Anda di halaman 1dari 26

“Ayodya Kanda”

Oleh

Ni Nengah Aprilia (2011011048)

Ni Wayan Nik Suniasih (2011011049)

Dosen Pengampu :

Ni Made Suyensi, S.Ag.,M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

FAKULTAS DHARMA ACARYA

UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA

DENPASAR

2022
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan
karunianya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Makalah ini berjudul “Ayodya
Kanda“ disusun sebagai bahan tugas pada mata kuliah Itihasa di Prodi Pendidikan Agama Hindu.

Selama penyusunan makalah ini tidak sedikit hambatan yang saya alami namun
hambatan-hambatan tersebut telah mampu saya lewati berkat bantuan dan masukan yang telah
diberikan kepada saya oleh beberapa pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu. Saya
selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu karena tanpa
bantuannya tidak mungkin makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Saya menyadari bawasannya masih banyak kekurangan dari makalah ini, ibarat pepatah
mengatakan "tidak ada gading yang tak retak". Oleh karenanya saya selaku penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan evaluasi dalam
menyusun makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk
perkembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Semarapura, 30 September 2022

Penyusun

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar..................................................................................................ii

Daftar Isi...........................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan........................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2
1.3 Tujuan.........................................................................................................2
BAB II Pembahasan.......................................................................................3

2.1 Ayodhya Kanda .........................................................................................3

BAB III Penutup.............................................................................................22

3.1 Kesimpulan.................................................................................................22

3.2 Saran...........................................................................................................22

Daftar Pustaka................................................................................................`23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesusastaraan secara morfologis kata kesusastraan, yang lebih sering hanya disebut sastra,


dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang berarti ‘semua yang berkaitan dengani, prefiks su ‘baik,
indah, berguna’ dan bentuk dasar sastra yang berarti ‘kata, tulisan, ilmu’.Jadi, menurut uraian di
atas kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Salah satu contoh dari
Kesusastraan Hindu adalah Itihasa. Itihasa berasal dari tiga suku kata yaitu, Iti, Ha, Asa. Iti
berarti begini, Ha berarti tentu, dan Asa berarti terjadi. Jadi Itihasa adalah cerita ini adalah
memang sudah terjadi begini atau benar-benar terjadi. Itihasa dapat disebut dengan Wiracarita.
Wiracarita yaitu cerita-cerita tentang kepahlawanaan. Itihasa merupakan bagian dari Weda ,
terletak pada Weda Smerti. Itihasa merupakan cabang ilmu kitab suci Hindu terutama yang
termasuk dalam kelompok Upaweda . Jenis itihasa merupakan jenis epos yang terdiri dari dua
macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Ramayana terdiri dari tujuh kanda, yaitu Bala Kanda,
Ayodhya Kanda, Aranya Kanda, Kiskinda Kanda, Sundari Kanda, Yudha Kanda, dan Uttara
Kanda. Dalam  makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai Ramayana, bagian
kedua yaitu Ayodhya Kanda. Ramayana disusun oleh Maha Rsi Walmiki . Ramayana merupakan
sumber hidup dari etika dan kebudayaan. Isi epos Ramayana disamping mengandung ajaran-
ajaran kesusilaan dan kebajikan , juga tidak sedikit epos ini menyimpan ajaran hidup yang sangat
bernilai dalam bidang politik pemerintahaan, strategi perang, amanat penderitaan rakyat,
kehidupan social, serta ajaran-ajaran agama yang semuanya sesuai dengan kondisi Indonesia.

Ayodha Kanda dimulai dengan kisah tentang kembalinya Sri Rama dan Dewi Sita ke
Ayodhya untuk dinobatkan sebagai Maharaja, namun dibatalkan oleh ayah andanya Prabu
Dasaratha dari permintaan Dewi Kaikeyi. Dia meminta dua permintaan kepada Prabu Dasaratha
yaitu, permintaan yang pertama agar putranya Bharata dinobatkan sebagai Maharaja di Kerajaan
Ayodhya, dan permintaan keduanya agar Sri Rama diasingkan ke dalam hutan selama 14 tahun.

1
1.2. Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana isi kanda dalam Ayodya Kanda?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui dan memahami isi kanda dalam Ayodya Kanda.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ayodya Kanda


Kanda yang kedua dalam Ramayana, dimulai dengan kisah tentang kembalinya Sri Rama
dan Sita ke Ayodya untuk dinobatkan sebagai maharaja, namun dibatalkan oleh ayahandanya
Prabhu dasaratha, terdiri dari 119 sargah masing-masing menguraikan : Raja Bharata beserta
Satrugna menuju ke ibukota kerajaan pamannya dari pihak ibu. Maharaja merencakan menobatkan
putranya Sri Rama sebagai raja pengganti dan mengundang beberapa raja bawahannya untuk
membahasnya. Maharaja Dasarata meyampaikan hal tersebuut di persidangan agung dan akan
menyerahkan sepenuhnya kekuasaannya kepada Sri Rama dan seluruh penasehat kerajaan dan
hadirin sepakat untuk maksud tersebut dan bahkan maharaja mendesak supaya segera
dilaksanakan penobatannya. Didesak oleh maharaja untuk segera menyelenggarakan upacara
penobatan Sri Rama sebagai raja pengganti Maharaja Dasarata, Maharsi Vasistha memerintahkan
patihnya Sumantra dan yang lain-lain, untuk segera mempersiapkan keperluan untuk acara
tersebut. Sementara semua orang mempersiapkan peralatan upacara di bawah pimpinam Sumatra,
Sri Rama menghadap ayahanda maharaja yang telah mengumumkan rencana penobatan tersebut
untuk mendapatkan berbagai petunjuk. Sri Rama menerima nasehat pula dari ibunya Dewi
Kausalya seperti halnya nasehat dari ayahanda maharaja dan dengan sujud Sri Rama memberi
penghormatan kepada ibunya kemudian meninggalkan menuju istana putra mahkota, tempatnya
sehari-hari. Khawatir terjadinya halangan terhadap penobatan Sri Rama lewat mimpi yang tidak
menyenangkan, Maharaja Dasarata segera memanggil Sri Rama untuk melakukan beberapa
pantangan, untuk menyucikan diri (puasa tertentu) bersama Dewi Sita sebelum acara penobatan
berlangsung. Atas seijin Maharaja Dasarata menenmui ibunya Dewi Kausalya, setelah
memperoleh restunya, Sri Rama beserta Dewi Sita meninggalkan tempat ibundanya segera
kembali ke peraduannya. Di tempat Maharaja Dasarata, Maharsi Vasistha memanggil Sri Rama
bersama Dewi Sita untuk segera melakukan puasa semalam suntuk. Maharaja menunda sebentar
acara sidang dan istirahat di peraduannya. Atas perintah Maharsi Vasistha, Sri Rama segera mandi
pagi keesokan harinya, melakukan pemujaan kepada para Dewata dan malam sebelumnya tidur
diatas tempat tidur berupa alas rumput kusa (alang-alang). Ketika pagi-pagi benar telah bangun
keesokan harinya, Sri Rama melakukan sembahyang rutinnya (Sandya) dan memohon restu

