Dosen Pengampu:
Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd
Oleh:
1. Ni Wayan Nik Suniasih (2011011049)
2. Ni Wayan Megi Pariantini (2011011053)
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
karunianya saya dapat dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Lontar Kala
Tatwa”. Walaupun beberapa hambatan yang kami alami selama proses
pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
kami pun menyadari di dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh dari
kata sempurna, maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
positif untuk mencapai sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan bagi para pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Hindu adalah salah satu agama besar di dunia yang lahir di India. Kata Hindu
adalah perkembangan ucapan dari kata indu yang artinya bintik air suci, kemudian
menjadi kata sindu selanjutnya menjadi Hindu, terakhir menjadi India. Agama
Hindu adalah agama Weda, jadi indikasi atau ukuran bahwa suatu agama itu adalah
Hindu bila ajarannya bersumber pada Weda (I Gede Sura dkk, 1988/1999:26-27).
Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar yaitu tatwa, etika, dan Upacara,
ketiganya merupakan satu kesatuan yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh umat
Hindu (Upadesa, 1967 :14). Katatattwa merupakan istilah filsafat yang didasarkan
atas tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat itu, yakni suatu kebenaran sejati yang
hakiki dan tertinggi (Sudharta, 1985: 4). Secara etimologi, filsafat berasal dari kata
majemuk Filo (cinta) dan Sophia (kebijaksanaan). Filsafat berarti cinta pada
kebijaksanaan. Dengan pertimbangan yang sehat akan mencapai kebenaran. Dalam
ajaran agama Hindu, suatu kebenaran adalah pelaksanaan dari ajaran dharma
(Poedjawiatna, 1980 : 2) Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki keterangan atau
sebab yang sedalam-dalamnya sehingga manusia itu mampu tahu. Filsafat juga
dikatakan suatu ilmu yang bersifat alamiah yaitu dengan sabar menuntut kebenaran
bersistem dan berlaku umum (Sura, 1991:12).
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethis yang berarti kesusilaan lebih
tepatnya to ethos yang berarti kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan. Etika ialah
1
pengetahuan tentang kesusilaan, kesusilaan berbentuk kaedah-kaedah yang berisi
larangan-larangan untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam etika akan
didapati ajaran-ajaran tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk (I
Gede Sura dkk, 1994 :32).
Sedangkan Upacara berasal dari bahasa Sansekerta yaituUpa dan Cara. Kata
Upa berarti berhubungan dengan, sedangkan Caraberasal dari kata ca yang berarti
gerak. Dengan demikian upacara adalah segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan gerak atau dengan kata lain upacara adalah pelaksanaan dari upakara-
upakara dalam satu yadnya dari awal sampai dengan pelaksanaan suatu yadnya
tertentu ( Putra, 1988: 13 ).
Jika dikaitkan dengan sastra pada awal mula segala sastra adalah religius
(Mangun Wijaya, 1988 : 11). Apa yang disampaikan Mangun Wijaya tersebut
tidaklah dapat disangkal, karena pada awal sastra itu lahir oleh pengarangnya sudah
dibebani nilai pendidikan kebenaran ( Dharma) sebagai pengejawantahan inti ajaran
agama. Masyarakat penikmat sastra secara tidak langsung akan menghayati apa
yang diselipkan pengarang melalui karya sastra baik yang ditulis secara eksplisit
maupun secara implisit. Begitu juga dengan yang ada dalam lontar Tattwa kala.
Dalam Kala Tattwa ini diceritakan bagaimana sulitnya Sang Hyang Kala mencari
Ayah Ibunya karena beliau dianggap masih kotor. Akhirnya diberi petunjuk oleh
Bhatara Siwa agar memotong gigi taringnya.
Isi dari lontar tattwa kala sangat sarat akan ajaran yang mengacu pada Tiga
Kerangka Dasar agama Hindu khususnya Tattwa dan Upacara. Karena itulah
menjadi suatu ketertarikan bagi saya untuk mencoba menganalisa Lontar Kala
Tattwa ini berkaitan dengan Filsafat dan Yadnya yang terkandung di dalamnya.
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Makna Tattwa (filosofis) apakah yang terkandung dalam Kala Tatwa ?
2. Pendidikan etika apakah yang terkandung dalam Tatwa Kala ?
3. Pendidikan upacara apakah yang terkandung dalam Tatwa Kala ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Makna Tattwa (filosofis) yang terkandung dalam Kala
Tatwa.
