Anda di halaman 1dari 9

NAMA : NI LUH MELISA TIKA DEWI

NO : 27

KELAS : X IIS 1

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah


Saya mengangkat judul Pura Besakih karena Pengetahuan Agama Hindu dibali kini sudah
mengalami suatu peningkatan dari segi pemahaman dan kreatifitas orang hindu sudah mulai
muncul, ini diakibatkan karma pada masa ini dengan banyaknya berbagai bencana dan hal – hal
yang diluar pemikiran manusia yang menjadi landasan kesadaran manusia untuk memahami
lebih dalam tentang ajaran Agama. Dengan banyak bimbingan maupun darmawacana dari
bebrbagai orang suci umat hindu di Bali khususnya mendapatkan banyak kesadaran bahwa kita
tidak hanya sekedar memeluk tetapi memahami apa makna,maupun dapat melakukan sutu
perbuatan yang tercermin ke Dharmaan di dalam beragama Hindu.

            Kita orang Hindu harus berbangga, karma Hindu merupakan agama tertua di dunia,
bahkan untuk saat ini sudah banyak muncul bukti – bukti sejarah keberadaan Agma Hindu di
Indonesia dan Di bali khususnya. Agar kita sebagai umat hindu dapat menjaga dan melestarikan
warisan budaya dan banyak tempat suci sebagai simbolisasi keagungan Hindu di bali yang
menjadi pulau seribu pura yang menjadi kebanggaan umat hindu. Dengan demikian kita sebagai
umat hindu yang memiliki kemauan untuk menjaga keajegan bali agar dapat menjaga dan
melestrikan tempat suci ( Pura ) dan mengetahui apa makna maupun filosfi dari berdirinya
tempat suci tersebut untuk dapat menambah keyakinan kita untuk memeluk agama Hindu.

            Dibawaha ini saya akan uraikan salah satu tempat suci yang menjadi simbol kebessaran
bagi umat hindu dibali, di Indonesia maupun didunia, pura tersebur adalah Pura Besakih yang
merupakan pura Sad Khayangan yang dipercayai oleh umat hindu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Sejarah Berdirinya pura Besakih

2. Apa makna Folosofi dari Pura Besakih

1.3 Tujuan Penelitian


Apapun yang kita lakukan di dalam melakukan sesuatu pasti didasari atas tujuan yang
pasti. Dengan demikian didalam membahas tentang tempat suci ini saya memiliki
beberapa tujuan dari pokok permasalahan di atas.

1.      Kita dapa mengetahui sejarah berdirinya Pura Besakih

2.      Kita dapa mengetahui makna filosofis Pura Besakih

1.4 Manfaat Penelitian

- Bagi Diri Sendiri : Kita dapat mengenal lebih dalam tentang Pura Besakih.
- Bagi Umum : Orang orang menjadi lebih tahu tentang Pura Besakih.

Bab II Tinjauan Pustaka


Sejarah berdirinya Pura Besakih
Pura adalah istilah untuk tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura di Indonesia terutama
terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama
Hindu. Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -pura,
-puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana.
Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat
ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.

          Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta
hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali
dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang
dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan
nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.

Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara
Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada
mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung
Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI
HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar
beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-
bagikan kepada para pengikutnya.

Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur
bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat
yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan
belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada
juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya
(bebanten / sesaji)

Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke
tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu
Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa
Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru,
disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha
kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya
berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan
membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang
akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan
tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu
Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja
melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan
selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung
wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan,
itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-
pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.

Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi
(payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu
disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya
diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama
BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu
berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana
sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya
Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu
bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.

Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum
dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu
akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada
pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan,
terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar
Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan
keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan
tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya
memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-
kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat
khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita
simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung
Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya
dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama
Hindu.
Makna Filosofis Pura Besakih
Kajian tentang Pura Besakih ternyata mengandung makna yang luas dalam kehidupan
umat Hindu Bali. Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar tempat ibadah terbesar
di pulau Bali, namun didalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung
Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai arwah serta alam para
Dewata. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan suci Pura
Besakih yang bermakna filosofis. Demikian diungkapkan Wisnu Minsarwati, S.T., M.Hum saat
ujian doktor hari Kamis, 22 Desember 2005 di ruang seminar Sekolah Pascasarjana UGM.

Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung


unsur-unsur kebudayaan yang meliputi: 1) Sistim pengetahuan, 2) Peralatan hidup dan teknologi,
3) Organisasi social kemasyarakatan, 4) Mata pencaharian hidup, 5) Sistim bahasa, 6) Religi dan
upacara, dan 7) Kesenian. “Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide,
wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-
Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap
ontologi dan tahap fungsional”,

Bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu
dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi
bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebidayaan masa
Hindu. “bahwa latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung
adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut
sebagai istana Dewa tertinggi,pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya
sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa
kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama
Hindu. Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi
sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang
banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga
mempengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya
material. “Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep
ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan
ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat
kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama
Hindu di Bali”, tandas Wisnu Minsarwati (Humas UGM).

1. Filosofi
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya
Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di
dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung
tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam
Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga
tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat
manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-
unsur kebudayaan yang meliputi:

1. Sistem pengetahuan,
2. Peralatan hidup dan teknologi,
3. Organisasi sosial kemasyarakatan,
4. Mata pencaharian hidup,
5. Sistem bahasa,
6. Religi dan upacara, dan
7. Kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan
wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu
yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.

Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan
dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca,
yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong,
maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.

Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai
tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana
Dewa tertinggi.

Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius
dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut
aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.

Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai
bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak
dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga mempengaruhi
perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan
tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan,
ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan
ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat
kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama
Hindu di Bali.

3.1 Heuristik
Benda : bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-
hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang
menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil
kebudayaan masa Hindu. Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng
Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan
gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi.
Tertulis :  Diceriterakan warah-warah Bhatara Gunung Agung seperti tertera dalam prasasti atau
pun pada Bancangah Anglurah Kabayan dari Gunung Agung. Para Arya berasal dari Majapahit
di bawah Ida Arya Kapakisan, yang diikuti oleh para Arya seperti Arya Kanuruhan, Arya
Dalancang, Arya Belog, Sira Wang Bang dan Arya Kuta Waringin. Pangeran Asak mengembara
di daerah Kapal dan dijadikan menantu oleh Arya Pangalasan dan menurunkan Pangeran Dawuh,
Pangeran Manginte. Pangeran Manginte melahirkan Gusti Agung dan Gusti Diler. Pangeran
Dawuh menurunkan 2 orang putri yang diambil oleh Pangeran Pande dan Sanghyang
Kamimisanan. Diceriterakan Pangeran Srintik Ketut di Camanggawon adalah keturunan Arya
Kanuruhan Pangeran Pangetepan, Tangkas, Pangeran Pangalasan. Pangeran Dawuh Baleagung
menjadi Mantri Kapakisan dan Pangeran Batan Jeruk, Pangeran Bungaya, Pangeran Asak
keturunan Arya Wang Bang. Juga keturunan Arya Kenceng di Tabanan dan Badung. Keturunan
Arya Belog di Buringkit dan Kaba-Kaba. Arya Wang Bang di Pering dan Cagayan, Keturunan
Arya Kutawaringin di Kubon Tubuh. Juga para wesya yang mengikuti perjalanan Ida Sri
Kapakisan adalah Tan Kober, Tan Mundur dan Tan Kawur. Pangeran Pande bersaudara dengan
Pangeran Anjaran yang mengambil istri saudara dari Pangeran Anglurah Kanca. Dan putrinya
diambil oleh Pangeran Jelantik dan juga putrinya diambil oleh Pangeran Pande. I Gusti Agung
menurunkan Gusti Kacang Pesos, Gusti Intaran dan Gusti Di Ler. Diceriterakan juga dewa-dewa
yang menempati pelinggih-pelinggih bangunan yang ada di Pura Besakih, beserta tata
upacaranya. Disebutkan mantram pemujaan para bhatara, agar turun ke dunia, seperti pujawali
dari Ida Dewa Mas Malekah yang ditentukan oleh waktu yang tepat dan upacara yang benar.
Pecaruan yang harus dilaksanakan berdasarkan sasih/ bulan.

