Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama Hindu adalah agama tertua didunia. Di Indonesia telah berdiri kerajaan-
kerajaan besar salah satunya kerajaan Kutai,sebuah kerajaan penganut agama Hindu
di Indonesia.Sejak zaman dahulu,orang-orang dikerajaan tersebut sudah melakukan
korban suci yang dilakukan secara tulus iklas,yang dapat dibuktikan dengan adanya
prasasti-prasasti seperti prasasti Yupa yang menceritakan Raja Mulawarman yang
memberikan sumbangan berupa sapi.

Pada jaman itu perkembangan budaya yang berlandaskan Agama Hindu sangat
pesat termasuk di Derah Bali. Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-
harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di
Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual.

Agama Hindu ,merupakan suatu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh
umat manusia dalam kehidupan sehari-hari.Sebab Tuhan menciptakan manusia serta
makhluk hidup lainnyaberdasarkan atas yadnya,maka hendaklah manusia memelihara
dan mengembangkan dirinya,juga atas dasar Yadnya sebagai jalan untuk
memperbaiki diri dan mengabdikan diri kepada Hyang Widhi.Tanpa penciptaan
memalui Hyang Widhi,maka alam semesta beserta segala isinya ini termasukpila
manusia tidak mungkin ada.Hyang widhilah yang pertama kali beryadnya untuk
menciptakan dunia ini dan segala isinya,dengan segala cinta kasihnya.Karena inilah
pelaksanaan yadnya dalam kehidupan ini sangat penting dan merupakan suatu
kewajiban bagi umat manusia didunia ini khususnya bagi umat Hindu,karena itu pula
kita dituntut untuk mengerti,memahami,dan melaksanakan yadnya tersebut didalam
realitas kehidupan sehari-hari. Didalam makalah ini kami akan membahas tentang
materi Yadnya yang kiranya dapat bermanfaat bagi pembaca.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Yadnya?
2. Apa fungsi dan tujuan Yadnya?
3. Apasaja bagian-bagian Yadnya?
4. Bagaiman pelaksanaan Panca Yadnya dalam kehidupan?
5. apasaja tingkatan Yadnya?

1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian dari Yadnya
2. Dapat mengetahui fungsi dan tujuan dari Yadnya
3. Dapat mengetahui bagia-bagian dari Yadnya
4. Dapat mengetahui pelaksanaan Panca Yadnya dalam kehidupan
5. Dapat mengetahui tingkatan Yadnya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Yadnya

Kata yadnya berasal dari kata yaj (bahasa sanskerta )yang berarti korban
pemujaan. Yadnya berarti upacara korban suci. Sebagai suatu pemujaan yang
memakai korban suci maka yajna memerlukan dukumgan sikap mental yang suci pula
disamping adanya sarana yang akan di persembahkan/dikorbankan.
Menurut Bhagawad Gita yadnya adalah berasal dati kata yaj yang artinya
persembahan korbn pemujaan. Yajna dalam artian sempit tidaklah semata ritualistic
saja tapi di dalamnya terkandung nila kosmis filosofi religious dan sosiologis yang
dapat menyerap berbagai aspek kehidupan.
Yajna dalam Agana Hindu merupakan bagian yang utuh dari seluruh ajaran
dan aktivitas agama. Bahkan yajna merupakan usur yang sangat penting, bagaikan
kulit telur yang membungkus dan melindungi bagian dalamnya yang merupakan inti
dari telur itu sendiri. Seperto itulah yadjna dengan upacara dan upakaranya
merupakan kulit luAar yang tampak dan dilaksanakan dalam kehidupan keagamaan
seharti-hari. Yajna tidak hanya menandakan identitas keagamaan tetapi lebih dari
pada itu yajna merupakan pengejawantahan ajaran agama Hindu itu sendiri.
Dalam agama hindu mengenl lima macam yajna yang sering disebut dengan
Panca Yajna. Panca Yajna berasal dari dua kata yaitu panca dan yajna, panca yang
berarti limadan yajna artinya korban suci yang tukus ikhlas. Jadi panca yajna adalan
lima korban suci yang tulus iklas kepada Sang Hyang Widhi.

