Anda di halaman 1dari 30

PENGANTAR

AGAMA YAHUDI

A. PENDAHULUAN
Ada berbagai gagasan dalam usaha memahami atau memberikan definisi
tentang agama Yahudi. Louis Finkelstein, The Jews, Their Religion and Culture,
menggambarkan agama Yahudi sebagai “suatu cara hidup yang berusaha merubah
setiap hakekat perbuatan manusia menjadi suatu cara yang berhubungan dengan
Tuhan. Buku “The Great Religion by which men Live” karya Floyd H. Ross dan
Tynette Hills mencatat agama Yahudi sebagai “ibu kandung dari dua agama lain,
yaitu Masehi dan Islam. Ketiga agama ini menjadi agama-agama besar dunia yang
melaluinya umat manusia mewarisi banyak ide keagamaan, etika dan ritus.” Akan
tetapi, Abraham A. Neuman mengatakan, bahwa agama Yahudi adalah agama yang
dianut hanya oleh segolongan kecil manusia yang jumlahnya tidak lebih dari enam
juta jiwa sebelum Perang Dunia II dan sekarang menjadi sekitar sepuluh atau sebelas
juta.”
Agama Yahudi dianggap sebagai salah satu agama monoteis. Lebih dari hanya
sekedar suatu agama atau kepercayaan, ia adalah suatu kekuatan yang ingin
mempengaruhi cara berfikir dan cara hidup manusia. Ia adalah satu agama yang
menyatakan dirinya sebagai agama tertua di dunia ini dan berasal dari Nabi Ibrahim
a.s. Disebutkan pula, bahwa agama Yahudi, yang lebih dikenal dengan Judaism,
dinamakan juga dengan The Wisdom of Israel atau Hebrew Religion. Dalam Jewish
Encyclopaedia, agama tersebut diartikan sebagai ‘suatu bentuk hidup yang
didasarkan pada kebapakan Tuhan serta wahyu-Nya.” Ada pula penjelasan yang
menyatakan bahwa agama Yahudi itu merupakan suatu sistem keyakinan dan
penyehatan yang dihubungkan dengan ide ketuhanan serta perwujudan suatu bangsa
tertentu sebagai bangsa pilihan Tuhan. Orang Islam cenderung mengartikannya
sebagai “agama yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. sebagai nabinya dan Taurat
sebagai kitab sucinya.” Akan tetapi selain dari Musa, bangsa Yahudi, yang dikenal
juga dengan Bani Israel itu, masih memiliki banyak nabi yang disebut nabi-nabi
Israel. Nabi-nabi ini juga merumuskan berbagai tata cara dan ajaran untuk kaumnya.
Selain nabi, mereka juga mengenal lembaga kependetaan atau rabbi atau rahib, yang
banyak juga jasa mereka dalam pembinaan agama Yahudi sepanjang sejarahnya. Oleh
sebab itu, mungkin arti yang lebih tepat bagi agama Yahudi adalah “agama yang
dihasilkan oleh proses perkembangan sejarah Bani Israel yang sudah melalui masa
sekian lama, ditumbuhkan dari ide Taurat, Talmud, dan watak pembawaan bangsa itu
sendiri.”
Akan tetapi, hendaknya disadari bahwa mengetengahkan suatu definisi yang
jitu mengenai agama ini merupakan satu kesulitan tersendiri. Yang jelas adalah,
bahwa agama Yahudi mendasarkan diri pada dua hal yang prinsip, yaitu Keesaan
Tuhan dan Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan. Ia menolak segala bentuk berhala dan
politeisme. Di samping itu, agama ini juga memberikan tekanan dan penghargaan
yang tinggi sekali, tehadap hukum. Dalam Encyclopaedia Britannica, jilid 7,
dijumpai keterangan bahwa “hukum ini yaitu hukum Yahudi terbagai atas dua
macam, hukum tertulis atau Taurah she-be-khetabah dan hukum tidak tertulis atau
Taurah she-be-al Peh.” Hukum yang diturunkan Tuhan di Gunung Sinai berisi
perintah-perintah dan larangan-larangan umum yang terperinci. Kitab Keluaran
24:12-15 petunjuk-petunjuk Tuhan yang menjelaskan hukum tertulis; dan “ itulah
agama Yahudi.
Selain itu perlu juga diketengahkan tiga istilah penting yang sangat sering
terpakai dalam menamakan umat atau bangsa yang disebut Yahudi itu, yaitu Yahudi,
Ibrani, dan Israel. Perkataan atau istilah “yahudi” berasal dari kata “hada”, bahasa
Ibrani yang berarti “taubat” dan “kembali”. Ini dihubungkan dengan perkataan Musa
yang pernah diucapkannya: “Inna hudna ilaika”, artinya kami tunduk dan kembali
taubat”. Ibrani berasal dari kata “abara” yang berarti “menyebrang”. Dinamakan
“Ibrani” kaena mereka datang dengan menyeberangi sungai Eufrat di bawah
pimpinan Ibrahim a.s. Sedang perkataan “Israel” dipakai juga. Ini dinisbatkan kepada
nenek moyang mereka yaitu Ya’kub yang juga dinamakan Israel. Karena itu mereka
dikenal sebagai “Bani Israel”. Diantara nama-nama tersebut di atas, yang paling lama
dan populer adalah “Yahudi” atau “Judaisme” dalam literatur Barat, tetapi orang
Yahudi sendiri lebih senang menamakan diri mereka dengan “Israel”.
Sementara itu, Ahmad Salabi berpendapat bahwa “Ibri” atau “Hebrew” adalah
nama yang diberikan sendiri oleh Ibrahim kepada kaumnya, karena tempat kediaman
mereka berada di seberang sungai Eufrat, atau mungkin juga yang dimaksud adalah
sungai Yordan. Kemungkinan lain dikemukakan oleh Israel Willvinson. Ia
mengatakan, “boleh jadi salah seorang leluhur Ibrahim ada yang bernama “Ibrit”.
Kata ini berasal dari fi’il tulatsi atau kata kerja yang berhuruf tiga, ‘abara yang
berarti memotong jalan, menyeberangi lembah, menyeberangi sungai atau melalui
jalan pintas. Baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Ibrani, arti perkataan
‘abara itu adalah sama dan mengandung arti bertukar atau berpindah tempat menurut
pola hidup kaum Badui, penghuni padang pasir yang jauh terpencil atau penduduk
kampung. Dengan demikian, “ibri” berarti “badui”.
Orang-orang Mesir, Kanaan dan Palestina, umumnya menamakan bani Israel
dengan “orang-orang Ibri”, karena mereka hidup di daerah yang diberikan padang
pasir dan berbeda dengan penduduk kota. Sewaktu bani Israel menetap di Kanaan dan
mulai mengenal hidup berbudaya, mereka tidak senang lagi disebut “ibri” dan
sebaliknya mereka menamakan diri dengan bani Israel. Disamping itu ada pula
catatan bahwa orang-orang Kanaan menyebut Ibrahim dengan “ibri” atau “hebrew”.
Maksudnya adalah “orang yang datang dari seberang dengan menyeberangi sungai”.
Yang dimaksud disini adalah sungai-sungai Eufrat dan Trigis. Kemudian
keluarganya dinamakan “ibris” atau “hebrews”.