3
kepada para pandita untuk hari yang dirakhmati itu. Seluruh warga kota Ayodhya menghias
kotanya dengan berbagai dekorasi yang indah, menandakan akan adanya festival yang meriah dan
tampak gerombolan masyarakat yang ingin segera menyaksikan upacara penobatan Sri Rama
sebagai raja pengganti ayahandanya. Menyaksikan persiapan demikian meriah dan tampak pula
Dewi Kausalya memberikan cukup banyak dana (sebagai penghormatan) kepada para Brahmana,
Manthara, seorang abdi wanita yang tubuhnya bengkok sejak kanak-kanak dan abdi setia dari
Dewi Kaikeyi, yang kebetulan menyaksikan dari lantai atas istana, menyelidiki keadaan Sri Rama
yang di masa lalu pernah dirawatnya. Mendengar rencana penobatan tersebut, Dewi Kaikayi di
satu pihak merasa bergembira atas rencana penobatan tersebut dan merencakan untuk memberikan
hadiah berupa berbagai permata sebagai tanda ikut bergembira. Sementara itu Manthara mencoba
untuk mempengaruhinya, mendesak Dewi Kaikeyi untuk berusaha membatalkan penobatan
tersebut dan penobatan itu terus berlangsung, akan menjadikan putranya sendiri, yakni Raja Muda
Bharata memperoleh bencana, karena tidak memperoleh kedudukan sebagai pengganti Maharaja
Dasarata. Manthara mendesak terus untuk dapatnya Kaikeyi membatalkan penobatan atas Sri
Rama. Dewi Kaikeyi, hatinya telah diracuni oleh kedengkian, terbujuk oleh desakan Manthara dan
meminta kepada Maharaja Dasarata supaya mengusir Sri Rama dan menobatkan Bharata sebagai
pengganti Maharaja Dasarata dan bertanya kepada Manthara bagaimana caranya mewujudkan
keinginannya itu. Manthara menceritakan bagaiamana menarik pelajaran dari konflik antara para
Devata dengan para raksasa dan Prabhu Dasarata memperoleh bantuan dari para Devata dan
maharaja yang didampingi oleh istrinya dalam situasi yang sangat kritis di medan perang benar-
benar mendapat bantuan dari istrinya itu, setelah selamat memberikan dua anugrah yang
pelaksanaannya ditunda sampai tepat waktunya. Manthara mendesak Dewi Kaikeyi karena saatnya
sekarang sudah tiba, yakni pertama mengusir Sri Rama dan kedua menobatkan Bharata sebagai
raja pengganti ayahanda maharaja. Ketika Kaikeyi menghadap Maharaja Dasarata membuang
segala perhiasan yang dipakainya dan duduk di lantai, merajuk dan cemberut, memelas kepada
maharaja untuk dipenuhi permintaannya. Mendapat dampratan, patih Sumantra dan yang lain-lain
yang tengah mempersiapkan segala sesuatunya untuk penobatan Sri Rama, Maharaja Dasarata
mendatangi Dewi Kaikeyi, yang menyampaikan kabar yang tidak bahagia tersebut kepadanya.
Tidak dijumpai di tempat kediamannya, Mahraja Dasarata, ternyata Dewi Kaiketi sedang merajuk
dikamarnya, Maharaja menghampirinya, mengangkat tubuhnya serta membujuknya. Kaikeyi
menghasut maharaja untuk segera memenuhi keinginannya, Maharaja Dasarata memenuhi

4
janjinya. Sang prabhu memuji kebaikan Sri Rama dan membayangkannya sedang menjalani
pengasingan, sang prabhu berusaha memohin ketabahan Kaikeyi agar tidak jadi mengirim Sri
Rama ke pengasingan. Akan tetapi, dengan mengutip contoh dari harischandra dan yang lainnya,
Kaikeyi melipatgandakan keinginannya. Sang prabhu sendiri memarahi Kaikeyi dengan kata-kata
kasar dan memohon dengan sangat, namun sia-sia saja. Merasa tersiksa oleh Kaikeyi karena
desakannya untuk mendapat anugrah dari sang prabhu dikabulkan, belakangan beliau terus
berusaha mendekatinya. Sementara matahari telah terbenam, sang prabhu terus berusaha sampai
keesokan harinya memohon agar mengijinkan Sri Rama dinobatkan sebagai putra mahkota.
Namun Kaikeyi tetap tak mau berubah, pikiran sang prabhu sangat menderita sampai tak sadarkan
diri dilantai dan saat beliau siuman, menghentikan semua musik yang berhubungan dengan
perayaan itu ketika beliau meninggalkan peraduannya. Dengan mengutip hal-hal yang berkenaan
dengan keteguhan hati sang prabhu pada kebenaran dan mengancam mengorbankan hidupnya,
keinginannya tidak dipenuhi, Kaikeyi bersikeras mengirim Sri Rama ke pengasingan secepatnya
dan tidak menghentikan niatnya sekalipun dicemooh oleh suaminya. Sementara itu Sumantra
muncul di istana keputren dan terus memuji sang prabhu dan mengingatkan keinginannya untuk
menobatkan Sri Rama sebagai putra mahkota dan akhirnya meninggalkan istana keputren agar
memanggil Sri Rama demi sang prabhu. Sementara keluar dari istana keputren memanggil Sri
Rama, Sumantra bertemu Vasistha dan kawan-kawannya dan juga sejumlah raja yang menunggu
di pintu depan dan mohon segeran melaporkan kehadiran mereka kepada sang prabhu. Akan tetapi
ia diingatkan lagi untuk menjemput Sri Rama dan dengan segera memasuki ruang istana
berikutnya. Melihat kehadiran Sri Rama, Sumantra menyapa beliau sebagaimana perintah sang
prabhu untuk mengajak Sri Rama dan berangkat. Menunggu kereta emas yang ditemani
Laksamana yang memegang payung dibagian depan dan melambaikan sepasang camara (kipas
pengusir lalat) untuk mengipasinya dan diiringi oleh sejumlah gajah dan kuda, Sri Rama
mengemudikan kereta dalam kebesaran menuju Dasarata, sambil mendengarkan lagu
kemuliaannya dalam perjalan yang dinyanyikan oleh laki-laki dan perempuan yang bersorak
kegirangan. Sri Rama naik kereta dala kebesaran menuju istana ayahnya, melihat keagungan
Ayodhya dari kejauhan, mendengar restu dan pujian-pujian dari para sahabat dan kerabatnya dan
mengerlingkan mata kepada penonton dan setelah sampai di tempat tujuan mengirim balik
rombongannya untuk menyambut kehadiran yang mulian ayahnya. Ditanya oleh Sri Rama apa
yang menyiksa pikiran ayahnya, Kaikeyi menceritakan kepadanya semua yang terjadi dan dengan

5
keras mendesaknya berangkat ke hutan. Setelah setuju berangkat kehutan, Sri Rama berangkat
untuk memohon diri kepada ibunda Kausalya.Bahkan karena Sri Rama datang dari istana Ratu
Kaikeyi, penghuni istana keputren tiba-tiba gaduh, memuji kebaikan pangeran. Ibunda kausalya
memeluk dan memanjatkan doanya untuk Sri Rama dan sesaat kemudian ia bersimpuh di kaki
ibunya. Setelah diberitahu tentang masalah yang terjadi yang membawa Sri rama datang ke
ruangan ibunya, ibunya jatuh lunglai di lantai dirundung kesedihan dan mengangis tersedu-sedu
mengungkapkan kesedihannya. Setelah menghibur Kausalya yang tenagh berada dalam kesedihan
atas pengasingan Sri Rama, Pangeran Laksamana menentang rencana Sri Rama untuk berangkat
ke hutan dan mencela Dasarata, memutuskan menemmani kakaknya. Kausalya menghalangi Sri
Rama pergi ke pengasingan dan mengatakan Kaikeyi berlaku tak adil, akan tetapi Sri Rama
membenarkan perintah dengan alasan hal tersebut telah disetujui sang prabhu dan meinta ibunya
merelakan kepergiannya dan melakukan upacara berkaitan dengan keberangkatannya. Sri Rama
menenangkan Laksamana yang marah kepada Kaikeyi, dengn menolak perbekalan yang diberikan
Kaikeyi untuk pengasingannya dan menimpakan semua kesalahan sebagai nasibnya. Karena
marah sekali mendengar desakan Sri Rama, Laksaman menyarankan kata-kata ayahanda patut
diabaikan karena tindaka itu jauh dari kebenaran, selanjutnya menekankan adanay dominasi
kepentingan pribadi atas takdir, membujuk Sri Rama untuk menyingsingkan lengan melawan
mereka yang campur tanga dalam acara penobatannya dan menduduki tahta dnega cara paksa.
Namun Sri Rama menenangkan Laksamana dan mecamkan padanya akan perlunya melaksanakan
perintah ayahnya. Melihat Sri Rama patuh akan perintah ayahnya, kausalya (ibunda Sri Rama)
mendesak Laksamana untuk menyertai Sri rama. Tetapi ketika dibetirahu, ibunda mengatakan
adalah wajib bagi ibu untuk mematuhi dan melayani suami yang masih hidup, ia merestui
keberangkatan Sri Rama ke hutan. Setelah menerima restu untuk perjalannya, Sri Rama bersimpuh
di kaki ibunya dan akhirnya berangkat menuju kamar Sita untuk menjenguknya. Melihat Sri Rama
wajahnya muran dan tak bercahaya karena keputusasaan atas persetujuannya Sita yang tak tahu
apa-apa tentang pembatalan penobatannya dan ingin tahu dan gembira sekali menunggu
kedatanganya, ingin tahu oentyebab kekesalannya dan diberitahu bagaimana penobatannya
dibatalkan da kenapa ia akan dikirim kepengasinagn oleh ayahnya dan mendesak untuk merawat
ayah dan ibu mertua seperti sebelun]mnya dan memperlakukan Bharata dan Satrugna sebagai
saudara atau anak sendiri dan tidak pernah menaruh kebencian kepada mereka. Didesak oleh Sri
Rama untuk tinggal di Ayodhya merawat orang tuanya, Sita menjawab, ia adalah bagian dari Sri

