Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam sloka Bhagawadgita, 3.10, disebutkan “Saha-yajnah prajah srtstva purovaca prajapatih
anena prasavisyadhvam eva vo ‘ stu ista kama-dhuk ”. Yang kemudian diterjemahkan pada kitab
Niti Sastra IV.19 berarti “Pada zaman dulu Prajapati menciptakan manusia dengan Yadnya dan
bersabda dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu”.
Berdasarkan sloka tersebut, maka manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya dibandingkan
makhluk hidup lainnya. Sudah sewajarnya manusia menyadari akan keberadaan dirinya yang
diciptakan dan dipelihara atas dasar yadnya.

Kadang kala masih banyak orang yang bertanya mengapa kita harus melakukan yadnya.
Jawaban dari pertanyaan itu tentulah karena kita memiliki tiga hutang yang disebut Tri Rna.
Adapun bagian-bagiannya antara lain :

1. Dewa Rna (hutang yang patut kita bayar kepada Sang Pencipta),
2. Pitra Rna (hutang yang patut kita bayar kepada orang tua yang sudah meninggal
maupun tidak), dan
3. Rsi Rna (hutang yang patut kita bayar kepada Rsi, Sulinggih atau guru).

Ketiga hutang tersebut yang menjadi dasar atau landasan pelaksanaan yadnya yang kita
warisi sampai sekarang. Disamping itu dasar pelaksanaan yadnya adalah Bhakti. Bhakti adalah
bentuk penghormatan yang tulus ikhlas dan merupakan dasar utama pelaksaan Yadnya. Bhakti
tidak memerlukan kecerdasan tinggi, melainkan Bhakti memerlukan kesetiaan, ketulusan,
keikhlasan, dan kesabaran.

Umat Hindu sudah kenal akan keberadaan lima yadnya. Lima yadnya tersebut sudah kita
kenal dengan Panca Yadnya. Tanpa kita sadari Panca Yadnya sudah kita lakukan dari kecil
hingga sekarang. Berarti dari kecil hingga akhir ayat, kita tidak bisa lepas dari Panca Yadnya. Dan
dalam makalah ini kami akan mengulas secara lebih spesifik tentang Manusa Yadnya, Pitra
Yadnya dan Bhuta Yadnya.

1
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya?
2. Apa jenis – jenis dan makna upacara Manusa Yadnya?
3. Apa jenis – jenis dan makna upacara Pitra Yadnya?
4. Apa jenis – jenis dan makna upacara Bhuta Yadnya?
5. Apa penerapan Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya dalam kehidupan
sehari-hari?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta
Yadnya.
2. Untuk mengetahui apa jenis-jenis dan makna dari upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya
dan Bhuta Yadnya.
3. Mengetahui penerapan Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya dalam
kehidupan sehari-hari.
1.4. Manfaat Penulisan
1. Dapat mengetahui dan memahami apa yang di maksud dengan upacara Manusa Yadnya,
Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya.
2. Dapat mengetahui jenis – jenis dan makna dari upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan
Bhuta Yadnya.
3. Dapat mengetahui penerapan Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya dalam
kehidupan sehari-hari.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Manusa Yadnya.
2.1.1. Pengertian Manusa Yadnya.

Sebelum kita membahas pengertian manusa yadnya , timbul pertanyaan, kenapa


manusia dilahirkan? Sebagaimana kita ketahui bersama berdasarkan sastra dan dan
keyakinan umat beragama hindu bahwa menjelma kembali ” reinkarnasi ” menjadi
manusia adalah merupakan anugrah Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada yang
bersangkutan untuk memperbaiki karmanya yang kurang baik pada dulu menjadi lebih
baik, sehingga pada suatu saat nanti dapat bersatu dengan Sang Pencipta. Demikianlah
menjelma kembali sebagai manusia adalah merupakan kesempatan yang sangat baik,
karena dapat memperbaiki kesalahan, kekurangan dan keburukan yang pernah dilakukan
pada penjelmaan terdahulu yang mengantarkan bersangkutan mesti menjelma kembali.

