AGAMA YAHUDI
A. PENDAHULUAN
Ada berbagai gagasan dalam usaha memahami atau memberikan definisi
tentang agama Yahudi. Louis Finkelstein, The Jews, Their Religion and Culture,
menggambarkan agama Yahudi sebagai “suatu cara hidup yang berusaha merubah
setiap hakekat perbuatan manusia menjadi suatu cara yang berhubungan dengan
Tuhan. Buku “The Great Religion by which men Live” karya Floyd H. Ross dan
Tynette Hills mencatat agama Yahudi sebagai “ibu kandung dari dua agama lain,
yaitu Masehi dan Islam. Ketiga agama ini menjadi agama-agama besar dunia yang
melaluinya umat manusia mewarisi banyak ide keagamaan, etika dan ritus.” Akan
tetapi, Abraham A. Neuman mengatakan, bahwa agama Yahudi adalah agama yang
dianut hanya oleh segolongan kecil manusia yang jumlahnya tidak lebih dari enam
juta jiwa sebelum Perang Dunia II dan sekarang menjadi sekitar sepuluh atau sebelas
juta.”
Agama Yahudi dianggap sebagai salah satu agama monoteis. Lebih dari hanya
sekedar suatu agama atau kepercayaan, ia adalah suatu kekuatan yang ingin
mempengaruhi cara berfikir dan cara hidup manusia. Ia adalah satu agama yang
menyatakan dirinya sebagai agama tertua di dunia ini dan berasal dari Nabi Ibrahim
a.s. Disebutkan pula, bahwa agama Yahudi, yang lebih dikenal dengan Judaism,
dinamakan juga dengan The Wisdom of Israel atau Hebrew Religion. Dalam Jewish
Encyclopaedia, agama tersebut diartikan sebagai ‘suatu bentuk hidup yang
didasarkan pada kebapakan Tuhan serta wahyu-Nya.” Ada pula penjelasan yang
menyatakan bahwa agama Yahudi itu merupakan suatu sistem keyakinan dan
penyehatan yang dihubungkan dengan ide ketuhanan serta perwujudan suatu bangsa
tertentu sebagai bangsa pilihan Tuhan. Orang Islam cenderung mengartikannya
sebagai “agama yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. sebagai nabinya dan Taurat
sebagai kitab sucinya.” Akan tetapi selain dari Musa, bangsa Yahudi, yang dikenal
juga dengan Bani Israel itu, masih memiliki banyak nabi yang disebut nabi-nabi
Israel. Nabi-nabi ini juga merumuskan berbagai tata cara dan ajaran untuk kaumnya.
Selain nabi, mereka juga mengenal lembaga kependetaan atau rabbi atau rahib, yang
banyak juga jasa mereka dalam pembinaan agama Yahudi sepanjang sejarahnya. Oleh
sebab itu, mungkin arti yang lebih tepat bagi agama Yahudi adalah “agama yang
dihasilkan oleh proses perkembangan sejarah Bani Israel yang sudah melalui masa
sekian lama, ditumbuhkan dari ide Taurat, Talmud, dan watak pembawaan bangsa itu
sendiri.”
Akan tetapi, hendaknya disadari bahwa mengetengahkan suatu definisi yang
jitu mengenai agama ini merupakan satu kesulitan tersendiri. Yang jelas adalah,
bahwa agama Yahudi mendasarkan diri pada dua hal yang prinsip, yaitu Keesaan
Tuhan dan Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan. Ia menolak segala bentuk berhala dan
politeisme. Di samping itu, agama ini juga memberikan tekanan dan penghargaan
yang tinggi sekali, tehadap hukum. Dalam Encyclopaedia Britannica, jilid 7,
dijumpai keterangan bahwa “hukum ini yaitu hukum Yahudi terbagai atas dua
macam, hukum tertulis atau Taurah she-be-khetabah dan hukum tidak tertulis atau
Taurah she-be-al Peh.” Hukum yang diturunkan Tuhan di Gunung Sinai berisi
perintah-perintah dan larangan-larangan umum yang terperinci. Kitab Keluaran
24:12-15 petunjuk-petunjuk Tuhan yang menjelaskan hukum tertulis; dan “ itulah
agama Yahudi.
