditumpuk kemudian diikat dan disebut lontar (Bantara Bemby, 2008). Aksara Bali dapat dikategorikan
sebagai aksara kompleks karena beberapa sebab berikut: 1. Susunan logical dan visual dari karakternya
bisa berbeda (perlu pengaturan ulang). 2. Bentuk dan posisi dari rendering karakter yang terletak di atas
atau di bawah karakter lainnya sangat bervariasi dan bergantung pada konteks karakternya. 3. Deretan
karakter tertentu sering membentuk ligature kompleks. Ligature adalah bentuk huruf yang digunakan
yang dapat merepresentasikan lebih dari satu karakter.
Aksara Bali awalnya hanya berjumlah 18 buah yaitu ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga,
pa, ja, ya, dan nya. Aksara Bali jumlahnya terbatas, sedangkan Bahasa Bali terus berkembang terutama
mengambil dari Bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta, maka Aksara Bali kemudian berkembang menjadi
lebih banyak jumlahnya. Menurut Wayan Simpen, dalam bukunya “Pasang Aksara Bali” (dalam bahasa
Indonesia bermakna aturan penulisan Aksara Bali) disebutkan bahwa jumlah aksara vokal sebanyak 14
buah dan aksara konsonan sebanyak 33 buah, jadi seluruhnya berjumlah 47 buah. Kini Aksara Bali sudah
menjadi salah satu mata pelajaran wajib untuk siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah
Menengah Atas. Keluhan siswa yang tertampung dalam angket orang tua murid menunjukan sebanyak
52,86% yang menyatakan bahwa pelajaran Bahasa Bali khususnya pasang pageh Aksara Bali dirasakan
susah oleh anak-anak mereka (Nurjaya I Gede,2005). Hal tersebut menyiratkan bahwa guru Bahasa Bali
harus mampu menyederhanakan materi pelajaran yang sulit serta memerlukan banyak waktu dengan cara
membuat model, bagan, ilustrasi, contoh-contoh aplikatif sehingga mudah dicerna oleh siswa sesuai
dengan tingkat kognitifnya. Seiring perkembangan teknologi, permasalahan tersebut dapat ditanggulangi
dengan sebuah metode pembelajaran baru di bidang Teknologi Informasi yaitu salah satunya dengan
memanfaatkan teknologi Smartphone berbasis Android sebagai media pembelajaran pasang pageh Aksara
Bali yang diimplementasikan ke dalam sebuah game edukasi bagi anak-anak. Game edukasi berbasis
Android ini diharapkan mampu menjadi sarana pembelajaran yang unik dan menyenangkan bagi anak-
anak usia dini, agar niat belajar anak-anak untuk mempelajari pasang pageh Aksara Bali lebih meningkat.
Anak-anak juga diharapkan dapat merasakan bahwa belajar mengenal pasang pageh Aksara Bali dalam
suatu kata bukan lagi hal yang sulit melainkan sebuah aktivitas yang menyenangkan sehingga anak-anak
terpacu keinginannya untuk belajar, sehingga kebudayaan asli Bali ini tetap lestari. Hal inilah yang
mendasari perancangan Game Edukasi Pasang Pageh Aksara Bali berbasis Android.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana merancang game edukasi ini sehingga mampu menumbuhkan minat anak-anak untuk
mempelajari pasang pageh Aksara Bali yang merupakan budaya asli Bali.
2. Bagaimana merancang game edukasi ini sehingga dapat membantu memudahkan anak-anak untuk
mempelajari pasang pageh Aksara Bali.
3. Bagaimana game edukasi ini mendapatkan respon melalui hasil survey masyarakat terutama anak-anak
dalam menggunakan game edukasi ini sebagai media bantu dalam mempelajari pasang pageh Aksara
Bali.
1.3 Batasan Masalah
Ruang lingkup dan batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Game edukasi ini di rancang pada platform Android.
2. Android yang digunakan adalah Android versi 2.3 Ginger Bread ke atas.
3. Perancangan game menggunakan aplikasi Corona SDK.
4. Game ini dikhususkan untuk anak-anak berumur 10-12 tahun (SD Kelas IV hingga SD Kelas VI).
5. Katagori pasang pageh Aksara Bali yang dijadikan pembahasan dalam game ini adalah pasang pageh
cecek, bisah, surang, adeg-adeg, dan pengangge ardasuara.
6. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Drag and Drop.
7. Pemain dalam game ini hanya untuk 1 orang user (single player) pada satu perangkat Android.
5
PURWAKA
Bahasa ini merupakan yang digunakan pada kebanyakan susastra Hindu yang ada di Indonesia. Bahasa Kawi
sering diistilahkan sebagai Bahasa Parwa, karena bahasa ini banyak ditemukan pada sastra-sastra parwa di
Indonesia. Selain itu bahasa ini juga banyak digunakan untuk menulis prasasti-prasasti, lontar-lontar dan
beberapa dokumentasi pada masa sejarah kerajaan Hindu di Indonesia. Bagi seorang calon Sarjana Agama
Hindu atau Sarjana Sejarah amatlah penting untuk mendalami bahasa ini.
PENGERTIAN
Secara etimologis kata kawi berasal dari kata Sanskerta ‚kavya‛ yang artinya ‚puisi atau syair‛. Di India pada
mulanya ‚kawi‛ dikenal sebagai seorang yang mempunyai pengertian luar biasa. Seorang yang bisa melihat jauh ke
depan atau orang bijak. Kemudian dalam kesusastraan ‚kawi‛ dikenal sebagai seorang penyair; pencipta atau
pengarang.
Berdasarkan penjabaran etimologis tersebut, maka Bahasa Kawi adalah bahasanya para pengarang atau para
pujangga. Tetapi tidak semua bahasa yang dipergunakan oleh para pujangga adalah Bahasa Kawi. Bahasa ini
merupakan ragam tulis dalam bahasa Jawa Jawa Kuno. Zoetmulder menyebutkan bahwa bahasa Jawa Kuno
merupakan bahasa umum selama periode Hindu-Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Dengan demikian bahasa Kawi
adalah bahasa Jawa Kuno yang dewasa ini hanya dapat dijumpai dalam karya sastra-karya sastra seperti :
Naskah-naskah keagamaan (seperti Lontar-lontar Tattwa, Sasana, Niti, dsb)
Naskah-naskah sastra (Purwa, Kakawin, Kidung, dll.)
Naskah-naskah pengobatan (Usadha)
Naskah-naskah pengetahuan lain (seperti lontar Tutur, dsb)
Peninggalan-peninggalan (misalnya : prasasti, babad dan Usana)
Dari uraian tersebut maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa bahasa Kawi adalah bahasa Jawa Kuno, ragam tulis
yang dipergunakan oleh para Kawi (pengarang) untuk menampung buah pikirannya.
SEJARAH BAHASA KAWI
Zoetmulder (1994 : 3) menyebutkan bahwa bahasa Kawi dikenal sejak tahun 726 Saka atau 804 Masehi. Hal ini
ditandai dengan adanya prasasti Sukabumi yang menyebutkan penanggalan Saka 726, bulan Caitra, pada hari
kesebelan paro terang, pada hari Aryang (hari kedua dalam Sadwara), Wage (hari keempat dalam
Pancawara) dan Saniscara (hari ketujuh dalam Saptawara). Hari tersebut bertepatan dengan tanggal 25 Maret
804 M.
Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa menyebutkan bahwa naskah Kawi yang tertua adalah naskah
Candrakarana. Naskah ini berisikan tentang pelajaran bagaimana membuat sebuah kekawin (syair Jawa Kuno) dan
daftar kata-kata Kawi (semacam kamus Kawi). Disebut naskah paling tua, karena di dalamnya disebut-sebut
seorang raja keturunan wangsa Syailendra, kira-kira tahun 700 Saka atau 778 M. Berdasarkan gaya bahasa,
tahun penulisan dan nama raja yang disebut dalam naskah yang diteliti itu, Poerbatjaraka kemudian
mengelompokkan sastra Kawi menjadi tiga bagian, yakni :
Kitab-kitab Jawa Kuno yang tergolong tua
Naskah-naskah yang tergolong kelompok ini ada 2 macam yaitu yang pertama berbentuk prosa (parwa) dan
berbentuk puisi (kekawin). Naskah yang tergolong parwa diantaranya : Candrakarana, Sanghyang
Kamahayanikan, Brahmaóða Puràna, Agastya Parwa, Uttarakanda, Wirataparwa, Udyogaparwa,
Bhismaparwa, Asramawasanaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa dan
Kunjarakarna.