SEJARAH BANI ISRAEL DAN AGAMA YAHUDI


Kisah bani Israel adalah kisah agama Yahudi sendiri. Membicarakan sejarah
agama tersebut sebetulnya sama dengan membicarakan sejarah bani Israel. Keduanya
sulit dipisahkan karena Yahudi sebagai agama hanya dianut oleh bani Israel.
Permulaan sejarah agama dan bangsa Yahudi yang sebenarnya bermula
dengan zaman Musa. Akan tetapi orang Yahudi telah menggambarkan sejarah bangsa
mereka sebagai suatu sejarah umat manusia seluruhnya; juga sebagai peradaban dan
kebudayaan se antero dunia. Mereka juga menggambarkan akidah mereka sebagai
akidah termulia dan paling benar. Atas dasar ini mereka mencela dan menyerang
dengan terang-terangan sejarah bangsa lain dan, sambil meremehkan kesucian agama
lain, mereka juga meremehkan keagungan pemuka-pemuka atau pahlawan-pahlawan
dunia yang bukan keturunan mereka.
Kalau dilihat dari Perjanjian Lama, sejarah bani Israel dapat dikatakan sebagai
Sejarah Perjanjian Allah. Allah telah mengadakan perjanjian yaitu “akan menjadikan
Ibrahim sebagai bangsa yang besar sambil memberkati dan membesarkan nama-Nya
di muka bumi”. Setelah bani Israel keluar dari penghambaan di Mesir, maka
diadakan-Nya pula perjanjian di bukit Sinai. Tanpa menolak kebenaran kisah
tersebut, sebenarnya sejarah bani Israel itu dapat juga disebut sebagai “sejarah
pengembaraan dan penderitaan”. Sejak zaman leluhur mereka bangsa yang telah
menikmati ketenangan dan ketentraman hidup sebagai satu dan bertanah air dalam
arti sebenarnya. Baru sekarang ini, setelah menetap di Israel, mereka mulai
mengarahkan ke tata kehidupan berbangsa dan bertanah air. Hal ini pun masih harus
ditunggu, apakah mereka berhasil menyingkirkan segala macam halangan dan
rintangan dari bangsa Arab umumnya dan Palestina khususnya yang mereka hadapi.
Sejarah lah yang akan menentukan nanti, apakah sudah sampai saatnya mereka
menikmati janji Tuhan yang disebutkan di atas, atau akan kembali terusir dari bumi
Palestina dan seterusnya menjadi pengembara dan menderita lagi dalam pelarian dan
perantauan. Itu adalah juga urusan sejarah.
Sejarah bani Israel bermula dari kurun waktu sekitar 4000 tahun yang lalu,
ketika di kota Ur di tanah Khaldea hidup Terah beserta keluarganya yang menyembah
matahari dan berhala. Salah seorang putra Terah adalah Ibrahim a.s. yang lahir pada
tahun 2018 S.M.. Terah, atau dinamakan Azar, disamping seorang penyembah patung
atau berhala, adalah juga pembuat dan pedagang berhala itu. Semua putra dan
keluarganya mengikuti keyakinan Terah dan membantu usahanya, kecuali Ibrahim.
Ibrahim menentang penyembahan berhala dan mengajarkan kepada orang tua dan
keluarganya agar menyembah Allah Yang Maha Esa. Untuk itu ia hancurkan segala
berhala yang menjadi sesembahan kaumnya. Perbuatan Ibrahim ini menimbulkan
kemarahan kaumnya, juga raja yang berkuasa di tanah Khaldea waktu itu, Namrud.
Namrud menganggap Ibrahim berbahaya bagi kelangsungan kekuasaannya,
kalau ia dibiarkan terus meracuni orang-orang dengan ajaran yang disampaikannya.
Namrud berusaha menyingkirkan Ibrahim dengan membakarnya dalam api unggun.
Namun Ibrahim selamat dari bahaya api. Pertentangan antara Ibrahim dengan
Namrud semakin tajam, dan Ibrahim akhirnya memutuskan untuk meninggalkan
tempat kelahirannya, pergi ke tempat yang belum tentu arah tujuannya. Dari sini
mulailah sejarah pengembaraan, sejarah Palestina, sejarah bani Israel, sejarah
manusia seluruhnya, dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran
berdasarkan ajaran Tuhan.
Dalam Babylon the Great Has Fallen! God’s Kingdom Rules dinyatakan
bahwa pengembaraan Ibrahim ini terjadi pada tahun 1943 S.M.. Ia disertai istrinya,
sebagian kaum kerabat, hamba sahaya dan hewan ternak mereka. Perjanjian Lama
menjelaskan kisah ini sebagai berikut:
Sebermula maka Tuhan telah berfirman kepada Ibrahim demikian, keluarlah
engkau dari negerimu dan dari keluargamu dan dari dalam rumah bapakmu,
pergilah ke negeri yang akan kutunjuk kepadamu kelak. Maka Aku akan
menjadikan dikau satu bangsa yang besar dan Aku akan memberkati engkau
dan membesarkan namamu, maka hendaklah engkau menjadi suatu berkat.
Maka Aku akan memberi berkat kepada barang siapa yang memberkati akan
dikau dan akan memberi laknat kepada barang siapa yang melaknatkan akan
dikau. Maka dari dalammu juga segala bangsa yang ada di atas bumi akan
beroleh berkat. Maka Ibrahimpun berangkatlah dari sana seperti firman Tuhan
kepadanya dan Luth pun berjalanlah sertanya. Maka tatkala Ibrahim berangkat
dari negeri Haran itu umurnya 75 tahun maka oleh Ibrahim dibawalah akan
Sarah atau Sarai, istrinya dan akan Luth, anak saudaranya, serta segala harta
bendanya yang telah dikumpulkannya dan segala orang yang telah
diperolehnya, hamba sahayanya dari negeri Haran, maka berjalanlah mereka
itu sekalian hendak pergi ke tanah Kanaan, maka sampailah ke tanah Kanaan.

Orang Kanani yang berada di Kanaan waktu itu menyebut Ibrahim dan
rombongannya dengan istilah “ibri”, yang berarti “orang yang datang dari seberang”.
Ibrahim beserta rombongannya kemudian di Kanaan untuk beberapa lama.
Pada tahun 1918 S.M. Ibrahim memperoleh seorang putra dari isterinya,
Sarah, dan diberinya nama Isac atau Ishaq. Ishaq memperoleh seorang putra yang
diberinya nama Ya’qub, yang kemudian bernama Israel dan keturunannya disebut
anak-anak Israel atau Israelites, atau bani Israel.
Menurut Winwood Reade, anak-anak Ibrahim tidak lebih dari Badui Arab.
Mereka pindah dari dataran-dataran tinggi yang terletak di antara sungai Eufrat dan
Trigis, melintasi padang pasir Arabia-Siria, memasuki Kanaan yang terletak di
Punisia, di antara padang pasir dan laut Mediterania.
Ya’qub mempunyai duabelas orang putra dan masing-masing mempunyai
keturunan yang banyak pula, begitu seterusnya, beranak, bercucu dan berkembang
biak. Dalam waktu yang tidak lama mereka menjadi satu suku yang besar dan
berpengaruh terhadap daerah-daerah tempat mereka tinggal. Mereka menjadi
kelompok-kelompok pengembara mencari tempat-tempat yang subur, atau
merebutnya dari suku-suku lain. Daerah yang dijajah bani Israel itu meliputi mulai
dari tanah kelahiran leluhurnya di Ur, wilayah Babilonia, tetangga Persia, terus ke
utara, Haran di wilayah Mesopotamia dan Asiria, kembali ke arah selatan, bagian
barat, Kanaan, tetangga Siria dan Arabia, akhirnya menelusuri pantai timur laut
Mediterania sampai ke Mesir, yang semuanya merupakan daerah-daerah yang amat
penting. Semua daerah ini mempunyai masa lalu yang gilang-gemilang.
Di antara semuanya itu, Mesir merupakan negeri yang paling penting bagi
penempatan Israel sebagai bangsa, sampai-sampai Tuhan menurunkan agama yang
khusus untuk mereka. Keberadaan mereka di Mesir diawali oleh Yusuf, putra
kesebelas dari Ya’qub, yang karena nasib untung dibawa orang ke Mesir dan
akhirnya menjadi pembesar Istana yang bertanggung jawab terhadap harta benda
istana dan kemakmuran rakyat Mesir. Yusuf menyelamatkan orang tua dan saudara-
saudaranya dari kesengsaraan dan kepunahan. Mereka berjumlah 66 orang, dan
disuruh pergi ke Mesir serta diberi tempat bermukim di Gosyem dan pekerjaan
sebagai penggembala ternak anak negeri.
Ya’qub meninggal duni di Mesir dan dimakamkan di Kanaan, di samping
makam Ishaq dan Ibrahim, di salah satu gua di padang Eferon. Adapun Yusuf
meninggal dunia di Mesir dalam usia lebih kurang 110 tahun. Sebelum meninggal, ia
berpesan kepada saudara-saudarany bahwa sepeninggalnya Tuhan akan mengunjungi
mereka dan membawa mereka ke luar dari negeri Mesir, pergi ke negeri yang telah
ditentukan Tuhan untuk mereka. Sampai waktu itu kehidupan keluarga Yusuf dan
saudara-saudaranya di Mesir berjalan amat baik. Mereka mendiami tanah-tanah yang
subur, diberi pekerjaan dan mendapat perlindungan dari penguasa kerajaan.
Setelah Yusuf meninggal, keadaan bani Israel berubah. Pelindung mereka
sudah tidak ada lagi. Mereka tetap terpisah dari bangsa Mesir, baik dari segi agama,
maupun dari sudut sosial budaya. Mereka dianggap tetap orang asing, dan bangsa
Mesir sendiri sejak semula kurang senang atas kehadiran mereka. Ketidak senangan
ini menimbulkan problem sosial bagi bani Israel. Mereka dijadikan budak, dikerja-
paksakan, ditahan perkembangannya, dan setiap bayi laki-laki yang lahir dari wanita-
wanita mereka dibunuh atau dihanyutkan ke sungai Nil.
Kewajiban membuang bayi ke sungai Nil dialami pula oleh sepasang suami
istri keturunan Lewi, yaitu Imran. Imran membuang anak pertamanya ke sungai Nil
dengan meletakkannya dalam sebuah kotak kayu. Akan tetapi kotak yang hanyut dan
berisi bayi tersebut diambil oleh putri Fir’aun, ketika kotak tersebut melintas di
perairan putri itu. Tertarik akan keelokan bayi tersebut, sang putri ingin mengasuhnya
dan menjadikannya sebagai saudara angkat, meskipun ia tahu bahwa bayi itu adalah
bayi kaum Israel. Fir’aun setuju, bahkan menjadikan bayi tersebut sebagai anak
angkatnya sendiri dan menamakannya dengan Musa, sebuah nama bagi seorang lelaki
Mesir. Dengan itu mulailah sejarah agama Yahudi, dan sejak itu pula sejarah bani
Israel menyatu dengan sejarah agsma Yahudi yang melekat pada diri Musa.
Sementara Musa dibesarkan dalam istana Fir’aun, dididik sebagai anak raja-
raja, kaumnya semakin menderita diperlakukan oleh orang-orang Mesir. Mereka
hidup melarat, menjadi budak yang tidak mempunyai hak milik apapun. Penderitaan
ini semakin meningkat bersamaan dengan tumbuhnya Musa menjadi orang dewasa
yang nantinya akan menerima perintah Tuhan untuk memulai pekerjaan
menyelamatkan bangsanya.
Sewaktu Musa telah dewasa dan mendengar penderitaan kaumnyua semakin
berat, ia pergi berkeliling untuk menjumpai mereka. Di suatu tempat, Musa melihat
orang Mesir memukul orang Ibrani. Musa memulai tugasnya membela bani Israel.
Orang Mesir tersebut dibunuhnya dan mayatnya disembunyikan agar tidak diketahui
orang. Akan tetapi perbuatannya ini ketahuan juga dan sampai ke telinga Fir’aun.
Musa tidak berani pulang ke istana, sebaliknya ia pergi menyembunyikan diri ke
suatu tempat di daerah Midian. Di sini ia tinggal di rumah seorang imam dan kawin
dengan putrinya, Zippora. Melalui istrinya ini, Musa memperoleh putra yang
diberinya nama Gersom.
Setelah Fir’aun, ayah angkat Musa, mangkat dan diganti oleh Fir’aun
berikutnya, penderitaan bani Israel di Mesir semakin meningkat. Mereka menjerit dan
mengadukan nasib mereka kepada Tuhan, karena memang mereka diajari demikian
oleh nenek moyang mereka, Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, agar menyembah Tuhan
Yang Esa. Dalam hal ini Perjanjian Lama surat surat Keluaran menerangkan:
Maka didengarlah Allah akan pengaduh mereka itu serta ingalah Allah akan
perjanjian-Nya dengan Ibrahim dan dengan Ishaq dan dengan Ya’qub. Maka
ditilik Allah akan bani Israel serta diketahuinyalah. Sebermula, maka adalah
Musa menggembalakan kawan domba Jetero, mertuanya, imam di negeri
Midian, dibawanya akan kawan domba itu jauh ke dalam padang Tiyah,
sehingga sampailah ia ke bukit Allah, yaitu Horeb. Maka kelihatanlah
kepadanya malaekat Tuhan itu dalam api di tengah-tengah belukar duri, heran,
maka dilihatnya belukar duri itupun bernyala-nyala dengan api, tetapi tiada
juga belukar itu dimakan olehnya. Maka kata Musa, baiklah aku pergi ke sana
hendak melihat ajaib besar itu, yaitu belukar ini tiada hangus. Demi dilihat
Tuhan ia datang hendak melihat, maka berserulah Allah akan dia dari tengah-
tengah belukar duri itu, firman-Nya : Hai Musa, Musa! Maka sembahnya:
Sahaya Tuhan!. Maka firman-Nya: janganlah engkau hampir kemari;
tanggalkanlah kasut daripada kakimu, karena tempat engkau berdiri itu tanah
yang suci adanya. Dan lagi firman-Nya: Aku adalah Allah bapamu, yaitu
Allah Ibrahim, dan Allah Ishaq dan Allah Ya’qub. Maka ditudungkan Musa
mukanya sebab takutlah ia memandang kepada Allah. Maka firman firman
Tuhan: Bahwa sesungguhnya telah kulihat segala aniaya yang berlaku atas
umatku yang di Mesir itu, serta terdengar tangis mereka itu dari karena segala
pengerahnya, bahkan, Aku mengetahui segala sengsaranya. Maka sebab itu
telah Aku turun hendak melepas mereka itu daripada tangan orang Mesir dan
membawa mereka itu keluar daripada negeri ini kepada sebuah negeri yang
baik dan luas, kepada sebuah negeri yang berkelimpahan air susu dan madu,
ke tempat kedudukan orang Heti dan orang Amori dan orang Ferizi dan orang
Hewi dan orang Yebuzi. Marilah sekarang Aku hendak menyuruhkan dikau
menghadap Fir’aun, supaya engkau membawa akan umat-Ku, yaitu akan bani
Israel ke luar negeri Mesir. Maka sembah Musa kepada Allah: Siapa gerangan
hamba-Mu ini, maka hamba akan menghadap Fir’aun dan membawa bani
Israel ke luar negeri Mesir? Maka firman Allah: Bahwasanya Aku kelak
menyertai akan dikau dan inilah akan menjadi suatu tanda bagimu, bahwa
Aku menyuruhkan dikau: apabila bangsa ini telah kau bawa keluar dari Mesir,
maka kamu akan berbuat bakti kepada Allah di atas bukit ini.

