Anda di halaman 1dari 9

Manusa Yajña

Dalam rumusan kitab suci Veda dan sastra Hindu lainnya, Manusa Yajña atau Nara Yajña itu
adalah memberi makan pada masyarakat (maweh apangan ring kraman) dan melayani tamu dalam
upacara (athiti puja). Namun dalam penerapannya di Bali, upacara Manusa Yajña tergolong Sarira
Samskara. Inti Sarira Samskara adalah peningkatan kualitas manusia. Manusa Yajña di Bali dilakukan
sejak bayi masih berada dalam kandungan upacara pawiwahan atau upacara perkawinan. Upacara tersebut
antara lain; upacara pagedong-gedongan (bayi dalam kandungan), upacara bayi lahir, upacara kapus pusar
(putusnya tali pusar), upacara tutug kambuhan (42) hari, upacara nyambutin (105 hari), upacara ngotonin
(210 hari), upacara ngeraja swala (upacara meningkat dewasa), upacara mepanden, atau. upacara potong
gigi dan upacara perkawinan atau pawiwahan.

Tujuan Manusa Yadnya


Tujuan dari Manusa Yadnya atau Sarira Samskara adalah untuk menyucikan diri lahir bathin (pamari
sudha raga) dan memohon keselamatan dalam upaya peningkatan kehidupan spiritual menuju
kebahagian baik di dunia maupun di alam niskala.

Upacara Manusa Yadnya


Manusa artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Manusa
Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta
penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai
akhir kehidupan. Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang
artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta
adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan
mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi

Berikut ini contoh dari Manusa Yadnya :

Potong gigi
(bahasa Bali: mepandes, mesangih atau metatah)
Adalah upacara keagamaan Hindu-Bali bila seorang Anak sudah beranjak dewasa,dan diartikan
juga pembayaran hutang oleh Orang Tua ke Anaknya karena sudah bisa menghilangkan keenam sifat
buruk dari diri manusia. Upacara ini termasuk apa yang disebut dengan istilah upacara manusa yadnya.
Ritual yang dilakukan pada saat potong gigi adalah mengikis 6 gigi bagian atas yang berbentuk taring.
Tujuan dari upacara ini untuk mengurangi sifat buruk. Metatah dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan
upacara Ngaben, pernikahan, dan Ngeresi, serta dilakukan pada hari-hari tertentu saja (sad ripu) pada
yang bersangkutan. Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat asubha karma atau
perbuatan yang tidak baik dalam diri manusia itu sendiri, yaitu :
1. Kama, sifat penuh nafsu indriya.
2. Lobha, sifat loba dan serakah.
3. Krodha, sifat kejam dan pemarah.
4. Mada, sifat mabuk dan kegila-gilaan
5. Moha, sifat bingung dan angkuh.
6. Matsarya, sifat dengki dan irihati.

Ciri-ciri Fisik Siap Metatah


Upacara Potong Gigi merupakan bagian dari Manusa Yadnya, yang pada hakikatnya jika ciri-cirinya
secara fisik sudah menginjak remaja dapat melaksanakan Upacara Potong Gigi. Ciri- cirinya adalah
sebagai berikut:

 Pada wanita dapat dilakukan setelah mendapatkan menstruasi yang pertama.


 Pada pria dapat dilakukan setelah mengalami perubahan suara.
Ciri-ciri tersebut dapat dijadikan landasan awal bahwa si anak sudah siap untuk Metatah akan tetapi
tidak diharuskan pada saat itu juga, karena harus ditunjang dari kesiapan finansial juga.

Tujuan Upacara Potong Gigi


Ada beberapa tujuan dari Upacara Potong Gigi yang tidak kalah penting untuk diketahui, yaitu sebagai
berikut:

 Menghilangkan kotoran diri dalam wujud kala, bhuta, pisaca dan raksasa dalam arti jiwa dan raga
diliputi oleh watak Sad Ripu sehingga dapat menemukan hakekat manusia yang sejati.
 Untuk dapat bertemu kembali dengan bapak dan ibu yang telah berwujud suci.
 Untuk menghindari hukuman didalam neraka nanti yang dijatuhkan oleh Bhatara Yamadipati
berupa mengigit pangkal bambu petung. Hal ini tertera dalam Lontar Atmaprasangsa.
 Memenuhi kewajiban orang tua kepada anaknya untuk menjadi manusia yang sejati.