Naskah yang tergolong puisi adalah Kekawin Ràmàyana.
Di Jawa sendiri semenjak kedatangan Islam, bahasa Kawi (Jawa Kuno) berkembang menurut 2 arah yang
berlainan. Di satu sisi bahasa Jawa Pertengahan yang masih memperlihatkan ciri erat antara Budaya Hindu Jawa-
Bali. Di sisi lain bahasa Jawa Kuno pun berkembang menjadi bahasa Jawa Modern dimana pengaruh bahasa
Sanskerta banyak digantikan oleh bahasa Arab.
Menurut Agastia (1994 : 12) pengaruh Sanskerta terhadap sastra Jawa Kuno sangat kentara dengan adanya proyek
yang ia sebut sebagai mangjawakën byasamata (membahasajawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa). Hal ini
selaras dengan yang tersurat dalam Wirataparwa. Dalam salah satu baitnya disebutkan, ‚sira ta úri dharmawangsa
wakën byasamata‛ (Beliau Sri Dharmawangsa membahasajawakan buah karya Bhagawan Byasa).
Jika dikaji lebih lanjut, pengaruh tersebut dapat dikelompokkan menjadi ada 2 macam yaitu :
a. Pengaruh formal
Pengaruh ini adalah pengaruh bahasa Sanskerta secara langsung, yaitu dangkatnya kata-kata Sanskerta ke dalam
bahasa Kawi. Sebagi contoh jika diamati, Kamus Jawa Kuno-Indonesia yang ditulis oleh L.
Mardiwarsito, banyak memakai tanda (S) yang artinya kata bersangkutan berasal dari bahasa Sanskerta. Coba
anda lihat kutipan di bawah ini :
abdhi (S) = samudra; laut abha (S) = keindahan
abhicara (S)= tingkah laku; tindak-tanduk; kelakuan (baik), dst.
Akhirnya dapat dipahami kedudukan dan fungsi bahasa Kawi sebagai berikut.
Kedudukan bahasa kawi adalah bahasa documenter Indonesia yang memiliki materi terkaya dan bernilai luhur.
Bagi umat Hindu di Indonesia bahasa Kawi adalah bahasa sumber kedua yang menyimpan materi agama Hindu.
Fungsi bahasa Kawi adalah sebagai kunci untuk mengungkapkan kebudayaan bangsa Indonesia pada masa pra-
Islam. Di samping itu fungsi bahasa Kawi adalah untuk menunjang : penelitian sejarah bahasa-bahasa daerah
Indonesia; usaha mengembangkan bahasa Indonesia secara sadar dan aktif; pengembangan sastra daerah dan sastra
Indonesia.
Bermakna
Makna Gramatikal
Sebagian bermakna
Makna leksikon
Secara etimologis fonologi berasal dari dua kata Latin yaitu phone yang berarti ‚bunyi‛ dan logos yang berarti
‚bunyi‛. Jadi fonologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu.. Fonologi
juga merupakan bagian terkecil dari tata bahasa.
Tetapi ada pula yang mengatakan fonologi di luar tata bahasa. Jika kita mengkaji lebih dalam maka kita dapat
mengingat sekilas pengertian bahasa menurut Jendra (1986 : 2) ‚suatu sistem simbol bunyi bebas yang diucapkan
dalam atau melalui mulut manusia, yang disetujui dan dipelajari bersama oleh masyarakat pendukungnya, untuk
dipergunakan sebagai alat kerjasama atau berhubungan‛.
Sementara untuk ucapannya biasanya diperbandingkan dengan bahasa Sanskerta dan dialek-dialek bahasa Jawa
yang masih ada sekarang.
Segala macam lambang untuk menuliskan bahasa disebut sebagai huruf atau aksara. Secara otomatis, huruf
atau aksara itu merupakan lambang atau gambaran dari bunyi. Sedangkan rentetan dari beberapa huruf disebut
sebagai abjad.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa bahasa Kawi sangat dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta. Dalam hal
ejaan fonemnya bahasa Kawi ternyata juga banyak mendapat pengaruh bahasa Sanskerta. Sebagai contoh vokal
panjang/dìrga/diphthong yang dilambangkan dengan huruf à, ì, ù; kemudian bunyi beraspirat (bh, dh, kh, gh, ph,
ch, th, dsb) serta bunyi desis (ú, û, s).
Sementara itu untuk Abjad Kawi banyak ditulis dengan akûara Jawa ataupun aksara Bali. Dalam sebagian besar
naskah di Bali abjad Kawi banyak ditulis dalam aksara Bali, kecuali lontar-lontar kuno asli peninggalan Hindu
Jawa yang masih bisa diselamatkan. Bentuk antara aksara Jawa dan Bali sendiri tidak jauh berbeda. Aksara
atau Abjad ini juga sebagai lambang dari ejaan fonem bahasa Kawi.
Sebagaimana bahasa Sanskerta, ejaan fonem bahasa Kawi dibagi atas dua golongan besar yakni ejaan fonem
vokal (akûara swàra) dan ejaan fonem konsonan (akûara wyañjana).
Berikut ini ikhtisar penggolongannya serta transkripsinya dalam huruf latin.
2.1. Ejaan Fonem Vokal (Akûara Swàra)
Ejaan fonem vokal dalam bahasa Kawi berjumlah 11. Akûara Swàra dalam bahasa Kawi dapat dikelompokkan
menjadi 3, yakni: vokal tunggal, vokal rangkap dan vokal perubahan.
Guttural A … À
1
(Kaóþhya)
Palatal
2 I … Ì
…
Labial
3 U … Ù
…
Lingual
4 Å … Æ
…
Dental
5 Í … Í
…
Pengangge
Jawa Bali
… Ö
Menurut cara bacanya atau bunyinya, keempat macam konsonan atau aksara Vyañjana tersebut juga dibedakan
menjadi :
a. Guttural, disebut juga ‚kaóþhya‛. Bunyi ini dihasilkan dengan cara mendekatkan lidah kepada guttur
(kaóþha), yakni bagian langit-langit kerongkongan.
b. Palatal, disebut juga ‚talavya‛. Bunyi ini dihasilkan dengan cara mendekatkan lidah pada palatun (talu)
atau tekak (langit-langit lembut).
c. Lingual atau cerebral, yang disebut juga ‚mùrdhanya‛. Kelompok ini dibunyikan atau dibaca dengan
cara menggetarkan lidah (lingua) di dekat langit-langit keras (cerebrum atau mùrdha) ataupun dengan merapatkan
lidah pada langit-langit keras.
d. Dental, yang disebut juga ‚danthya‛. Kelompok ini dibaca dengan cara mendekatkan gigi (denta atau
dantha) atas dan gigi bawah sebelum membunyikannya.
e. Labial, yang disebut juga ‚oûþhya‛. Bunyi pada kelompok ini dihasilkan dengan cara mendekatkan
kedua bibir (labium atau oûþha) atas dan bawah.
