Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hukum Hindu adalah sebuah tata aturan yang membahas aspek kehidupan manusia secara
menyeluruh yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak dan kewajiban manusia baik
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, dan aturan manusia sebagai warga negara (tata
Negara).
Hukum Hindu juga berarti perundang-undangan yang merupakan bagian terpenting dari
kehidupan beragama dan bermasyarakat. Ada kode etik yang harus dihayati dan diamal- kan
sehingga menjadi kebiasaan- kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian
pemerintah dapat menggunakan hukum ini sebagai kewenangan mengatur tata pemerintahan dan
pengadilan, dapat menggunakan sebagai hukuman bagi masyarakat yang melanggarnya.

Kitab Menawa Dharmasastra merupakan merupakan kitab hukum pertama dalam Hindu,
didalamnya berisi tentang tata aturan yang membahas aspek kehidupan manusia secara
menyeluruh yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak dan kewajiban manusia baik
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Berdasarkan kepada penjabaran materi di atas
maka kami mencoba untuk lebih mendalami Kitab Menawa Dharmasastra dengan mengangkat
Rumusan Masalah seperti dibawah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah sejarah Kitab Menawa Dharmasastra?
2. Bagaimanakah Kronologi hukum Hindu menurut Kitab Menawa Dharmasastra?
3. Bagaimanakah penerapan Kitab Menawa Dhamasastra dalam mewujudkan masyarakat
yang damai?
4. Apa sajakah contoh sloka pada kitab Menawa Dharmasastra?

1|Menawa Dharmasastra
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kitab Menawa Dharmasastra

Manawa Dharmasastra adalah sebuah kitab Dharmasastra yang dihimpun dengan bentuk
yang sistematis oleh Bhagawan Bhrigu, salah seorang penganut ajaran Manu, Menurut
mithologinya, Manu mendiktekan hukumnya ini dalam seratus ribu sloka kepada Maharshi
Brghu, yang pada gilirannya mengajarkan kepada Rshi Narada. Narada, berdasarkan
pertimbangannya mengurangi aturan itu menjadi dua belas ribu sloka. Kitab hukum ini kemudian
dikurangi lagi menjadi delapan ribu sloka oleh Rshi Markandeya. Percaya atau tidak, Rshi yang
lain, Sumanthu, menguranginya lagi menjadi empat ribu sloka. Akhirnya, Rshi lain yang tidak
dikenal, mengurangi lagi menjadi 2.685 sloka. dan beliau pula salah seorang Sapta Rsi. Kitab ini
dianggap paling penting bagi masyarakat Hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Sad
Wedangga. Wedangga adalah kitab yang merupakan batang tubuh Veda yang tidak dapat
dipisahkan dengan Veda Sruti dan Veda Smrti. Penafsiran terhadap pasal-pasal Manawa
Dharmastra telah dimulai sejak tahun 120 M dipelopori oleh Kullukabhatta dan Medhiti di
tahun 825 M. Kemudian beberapa Maha Rsi memasyarakatkan tafsir-tafsir Manawa
Dharmasastra menurut versinya masing-masing sehingga menumbuhkan beberapa aliran Hukum
Hindu, misalnya: Yajnawalkya, Mitaksara, dan Dayabhaga.
Para Maha Rsi yang melakukan penafsiran-penafsiran pada Manawa Dharmastra
menyesuaikan dengan tradisi dan kondisi setempat. Aliran yang berkembang di Indonesia adalah
Mitaksara dan Dayabhaga. Di zaman Majapahit, Manawa Dharmastra lebih populer disebut
sebagai Manupadesa. Proses penyesuaian kaidah-kaidah hukum Hindu nampaknya berjalan terus
hingga abad ke-12 dipelopori oleh tokoh-tokoh suci: Wiswarupa, Balakrida, Wijnaneswara, dan
Apararka. Dua tokoh pemikir Hindu, yaitu Sankhalikhita dan Wikhana berpandangan bahwa
Manawa Dharmastra adalah ajaran dharma yang khas untuk zaman Krtayuga, sedangkan
sekarang adalah zaman Kaliyuga. Keduanya mengelompokkan Dharmastra yang dipandang
sesuai dengan zaman masing-masing, yaitu seperti di bawah ini.

2|Menawa Dharmasastra
1. Manu; Manawa Dharmastra sesuai untuk zaman Krta Yuga
2. Gautama; Manawa Dharmastra sesuai untuk zaman Treta Yuga
3. Samkhalikhita; Manawa Dharmastra sesuai untuk zaman Dwapara Yuga
4. Parasara; Manawa Dharmastra sesuai untuk zaman Kali Yuga

Dari temuan-temuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa ajaran Manu atau Manawa
Dharmastra tidaklah dapat diaplikasikan begitu saja tanpa mempertimbangkan kondisi, waktu,
dan tempat (desa-kala-patra). Di Indonesia, reformasi tentang Hukum Hindu telah dilakukan di
zaman Majapahit dengan menghasilkan produk-produk hukum lainnya seperti: Sarasamuscaya,
Syara Jamba, Siwa Sasana, Purwadigama, Purwagama, Dewagama, Kutaramanawa, Adigama,
Krta Sima, Paswara, dll.