Jadi berdasarkan hal tersebut pengertian manusa yadnya adalah korban suci yang
tulus untuk memelihara dan menyucikan lahir bhatin manusia sejak terjadi pembuahan
dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Pembersihan dan penyucian lahir bhatin
manusia selama hidupnya dipandang perlu agar dapat menerima ilham atau petunjuk dari
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga dalam hidupnya tidak menempuh jalan sesat
melainkan dapat berfikir, berbicara dan berbuat baik dan benar.

2.1.2. Jenis dan Makna Upacara Manusa Yadnya.

Berikut ini jenis-jenis dan makna dari upacara manusa yadnya :

1. Pegedong-Gedongan (Garbhadhana Samskara)


Upacara ini ditujukan kehadapan si bayi yang ada di dalam kandungan dan
merupakan upacara yang pertama kali dialami sejak terciptanya sebagai manusia. Oleh
karenanya upacara ini dilakukan setelah kehamilan berumur 5 bulan ( 6 bulan kalender )
sebelum bayi itu lahir. Kehamilan yang berumur di bawah 5 bulan dianggap jasmani si

3
bayi belum sempurna, dan tidak boleh diberi upacara manusa yadnya (menurut lontar
kuno dresthi).
Tujuannya adalah untuk membersihkan dan mohon keselamatan jiwa raga si bayi, agar
kelak menjadi orang yang berguna dimasyarakat (kalau laki-laki menjadi pahlawan
pembela negara/titundung musuh dan kalau perempuan menjadi istri yang utama).

2. Bayi Lahir (Jatakarma Samskara)


Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah
sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si bayi di dunia.
Upacara ini dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah dipimpin oleh salah
seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-
arinya. Dan jika tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan, sang ayah dapat
melaksanakan upacara ini.

3. Kepus Puser
Apabila puser si bayi sudah lepas (kepus), dibuatkan suatu upakara yang bertujuan
untuk membersihkan secara rokhaniah tempat-tempat suci, dan bangunan yang ada
disekitarnya, seperti sanggah kamulan, sumur, dapur, bale dsbnya.
Puser di bayi dibungkus dengan secarik kain, lalu dimasukkan kedalam sebuah tipat (tipat
kukur), disertai dengan anget-anget (sejenis rempah-rempah, seperti sintok, mesui, katik
tengkeh, dsbnya), kemudian digantungkan di tempat tidur si bayi agak ke tebenan (hilir).
Kepada si ibu mulai diberi makan berjenis-jenis ikan/daging dan lauk pauk lainnya. Hal
ini bertujuan agar si bayi terlatih terhadap berjenis-jenis ikan/daging. Seperti diketahui
banyak orang yang tidak berani (tubuhnya tidak tahan terhadap ikan laut atau daging babi
misalnya.
Selain dari pada itu mulai saat itu si bayi diasuh oleh sang hyang kumara dan untuk
beliau dibuatkanlah sebuah tempat di atas tempat tidur si bayi yang disebut pelangkiran
(kemara).
Menurut mithologi (lontar siwa-gama) sang hyang kumara adalah salah satu putra bhatara
siwa dan beliau dikutuk tetap berwujud anak-anak agar tidak termakan / terbunuh oleh

4
kakaknya (dewa gana). Dan untuk selanjutnya sang hyang kumara ditugaskan oleh
ayahnya untuk mengasuh / untuk melindungi anak-anak yang belum maketus (lepas gigi).

4. Upacara Ngelepas Hawon


Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara
Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian pula sang
catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya:
Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah pekarangan yaitu di sumur (permandian), di
dapur, serta di sanggah kamulan..