Selain itu perlu juga diketengahkan tiga istilah penting yang sangat sering
terpakai dalam menamakan umat atau bangsa yang disebut Yahudi itu, yaitu Yahudi,
Ibrani, dan Israel. Perkataan atau istilah “yahudi” berasal dari kata “hada”, bahasa
Ibrani yang berarti “taubat” dan “kembali”. Ini dihubungkan dengan perkataan Musa
yang pernah diucapkannya: “Inna hudna ilaika”, artinya kami tunduk dan kembali
taubat”. Ibrani berasal dari kata “abara” yang berarti “menyebrang”. Dinamakan
“Ibrani” kaena mereka datang dengan menyeberangi sungai Eufrat di bawah
pimpinan Ibrahim a.s. Sedang perkataan “Israel” dipakai juga. Ini dinisbatkan kepada
nenek moyang mereka yaitu Ya’kub yang juga dinamakan Israel. Karena itu mereka
dikenal sebagai “Bani Israel”. Diantara nama-nama tersebut di atas, yang paling lama
dan populer adalah “Yahudi” atau “Judaisme” dalam literatur Barat, tetapi orang
Yahudi sendiri lebih senang menamakan diri mereka dengan “Israel”.
Sementara itu, Ahmad Salabi berpendapat bahwa “Ibri” atau “Hebrew” adalah
nama yang diberikan sendiri oleh Ibrahim kepada kaumnya, karena tempat kediaman
mereka berada di seberang sungai Eufrat, atau mungkin juga yang dimaksud adalah
sungai Yordan. Kemungkinan lain dikemukakan oleh Israel Willvinson. Ia
mengatakan, “boleh jadi salah seorang leluhur Ibrahim ada yang bernama “Ibrit”.
Kata ini berasal dari fi’il tulatsi atau kata kerja yang berhuruf tiga, ‘abara yang
berarti memotong jalan, menyeberangi lembah, menyeberangi sungai atau melalui
jalan pintas. Baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Ibrani, arti perkataan
‘abara itu adalah sama dan mengandung arti bertukar atau berpindah tempat menurut
pola hidup kaum Badui, penghuni padang pasir yang jauh terpencil atau penduduk
kampung. Dengan demikian, “ibri” berarti “badui”.
Orang-orang Mesir, Kanaan dan Palestina, umumnya menamakan bani Israel
dengan “orang-orang Ibri”, karena mereka hidup di daerah yang diberikan padang
pasir dan berbeda dengan penduduk kota. Sewaktu bani Israel menetap di Kanaan dan
mulai mengenal hidup berbudaya, mereka tidak senang lagi disebut “ibri” dan
sebaliknya mereka menamakan diri dengan bani Israel. Disamping itu ada pula
catatan bahwa orang-orang Kanaan menyebut Ibrahim dengan “ibri” atau “hebrew”.
Maksudnya adalah “orang yang datang dari seberang dengan menyeberangi sungai”.
Yang dimaksud disini adalah sungai-sungai Eufrat dan Trigis. Kemudian
keluarganya dinamakan “ibris” atau “hebrews”.
Orang Kanani yang berada di Kanaan waktu itu menyebut Ibrahim dan
rombongannya dengan istilah “ibri”, yang berarti “orang yang datang dari seberang”.
Ibrahim beserta rombongannya kemudian di Kanaan untuk beberapa lama.
Pada tahun 1918 S.M. Ibrahim memperoleh seorang putra dari isterinya,
Sarah, dan diberinya nama Isac atau Ishaq. Ishaq memperoleh seorang putra yang
diberinya nama Ya’qub, yang kemudian bernama Israel dan keturunannya disebut
anak-anak Israel atau Israelites, atau bani Israel.
Menurut Winwood Reade, anak-anak Ibrahim tidak lebih dari Badui Arab.