2.2 Kronologi Hukum Hindu Menurut Kitab Menawa Dharmasastra


1. Pokok-pokok pemikiran
Menurut Dharmasastra kekuasaan mengadili atau yudikatif atau eksekutif dipegang oleh raja.
Melaksanakan tugas yudikatif atau eksekutif dapat diangkat badan peradilan yang bertugas
mengadili di kitab wedayang disebut Brahmana. Penyalahgunaan UU disebut Adharma.

2. Badan Yudikatif
Menurut Manawa dharmasastra badan yudikatif dipegang oleh pemerintah, tidak bersifat
mutlak karena pemerintah dapat menyerahkan fungsi ini kepada orang lain yang ahli. Hakim
majelis menurut manu setidak-tidaknya terdiri dari tiga orang anggota. Yudikatif berfungsi untuk
mengembalikan Dharma yang merupakan kebenaran tuhan. Kebenaran dinamakan Wrasa
(benteng) dan pelanggaran dinamakan Wrasada (yang dikucilkan)

3. Acara dalam Mengadili Menurut Sastra


Pengadilan dimulai setelah adanya gugatan dan gugatan itu timbul karena adanya para pihak
yang dirugikan. Dalam sastra dijumpai ada dua istilah berkaitan dengan pemanggilan yaitu :
a. Ahwana adalah pemanggilan yang bertujuan untuk memaksakan tedakwa datang didepan
pengadilan

3|Menawa Dharmasastra
b. Asadha adalah tindakan yang penutut umum untuk melakukan penahan dalam rangka
pemanggilan supaya terdakwa tidak melarikan diri.
Gugatan yang sempurna disebut Bhasa sedangkan yang tidak sempurna dinamakan Praksabhasa,
yang dimaksudkan Praksabhasa:
a. Bila gugatan bertentangan dengan pengamalan manusia (Aprasidnha)
b. Isinya tidak memuat kebenaran yang memerlukan penindakan (Nirawadha)
c. Isinya tidak menghendaki penindakan (Nisprayoja)
d. Isinya tidak mungkin dapat dibuktikan (Asambhawa)
e. Isinya bertentangan dengan kepentingan Negara (Purarastra Wiruddha)
Keputusan tertulis yang diberikan dikenal dengan nama Jaya Patra memuat pernyataan mengenai
tuntutan

4. Acara Pemeriksaan
Ilmu Dharma (sruti, smrti,acara,sila dan atmastuti serta segala UU. Hakim memeriksa setiap
gugatan yang ditunjukkan kepadanya. Ditinjau dari segi pembuktian menurut Rsi Yajnawakya
ada 4 macam bukti yaitu :
a. Lekhya (bukti tertulis)
b. Bukti (bukti pemilihan)
c. Saksi (bukti saksi)
d. Diwya (bukti sumpah)
Menurut Bhagawan Manu, ada pokok-pokok pemikiran tentang saksi yaitu :
a. Setidak-tidaknya harus didapatkan tiga saksi
b. Saksi harus telah berumah tangga (dewasa)
c. Saksi diberikan oleh para pihak
d. Saksi harus bebas dari lobha
Diwya asal mulanya merupakan kesaksian dewa-dewa yaitu minta kesaksian dari dewa atas
perkara itu pembuktian yang disampaikan. Diwya adalah semacam saksi pula yang dalam
pelaksanaannya diperaktikkan dalam bentuk sumpah dengan meminta kekuatan Tula,
Agni,Apah,Wisa,atau Kosa.
Sumpah menurut agni adalah yang bersumpah dites dengan api bila terbakar berarti bersalah
jika tidak berarti tidak bersalah. Kosa adalah sumpah semacam wisa tetapi tidak beracun

2.3 Upaya Menaati Hukum Hindu dalam Kehidupan Keagamaan dalam Kerangka Hukum
Nasional
1. Perkembangan Hukum Hindu di Indonesia

4|Menawa Dharmasastra
Bangsa indonesia dikenal sebagai bangsa yang religious, bangsa yang percaya kepada
keberadaan Tuhan sebagai sumber dari segala-galanya. Agama Hindu merupakan agama yang
tertua di Indonesia.
Ketiga aliran hukum yang masuk ke indonesia adalah aliran Mitaksara dan aliran
Dayabhaga. Hukum tata Negara dan tata praja serta hukum pidana yang berlaku dalam
masyarakat hindu adalah hukum hukum yang sebagain besar merupakan hukum yang
bersumber pada ajaran Manawa Dharmasastra. Manawa Dharmasastra kemudian dituangkan ke
dalam berbagai bentuk sastra (ilmu) hukum sosial dan ketata masyarakatan sebagai kitab yang
berdiri sendiri.
Kitab agama adalah salinan dari kutaramanawa dan dapat dianggap sebagai kitab yang
memuat ajaran hukum hindu. Akhirnya dari aliran tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksudkan dengan kitab-kitab hukum hindu adalah kitab Manawa
Dharmasastra dan hukum hindu yang lain yang bersumber dari weda.