5. Upacara Tugtug Kambuhan(Satu Bulan Tujuh Hari)


Setelah si bayi berumur satu bulan tujuh hari (42 hari), diadakanlah upacara yang
sering disebut “upacara macolongan”. Dalam upacara ini disamping pembersihan jiwa
raga si bayi dari segala noda dan kotoran, juga bertujuan untuk mengembalikan nyama
bajang si bayi dan pembersihan si ibu agar dapat memasuki tempat-tempat suci seperti
merajan, pura dsbnya. Dalam hal ini perlu dibedakan antara “catur sanak” dengan “nyama
bajang”.
Catur sanak berarti saudara empat. Yang dimaksud dalam hal ini adalah empat
unsur (benda beserta kekuatannya) yang dianggap sangat membantu pertumbuhan dan
keselamatan si bayi sejak mulai terciptanya di dalam kandungan sampai dia lahir. Wujud
dari pada saudara empat itu adalah : darah, lamad, yeh nyom, dan ari-ari. Nama dari
saudara empat ini akan berganti-ganti sesuai dengan pertumbuhan si bayi di dalam
kandungan dan setelah lahir, sehingga akan dapat banyak nama untuk mereka. Oleh
karean sang catur sanak itu dianggap sangat berjasa, maka diajurkan agar setiap orang
tidak melupakan mereka baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka.
Kemudian yang dimaksud dengan nyama bajang adalah semua kekuatan-kekuatan yang
membantu sang catur sanak di dalam kandungan, dalam proses pertumbuhan,
penyempurnaan jasmani serta keselamatan si bayi.

5
Menurut penjelasan beberapa sulinggih banyak nyama bajang ini adalah 108
misalnya : bajang colong, bajang bukal, bajang yeh, bajang tukad, bajang ambengan,
bajang papah, bajang lengis, bajang dodot, dllnya.
Setelah bayi itu lahir maka nyama bajang ini dianggap tidak mempunyai tugas lagi,
bahkan kadang sering mengganggu si bayi. Oleh akrena itu pada waktu si bayi berumur 42
hari dianggap sudah waktunya untuk mengembalikan mereka ketempatnya masing-masing
(keasalnya).
Disamping itu untuk pertama kalinya si bayi dimohonkan pengelukatan kehadapan
Bhatara Brahma (di dapur), Bhatara Wisnu (permandian), dan Bhatara Siwa / Hyang Guru
(disanggah kemulan).

6. Upacara Tiga Bulanan (Nyambutin)


Upacara ini disebut pula upacara “nelu-bulanin”. Tujuannya adalah agar jiwa-atma
si bayi benar-benar kembali berada pada raganya. Disamping itu upacara ini juga
merupakan pembersihan serta penegasan nama si bayi. Serangkaian dengan upacara ini
biasanya dilakukan pula upacara turun tanah.
Tujuannya adalah untuk mohon waranugraha kehadapan ibu pertiwi bahwa si anak akan
menginjak kakinya dan agar beliau melindungi / mengasuhnya.
Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan tidak memungkinkan,
misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama
keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa
ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan.
Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah.
Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.

7. Upacara Satu Oton (6 Bulan)


Ini upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan
pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-
keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang
lebih sempurna.

6
Upacara ini bertujuan untuk memperingati hari kelahiran dan biasanya diikuti
dengan upacara pemotongan rambut yang pertama kali (magundul), yang bertujuan untuk
membersihkan siwa-dwara (ubun-ubun). Upacara ini sering pula dilakukan setelah si bayi
berumur 3 oton. Hal ini mungkin bermaksud untuk menjaga kesehatan si bayi. Tetapi
sering juga upacara pengguntingan pertama dilakukan pada waktu tiga bulan, hanya saja
tidak digundul sampai bersih, melainkan merupakan simbolis saja. Demikian pula
menurut lontar-lontar upacara turun tanah dilakukan pada waktu otonan yang pertama kali
ini. Tetapi kalau diperhatikan, anak-anak sekarang telah mulai belajar berjalan sebelum
berumur satu oton.
Dan tujuan dari pada upcara turun tanah itu adalah mohon waranugraha kehadapan
ibu pertiwi, maka kiranya upacara tersebut baiknya dilakukan sebelum si bayi belajar
berjalan. Di samping si bayi untuk pertama kali diperkenalkan kehadapan ida betara betari
yang ada di dasarnya, yaitu diwujudkan dengan menghaturkan pejati / pesaksi ke bale
agung (pura desa). Dan seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah. Upacara
dipimpin oieh pandita / pinandita atau oleh keluarga tertua.