Mereka pindah dari dataran-dataran tinggi yang terletak di antara sungai Eufrat dan
Trigis, melintasi padang pasir Arabia-Siria, memasuki Kanaan yang terletak di
Punisia, di antara padang pasir dan laut Mediterania.
Ya’qub mempunyai duabelas orang putra dan masing-masing mempunyai
keturunan yang banyak pula, begitu seterusnya, beranak, bercucu dan berkembang
biak. Dalam waktu yang tidak lama mereka menjadi satu suku yang besar dan
berpengaruh terhadap daerah-daerah tempat mereka tinggal. Mereka menjadi
kelompok-kelompok pengembara mencari tempat-tempat yang subur, atau
merebutnya dari suku-suku lain. Daerah yang dijajah bani Israel itu meliputi mulai
dari tanah kelahiran leluhurnya di Ur, wilayah Babilonia, tetangga Persia, terus ke
utara, Haran di wilayah Mesopotamia dan Asiria, kembali ke arah selatan, bagian
barat, Kanaan, tetangga Siria dan Arabia, akhirnya menelusuri pantai timur laut
Mediterania sampai ke Mesir, yang semuanya merupakan daerah-daerah yang amat
penting. Semua daerah ini mempunyai masa lalu yang gilang-gemilang.
Di antara semuanya itu, Mesir merupakan negeri yang paling penting bagi
penempatan Israel sebagai bangsa, sampai-sampai Tuhan menurunkan agama yang
khusus untuk mereka. Keberadaan mereka di Mesir diawali oleh Yusuf, putra
kesebelas dari Ya’qub, yang karena nasib untung dibawa orang ke Mesir dan
akhirnya menjadi pembesar Istana yang bertanggung jawab terhadap harta benda
istana dan kemakmuran rakyat Mesir. Yusuf menyelamatkan orang tua dan saudara-
saudaranya dari kesengsaraan dan kepunahan. Mereka berjumlah 66 orang, dan
disuruh pergi ke Mesir serta diberi tempat bermukim di Gosyem dan pekerjaan
sebagai penggembala ternak anak negeri.
Ya’qub meninggal duni di Mesir dan dimakamkan di Kanaan, di samping
makam Ishaq dan Ibrahim, di salah satu gua di padang Eferon. Adapun Yusuf
meninggal dunia di Mesir dalam usia lebih kurang 110 tahun. Sebelum meninggal, ia
berpesan kepada saudara-saudarany bahwa sepeninggalnya Tuhan akan mengunjungi
mereka dan membawa mereka ke luar dari negeri Mesir, pergi ke negeri yang telah
ditentukan Tuhan untuk mereka. Sampai waktu itu kehidupan keluarga Yusuf dan
saudara-saudaranya di Mesir berjalan amat baik. Mereka mendiami tanah-tanah yang
subur, diberi pekerjaan dan mendapat perlindungan dari penguasa kerajaan.
Setelah Yusuf meninggal, keadaan bani Israel berubah. Pelindung mereka
sudah tidak ada lagi. Mereka tetap terpisah dari bangsa Mesir, baik dari segi agama,
maupun dari sudut sosial budaya. Mereka dianggap tetap orang asing, dan bangsa
Mesir sendiri sejak semula kurang senang atas kehadiran mereka. Ketidak senangan
ini menimbulkan problem sosial bagi bani Israel. Mereka dijadikan budak, dikerja-
paksakan, ditahan perkembangannya, dan setiap bayi laki-laki yang lahir dari wanita-
wanita mereka dibunuh atau dihanyutkan ke sungai Nil.
