1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan karya tulis ini adalah untuk mengetahui tentang
bagaimana proses pelaksanaan dan apa saja yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Panca
Yadnya.
BAB 2
TEORI-TEORI
Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, akar-akar Yaj, yang artinya memuja,
mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci.Prinsip-prinsip yang harus dipegang
dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian tanpa pamrih.
Dalam Atharwa Weda XVII.3 dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi adalah
pengorbanan lahir batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang diajarkan dalam
Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat tepat ksatria yang ber Yadnya di medan
perang. Maknanya sebagai pembela tanah air, menegakkan kebenaran dan keadilan.
Jadi berdasarkan uraian tersebut, Yadnya sebagai amalan agama mengandung pengertian:
1. Merupakan sistem persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan Yang Maha Esa.
2. Merupakan prinsip berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban
itu sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju hidup bahagia.
Bukankah akibat Tuhan berbuat Yadnya itu menimbulkan rnam.Rnam berarti
hutang.Kemudian agar tercipta hokum keseimbangan, maka rnam itu harus dibayarkan
dengan Yadnya. Demikian adanya atas dasar Tri Rna.
Dibayar dengan Panca Yadnya yakni:
a. Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya.
b. Rsi Rna dibayarkan dengan Rsi Yadnya.
c. Pitra Rna dibayar dengan Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya.
Memang konsep agama hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Denganterwujudnya
keseimbangan, berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang
di dunia.Untuk umat Hindu yang diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar
manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan
lingkungannya.Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan.
Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu:
1. Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya.
2. Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang dituju, Yadnya ini disebut Panca Maha
Yadnya.
Pertama:
Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan dalam Bisma Parwa dijelaskan:
a. Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang mempergunakan harta milik sebagai sarana
korban.
b. Tapa Ydnya, adalah Yadnya dengan melaksanakan tapa, yaitu tahan uji tahan derita
sebagai sarana berkorban.
c. Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu
pengetahuan, member pandangan-pandangan, atau buah pikiran yang berguna, sebagai sarana
korban.
d. Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan pengamalan yoga, yaitu menghubungkan diri pada
Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan sampai dengan tingkat tertingi
yakni semadhi, sebagai sarana berkorban.
e. Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan mengorbankan diri demi kepentingan dharma.
Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka mengorbankan diri demi sebuah
kemerdekaan.Ini juga disebut Yadnya.
Kedua:
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang dituju.Dalam kitab Manawa
Dharmasastra III. 70 tersurat:
Adhyapanam brahma Yajnah, Artinya :
pitryapastu tarpanam, Mengajar dan belajar adalah Yadnya bagi Brahmana, menghaturkan mi
homo daiwo balikbaurto,
jadi,
nryajna
berdasarkan
tihti pujanam.
uraian di atas dapat dijelaskan Panca Yadnya itu sebagai berikut:
1. Dewa Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan untuk para Dewa.
Asal kata Dewabersal dari bahasa Sanskrit Div yang artinya sinar suci, jadi
pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang oleh umat
Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi Wasa.
2. Rsi Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan kepada brahmana atau para Rsi.
Rsi artinya orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali.
3. Pitra Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan pada leluhur.
Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal.
4. Bhuta Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan kepada para Bhuta Kala.
Bhuta artinya unsur-unsur alam.
5. Manusa Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan pada manusia.
Manusa artinya manusia.
BAB3
PEMBAHASAN
b. Naimitika Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya berkala dalam sasih dan
pertahun, untuk ini dapat diuraikan satu persatu, yaitu:
1. Melaksanakan Dewa Yadnya berdasarkan hari, Hari Tri Wara, Panca wara, Sapta Wara
dan wuku, yaitu:
a) Melaksanakan Dewa Yadnya pada hari Kliwon adalah memuja Dewa Siwa.