8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)


Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini
bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. Upacara ini disebut pula
ngempugin dan sedapat mungkin dilakukan pada waktu matahari mulai terbit.
Tujuan adalah untuk memohon kehadapan Bhatara Surya, Bhatara Brahma, dan Dewi Sri
agar gigi si bayi tumbuh dengan baik, putih bersih, tidak jamuran / candawanan atau
dimakan ulat. Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Upacara ini
dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga tertua.

9. Maketus (Lepas Gigi)


Upacara ini disebut juga makupak. Upacara ini dilaksanakan apabila si anak sudah
lepas giginya (maketus untuk pertama kalinya). Pada upacara ini dibuatkanlah upacara
yang agak berbeda dengan yang sudah-sudah, yaitu pabyakalaan dan sesayut / tatebasan.
Mulai saat itu dia tidak diperkenankan lagi untuk natab jejanganan dan penyambutan,
melainkan diganti dengan pabyakalaan dan sesayut / tatebasan (sesayut pangerti swara).

7
Menurut lontar siwa gana si anak tidak lagi diasuh oleh sang hyang kumara, oleh
karena itu tidak perlu lagi membuat banten kumara.
Si anak mulai mempersiapkan diri untuk mepelajari pengetahuan. Upakara-upakara dalam
hal ini tidaklah begitu banyak, dan biasanya dilakukan pada waktu otonan berikutnya,
yaitu dilengkapi dengan pabyakalaan dan sesayut / tatebasan. Mengenai jenis sesayut /
tatebasan yang dimaksudkan sebaiknya mohon petunjuk kehadapan tukang / orang yang
dianggap tahu.

10. Upacara Menek Deha (Munggah Deha / Teruna) (Rajaswala)


Sebagai tanda kedewasaan bagi seorang laki-laki adalah suaranya mulai membesar
(ngembakin), sedangkan tanda kedewasaan bagi seorang wanita adalah untuk pertama
kalinya dia mengalami datang bulan (haid).
Sejak itu seseorang merasakan getaran-getaran samara karena dewa asmara mulai
menempati lubuk hatinya. Upacara-upacara dalam hal ini terutama ditunjukkan kehadapan
sang semara ratih, dengan penghargaan agar beliau benar-benar dapat menjadi
pembimbing dan teman hidup yang baik, berguna serta tidak menyesatkan hidup orang
yang bersangkutan. Demikianlah orang yang meningkat dewasa itu disimbulkan kawin
dengan sang hyang semara ratih.
Biasanya upacara meningkat dewasa ini dititik beratkan pada orang perempuan.
Hal ini mungkin disebabkan karena kaum wanita dianggap sebagai kaum lemah, dan lebih
memungkinkan untuk menanggung akibat perbuatan samara yang tersesat. Lain dari pada
itu kiranya moral kaum wanita dapat dianggap sebagai barometer tinggi rendahnya, tegak
runtuhnya moral suatu bangsa.

11. Upacara Potong Gigi (Mapandes)


Upacara ini dapat dijadikan satu dengan upacara meningkat dewasa, dan mapetik,
dan penambahan upakaranya tidaklah begitu banyak. Upacara ini bertujuan untuk
mengurangi sad ripu dari seseorang dan sebagai simbulnya akan dipotong 6 buah gigi atas
(4 buah gigi dan 2 taring).