Untuk aksara desah ‚Ha‛ terdapat pengecualian, karena aksara ini tidak masuk dalam 5 kelompok tersebut di atas.
Aksara ini berdiri sendiri sebagai bunyi desah.
Pañcavalimukha Si As
Dasar Va Semi
No. bil pir
rg vokal
Ucapan Tajam Lembut Nasal an at
a
Jawa Gu
ttu
ral … ... … … … …
(K
1 aó
þh
Bali ya
)
Jawa
Li
ng
ual … … … … … … …
(M
ur
3 dh
an
Bali ya
)
…
Jawa
… … … … … … …
D
4 en
tal
Bali (Dant
Jawa
La
bia … … … … … …
l
(O
ûþ
hy
5
Bali
2.3. Angka
Masing-masing angka dalam abjad Kawi (Bali & Jawa) berbentuk sebagai berikut:
Jawa
Bali
Jawa
Bali
Latin 1981 2006 20.283 dan seterusnya.
b. Kelompok Konsonan
K seperti k dalam kata keras
Kh seperti k diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
G seperti g dalam kata garuda
Gh seperti g diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
Ò seperti ng dalam kata ngantuk
C seperti c dalam kata catur
Ch seperti c diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
J seperti j dalam kata raja
Jh seperti diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
Ñ seperti ny dalam kata nyamuk
Þ seperti þ dalam kata tutuk (dalam bahasa Jawa, yang berarti memukul) Þh seperti þ diikuti dengan h yang
dihembus di belakangnya
Ð seperti ð dalam kata dahar (dalam bahasa Jawa, yang berarti makan)
Ðh seperti ð diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
Ó seperti rna (siap membaca r, kemudian dikuti óa ) T seperti t dalam kata tato
Th seperti t diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
D seperti d dalam kata dodol (dalam bahasa Jawa, yang berarti menjual) Dh seperti d diikuti dengan h yang
dihembus di belakangnya
N seperti n dalam kata nanas (daun lidah menyentuh kaki gigi atas)
P seperti p dalam kata pita
Ph seperti p diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
B seperti b dalam kata baris
Bh seperti b diikuti dengan h yang dihembus di belakangnya
M seperti m dalam kata makan
Y seperti y dalam kata ya
R seperti r dalam kata rakit
L seperti l dalam kata laut
V seperti w dalam kata waktu
Ú seperti s dalam kata syarat
Û seperti s dalam kata shift (bahasa Inggris) S seperti s dalam kata sabun
H seperti h dalam kata hati
Posisi
Fonem Awal Tengah Akhir
a acala ‘gunung’ paran ‘tujuan’ eka ‘satu’
à àkasa ‘langit’ upàya ‘akal’ ulà ‘ular’
i ikan ‘ikan’ igit ‘gigit’ àdi ‘pertama
ì ìr ‘tarik’ tìra ‘sepi’ nadì ‘sungai’
u udan ‘hujan’ kusuma ‘bunga’ hayu ‘cantik’
ù ùrddha ‘tinggi’ ahùti ‘korban’ ilù ‘ikut’
å/rë rës ‘takut’ parëng ‘bersama’ Posisi -
Fonem
å/rö röp ‘diam’ Awal - Tengah werö ‘mabuk’ Akhir
í/lë k lëpët
kadi‘salah’
‘sebagai’ lalër ‘lalat’
mekar ‘mekar’ dëlë
anak‘diserang
‘anak’ dari depan’
í/lökh lök ‘susah’
khadga ‘pedang’ - sukha ‘senang’ lëlö
-
e g emel ‘kotor’
gading ‘kuning’ desa
ràga‘tempat’
‘nafsu’ ike ‘ini’‘tumbuk’
gëdog
ai gh airlangga
ghosana ‘airlangga’
‘pengumuman’ daiwa
sanggha‘takdir’
‘orang banyak’ wai
- ‘air’
o nga olan ngaran
‘ulat’
‘nama’ lobha
sangka‘loba’
‘asal’ ilo
datëng
‘lihat’‘datang’
au c ausadha ‘obat’
catur ‘empat’ kaurawa ‘kaurawa’
cacing ‘cacing’ -
ö ch öb chaya
‘naung’
‘cahaya’ iwöng
seccha‘kacau’
‘enak’ rëngö
- ‘dengar’
ë j ënah
jagat‘tempat’
‘dunia’ ibëk ‘penuh’
pañji ‘bendera’ pare
- ‘dekat’
jh jhasa ‘ikan’ - -
Dengan melihat distribusi fonem vokal tersebut, maka dapat disimpulkan
ñ ñamut ‘kabur’ pañca ‘lima’ -
Fonem-fonem
þ þikayang dapat menduduki posisi awal,
‘huruf’ tengah dan akhir adalah : a,- à, i, ì, u, ù, í,e, ai, o, ö dan ë
nasþa ‘gaib’
Fonem-fonem
þh yang
þhika hanya dapat menduduki posisi
‘huruf’ nasþhaawal
‘gaib’dan tengah saja adalah - : å/rë dan au
Fonem ð yang hanya dapat
ðadat ‘robek’ menduduki posisi awal dan
jaða ‘bodoh’akhir saja adalah : å/rö dan
- í/lö
ðh ðhara ‘gadis’ muðha ‘bodoh’ -
b. Distribusi Fonem Konsonan
ó - daóða ‘tongkat’ -
Contoht perhatikan fonem
tabeh ‘tabuh’ vokal yang bercetak tebal di bawah
moktah ‘moksa’ ini. dahat ‘sangat’
th thàni ‘pertanian’ natha ‘raja’ -
d daga ‘berontak’ nada ‘suara’ lad ‘iris’
dh dhana ‘uang’ yudha ‘perang’ -
n nadì ‘sungai’ nanà ‘hancur’ parawan ‘perawan’
p pawana ‘angin’ papag ‘songsong’ landep ‘tajam’
ph phala ‘buah’ nisphala ‘sia-sia’ -
b bala ‘kekuatan’ saban ‘dahulu’ halib ‘mustahil’
bh bhaga ‘bagian’ sabha ‘tempat’ -
m mata ‘mata’ parama ‘tertinggi’ padem ‘mati’
y yasa ‘jasa’ haywa ‘jangan’ apuy ‘api’
r rabi ‘istri’ urma ‘gelombang’ ujar ‘kata’
l laki ‘laki-laki’ kùla ‘tepi’ rontal ‘lontar’
w wukir ‘gunung’ wawa ‘bawa’ -
ú úata ‘seratus’ piúuna ‘fitnah’ -
û ûad ‘enam’ akûara ‘huruf’ -
s saha ‘dengan’ pisuh ‘memaki’ -
h haji ‘raja’ mahisa ‘kerbau’ harih ‘bujuk’
Dengan melihat distribusi fonem konsonan tersebut, maka dapat disimpulkan :
Fonem-fonem yang dapat menduduki posisi awal, tengah dan akhir adalah : k, g, ng, t, d, n, p, b, m, y, r, l, s dan
h.
Fonem-fonem yang hanya dapat menduduki posisi awal dan tengah saja adalah : kh, gh, c, ch, j, ñ, þ
(þh), ð (ðh), th, dh, ph, bh, w, ú dan û.
Fonem yang tidak dapat menduduki posisi awal adalah : ó
Fonem yang hanya dapat menduduki posisi awal saja adalah : jh
2.6. Gugus Konsonan
Gugus konsonan adalah kosonan yang dapat bergugus/berkelompok. Berikut beberapa macam gugus
konsonan:
a. Gugus yang terdiri dari dua konsonan dalam satu pola suku kata
Gugus konsonan /gl, kl, sl, tl, wl, bl, ml/
Contoh : glar (benteng), klab (berkibar), sla (seling), tlës (baru saja mencuri), wlas (belas kasihan),
blak (memar), mlek (memenuhi).