6
rama karenanya ia bersikeras untuk turut serta sebab ia taka akan sanggup terpisah dari Sri Rama.
Dengan mengajak Sita pulang ke pertapaan dan begitu menderitanya hidup di hutan, Sri Rama
mencoba sekali lagi melarangnya dari keinginan untuk ikut serta ke hutan. Sita terus memohon
kepada Sri Rama agar bisa diajak ke hutan bersamanya, akan tetapi Sri Rama tidak berubah dan
terus menghiburnya dan memintanya tinggal di Ayodhya. Walaupun telah dihibur oleh Sri Rama
dengan berbagai cara, Sita tidak mengubah pendiriannya dan melihat keteguhan hatinya untuk
tetap ingin menyertainya, Sri Rama akhirnya mengijinkannya untuk turut serta ke hutan dan
memintanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya serta memberikan semua milik pribadinya
kepada Brahmana. Setelah mendengar percakapan Sri Rama dengan Sita, Laksmana mohon ijin
untuk turut serta ke hutan, akan tetapi Sri Rama menghendaki ia tetap tinggal di Ayodhya agar ada
yang merawat ibunya. Melihat kesungguhannya, Sri Rama membolehkannya juga turut serta dan
mendesaknya untuk mengajukan Suyajna dan Rsi-Rsi yang lain, menganggap mereka pantas
menerima pemberian darinya. Setelah menerima pemberian permata dan perhiasan dari Sri Rama
dan Sita, Suyajna memohonkan doa restu suci untuk pasangan mempelai. Diperintahkan oleh Sri
Rama, Laksmana lalu mendermakan busana sutra dan perhiasan dan lain-lain kepada putra Rsi
Agastya dan yang lainnya. Didorong oleh istrinya, seorang rsi, Trijata namanya, mendekati Sri
Rama untuk memohon harta kepada beliau. Sri Rama kemudian memberikan ribuan ekor lembu
dan membagikan sisa hartanya kepada para Brahmana dan sanak saudaranya. Setelah membagi-
bagikan harta kepada kaum Brahmana dan yang lainnya, Sri Rama ditemani Sita dan Laksmana
menghadap ayahandanya untuk mohon diri. Bahkan Sri Rama tetap tenang mendengarkan
berbagai perbincangan warganya yang berkumpul di sepanjang perjalanan yang menyiratkan
kesedihan yang mendalam pada wajah mereka, trio warga kerajaan itu telah mencapai tempat
tujuan dan mendesak Sumantra memberitahu ayahandanya tentang sampainya disana.
Pemberitahuan tentang Sri Rama telah tiba dipengasingan oleh Sumantra, Dasaratha terhenyak
dan pingsan mendengar kepergian Sri Rama dan istrinya. Menyadari sang Prabu jatuh tak
sadarkan diri setelah tidak melihat ahli warisnya, para perempuan rumah tangga istana meratapi
beliau dengan sangat memilukan. Ketika Sri Rama mohon diri untuk pergi ke tengah hutan sang
Prabu melarangnya dan memintanya menjadi raja. Sri Rama tetap berusaha menghibur ayahnya
dengan meyakinkan beliau ia tidak memiliki keinginan yang kuat atas tahta kerajaan dan
mematuhi perintah ayahnya adalah hal terpenting. Namun Dasaratha lagi tak sadarkan diri karena
teringat perpisahannya dengan Sri Rama, dan Sumantra serta semua perempuan yang ada di

7
ruangan itu juga merasakan hal yang sama. Berharap bahwa setelah dihasut memarah, Kaikeyi
mungkin sadar kembali dan meredakan keinginannya untuk mengirim Sri Rama ke pengasingan,
Sumantra mendekatinya, mengingatkannya akan kelakuan yang tidak baik ibunya kepada
suaminya (ayah Kaikeyi). Akan tetapi Kaikeyi tetap pada pendirian dan tidak bergeser sedikit pun
dari tujuannya semula. Dasaratha memerintahkan Sumantra untuk mengambil sepasukan prajurit
dan bendahara istana untuk menemani Sri Rama, namun Kaikeyi keberatan dan tetap berpegang
bahwa Sri Rama harus dikirim ke pembuangan tanpa bekal apapun dengan membandingkan
dengan Asamanja, putra nenek moyangnya, Sagara. Seorang menteri kerajaan, namanya
Siddharta, yang hadir disana menentang Kaikeyi dan mengatakan bahwa analogi Asamanja,
seorang anak laki-laki yang suka membantah, tidak dapat diberlakukan pada kasus Sri Rama, yang
memiliki karakter ideal dan dengan alasan apapun berhak dinobatkan sebagai Putra Mahkota. Lain
halnya dengan Dewi Kaikeyi yang menentang rencana sang Prabu mengancam untuk
mendampingi ahli waris yang sah. Sri Rama menyuruh pelayan mencari kulit kayu untuk
digunakan sebagai pakaian. Padahal Kaikeyi sendiri sudah memberikan pakaian yang bagus,
namun baik Sri Rama maupun Laksmana telah menanggalkan pakaian kerajaannya. Akan tetapi
sulit bagi Sita untuk mengenakan pakaian dari kulit kayu dan akhirnya mengenakannya di luar
pakaian biasanya dengan bantuan Sri Rama, meskipun mendapat protes dari Vasistha, yang
memperingatkan Kaikeyi akan kekejaman untuk mengasingkan mereka. Dasaratha menjadi marah
mendengar ratapan mereka yang hadir setelah mendengar Sita mengenakan pakaian pertapaan,
beliau pun mendekati Kaikeyi. Ketika berangkat, Sri Rama meminta ayahnya merawat ibunya.
Karena diutus Dasaratha, Sumantra menyiapkan kereta perang untuk mengantarkan Sri Rama dan
kawan-kawannya ke hutan dan Sita menghias dirinya dengan perhiasan yang dibawa oleh
penasehat dan bendahara kerajaan. Kausalya member nasehat kepada menantunya dan dijawab
dengan anggukan. Sri Rama menghibur Kausalya dan mohon maaf kepada ibu-ibunya yang lain
yang meratapinya. Dasaratha mondar-mandir, sebagai bukti rasa hormat Sita, Rama dan Laksmana
menyapanya. Didampingi oleh Sita, Sri Rama memberi salam kepada Kausalya. Laksmana juga
menyapa Kausalya lebih dulu dan kemudian ibunya sendiri, Sumitra. Sumitra menasehati
putranya. Putra dan putri mahkota naik ke atas kereta, Sumantra mengendalikan kuda. Warga
kerajaan yang telah berkerumun mengikuti kereta, namun tidak dapat menyamai cepatnya kereta,
mereka kembali sunyi. Dasaratha juga menyusul kereta itu bersama Kausalya dan yang lainnya,
namun karena tidak dapat melaju kelihatannya mulai terhuyung-huyung dan tiba-tiba berhenti