8
Yang dimaksud dengan sad ripu adalah 6 sifat manusia yang dianggap kurang
baik, bahkan sering dianggap sebagai musuh didalam diri sendiri. Keenam sifat tersebut
ditimbulkan oleh budi rajas dan budi tamas.
Sebenarnya kita sebagai manusia memiliki 3 budi yaitu : budi rajas, budi tamas,
budi satwam, sedangkan pada binatang memiliki 2 budi yaitu : budi rajas, dan budi tamas.
Oleh karena itu segala pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh budi rajas, dan budi
tamas kiranya dapat dianggap sebagai sifat-sifat kebinatangan yang tidak selayaknya
menguasai diri kita sebagai manusia ini bukannya berarti bahwa budi rajas, dan tamas
beserta pengaruh-pengaruhnya itu tidak perlu, tetapi hendaknya ada keseimbangan antara
budi rajas, tamas dan budi satwam sebagai penuntunnya.
Seluruh rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan.
Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang
sangging (sebagai pelaksana langsung).

12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)


Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan
kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai
suami-istri.
Upacara perkawinan adalah merupakan persaksian baik kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan
diri sebagai suami istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka
bersama. Disamping itu upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “sukla
swanita” (bibit) serta lahir bathinnya.

2.2. Pitra Yadnya


2.2.1. Pengertian Upacara Pitra Yadnya
Pitra yadnya adalah suatu upacara pemujaan dengan hati yang tulus ikhlas dan suci
yang di tujukan kepada para Pitara dan roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia. Pitra
yadnya juga berarti penghormatan dan pemeliharaan atau pemberian sesuatu yang baik
dan layak kepada ayah-bunda dan kepada orang-orang tua yang telah meninggal yang ada
di lingkungan keluarga sebagai suatu kelanjutan rasa bakti seorang anak ( sentana )

9
terhadap leluhurnya. Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya di pandang sangat penting, karena
seorang anak ( sentana ) mempunyai hutang budi, bahkan dapat di katakana berhutang
jiwa kepada leluhurnya.
Tiga perinciannya yang disebut Bapa menurut tingkah lakunya, carirakrta,
pranadata dan annadata; carirakrta artinya yang menjadikan tubuh, pranadata yaitu yang
memberi hidup dan annadata artinya yang memberi makan serta mengasuhnya. Dengan
memperhatikan jasa-jasa orang tua tersebut, maka seorang anak (sentana) berkewajiban
melaksanakan Pitra Yadnya di dalam hidupnya, yang berintikan rasa bakti yang tulus
ikhlas demi untuk pengabdian kepada orang tua dan leluhur.
Upacara Pitra Yadnya bertujuan untuk meningkatkan kedudukan Pitara atau roh-
roh leluhur yang telah meninggal sesuai dengan tingkatan yadnya yang di selenggarakan.
Jadi menurut agama Hindu, bahwa orang yang masih hidup dapat juga turut berusaha
mengangkat kedudukan Pitara, dari tingkat rendah menuju tingkat yang lebih tinggi.
2.2.2. Jenis dan Makna Upacara Pitra Yadnya
Ada beberapa upacara aygn termasuk pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya, yaitu
Upacara Penguburan Mayat, Upacara Ngaben dan Nyekah.
1. Upacara Penguburan Mayat.
Upacara ini meliputi proses penguburan dari sejak upacara memandikan mayat,
memendem ( menanam ) sampai pada upacara setelah mayat di tanam atau di pendem.
2. Upacara Ngaben.
Upacara ini adalah penyelesaian terhadap jasmani orang yang telah meninggal.
Upacara ngaben disebut pula upacara pelebon atau Atiwa-tiwa dan hanya dapat dilakukan
satu kali saja terhadap seseorang yang meninggal. Tujuannya adalah untuk
mengembalikan unsur-unsur jasmani kepada asalnya yaitu Panca Maha Bhuta yang ada di
Bhuana Agung. Jenis-jenis Upacara Ngaben adalah :
a. Sawa Wedana, adalah pembakaran yang secara langsung di mana mayat orang
meninggal langsung di bawa kekuburan ( setra ) untuk di bakar.
b. Asti Wedana, adalah suatu upacara yang di lakukan setelah selesai upacara
pembakaran mayat, kemudian tulang-tulang yang telah menjadi abu di hanyut ke laut
atau ke sebuah sungai yang bermuara ke laut.