Gugus konsonan /dr, bhr, br, gr, hr, jr, kr, pr, sr, úr, tr, wr/
Contoh : drës (cepat), bhra (terang), bras (beras), grah (gerah), hruk (teriak), jro (dalam), krëm
(keram), prah (meluap), srët (sendat), úrì (dewi, kesejahteraan), tri (tiga), wruh (tahu).
Gugus konsonan /by, dy, gy, hy, ky, ly, ny, sy, ty, wy/
Contoh : byar (terbuka), dyun (periuk), gya (segera), hyang (dewa), jyab (kelas), lyan (berbeda), nyu
(kelapa), syuk (segera), tyup (tiup), wyah (saluran)
Gugus konsonan /dw,dhw, kw, lw, mw, nw, ngw, rw, sw, úw, tw, ww, yw/
Contoh : dwà (bohong), dhwas (hancur), kwa (demikian), lwe (luas), mwang (dan), nwam (muda),
rwa (dua), swa (sendiri), úwa (anjing), twak (tuak), wwat (berat), ywa (kemudian).
Gugus konsonan selain daripada konsonan /l, r, y, w/ yaitu : /ngg, ngh, ngw, tk, tl, wk, wl/ Contoh : ndi (di
mana), ngke (di sini), nggan (mungkin), nghel (payah), ngwe (tengah).
b. Gugus yang terdiri dari tiga konsonan dalam satu pola suku kata
Contoh : stri (istri), kryan (sang putri).
2.7. Metatesis
Secara etimologis, metatesis berasal dari kata ‚meta‛ yang berarti ‚perubahan‛ dan ‚tithema‛ yang berarti
‚tempat‛. Metatesis adalah gejala perubahan bunyi bahasa akibat pertukaran atau perloncatan bunyi satu
dengan yang lain dalam satu kata dengan tidak merubah arti.
Dari segi perubahan waktu, metatesis bahasa Kawi dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Metatesis Sinkronis
Metatesis sinkronis adalah perubahan bunyi dengan cara pertukaran atau perloncatan bunyi dalam suatu kata pada
kurun waktu tertentu (sezaman)
Contoh : lumaku mlaku
lumumpat mlumpat
lumampah mlampah
Pada kata dasar yang diawali dengan huruf /l/ mendapat infiks um sering terjadi metatesis
b. Metatesis Diakronis
Metatesis diakronis adalah perubahan bunyi dengan cara pertukaran atau perloncatan bunyi dalam suatu kata yang
terjadi pada masa lampau hingga sekarang (melalui proses sejarah).
Perubahan bunyi /ë/ dan /ö/ menjadi /u/
Contoh : pëhan (Kawi) puhan (Jawa Sekarang) > ‘air susu’
rëngö (Kawi) rungu (Jawa Sekarang) > ‘dengar’
wërö (Kawi) wuru (Jawa Sekarang) > ‘mabuk’
asëh (Kawi) wasuh (Jawa Sekarang) > ‘cuci’
wërëh (Kawi) wuruh (Jawa Sekarang) > ‘buih’
Perubahan bunyi /ya/ menjadi /e/
Contoh : ramya (Kawi) rame (Jawa Sekarang) > ‘ramai’
kagyat (Kawi) kaget (Jawa Sekarang) > ‘kaget’
tampyal (Kawi) tampel (Jawa Sekarang) > ‘lekat’
kulyat (Kawi) kulet (Jawa Sekarang) > ‘menggeliat’
Perubahan bunyi /ö/ menjadi /ë/
Contoh : göng (Kawi) gëng (Jawa Sekarang) > ‘besar’
jöng (Kawi) jëng (Jawa Sekarang) > ‘kaki’
Perubahan bunyi /wa/ menjadi /o/
Contoh : bwat (Kawi) bot (Jawa Sekarang) > ‘berat’
twah (Kawi) toh (Jawa Sekarang) > ‘tanda hitam’
karwa (Kawi) karo (Jawa Sekarang) > ‘kedua’
kaywan (Kawi) kayon (Jawa Sekarang) > ‘kayu’
Perubahan bunyi /kû/ menjadi /s/
Contoh : kûtera (Kawi) setra (Jawa Sekarang) > ‘tegal’
sàkûàt (Kawi) sasat (Jawa Sekarang) > ‘nyata’
rùkûak (Kawi) rusak (Jawa Sekarang) > ‘rusak’
kûiti (Kawi) siti (Jawa Sekarang) > ‘tanah’
Perubahan bunyi /ngh/ menjadi /ng/
Contoh : tinghali (Kawi) tingali (Jawa Sekarang) > ‘lihat’
singha (Kawi) singa (Jawa Sekarang) > ‘singa’
tanghi (Kawi) tangi (Jawa Sekarang) > ‘bangun’
singhit (Kawi) singit (Jawa Sekarang) > ‘angket’
Perubahan bunyi /w/ menjadi /b/
Contoh : wagus (Kawi) bagus (Jawa Sekarang) > ‘bagus’
wala (Kawi) bala (Jawa Sekarang) > ‘tentara’
wuhaya (Kawi) buaya (Jawa Sekarang) > ‘buaya’
watu (Kawi) batu (Jawa Sekarang) > ‘batu’
wani (Kawi) bani (Jawa Sekarang) > ‘berani’
Perubahan bunyi /w/ menjadi /y/
Contoh : twas (Kawi) tyas (Jawa Sekarang) > ‘hati’
wadwa (Kawi) wadya (Jawa Sekarang) > ‘prajurit’
tandwa (Kawi) tandya (Jawa Sekarang) > ‘tanda’
e. KVK (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Vokal-Konsonan) Contoh : sung (beri)
dhang (partikel penentu orang)
a-lap (ambil)
f. KVV (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Vokal-Vokal)
Contoh : lu-luy (berani) wang-kay (bangkai) a-puy (api)
g. KKV (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Konsonan-Vokal)
Contoh : ngke (sini) gya (cepat) kûi-ti (tanah)
h. KKVK (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Konsonan-Vokal-Konsonan) Contoh : wruh (tahu)
twas (hati) lwah (sungai)
i. KKKV (Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Konsonan-Konsonan-Vokal) Contoh : stri (istri)
j. KKKVK ((Pola suku kata yang terdiri atas Kosonan-Konsonan- Konsonan –Vokal- Konsonan) Contoh :
ra-kryan (suatu gelar kebangsawanan)
Hukum Sandhi merupakan aturan-aturan sandhi yang sudah ditetapkan atau dibakukan. Oleh karenanya sastrawan
Jawa Kuno atau seorang Kawi Sastra tidak bisa seenaknya dalam menggunakan tata bahasa yang ada kaitannya
dengan Sandhi tersebut. Aturan-aturan dalam hukum sandhi tersebut adalah :
Dua bunyi yang sama (a, i dan u) menjadu satu yang panjang (dirgha/diphtong)
Contoh: a+a=a i+i=ì u+u=ù
a+à=à i+ì=ì u+ù=ù
à+à=à ì+ì=ì ù+ù=ù
Bunyi ë selalu ë hilang dan tidak mengubah vokal yang ada di mukanya, misalnya :
a + ë =a wawa + ën = wawan
i + ë =i wëli + ën = wëlin
u + ë =u tuhu + ën = tuhun
ö+ë =ö rëngö + ën = rëngön
Bunyi a jika diikuti bunyi lain daripada ë menjadi :
a+u =o ma + ulah = molah
a+i =e bhaþara + indra = bhaþarendra
wruha + ing = wruheng
Bunyi i, u, ö dan o jika diikuti lain daripada bunyi ë menjadi :
i + a = ya ananghi + a = ananghya
u + a = wa tuhu + a = tuhwa
u + i = wi sihku + iriya = sihkuwiriya
o + a = wa mangilo + a = mangilwa
ö + a = wa karëngo + an = karëngwan
Jamak
kami = kami, misalnya : brahmaóa daridra kami (Brahmana miskin saya)
kita = kita, misalnya : kita pinaka sangkan paraning saràt (kita adalah sebagai asal dan
tujuan dari semua makhluk)
b. Orang kedua
Tunggal
kanyu = engkau
ko = engkau, misalnya : ko ng bhuta Locaya (Kau bhuta Locaya)