2.2 Fungsi dan Makna dari Yajna

Secara umum fungsi daripada Yadnya adalah sebagai sarana untuk


mengembangkan serta memelihara kehidupan agar terwujud kehidupan yang sejahtra
dan bahagia atau kelepasan yakni menyatu dengan Sang Pencipta. Berdasarkan uraian
diatas dapat dijabarkan fungsi dari pelaksanaan Yadnya, yaitu sebagai berikut:

3
1.Sarana untuk mengamalkan Weda
Yadnya adalah sarana untuk mengamalkan Weda yang dilukiskan dalam
bentuk symbol-simbol atau niyasa. Yang kemudian symbol tersebut menjadi realisasi
dari ajaran Agama Hindu.

2.Sarana untuk meningkatkan kualitas diri


Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana. Demikian pula
setiap kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas jiwatman sehingga tujuan
tertinggi yaitu bersatunya atman dengan brahman ( brahman atman aikyam ) dapat
tercapai. Dalam upaya meningkatkan kualitas diri, umat Hindu selalu diajarkan untuk
buatan baik. Perbuatan baik yang paling utama adalah melalui Yadnya. Dengan
demikian setiap yadnya yang kita lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan
kualitas jiwatman.

3. Sebagai sarana penyucian


Dengan sebuah Yadnya sesuatu hal bisa disucikan seperti diadakannya Dewa
Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya yaitu pada
bagian-bagian tertentu mengandung makna dan tujuan untuk penyucian atau
pembersihan.

4.Sarana untuk terhubung Kepada Ida Sang Hyang Widhi


Yadnya merupakan sarana yang dapat digunakan untuk mengadakan
hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, seperti yang
sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
5. Sarana untuk mengungkapkan rasa terima kasih
Dengan sebuah yadnya seseorang mampu mengungkapkan rasa syukur dan
ucapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sesame manusia, maupun
kepada alam, seperti yang sudah biasa dilakukan dalam penerapan Panca Yadnya.

4
2.3 Bagian-Bagian Yadnya
Dalam agama hindu mengenl lima macam yajna yang sering disebut dengan
Panca Yajna. Panca Yajna berasal dari dua kata yaitu panca dan yajna, panca yang
berarti limadan yajna artinya korban suci yang tukus ikhlas. Jadi panca yajna adalan
lima korban suci yang tulus iklas kepada Sang Hyang Widhi.
Bagian-bagian Panca Yadnya,diantaranya :
2.3.1 Dewa Yadnya
Dewa yadnya adalah suatu bentuk persembahan atau korban suci dengan tulus
iklas yang di tujukan kepada sang pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) beserta
dengan manifestasinya dalam bentuk TRI MURTI . Dewa Brahma sebagai pencipta
alam semesta , Dewa Wisnu sebagai pemelihara isi dari alam semesta , dan Dewa
Siwa sendiri sebagai pelebur atau praline dari alam semesta .

Adapun ketentuan-ketentuan yang di ketahui dalam melaksanakan Dewa Yadnya :


a . Tempat pelaksana dewa yadnya di tempat yang bersih dan memiliki suasana suci
seperti pura .
b . Memiliki sanggah surya sebagai pengganti padmasana 
c . Menghaturkan sesajen dengan bahan utama terdiri dari api , air bersih , buah dan
bunga .

Adapun tata cara melaksanakan Dewa Yadnya :


a. Pelinggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa diberi upacara penyucian .
b . Memohon dengan pujaan semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa datang dan
bersthana (tinggal) di pelinggih tersebut dipakai puja upeti .
c . Menghantarkan upacara penyucian dengan diantar oleh puja sthihi .
d . Sembahyang yang diakhiri dengan metirta
e . Upacara penutup disebut “nyimpen” dengan memakai puja praline

5
Contoh-contoh pelaksanaan Dewa Yadnya dalam kehidupan :
1 . Melaksanakan puja Tri Sandhya setiap hari .
2 . Melaksanakan persembahyangan pada hari purnama dan tilem .
3 . Melaksanakan persembahyangan pada hari raya di pura seperti piodalan , hari
saraswati , siwaratri , galungan dan kuningan .
4 . Selalu berdoa sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan 
5. Menjaga kesucian tempat suci / pura
6. Mempelajari dan mempraktekan ajaran agama dalam kehidpan sehari-hari

2.3.2 Rsi Yadnya


Rsi Yadnya adalah yadnya yang dilakukan berdasarkan RsiRnadan sebagai
sarining manah atas bimbingannya selama ini dengan memberikan rasa hormat dan
secara tulus iklas baik berupa sesari, punia dll kepada seorang rohaniawan, agamawan
dan sekaligus pemimpin keagamaan seperti halnya kepada

 Para rsi yang karena kesucian pikirannya dapat menerima wahyu Ida


Sang Hyang Widhi Wasa.
 Kepada para sulinggih, pemangku dan para guru lainya yang dalam ajaran Tri
Rna disebutkan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan atas bimbingannya
selama ini,
Beberapa contoh bentuk dari Rsi Yadnya yang dapat dilakukan,diantaranya:

 Menjalankan ajaran - ajaran suci beliau.