Demikian firman-firman Tuhan yang mula-mula diterima Musa dari Tuhan


yang bernama AKU AKAN ADA, YANG AKU ADA. Firman ini mengawali sejarah
dan agama Yahudi dan dengan firman ini Musa mendapatkan bangsanya untuk
menyampaikan firman-firman tersebut kepada mereka: “AKU ADA” telah
menyuruhkan daku mendapatkan kamu”.

AJARAN AGAMA YAHUDI


Menurut kitab Perjanjian Lama, Tuhan telah melakukan dialog langsung
dengan Musa a.s.. Pada waktu Musa masih berada di Mesir, dia sudah menerima
perintah-perintah Tuhan dan mu’jizat-mu’jizat. Setelah ke luar dari sana, inti ajaran
Yahudi diturunkan Tuhan kepada Musa di gunung Tursina atau Sinai. Inti ini terkenal
dengan “Sepuluh Firman Tuhan”. Pada masa ini pula ditetapkan ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan upacara-upacara seperti puasa, korban, sembahyang dan lain-
lain.
Lois Finkelstein, editor buku The Jews, Their Religion and Culture,
menyatakan bahwa segala firman yang diterima Musa dari Tuhan langsung ditulis
Musa di atas sobekan-sobekan kulit hewan atau di batu: “Yang Maha Esa
mendiktekan dan Musa menuliskan pada sobekan”, dan merupakan peristiwa terbesar
bagi kehidupan Musa. Musa merupakan seorang nabi yang intelek. Ia memperoleh
pendidikan raja-raja karena hidup di istana sebagai anak angkat raja sampai dewasa.

Ajaran tentang Tuhan


Esensi agama Yahudi, sebagaimana disebut di atas, terletak pada apa yang
dikenal dengan The Ten Commandments atau Decalogue (asal bahasa Grik, deca =
sepuluh, dan logue = logos = risalah), yang berarti “Sepuluh Perintah Tuhan”.
Perintah tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Aku adalah Tuhanmu, yang telah membawa kamu ke luar dari
Mesir, keluar dari rumah penghambaan. Jangan ada Tuhan bagimu
selain aku.
2. Jangan diperbuat olehmu akan patung ukiran atau akan barang peta
daripada yang dalam langit di atas, atau daripada barang yang di
atas bumi di bawah, atau daripada barang yang di dalam air di
bawah bumi. Jangan kamu menyembah sujud atau berbuat bakti
kepadanya, karena Aku-lah Tuhan, Allahmu, Allah yang cemburu
adanya yang membalas durhaka segala bapa sampai kepada anak-
anaknya dan kepada gilir yang ketiga dan yang keempat pun
daripada segala orang yang membenci Daku. Tetapi Aku menunjuk
kemurahan-Ku akan beribu-ribu gilir orang, yang mengasihi akan
Daku dan yang memeliharakan segala firman-Ku.
3. Jangan kamu menyebut nama Tuhan, Allahmu dengan sia-sia,
karena tiada dibilangkan, Tuhan suci dari segala orang yang
menyebut nama-Nya dengan sia-sia.
4. Ingatlah kamu akan hari Sabbath, supaya kamu sucikan dia. Bahwa
enam hari lamanya hendaklah kamu bekerja dan mengerjakan
segala pekerjaanmu, tetapi hari yang ketujuh itulah Sabbath Tuhan,
Allahmu, pada hari itu jangan kamu bekerja, baik kamu atau
anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki,
atau hambamu perempuan, atau binatangmu, atau orang dagang
yang ada di dalam pintu gerbangmu.
5. Berikanlah hormat akan bapamu dan akan ibumu, supaya
dilanjutkan umurmu dalam negeri, yang dianugerahkan Tuhan,
Allahmu kepadamu.
6. Jangan kamu membunuh.
7. Jangan kamu berbuat zina.
8. Jangan kamu mencuri.
9. Jangan kamu mengatakan kesaksian dusta akan sesamamu manusia.
10. Jangan kamu ingin akan rumah sesamamu manusia, jangan kamu
ingin akan bini sesamamu manusia, atau akan hambanya laki-laki,
atau akan sahayanya perempuan, atau akan lembunya, atau akan
keledainya, atau akan barang apa-apa yang sesamamu manusia
punya.