2. Untuk mengetahui Pendidikan etika yang terkandung dalam Tatwa Kala.
3. Untuk mengetahui Pendidikan upacara yang terkandung dalam Tatwa
Kala.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Kata tatwa merupakan istilah filsafat yang didasarkan atas tujuan yang hendak
dicapai oleh filsafat itu, yakni suatu kebenaran sejati yang hakiki dan tertinggi
(Sudharta, 1985: 4). Menurut Simpen (1985:216) tatwa artinya tutur, cerita,
melajahin tatwa utama. Dalam ajaran agama Hindu pandangan tentang kebenaran
disebut Tatwa. Kata Tatwa berasal dari bahasa sansekerta yang jika diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia berarti “kebenaran, kenyataan” (Sura, 1981:16). Lontar-
lontar di Bali menyebutkan kata tattwa inilah yang dipakai untuk mengungkapkan
kebenaran. Karena segi memandang kebenaran berlainan, maka benarnya sebuah
kebenaran itu adalah sesuai dengan bagaimana orang memandangnya, walaupun
kebenaran itu hanya ada satu.
Berdasakan uraian di atas, maka filsafat yang terkandung dalam Tatwa Kala
adalah Upacara metatah/mesangih/mepandes yang tujuannya secara filosofis
adalah mengendalikan sad ripu, bagi anak-anak yang secara biologis dan psikologis
sedang menuju kearah guna satwam dan dharma.
Upacara metatah berkaitan pula dengan swadharma orang tua yang mempunyai
tanggung jawab pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya ke jalan dharma.
Usaha tersebut ditempuh dengan jalan ritualnatahin. Ini semua mempunyai makna
agar giginya tidak kotor atau tidak berbisa lagi sehingga bisa meninggalkan bhuta
kala yang disebutsad ripu.
4
Upacara metatah/mesangih/mepandes dilakukan dengan cara memotong empat
buah gigi seri dan dua buah taring. Jadi ada enam buah gigi yang diasah (simbol
menghilangkan sad ripu). Hal ini sesuai dengan cerita yang terdapat dalam Lontar
Tatwa Kala yaitu saat Hyang Kala tidak dapat bertemu dengan Ayah Ibunya, lalu
bhatara Siwa meminta agar taringnya dipotong, setelah itu baru beliau mau
menjelaskan siapa ayah-ibunya.
Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan berikut :
Lah yan mangkana punggelen rumuhun syung ta ring tengen maran kapangguh
bapa-bunta. Ta adwa ku ri kita, mangke hana panugran kwa ri kita, jah tasmat
umangguhang kita kesadyan, umawak kita ring sarwa mambekan, kapisara k ita
mangke, mahyun kita mejaha wenang, mahyun kita marupa wenang, apan kita anak
ingsun, ya teki ibunta Bhatari Uma. Mangkana ling Bhatara.
Artinya :
Nah kalau demikian potonglah terlebih dahulu taringmu baru ketemu ayah ibumu,
aku tidak akan berbohong padamu, sekarang ada anugrah untukmu, semoga engkau
memperoleh kebahagiaan, engkau wujudkan semua yang bernafas terserahlah
kamu, jika kamu inign membunuhnya boleh, jika kamu ingin menghidupkan boleh,
sebab engkau anakku dan ibumu dewi Uma. Begitulah perkataan Bhatara.
Jelas dalam hal ini menunjukkan bila mampu mengendalikan sad ripu akan
mencapai kebahagiaan. Upacara metatah yang dilakukan bertujuan sebagai
penyucian dan tidak terbelenggu oleh sifat-sifat sad ripu. Upacara ini mengandung
arti penting bahwa orang tua tidak semata-mata menunaikan kewajibannya untuk
membayar hutang kepada anaknya. Bila orang yang belum melaksanakan upacara
dianggap belum memnuhi swadharma sebagai orang tua, sehingga dikatakan masih
berhutang kewajiban terhadap putra-putrinya. Apabila sudah melaksanakan upacar
potong gigi maka kelak sesudahnya meninggal dapat bertemu dengan Bapak Ibunya
di akhirat. Orang tua disini adalah sebagai penciptanya yakni Ida Sang Hyang
Widhi Wasa.
5
Selain itu upacara metatah ini juga memiliki tujuan untuk menghilangkan
kekotoran diri dalam wujud kala, bhuta dan pisaca serta raksasa dalam artian jiwa
dan raga diliputi oleh sifat sad ripu. Sehingga dapat menemukan hakekat manusia
sejati untuk menghindari hukuman di alam neraka nanti, yang dijatuhkan oleh
bhtara Yamadipati berupa menggit pangkal bambu petung.