 Melindungi, menghormati, dan memberikan sesari serta daksina pemuput untuk
pemangku.
 Yadnya berupa punia kepada para Sulinggih, Pinandita, tempat suci dsb.
 Yang sederhana patokan yadnya ini disebutkan adalah :
ketulusan, senyum sapa, hormat manggihin sulinggih pinandita.
 Dari sisi pemerintah mungkin sudah memberikan santunan kepada
sang Sadhaka, Pinandita,atau juru ayah di pura yang memang benar dan tulus.

2.3.3 Manusia Yadnya


Pengertian manusa yadnya adalah korban suci yang tulus untuk memelihara
dan menyucikan lahir bhatin manusia sejak terjadi pembuahan dalam kandungan
sampai akhir hidupnya. Pembersihan dan penyucian lahir bhatin manusia selama
hidupnya dipandang perlu agar dapat menerima ilham atau petunjuk dari Ida Sang

6
Hyang Widhi Wasa, sehingga dalam hidupnya tidak menempuh jalan sesat melainkan
dapat berfikir, berbicara dan berbuat baik dan benar.

Berikut ini jenis-jenis dan makna dari upacara manusa yadnya :

1. Pegedong-Gedongan (Garbhadhana Samskara)


Upacara ini ditujukan kehadapan si bayi yang ada di dalam kandungan dan
merupakan upacara yang pertama kali dialami sejak terciptanya sebagai manusia.
Oleh karenanya upacara ini dilakukan setelah kehamilan berumur 5 bulan ( 6 bulan
kalender ) sebelum bayi itu lahir.
Tujuannya adalah untuk membersihkan dan mohon keselamatan jiwa raga si
bayi, agar kelak menjadi orang yang berguna dimasyarakat.
2. Bayi Lahir (Jatakarma Samskara)
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah
sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si bayi di dunia.
Upacara ini dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah dipimpin oleh salah
seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem)
ari-arinya. Dan jika tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan, sang ayah
dapat melaksanakan upacara ini.
3. Kepus Puser
Apabila puser si bayi sudah lepas (kepus), dibuatkan suatu upakara yang
bertujuan untuk membersihkan secara rokhaniah tempat-tempat suci, dan bangunan
yang ada disekitarnya, seperti sanggah kamulan, sumur, dapur, bale dsbnya.
Puser di bayi dibungkus dengan secarik kain, lalu dimasukkan kedalam sebuah tipat
(tipat kukur), disertai dengan anget-anget (sejenis rempah-rempah, seperti sintok,
mesui, katik tengkeh, dsbnya), kemudian digantungkan di tempat tidur si bayi agak ke
tebenan (hilir). Selain dari pada itu mulai saat itu si bayi diasuh oleh sang hyang
kumara dan untuk beliau dibuatkanlah sebuah tempat di atas tempat tidur si bayi yang
disebut pelangkiran (kemara).

7
4. Upacara Ngelepas Hawon
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara
Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian pula
sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di
antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
Untuk melaksanakan upacara ini dipimpin oieh keluarga yang paling dituakan.

5. Upacara Kambuhan(Satu Bulan Tujuh Hari)


Setelah si bayi berumur satu bulan tujuh hari (42 hari), diadakanlah upacara
yang sering disebut “upacara macolongan”. Dalam upacara ini disamping
pembersihan jiwa raga si bayi dari segala noda dan kotoran, juga bertujuan untuk
mengembalikan nyama bajang si bayi dan pembersihan si ibu agar dapat memasuki
tempat-tempat suci seperti merajan, pura dsbnya.
.Menurut penjelasan beberapa sulinggih banyak nyama bajang ini adalah 108
misalnya : bajang colong, bajang bukal, bajang yeh, bajang tukad, bajang ambengan,
bajang papah, bajang lengis, bajang dodot, dllnya.
Setelah bayi itu lahir maka nyama bajang ini dianggap tidak mempunyai tugas lagi,
bahkan kadang sering mengganggu si bayi. Oleh akrena itu pada waktu si bayi
berumur 42 hari dianggap sudah waktunya untuk mengembalikan mereka
ketempatnya masing-masing (keasalnya).