Sepuluh firman tersebut ternyata mengandung aspek-aspek akidah, badah,


syariah atau hukum, dan etika.
Menurut Perjanjian Lama, Kitab Keluaran 3:13 dan seterusnya, Tuhan
mengajarkan kepada Musa, bahwa nama Tuhan adalah AKU ADA, sesuai dengan
firman-Nya yang berbunyi: “Maka firman Allah kepada Musa, AKU AKAN ADA,
YANG AKU ADA”, juga firman-Nya: “Demikian, hendaklah kau katakan kepada
bani Israel bahwa AKU ADA telah menyuruh daku mendapatkan kamu”. Inilah
Tuhan Israel, Tuhan Yang Maha Esa, yang nama-Nya tidak pernah disebut langsung.
Ia sangat disucikan. Tidak ada nama yang cocok untuk menyebut-Nya. Oleh sebab
itu orang Israel melambangkan-Nya dengan huruf mati “”YHWH”, tanpa bunyi,
Lambang ini bisa dibaca “YaHWeh” atau “Ye-HoWa” atau “YeHoVah”.
Bani Israel, sejak nenekmoyang mereka Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub, diakui
setia menganut ajaran yang mengesakan Tuhan. Bahkan menurut A. Mukti Ali, dalam
Ilmu Perbandingan Agama, pensucian yang mutlak terhadap Tuhan dan kepercayaan
yang tidak dapat digoyahkan tentang perjanjian yang diberikan oleh Tuhan untuk
segolongan umat manusia yang terpilih, yaitu bani Israel, merupakan kekuatan agama
Yahudi. Namun sepanjang masa sejarahnya, bani Israel tidak pernah tetap
menyembah Tuhan Yang Maha Esa seperti yang diajarkan oleh para nabi.
Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah Agama, menyatakan bahwa ajaran
keesaan Tuhan menurut Yahudi adalah hasil perkembangan dari kepercayaan yang
henoteis menuju kepercayaan yang mengakui keesaan Tuhan. Sewaktu masyarakat
Yahudi masih dalam tingkatan animisme, roh-roh nenek moyang mereka disembah
yang kemudian dalam tingkatan politeisme menjadi dewa. Kata “hebrew” yang
dipakai untuk Tuhan, pada mulanya ialah jamak dari kata “eloh” yaitu ‘elohim”. Tiap
kabilah mereka mempunyai “eloh” sendiri. Kemudian tiba suatu masa ketika salah
satu “elohim” ini, yaitu “Yehovah”, “eloh” dari bukit Sinai, menjadi “eloh” yang
tunggal bagi masyarakat Yahudi. “Eloh-eloh” lain tidak diakui lagi. “Yehovah”
kemudian menjadi Tuhan nasional Yahudi, tetapi belum menjadi Tuhan seluruh alam.
Sepanjang masa sejarahnya, bani Israel tidak pernah tetap menyembah Tuhan
Yang Esa. Mereka gemar sekali kepada Tuhan yang berbentuk, berbilang dan
bertubuh. Banyak jumlah nabi yang diutus kepada mereka justru untuk meluruskan
akidah mereka yang suka lari dari pengesaan Tuhan, atau untuk selalu memperbarui
seruan ketauhidan. Namun yang paling perlu diuraikan lebih jelas adalah konsepsi
“Yehovah” sebagai Tuhan Yahudi.

YeHoVah sebagai Tuhan


Dalam naskah-naskah Ibrani, nama Tuhan ditulis dengan empat huruf mati,
YHWH. Sebagai telah disinggung sebelumhya, tidak jelas bagaimana mula-mula
nama ini diucapkan. Kemungkinan benar diucapkan dengan “yahweh”. Tetapi
selanjutnya orang Yahudi tidak mau lagi mengucapkan nama itu karena dianggap
terlalu suci. Lalu mereka ganti dengan “edoney” dan, pada masa yang lebih
kemudian, huruf mati YHWH ditambah dengan huruf-huruf hidup “e-o-a” sehingga
bacaannya menjadi “YeHoVa” atau “YeHo-Wah”.
Perkataan Yehovah atau Yahweh itu tidak diketahui dengan pasti dari mana
sumbernya. Boleh jadi perkataan tersebut berasal dari nama suatu benda hidup atau
panggilan untuk orang ketiga gaib, yang dalam bahasa Arabnya adalah “ya huwa”
yang berarti “wahai dia”. Ini sesuai dengan firman Tuhan kepada Musa yang
menamakan Diri-Nya dengan “YANG AKU ADA”, atau “yahuah”.
Perkataan “uahuah” dalam bahasa Ibrani mengandung arti “tuan” atau
“Tuhan”, sama dengan “Lord” dalam bahasa Inggris. Bahasa Ibrani ditulis tanpa
huruf saksi sehingga tahun 500 Masehi. Huruf hidup baru dimasukkan setelah itu.
Oleh karena itu perkataan “yahuah” dibaca “yehovah” atau “yah Wet”. Musa
dianggap sebagai orang pertama yang menyebut Tuhan dengan “Yah Wet”. Nama
lain bagi Tuhan yang dipakai oleh Israel adalah “Eil”. Kata ini mengandung arti
“kekuatan-kekuatan”. Namun Tuhan Israel atau Yahudi yang paling populer adalah
“YeHoVah”.

NABI-NABI YAHUDI
Agama Yahudi juga dikenal sebagai agama banyak nabi. Sering terjadi, ketika
orang Yahudi masih berada di tanah air mereka, para penguasa mereka selalu
membuat kecurangan dan memimpin mereka sering menyeleweng dari ketentuan
hukum yang diajarkan agama mereka. Banyak diantara mereka hidup meniru cara-
cara hidup bangsa-bangsa yang pernah menaklukkan mereka, termasuk menyembah
berhala. Dalam saat-saat seperti itulah lahir orang-orang tertentu yang berusaha
menyeru mereka agar kembali ke jalan yang benar yaitu mematuhi ketentuan-
ketentuan hukum Taurat yang diwariskan Musa. Dengan bersaksi kepada YeHoVah
mereka memperingatkan bani Israel tentang apa yang akan terjadi atas mereka, jika
mereka mau mengikuti cara hidup yang benar, sesuai dengan ajaran agama mereka.
Orang-orang inilah yang dinamakan nabi-nabi Yahudi atau nabi-nabi Israel.
Nabi-nabi ini mengajarkan kepada mereka apa sebabnya mereka ditimpa
malapetaka. Mereka juga menyerukan supaya orang kembali ke jalan yang benar,
meninggalkan kejahatan dan bersedia hidup di jalan Tuhan dengan sebaik-baiknya.
Para nabi ini adalah orang-orang bijaksana. Mereka tahu, bahwa dari yang baik
datang yang baik, dan raja yang lalim akan menjadi korban kelalimannya. Sebab itu
para raja, imam dan pendeta, sangat benci kepada nabi-nabi ini.
Nabi-nabi tersebut hampir semuanya terdiri dari orang-orang miskin yang
datang dari bukit-bukit Yudea, turun ke kota dan ke kuil-kuil. Di mana saja dia dapat
berkumpul dengan pendengar-pendengarnya, disitulah ia perdengarkan khotbah-
khotbahnya yang penuh dengan ajaran-ajaran moral dan keimanan. Hingga orang-
orang Israel dibuang ke Babil, nabi-nabi itulah yang selalu menyampaikan
pernyataan-pernyataan ketuhanan dan memegang kendali agama; raja mengendali
hukum-hukum negara, pendeta mengurusi peraturan-peraturan yang berkenaan
dengan biara dan kuil-kuil. Para nabi itu bukan Cuma mengajarkan kepada orang
Yahudi bahwa mereka harus menempuh jalan yang benar dan menghindari kesesatan,
tetapi juga menyatakan bahwa “setiap orang Yahudi harus menyatakan perang suci
menentang kejahatan”. “Cintailah YeHoVah, cintailah YeHoVah, dan perangilah
syetan”, demikian pesan mereka. Mereka juga mengajarkan tentang Al-Masih yang
ditunggu. Juru selamat ini, menurut mereka, bukan Cuma sebagai pembebas kembali
Palestina, melainkan juga pembebas kemanusiaan. Para nabi itu merupakan orang-
orang penting dunia, bekerja, menghayati kenyataan hidup sehari-hari sebagai
kenyataan yang selalu berkaitan dengan keinginan Tuhan.
Dasar tindakan kenabian adalah penyatuan agama dan moral. Mereka tidak
puas dengan hanya mencela ketidak-adilan dan penindasan. Mereka tampil sendiri
dalam tugas-tugas memerangi penyakit perbuatanmu.
Belajarlah berbuat baik, tuntutlah perkara yang benar, tolonglah orang yang
teraniaya, perbuatlah insaf akan anak-anak piatu dan pikirkanlah para janda
yang terlantar. Hai isi istana Daud, demikianlah firman Tuhan, putuskanlah
hukum dengan adil di pagi hari dan lepaskanlah orang yang disamun itu dari
tangan orang penganiaya, supaya jangan menjulang kehangatan murkaku
seperti api yang menyala-nyala, sehingga seorang pun tidak dapat
memadamkan dia, dari karean jahat perbuatanmu.