10
c. Swasta Wedana, adalah suatu upacara pembakaran atas mayat yang tidak lagi dapat
di ketemukan, sehingga mayat tersebut dapat di wujudkan dengan kuasa ( lalangan ),
air dan lain-lainnya.
d. Ngelungah, adalah upacara pembakaran mayat yang masih kanak-kanak atau yang
belum tanggal gigi.
e. Atma Wedana, adalah upacara pengembalian atma dari alam Pitara ke alam Hyang
Widhi. Upacara ini di sebut juga dengan “ Upacara Nyekah “, yang bertujuan untuk
meningkatkan kesucian dan kesempurnaan atma orang yang meninggal agar dapat
kembali ke asalnya
2.3. Bhuta Yadnya
2.3.1. Pengertian Bhuta Yadnya
Bhuta Yadnya adalah upacara yadnya yang dilaksanakan untuk menjaga
keharmonisan Bhuta Hita yang dibangun dari Panca Maha Bhuta yang merupakan unsur-
unsur dasar dari bhuwana agung (alam semesta) maupun bhuwana alit itu sendiri.
Bhuta Yadnya sebagai bagian dari Upacara Panca Yadnya disebutkan bahwa
yadnya yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu ketentraman hidup manusia,
kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang sering menimbulkan gangguan serta
bencana, tetapi dengan Bhuta Yadnya ini maka kekuatan - kekuatan tersebut akan dapat
menolong dan melindungi kehidupan manusia dan alam semesta ini.
Adapun Tujuan Upacara Bhuta Yadnya ini juga untuk memohon kehadapan Hyang
Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar beliau memberi kekuatan lahir bathin, juga untuk
menyucikan dan menetralisir kekuatan - kekuatan yang bersifat negatif yang disebut bhuta
kala. sehingga dapat berfungsi dan berguna bagi kehidupan manusia.
Butha Yadnya pada hakekatnya menjaga keharmonisan dan merawat lima unsur
alam yang disebut “panca maha butha”. Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara
alami, maka dari kelima unsur itulah lahir tumbuh - tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itulah
sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur
alam itu terganggu maka fungsinya pun juga akan terganggu. Tanah, api (matahari), udara
dan ether juga berfungsi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Peredaran kelima unsur
alam itu melahirkan iklim serta siang dan malam.

11
2.3.2. Jenis dan Makna Upacara Bhuta Yadnya

1. Tingkatan Upakara Bhuta Yadnya yang paling kecil (kanista) adalah Segehan
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“,
Sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Upacara ini di sebut dengan “ Segehan “,
dengan lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang merah, jahe, garam dan
lain-lainnya.
Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi
yang di gunakannya. Adapun jenis- jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan
Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.
Segehan ini adalah persembahan sehari- hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara /
Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah /
sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk
bahkan ke perempatan jalan.
Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan
Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari
segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala
Bhucara-Bhucari).
2. Tingkatan Upakara Bhuta Yadnya Menengah (Madya) adalah caru
Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “ Caru “. Pada
tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan
pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan
jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis caru tersebut adalah Caru ayam
berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima
ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud
adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau
yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
3. Tingkatan Upakara Bhuta Yadnya yang paling besar ( uttama ) adalah tawur
Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan
Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya

12
yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta
Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.
Tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai
dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar
(utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi
sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta) . Adapun tawur ini memiliki
kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk
marebu bumi. Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai
pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan
sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai
pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.