6. Upacara Tiga Bulanan (Nyambutin)


Upacara ini disebut pula upacara “nelu-bulanin”. Tujuannya adalah agar jiwa-
atma si bayi benar-benar kembali berada pada raganya. Disamping itu upacara ini
juga merupakan pembersihan serta penegasan nama si bayi. Serangkaian dengan
upacara ini biasanya dilakukan pula upacara turun tanah.
Tujuannya adalah untuk mohon waranugraha kehadapan ibu pertiwi bahwa si anak
akan menginjak kakinya dan agar beliau melindungi / mengasuhnya.

8
7. Upacara Satu Oton (6 Bulan)
Ini upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan
pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-
keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan
yang lebih sempurna.
Upacara ini bertujuan untuk memperingati hari kelahiran dan biasanya diikuti
dengan upacara pemotongan rambut yang pertama kali (magundul), yang bertujuan
untuk membersihkan siwa-dwara (ubun-ubun). Dan seluruh rangkaian upacara ini
dilaksanakan di rumah. Upacara dipimpin oieh pandita / pinandita atau oleh keluarga
tertua.

8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)


Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara
ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. Upacara ini
disebut pula ngempugin dan sedapat mungkin dilakukan pada waktu matahari mulai
terbit.
Tujuan adalah untuk memohon kehadapan Bhatara Surya, Bhatara Brahma,
dan Dewi Sri agar gigi si bayi tumbuh dengan baik, putih bersih, tidak jamuran /
candawanan atau dimakan ulat.

9. Maketus (Lepas Gigi)


Upacara ini disebut juga makupak. Upacara ini dilaksanakan apabila si anak
sudah lepas giginya (maketus untuk pertama kalinya). Pada upacara ini dibuatkanlah
upacara yang agak berbeda dengan yang sudah-sudah, yaitu pabyakalaan dan
sesayut / tatebasan. Mulai saat itu dia tidak diperkenankan lagi untuk natab
jejanganan dan penyambutan, melainkan diganti dengan pabyakalaan dan sesayut /
tatebasan (sesayut pangerti swara).

9
10. Upacara Menek Deha (Munggah Deha / Teruna) (Rajaswala)
Sebagai tanda kedewasaan bagi seorang laki-laki adalah suaranya mulai
membesar (ngembakin), sedangkan tanda kedewasaan bagi seorang wanita adalah
untuk pertama kalinya dia mengalami datang bulan (haid).Sejak itu seseorang
merasakan getaran-getaran samara karena dewa asmara mulai menempati lubuk
hatinya. Upacara-upacara dalam hal ini terutama ditunjukkan kehadapan sang semara
ratih, dengan penghargaan agar beliau benar-benar dapat menjadi pembimbing dan
teman hidup yang baik, berguna serta tidak menyesatkan hidup orang yang
bersangkutan. Demikianlah orang yang meningkat dewasa itu disimbulkan kawin
dengan sang hyang semara ratih.

11. Upacara Potong Gigi (Mapandes)


Upacara ini dapat dijadikan satu dengan upacara meningkat dewasa, dan
mapetik, dan penambahan upakaranya tidaklah begitu banyak. Upacara ini bertujuan
untuk mengurangi sad ripu dari seseorang dan sebagai simbulnya akan dipotong 6
buah gigi atas (4 buah gigi dan 2 taring).
Yang dimaksud dengan sad ripu adalah 6 sifat manusia yang dianggap kurang
baik, bahkan sering dianggap sebagai musuh didalam diri sendiri. Keenam sifat
tersebut ditimbulkan oleh budi rajas dan budi tamas.
Oleh karena itu segala pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh budi rajas, dan budi
tamas kiranya dapat dianggap sebagai sifat-sifat kebinatangan yang tidak selayaknya
menguasai diri kita sebagai manusia ini bukannya berarti bahwa budi rajas, dan tamas
beserta pengaruh-pengaruhnya itu tidak perlu, tetapi hendaknya ada keseimbangan
antara budi rajas, tamas dan budi satwam sebagai penuntunnya.