Demikianlah antara lain dorongan yang diberikan oleh para nabi Yahudi kepada
umatnya, sebagaimana dapat dilihat dalam, umpamanya kitab Yesaya 1:17 dan
Yeremia 21:12 dan 22:3.
Para nabi itu sebetulnya adalah motivator yang merangsang umat untuk
menjadikan ajaran agama sebagai pedoman hidup, baik dalam hubungannya dengan
tingkah laku maupun dengan Tuhan. Menurut Al-Qur’an, semua nabi Israel itu adalah
manusia pilihan yang berbudi pekerti mulia, sama dengan nabi-nabi lainnya.
Gambaran yang diberikan Al-Qur’an terhadap mereka adalah sangat baik. Kalau
diteliti, maka yang tergolong nabi-nabi Yahudi, sebagaimana dimaksudkan Al-
Qur’an, adalah Ibrahim, Isma-‘il, Ishaq, Ya’qub, Musa, Harun, Daud dan Sulaeman.
Akan tetapi orang-orang Yahudi sendiri mengakui nabi mereka itu banyak sekali.
Mereka didatangkan kepada bani Israel untuk menujukkan jalan yang benar kepada
bangsa ini, terutama setelah kerajaan Sulaeman terpecah-belah. Kedatangan mereka
juga dikatakan akan memecahkan tembok-tembok kasta yang berkembang dalam
masyarakat Yahudi pada waktu itu.
Ahmad Syalabi mengatakan, bahwa orang-orang yang diakui oleh umat
Yahudi sebagai nabi itu tidak semuanya pantas disebut nabi. Sebagian mereka terdiri
dari tukang-tukang tenung yang berusaha membaca hati manusia untuk sekedar
mendapatkan upah. Ada juga diantara mereka yang fanatik tidak sadar menyanyikan
lagu yang membangkitkan emosi orang banyak, atau minum–minuman keras, atau
menari-nari sampai tidak sadarkan diri. Dalam ketidaksadaran itu keluarlah ucapan-
ucapan yang dianggap oleh yang percaya sebagai wahyu yang turun dari Tuhan.
Mengherankan juga, bahwa mereka saling mencaci-maki. Hal diatas diakui juga oleh
Mulder, karena menurut dia bukan semua orang yang mengaku nabi memang benar-
benar nabi Tuhan; ada nabi-nabi yang palsu yang tidak berbuat berdasarkan firman
Tuhan, melainkan berdasarkan kehendak mereka sendiri. Sementara itu ada yang
sebenarnya. Tetapi nabi yang benar ini juga amat banyak jumlahnya. Obaja, seorang
bendahara raja, umpamanya, berhasil melindungi seratus orang nabi dari
penganiayaan raja. Dalam Al-Kitab ada garis pemisah antara nabi palsu dan nabi
yang sesungguhnya. Nabi palsu adalah tukang tenung dan ahli nujum, sedang nabi
sejati adalah yang seperti Musa sifatnya, yang berani menyatakan firman Tuhan
kepada siapa saja. Beberapa nabi yang dianggap nabi sejati oleh orang Yahudi adalah
Isaiyah atau Yesay, Yeremia, Ezekil dan Daniel, Amos, Obaya, Yunus, Mikha,
Nahum, Habakuk, Zefanya dan Maleakhi, Hagai, Zakaria, Elia, Natan dan Debora.
Karena banyaknya jumlah nabi, Israel menggolongkan mereka menjadi nabi-nabi
yang dahulu dan nabi-nabi yang kemudian, atau nabi-nabi besar dan nabi-nabi kecil.
Mengenai Musa, Harun, Daud dan Sulaeman oleh umat Yahudi dianggap
sebagai pemimpin atau raja-raja dari kerajaan mereka yang mula-mula. Dalam
Perjanjian Lama ada 16 kitab yang dinisbatkan kepada nabi yang masing-masing
kitab bernama kitab nabi, seperti “kitab nabi Yeremia”, “kitab nabi Yunus” dan
sebagainya. Akan tetapi tidak ada kitab nabi Musa, kitab nabi Harun, nabi Daud dan
sebagainya.
Dengan uraian di atas, nyatalah bahwa nabi-nabi Yahudi adalah orang-orang
yang mengulas firman Tuhan yang disampaikan kepada Musa, yang dalam dunia
Kristen disebut rasul-rasul.

SEKTE-SEKTE AGAMA YAHUDI


Setiap agama pasti berkembang menjadi berbagai aliran atau sekte atau
mazhab atau golongan atau apapun namanya. Penyebabnya yang paling utama ialah
“perbedaan pemahaman atau interprestasi terhadap ajaran-ajaran tertentu agama itu”.
Sebagai dialami agama-agama lain, agama Yahudi juga terpecah menjadi berbagai
aliran yang masing-masing mempunyai prinsip dan dasar sendiri, juga pandangan
hidup sehari-hari, pandangan terhadap alam semesta dan kehidupan di balik alam. Di
antara aliran-aliran yang akan disebut disini sebagai aliran yang tumbuh dari agama
Yahudi adalah Parisi, Saduki, Pembaca, Penulis, Essenes dan aliran Zealots atau
Fanatik.
Parisi, artinya menyendiri atau berpecah. Aliran ini selalu menyendiri dan
menginginkan perpecahan. Nama ini diberikan kepada mereka oleh orang yang tidak
menyukainya. Mereka sendiri menamakan diri sebagai “pendeta-pendeta agama atau
saudara-saudara di jalan YeHoVah atau Rabbani”. Pengikut sekte ini terdiri atas
orang-orang kebanyakan yang bekerja sebagai guru, pengkhotbah atau penyiar
agama. Umumnya mereka hidup membujang, zuhud dalam biara. Mereka percaya
pada hari kiamat dan kebangkitan dalam kubur, akhirat dan malaekat. Menurut
mereka, bukan Taurat saja yang harus diikuti sebagai kitab suci, tetapi juga Talmud.
Talmud dikumpulkan oleh para rabbi yang mempunyai kekuasaan tertinggi karena
mereka terpelihara dari maksiat, dan semua yang mereka ucapkan adalah dari Tuhan.
Karena itu mereka wajib ditaati.
Saduki. Aliran ini termasuk penting seperti Parisi, dan lahir menjelang abad
pertama sebelum Masehi berakhir. Ada pendapat yang menyatakan bahwa aliran ini
berasal dari nama seorang ketua agama yang agung pada masa Sulaeman, yaitu
Saduk, tetapi ada pula kecenderungan untuk menisbatkan nama ini kepada nama
seorang penenung atau kahin yang terkenal pada abad ke-3 S.M. Salah satu ajaran
penting golongan ini adalah bahwa akhirat itu tidak ada, demikian pula sorga, neraka,
pembalasan dan hidup sesudah mati. Menurut mereka, semua pembalasan bagi
manusia selesai di dunia ini. Mereka tidak menerima Talmud. Taurat pun tidak
mereka sucikan seluruhnya.
Pembaca, merupakan golongan yang paling kecil di antara aliran-aliran
agama Yahudi. Sekte ini baru memperoleh pengikut bilamana Parisi dan Saduki
sedang mengalami kemunduran. Para pengikutnya hanya menerima Taurat dan gigih
melakukan ijtihad.
Penulis, adalah sekumpulan orang Yahudi yang bertugas menuliskan syari’at
bai siapa saja yang memerlukannya. Oleh karena itu disebut juga sebagai golongan
juru tulis agama.
Essenes adalah golongan yang paling keras mengajarkan bahwa umat Yahudi
adalah pilihan Tuhan. Mereka bersatu padu dalam suatu perjanjian baru, yaitu suatu
perjanjian untuk kembali kepada ajaran-ajaran Musa dan para nabi yang benar dan
asli. Mereka tidak menerima kitab suci selain Taurat, dan hidup menyendiri. Dari
kalangan mereka lahir pertapa-pertapa rohani yang menjadi pelopor-pelopor mistik
Yahudi.
Zealots, atau golongan fanatik, adalah golongan yang terlalu percaya pada
kekuatan sendiri, tidak menyerahkan diri sepenuhnya kepada kekuasaan YeHoVah.
Mereka sangat gemar politik, sehingga ada orang yang mengatakan bahwa mereka
hanyalah merupakan perkumpulan politik yang ekstrim di kalangan Yahudi.
Majalah Tempo, Nomor 13 Tahun XI, 30 Mei 1981, memuat tulisan yang
berjudul “Yahudi Hitam”. Tulisan tersebut memperkenalkan suatu sekte lain dari
Yahudi, yaitu “sekte Yahudi Hitam”. Sekte ini lahir di Amerika. Seorang pemuda
kulit hitam, keturunan Negro, Ben Carter, dianggap sebagai seorang pemuda yang
mempunyai karisma besar. Pemuda, yang sebenarnya biasa saja, ini pada tahun 1960
mengikuti satu pertemuan antar orang-orang Yahudi. Rupanya keikut sertaannya
dalam pertemuan ini meninggalkan bekas yang sangat mendalam dalam dirinya.
Ketika orang-orang kulit hitam ramai-ramai membanggakan kehitaman mereka, Ben
menemukan jalan. Ia merasa dirinya orang Yahudi. Dengan keyakinan itu ia mulai
mengajarkan, bahwa “orang kulit hitam adalah keturunan langsung dari Ibrahim,
Ishaq dan Ya’qub. Mereka termasuk salah satu diantara sepuluh kelompok yang
kelupaan dicatat”. Ben membenarkan cerita bahwa keturunan Ibrahim yang hitam itu
diusir dari Kanaan karena sesuatu dosa. Mereka berkelana sampai ke Afrika.
Seterusnya Ben berusaha membela Yahudi dengan fanatiknya. Karena
kefanatikannya itu dia diterima menjadi anggota kelompok Yahudi, bahkan tiba-tiba
pada usia 22 tahun ia menjadi seorang rahib atau rabbi, dan namanya dilengkapi
menjadi Ben Ami Carter. Semangat dan kefanatikannya menarik perhatian banyak
anggota dari kalangan hitam Amerika. Ben rajin membina kehidupan agama Yahudi
di kalangan Negro Amerika, dan dengan khotbah-khorbahnya yang menarik dan
berapi-api, ajarannya semakin jelas dan mudah diterima orang “Yahudi hitam adalah
Yahudi yang asli. Seorang Yahudi putih Cuma pemegang komisi yang dititipi tanah
yang dijanjikan”, demikian katanya. Untuk itu Ben bersumpah akan mengambil
kembali tanah yang dijanjikan dengan memindahkan pengikut ke Israel. Ia berjuang
keras merebutkan tanah hak milik pengikutnya.
Bill Kurtis dari majalah New York Times melaporkan tentang Yahudi hitam
ini dengan menyebutkan pemimpin sekte ini sebagai orang yang sangat berpengaruh.
Pengikutnya berbuat dan mengorbankan segala-segalanya bagi kepentingan sekte ini.
Ben Ami Carter menerapkan disiplin yang keras terhadap jemaahnya. Tidak jarang ia
menghajar anggotanya atau anak buahnya sendiri. Tahun 1966 Ben mengatakan
bahwa ia telah menerima bisikan dari Tuhan, yang berisi perintah padanya untuk
membawa keturunan mereka sebagai keturunan nabi-nabi itu ke luar dari Amerika. Di
mengatakan, bahwa kericuhan-kericuhan yang terjadi di Amerika adalah karena
kemurkaan Tuhan yang sedang memusnahkan Amerika. Orang kulit hitam harus
menyelamatkan diri dengan jalan kembali ke tanah yang dijanjikan.
Pangkat Ben bertambah dengan “mesiah”. Tahun 1967 usaha pengumpulan
dana untuk membiayai perjalanan mereka kembali ke Palestina mulai dilaksanakan.
Semua pengikutnya menjual harta milik mereka dan menyerahkannya kepada
pemimpin penyelamat itu. November 1967, 160 orang Yahudi hitam memulai
perjalanan mereka menuju tanah yang dijanjikan dari Chicago. Mereka masuk ke
Afrika dan bermukim dulu di Liberia. Mereka membangun perkemahan di dekat kota
Montrovia. Karena kesulitan hidup dan iklim yang kurang cocok dengan mereka,
maka pada 1969 jumlah mereka menyusut menjadi 125 orang. Inilah yang mampu
bertahan hidup. Karena pengusiran yang pernah dilakukan oleh imigrasi Liberia
terhadap mereka, Ben merasa tersinggung. Karena itu memutuskan untuk
meninggalkan Afrika dan betul-betul menuju Israel. Agustus 1969 rombongan
pertama, yang terdiri dari lima keluarga, berangkat, dan dengan mengaku orang
Yahudi mereka dengan mudah dapat memasuki wilayah Israel. Desember 1969
rombongan kedua, sejumlah 39 orang, menyusul angkatan pertama. Maret 1970
masuk rombongan berikutnya sebanyak 49 orang.
Melalui berbagai jalan Ben terus berusaha meyakinkan pemerintah dan
masyarakat Yahudi di Israel, bahwa dia dan para pengikutnya adalah Yahudi tulen.
Tetapi ia menghadapi berbagai kesulitan dalam hal ini. Seseorang harus bisa
membuktikan keyahudiannya berdasarkan garis ibu. Sementara pengusutan asal-usul
ini berjalan, pengikut Ben dari Amerika terus juga menyusul kembali ke Israel.
Dengan bertambahnya jumlah mereka timbullah berbagai kesulitan. Namun mereka
berhasil mendapatkan status penduduk dan warga negara Israel, walaupun dengan
perjanjian harus patuh pada satu syarat, yaitu “orang Yahudi hitam yang sudah berada
di Israel tidak boleh mendatangkan saudara-saudaranya secara gelap”. Ben mematuhi
syarat tersebut. dengan demikian problem bisa diselesaikan. Kemessiahan Ben
semakin dirasakan para pengikutnya. Dengan bantuan tangan pemerintah Israel yang
berkulit putih, si hitam tersebut mendapat pemukiman baru. Anak-anak mereka diberi
tunjangan. Sekte Yahudi hitam diperkenankan hidup, walaupun asal-usul
keyahudiannya masih belum jelas.
Masih banyak lagi sekte-sekte yang terhadap dalam agama Yahudi selain
yang telah disebutkan di atas, baik yang keyahudiannya jelas maupun yang
terselubung. Akan tetapi, karena ruangan yang tersedia untuk tulisan ini terbatas,
maka memadailah kiranya jika tulisan ini diakhiri dengan hanya menyebutkan
beberapa nama saja dari golongan-golongan atau sekte-sekte tersebut, yaitu Yahudi
Ortodoks, Yahudi Konservatif, Yahudi Modern, Freemson’ Society, Perkumpulan
Rotary dan lain sebagainya.