3.2 Kritik Sumber


Pura Besakih merupakan tempat peribadatan baik bagi umat Hindu di Bali maupun Indonesia.
Dilihat dari sudut pandang sumber daya budaya, Pura Besakih memiliki nilai penting yang tinggi
bagi sejarah, kebudayaan, arkeologi, arsitektur, sosial, ekonomi, dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Mengingat nilai penting dan potensi Pura Besakih itu, pemerintah Indonesia
berupaya melestarikan Pura Besakih dengan menominasikannya dalam daftar warisan budaya
dunia. Apalagi, Pura Besakih memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai warisan budaya dan
alam dunia dari UNESCO. Upaya pemerintah pusat untuk menominasikan Pura Besakih tersebut
tidak disetujui oleh pemerintah daerah dan sebagian masyarakat Hindu Bali. Mereka
beranggapan apabila Pura Besakih dinominasikan sebagai warisan budaya dunia maka kegiatan
keagamaan yang telah dilaksanakan berabad-abad di pura itu akan terganggu. Selain itu,
kesucian Pura Besakih akan menjadi berkurang. Perbedaan pendapat antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dan sebagian masyarakat Hindu Bali dengan sendirinya menimbulkan
konflik. Dalam tesis ini, latarbelakang yang memunculkan masalah nominasi Pura Besakih
menjadi warisan budaya dunia akan diungkapkan. Sesuai dengan masalah yang dihadapi untuk
dapat memahami masalah itu lebih mendalam dilakukan analisis konflik. Dari kajian yang
dilakukan dengan wawancara, observasi partisipatif, dan kajian pustaka dalam tesis ini dapat
diungkapkan beberapa pokok persoalan yang melatarbelakangi masalah penolakan nominasi
Pura Besakih menjadi warisan budaya dunia oleh pemerintah daerah dan sebagian masyarakat
Hindu Bali. Hal-hal yang berhasil diungkapkan antara lain alasan pemerintah pusat
menominasikan Pura Besakih, alasan penolakan pemerintah daerah dan sebagian masyarakat
Hindu Bali, sejarah konflik, peta konflik, dan peran serta masyarakat baik dalam pengelolaan
Pura Besakih maupun proses penominasiannya. Di samping itu, dalam tesis ini juga diajukan
saran-saran pemecahan konflik dan upaya pengelolaan di masa depan.

3.3 Interpretasi
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan
Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura
Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura
Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan
oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai
pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara
semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah
pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan
merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung
terdapat 3 pelinggih utama yang disebut Padma Tiga simbol stana dari Tri Purusha yaitu Siwa,
Sada Siwa dan Parama Siwa. Tri Purusha adalah tiga tingkat Kesadaran Rohani.

3.4 Historiografi
Menurut historiografi Bali beliau yaitu anak kedua dari Raja Dalem Di Made, yang mungkin
telah meninggal pada 1642. Dalam sumber-sumber Belanda dari 1630-an, beliau tampaknya
diistilahkan sebagai 'Patiekan' atau 'Paadjakan', anak dari penguasa saat ini [1]. Dalam teks
Rajapurana agama Besakih, beliau terdaftar sebagai nenek moyang didewakan terakhir dari
dinasti Gelgel.[2] Beliau mungkin telah berhasil Dalem di Made, meskipun akhir teks sejarah Bali
sebenarnya tidak menyebutkan dirinya sebagai penguasa di kanan sendiri. Satu teks
menyebutkan bahwa beliau mengarahkan pasukannya melawan tentara dari kerajaan Mataram
Islam Jawa pada 1646. Konfrontasi ini juga diterangkan dalam sumber-sumber Belanda dan
Jawa. Kematiannya diselesaikan oleh teks-teks Bali pada tahun 1650. Sumber-sumber Belanda
menyebutkan bahwa Belanda Hindia Timur Perusahaan mengirim duta ke Bali pada tahun 1651,
tetapi menemukan pada saat kedatangan bahwa raja tidak diistilahkan namanya baru saja
meninggal, dan bahwa internal yang acak-acakan perang berkobar di pulau itu.[3]