12.Upacara Mawinten
Upacara ini bertujuan untuk mohon waranugraha akan mempelajari ilmu
pengetahuan seperti kesusilaan, keagamaan, weda dsbnya. Pemujaan disini
diutamakan kehadapan tiga dewa yaitu : Bhatara Guru sebagai pembimbing (guru),

10
Bhatara Gana, sebagai pelindung serta pembebas dariss egala tantangan / kesukaran,
dan Dewi Saraswati sebagai dewi penguasa ilmu pengetahuan.
13. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan
kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri
sebagai suami-istri.
Upacara perkawinan adalah merupakan persaksian baik kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut
mengikatkan diri sebagai suami istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi
tanggung jawab mereka bersama. Disamping itu upacara tersebut juga merupakan
pembersihan terhadap “sukla swanita” (bibit) serta lahir bathinnya.
Hal ini dimaksud agar bibit dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh
buruk (gangguan bhuta kala), sehingga kalau keduanya bertemu (terjadi pembuahan)
akan terbentuklah sebuah manik yang sudah bersih. Dengan demikian diharapkan
agar roh yang akan menjiwai manik itu adalah roh yang baik/suci, dan kemudian akan
lahirlah seorang anak yang berguna di masyarakat menjadi idaman orang tuanya).
Lain dari pada itu, dengan adanya upacara perkawinan secara agama hindu, berarti
pula bahwa kedua mempelai telah memilih agama hindu serta ajaran-ajarannya
sebagai pegangan hidup didalam membina rumah tangganya.
Tata cara :
 Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai
mabhyakala dan maprayascita.
  Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi
sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki
dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh
mempelai Iaki-laki.
 Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab
banten dapetan.

11
2.3.4. Pitra Yadnya
            Pitra Yadnya berasal dari dua kata yaitu “Pitra” yang berarti Bapak/ Ibu atau
leluhur yang terhormat (sinuhun). Dan kata “Yadnya” berarti penyaluran tenaga,
sikap, tingkah laku, dan perbuatan atas dasar suci untuk keselamatan bersama atau
pengorbanan. Pitra Yadnya adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para leluhur
dan orang tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada
orang tua dan leluhur yang disebut Pitra Rna. Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat
mustahil kita akan lahir di dunia ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar
dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya.
Dapat disimpulkan bahwa, Pitra Yadnya merupakan upacara penyucian yang
diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal yang dilaksanakan melalui
rangkaianupacara pengringkesan,pengabenan,memukur hingga nilapati atau ngelinggi
hang. Berkenaan dengan rangkaian upacara tersebut, salah satu aspek yang senantiasa
mengiringi pelaksanaannya adalah adanya gamelan yang berfungsi sebagai musik
pengiringnya.
Mengenai tingkatan upacara pengebenan, dari berbagai sumber sastra yang
berhasil dikumpulkan oleh Sudarsana (2008:77-78) disebutkan ada empat tingkatan
yaitu mewangun, prenawa, swasta dan ngerti parwa. Sesuai dengan situasi dan
kondisi pelaksanaannya, masing-masing dari tingkatan tersebut dibagi lagi sehingga
terdapat 10 bentuk pengabenan.
Upacara ngaben di atas dapat dilaksanakan dalam tingkatan nista, madya dan
utama sesuai dengan kemampuan dalam memenuhi berbagai persyaratannya.
Pengabenan mewangun merupakan tingkatan pengabenan tertinggi dimana
pelaksanaan upacara pengabenannya mempergunakan kuantitas upacara utama dan
memakai atribut-atribut secara lengkap menurut ketentuan sastra agama Hindu
(Sudarsana, 2008:78). Tingkatan pengabenan ini biasanya dilaksanakan bagi orang-
orang yang memiliki kedudukan, terhormat, pengaruh yang luas di masyarakat,
seperti raja dan golongan ksatria lainnya, pendeta, pemangku desa.
Pengabenan pranawa merupakan tingkatan upacara pengabenan yang kuantitasnya
lebih kecil dari mewangun namun memiliki kualitas yang sama dan tergantung dari

12
pelaksanannya. Berbagai kalangan (kedudukan dan kasta) dapat melaksanakan
upacara pengabenan dalam tingkatan ini sesuai dengan kemampuan dalam
melaksanakannya. Sedangkan tingkatan upacara yang paling sederhana
adalah swastha dan ngerti parwa.
Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur
(orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.

Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari


orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang
tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis,
karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang
telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju
tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk sementara waktu
tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir
di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia, berhubungan erat
dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara
umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di
dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati
bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.