b) Hari Kajeng Kliwon memuja Bhatara Durga
c) Hari Anggara Kliwon (Anggara kasih) memuja Dewa Ludra sebagai pelebur
keburukan di dunia
d) Hari Budha Kliwon, memuja Sang Hyang Ayu untuk mencapai kesucian batin
e) Hari Budha Wage (Budha Cemeng), memuja Bhatara Manik Galih untuk
mencapai ketentraman batin dan mengendalikan diri
f) Hari Saniscara Kliwon (Tumpek), memuja Sang Hyang Parama wisesa untuk
mengukuhkan keyakinan
g) Hari Budha Kliwon Sinta (Pagerwesi), memuja Sang Hyang Pramesti Guru
h) Budha Kliwon Dunggulan (Galungan), memuja Sang Hyang Pramesti Guru, para
Dewa, Pitara sebagai kemenangan dharma melawan adharma
i) Budha Kliwon Pahang (Pegat Uwakan), memuja Sang Hyang Maha Wisesa,
Dewa, dan Bhatara sebagai rentetan terakhir upacara hari raya Galungan dan
Kuningan.
j) Saniscara Kliwon Wayang (Tumpek Ringgit), memuja Dewa Iswara sebagai
Dewa Kesenian
k) Saniscara Umanis Watugunung (odalan Sang Hyang Aji saraswati), memuja Dewi
Ilmu Pengetahuan.
2. Dewa Yadnya berdasarkan Purnama dan Tilem
Dijelaskan tentang beryoganya Sang Hyang Rwa Bhineda yakni Sang Hyang Candra seperti
pada hari:
a) Purnamaning Sasih Kapat, pemujaan terhadap Sang Hyang Parameswara atau
Sang Hyang Puru Sangkara beserta para Dewa, Widyadara-widyadari, dan para Rsi
Gana
b) Purnamaning sasih kedasa; pemujaan terhadap Sang Hyang Surya Merta
c) Tilem Sasih Kapat; juga dilaksanakan pemujaan terhadap kebesaran Tuhan yang
telah memberkati umatNya
d) Purnamaning Tilem Kapitu; melaksanakan malam Siwa/Siwa Latri
e) Tilem Kasanga; dilaksanakan upacara menyambut tahun baru Caka, yang diawali
dengan melis ke laut atau sungai.Setelah itu dilanjutkan dengan upacara Tawur
Kesanga. Sebagai puncak acara dilaksanakan Nyepi, yakni melaksanakan: Amati
Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, Amati Lelanguan. Upacara ditutup dengan
Ngembak Geni.
f) Berdasarkan Purnama dan Tilem, setiap tahun sekali di Pura Besakih
dilaksanakan upacara Dewa Yadnya pada sisih kadasa (Purnama) bernama Bhatara
Turun Kabeh. Kalau setiap sepuluh tahun sekali dilaksanakan Panca Wali Krama,
kemudian setiap seratus tahun sekali dilaksanakan Eka Dasa Rudra
Artinya:
selamat phalanya bila telah demikian seluruh sanak keluarga memperoleh
penghasilan dikarunia Tuhan. Janganlah ragu-ragu ber Yadnya pada Dewa dan
berbakti Pada Tuhan.
Mengenai penjelasan Atiwa-tiwa, ngaben, Atma Wedana dapat diuraikan secara singkat
seperti di bawah ini:
a. Upacara Atiwa-tiwa
Upacara Atiwa-tiwa berkaitan dengan upacara kematian.Kalau di Kalimantan disebut
Tiwah. Biasanya kalau dijumpai sanak yang menghembuskan nafas terakhir lazim diucapkan
doa selamat seperti doa Pralina, yaitu:
Murcantu, Swargantu, moksantu Artinya:
Ong Ksama sampurnaya namah Semoga tenang dalam menghembuskan napas terakhir, mencapa
swaha.
Kemudian dapat dilanjutkan dengan pesetujuan keluarga dan kelihan adat apakah layak
dikubur atau diaben, untuk itu dapat dijelaskan seperti di bawah ini:
Bila dikubur urutan upacara seperti:
1) Memandikan jenazah dan menjalankan upacaranya.
a. Jenazah diturunkan dari pembaringan dan disembunyikan di atas/tandu dilengkapi dengan
ulap-ulap, semua ini bertempat di natah pekarangan.