Kitab Suci Agama Yahudi


Kitab suci agama Yahudi itu dipanggilkan dengan Biblia, yakni Alkitab. Pihak
Kristen pada masa belakangan memanggilkan keseluruhannya dengan Old Testament,
yakni Perjanjian Lama.
Alkitab itu terbagi kepada tiga kelompok dan satu persatu kelompok itu terdiri
atas berkian kitab, yaitu:
I. TORAH. Terdiri atas lima buah kitab yang dinyatakan berasal dari Nabi Musa:
1. Kitab Kejadian (Genesis), berisikan kisah kejadian alam semesta dan kejadian
Adam dan Hawa beserta peristiwa turunannya sampai kepada peristiwa Nabi
Yusuf.
2. Kitab Keluaran (Exodus), berisikan kisah keluaran bani Israel dari penindasan
Pharao di tanah Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa dan berada di padang
Tiah semenanjung Sinai selama 40 tahun dan munajat Musa dengan Yahuwa
(Allah Maha Esa) dan diturunkan Sepuluh Perintah (Ten Commandements).
3. Kitab Imamat (Leviticus), berisikan himpunan Syariat di dalam agama
Yahudi.
4. Kitab Bilangan (Numbers), berisikan cacah-jiwa turunan Duabelas Suku Israil
pada masa Nabi Musa itu.
5. Kitab Ulangan (Deuteronomy), berisikan ulangan kisah keluaran dari Tanah
Masir dan ulangan Syariat.
II. NEBIM. Terdiri atas 8 buah Kitab Nabi-Nabi, terbagi kepada Nabi-Nabi
Terdahulu dan Nabi-Nabi Belakangan. Kitab dari Nabi-Nabi Terdahulu itu terdiri
atas 4 buah kitab, yaitu : kitab Nabi Yusak (Joshua), kitab Hakim-Hakim (Judges),
kitab Nabi Samuil (Samuel I, II), kitab Raja-Raja (King I, II).
Kitab Nabi-Nabi Belakangan terdiri atas 4 buah kitab pula, yaitu: kitab Nabi
Jesaja (Isaiah), kitab Nabi Jermia (Jeremiah), kitab Nabi Jehezkil (Esekiel), dan
kitab Nabi-Nabi Terkecil (Minor Prophets).
Dan himpunan kitab Nabi-Nabi Terkecil itu terdiri atas 12 buah kitab, yaitu: kitab
Nabi Hosea, kitab Nabi Joel, kitab Nabi Amos, kitab Nabi Obadia, kitab Nabi
Yunus, kitab Nabi Mikha, kitab Nabi Nahum, kitab Nabi Habakuk, kitab Nabi
Zepanua, kitab Nabi Hajaj, kitab Nabi Zakharia, kitab Nabi Maleikhi.
III.KHETUBIM. Terdiri atas 11 buah kitab berisikan nyanyian-nyanyian pujaan
untuk keperluan Kebaktian dan juga berisikan hikmat dan bimbingan dan nasihat
dan amsal, yaitu: kitab Mazmur (Psalms), kitab Amsal Sulaiman (Proverbs), kitab
Nabi Ayub (Job), kitab Syirul Asyar (Songs of Solomon), kitab Rut (Ruth), kitab
Nudub Jermia (Lamentations), kitab Alkatib (Ecclesiasters), kitab Ester (Esther),
kitab Nabi Danil (Daniel), kitab Nabi Ezra (Ezra), kitab Nabi Nehemiah
(Nehemiah), kitab Tawarikh (Chronicles I, II).

Cononocal dan Apocryphal


Sekalian kitab yang perinciannya tersebut di atas itu dipandang sumber-
sumber yang diakui sah, yakni Canonical Books, baikpun oleh pihak sekta Ortodoks
maupun oleh pihak sekta Reformasi di dalam agama Yahudi.
Dibalik itu ada kitab-kitab lainnya yang tahadinya termasuk dan terpandang
kitab suci, tetapi sejak bangkit gerakan Reformasi dalam kalangan agama Yahudi
pada abad ke-9 masehi, pada masa pemerintahan Daulat Abbasih (750-1258 M) di
Bagdad, dikenal dengan gerakan Massorah, lantas beberapa kitab tersebut dinyatakan
kitab-kitab yang tidak diakui sah, yakni Apocryphal Books.

Kitab-kitab yang dinyatakan Apocryphal Books itu terdiri atas 12 kitab


seperti tersebut dibawah ini :
1. Kitab Esdra (Esdras I, II).
2. Kitab Tobit (Tobit).
3. Kitab Judith (Judith).
4. Sebagian kitab Ester (the Rest of Esther).
5. Hikmat Nabi Sulaiman (Wisdom of Solomon).
6. Kitab Kepadrian (Ecclesiasticus).
7. Kitab Barukh (Baruch).
8. Nyanyian Tiga Kanak Suci (Song of the Three Holy Children).
9. Sejarah Suzana (History of Susanna).
10. Baal dan Raksasa (Bel and the Dragon).
11. Kebaktian Manasih (Prayer of Mnanasses).
12. Kitab Makkabi (Maccabees I, II).
Sekta Ortodoks dalam agama Yahudi tetap mengakui sekalian kitab di atas itu
bagian dari Kitab Suci dan menyatakannya kitab-kitab yang sah, yakni Canonical
Books. Sekta Reformasi dalam agama Yahudi itu mengeluarkannya dari himpunan
Kitab Suci dan menyatakannya kitab-kitab yang tidak sah, yakni Apocryphal Books.
Perbedaan yang tajam antara kedua sekta dalam agama Yahudi itupun
tercermin di dalam agama Kristen. Gereja Rum Katolik mengakui sekalian kitab itu
sah dan memasukkannya dalam himpunan Kitab Suci. Tetapi sebaliknya Gereja-
gereja Reformasi dalam agama Kristen menolaknya dan menyatakannya Apocrypha.
Tersebab itu maka Holy Bible (Alkitab) yang menjai pegangan Gereja Rum
Katolik itu jauh lebih tebal daripada Holy Bible (Alkitab) yang menjadi pegangan
Gereja-Gereja Reformasi.
Salinan kitab suci agama Yahudi ke dalam bahasa Grik pada abad ke-2
sebelum Masehi, pada masa pemerintahan Philadepus (285-246 sM) dari dinasti
Ptolemi di tanah Masir, yang dikenal dengan Septuaginta, memuat pula beberapa
kitab lainnya yaitu: kitab Joanes Hirkanus, kitab Jubili, kitab Adam, kitab Jannes,
kitab Jambro, kitab Yusuf dan Asenat, kitab Perke-Alsoth.