kamung = engkau, kamu , misal : kamung hyang watek dewata kabeh
(Kamu para dewa sekalian)
rahadyan sanghulun = tuanku, misalnya : adwa rahadyan sanghulun (tetapi kelirulah tuanku)
mpu, mpungku = tuanku, misalnya : hana ta pangning carita de mpu makabehan (Adalah cabang
cerita hendaklah tuan semua dengarkan)
Jamak
kamu = kamu
kita = tuan-tuan; kamu
c. Orang ketiga
Tunggal
ya = ia, dia, misalnya : tinakwanan ta ya de ning guru (ditanyailah ia oleh guru)
sarika = ia, dia, misalnya : ring kapana kita swamitra lawan sarika (bagaimana engkau dapat bersahabat
dengan dia)
rasika = ia, dia, misalnya : tatan hana marasane pwangkulun bheda sangke rasika (Tak ada orang
yang dapat menyembuhkan hamba, kecuali dia)
sira = beliau, misalnya : sira ta kumawasaken påthiwimaóðala (Bagindalah menguasai dunia)
Jamak sira
= mereka
ya = mereka
Contoh :
patang wingi = empat malam limang tahun = lima tahun limang atus = limaratus
limang wingi = lima malam wwalung dëpa = delapan depa nëmang iwu = enam ribu
nëmang ayuta = enam juta tëlung siki = tiga buah/ekor salek = satu bulan
satahun = satu tahun sawiji = satu biji
Jika awalan ka- ditambahkan pada kata bilangan, maka awalan ka- ini berarti ‘semua, bersama-sama, atau
tingkatan’. Contoh : katëlu (ketiga-tiganya, semuanya); kapat (keempat-empatnya, semuanya) dan lain-lain.
Jika awalan pa- di muka kata bilangan seringkali menyatakan arti ‘bagian’. Dan bentuk ini sering pula mendapat
awalan ma- atau sa-. Contoh : mapasewu (menjadi seribu bagian), maparwa (menjadi dua bagian), saparwa
(sebagian), dan sebagainya.
Jika awalan ping- di muka kata bilangan, maka itu akan menyatakan arti ‘mempergandakan’. Contoh : pingrwa
(dua kali), pingtiga (tiga kali), pinglima (lima kali) dan sebagainya.
3.1.11. Kata Sandang Penentuan
Kata sandang penentuan ada 2 macam yaitu ang dan ng. Kata sandang ini biasanya ditempatkan di muka kata yang
sudah ditentukan. Kalau kata itu belum diketahui atau belum ditentukan, maka ang dan ng tidak dipakai. Kata
sandang ini sama fungsinya dengan the dalam bahasa Inggris.
Contoh : ang katha (cerita itu), mangrëngö ta ng danawa (mendengarlah raksasa itu).
3.1.12. Kata Sandang Penunjuk Orang
Ada beberapa macam kata sandang penunjuk orang dalam bahasa Kawi, yaitu :
a. si seperti dalam bahasa Indonesia si dipakai untuk orang kebanyakan
Contoh : hana ta rakûasa si doluma ngaranya
(adalah raksasa si Doluma namanya)
b. pun kata sandang ini sudah amat jarang dipakai, hampir sama dengan ipun dalam bahasa Bali
Contoh : Bapa, mati angganya pun kaca
(Bapa mati badannya sang Kaca)
d. sang hyang sang hyang dipakai untuk dewa-dewa serta yang dianggap mulya seperti dewa.
Contoh : sang hyang wiûóu, sang hyang wulan, sang hyang àtma.
e. dang hyang untuk menunjuk orang mulya karena kesuciannya.
Contoh : dang hyang drona, dang hyang kåpa, dang hyang narada
f. ra Sebagai penunjuk orang, dipakai juga kata ra. Biasanya sekali partikel ini dipakai orang yang
berkata kepada orang yang lebih tinggi pangkatnya.
Contoh : pirëngön ra putu mpungku (dengarlah cucu tuan hamba).
g. sira sering juga kata sira dipakai untuk pengganti sang, hal ini terjadi lebih-lebih pada kata sebut yang
mengenai macam.
Contoh : suka ta sira bara ri dating sang gandawati (senanglah seorang ayah dengan
Datangnya Gandawati)
3.2.1. Awalan
Prefiks atau awalan adalah imbuhan yang diletakkan di depan bentuk dasar (pangkal). Yang termasuk awalan
dalam bahasa Kawi adalah : a-, an-, ma-, man-, pa-, pan-, sa-, ka-, maka-, pinaka-, nir-, pari-, pi-, su-, ping-,
mana-, swa-, ra-, dur-, dan wi-.
a. Awalan a- (seperti awalan me- atau ber- dalam bahasa Indonesia)
Contoh : aputra (mempunyai putra), ahyun (mempunyai keinginan), astir (mempunyai istri), dll.
b. Awalan an-
Awalan an- mempunyai 4 alomorf : an-, am, ang dan an-.
Alomorf an- digunakan apabila morfem dasar tempatnya melekat dimulai dengan konsonan t dan s,
kemudian konsonan t dan s akan luluh.
Contoh : anëpi (menuju tepi), aniwi (menyungsung) anonton (melihat) dll.
Alomorf am- digunakan apabila morfem dasar dimulai dengan konsonan p, b, w; kemudian konsonan-
konsonan tersebut akan luluh
Contoh : aminta (meminta), amawa (membawa), amëtu (muncul).
Alomorf an- digunakan apabila morfem dasar dimulai dengan konsonan c; kemudian konsonan tersebut akan
luluh
Contoh : anakar (mencakar), anakra (memanah dengan cakra)
Alomorf ang- digunakan apabila morfem dasar dimulai dengan konsonan r, l, k, g, h, j; kemudian
konsonan-konsonan tersebut tidak luluh kecuali k
Contoh : angalap (memetik), angering (mengikuti), angrakûa (menjaga), angrëngö (mendengar), anglilir
(menglilir), angidul (menuju selatan), angawe (mengerjakan), anghadap (menghadap),angjala(menjolok)
Pemakaian an- sering mengalami penghilangan bunyi vokal /a/ apabila morfem dasarnya dimulai dengan bunyi
vokal. Contoh : angaranngaran (bernama), anginaknginak (mengenakkan) dll
Hal ini dapat pula terjadi pada morfem dasar yang diawali huruf bilabial. Contoh : amanganmangan
(makan); amanahmanah (memanah), amawamawa (membawa); amëtumëtu (muncul/keluar).
c. Awalan ma-
Apabila awalan ma- melekat pada morfem dasar diawali fonem konsonan, maka awalan ma- melekat begitu saja
pada morfem dasar tersebut. Contoh : maputra (beranak), mahyun (berkeinginan), maweh (memberi), makon
(menyuruh), dst.
Apabila awalan ma- melekat pada morfem dasar diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan sandhi.
Contoh : mànak (beranak) mojar (berkata) dll.
Arti Awalan a-
Berarti mempunyai
Contoh : maputra (mempunyai putra), mambëk (berkelakuan), dll.
e. Awalan pa-
Apabila awalan pa- melekat morfem dasar diawali fonem konsonan, maka awalan pa- tersebut melekat
begitu saja pada morfem dasar. Contoh : papangguh (bertemu), patunjung (memakai tunjung), dst.