b. Jenazah dalam keadaan telanjang lalu:
i. Badannya diurapi boreh
ii. Dikeramas, muka dibasuh, di gosok giginya (secara simbolis)
iii. Satu persatu alat pembersih ditaburkan atau dipasang dengan diawali makerik kuku,
memasang itik-itik pada ibu jari kaki, memasang itik-itik ibu jari tangan, masisig,
makeramas, memasang bablonyoh di kaki, memasang daun intaran di kening, memasang
gadung di dahi, pusuh menur di lubang hidung, cermin pada mata, waja pada gigi, daun
tuwung pada kemaluan laki-laki, bunga tunjung untuk wanita, boreh anget pada perut, lenga
wangi pada tubuh, memasang kwangen pada tubuh mayat dengan rincian: 1 buah di kepala, 1
buah di ulu hati, 1 buah di dada, 2 buah di siku kanan kiri, 2 buah di lutut kanan kiri.
c. Mewastra: dikenakan kain, kampuh, daster putih untuk laki-laki. Dikenakan kain,
selendang putih untuk perempuan.
d. Metirta: menciptakan tirta penglukatan, pembersihan, dan tirta kawitan dari almarhum.
e. Jenazah dibungkus dibungkus atau dililit dengan kain putih.
f. Keluarga dan anak cucu menyembah
g. Dengan dibungkus tikar, jenazah diusung lagi ke tempat pembaringan. Dilengkapi dengan
saji banten arepan, seperti kubur pirata, nasi angkeb, saji sebagai bekal roh menuju akhirat.
h. Mapegat: dilengkapi dengan banten mapegat atau sambutan. Bagi keluarga yang patut
dengan cara pertama sembahyang ke hadapan Bhatara Surya, setelah itu memberikan doa
sembah ke hadapan almarhum/almarhumah.
2) Mengusung mayat ke kuburan
a. Loyan diusung ke kuburan di antar oleh sanak saudara, kerabat dan warga banjar adat bila
memungkinkan baik sekali diiringi dengan lagu-lagu keagamaan dan tetabuhan seperti
angklung untuk menambah hikmatnya upacara.
b. Dalam perjalanan, pada jalan simpang tiga atau empat, serta di lubang kuburan usungan
jenazah di putar 3 kali ke kiri dan ke kanan baru dilanjutkan denganmendem sawa.
3) Mendem sawa
Sawa dipendam/kubur.Hal ini dilakukan di kuburan dan tidak boleh di pekarangan
rumah atau pekarangan desa adat.Caranya peti mayat dibuka terlebih dahulu lalu jenazah
disemayamkan di kuburan.
a. Jenazah diperciki tirta dengan urutan:
i. Tirta penglukatan
ii. Tirta pembersih
iii. Tirta pengentas
iv. Tirta kawitan
v. Tirta kahyangan tiga
b Dilengkapi dengan upacara banten pesaksi
i. Banten untuk Sang Hyang Praja Pati
ii. Banten untuk ibu pertiwi
iii. Banten untuk sedahan Setra atau Pengulun Bambang
b Bila jenazah di aben
Upacara Ngaben wajib dilaksanakan oleh umat Hindu. Ngaben disebut
jugapalebon, atau magesengyang artinya sama, yaitu pembakaran mayat.
Tujuan dilaksanakan upacara Ngaben adalah untuk mengembalikan Stula Sariraatau
badan wadag yang terdiri dari Panca Maha Bhuta dalam Buana Alit kepada Panca Maha
Bhuta yang bersumber pada Bhuana Agung.Selain itu bertujuan untuk meningkatkan
kesucian roh yang telah meninggal, yakni dari roh orang yang berstatus Preta menjadi Pitara
bahkan menjadi Dewa Hyang Pitara. Untuk proses pengembalian Panca Maha Bhuta ke
Bhuana Agung, dikenal dengan sistem pembayaran mayat, yang disebut: Sawa Wedana, Asti
Wedana dan Swasta Wedana.