Rangkaian Upacara Potong Gigi di Bali :


 Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di Sangah Surya,maka mereka yang akan
mepandes dilukat dengan padudusan madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk
memohon keselamatan dalam melaksanakan upacara.
 Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya
peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
 Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambing
keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan
kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk
mewaspadai sad ripu.
 Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh gading afar tidak menimbulkan keletehan.
 Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk
menyongsong kehidupan masa remaja.
 Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuan mapedamel setelah potong
gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang
bijaksana,yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama
Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat
memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara simbolis ketika
mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
 Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari
Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).
 Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan diri
terhadap norma-norma agama.
 Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah
menghadapi peristiwa jehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan,rasa pedas sebagai
simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan,rasa
sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku,rasa asin sebagai
simbol kebijaksanaan,selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri,dan rasa
manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh
bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan,berpandangan luas,disiplin,serta enantiasa
waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
 Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan
melaksanakan upacara dapat tercapai.
 Metapak, mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak
berada dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna lainnya
adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan
baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua,juga mohon doa
restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa datang.
Manusa Yadnya
Manusa Yadnya adalah suatu upacara suci atau pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia.
Di dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya masalah tempat, keadaan, dan waktu sangat penting.
Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat anak mengalami masa peralihan. Sebab ada anggapan
bahwa pada saat-saat itulah anak dalam keadaan kritis, sehingga perlu diupacarai atau diselamati.
Dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam
bentuk yang lebih nyata demi kernajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh
kehidupan bermasyarakat.

Tujuan Manusa Yadnya


Tujuan dari Manusa Yadnya atau Sarira Samskara adalah untuk menyucikan diri lahir bathin (pamari
sudha raga) dan memohon keselamatan dalam upaya peningkatan kehidupan spiritual menuju
kebahagian baik di dunia maupun di alam niskala.

Upacara Manusa Yadnya


Manusa artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Manusa
Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta
penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai
akhir kehidupan. Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang
artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta
adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan
mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi.

Berikut ini contoh dari Manusa Yadnya :

Upacara potong gigi (mepandes / metatah)


Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si manak.
Sarana :
1. Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2. Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta perlengkapannya seperti:
cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah
dihias.
3. Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4. Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak
rasanya.
5. Pengurip-urip yang terdiri dari kunyit serta pecanangan lengkap dengan isinya.
Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu
kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tempat Seluruh
rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong gigi
dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).

Tata Cara :
1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang
dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha
barulah diperciki tirtha pesangihan.
4. Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup
diberi pengurip-urip.
6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang ke hadapan
Surya Chandra dan Mejaya-jaya.

Acuan
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar Kala Pati,kala tattwa, Semaradhana, dan sang
Hyang Yama.dalam lontar kala Pati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status
seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari
bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorga Loka.Lontar Kala tattwa
menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu
dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong. Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak
Bathara kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar Semaradhana
disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa
Nilarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya.
Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa Siwa dibangunkan Dari
tapa semadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara
bersama istrinya, Dewi Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi abu. kemudian menyebarkan abu
tersebut ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan (laki-perempuan) dalam
suami istri. Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan
bila naka sudah menginjak dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar
untuk pria. Biasanya hal ini muncul di kala usia 14 tahun.

Tujuan Upacara Potong Gigi


Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi
yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di atas.
Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam
diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), mada (mabuk), moha
(bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan
manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang
Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala
Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak
tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai
surge loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan
mudamudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar
Semaradhana.

Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai
upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan
masa anak-anak menuju ke masa dewasa.

Urutan Upacara
1. Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di Sangah Surya,maka mereka yang akan
mepandes dilukat dengan padudusan madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk memohon
keselamatan dalam melaksanakan upacara.
2. Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya
peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
3. Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambing
keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada
Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
4. Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh gading afar tidak menimbulkan keletehan.
5. Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk
menyongsong kehidupan masa remaja.
6. Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuan mapedamel setelah potong gigi
adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana,yaitu
tahap menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama Hindu,mempunyai
pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma
dan apa yang disebut adharma.Secara simbolis ketika mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
• Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa
Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).
• Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap
norma-norma agama.
• Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi
peristiwa kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar tidak
menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai symbol agar
taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu
meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan
yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya
kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri
manusia.
7. Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan melaksanakan
upacara dapat tercapai.
8. Metapak,mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada
dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna lainnya adalah ucapan
terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan baik,serta memohon maaf atas
kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua,juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh
kehidupan di masa datang.

Demikianlah sekilas makna dari upacara potog gigi atau mepandes.Istilah lainnya yang digunakan untuk
Upacara ini di Bali adalah mesangih.
TUGAS AGAMA HINDU

Nama : Ni Kadek Nana Virgiana


Kelas : X MIPA 3
No. : 27
TUGAS AGAMA HINDU

Nama : Ni Komang Anggita Ningsih


Kelas : X MIPA 6
No. : 19

Anda mungkin juga menyukai