Apabila awalan pa- melekat pada morfem dasar yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan
sandhi. Contoh : pànak (berputra), pebu (beribu), dll.
Arti Awalan pa-
Berarti suatu keadaan
Contoh : padosa (berdosa), papangguh (berpenglihatan), dll.
Berarti memakai
Contoh : panatha (memakai raja), pawiku (memakai wiku),
Berarti setelah
Contoh : sadatëng (setelah tiba), samangkana (setelah demikian), dll.
Berarti satu
Contoh : somah (satu rumah), salampah (satu perjalanan), sajña (satu pikiran) dll.
g. Awalan ka-
Apabila suatu morfem dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan ka-, maka awalan ka- tersebut
melekat begitu saja pada morfem dasar. Contoh : katon (terlihat), karëngö (terdengar), dst.
Apabila awalan ka- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan
sandhi.
Contoh : kengët (teringat), kàjar (diajar), dll.
h. Awalan maka-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan maka-, maka awalan maka-
tersebut melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : makastri, makasisya, makaphala dst.
Apabila awalan maka- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah
aturan sandhi. Contoh : makebu, makari, dll.
j. Awalan nir-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan nir-, maka awalan nir- tersebut
melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : nirguóa, nirmala, nirbhaya, dst.
Apabila awalan nir- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, dan k, t, c, maka nir-
tersebut berubah menjadi nis-. Contoh : niskala, niscaya, nistresna dll.
Arti Awalan nir-
Berarti tidak atau tanpa
Contoh : nirdon (tanpa tujuan), nirguóa (tidak ada guna), nirbhaya (tidak ada bahaya) dll.
k. Awalan pari-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan pari-, maka awalan pari- tersebut
melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : paripuróa, paritusta, dst.
Apabila awalan pari- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan
sandhi. Contoh : parìndik (segala peraturan), dll.
r. Awalan ra-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan ra-, maka awalan ra- tersebut
melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : rakawi, dst.
Apabila awalan ra- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan
sandhi.
t. Awalan wi-
Apabila suatu kata dasar yang diawali fonem konsonan mendapat awalan wi-, maka awalan wi- tersebut
melekat begitu saja pada kata dasar. Contoh : wijaya, dst.
Apabila awalan wi- tersebut melekat pada morfem yang diawali oleh fonem vokal, maka berlakulah aturan
sandhi. Contoh : wyagra, dst
Arti Awalan wi-
Berarti sangat
Contoh : wipatha (sangat hancur), dll.
3.2.2. Sisipan
Infiks atau sisipan adalah imbuhan yang disisipkan di tengah kata dasar atau morfem pangkal. Yang termasuk
sisipan dalam bahasa Kawi adalah : -in-, -um-, -er-, dan -el-. Di antara sisipan tersebut yang paling banyak
digunakan dalam bahasa Kawi adalah sisipan -in- dan -um-. Untuk sisipan -er- dan -el- jarang sekali dipakai
dalam tata bahasa Kawi..
a. Sisipan -in-
Sisipan -in- tidak mengalami perubahan bentuk pada saat disisipkan pada morfem dasar yang diawali dengan
fonem konsonan. Bentuknya akan selalu tetap yaitu diletakkan diantara konsonan pertama dengan vokal
yang mengikutinya. Contoh : kinon (dilihat), pinapah (dipapah).
Apabila morfem dasar diawali dengan fonem vokal mendapat infiks -in-, maka infiks tersebut diletakkan di muka
kata dasar seolah-olah sebagai awalan. Bila kata dasarnya diawali dengan fonem h, maka fonem
tersebut sering kali luluh. Contoh : iningët (diingat), inikët (diikat).
Arti infiks -in-
Berarti menunjukaan kata pasif atau sama dengan awalan di- atau ter- dalam bahasa Indonesia.
Contoh : kinon (terlihat), wineh (diberi) dll.
b. Sisipan -um-
Sisipan -um- akan terletak di antara konsonan pertama dengan vokal berikutnya apabila melekat pada
morfem dasar yang diawali dengan konsonan. Contoh : lumampah (berjalan), gumawe (mengerjakan)
Apabila morfem dasar diawali dengan fonem vokal mendapat infiks -um-, maka infiks tersebut diletakkan di muka
kata dasar seolah-olah sebagai awalan. Contoh : umëtu (muncul), umikët (mengikat).
3.2.3. Akhiran
Akhiran atau sufiks adalah imbuhan yang diletakkan di akhir kata dasar. Yang termasuk akhirran dalam bahasa
Kawi adalah akhiran : -a, -e, -an, -akën, -i, -ka, -man, -wan dan –wati. a. Akhiran -a
Akhiran –a tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan.
Contoh : wëruha (supaya tahu), hilanga (supaya hilang).
Bila akhiran -a melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal maka hukum sandhilah yang
berlaku. Contoh : ratwa (supaya menjadi raja)
Bila akhiran -a melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal i, maka akhiran tersebut akan
berubah menjadi -ana. Dalam hal ini ana termasuk alomorf dari akhiran -a. Contoh : gantyana (akan
membunuh), yuktyana (akan membenarkan)
Arti Akhiran -a
Berarti suatu kejadian yang belum terjadi seperti supaya, agar, akan hendaknya, semoga
Contoh : ratwa (akan menjadi raja), nulisa (supaya menulis), anginuma (agar minum).
b. Akhiran -ën
Akhiran –ën tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan.
Contoh : sahutën (supaya digigit), tulungën (supaya ditolong), tonën (supaya dilihat).
Bila akhiran -ën melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal, maka akhiran tersebut akan
berubah menjadi alomorf -n. Contoh : rëngön (dengarlah), wawan (supaya di bawa)
Arti Akhiran -ën
Berarti menyatakan suatu perintah : harus di-, supaya dll
Contoh : wehën (supaya diberi), tonën (supaya dilihat).
c. Akhiran -an
Akhiran –an tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan.
Contoh : wëkasan (akhirnya).
Bila akhiran -an terletak morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal i, maka akhiran tersebut akan
berubah menjadi alomorf -n. Contoh : winursitan (dihormati), binojanan (diberi makan).
Bila akhiran -an melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan vokal, maka hukum sandhilah yang
berlaku. Contoh : tunwan (bakarkan), tirwan (tirukan)
Arti Akhiran -an
Berarti suatu yang di-
Contoh : dinakûinan (diberi upah)
Berarti mirip atau seperti
Contoh : panggungan (seperti arena)
d. Akhiran -akën
Akhiran –akën tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan.
Contoh : warahakën (beritahuan), alapakën (ambilkan).
Bila akhiran -akën melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan vokal, maka hukum sandhilah yang
berlaku. Contoh : tirwakën (tirukan), maryakën (hentikan)
Dapat pula akhiran -akën berubah menjadi akhiran –akëna, bila digunakan untuk membuat kalimat perintah,
yang belum nyata terjadi. Contoh : manggihakëna (akan mendapatkan).
Arti Akhiran -akën
Berarti menyatakan kalimat pasif, sering berarti supaya, akan.
Contoh : wehakën (supaya diberikan)
e. Akhiran -i
Akhiran -i tidak berubah apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh konsonan. Contoh : susupi
(masuklah), tinghali (lihatlah).
Bila akhiran -i melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal maka hukum sandhilah yang
berlaku. Contoh : umare (mendatangi)
Bila akhiran -a melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal i, maka akhiran tersebut akan
berubah menjadi -ani. Contoh : amatyani (membunuh).