Kewajiban membuang bayi ke sungai Nil dialami pula oleh sepasang suami
istri keturunan Lewi, yaitu Imran. Imran membuang anak pertamanya ke sungai Nil
dengan meletakkannya dalam sebuah kotak kayu. Akan tetapi kotak yang hanyut dan
berisi bayi tersebut diambil oleh putri Fir’aun, ketika kotak tersebut melintas di
perairan putri itu. Tertarik akan keelokan bayi tersebut, sang putri ingin mengasuhnya
dan menjadikannya sebagai saudara angkat, meskipun ia tahu bahwa bayi itu adalah
bayi kaum Israel. Fir’aun setuju, bahkan menjadikan bayi tersebut sebagai anak
angkatnya sendiri dan menamakannya dengan Musa, sebuah nama bagi seorang lelaki
Mesir. Dengan itu mulailah sejarah agama Yahudi, dan sejak itu pula sejarah bani
Israel menyatu dengan sejarah agsma Yahudi yang melekat pada diri Musa.
Sementara Musa dibesarkan dalam istana Fir’aun, dididik sebagai anak raja-
raja, kaumnya semakin menderita diperlakukan oleh orang-orang Mesir. Mereka
hidup melarat, menjadi budak yang tidak mempunyai hak milik apapun. Penderitaan
ini semakin meningkat bersamaan dengan tumbuhnya Musa menjadi orang dewasa
yang nantinya akan menerima perintah Tuhan untuk memulai pekerjaan
menyelamatkan bangsanya.
Sewaktu Musa telah dewasa dan mendengar penderitaan kaumnyua semakin
berat, ia pergi berkeliling untuk menjumpai mereka. Di suatu tempat, Musa melihat
orang Mesir memukul orang Ibrani. Musa memulai tugasnya membela bani Israel.
Orang Mesir tersebut dibunuhnya dan mayatnya disembunyikan agar tidak diketahui
orang. Akan tetapi perbuatannya ini ketahuan juga dan sampai ke telinga Fir’aun.
Musa tidak berani pulang ke istana, sebaliknya ia pergi menyembunyikan diri ke
suatu tempat di daerah Midian. Di sini ia tinggal di rumah seorang imam dan kawin
dengan putrinya, Zippora. Melalui istrinya ini, Musa memperoleh putra yang
diberinya nama Gersom.
Setelah Fir’aun, ayah angkat Musa, mangkat dan diganti oleh Fir’aun
berikutnya, penderitaan bani Israel di Mesir semakin meningkat. Mereka menjerit dan
mengadukan nasib mereka kepada Tuhan, karena memang mereka diajari demikian
oleh nenek moyang mereka, Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, agar menyembah Tuhan
Yang Esa. Dalam hal ini Perjanjian Lama surat surat Keluaran menerangkan:
Maka didengarlah Allah akan pengaduh mereka itu serta ingalah Allah akan
perjanjian-Nya dengan Ibrahim dan dengan Ishaq dan dengan Ya’qub. Maka
ditilik Allah akan bani Israel serta diketahuinyalah. Sebermula, maka adalah
Musa menggembalakan kawan domba Jetero, mertuanya, imam di negeri
Midian, dibawanya akan kawan domba itu jauh ke dalam padang Tiyah,
sehingga sampailah ia ke bukit Allah, yaitu Horeb. Maka kelihatanlah
kepadanya malaekat Tuhan itu dalam api di tengah-tengah belukar duri, heran,
maka dilihatnya belukar duri itupun bernyala-nyala dengan api, tetapi tiada
juga belukar itu dimakan olehnya. Maka kata Musa, baiklah aku pergi ke sana
hendak melihat ajaib besar itu, yaitu belukar ini tiada hangus. Demi dilihat
Tuhan ia datang hendak melihat, maka berserulah Allah akan dia dari tengah-
tengah belukar duri itu, firman-Nya : Hai Musa, Musa! Maka sembahnya:
Sahaya Tuhan!. Maka firman-Nya: janganlah engkau hampir kemari;
tanggalkanlah kasut daripada kakimu, karena tempat engkau berdiri itu tanah
yang suci adanya. Dan lagi firman-Nya: Aku adalah Allah bapamu, yaitu
Allah Ibrahim, dan Allah Ishaq dan Allah Ya’qub. Maka ditudungkan Musa
mukanya sebab takutlah ia memandang kepada Allah. Maka firman firman
Tuhan: Bahwa sesungguhnya telah kulihat segala aniaya yang berlaku atas