Ten Commandements
Ten Commandements itu bermakna Sepuluh Perintah. Ten Commandement
itu berisikan azas Keyakinan (Aqidahz) beserta azas-azas Kebaktian (Syariat).
Sepuluh Perintah itu diterimakan Nabi Musa dari Yahuwa (Allah Maha Esa) sewaktu
munajat di atas bukit Sinai dan diterimakannya melalui dua luh (papan batu).
Sepuluh Perintah itu termuat di dalam Kitab Keluaran, 20:1-17 dan di dalam
Kitab Ulangan, 5:1-21 dan kesimpulan isinya ialah :
1. Jangan memuja Allah lainnya di luar Yahuwa.
2. Jangan membuat patung maupun ukiran.
3. Jangan menyebut nama Yahuwa dengan sia-sia.
4. Memuliakan hari Sabat.
5. Hormati ibu-bapa.
6. Jangan membunuh.
7. Jangan berbuat Zina.
8. Jangan mencuri.
9. Jangan melakukan kesaksian dusta.
10. Jangan menginkan hak-milik orang lain tanpa hak.
Sepuluh Perintah itu dinyatakan Perjanjian Yahuwa dengan bani Israil.
Sepuluh Perintah kepada bani Israil itupun tercantum di dalam Kitab Suci Al-Qur-an
termuat di dalam Surah Al Baqarah, 63-93 dan Surah Al An’am, 151-153 dan Surah
Al-Israk, 23-40, dinyatakan al-Mitsaq (Perjanjian).
Jesus Kritus di dalam Kotbah di Bukit (Sermon of the Mount), termuat di
dalam Injil Matius, V:17-18, mengemukakan pernyataan berbunyi: “Janganlah kamu
sangkakan Aku datang hendak merombak Hukum Taurat atau Kitab Nabi-Nabi;
bukannya Aku datang hendak merombak, melainkan hendak menggenapkan. Karena
sesungguhnya Aku berkata kepadamu, sehingga langit akan lenyap daripada Hukum
Taurat sampai semuanya telah terjadi”.
Dimaksudkan dengan Hukum Taurat oleh Jesus Keristus itu ialah Hukum
Taurat Musa, yaitu Sepuluh Perintah itu: pengakuan tentang keesaan Allah, larangan
pembikinan patung pujaan dan lainnya.

PENYUSUNAN DAN PENULISAN KITAB SUCI


Torah, yakni Taurata Musa, yang terdiri atas lima buah kitab itu, di dalam
masa berabad-abad lamanya diajarkan turun temurun dari mulut ke mulut, terutama
dalam kalangan para Imam dan para Rabbi, hingga sipatnya adalah Oral Torah
(Taurat Lisan). Kemestian bagi menuliskannya belum dirasakan mendesak, dan
apalagi papirus dan parkemen pada masa-masa itu sulit diperoleh dan harganya
setimbang dengan emas.
Tetapi tatkala bangsa Yahudi itu berada dalam porak poranda (diaspora)
karena berbagai penaklukan asing maka dirasakan perlu ada suatu ikatan rohaniah
yang akan tetap mengikat mereka sebagai satu bangsa dimanapun berada. Ikatan itu
ialah ikatan agama karena agama Yahudi itu bersifat nasional. Oral Torah perlu
seluruhnya dijadikan Written Torah (Taurat Tertulis) agar wahyu tidak lenyap dan
mudah dipelajari.
Pemikiran ke arah penyusunan seluruh Torah itu timbul buat pertama kalinya
pada diri Nabi Ezra yang hidup sekitar tahun 460 sebelum Masehi dan yang atas
kemurahan Raja Parsi Artaxerxes (464-424 sM) diizinkan bersama kelompoknya
pulang kembali dari Babilonia untuk membangun kembali kota Jerusalem beserta
Bait Allah di Jerusalem, yang sudah dihancurkan dan didatarkan Nebukhadnezar itu.
Kitab Nabi Ezra, VII:12-13 mengisahkan keizinan yang diberikan itu sebagai
berikut:
(12) Bahwa surat ini dari Artahsasta, raja segala raja, disampaikan kepada
Ezra, imam dan mufasir Torat Allah yang di sorga, yaitu dengan selamat
sempurna pada masa ini.
(13) Maka daripadaku telah keluar titah ini: Bahwa dalam kerajaan
barangsiapa daripada bangsa Israil dan daripada segala imamnya dan orang
Lewi yang sudi hendak pergi ke Jerusalem, bolehlah dia pergi sertamu.
Selanjutnya dikisahkan:
(6) Berjalanlah Ezra ini dari negeri Babil, maka adalah ia seorang katib yang
alim pada torat Musa, yang sudah diberikan oleh Tuhan, Allah orang Israil.
(7) Karena pada bulan yang pertama sehari bulan itu mulailah mereka itu
berjalan dari Babil dan pada bulan yang kelima sehari bulan sampailah ia ke
Jerusalem, sekedar tangan Allah yang murah berlaku padanya.
Berdasarkan keterangan di atas itu dapat disaksikan bahwa perjalanan dari
Babil (lembah Euphate) ke Jerusalem (Palestina) memakan tempo 4 bulan lamanya.
Mungkin disebabkan jumlah yang berangkat demikian besarnya hingga perjalanan itu
berlangsung dengan lamban dan lambat dan banyak istirahat pada waha-waha
perhentian karena sakit dan kelahiran dan segala macamnya.
Tentang pemikiran ke arah penyusunan Torah itu diceritakan dalam ayat 10
berbunyi sebagai berikut:
(10) Karena Ezra pun sudah membetulkan hatinya akan menyelidik Torat
Tuhan hendak melakukan dia dan akan mengajarkan orang Israil segala
syariat dan syarat.
Iapun mengumpulkan guru-guru Torah, yang pada masa itu dipanggilkan
sopherim, dan dengan segala ketekunan lantas pada akhirnya tersusunlah naskah-
lengkap yang pertama-tama dai Kitab Torah itu. Tentang kelanjutan hasil dari karya-
besar itu dikisahkan dalam Kitab Nabi Nehemiah, VIII:2-4 berbunyi sebagai berikut:
(2) Berhimpunlah segenap orang banyak itu seperti orang satu jua adanya
pada halaman yang dihadapan Pintu Air; maka disuruhlah mereka itu kepada
Eszra , katib itu membawa akan kitab Torat Musa, yang firman Allah kepada
orang Israil.
(3) Maka imam Ezra pun membawalah akan kitab Torat itu kehadapan
himpunan itu, baik laki-laki baik perempuan dari segala orang yang cukup
akalnya akan mendengar, yaitu pada sehari bulan yang ketujuh.
(4) Maka dibacakannya di hadapan halaman yang dimuka Pintu Air itu
daripada ketika mulai siang sampai kepada tengah hari di hadapan segala
orang yang berbakat itu, maka telinga segenap orang banyak itu tersengat
kepada kitab Torat itu.
Demikianlah kisah hasil penyusunan dan penulisan Kitab Torah (Taurat
Musa) itu. Jarak masa antara Nabi Musa (lk 1200 sM)dengan Nabi Ezra (lk 460 sM)
itu berlangsung lebih kurang delapan ratus tahun, yakni 8 abad lamanya. Di dalam
masa yang pangjang itu Taurat Musa itu bersifat lisan, yakni diwariskan dari mulut ke
mulut.
Justru sarjana-sarjana Bible (Biblical Scholars) berpendapat bahwa tidak
masuk akal untuk menyatakan “kata demi kata” dari “keseluruhan”kitab Taurat itu
“berasal” dari Nabi Musa. Sebab, tidak masuk akal bahwa Nabi Musa akan bercerita
tentang kematiannya dan pemakaman dirinya (Kitab Ulangan), 34:5-12). Sebab, tidak
masuk akal bahwa Nabi Musa akan sudah menyusun syariat yang demikian terperinci
tentang kewajiaban Raja dan Tentara dan Pejabat-Pejabat pemerintahan, sedangkan
bani Israil dewasa itu masih berada di padang belantara Tiah. Justru, nyatalah
sekaliannya itu adalah “penafsiran-penafsiran Hukum” di dalam masa yang demikian
panjangnya dalam kalangan para Imam dan para Rabbi. Demikian pula halnya
dengan sekian banyak kisah peristiwa yang pengunkapan dan penghidangannya
saling berlawanan antara satu kitab dengan lain kitab. Bahkan pengungkapan Sepuluh
Perintah (Ten Commandements) itu pun terdapat perbedaan kalimatnya antara Kitab
Keluaran (Exodus) dengan Kitab Ulangan (Deuteronomy). Begitupun mengenai
kisah Adam di dalam Kitab Kejadian (Genesis) antara Fasal I dengan Fasal II dan
juga mengenai kisah kejadian alam semesta itu. Pihak sarjana-sarjana Bible (Biblical
Sholars) melakukan penelitian mendalam mengenai Holy Bible itu, dan semuanya
dari kalangan Yahudi sendiri maupun kalangan Kristen.
Tentang penyusunan dan penulisan himpunan Nebiim dan himpunan
Khetubiim adalah berlangsung di antara abad ke-5 dengan abad ke-2 sebelum Masehi.
Hampir sekaliannya disusun dalam bahasa Ibrani, kecuali Kitab Daniel dan Kitab
Nabi Ezra dan Kitab Nabi Nehemiah, yang ketiga-tiganya disusun dalam bahasa
Aramaik.
Perbedaan antara bahasa Ibrani itu dengan bahasa Aramaik, yang jikalau
diperbandingkan dengan bahasa Jawa, seperti perbedaan bahasa Ngoko dengan
bahasa Kromo, yakni bahasa lapisan atasan dan bahasa rakyat.
Himpunan yang sudah tertulis itu disimpan naskah lengapnya didalam ruang
Holy of Holies (Ruang Teramat Suci) di dalam Bait Allah di Jerusalem, dibawah
pengawasan Imam Besar (High Priest).