Arti Akhiran -i
Berarti melakukan pekerjaan
Contoh : malare (menyakiti), tumangisi (menangisi)
Bila akhiran -ka melekat pada morfem dasar yang berakhir dengan bunyi vokal, maka akhiran tersebut tidak
mengalami perubahan.
Arti Akhiran -ka
Berarti banyak
Contoh : balaka (anak-anak).
g. Akhiran -man
Selamanya bentuk akhiran -ka tidak mengalami perubahan apabila melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh
vokal. Contoh : guóaman (berguna).
Arti Akhiran -ka
Berarti mempunyai atau mengandung
Contoh : guóaman (mempunyai guna).
h. Akhiran –wan
Bentuknya tidak mengalami perubahan ketika melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh vokal /a/.
Contoh : dharmawan (mengandung kebenaran), himawan (mengandung salju).
Arti Akhiran -ka
Berarti mempunyai atau mengandung
Contoh : guóawan (mempunyai guna).
i. Akhiran -wati
Akhiran -wati biasanya dipakai untuk wanita. Ini biasanya melekat pada morfem dasar yang diakhiri oleh vokal
/a/. Contoh : satyawati (mengandung kesetiaan), tirtawati (mengandung air).
3.2.4. Imbuhan Gabung
Imbuhan gabung adalah imbuhan yang merupakan gabungan antara dua buah imbuhan atau lebih, yang
dibubuhkan pada morfem dasar tidak bersamaan. Imbuhan gabung dalam bahasa Kawi antara lain : (um + a),
(um + akën), (in + akën), (in + an), (ma + akën). a. Imbuhan Gabung um + a
Sama dengan bentuk sisipan -um- dan akhiran -a
Contoh : tumuruna (akan menurun), gumantya (akan mengganti)
Arti :
Berarti melakukan suatu pekerjaan
Contoh : gumantya (akan mengganti).
d. Imbuhan Gabung in + an
Sama dengan bentuk sisipan -in- dan akhiran -an
Contoh : winarahan (diajarkan), inujaran (dikatakan)
Arti :
Berarti kata kerj a pasif
Contoh : inaranan (dinamai), rinasan (dirasakan).
e. Imbuhan Gabung ma + akën
Sama dengan bentuk sisipan -ma- dan akhiran -akën
Contoh : mojarakën (mengatakan), macaritàkën (menceritakan)
Arti :
3.2.5. Konfiks
Konfiks adalah suatu imbuhan yang melekat secara bersama-sama antara awalan dan akhiran pada kata dasar.
Konfiks dalam bahasa Kawi : (ka + an) dan (pa + an).
a. Konfiks ka + an
Pembentukan
Konfiks ka + an ka + wan Contoh : kadatwan (kerajaan) Konfiks ka + an ka + n Contoh :
kawikon (kependetaan) Konfiks ka + an ka + n Contoh : kasaktin (kesaktian)
Arti :
Berarti suatu tempat
Contoh : kadatwan (tempatnya ratu)
Berarti halnya, keadaan, status
Contoh : katëkan (halnya datang)
b. Konfiks pa + an
Pembentukan
Konfiks pa + an pa + n, bila pada kata dasar yang berakhir dengan /a/ Contoh : patapan (tempat pertapa),
patirthan (tempat tirtha)
Konfiks pa + an ka + wan, bila kata dasarnya berakhir dengan /u/
Contoh : paburwan (tempat berburu), patukwan (tempat membeli)
Arti :
Berarti menyatakan suatu tempat
Contoh : palëmbwan (tempatnya lëmbu)
3.3. Kata Ulang
Dalam bahasa Kawi tidak terlalu banyak macam pengulangan. Adapun proses pengulangan kata dalam bahasa
Kawi di antaranya :
3.3.1. Kala Ulang Murni
Kata ulang ini adalah bentuk utuh morfem dasar yang diulang sehingga menghasilkan kata ulang murni. Secara
tradisional kata ulang ini dinamakan ‚dwisama lingga‛.
Contoh : kina-kina (sangat kuno), kral-kral (sangat kuat), ila-ila (sangat berpantang).
3.3.2. Kata Ulang Dwi Purwa
Kata ulang dwi purwa adalah kata ulang sebagian di mana diadakan pengulangan pada suku pertama bentuk
dasarnya. Pendwipurwaan di sini sekaligus dibubuhi akhiran -an dan tanpa dibubuhi akhiran -an.
- Kata ulang dwi purwa tanpa akhiran -an, misalnya : gegecok (lauk), tutunggal (satu)
- Kata ulang dwi purwa dengan akhiran –an, misalnya : gegedahan (biru muda), gegeperan (bergetar).
3.3.3. Kata Ulang Berimbuhan
Kata ulang berimbuhan adalah kata ulang yang telah mengalami proses afiksasi mungkin berupa awalan, sisipan,
akhiran dan konfiks.
- Kata ulang berawalan, contoh : aburu-buru (berburu-buru), aturu-turu (tidur terus-menerus)
- Kata ulang bersisipan, contoh : gumuyu-muyu (tertawa-tawa), tinuna-tuna (terputus-putus)
- Kata ulang berakhiran, contoh : ayam-ayaman (seperti ayam), gurung-gurungan (kerongkongan).
b. Ciri Konstruksi
Apabila kata majemuk mendapat imbuhan maka imbuhan itu dibubuhkan pada awal unsur kata majemuk yang
pertama atau paling akhir unsur kata majemuk yang terakhir. Demikian pula jika mendapat konfiks
atau inbuhan gabung maka ia diperlukan sebagai suatu kata dan susunan unsur tidak dapat dibalik. Contoh :
janaruga (simpati). Bila diberi konfiks ka + an kajanuragan (tentang simpati)
c. Ciri Unsur
Kata majemuk antara unsur-unsurnya tidak dapat disisipkan sebuah morfem lain. Jadi antara unsur-unsur tidak
dapat dipisahkan. Apabila dipaksa disisipkan kata lain di antara unsur-unsurnya maka bentuk
konstruksinya bukan lagi kata majemuk mungkin menjadi frase atau bentuk lain. Contoh : ramarena (kedua orang
tua).
d. Ciri Tekanan
Tekanan pada kata majemuk selalu jatuh pada suku terakhir dari unsur yang terakhir pula. Contoh : priyahita
(ramah-tamah).
Pada kata majemuk tekanan ini jatuh pada suku terakhir dari unsur yang kedua yaitu suku ta pada kata hita.
Apabila tekanan jatuh pada suku terakhir pada unsur yang pertama ya pada kata priya, maka kata itu bukan kata
majemuk
3.3.5.2. Macam-macam Kata Majemuk
Jika dilihat dari sifatnya kata majemuk dibedakan menjadi dua yaitu kata majemuk yang bersifat endosentris dan
kata majemuk eksosentris.
Kata majemuk endosentris adalah kata majemuk yang distribusinya sama dengan salah satu atau semua
unsurnya. Contoh : jatugreha (rumah damar).
Kata majemuk eksosentris adalah kata majemuk yang salah satu unsurnya tidak dapat menggantikan seluruh
unsurnya. Contoh : priyahita (ramah-tamah).
Dilihat dari strukturnya, kata majemuk dapat dibedakan menjadi :
Kata majemuk setara adalah kata majemuk yang usur-unsurnya tidak saling menerangkan tetapi
berkedudukan. Contoh : bapebu (ibu bapak), danapunya (sedekah), jatukarma (jodoh), wahyàdhyàtmika
(jasmani rohani).
Kata majemuk tidak setara adalah kata majemuk yang salah satu unsurnya menerangkan unsur yang lain.
Contoh : dewaputra (putra dewa), yamabrata (nama sumpah), jatugreha (nama rumah), kurukûetra (nama
lapangan).