2.4. Penerapan Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya dalam kehidupan
sehari –hari.
1. Contoh-contoh pelaksanaan Pitra Yadnya dalam kehidupan sehari-hari:
a. Berpamitan kepada orangtua kita sebelum berangkat kemanapun,
b. Menghormati orangtua dan melaksanakan perintahnya,
c. Menuruti nasehat orangtua,
d. Membantu dengan suka rela pekerjaan yang sedang dilakukan oleh
orangtua,
e. Merawat orangtua yang sedang sakit, dll
2. Contoh-contoh pelaksanaan Manusa Yadnya dalam kehidupan sehari-
hari, misalnya:
a. Tolong menolong antar sesama,
b. Belas kasihan terhadap orang yang menderita,
c. Saling menghormati dan menghargai sesama,
d. Rajin merawat diri,
e. Melaksanakan upacara untuk meningkatkan kesucian diri, seperti; metatah,
mewinten, meotonan, dll.

13
3. Contoh-contoh pelaksanaan Bhuta yadnya dalam kehidupan sehari-hari,
seperti:
a. Merawat dan memelihara tumbuh-tumbuhan dengan baik,
b. Merawat binatang peliharaan dengan baik,
c. Menjaga kebersihan lingkungan,
d. Menyayangi makhluk lain, dll.

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Manusa Yadnya adalah pengorbanan untuk manusia, terutama bagi mereka yang
memerlukan bantuan. Umpamanya ada musibah banjir dan tanah longsor. Banyak
pengungsi hidup menderita. Dalam situasi begini, umat Hindu diwajibkan untuk
melakukan Manusa Yadnya dengan cara memberikan sumbangan makanan, pakaian layak
pakai, dan sebagainya. Bila perlu terlibat langsung menjadi relawan yang membantu
secara sukarela. Dengan demikian, memahami Manusa Yadnya tidak hanya sebatas
melakukan serentetan prosesi keagamaan, melainkan juga kegiatan kemanusiaan seperti
donor darah dan membantu orang miskin juga termasuk Manusa Yadnya.Contohnya
potong gigi (Mapandes).
Pitra Yadnya adalah korban suci yang merupakan bentuk rasa hormat dan terima
kasih kepada para pitara atau leluhur karena telah berjasa ketika masih hidup melindungi
kita. Kewajiban setiap orang yang telah dibesarkan oleh orang tua (leluhur) adalah untuk
memberikan persembahan yang terbaik secara tulus ikhlas. Ini sangat sesuai dengan ajaran
suci Weda agar umat Hindu selalu saling memberi demi menjaga keteraturan. Tujuan dari
pelaksanaan Pitra Yadnya adalah untuk membayar hutang kehadapan para leluhur (Pitra
Rna) yang merawat dan membesarkan kita. Contohnya upacara pengabenan.
Bhuta Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas tanpa pamrih pada makhluk
bawahan (para Bhuta), termasuk para Bhuta sekala maupun Niskala yang ada di sekitar
kita. Para Bhuta ini cenderung memiliki kekuatan kekuatan yang tidak baik, suka
mengganggu. Tujuan pelaksanan Bhuta Yadnya yang kita laksanakan adalah untuk
membayar hutang yang kita miliki kepada para Bhuta seperti alam semesta, makhluk
hidup, yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi. Jadi Bhuta Yadnya yang kita lakukan
adalah untuk membayar hutang kepada Sang Hyang Widhi (Dewa Rna). Contohnya
pecaruan.

15
3.2. Saran
Manusia sebagai makhluk yang paling mulia memiliki kesadaran dan juga pikiran
terhadap kewajiban untuk melunasi hutangnya. Untuk melunasi hutangnya itu diwujudkan
dengan yadnya atau korban suci, hutang yang harus dilunasi adalah dengan jalan manusa
yadnya, pitra yadnya dan bhuta yadnya, sesuai dengan topic yang kita bahas diatas.
Upacara bhuta yadnya sebaiknya selalu rutin dilaksanakan oleh setiap umat, agar
keharmonisan di alam semesta ini lebih terasa dan dapat tercipta keseimbangan antara
semua makhluk di alam ini.

16

Anda mungkin juga menyukai