ALIRAN FILSAFAT YAHUDI


Semenjak wilayah imperium Roma yang demikian luasnya jatuh ke bawah
kekuasaan Islam, sejak dari Asia Kecil sampai wilayah selatan Perancis dibalik
pegunungan Pyrenes, maka bangsa Yahudi itu merasakan terbebas dari penderitaan
dan penindasan imperium Roma itu.
Mereka menduduki jabatan-jabatan penting dalam pertahanan, terutama
wizarat Keuangan dan badan-badan Keuangan dan juga badan-badan Kesehatan, dan
perkembangan usaha perdagangan pihak Yahudi itu lalu menikmati kebebasannya.
Selanjutnya perkembangan alam pikiran dalam dunia Islam, dengan
kemunculan ahli-ahli pikir Islam terbesar, membawa pengaruh pula bagi
perkembangan alam pikiran Yahudi dewasa itu. Encyclopedia Britannica jilid XIII
halaman 37-42 mengungkapkan bahwa sesudah Philo Judaous (meninggal 45 M) dari
Alexandria itu maka sembilan abad lamanya dunia Yahudi itu tidak melahirkan tokoh
ahli pikir agak seorang pun lagi.
Pada abad ke-10 masehi barulah muncul buat pertama kalinya seorang ahli
pikir, bernama Saadia (882-842 M), berasal dari kota Fayyum di Masir, dan
belakangan menjabat kepala perguruan Torah di kota Sura, Irak. Tentang dirinya dan
karyanya Encyclopedia Britannica itu menulis: “Ia membantu meretas tanah segar
dan beroleh julukan sebagai juru bicara yang pertama-tama dalam seluruh soal.
Karyanya yang teramat penting berjudul Kitab al-Amanat wal-I’tikad (Kitab tentang
Doktrin dan Keyakinan) di dalam bahasa Arab, disusun menurut model pembahasan
al-Kalam dari aliran Iktizal dalam dunia Islam”.
Tentang perkembangan alam pikiran Yahudi itu pada abad-abad selanjutnya,
Encyclopedia Britannica membaginya kepada empat ciri, menurut arus paham yang
menguasai sesuatu pendirian pada setiap tahap masa, sebagai berikut di bawah ini.
(1). Aliran Al-Kalam, kecuali karya Saadia itu maka selanjutnya karya David
ben Marwan Al Mokammes (abad ke-10 M) bernama Ishrun Maqalat (Duapuluh
Permasalah) tentang sifat-sifat Ilahi memperlihatkan pengaruh aliran Al Kalam dalam
dunia Islam.
Pengaruh Al Kalam itu juga kelihatan pada theologi dari Samuel ben Hofai
(meninggal 1034 M), juga seorang kepala perguruan di kota Sura. Juga pada karya
Hai Gaon (meninggal 1038 M), kepala perguruan di kota Pumbektu, dan pada karya
Nissim ben Jacob dari kota Kairwan (meninggal abad ke-11M); dan karya Joseph ben
Abraham al-Basiir dan muridnya Joshua ben Judah, keduanya dari sekta Karaism,
meninggal abad ke-11 Masehi. Konsepsi keduanya tentang hal (keadaan, yakni suatu
atribut yang tak dapat dibedakan dari zat) adalah berasal dari Abu Hasyim, pemuka
aliran Iktizal di kota Basrah. Pada tahap-masa itu sistem berpikir yang rasional itu
dipergunakan untuk membuktikan kebenaran pokok-pokok keyakinan di dalam
Agama.
(2). Aliran Neoplatonism, berisikan paduan theologi dengan mistik, dengan
mempercayai keesaan pada Alam Atas dan keserbaduaan pada Alam Bawah, dan
segalanya itu pancaran (emanatiaon) zat Ilahi; tetapi tubuh kasar jasmaniah beserta
hasrat-hasrat kebenaran mengurung kepingan Nur-Ilahi dalam diri manusia untuk
bebas bergabung (union) kembali dengan Yang Esa itu.
Tokoh terkemuka pada belahan timur ialah Issac ben Solomon Israeli (850-
950 M), tabib Istana pada khilafat Fathimiah di kota Kairwan, dan muridnya Dunash
ben Tamim; dan juga Joseph ben Saddek (m. 1149 M) dan Mozes ben Esra (1060-
1139 M).
Tokoh terkemuka pada belahan barat, dalam wilayah Andalusia, ialah
Solomon ben Gabirol (abad ke-11 M) yang lebih terkenal dengan sebutan Avencebrol
oleh pihak Skolastik Keristen pada zaman Kebangunan (Renaissance), dan Bahya
ben Faquda, dan Abraham bar Niyya dari Barcelona, dan Abraham ben Ezra (1092-
1167 M) yang lebih terkenal dengan sebutan Abenezra, dan Judah ben Samuel Halavi
(1085-1140 M).
(3). Aliran Aristotelianism, mengenyampingkan mistik dan ingin menguji
setiap kebenaran itu secara rasional, karena menurut pendirian aliran itu, akal itu
dapat mencapai kebenaran-kebenaran. Salinan himpunan karya Aristoteles ke dalam
bahasa Arab, yang menjadi bahan pembahasan dalam kalangan ahli-ahli pikir Islam,
amat mempengaruhi tokoh-tokoh aliran tersebut dalam kalangan Yahudi.
Tokoh paling terkemuka dalam aliran itu ialah Moses ben Maimon (1135-
1204 M) yang lebih terkenal dengan sebutan Maimonides, bermula dari Andalusia
dan kemudian menjabat tabib-Istana dari Sulthan Shilahuddin Al Ayyubi (1138-1193
M) di Masir. Karyanya Dalatat-al-Hairin (Tuntunan bagi yang Kebingungan) dan
salinannya dalam bahasa Ibrani bernama Moreh Nobukim berikhtiar membuktikan
bahwa tidak ada pertentangan antara Akal dengan Wahyu, antara Aristo dengan
Torah. Dalam hal itu ia banyak meminjam dalil-dalil dari Al Farabi (m. 950 M) dan
Ibnu Sina (m. 1037 M) dan Ibnu Rusid (m. 1198 M).
Moses Maimodes itu berpengaruh kuat dalam alam pikiran Yahudi sampai
kepada masa kini.
(4). Aliran Averroism, yang seperti juga dalam kalangan Skolastik Kristen
pada zaman Kengunan, maka ajaran Ibnu Rusyid (1126-1198 M) yang dipanggilkan
Averroes itu pun berpengaruh kuat dalam alam pikiran Yahudi dewasa ini.
Tokoh terkemuka dari aliran itu ialah Samuel ben Tibbon, dan menantunya
Jacob Anatoli; dan juga Shentoh ben Falaquera (m. 1925 M), dan Joseph ben Jacob
Kaspi (1279-1340 M).
Tapi tokoh yang paling terkemuka dari aliran Averroism itu ialah Levi ben
Gershon (1288-1344 M) yang lebih terkenal dengan sebutan Gersonides. Dalam
karyanya berjudul Milhamot Adonai ia membahas keabadian jiwa, kenabian, sifat-
sifat Ilahi, takdir Ilahi, tubuh-tubuh samawi, penggerak Azali, kejadian alam,
mukzijat, mimpi, dan permasalah magis.
Gersonides itu beroleh tantangan sengit dari pihak Hasdai Crescas (1340-1410
M), seperti halnya dengan pertengangan paham antara Al Ghazali dengan Ibnu
Rudyid.
Demikian empat ciri aliran filsafat dalam kalangan Yahudi pada zaman
kekuasaan Islam. Tatkala Andalusia itu berhasil direbut sepenuhnya oleh Ferdinand
dan Isabella dari kerajaan Castile-Aragon pada tahun 1492, maka sejarah mencatat
pembasmian teramat kejam terhadap orang Islam dan orang Yahudi, maka orang-
orang Yahudi itu banyak meluputkan dirinya ke Italia dan Perancis. Disitulah mereka
banyak menyalin karya ahli-ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin, terutama dibawah
auspisi King Frederich dari Sicily, yang belakangan menjabat Kaisar Holy Roman
Empire itu, maka bangkitlah zaman kebangunan di Eropah, menguasai perguruan-
perguruan tinggi di Italia. Selanjutnya menguasai dua pusat perguruan tinggi di
Eropah dewasa itu, yaitu Sarbonne dan Oxford.
Referensi :

Anda mungkin juga menyukai