8
yang mengundang protes dari para menteri yang bijaksana. Para putri keraton meratapi
pengasingan Sri Rama serta yang lainnya dan segenap warga Ayodhya juga menjadi begitu sedih.
Sri Rama telah berangkat menuju hutab dengan laju kereta yang demikian cepat, Dasaratha sia-sia
saja menyusulnya dengan berjalan kaki. Kereta yang demikian cepat menimbulkan debu yang
tebal sesaat setelah lenyap, sang prabu merasa sangat sedih dan roboh ke tanah. Ketika Kaikeyi
mendekati untuk memapahnya, beliau memakinya dan meminta jangan menyentuh dirinya.
Kausalya lalu membangkitkannya dan membujuknya untuk kembali. Pelayan pribadinya
mengajaknyakembali ke istana, melihat beliau jatuh dalam kedukaan, Kausalya duduk di samping
sang prabu dan nilai meratapinya. Ratapan Dewi Kausalya menyesali kejadian demi kejadian dan
perpisahannya dengan putranya tercinta Sri Rama dan menantunya yang setia Dewi Sita.
Membuktikan kebesaran Sri Rama, Sumitra seorang yang dulunya mahir berpidato, berusaha
meresakan kesedihan Kausalya. Ketika warga kerajaan yang mengikuti perjalanan Sri Rama ke
hutan menolak untuk kembali bahkan ketika diminta oleh Sri Rama dengan berbagai cara, tidak
mampu karena mereka tak mau berpisah dengan Sri Rama, Sri Rama beserta dan Laksamana turun
dari kereta dan berjalan kaki. Warga kerajaan mencoba membelokkan perjalanan itu dan
membujuk SriRama untuk kembali, namun sia-sia. Menjelang senja mereka tiba ditepian sungai
Tamasa. Setelah tiba di tepian sungai Tamasa dan memikirkan kesedihan rakyat Ayodhya, Sri
Rama berbaring beralaskan dedaunan meratapi nasib ayahnya dan perasaannya menjadi lega
karena yakin akan kemampuan Bharata. Sementara Sumantra bercakap dengan Laksamana tentang
keluhuran budi Sri Rama. Setelah bangun, Sri Rama memerintahkan kusir kereta untuk
menjalankan kereta sedemikian rupa hingga bisa juga mengangkut beberapa warga yang turut
serta sehingga seolah-olah mengajak mereka kembali ke istana dan tidak merasa berjalan menuju
hutan. Ia kemudian naik kereta ke kereta bersama Sita dan Laksamana dan menuju ke hutan.
Warga kerajaan yang telag mengikuti perjalanan Sri Rama ke hutan menemukan Sri Rama telah
pergi dan saling mengungkapkan kekecewaan mereka. Untuk mengobati kesedihan mereka
menelusuri jejak kereta, namun tak berhasil menemukannya, mereka tak berdaya untuk kembali ke
Ayodhya dalam keadaan benar-benar patah semnagat. Diberitau tentang keberangkatan Sri Rama
oleh warga kerajaan yang ikut bersama Sri Rama dan kembali, karena kehilangan jejak keretanya,
para istri mereka menyalahkan Kaikeyi dan larut dalam ratapan. Setelah menempuh perjalan
panjang, Sri Rama mandi pagi dan melakukan pemujaan, dan setelah menyeberangi sungai-sungai
di dalam kitab Vedasruti, Gomati dan Syandika, berbincang-binang dengan Sumantra. Berdiri

9
mengahdap kearah Ayodhya, Sri Rama mengucapkan selamat tinggal kepada tempat kelahirannya,
menyuruh pulang warga yang berasal dari desa terdekat, yang sempat mengunjunginya, dan
menyeberangi perbatasan Kosala, Sri Rama menuju lembah sungai Gangga. Begitu turun dari
kereta di bawah pohon ingudi yang tumbuh di lemah itu, ia pergi menemui Guha, kepala desa
Nisada, yang pernah menemuinya. Dan lebih dari itu, melakukan pemujaan di sore hari dan
mengambilkan air (untuk makan dan minum), sang pangeran berbaring di atas tanah untuk
beristirahat semalam. Sementara Sumantra, Guha dan Laksamana berbincang-bincang sepanjang
malam. Mengatakan kesiapannya untuk mengawal Sang Putra Mahkota dan permaisuri, melek
semalam suntuk, Guha meminta dengan sangat kepada Laksamana untuk berisitirahat. Akan tetapi
dengan mengingatkan Guha akan kebesaran Sri Rama, Laksamana mengatkan kepadanya bahwa
sekali pun kewajban menjaga saudara dan istrinya dapat dipercayakan kepada Guha, ia merasa
tidak pantas berbaring di samping kakak dan kakak iparnya dan lebih memilih untuk tetap terjaga.
Ingat akan kesedihan ayahnya dan ibu yang disayanginya, karena itu melewatkan malam itu
berbincang dengan Guha. Sesaat akan naik ke atas perahu yang di bawah oleh anak buah Guha
dan diminta oleh Guha jiika mereka membantu sang pangeran, Sri Rama memerintahkan supaya
menghormati sang prabu. Didesak oleh Sumantra untuk mengantarkannya sebagai pelayan pribadi
ke hutan. Sang pangeran menolak tawarannya yang simpati dan mengirimnya kembali ke
Ayodhya. Dengan mengunci pintu perahu dari pengikut yang demikian banyak dengan getah
pohon beringin yang dicarikan oleh Guha, Sri Rama dan Laksamana serta Sita menaiki perahu itu.
Ketika sampai di pertengahan sungai, Sita besujud kepada Dewi Gangga (yang berstana di Sungai
Gangga) dan stelah menyeberangi sungai ketiga orang itu berhenti di bawah sebuah pohon.
Memahami kesulitan yang dialami oleh Kausalya karena ulah Keikeyi, Sri Rama yang duduk di
bawah pohon beringin membujuk Laksamana dengan kerendahan hati agar kembali ke Ayodhya.
Akan tetapi Laksamana tidak mampu menjalani hidup tanpa kehadiran kakaknya dan tak akan
bergeser sedikit pun dari kakaknya. Karena itulah Sri Rama menyerahkan sepenuhnya kepadanya
untuk menemaninya selama pembuangan. Dalam melanjutkan perjalanannya menuju hutan
Dandaka dengan Sita dan Laksamana, saat menjelang petang Sri Rama sampai di pertapaan
Bhagavan Bharadvaja dekat pertemuan dua Sungai Suci Gangga dan Yamuna. Karena rasa
hormatnya kepada Sri Rama dan lain-lainnya, Bhagavan Bharadvaja menyarankan menumpang
sementara di Citrakuta. Menghabiskan waktu semalam denagn perbincangan berbagai topik,
bhagavan mengijinkannya melanjutkan perjalanan menuju tempat Citrakuta. Bahkan Maharsi

10
Bharadvja juga memberitahu Sri Rama dan Laksamana menuju Citrakuta, jalan yang semestinya
dilalui. Ditemani oleh Sita, Sri rama dan Laksamana menyeberangi Sungai Yamuna dengan rakit
yang telah mereka persiapkan. Pada malam harinya mereka beristirahat di lembah Yamuna
bersama Sita, yang gembira mendapat buah dan bunga kesukannya. Melanjutkan perjalanan
keesokan paginya dan gembira menyaksikan keindahan hutan, rombongan itu sampai di Citrakuta
dan memasuki pertapaan Valmiki. Setelah memutuskan untuk tinggal sementara di sana dan atas
perkenan bhagavan, Sri Rama mengajak Laksamana mendirikan gubuk dari dedaunan dan
bersujud kepada para Dewa yang dipuja ditempar itu, mereka dengan penuh rasa syukur
memasuki gubuknya pada saat yang tepat. Setelah diberi kabar tentang keberangkatan Sri Rama
ke Citrakuta oleh mata-mata Guha dan setelah pamita, Sumantra kembali ke Ayodhya. Ketika
memasuki istana keputren, ia melaporkan kepada raja dan menambahkan informasi yang
dilaporkan warga kerajaan yang turut menyertai kereta Sri Rama. Dasartha dan Kausalya jatuh
pingsan mendengar tentang keberangkatan Sri Rama ke Citrakuta dan semua penghuni istana
keputren meratap dalam kesedihan. Meratapi nasib Sri Rama, Sita dan Laksamana yang tidak
semestinya mengalami penderitaan setelah mereka pergi ke hutan, raja menyuruh Sumantra
menyampaikan pesan perpisahandan kusir kereta berangkat menyampaikan apa yang mereka telah
pesankan. Untuk mengobati rasa keingintahuan raja, Sumantra menceritakan keberangkatan Sri
Rama ke hutan dan juga mengabarkan kepada beliau keadaan yang menyedihkan yang dirasakan
oleh setiap makhluk hidup yang tidak tinggal ditempat yang semestinya dan meninggalkan kota
kerajaan sebagai akibat dari pembuangan Sri Rama. Mendengar cerita yang begitu menyedihkan,
Dasaratha marah seperti orang giila yang di hadapkan kusir kereta menteri. Sumantra tidak
berhasil meredakan kesedihan Kausalya, yang sempoyongan ke lantai karena terlalu sedih ketika
berpisah dengan Sri Rama walaupun ia berusaha mengibur dengan mengatakan kepadanya bahwa
Sri Rama, yang tegas dan berjiwa besar, sedang berada di hutan dalam keadaan bebas dari
penderitaan.Menyadari bahaya bagi raja atas ketidakmampuannya yang menangung derita karena
berpisah dengan Sri Rama. Kausalya, istri yang paling setia mengejek prabu Dasaratha. Ketika
disalahkan dengan kata-kata pedas oleh Kusalya, walaupun sudah merasa sedih karena berpisah
denga putranya, Sri Rama dan menantunya, Dewi Sita, Dasaratha jatuh pingsan mengenang dosa
masa lalu membunuh seorang petapa, yang berakibat pada kemalangannya saat ini. Saat siuman
dari pingsannya beliau mencoba mencakupkan tangan untuk berdamai dengan Kausalya, lalu
Kausalya pun membalasnya, sang prabu akhirnya tidur terlelap. Setelah bangun tidur, dan