Tata cara pelaksanaan yadnya potong gigi yang umum dilaksanakan di bali
kebanykan masih melakukan sistem desa-dresta atau loka-dresta sehingga dalam
pelaksanaan pada masing-masing daerah sedikit berbeda. Tatanan dalam
pelaksanaan upacara potong gigi dapat dibagi menjadi lima rangkaian yaitu :
1. Upacara Pekalan-kalan
Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum upacara potong gigi, biasanya
dilaksanakan pada sore hari dengan sarana berupa upakara caru ayam brumbun,
biasanya dibuatkan sanggar agung sebagai tempat pemujaan kehadapan Sang
Hyang Smarajaya dang Sang Hyang Smara Ratih. Karena itu caru diletakkan
persis di depan tempat pemujaan.
Upacara ini bertujuan sebagai korban suci ke hadapan Bhatara Kala agar
pengaruh keburukannya dapat dinetralisir menjadi pengaruh kedewataan yang
berguna bagi anak dalam mengarungi salah satu unsure Tri Upasaksi yaitu
Bhuta saksi.
2. Upacara Pengekeban
Upacara pengekeban biasanya dilakukan di sebuah bangunan (bale) yang
terkurung dan diberi hiasan sehingga kelihatan indah dengan dipasangkan
sanggah Ardha Candra yang berisi upakara disebelah kanan dan kiri pintu
masuknya. Sanggah Arda Candra tersebut merupakan tempat pemujaaan Sang
Hyang Kama Bang disebelah kiri dan Sang Hyang Kama Petak disebelah kanan
dari raha keluar pintu.
Kata pengekeban berasal dari kata ngekeb yang artinya mematangkan dengan
pada hari itu terjadi suatu proses perubahan status dari status anak dengan Dewa
6
pelindungnya Sang Hyang Kumara menjadi status remaja dengan Dewa
pelindungnya Sang Hyang Smarajaya/ Sang Hyang Smara Ratih.
Sewsungguhnya pada pelaksanaan upacar tingkat inilah dilaksanakan pedidikan
budi pekerti berupa petuah-petua sebagai santapan rohani bagi anak. Dengan
harapan agar anak mampu mengadakan perubahan pada dirinya terutama
mengubah kebiasaan-kebiasaan yang buruk menjadi kebiasaan baik.
7
kehadapan Sang Hyang Smara Ratih. Pada tempat ini kegiatan upacara potong
gigi dipusatkan disaksikan oleh warga masyarakat sehingga terlihat meriah.
Pada pelaksanaan inilah terlhat unsure budaya dan adat Hindu karena proses
estetikanya sedang berjalan dan proses kekerabatan, keakraban warga
masyarakat sehingga menjadi salah satu dari Tri Upasaksi yaitu manusa saksi.
5. Upacara Mejaya-jaya
Setelah selesai pemotongan gigi maka dilanjutkan dengan upacara mejaya-jaya.
Mejaya-jaya berasal dari kata jaya yang artinya menang atau restu, karena saat
itulah pemimpin upacara memohonkan restu ke hadapan Sang Hyang Siwa
Guru agar anak yang potong gigi dianugrahi kemenangan dalam berpikir, dalam
perbuatan dan menang dalam berbicara. Upacar potong gigi belum dianggap
selesai jika belum melaksanakan mejaya-jaya karena segala kegiatan
keagamaan sangat erat hubungannya dengan permohonan restu kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa.
8
Jika manusia melanggar hal-hal yang ditetapkan diatas itu berarti bertentangan
dengan etika. Maka akan mendapatkan penderitaan yang disimboliskan dimakan
oleh Sang Hyang Kala. Tetapi kalau berbuat kebaikan dengan mengikuti aturan-
aturan tersebut maka manusia akan dibantu oleh Sang Hyang Kala. Karena pada
umumnya manusia yang baik adalah bersahabat dengan Sang Hyang Kala.
Demikian perilaku manusia selama hidupnya berada pada jalur yang berbeda,
sehingga dengan kesadarannya dia harus dapat menggunakan kemapuan berkata
dan kemapuan untuk berbuat. Kemampuan itu sendiri hendaknya diarahkan pada
subha karma (perbuatan baik). Karena jikasubha karma yang menjadi gerak pikiran,
perkataan, perbuatan maka kemapuan yang ada pada diri manusia akan menjelma
menjadi perilaku yang baik dan benar. Sebaliknya apabila asubha karma y ang
menjadi sasaran gerak pikiran, perkataan dan perbuatan maka kemampuan itu akan
berubah menjadi perilaku yang salah atau buruk.
Berdasarkan hal itu, maka salah satu aspek kehidupan manusia sebagai
pancaran dari kemampuan atau daya pikirnya adalah membeda-bedakan dan
memilih yang baik dan benar bukan yang buruk dan salah. Seperti yang dijelaskan
dalam kitab Sarasamusccaya sloka 2, sebagai berikut :
Manusah sarvabhutesu,
Vartate vai cubhe,
Asubhesu samavistam,
Cubhesvevakarayet.