1) Sawa Wedana
Sawa Wedana disebut juga Sawa Preteka.Artinya mengupacarai jenazah orang yang baru
meninggal.Sering juga dalam masyarakat disebut ngaben dadakan, sifatnya segera. Menurut
lontar Yama PurwanaTatwa dan Pubha Sasana, tata cara seperti ini dibenarkan dan disebut
dengan istilah Mependem Ring Giri, megenah di petulangan. Melalui sistem Sawa Wedana
ini, dilaksanakan dengan cara sebagi berikut:
a. Jenazah saat di rumah, dibersihkan sesuai dengan upacara mependem. Selanjutnya
jenazah diusung ke kuburan.Setelah tiba di kuburan, jenazah mengelilingi tempat
pembakaran tiga kali ke kiri.Setelah itu disemayamkan di tempat pembakaran yang telah
disediakan.
b. Jenazah dletakkan di atas petulangan atau tempat pembakaran, lebih awal pembungkus
kain dan tikar dibuka. Kemudian dilanjutkan upacara metirta, pertama dipercikkan tirta:
i. Penembak
ii. Pengelukatan
iii. Pengentas
iv. Kawitan
v. Kahyangan Tiga
c. Di atas dada jenazah diletakkan bekal roh seperti:
i. Canang tujuh tanding
ii. Beras catur warna, masing-masing satu ceper warna: putih, merah, kuning, dan hitam.
d. Setelah selesai upacara seperti di ataslalu jenazah di bakar dengan apiupacara.
e. Setelah jenazah menjadi arang, lalu dituangkan air tawar yang disebut penyeeb.
f. Arang itu dikumpulkan lagi ditaruh di atas senden, lalu disiram dengan air
kumkuman,kemudian dimasukkan ke dalam kelapa gading yang berwujud puspa ati. Abu
yang lain diwujudkan manusia simbolis, kemudian dipasang kwangen. Pemasangan kwangen
dikelompokkan, yaitu:
1) Kelompok garis lurus dari:
i. Dahi
ii. Kerongkongan
iii. Ulu Hati
iv. Pusar
v. Antara pusar dengan kemaluan
vi. Antara kemaluan dengan pantat
2) Kelompok Panca Budindria
i. Mata
ii. Hidung
iii. Mulut
iv. Lidah
v. Telinga
3) Kelompok Panca Karmendria
i. Perut
ii. Kemaluan
iii. Pantat
iv. Tangan
v. Kaki
g Kelengkapannya disertai banten upacara pesaksi ke Mraja Pati, Pengulun Setra, bubur pirtata,
nasi angkep, banten arepan, ketupat panjang, diuskamaligi, puspa, rantasan untuk rekayasan.
Pemangku atau pendeta memimpin upacara persembahyangan dari sanak keluarga almarhum.
Persembahan itu ditujukan kepada: Hyang Surya, Mraja Pati, Kahyangan Tiga dan sesuhunan
(kawitan). Setelah tiba, diawali dengan upacara daksina, pras penganyutan dan wangi-
wangian, barulah abu dibuang ke sungai.Dengan demikian selesailah sudah tahapan upacara
Sawa Wedana itu.
2) Asti Wedana
Asti Wedana adalah mengupacarai jenazah setelah menjadi tulang. Tata caranya seperti di
bawah ini:
a. Mempermaklumkan ke Pura Dalem. Yang akan di aben, tegteg dipermaklumkan ke Pura
Dalem. Dilengkapi dengan peras, penyeneng, daksina pejati, suci, ketipat dan segehan.
b. Ngulapin ke Mraja Pati, tegteg dituntun ke Mraja Pati disertai upacara peras, daksina,
pengulapanan, pengabenan, segehan dan sayut.
c. Ngangkid: tegteg diusung ke setra ke tempat terkubur orang yang akan diaben. Di atas
kuburan diselenggarakan upacara ngangkid dengan sarana: suci, peras, penyeneng, daksina,
pujung, segehan berisi jeroan mentah, tabuh tuak arak. Setelah upacara ini berakhir,kuburan
dibongkar, tulang-tulang diambil, dibersihkan, lalu disusun kembali seperti semula.
d. Pada bangbang yang telah dibongkar, menghaturkan banten: suci, peras, daksina, dan
sembelihan ayambulu hitam. Setelah itu bangbang ditumbun secara simbolis.
e. Ngeringkes: upacaranya serupa dengan banten pengeringkesan Sawa Wedana.
f. Ngeseng: upacaranya sama dengan upacara Sawa Wedana.
g. Ngayut: sama dengan upacara Ngayut Sawa Wedana.