11
mengenang dosa atas perbuatannya, yang berarti kematiannya, Dasaratha menemui Kausalya,
bagaimana semasih beliau menjadi putra mahkota di Ayodhya, suatu hari beliau pergi berburu
kedalam hutan dan pada saat menjelang pagi mendengar suara seorang anak pertapa sedang
mengisi kendinya air dengan mencelupkan ke dalam Sungai Sarayu. Karena salah mengira bunyi
berdeguk sebagai suara gajah, sang pangeran membidik dengan anak panah, yang tepat menancap
di dada anak laki-laki itu dan menyebabkan luka parah. Ketika mendekati hasil buruannya, ia
menemukan kecerobohan yang fatal dan memohon maaf dengan sepenuh hati kepada anak pertapa
itu, yang meminyanya untuk mencabut anak panah dari badannya dan mengabarkan kejadian ini
kepada orang tuanya. Anak itu meninggal begitu anak panah dicabut dari badannya. Dasartha
meneruskan ceritanya kepada Kausalya, ketika bertemu dengan orang tua almarhum, ia
memberitahukan peristiwa yang tragis itu, kejadian menyedihkan dan menghantarkan mereka ke
tepi sungai di mana mayat anaknya dibaringkan, kemudian kedua orang tua itu mendekapkan anak
lelaki itu ke dada mereka dan mereka berdua sedih meratapi dan mempersembahkan air minum
kepada Dewa. Bagaimana berkorban dengan badan halus, mendoakan arwahnya naik ke sorga
sembari menghibur kedua orang tua itu dan akhirnya kedua orang tua itu yang tidak lain adalah
pertapa mengutuk ang prabu yang juga kan mengalami kesedihan karena ditinggalkan putranya,
kedau pertapa melepaskan rohnya dan mencapai Yang Maha Agung. Setelah menghubungkan
dengan cerita kutukan itu da meratap keras, sang prabu menghembuskan nafas terakhir dalam
pikirannya hanya ada Sri Rama. Ketika Sang Prabu ridak bangun walupun dibangunkan dengan
cara menyanyikan lagu pujian oleh pujangga, diiringi music yang dimainkan dengan tujuan yang
sama, kaum putrid di keputren menyimpulkan sang prabu telah meninggal, segera disusul ratapan
keras dari Kausalya, Sumitra dan ratu yang lainnya. Membaringkan kepala bangsawan yang tak
berdaya di atas pangkuannya dan menyalahkan Kaikeyi, Kausalya berduka cita untuk Sri Rama
dan yang lainnya di pembuangan. Kausalya menahan diri, meratap dengan kedua tangan
didekapkan di dada mendiang suamniya. Selanjutnya menyimpan mayat maharaja di dalam peti
yang telah dilumuri minyak, para menteri dan pejabat istana lainnya kembali ke posnya masing-
masing pada malam itu. Menghubungkan dengan naik dan turunya suatu kerajaan dengan
kehadiran dan hilangnya penguasa, Markendeya dan Brahmana utama lainnya, yang hadir melayat
maharaja pada keeseokan harinya, mendesak Vasistha untuk segera menobatkan pageran naik
tahta.Dengan persetujuan markendeya dan Brahmana yang lainnya, Vasistha mengirim utusan
untuk memanggil Bharata dan Satrughna di istana kakek dari ibunya. Mereka segera

12
meninggalkan kota kerajaan Kekaya dan memasuki kota kerajannya. Melihat Bharata tertekan dan
sedih, sahabat-sahabatnya berusaha menghiburnya dengan musik dan bercerita. Namun ketika
pangeran tidak kembali kepada suasana hati biasanya, mereka ingin tau apa yang membuatnya
termenung dan Bharata memberitahu mereka bagaimana ia bermimpi buruk pada malam
sebelumnya. Sementara Bharata menceritakan kepada sahabat-sahabatnya tentang mimpinya pada
malam sebelumnya, utusan dari Ayodhya tiba dihadapannya, dan member salam kepadanya,
menyampaikan kepadanya permintaan Bhagavan Vasistha. Setelah mendengar langsung semua
keadaan dari mulut utusan itu, pangeran berpamitan kepada kakeknya dan berangkat menuju
Ayodhya. Ketika Bharata sampai di Ayodhya setelah menyebrangi banyak sungai kecil dan besar
dan melintasi beberapa daerah dan menjumpai kota kerajaan yang murung dan wajah-wajah yang
sepi, ia mulai berpikir keras apa yang membuat orang-orang kesedihan dan menduga-duga alas an
di balik ini semua, menanyakannya kepada kusir kereta, memasuki istana membuatnya merasa
sedih dan sangat tidak tenang. Ketika memasuki ruangan ayahnya dan tidak menemukan bliau
disana, Bharata bergegas ke ruangan ibunya, setelah memberitahukan keadaan kakeknya dan lain-
lain yang ditanyakan ibunya, menanyakan kepada ibunya dimana gerangan ayahnya. Kaikeyi
kemudian menyampaikan kematian ayahnya, menghubungkannya dengan pembuangan Sri Rama
dan merasa dirinya bertanggung jawab atas hal ini, dan setelah menghiburnya dan meminta
kesediaanya untuk dinobatkan menaiki tahtra setelah upacara pembakaran jenasah ayahnya.
Kaikeyi sangat menyesal, karena pernah melontarkan kata-kata pedas, Bharata berjanji di hadapan
ibunya untuk membawa kembali Sri Rama dari hutan, menobatkannya ke singasana Ayodhya dan
menunggu melayaninya sebagai pelayan atas kesalahan ibunya. Dengan sangat marah ia
menyalahkan ibunya, Bharata memutuskan tidak hanya mengajak pulang Sri Rama dari hutan dan
menyerahkan mahkota raja tetapi juga menjalani pembuangan selama empat belas tahun untuk
menebus janji kakaknya, Bharata yang diliputi amarah yang tak terkendali atas perasaan
kekhilafan yang dilakukan ibunya, tidak sanggup menahan kesedihan dan jatuh tak sadarkan diri
ke tanah. Bersumpah bahwa apa yang telah terjadi atas pembuangan Sri Rama, Sita dan
Laksamana dan berakibat sampai kematian raja bukanlah atas keinginannya. Bharata bergerak
dengan Satrughna menuju ruangan ibu tirinya, Kausalya, yang berbicara tidak menyenangkan
kepadanya, membangkitkan luka hatinya teringat akan kata-kata ibunya, Kaikeyi yang telah
memberikan jabatan yang baik kepadanya di Kerajaan Kosala yang dicarinya. Akan tetapi Bharata
menolaknya dengan halus dengan sejumlah sumpah atas keterlibatan akal bulus ibunya yang keji.

13
Karena itulah ia ingin tahu perasaannya dan berterusterang, Kausalya memangku kepala Bharata
dan menangis terisak-isak. Setelah mengangkat jenasah ayahnya dari dalam peti yang penuh
dengan minyak dan membakarnya dengan perlengkapan yang layak untuk seorang raja dan
mempersembahkan air suci untuk arwah almarhum di tepi sungai Sarayu disuruh oleh Vasistha,
Bharata kembali ke Ayodhya.