umatku yang di Mesir itu, serta terdengar tangis mereka itu dari karena segala
pengerahnya, bahkan, Aku mengetahui segala sengsaranya. Maka sebab itu
telah Aku turun hendak melepas mereka itu daripada tangan orang Mesir dan
membawa mereka itu keluar daripada negeri ini kepada sebuah negeri yang
baik dan luas, kepada sebuah negeri yang berkelimpahan air susu dan madu,
ke tempat kedudukan orang Heti dan orang Amori dan orang Ferizi dan orang
Hewi dan orang Yebuzi. Marilah sekarang Aku hendak menyuruhkan dikau
menghadap Fir’aun, supaya engkau membawa akan umat-Ku, yaitu akan bani
Israel ke luar negeri Mesir. Maka sembah Musa kepada Allah: Siapa gerangan
hamba-Mu ini, maka hamba akan menghadap Fir’aun dan membawa bani
Israel ke luar negeri Mesir? Maka firman Allah: Bahwasanya Aku kelak
menyertai akan dikau dan inilah akan menjadi suatu tanda bagimu, bahwa
Aku menyuruhkan dikau: apabila bangsa ini telah kau bawa keluar dari Mesir,
maka kamu akan berbuat bakti kepada Allah di atas bukit ini.
NABI-NABI YAHUDI
Agama Yahudi juga dikenal sebagai agama banyak nabi. Sering terjadi, ketika
orang Yahudi masih berada di tanah air mereka, para penguasa mereka selalu
membuat kecurangan dan memimpin mereka sering menyeleweng dari ketentuan
hukum yang diajarkan agama mereka. Banyak diantara mereka hidup meniru cara-
cara hidup bangsa-bangsa yang pernah menaklukkan mereka, termasuk menyembah
berhala. Dalam saat-saat seperti itulah lahir orang-orang tertentu yang berusaha
menyeru mereka agar kembali ke jalan yang benar yaitu mematuhi ketentuan-
ketentuan hukum Taurat yang diwariskan Musa. Dengan bersaksi kepada YeHoVah
mereka memperingatkan bani Israel tentang apa yang akan terjadi atas mereka, jika
mereka mau mengikuti cara hidup yang benar, sesuai dengan ajaran agama mereka.
Orang-orang inilah yang dinamakan nabi-nabi Yahudi atau nabi-nabi Israel.
Nabi-nabi ini mengajarkan kepada mereka apa sebabnya mereka ditimpa
malapetaka. Mereka juga menyerukan supaya orang kembali ke jalan yang benar,
meninggalkan kejahatan dan bersedia hidup di jalan Tuhan dengan sebaik-baiknya.
Para nabi ini adalah orang-orang bijaksana. Mereka tahu, bahwa dari yang baik
datang yang baik, dan raja yang lalim akan menjadi korban kelalimannya. Sebab itu
para raja, imam dan pendeta, sangat benci kepada nabi-nabi ini.
Nabi-nabi tersebut hampir semuanya terdiri dari orang-orang miskin yang
datang dari bukit-bukit Yudea, turun ke kota dan ke kuil-kuil. Di mana saja dia dapat
berkumpul dengan pendengar-pendengarnya, disitulah ia perdengarkan khotbah-
khotbahnya yang penuh dengan ajaran-ajaran moral dan keimanan. Hingga orang-
orang Israel dibuang ke Babil, nabi-nabi itulah yang selalu menyampaikan
pernyataan-pernyataan ketuhanan dan memegang kendali agama; raja mengendali
hukum-hukum negara, pendeta mengurusi peraturan-peraturan yang berkenaan
dengan biara dan kuil-kuil. Para nabi itu bukan Cuma mengajarkan kepada orang
Yahudi bahwa mereka harus menempuh jalan yang benar dan menghindari kesesatan,
tetapi juga menyatakan bahwa “setiap orang Yahudi harus menyatakan perang suci
menentang kejahatan”. “Cintailah YeHoVah, cintailah YeHoVah, dan perangilah
syetan”, demikian pesan mereka. Mereka juga mengajarkan tentang Al-Masih yang
ditunggu. Juru selamat ini, menurut mereka, bukan Cuma sebagai pembebas kembali
Palestina, melainkan juga pembebas kemanusiaan. Para nabi itu merupakan orang-
orang penting dunia, bekerja, menghayati kenyataan hidup sehari-hari sebagai
kenyataan yang selalu berkaitan dengan keinginan Tuhan.