3) Swasta Wedana
Swasta adalah upacara Pitra Yadnya yang dilaksanakan dengan tidak mengupacarai mayat
dalam bentuk tulang-belulang atau jasad.Melainkan bentuk itu dapat diganti dengan bentuk
kusa atau alang-alang.Selain itu, dapat juga diwujudkan dengan air sebagai Toya Sarira. Tata
pelaksanannya sama dengan tahap-tahap pelaksanaan Asti Wedana. Mulai dari
mempermaklumkan ke Pura Dalem sampai dengan Ngayut.Hanya ada perbedaan sedikit,
kalau dalam ngaben Swasta tidak ada langkah ngangkid tulang seperti dalam Asti Wedana.
4) Ngelungah
Dikenal lagi upacara ngaben yang disebut Ngelungah.Upacara ini dilakukan bagi jenazah
yang masih anak-anak.Ketentuannya ini adalah bagi anak-anak yang berumur di atas tiga
bulan dan belum tanggal giginya, bila meninggal maka diaben Ngelungah.Kalau bagi anak
yang belum berumur tiga bulan, bila meninggal almarhumhanya dikubur saja.Namun, anak
yang berumur diatas tiga bulan dan sudah tanggal giginya almarhum diaben seperti orang
dewasa.
Adapun tata caranya adalah:
a. Mempermaklumkan ke Pura Dalem, dengan upacara: canang meraka, daksina, ketipat,
kelanan, telor bekasem dan segehanputih kuning.
b. Memaklumkan ke Mraja Pati dengan upacara: canang, ketupat, daksina dan peras.
c. Mempermaklumkan pada sedahan Setra, dengan upacara: canang meraka dan ketipat kelanan.
d. Permaklumkan pada bangbang rare, dengan upacara: sorohan, pengambian, pengulapan,
peras daksiana, klungah nyuh yang disurat Omkara.
e. Banten pada roh bayi, seperti: bunga pudak, bangsah pinang, karaseb sari, punjang dan
banten bajang.
f. Tirta pangrampuh yang dimohon di Pura Dalem dan Mraja Pati. Semua banten itu tempatkan
di gegunduk bangbang, pemimpin upacara memohon pada bhatar/bhatari agar roh bayi cepat
kembali menjadi suci.Bila selesai memercikkan tirta, banten ditimbun dan bangbang
diratakan kembali.
c. Upacara Mapralina
Upacara ini dilakukan pagi hari di depansanggah pesaksi.Sekah diturunkan dari balai
upacara, segala menjadi satu kesatuan sekah segera dibakar di atas senden.Bila semua telah
terbakar lalu disiram dengan air kumkuman.Kemudian dilumatkan dengan tebu dan cabang
dapdap.Hasil lumatan itu dimasukkan ke dalam kelapa gading dan dihanyutkan ke laut atau
sungai.
Tiga hari setelah upacara mepralina, dilanjutkan dengan upacarangeremekin.Maksud
upacara ini adalah mempermaklumkan bahwa penyucian roh terhadap orang yang meninggal
telah selesai.Bila tahapan ini sudah selesai, maka dapat dilanjutkan
dengan ngelinggihang Dewa Hyang Pitara di Pura Kawitan sebagai
purapenyungsungan leluhur.Bila dikaitkan dengan Panca Yadnya, upacara ngelinggihang ini
sudah termasuk Dewa Yadnya.Sebagai renungan, orang yang belum mengerti tentang Pitra
Yadnya ini, mereka dengan cepat mengatakan upacara ngaben ini adalah pemborosan.Boleh
saja, sebab bila direnungkan lebih jauh lagi bukanlah pemborosan.Tetapi upacara agama
Hindu ini adalah membantu untuk memutar ekonomi masyarakat. Sebab dalam kesempatan
seperti ini orang yang kaya akan mempergunakan harta bendanya untuk mewujudkan
semangat rela berkorban. Maka dari itu ia membuat upacara yang utama tingkatannya.
