KATA PENGANTAR
Om Swastyastu, Segala puji syukur bagi Ide Sang Hyang Widhi Wasa telah menolong
kami menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongannya mungkin
penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang ARTI MESANGIH,
yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini disusun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang
datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Ide Sang
Hyang Widhi Wasa makalah ini dapat terselesaikan.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen agama hindu yaitu bapak Drs.
I.B. Widja Kusuma, Msi yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang
bagaimana cara kami menyusun karya tulis ilmiah.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran
dan kritiknya.
Terima kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
sejak masih berumur satu hari, setiap orang Bali dipenuhi dengan banyak ritual dalam
hidupnya. Mulai dari upacara saat kelahirannya hingga ia meninggal dunia. Salah satu yang
harus dilaluiadalah Upacara Potong Gigi atau Metatah/Mesangih dalam Bahasa Bali.
Upacara Metatah merupakan salah satu ritual yang terpenting bagi setiap individu orang
bali yang menganut agama hindu bali. Upacara ini menandai satu babak hidup memasuki usia
secara berkala.
Upacāra mapandes disebut pula matatah, masangih yang dimaksud adalah memotong
atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang secara
simbolik dipahat 3 kali, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni
mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus
(singgih) dari kata masangih tersebut.
Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama
seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi
seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang
Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra
Manusa Yajña.
Berdasarkan pengertian upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami
bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan
umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan
sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat
keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya.
B. Tujuan.
Adapun tujuan dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja
Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam
dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan
keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Mapandes
mengandung tujuan, sebagai berikut:
1. Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat
kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat
Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu(enam musuh dalam diri manusia) yang
mempengarhui pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena
berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas. Sad ripu meliputi Kama (hawa nafsu), Loba
(rakus), Krodha (marah), Mada (mabuk), Moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Keenam
musuh diri itu harus dibersihkan dari setiap diri manusia, sehingga ritual ini menjadi
kewajiban agar kehidupan setelahnya menjadi bersih dari semua sifat buruk tersebut. Sad
Ripu yang tidak terkendalikan akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban
setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Sang Hyang Widhi
Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu. Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala
Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada
agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya yang suci
dapat mencapai surga loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang
Widhi).Dalam pergaulan muda- mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti
yang tersirat dari lontar Semaradhana.
2. Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang
Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā
dan Bhakti kepada-Nya.
3. Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu
meningkatkan kesucian pribadi.
4. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan
kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini
merupakan Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi
pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar
menjadi seorang anak yang suputra/ baik (pahala bagi orang tua).
Dalam lontar Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra
Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula
dalam Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi
mendapat hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggigit pangkal
bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan
kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri dan
2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana,
putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaṇa, Gaṇeśa atau Gaṇapati belum mampu
mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Terjadinya Potong Gigi.
Penggalian fosil – fosil manusia purba yang diketemukan di Gilimanuk yang
diperkirakan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistem
penguburan mayat yang terlipat dan pada gigi – gigi mereka menunjukkan tanda – tanda yang
telah diasah. Dengan demikian maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara
potong gigi sudah di kenal di pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu.
B. Pengertian Mesangih.
Sejak masih berumur satu hari, setiap orang Bali dipenuhi dengan banyak ritual atau
upacara agama dalam hidupnya. Mulai dari upacara saat kelahirannya sampai kematiannya.
Salah satunya adalah upacara Metatah/Mesangih (Potong Gigi).
Upacara Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri
manusia. Potong gigi dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebut Matatah atau
Mesanggih, dimana 6 buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau ratakan, upacara
ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh
umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini.
Upacara ini dianggap sakral dan diperuntukan bagi anak-anak yang mulai beranjak
dewasa, dimana bagi anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan
bagi anak laki laki telah memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah, dengan
upacara ini juga anak anak dihantarkan ke suatu kehidupan yang mendewasakan diri mereka
yang di sebut juga niskala.