Dasar tindakan kenabian adalah penyatuan agama dan moral. Mereka tidak
puas dengan hanya mencela ketidak-adilan dan penindasan. Mereka tampil sendiri
dalam tugas-tugas memerangi penyakit perbuatanmu.
Belajarlah berbuat baik, tuntutlah perkara yang benar, tolonglah orang yang
teraniaya, perbuatlah insaf akan anak-anak piatu dan pikirkanlah para janda
yang terlantar. Hai isi istana Daud, demikianlah firman Tuhan, putuskanlah
hukum dengan adil di pagi hari dan lepaskanlah orang yang disamun itu dari
tangan orang penganiaya, supaya jangan menjulang kehangatan murkaku
seperti api yang menyala-nyala, sehingga seorang pun tidak dapat
memadamkan dia, dari karean jahat perbuatanmu.
Demikianlah antara lain dorongan yang diberikan oleh para nabi Yahudi kepada
umatnya, sebagaimana dapat dilihat dalam, umpamanya kitab Yesaya 1:17 dan
Yeremia 21:12 dan 22:3.
Para nabi itu sebetulnya adalah motivator yang merangsang umat untuk
menjadikan ajaran agama sebagai pedoman hidup, baik dalam hubungannya dengan
tingkah laku maupun dengan Tuhan. Menurut Al-Qur’an, semua nabi Israel itu adalah
manusia pilihan yang berbudi pekerti mulia, sama dengan nabi-nabi lainnya.
Gambaran yang diberikan Al-Qur’an terhadap mereka adalah sangat baik. Kalau
diteliti, maka yang tergolong nabi-nabi Yahudi, sebagaimana dimaksudkan Al-
Qur’an, adalah Ibrahim, Isma-‘il, Ishaq, Ya’qub, Musa, Harun, Daud dan Sulaeman.
Akan tetapi orang-orang Yahudi sendiri mengakui nabi mereka itu banyak sekali.
Mereka didatangkan kepada bani Israel untuk menujukkan jalan yang benar kepada
bangsa ini, terutama setelah kerajaan Sulaeman terpecah-belah. Kedatangan mereka
juga dikatakan akan memecahkan tembok-tembok kasta yang berkembang dalam
masyarakat Yahudi pada waktu itu.
Ahmad Syalabi mengatakan, bahwa orang-orang yang diakui oleh umat
Yahudi sebagai nabi itu tidak semuanya pantas disebut nabi. Sebagian mereka terdiri
dari tukang-tukang tenung yang berusaha membaca hati manusia untuk sekedar
mendapatkan upah. Ada juga diantara mereka yang fanatik tidak sadar menyanyikan
lagu yang membangkitkan emosi orang banyak, atau minum–minuman keras, atau
menari-nari sampai tidak sadarkan diri. Dalam ketidaksadaran itu keluarlah ucapan-
ucapan yang dianggap oleh yang percaya sebagai wahyu yang turun dari Tuhan.