2. PHDI Sebagai lembaga Legislatif


Menurut beberapa lontar penerapan hukum hindu di Indonesia pada zaman kerajaan
Majapahit. Kekuasaan Yudikatif terletak di tangan raja / kepala Negara. Pelaksanaan
pemeriksaan yang dilakukan di sidang pengadilan dipimpin oleh hakim majelis. Bentuk-bentuk
pengadilan biasa (Dharmastha) pengadilan tinggi (Pradiwaka) dan pengadilan istimewa.
Legislatif menurut hukum adalah lembaga Parisada (Majelis Utama atau Majelis Wipra). Fungsi
Yudikatif seperti lembaga Sabha melainkan persidangan lembaga Pariseda . parisada hindu
Dharma yang berdiri tanggal 23 Februari 1945 telah banyak menghasilkan ketetapan-ketetapan
dan keputusan yang dijadikan pedoman umum bagi umat hindu di seluruh Indonesia dalam
melaksanakan ajarannya.

3. Upaya Menaati Hukum Hindu

Dharma agama kewajiban umat untuk melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar.
Dharma Negara adalah kewajiban umat beragama untuk menjadi warga Negara yang baik,
mengabdi kepada Negara dengan mendukung peraturan-peraturan pemerintah. Ajaran agama
yang merupakan Wahyu Ia Syang Hyang Widhi Wasa, sangat diyakini kebenarannya. Selain itu
agama juga memberikan motivasi kepada umat selalu berbuat baik, dengan ajaran Panca
Sradhanya, Terutama adalah ajaran hukum Karma Palha. Dengan dharma dunia ini akan
terpelihara dengan dharma penderitaan akan bisa terbatasi. Upaya-upaya yang harus dilakukan
oleh umat hindu untuk menegakkan hukum adalah melaksanakan ajaran agama dengan baik

5|Menawa Dharmasastra
seperti melaksanakan Panca Sradha. Tri Kaya Parisudha, Tri Hitakarana dan ajaran-ajaran
lainnya.

2.4 Contoh Sloka Kitab Menawa Dharmasastra

1. Tentang Perkawinan
Tatha nitya yateyatam,
stripumsau tu kritakriyau
Jatha nabhicaretam tau Wiyuktawitaretaram (Manawa Dharmasastra IX.102)

Artinya: Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan


perkawinan,mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan
hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.

Anyonyasyawayabhicaro,
bhawedamaranantikah, Esa dharmah samasena,
jneyah stripumsayoh parah. (Manawa Dharmasastra IX.101)

Artinya: Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, Singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum yang tertinggi sebagai suami-isteri.

2. Tentang Judi

Dyta sama vaya caiva rja rtrannivarayet

rjanta karaa vetau dvau doau pthivikitam. Manavadharmastra IX.221.

Artinya: Perjuadian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah


pemerintahannya, ke dua hal itu menyebabkan kehancuran negara dan generasi muda

Prakaa etat taskaryam yad devanasama hvayau,

tayornitya pratighate npatir yatna van bhavet. Manavadharmastra IX.222.

Artinya: Perjudian dan pertaruhan menyebabkan pencurian, karena itu pemerintah harus
menekan ke dua hal itu

BAB III

6|Menawa Dharmasastra
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Sebagai umat Hindu kita sudah sepantasnya lebih memahami pustaka suci yang
dijadikan pedoman dalam berbuat seperti yang tertuang dalam kitab Manawa
Dharmasastra yang banyak mengandung ajaran-ajaran kebenaran. Di samaping itu juga
generasi muda Hindu sebagai agen dari perubahan harus bisa menjadi perintis di dalam
meningkatkan pemahaman dan mengaplikasukan ajaran yang tertuang di dalam kitab
ini sehingga dari waktu ke waktu implementasi semakin meningkat serta mengurangi
kesalahpahaman di dalam menafsirka inti sari dari ajaran kitab Manawa Dharmasatra
dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

7|Menawa Dharmasastra
https://id.wikipedia.org/wiki/Manawa_Dharmasastra

http://rah-toem.blogspot.co.id/2014/12/manawa-dharmasastra-kitab-hukum-hindu.html

http://cahyaaryagajahpara.over-blog.com/2014/10/manawa-dharma-sastra-dan-kepemimpinan-dalam-
hindu.html

https://linggahindusblog.wordpress.com/tag/manawa-dharmasastra/

http://soalipsdansejarah.blogspot.co.id/2015/01/kitab-suci.html

8|Menawa Dharmasastra

Anda mungkin juga menyukai