Setelah bersama Satrughna melakukan rangkaian upacara yang berhubungan dengan upacara
pembakaran jenasah almarhum ayahandanya pada hari kedua belas kematiannya, Bharat
mengadiahkan banyak emas dan permata kepada para Brahmana sebagai bagian dari upacara di
atas. Diliputi rasa sedih dalam perjalanan untuk menjemput tulang almarhum pada hari ke tiga
belas pangeran Bharata jatuh pingsan ke tanah. Berikutnya Satrughna juga jatuh terpleset karena
diliputi kesedihan mendalam. Mereka dihibur oleh Vasistha dan Sumantra, kedua bersaudara itu
meminta menteri untuk melakukan tugas menjemput tulang ayahnya. Sementara Bharata
merenung untuk melakukan perjalanan menemui Sri Rama, Satrughna menyalahkan Laksamana
karena gagal menahan ayahnya dan mencegah secara paksa rencana pembuangan Sri Rama.
Sejurus kemudian Bharata melihat Manthara berdiri di depan pintu mengenakan banyak perhiasan
dan menganggapnya sebagai akar dari semua kejahatan, Lalu Satrughna mendamprat pelayan itu
yang berdiri dia antara teman-temannya dan menangkapnya dengan menjambak rambutnya,
menyeretnya di lantai dan juga menyalahkan Kaikeyi. Manthara dilepaskan setelah memohon
belas kasihan dan dilerai oleh Bharata. Pada hari keempat belas, para penasehat istana memohon
dengan sangat kepada Bharata menerima singasana itu. Setelah menampik permohonan itu,
Bharata yang berkeinginan keras agar Sri Rama kembali ke Ayodhya, memerintahkan mereka
memanggil ahli bangunan untuk membuat jalan, jembatan, jalan pintas dan lain-lain untuk
memudahkan perjalanannya ke tempat Sri Rama berada. Para ahli bangunan yang dipanggil oleh
Bharata untuk membuat jalan dari Ayodhya ke tepian Sungai Gangga dan agar lebih mudah
menempuhnya dibuatkanlah beberapa gubuk dan sumur di sepanjang pinggir jalan. Para penyair,
pembaca doa-doa pujian dan penyanyi kidung mulai memuliakan Bharata sesuai tatacara adat di
tengah-tengah ditabuhkannya music pengiring upacara hingga matahari terbit dan keesokan
paginya, Bharata menghentikannya, menyerahkan kedaulatan dan mengadu kepada Satrughna atas
hal yang tidak baik dilakukan kepada dusia oleh ibunya sendiri. Sementara itu Bhagavan Vasistha
memasuki balai siding dan mengirim utusan untuk menghadirkan Bharata ke persidangan; atas
perintah Bhagavan, Bharata ditemani Satrughna dan yang lainnya, memasukia balai sidang.

14
Bhagavan Vasistha mendesak Bharata menerima kerajaan yang diwariskan ayahnya dan
kakaknya. Namun dengan penuh rasa penghinaan menolak tawaran itu dan dengan berikrar suci
berangkat ke hutan dan mencoba membujuk kakaknya untuk kembali ke Ayodhya. Untuk tujuan
ini Sumantra telah menyiagakan kereta dan membawanya ke hadapan Bharata. Setelah
meninggalkan ibukota kerajaan keesokan paginya, ditemani oleh pandita keluarga, beberapa ahli
bangunan, prajurit dan warga kerajaan menempuh jalan panjang, Bharata sampai di tepi Sungai
Gangga di Srngaverapura yang diperintah oleh Guha, para prajurit berkemah disana,
menghentikan perjalanan sejenak untuk melakukan Sraddha dan Tarpana untuk menghormati
arwah almarhum ayahnya di tepi Sungai Gangga dan juga member kesempatan istirahat kepada
para pengikutnya. Karena naluri Bharata mencium kejahatan, ia membawa serta prajurit dalam
jumlah besar, Guha memerintahkan tukang perahu untuk menjaga perahu sehingga bisa mencegah
pengikut Bharata menyebrangi Sungai Gangga, dan ia sendiri menemui Bharata agar mengetahui
tentang maksud kedatangan mereka. Setelah puas dengan menyuguhkan buah-buahan, umbi-
umbian dan lain-lain yang dibawanya ketika beristirahat sejenak dan melepaskan lelah,
mengijinkan melanjutkan perjalanan. Bharata sangat memuji Guha, sebelum berangkat ia
menyatakan kepada Guha jalan menuju pertapaan Bharadvaja. Ia pun berjanji menemani sebagai
pemandu bersama pembantunya dan telah melenyapkan rasa was-wasnya terhadapnya. Guha
mencari tahu maksud Sri Rama dan menghiburnya, yang akhirnya ia meratap atas prasangka
hingga menjelang sore hari. Guha menceritakan kepada Bharata bagaimana Sri Rama dan kawan-
kawan berhenti sejenak di Srngaverapura dan menirukan percakapan yang berlangsung antara
Laksamana dan dirinya pada malam itu dan selanjutnya mengatakan bagaimana kedua bersaudara
itu mengecoh para pengikutnya, menyebrangi sungai suci bersama Dewi Sita dan meninggalkan
pertapaan Bhagavan Bharadvaja. Dilanda rasa sedih setelah mendengar penuturan Guha,
bagaimana kedua kakaknya mengecoh pengikutnya, Bharata jatuh ke tanah tak sadarkan diri.
Setelah sadar pangeran mengirim Guha untuk member kabar kepada Kausalya, yang telah
diselimuti keprihatinan akan keselamatan Sri Rama dan rombongannya dan setelah mendengar
Bharata pingsan, dan memberitahukan keadaan Sri Rama sesungguhnya. Pada kesempatan itu,
Guha juga menuturkan bagaimana Sri Rama dan Sita tidur di atas tempat tidur dari rumput kusa
(alang-alang) yang disiapkan sendiri oleh tangan Laksamana ketika rombongan itu berhenti
sejenak di Srngaverapura dan bagaimana Guha dan Laksamana menjaga mereka berdua sepanjang
malam. Menjelaskan kepada Kausalya dan yang lainnya tempat tidur rumput kusa yang dipakai

15
bermalam oleh Sri Rama dan Sita, membandingkannya dengan kemewahan istana ketika mereka
tinggal di Ayodhya, Bharata mengenangnya dan menganggap dirinya bertanggung jawab atas
kejadian itu dan menyerahkan bagiannya kepada Sri Rama dan Sita dan berbagi penderitaan
hidup, karena itu ia memutuskan untuk tinggal di hutan sebagai wakil dari Sri Rama dan
menggelungkan rambutnya seperti pandita mengikuti jejak Sri Rama. Setelah berkemah bersama
prajuritnya, Bharata dipersilakan menyebrangi Sungai Gangga dengan perahu yang disiapkan oleh
nelayan atas perintah Guha. Bharata berangkat denga Vasistha bersama yang lainnya untuk
bertemu denga Bharadvaja di pertapaan. Setelah meninggalkan pasukannya yang jaraknya cukup
jauh dari pertapaan, Bharata masuk pertapaan bersama Vasistha dan Satrughna. Setelah
menyampaikan cenderamata antara Vasistha dan Bharadvaja Bharata bersimpuh di kaki
Bharadvaja dan member hormat, yang menanyakan kesehatan dan ingin tau tentang Sri Rama.
Setelah itu dengan amat menyesal Bharata menceritakan keinginannya untuk mengajak Sri Rama
pulang dari hutan dan menanyakan dimana Sri Rama berada. Atas pertanyaan ini, dikataka bahwa
Sri Rama sedang beristirahat di Gunung Citrakuta, dan menyarankan Bharata untuk menemuinya
keesokan harinya. Keramahan yang ditunjukkan oleh Bhagavan Bharadvaja yang telah
memperoleh kekuatan mistik melalui ketekunan tapabratanya kepada Bharata, prajurit dan
pengawalnya. Kekuatan mistik merupakan kekuatan yang tidak dapat diperlihatkan bahkan kepada
siapapun. Bharadvaja menunjukkan jalan menuju Citrakuta dan menanyakan kepada Bharata nama
ketiga ibunya, yang bersujud member hormat kepada Bharadvaja. Setelah itu menceritakan ketiga
nama ibunya beserta riwayatnya, dan memerintahkan prajurit untuk melanjutkan perjalanan,
Bharata menuju Citrakuta bersama beberapa penasehat. Setelah menginjakkan kaki di Citrakuta
bersama prajuritmya dan pengikut kemahnya, dan memeriksa tempat itu dengan bantuan tanda-
tanda yang ditunjukan Bharadvaja, Bharata memerintahkan prajuritnya mengawasi pertapaan Sri
Rama. Melanjutkan pencariannya mereka melihat asap kejauhan dan menyimpulkan pastilah itu
pertapaan Sri Rama, Bharata memerintahkan prajuritnya berhenti dan memutuskan untuk berjalan
kaki bersama Vasistha dan yang lainnya ke tempat itu. Untuk mengalihkan pikirannya dan
bermaksud menghibur Sita, Sri Rama memberikan gambaran tentang keadaan Citrakuta, dengan
member penjelasan lebih pada hal-hal tertentu. Uraian selanjutnya Sri Rama menghibur Sita,
berceritta tentang Sungai Mandakini. Sementara menghibur diri dan ditemani Sita di atas bukit
indah Citrakuta, Sri Rama tiba-tiba melihat awan tebal menyelimuti mentari dan mendengar suara
bergemuruh dan memerintahkan Laksamana memastikan apa penyebabnya. Setelah mendengar