13
 Tujuan upacara pengabenan :

1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke


sungai, atau laut memiliki tujuan untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu
keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam
Atmanam).

2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan


segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada
asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian
Panca Maha Bhuta yaitu :

a.       Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll

b.      Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll

c.       Bayu : unsur udara yang membentuk napas.

d.      Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh.

e.       Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.

3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga
telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Jenis-Jenis Pengabenan
Upacara pengabenan di Bali tidak hanya memiliki satu jenis pengabenan
melainkan ada beberapa jenis pengabenan diantaranya :
1. Ngaben Sawa Wedana
adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur
terlebih dahulu). Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari
terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada
upacara denga skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan.

14
Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacra maka jenazah
akan diletakkan dib alai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian
ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah.
2. Ngaben Asti Wedana
adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur.
Upacara ini disertai dengan upacra ngagah, yaitu upacra menggali kembali kuburan
dari orang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa.
Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacra
tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara
kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat
yang disebut dengan upacara Mangkisan ring Pertiwi (menitipkan di Ibu Pertiwi).
3. Swasta
adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal
ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti: meninggal di luar negeri atau
tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya
disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis
sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
4. Ngelungah
adalah upacara untuk anak yang belum tanggal giginya.
5. Warak Kruron
adalah upacara untuk bayi yang keguguran

2.3.5. Butha Yadnya


Butha Yadnya adalah upacara untuk menetralisir (nyomya) semua kekuatan-
kekuatan yang bersifat asuri sampad (keburukan) yang telah bersemayam kedalam
bhwana agung atau (Makrokosmos) dan bhwana alit (mikrokosmos),sehingga dapat
mencapai butha hita agar keseimbangan,keselarasan dan keserasian antara bhwana
agung dan bhwana alit dapat dipertahankan secara berkesinambungan.Kalau dilihat
dari segi makna pelaksanaan upacara butha yadnya maka makna upacara butha
yadnya adalah sebagai berikut :

15
1. Bermakna sebagai pengeruat (penyupatan)
2. Bemakna sebagai kesejahteraan
3. Bermakna sebagai peleburan dosa
4. Bermakna sebagai korban suci (yadnya)
Adapun upacara butha yadnya dari yang terkecil sampai yang
terbesar,diantaranya :
1.Tingkatan upakara butha yadnya paling kecil

a.Segehan kepel
Segehan Kepelan sebagai alasnya dipakai sebuah taledan (tangkih) atau daun
pisang diatasnya diisi dua kepel nasi putih, ikannya bawang jahe dan garam.
Diatasnya dilengkapi dengan canang genten/canang sari. Mengenai jumlah nasinya
dapat berubah-ubah demikian pula warnanya sesuai dengan kepentingan, misalnya
membuat segehan putih dan kuning, segehan putih hitam, segehan bang (merah) dan
sebagainya.

b.Segehan Cacahan
Segehan cacahan alasnya dipakai sebuah taledan(daun) tangkih diatasnya
diisi 6/7 buah tangkih yaitu lima buah.didalamnya diisi nasi putih sedangkan yang
lainnya diisi bija ratus (lima jenis biji-bijian diantaranya: jagung, kacang tanah,
kacang komak, buah godem, dan jali). sedangkan tangkih yang lainnya lagi diisi beras
sedikit, base tampel, benang putih dan uang. Bila mengambil 6 buah tangkih maka
bija ratus dan yang lainnya dijadikan satu tangkih. Sebagai lauk pauknya adalah
bawang jahe dan garam kemudian dilengkapi dengan canang genten/canang sari dan
nasinya dapat pula diwarnai sesuai dengan kepentingan. penggunaannya : kedua
Segehan ini penggunaannya dapat dipilih yang bersangkutan untuk melaksanakan
Upacara Bhuta Yadnya yang kecil/sederhana seperti pada hari Kajeng kliwon dan
rerahinan alit sehari-hari.

16
c. Segehan Agung
Segehan ini dipergunakan dalam upacara tertentu. perlengkapannya lebih
banyakdari segehan cacahan.