Namun bagi umat yang tidak mampu, dapat membuat utamaning nista.Nista bukan berarti
hina dan rendah, melainkan semua tingkatan mengandung arti mulia bila didasarkan atas
ketulusan ber-Yadnya.
Berdasarkan pikiran sepintas, kiranya uang yang banyak itu dialihkan dan disumbangkan
pada fakir miskin.Diketahui agama Hindu tidak mengajarkan bagaimana melalui Yadnya
ekonomi masyarakat berputar. Akibatnya orang yang bisa rajin bekerja dan menyadari etos
kerja, sebab kerja apapun yang didasari pada cinta kasih dan dikerjakan secara sungguh-
sungguh akan menunjang kehidupan kita. Bukan umat diarahkan kerja meminta-minta.Jadi,
berkaitan dengan ini dapat ditegaskan pelaksanaan ngaben ini bukanlah semata-mata
pemborosan, melainkan mengandung unsur gotong-gotong royong, pendidikan kerja dan rela
berkorban tentunya.Sesuai dengan semangat ber-Yadnya untuk melangsungkan pemeliharaan
hidup.
a. Tujuan memelihara:
Mengandung pengertian mengatur serta menjaga keharmonisan alam.Alam dengan
makhluknya mempunyai hubungan kehidupan yang erat.Bila hubungan itu terganggu, hidup
takkan lagi harmonis.
Misalnya:
Keadaan Panca Maha Bhuta sebagai pembentuk alam yang terdiri dari unsur-unsur:
pertiwi,apah teja, bayu dan akasa. Masing-masing unsur itu artinya zat padat, zat cair, zat
panas, zat udara dan zat ether.Ia adalah sebagai pembentuk alam, bila tak dijaga
keseimbangannya, kehidupan di dunia ini takkan harmonis lagi. Katakana saja pertiwi atau
tanah, bila tanah dibiarkan gundul maka kehidupan akan terganggu, akibatnya bisa
mendatangkan banjir, selain itu tanah yang gundul akan menyebabkan kekeringan yang
melanda. Terlebih bila hutan ikut dibabat, sudah bisa dibayangkan apa yang terjadi
bukan?.Oleh karena itu secara nyata manusia melaksanakan Bhuta Yadnya misalnya dengan
melaksanakan reboisasi, atau menanam pohon pada lahan yang kering.Contoh seperti ini
masih banyak kita jumpai dalam kehidupan ini.
Penggunaan Caru Panca Sata ini dapat dilakukan pada upacara melaspas, mapedaging
dan lain-lain menurut petunjuk pemimpin upacara. Cara Panca Sata ini menjadi dasar bagi
pelaksanaan caru besar, yaitu caru: caru panca sanak, panca kelud, balik sumpah, tawur,
pesapuh-sapuh, panca wali karma, eka dasa ludra, lingia merebu dan nyegjeg gumi.
3) Caru Panca Sanak
Menggunakan dasar caru panca sata ditambah dengan asu bang
Bungkem dan bebek bulu sikep.
4) Caru Panca Kelud
Menggunakan dasar Caru Panca Sanak hanya saja ditambah lagi binatang kambing, dan
angsa.
5) Caru Balik Sumpah
Caru ini tidak digunakan secara umum, tetapi hanya pada tempat-tempat tertentu
saja.Seperti misalnya bila ada karang angker, tempat itu sering terjadi bencana, pertengkaran,
perkelahian, pembunuhan, kejahatan dan lain-lain.Tentu saja dari petunjuk para sulinggih.
Dengan demikian sudah jelas bahwa satu putaran hidup menjadi manusia banyak sekali
dibuatkan upacara Manusa Yadnya. Di zaman perkembangan umat Hindu sekarang ini,
Manusa Yadnya yang diberikan pada anak akan lebih berguna bila peningkatan sumber daya
manusia itu diantisipasi dengan lebih awal. Oleh karena itulah agar anak-anak merasa lebih
mandiri dan berdaya guna nanti ia patut diberikan jaminan hidup yang cukup, fasilitas
pendidikan dan terdidik.
artinya:
ya Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi ibu pertiwi laksana sumber
kehidupan, memberikan hidup kepada semua makhluk, semoga panjang umur
dan selamat.