16
perintah itu, Laksamana naik ke puncak pohon yang sangat tinggi, dan sekilas dilihatnya prajurit
dengan kereta pemimpinnya dengan membawa bendera bergambar pohon Kovidara, dengan cepat
menyimpulkan bahwa Bharata telah datang untuk membunuh Sri Rama guna memuluskan
jalannya ke singasana Ayodhya. Dengan masih berada di atas pohon dekat diatas Sri Rama,
legalah pikirannya akan kecurigaannya dan berbicara dengan agak marah kepada Bharata, ia
bersumpah akan membunuh penyusup itu. Dengan memandang tajam kearah Laksamana, yang
sedang memberi gambaran keliru tentang Bharata, tidak pantas merencanakan pembunuhan atas
dirinya, Sri Rama menenangkan Laksamana dengan menyakinkannya niat mulia dari Bharata.
Karena malu mendengar pendapat kakaknya tentang Bharata, ia turun dari pohon dan
menyembunyikan rasa malunya dengan mengalihkan pokok pembicaraan. Atas perintah Bharata,
yang hendak menghindari keributan di pertapaan yang ditempati oleh Sri Rama, prajurit membuat
kemah di sekitar Citrakuta. Setelah mendamprat Guha dan Satrughna beserta pengikutnya, Bharata
sendiri yang berkepentingan bertemu Sri Rama, pergi ke pertapaan ditemani para menterinya, ia iri
pad keberuntungan Sita dan Laksamana yang tinggal bersama Sri Rama, dan sampailah ia
dibawah pohon sal (pohon kayu di India utara yang menghasilkan kayu sejenis jati dan dammar)
dan menyimpulkan dari tempat itulah datangnya asap diperkirakan dekat dengan pemukiman
manusia dan menampik adanya orang lain yang hidup di tengah hutan seperti itu, ia sudah tak
sabar untuk segera bertemu dengan Sri Rama. Setelah meminta menjemput ibunya, Bharata
melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah gubuk yang terbuat dari ranting- ranting yang masih
ada daunya yang merupakan tempat tinggal ketiga orang dalam pembuangan. Ketika berusaha
memanggil Sri Rama, Sita dan Laksamana, ia melihat mereka, dia tersandung dan matanya
berlinang air mata ketika melihat pakaian pertapa yang merka kenakan. Sri Rama bergegas
membangkitkannyadn mendekapkan kepala di dadanya. Sumantra dan Guha juga akhirnya
bertemu dengan Sri Rama dan Laksamana. Dengan memangku kepala Bharata, Sri Rama memberi
penjelasan tentang hal ketatanegaraan dan juga menanyakan tentang keadaan ayahnya dan yang
lainnya. Menanyakan mengapa ia menyerahkan kekuasaan Ayodhya dan pergi ke hutan dengan
mengenakan pakaian pertapa, Bharata menyalahkan ibunya dan memohon dengan sangat kepada
kakaknya agar kembali ke Ayodhya. Akan tetapi bagi Sri Rama membela pendapat ayahnya
adalah hal yang utama dan semestinya dipatuhi oleh mereka bedua. Pertama, memerintahkan
pembuangan terhadap kakaknya da kedua menyerahkan kerajaan kepada Bharata. Bharata
menceritakan kepada Sri Rama, setelah menghilang hak pelayanan istimewa untuk kakaknya, ia

17
tidak akan melakukan apa-apa terhadap kedaulatan kerajaan dan memintanya mempersembahkan
air suci kepada mendiang ayahnya yang meninggal karena selalu memikirkan Sri rama, dan
kemudian sangat memohon kepadanya untuk segera mentasbihkan kedaulatan Ayodhya, upacara
pembakaran jenasah mendiang raja telah dilakukan oleh kedua bersaudara (Bharata dan
Satrughna) di Ayodhya. Sri Rama jatuh pingsan setelah mendengar kabar ayahnya yang telah
memasuki sorga dan ia sadar kembali karena Bharata dan kawan-kawan , yang memercikan air
suci kepadanya. Sri Rama terus termenung. Dihibur oleh Bharata dan setelahnya juga menghibur
Sita dan kembali-kembali ke tepi Sungai Gangga, namun ia tidak setuju mempersembahkan air
suci dan nasi persembahan untuk arwah mendiang ayahnya, ia kembali ke gubuknya. Mendengar
ada jeritan, prajurit mendekati mereka dan disapa oleh Sri Rama. Ditemani oleh Kausalya dan
yang lainya, Bhagavan Vasistha berangkat ke pertapaan Sri Rama. Vasistha menunjukan kepada
istri-istrinya almarhum gumpalan bubur buah Ingudi yang dipersembahkan kepada arwah
mendiang ayah Sri Rama yang diletakkan diatas rumput kusa dengan ujungnya menghadap
keselatan sepanjang tepian sungai Mandakini, Kausalya meratapi mendiang suaminya. Ketika tiba
di pertapaan, kedua bersaudara ( Sri Rama dan Laksamana) melihat gurunya dan bersimpuh di
kakinya. Usai memberi hormat kepada gurunya, Sri Rama mengambil tempat duduk. Ditemani
oleh para penasehat, Bharata juga duduk disampinya. Bharata memohon dengan sangat kepada Sri
Rama untuk menerima tahta Ayodhya dan ditawarka kepada Sri Rama sudah atas persetujuan
Kaikeyi, kendati pun sebelumnya telah diberikan kepadanya oleh mendiang ayah mereka. Dengan
menghibur Bharata, yang mana dirinya merasa bersalah atas pembuangan Sri Rama ke hutan dan
ia merana karena hal itu, namun Sri Rama berusaha menenangkannya dengan berbagai cara dan
mendesaknya untuk memikul beban pemerintahan itu. Memohon dengan sangat kepada Sri Rama
dengan alas an yang kuat untuk menerima tahta Ayodhya, Bharata bersumpah tidak akan kembali
ke Ayodhya tetapi tetap tinggal di hutan Sri Rama tidak mengabulkan permohonannya. Bunda
Kausalya dan yang yang lainnya juga mendukung Bharata untuk mendesak Sri Rama untuk
mengabulkan permohonannya Sri Rama berpegang teguh untuk melaksanakan perintah mendiang
ayahnya. Sri Rama berusaha mempengaruhi Bharata yang percaya bahwa Dasaratha didorong oleh
keterikatan yang sangat kuat kepada ibunya dalam menyerahkan kerajaan kepada sehingga
Dasaratha dipaksa melakukan tindakan itu, karena di satu pihak, ia telah berjanji kepada ayah
Kaikeyi ketika menikahinya, sehingga kemudiaan putranya berhasil naik tahta setelah
meninggalnya Dasaratha , di pihak yang lain, ia ingin membayar hutang budi Bharata untuk