2. Tingkatan Upakara Bhuta Yadnya Menengah (Madya) adalah caru yang


jumlahnya ada empat macam yaitu:
a. Caru ayam brumbun
Caru jenis ini disebut juga caru pengruwak. Caru Pengruwak ini
menggunakan seekor ayam yang warna bulunya lebih dari dua warna
b. Caru Panca Sata
Caru Panca Sata adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam yang
disesuaikan dengan arah pengider-ider atau arah mata angin
c. Caru Panca Kelud
Caru Panca Kelud memakai lima ekor ayam ditambah dengan seekor itik
belang kalung dan seekor asu(anjing) bang bungkem.
d. Caru Rsi Gana
Caru Rsi Gana ini tidak dipergunakan secara umum melainkan digunakan
khusus pada tempat-tempat tertentu yang karena terjadi sesuatu hal atau kejadian-
kejadian tertentu seperti tempat yang dianggap angker, sering menimbulkan bencana,
menimbulkan suatu penyakit dan kejadian-kejadian lainnya. 

3. Tingkatan Upakara Bhuta Yajnya yang Besar (Uttama)Tawur yang jumlahnya ada
empat macam yaitu :
a. Tawur
    Salah satu contoh pelaksanaan tawur adalah upacara Tawur Kesanga. Tawur
Kesanga dan Nyepi yang dilaksanakan tiap tahun sekali dalam rangkaian tahun baru
Saka.
b. Tawur Panca Wali Krama

17
   Upacara Tawur Panca Wali Krama tergolong pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya
yang dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali.

c. Tawur Eka Dasa Rudra.


    Upacara yang dilaksanakan setiap seratus tahun sekali di pura Besakih merupakan
bagian dari upacara Bhuta Yadnya yang tergolong paling uttama.
Semua Upacara dan upakara diatas dari segehan (Kanista), Caru (Madya) dan Tawur
(Uttama)mempunyai tujuan yang sama yaitu menetralisir unsur-unsur panca maha
bhuta yang terdiri dari apah (air), Teja (panas bumi), bayu (angin), akasa (atmosfir)
dan pertiwi (tanah) masing-masing berjalan normal. tujuannya adalah sama-sama
untuk mengharmoniskan semua kekuatan alam baik dalam Bhuwana Agung maupun
Bhuwana Alit. Melalui upacara Bhuta Yadnya untuk memohon kehadapan Ida
Sanghyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa agar
menyucikan,mengatur,membebaskan,memelihara,menetralisir,mengharmoniskan
unsur-unsur kekuatan alam yang mulanya bersifat mengganggu sehingga tidak
mengganggu lagi kehidupan didunia ini guna terwujudnya keseimbangan Bhuwana
Agung (alam) dan Bhuwana Alit (manusia).

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pemaparan dapat disimpulkan bahwa Yadnya adalah korban suci yang
tulus iklas tanpa pamrih.Dalam agama Hindu kita mengenal adanya Panca Yadnya
yaitu lima macam korban cusi yang tulus ikhlas,diantaranya yaitu Dewa Yadnya,Rsi
Yadnya,Manusia Yadnya,Pitra Yadnya,Butha Yanya.Adapun tujuan daripelaksanaan
Yadnya yaitu untuk mengamalkan ajaran weda ,untuk meningkatkan kualitas
diri,untuk penyucian ,untuk dijadikan sarana penghubung kepada Tuhan,untuk
mencetuskan rasa terimakasih.Adapun tingkatan yadnya yaitu nista,madya,dan utama.

3.2 Saran

Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan bisa dimanfaatkan dengan sebaik-


baiknya oleh pembaca. Penulis juga mengharapkan agar makalah ini bisa bermanfaat
untuk pembaca dalam proses belajar. Makalah ini dapat dijadikan sumber untuk
menambah wawasan dalam mata kuliah Pendidikan Agama.

19
DAFTAR PUSTAKA

Putu Surayin,Ida ayu..2002.Upacara Dewa Yadnya.Surabaya:Paramita Surabaya


Putu Surayin,Ida ayu..2002.Upacara Manusia Yadnya.Surabaya:Paramita Surabaya
Putu Surayin,Ida ayu..2002.Upacara Pitra Yadnya.Surabaya:Paramita Surabaya
Putu Surayin,Ida ayu..2002.Upacara Bhuta Yadnya.Surabaya:Paramita Surabaya
Md Ngurah,I Gst,dkk.1999.Buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan
Tinggi.Surabaya.Penerbit:Paramita Surabaya
Dwik.Internet.http://help-myhomework.blogspot.com/2016/12/ngaben-sebagai-
wujud-implementasi_31.html

20

Anda mungkin juga menyukai