Setelah itu tembumi serta ditindih dengan pohon pandan, lalu dihaturkan banten segehan
kepada catur warna.Lengkap dengan bawang, jahe, garam serta canang satu pasang.
c. Upacara Kepus Puser
Tujuannya pembersihan tempat suci bangunan pekarangan.Puser dikeringkan dengan
rempah-rempah dan disimpan di tempat tidur si bayi, saat si bayi diasuh oleh Sang Hyang
Kumara.
d. Upacara ngelepas hawon
Setelah bayi berumur dua belas hari dibuatkan suatu upacara ngelepas hawon dengan
tujuan bayi tetap sehat selamat dan panjang umur.
e. Upacara kambuhan
Upacar ini sering pula disebut upacara mecolongani. Tujuannya adalah:
1) melakukan pembersihan jiwa raga si bayi, denagn cara mengupacarai nyama bajang. Banyak
nyama bajang ada 108, antara lain: bajang colong, bajang bukal, bajang yeh, bajang lengis,
bajang bejulit, bajang kebo, bajang ambengan, bajang papah, bajang tukal, bajang dodot,
bajang sapi dan lain-lain. Semua jenis bajang di atas berfungsi membantu ketika bayi dalam
kandungan, sehingga menjadikan wujud yang sempurna.Maka dari itu kekuatan bajang perlu
disucikan agar si bayi mendapat kerahayuan.
2) membersihkan ibu bapa si bayi dengan suatu banten pahyakala, prayascita dan banten
tataban. Maksudnya setelah bayi berumur 42 hari, diharapkan orang tua bayi dapat memasuki
tempat-tempat suci. Ketika dilaksanakan upacara inilah, baru peetama kali si bayi dimohon
penglukatan terhadap Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, Bhatara Siwa serta Sang Hyang Guru
di sanggah kemulan.
f. Upacara Nyambutin
upacara nyambutin terlaksana setelah bayi berumur tiga bulan atau 105 hari. Tujuan
upacara ini dalah:
1) memepertegas nama si bayi
2) membersihkan jiwa raga si bayi
Serangkaian upacara nyambutin bias disertai dengan upacara turun tanah. Tujuannya adalah
memohon keselamatan terhadap ibu pertiwi atas kehidupan anak berkaitan dengan tanah.
g. Upacara satu oton
Setelah anak berumur 210 hari atau enam bulan, dibuatkan upacara satu oton.Sering juga
disebut weton.Kata ini berasal dari kata wetuan, yang mana wetu berarti lahir. Kata wetu
ditambah an menjadi wetuan(weton) artinya kelahiran. Sering juga disebutwedalan.Kata
wedalan, berasal dari kata wedal yang berarti lahir. Kata ini sama artinyadengan medal.
Tujuan upacara oton ini adalah untuk memperingati hari kelahiran seseorang atau sesuatu.
Dasar untuk menentukan hari lahir ini adalah pertemuan sapta wara dengan paca wara, dan
wuku, misalnya: hari buda kliwon sinta, kemudian lagi enam bulannya (210 hari) jumpa lagi
dengan hari yang sama, maka disebut satu oton sebagai hari lahir seseorang. Jadi, itulah yang
dipakai pedoman dalam memperingati otonan seseorang. Bagi umat Hindu, akan sangat baik
bila oton ini dirayakan berkelanjutan bahkan sampai akhir hayat.
h. Upacara ngempugin
artinya adalah melaksanakan upacara setelah anak tumbuh gigi untuk pertama kalinya.
Tujuannya memohon keselamatan kepada Bhatara Surya, Bhatara Dewi Sri agar gigi anak
tumbuh dengan baik.
i Upacara Mekupak
upacara mekupak dilaksanakan ketika gigi anak tanggal untuk pertama kalinya atau pada
oton pertama. Pergantian gigi susu dengan gigi dewaa adalah menandakan anak sudah
berubah status dari anak menjadi remaja. Pada masa ini Sang Hyang Kumara tidak lagi
mengasuh anak itu.Saat ini anak dioasuh oleh Sang Hyang Semara dan Sang Hyang Dewi
Ratih.Setelah mekatus inilah anak sudah mempersiapkan diri untuk menuntut ilmu. Apakah
pra sekolah atau taman kanak-kanak, ataukah langsung pada sekolah dasar.
j. Upacara Menek Deha
Upacara menek daha ini sering disebut dengan ngraja.Yang artinya meningkat dewasa.