Artinya :
Diantara semua mahluk hidup hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang
dapat melaksanakan perbuatan baik maupun buruk ; leburlah dalam perbuatan baik,
segala perbuatan yang buruk itu. Demikianlah gunannya (phalanya) menjadi
manusia (Kajeng,dkk, 1997:7).
9
2.3 Pendidikan Upacara Yang Terkandung Dalam Kala Tatwa
Kala Tatwa menguraikan tentang yadnya (Tatwa Kala, 2005:5) seperti terdapat
dalam kutipan berikut :
”Karena itu orang harus mengetahui rincian tentang yadnya diantaranya : Manusa
yadnya, Resi yadnya, Pitra yadnya, Siwa yadnya, Aswameda yadnya itulah tujuh
yadnya namanya yang dapat mengantarkan kesentosaan badan dan seluruh sampai
ke sorga. Oleh karena dapat mengantarkan pada kesejahteraan dunia. Yadnya
adalah sebagai penebusan hukuman kepada Tuhan dari orang yang berdosa, sebagai
pembeli jiwa pada kehidupan masing-masing. Manusa yadnya bermanfaat untuk
menjadikan kokohnya Negara dan kekalnya sang pemimpin. Tata cara beryadnya
dengan membagi-bagikan dana, kesenangan, persembahan, hidangan, umbi-
umbian dan buah-buahan. Kemudian yadnya dalam bentuk upakara dijelaskan
bahwa : adapun yadnya itu beragam bentuknya besar kecil, tawur bentuknya itu
juga bhuta namanya itu menjadi santapanmu. Adapun rinciannya masing-masing,
kalau panca sata sebagai bentuk tawurnya (kekuatan pelindung) selama satu tumpek
(35 hari), kalau panca kelud sebagai tawurnya enam bulan (kekuatan)
perlindungannya. Kalau Rsi gana Agung bentuk tawurnya (kekuatan)
perlindungannya setahun tiga bulan. Kalau Panca Sanak Agung bentuk tawurnya
(kekuatan) perlindungannya lima tahun lima bulan”.
Jadi yadnya itu terdiri dari berbagai macam, seperti dana punia, menyerahkan umbi-
umbian, buah-buahan dan juga termasuk upakara banten tawur, yang memiliki
tenggang waktu tertentu sesuai dengan besar kecilnya suatu yadnya. Khusus dalam
kaitannya dengan sad ripulebih sesuai dengan upakara metatah atau potong gigi.
Upacara potong gigi metatah ini bukanlah semata-mata mencaci keindahan /
kecantikan belaka, melainkan mempunyai tujuan yang mulia.
Jadi pendidikan upakara dalam Tattwa Kala adalah membungkus nilai-nilai
filosofis ke dalam masing-masing upakara dan pelaksanaan upakara. Sehingga
konsep agama Hindu di dalam memahaminya dapat dicerna dari berbagai kalangan
masyarakat umum baik kaum intelektual, orang awam, maupun masyarakat buta
huruf sekalipun.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari uraian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kala Tatwa adalah sebuah naskah lontar yang bersifat siwaistik yang
secara spesifik menjelaskan tentang asal-usul kelahiran Sang Hyang Kala
beserta anugerah-anugerah yang diterima dari orang tuanya-Bhatara Siwa
dan Dewi Uma, yang disajikan dalam bentuk uraian.
2. Makna filosofis yang terkandung dalam Kala Tatwa adalah upacara
metatah (potong gigi). Dalam upacara potong gigi ini ada enam buan gigi
yang dipotong yaitu 2 buah gigi raring dan 2 buah gigi seri. Hal ini
dimaksudkan untuk menetralisir unsur sad ripu (enam musuh) yang ada
dalam diri manusia.
3. Pendidikan etika pada Kala Tatwa adalah manusia diajarkan hidup di jalan
subha karma untuk dapat mendapatkan kebhagiaan dan menjauhi sifat
asubha karma untuk menghindari penderitaan yang disimboliskan dimakan
oleh Sang Hyang Kala.
4. Pendidikan upakara yang terkandung dalam Kala Tatwa adalah yadnya itu
terdiri dari berbagai macam, seperti dana punia, menyerahkan umbi-
umbian, buah-buahan dan juga termasuk upakara banten tawur, yang
memiliki tenggang waktu tertentu sesuai dengan besar kecilnya suatu
yadnya. Jadi pendidikan upakara dalam Kala Tatwa adalah membungkus
nilai-nilai filosofis ke dalam masing-masing upakara dan pelaksanaan
upacara.
11
DAFTAR PUSTAKA
Gami Sandi Untara, I Made dkk. 2020. Etika Hindu Dalam Lontar Tatwa Kala.
Widya Katambung:Jurnal Fisalfat Agama Hindu. Vol.12. 1-19.
12