Perlu dicatat bahwa kata majemuk dalam bahasa Kawi ada yang berstruktur asli Kawi yang menuruti hukum
Diterangkan (D) Menerangkan (M) mendahului yang Diterangkan (D). Bentuk ini sama-sama dipakai dalam
bahasa Kawi.
Arti Kata Majemuk :
Menyatakan arti kumpulan dari kedua unsurnya
Contoh : bapebu (ibu bapak), punya papa (baik-buruk), suràpsarì (dewa-dewi)
Menyatakan arti mengeraskan
Contoh : wëlas arëp (belas kasihan), priya hita (sopan santun), suka trëpti (suka dan puas)
Melakukan pembatas arti
Dalam hal ini unsur yang kedua membatasi arti atau memberi penjelasan yang pertama (unsur pusat)
Contoh : kurukûetra (nama lapangan), surànggana (bidadari), suràjaya (raja dewa), anak hyang (anak dewa),
jatugreha (rumah damar).
Contoh Teks :
Berikut ni adalah teks cerita Bhagawan Dhomya dan Ketiga Muridnya yang diambil dari Àdiparwa.
Bhagawan Dhomya
rahina wêngi. Katon tàwak nira ngkàneng sawah e sang guru. Mojar bhagawàn Dhomya ri sira, kinon ta ya
siràwungwa.
yasmat kewàrakhaóðena wardanye pi sangsthitaá, tasmàd wawarika bhùtwà dhàrakaá munin aruniá
‚Anakku sang Àruóika, atyanta ring dhàraka. Pawungwa tànaku. Sang Addyayatu (Uddalaka) ngaranta,
manambakakên awakta ring wway makanimitta bhaktinta ring guru.
úreyo ‘wàsyanti yo siddhiá“
Astwanêmwa kita sukha, siddhimantrà wàkbajrà kita‛
Nàhan ta pamarìkûa bhagawàn Dhomya ri sang Àruóika. Tumùt sang Utamanyu pinarìkûa nira. Ya ta kinon ir
mahwana ng lêmbu. Yatna tingkah nira n pahwan irikang goh. Hàraka sang Utamanyu mahwan; ulih nirànasi
ndatan pawwat nasi tasyan sira ri ðang hyang guru. Ojar ta sang guru:
‚Anaku sang Utamanyu. Krama ning úiûya yan gurunhakti; mawwat nasi solih nirànasi karma nikà.
swayam aúrayamakopajìwana
Solihtànasi tan yogya bhuktinta.‛
Mangkana ling nira mpu guru. Manêmbah ta sang Utamanyu, umupakûamàkên i úìla nira n salah. Irikang
sakatambay eñjing lumampah ta siràhwan, sumêlang manasi muwah. Solih nirànasi ya ta pawwat nire ðang
hyang guru. Huwus niràwwat taysan, manasi ta sira muwah, pinakopajìwa niràhwan ikang lêmbu. Katinghalan
tànasi ping rwa, inuhutan ta sira de sang guru, apan lobha ngaran ing mangkana. Ndatan panasi ping rwa
pinakopajìwanà nira, ling ning guru. Dadi sira minum irikang kûìra tatúeûa ning lêmbwanusu. Tinakwanan ta sira
hàraka nira de ning guru, màjar sira yar pamöh tatúeûa ning lêmbwanusu. Ling nira sang guru:
‚Udù, mangkin tan yogya ulahteku, apan malap gurudåwya. Tan dadi ring úiûya mangan dåwya ning guru‛.
Mangkana ling nira mpu. Mari ta sira minum susu. Hana wêrêh ning watsa mêtu sangkeng tutuknya yan panusu
warêg sinuswan ing indungnya. Ya tikà dinilat nira, pinakopajìwa niràngrakûekang lêmbu. Muwah ta sira tinañan
de ðang àcàrya guru ryàhàra nira, màjar sira yan pangdilat i wêrêh ning watsa n tumibeng lêmah, pinakàhàra
nira, màjar ta sang guru:
‚Ai anaku sang Utamanyu, tan yogya ike àhàranta. Ikang watsa wruh ikà ri lapàntànaku. Saka ri wêlas
nyambêknya kita, hêtunyàngutahakên ulihnyànusu. Tuhun yan wêrêh ngaranya, tan dadi ng wwang kadi kita
mangêpeki pangan ing watsa. Sangkûepanya: manghorati bhukti ning len ngaranya. Haywa pinakàhàra ikang tan
yogya upajìwanà, apan agyang akuru ikang watsa yan mangkana.‛
Nàhan ling nira mpu. Manêmbah ta sang Utamanyu. Ri sakatambayeñjing mahwan ta sira muwah, tatan pamangan
sira. Saka ri lapà nira, amangan ta sira gêtih i rwan ing waduri. Ardhàpanas pwekà gêtih ing rwaning
waduri, sumök ta ya têkeng mata. Andhìbhùta, dadi ta sira wuta tan panon deúa; hàrohara ta siràmet irikang lêmbu.
Hana ta sumur mati. Ngkàna ta sira n tibà kalêbwing sumur, apan tan panon ing màrga nira. Sore
pwekang kàla, mulih tekang wåûabha tan hanàngiring mare kanðangnya. Ndatan katon sira mulih de nira mpu,
hàrohara ta siràmet i úiûya nira. Irikang sakatambesuk inulatan de ðang hyang guru, kapanggih ta sireng jro
sumur mati. Tinañan pwa sira kàraóa ning kalêbwing sumur mati, màjar ta sang Utamanyu yan wuta, amangan
gêtih ing waduri saka ri lapà nira n inuhutan de ðang hyang guru mangdilata wêrêh ning watsa.
Saka ri kàruóya bhagawàn Dhomya wineh ta sang Utamanyu mantra Aúwinodewaràjani uccàraóàkêna nira, matang
yan marya wuta. Apan sang hyang Aúwinodewamantra de sang guru. Ndatan madwa sang hyang mantra,
ðatêng ta sang hyang Aúwinodewa maweh anugraha tumpihangin kinonakên wurungan wuta. Ya ta panganên ira
pakoûadhà ni laranya, niyata warasa. Pinangan ira pwa ya ta,
cakûur arogyaý bhawati
muwah ta sira paripùróa indra ning mata nira, tan hana kawikàra ning akûi wêkasan. Sukha ta bhagawàn
Dhomya tumon i sang Utamanyu.
Siddhiúàstrànugrahomi
Manganugrahàni ta sira úàstra siddhi lawan, tatan kêneng tuhàtah rùpanyanaku.‛ Nàhan ta ling bhagawàn
Dhomya manganugrahe sira.
Tumùt sang Weda pinarìkûa nira. Kinon ira tamolaheng padangan, kumawwatakêna taðah nira sari-sari. Saka ri
bhakti nira sang Weda ring guru, tumùtakên ike panas tìs nira mpu ðang hyang, yatna ri sapakon ira,
inanugrahan ta sira sarwawidyà saha wedamantra mwang kasarwajñànan, mulih ta sire patapan ira. Wruh pwa
sira duákha ning sewak, magên-angên ta sira; ‚yan hanà úiûyangku dlàha, wehêngku juga sang hyang mantra,
haywa pinalakwan guruyàga nguniweh pamarìkûa ni guruúuúrùûanya.‛ Mangkanàngên-angên ira. Tadanantara
hana ta úiûya nira hañar ðatêng, sang Uttangka nàma nira. Tumuluy ta wineh sang hyang Weda tan pamalakwa
guruyàga. Salwir ning agama têlas kahaji de sang Uttangka.
Daftar Pustaka:
Agastia, IBG, 1994. Kesusateraan Indonesia, Sebuah Pengantar, Denpasar : TU Warta Hindu Dharma.
, 1987. Sagara Giri, Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna, Denpasar : Wyàsa San