Tujuan upacara ini adalah memohon tuntunan kepada Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih
agar seseorang yang diupacarai dapat kekuatan dan mengatasi godaan-godaan yang mungkin
terjadi ketika menghadapi panca roba, dapat diketahui masa peralihan dari anak menjadi
dewasa merupakan masa-masa yang rawan bagi anak. Ia berada dalam masa pubertas
pertama.
Mereka sudah mulai bisa menerima godaan asmara, insane yang berlainan jenis. Bila
kurang waspada anak sering salah langkah.Maka Dari itu umat Hindu, selain memberikan
pendidikan sikap yang berkaitan dengan etika juga mohon tuntunan pada Dewa, agar
umatnya menjadi selamat melewati masa panca roba tersebut, melalui upacara menek daha
ini.
k. Upacara Metatah
Bila anak sudah dewasa, Eka Dasa Indria pada dirinya berfungsi dengan energik.
Mungkin terjadi dalam masa ini indria-indria itu lebih memberikan kesempatan Sad Ripu
menggoda diri manusia.bila terjadi kemungkinan di atas, Sad Ripu dapat menyusupi perilaku
seseorang yang mana dapat menyebabkan rusaknya perilaku orang tersebut. Oleh karena itu
dibuatkan upacara matatah dengan tujuan untuk mengendalikan pengaruh Sad Ripu dalam
diri anak.
Pelaksanaan upacara metatah ini dilengkapi dengan seperangkat banten upacara saran
simbolis gigi pada rahang atas ditatah sebanyak enam buah, terdiri dari empat gigi seri, dan
dua buah taring. Pada enam buah gigi itu, ujung geriginya sebagi lambang pengaruh adharma
ditatah, agar terbentuk ujung gigi yang rata lambang dharma.Jadi diharapkan dharma tetap
mengendalikan hiodup seseorang anak yang telah ditatah itu.Inilah dalam masyarakat
dilkatakan ngedasang daki.Artinya membersihkan kotoran anak. Maksudnya tiada lain
kekuatan Sad Ripu agar dikendalikan oleh kekuatan dharma, sehingga perilaku anak
mencerminkan budi luhur.
l. Upacara Mawinten
Seseorang yang baik, dibuatkan upacara Mawinten.Lebih-lebih bagi orang yang
mempelajari ilmu kerohanian. Tujuan upacara ini adalah memohon tuntunan kehadapan
Bhatara Guru, Dewi Saraswati agar beliau menuntun kecerdasan pada umatnya dalam
mempelajari ajaran suci, yakni ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan ilmu agama
Tattwa, Yadnya dan Susila.
m. Upacara Pawiwahan
Bila anak sudah cukup dewasa lahir dan batin, serta tahu ketrampilan sebagai pegangan
kerja, maka sudah pantas membentuk suatu rumah tangga.Pembentukan rumah tangga baru
ini diawali dengan upacara pawiwahan. Tujuannya adalah:
1 Mohon pesaksian kehadapan Sang Hyang Widhi, Bhuta Kala dan manusia sebagai Tri saksi.
2 Mohon dibersihkan secara spiritual terhadap bibit yang terdapat pada suami dan istri.
Diharapkan atas pertemuan kedua bibit itu membuahkan hasil, yaitu anak saputra. Tidak
cukup hanya pembersihan bibit itu saja, tentu dengan disertai sikap perilaku luhur oleh orang
tua untuk mendidik, menyediakan jaminan hidup yang berkelanjutan.Jadi, modal cukup
banyak diperlukan untuk mewujudkan anak yang saputra.Menurut lontar kuno Dresti, bila
ada anak yang lahir di luar nikah (tanpa upacara pawiwahan), anaka itu disebut Rare Dya
Dyu.Agama Hindu tak mengharapkan hal tersebut terjadi, yang mana hal itu jauh dari
harapan anaka saputra.