Bab IV Pembahasan
Pura Besakih Karangasem adalah tempat persembahyangan agama Hindu di Bali. Selain itu di
dalam area Pura ini, tidak hanya terdapat satu Pura, tetapi banyak Pura. Karena begitu banyaknya
terdapat Pura dalam satu wilayah, maka Pura Besakih Bali adalah Pura terbesar di
Indonesia.Pura Besakih Bali juga sering disebut dengan nama Pura Agung Besakih. Lokasi Pura
Besakih terdapat di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Pura
Besakih Bali terdiri dari 1 pusat Pura yang diberi nama Pura Penataran Agung Besakih dan
terdapat 18 Pura pendamping yang berada di sekeliling dari Pura Penataran Agung Besakih. 1
buah Pura Basukian dan 17 pura lainnya.Pura Besakih di Bali merupakan lokasi pusat kegiatan
keagamaan bagi umat Hindu Bali dan Pura Penataran Agung Besakih adalah Pura terbesar di
wilayah Pura ini. Pura Penataran Agung Besakih paling banyak memiliki tempat atau bangunan
untuk persembahyangan. Orang Bali biasa menyebut dengan nama Pelinggih dan merupakan
pusat dari Pura ini

Bab V Penutup

Simpulan
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar tempat ibadah terbesar di pulau
Bali, namun didalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung.
Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai arwah serta alam para Dewata.
Terdapatnya pura besakih di bali adalah sebagai tempat penyerahan dan rasa syukur umat hindu
ke pada para dewa dan juga kepada para leluhur yang sudah memberikan kemakmuran. Dan juga
sebagai tempat menyadarkan diri manusia akan jati dirinya tentang bagaimana kebesaran tuhan
untuk melindungi umatnya dan memeliharanya, dengan demikian pura besakih akan disebut
sebagai tempat menjalin hubungan yang harmonis baik itu kepada tuhan , manusia, dan
lingkungan. Dan hanya Dengan dharma sebagai landasan filosofi membangun SDM yang
berkualitas dan dengan Rta sebagai landasan filosofi menjaga sistem alam yang lestari sepanjang
masa. Tanpa dharma dan Rta manusia dan alam akan saling menghancurkan. Tentunya yang
akan paling merasakan derita itu adalah manusia itu sendiri. Karena itu marilah makna lebih
nyata pemujaan kita pada Tuhan untuk meningkatkan keseimbangan antara gaya hidup kita
dengan daya dukung alam demi kelangsungan hidup ini.

Saran
            Saran
kami kepada pembaca, mari kita sama – sama ikut serta melestarikan warisan
leluhur yang agung ini yaitu Pura Besakih yang sebenranya tempat ini kita ditujukan untuk selalu
memuja dan bersyukur kepada tuhan.kami mengharapkan kepada semua umat hindu yang ada di
Bali maupun diluar Bali, untuk selalu ingat akan kebesaran tuhan karna berkat beliau kita bisa
merasakan apa yang kita daptkan selama kita hidup. Dan bersyukurlah kepadanya, sadarkan diri
anda bahwa sesungguhnya kita adalah ciptaanya, bersujudlah kehadapanya sebelum terlambat.

Daftar Pustaka
1. http://www.balipost.co.id/balipostcetak

2. www.babadbali.com
3. Sivanada Swami sri, ALL ABOUT HIDUISME ( intisari ajaran Agama Hindu ), The Divine
Life Society / Paramita surabaya, surabaya 1993

4. Pudja MA dan Tjokorda rai sudharta MA, Manawa Dharma Sastra atau Weda Semerti,
Departemen Agama RI 1976/1977

5. Mantra, Prof.Dr.IB. Bhagawad gita. Parisada Hindu dharma Pusat Denpasar

6. Dewa sucita,Buah catatan mata kuliah Tattwa dan Tantra

7. https://id.wikipedia.org/wiki/Pura_Besakih.

8. http://www.babadbali.com/pustaka/babad/raja-purana-pura-besakih.htm

9. http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/29385

10. https://id.wikipedia.org/wiki/Pura_Besakih

11.https://p2k.unhamzah.ac.id/ind/2-3081-2970/Dewa-Pacekan_151563_uhamzah_p2k-
unhamzah.html

12. https://www.rentalmobilbali.net/pura-besakih/

Anda mungkin juga menyukai