18
mengambil kekuasaan Ayodhya. Bharata akhirnya tidak berkutik karena Sri Rama, seorang
Bhagavan ternama, Jabali namanya, mencoba membujuk Sri Rama untuk menerima tahta dengan
mengambil perbandingan dengan teori Nastika (orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa) dengan maksud agar membuat seseorang gila akan kekuasaan dalam dirinya. Jabali
menjelaskan alasannya mengambil teori Nastika yang diajukan Bhagavan, mengambilnya sebagai
antithesis Dharma. Ditenangkan oleh Sri Rama , yang marah kepada Jabali, bhagavan Vasistha
mendesaknya agar Sri Rama ditasbihkan menjadi raja. Karena dari wangsa IKsvaku, leluhur dari
keturunannya, selanjutnya putra tertua sendiri yang mewarisi tahta Ayodhya dank arena ia bukan
saja sebagai putra tertua ayahnya, tetapi juga yang paling berhak. Dengan berdalih bahwa
kelebihan seorang guru dibandingkan orang tua seseorang, Bhagavan Vasistha melihatnya
berdasarkan kelebihannya dan sebagai konsesi bagi Bharata saudara Sri Rama, di mana janjinya
harus menghormati perasaan saudaranya, mendesak Sri Rama menerima permohonan Bharata.
Akan tetapi Sri Rama berpendapat bahwa orang tua lebih pantas dihormati dibandingkan guru dan
mestinya senantiasa memenuhi janji yang sudah ia ucapkan kepada ayahnya. Merasa tidak enak
karena pendapatnya , Bharata memutuskan untuk melaksanakan puasa sampai mati sebagai upaya
terakhir untuk menekan kakaknya. Sri Rama menilai tindakan itu tidak bias diterima dari segi
etika yang digariskan kepada kaum kesatrya, Bharata memohon kepada kakaknya agar tetap
diijinkan tinggal dipengasingan di hutan sebagai pengganti dirinya. Namun Sri Rama
mengenyampingkan usulan itu juga sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, dengan mengatakan
bahwa kewajiban seseorang yang dilimpahkan kepada pengganti hanya yang bersangkutan tidak
mampu, yang tidak dapat mendasarkan atas keinginannya, dan menguatkan keputusannya untuk
pulang ke Ayodhya hanya setelah memenuhi mandate yang diberikan oleh ayahnya. Penghuni
sorga berkumpul di angkasa gembira mendengarkan percakapan kedua bersaudara, Bharata dan
Sri Rama. Setelah memutuskan pendiriannya, Sri Rama memalingkan wajahnya kearah gubugnya.
Sementara berdalih akan ketidakmampuannya untuk melindungi kerajaan, sekarang usahanya
untuk mengajak pulang Sri Rama ke Ayodhya telah membuatnya putus asa, Bharata memohon
sekali lagi kesediaan Sri Rama. Tapi ketika ia mengetahuai bahwa kakaknya tidak bias dibelokkan
sedikit pun dari janjinya, ia menaruh sepasang sandal kayu yang baru bertatahkan emas di depan
kakaknya dan memohon kakaknya menjejakkan kakinya diatas sandal itu. Setelah memenuhi
permintaannya, Sri rama menyerahkan sandal itu kepada Bharata, yang sebelumnya berjanji
sebelum Sri Rama memberi dukungan ia tidak akan kembali setelah berakhirnya masa

19
pembuangannya. Sri Rama akhirnya menyetujui janjinya itu dan setelah memeluk Bharata dan
Satrughna, mengucapkan perpisahan kepada semua anggota rombongan sesuai dengan jabatannya,
dan memasuki gubuknya. Bertolak pulang ke ayodhya bersama bhagavan vasistha dan yang
lainya, Bharata salut kepada bhagavan Bharadvaja dan mengatakan kepadanya apa yang terjadi di
Citrakuta dan juga tentang sepasang sandal kayu yang diterimanya dari Sri Rama sebagai
perwakilannya, dan melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai gangga dan Yamuna bersama
pengikutnya. Berangkat dari Srngaverapura sekilas melihat wajah Ayodhya dan menunjukan
kepada Sumantra yang berwajah muram. Valmiki menjelaskan bahwa wajah Ayodhya yang
muram dengan berbagai perumpamaan. Bharata memasuki istana ayahnya dengan hati yang berat
berbicara kepada Sumantra tentang kesedihan Ayodhya yang ditampakkan pada saat itu. Atas
perkenan Vasistha dan ditemani Satrughna dan yang lainnya, ketika sang ratu memasuki istana
keputren, Bharata menuju Nandigrama dan menaruh sandak kayu Sri Rama di atas tahta kerajaan,
ia sendiri mengenakan pakaian pertapa dan memerintah di bawah kuasa sandal itu, dan bernaung
do bawah paying kebesaran kerajaan. Belajar dari tanda- tanda di luar bahwa para petapa yang
hidup di sekitar Sri Rama menginginkan berpindah ke hutan yang lain, dan kemudiaan
menanyakan kepada mereka mengapa mereka ingin meninggalkan tempatnya. Setelah diberi tahu
bahwa mereka diganggu kaum raksasa di bawah pimpinan Khara, ia mengijinkan dan
memerintahkan mereka pergi dengan hormat, akhirnya kembali kepertapaan. Takut tinggal lebih
lama di Citrakuta karena banyak gangguan, Sri Rama meninggalkan gunung itu dan menuju
pertapaan bhagavan atri yang dipanggil Rsi. Memiji kehidupan pertapaan bersama istrinya,
Anasuya, bhagavan ,meminta Sri Rama mengajak istrinya, Sita, bersama Anasuya. Dengan senang
hati menerima sang ratu, yang menyapa perempuan tua terhormat ketika samapai disana atas
ajakan suaminya, Anasuya memberinya wejangan tentang kewajiban- kewajiban seorang istri
yang setia. Pada akhir percakapannya dengan Sita, Anasuya memerintahkan Sita untuk memohon
berkatnya, dan Sita merasa sangat senang, pertapa menganugerahinya bunga-bunga dan perhiasan
sorgawi. Didesak Anasuya, ia menghubungkan pertapa perempuan dengan cerita perkawinannya.
Dengan memuji teduhnya malam, yang kini telah larut, Anasuya menghantar Sita pulang,
mengenakan perhiasan yang diberikannya sendiri, ke hadapan Sri Rama. Bagi Sri Rama yang
terkejut melihat penampilan Sita yang anggun dengan permata-permata sorgawi, ia menjelaskan
bagaimana mendapatkan permata-permata itu sebagai bingkisan cantik dari pertapa. Setelah
menerima keramahtamahan sang pertapa dan menginap disana semalam. Sri Rama mohon diri

20
pada pagi hari untuk melanjutkan perjalanan, mengikuti petunjuk yang deberikan pertapa,
rombongan sang putrid memasuki hutan Dandaka.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Cerita diawali dengan rencana penobatan Sang Rama menjadi raja Ayodya. Akan tetapi
rencana ini mengalami kegagalan karena Mahadewi Kaikeyi menuntut janji kepada baginda
Dasaratha supaya Bharatalah (putra Mahadewi Kaikeyi) satu-satunya yang harus dinobatkan
menjadi raja. Sang Rama lalu diperintahkan oleh ayahanda sang prabu untuk tinggal di hutan
selama 14 tahun, dan ketika ayahanda meninggal dunia demikian pula segala upacara yang
terkait dengan pembakarannya telah selesai dilaksanakan, maka dengan sangat menyesal serta
bersedih hati Sang Bharata mohon kepada kakandanya yaitu Rama agar berkenan kembali ke
Ayodya untuk menduduki tahta kerajaan. Sang Rama menolak, ia menasehati Bharata agar tidak
berkecil hati menjadi raja. Sang Bharata menjadi senang setelah mendengar nasehat itu. Ia lalu
pulang ke negeri Ayodya sambil membawa sandal kayu Rama sebagai lambang untuk
memerintah di negeri itu.
3.2 Saran

Dalam penulisan makalah selanjutnya diusahakan agar lebih memperbanyak refrensi yang
dibutuhkan agar informasi atau materi yang disampaikan lebih lengkap dan jelas.

22
DAFTAR PUSTAKA

Wiraadiamaeni. Ayodya Kanda dalam epos Ramayana. 2018.


http://adiarmaeni.blogspot.com/2018/07/ayodhya-kanda-dalam-epos-ramayana.html (diakses
pada tanggal 30 september 2022)

23

Anda mungkin juga menyukai