Mengherankan juga, bahwa mereka saling mencaci-maki. Hal diatas diakui juga oleh
Mulder, karena menurut dia bukan semua orang yang mengaku nabi memang benar-
benar nabi Tuhan; ada nabi-nabi yang palsu yang tidak berbuat berdasarkan firman
Tuhan, melainkan berdasarkan kehendak mereka sendiri. Sementara itu ada yang
sebenarnya. Tetapi nabi yang benar ini juga amat banyak jumlahnya. Obaja, seorang
bendahara raja, umpamanya, berhasil melindungi seratus orang nabi dari
penganiayaan raja. Dalam Al-Kitab ada garis pemisah antara nabi palsu dan nabi
yang sesungguhnya. Nabi palsu adalah tukang tenung dan ahli nujum, sedang nabi
sejati adalah yang seperti Musa sifatnya, yang berani menyatakan firman Tuhan
kepada siapa saja. Beberapa nabi yang dianggap nabi sejati oleh orang Yahudi adalah
Isaiyah atau Yesay, Yeremia, Ezekil dan Daniel, Amos, Obaya, Yunus, Mikha,
Nahum, Habakuk, Zefanya dan Maleakhi, Hagai, Zakaria, Elia, Natan dan Debora.
Karena banyaknya jumlah nabi, Israel menggolongkan mereka menjadi nabi-nabi
yang dahulu dan nabi-nabi yang kemudian, atau nabi-nabi besar dan nabi-nabi kecil.
Mengenai Musa, Harun, Daud dan Sulaeman oleh umat Yahudi dianggap
sebagai pemimpin atau raja-raja dari kerajaan mereka yang mula-mula. Dalam
Perjanjian Lama ada 16 kitab yang dinisbatkan kepada nabi yang masing-masing
kitab bernama kitab nabi, seperti “kitab nabi Yeremia”, “kitab nabi Yunus” dan
sebagainya. Akan tetapi tidak ada kitab nabi Musa, kitab nabi Harun, nabi Daud dan
sebagainya.
Dengan uraian di atas, nyatalah bahwa nabi-nabi Yahudi adalah orang-orang
yang mengulas firman Tuhan yang disampaikan kepada Musa, yang dalam dunia
Kristen disebut rasul-rasul.
Ten Commandements
Ten Commandements itu bermakna Sepuluh Perintah. Ten Commandement
itu berisikan azas Keyakinan (Aqidahz) beserta azas-azas Kebaktian (Syariat).
Sepuluh Perintah itu diterimakan Nabi Musa dari Yahuwa (Allah Maha Esa) sewaktu
munajat di atas bukit Sinai dan diterimakannya melalui dua luh (papan batu).
Sepuluh Perintah itu termuat di dalam Kitab Keluaran, 20:1-17 dan di dalam
Kitab Ulangan, 5:1-21 dan kesimpulan isinya ialah :
1. Jangan memuja Allah lainnya di luar Yahuwa.
2. Jangan membuat patung maupun ukiran.
3. Jangan menyebut nama Yahuwa dengan sia-sia.
4. Memuliakan hari Sabat.
5. Hormati ibu-bapa.
6. Jangan membunuh.
7. Jangan berbuat Zina.
8. Jangan mencuri.
9. Jangan melakukan kesaksian dusta.
10. Jangan menginkan hak-milik orang lain tanpa hak.
Sepuluh Perintah itu dinyatakan Perjanjian Yahuwa dengan bani Israil.
Sepuluh Perintah kepada bani Israil itupun tercantum di dalam Kitab Suci Al-Qur-an
termuat di dalam Surah Al Baqarah, 63-93 dan Surah Al An’am, 151-153 dan Surah
Al-Israk, 23-40, dinyatakan al-Mitsaq (Perjanjian).
Jesus Kritus di dalam Kotbah di Bukit (Sermon of the Mount), termuat di
dalam Injil Matius, V:17-18, mengemukakan pernyataan berbunyi: “Janganlah kamu
sangkakan Aku datang hendak merombak Hukum Taurat atau Kitab Nabi-Nabi;
bukannya Aku datang hendak merombak, melainkan hendak menggenapkan. Karena
sesungguhnya Aku berkata kepadamu, sehingga langit akan lenyap daripada Hukum
Taurat sampai semuanya telah terjadi”.
Dimaksudkan dengan Hukum Taurat oleh Jesus Keristus itu ialah Hukum
Taurat Musa, yaitu Sepuluh Perintah itu: pengakuan tentang keesaan Allah, larangan
pembikinan patung pujaan dan lainnya.