Adapun 6 sifat buruk dalam diri manusia atau disebut juga sad ripu yang harus
dibersihkan itu meliputi:
1. Kama (hawa nafsu yang tidak terkendalikan)
2. Loba (ketamakan, ingin selalu mendapatkan yang lebih.)
3. Krodha (marahyang melampaui batas dan tidak terkendalikan)
4. Mada (kemabukan yang membawa kegelapan pikiran)
5. Moha (kebingungan/ kurang mampu berkonsentrasi sehingga akibatnya individu tidak
dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna).
6. Matsarya (iri hati/ dengki yang menyebabkan permusuhan).
Jadi potong gigi bukan semata-mata untuk mencari keindahan tetapi mempunyai tujuan
yang sangat mulia.
Dari semua sifat yang ada ini, bila tidak dikendalikan dapat mengakibatkan hal- hal
yang tidak baik/diinginkan, juga bisa merugikan dan membahayakan bagi anak-anak yang
akan beranjak dewasa kelak dikemudian hari. Oleh karena itu kewajiban bagi setiap orang tua
untuk dapat memberi nasehat, bimbingan serta permohonan doa kepada Sang Hyang Widhi
(Tuhan Yang Maha Esa) agar anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk/sad ripu
yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia.
C. Makna Upacara :
Adapaun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah :
1. Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah
mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya
milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat
dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgita.
2. Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk
beryajna, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut
mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
3. Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri
dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal
dunia, Atma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Pitraloka).
E. Tata cara :
1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil
cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah,
lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4. Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah
dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang
ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
F. Sarana :
1. Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2. Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta
perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan
permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3. Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4. Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya
lebih enak rasanya.
5. Pengurip-urip yang terdiri dari kunir serta pecanangan lengkap dengan isinya.
Waktu: Upacara ini dilaksanakan:setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya
sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah
tangga.
Tempat: Seluruh rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pernerajan.
Pelaksana: Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh
seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).
G. Mantram – mantramnya :
1. Mantram prayascita dan bhyakala.
Om Hrim, Srim, Mam, Sam, Warn, Saçwa rogha satru winasa ya rah phat.
Om Hrim. Srim. Am. Tarn. Sam. Bam. Im, sarwa dandamala papa klesa, wenasaya rah, Um,
phat.
Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa, papa petaka wenasaya rah, Um phat, Om Siddhi
guru srom, Sarwasat.
Om sarwa weghena winasaya, sarwa papa wenasaya, astu ya namah swaha.
Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan,
bencana dan lain-lain menjadi sirna.
5. Mantram Mejaya-jaya.
Om Dirgayur Astu ta astu,
Om subham astu tat astu,
Om Sukham bhawantu,
Om Pumam bhawantu,
Om sreyam bhawantu,
Om Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.
Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa semoga kami dianugrahi kesejahteraan, kebahagiaan, dan panjang
umur.
Setelah itu merekapun diperciki dengan air suci atau Tirtha Pembersihan/Penyucian
oleh Sangging. Lalu mereka pun bersembahyang di merajan keluarga, dipimpin oleh seorang
pedanda untuk memohon perlindungan dari Sang Hyang Widi Wasa untuk memasuki tahapan
baru dalam hidup mereka. Kepada leluhur mereka minta didoakan dan direstui jalan hidupnya
yang dilambangkan dengan Kewangen.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari serangkaian upacara diatas dapat kita pahami bahwa dalam diri setiap manusia
sejak mereka dilahirkan sudah terdapat sifat yang tidak baik, bila tidak dikendalikan dapat
mengakibatkan hal- hal yang tidak baik/diinginkan, juga bisa merugikan dan membahayakan
bagi anak-anak yang akan beranjak dewasa kelak dikemudian hari. Dengan melakukan
upacara Mepandes ini anak yang sudah dewasa diingatkan dan diajarkan untuk tidak
terjerumus dalam perbuatan yang dilarang agama dan bisa menjadi manusia yang berguna
bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan
pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak
dewasa,meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.
Prosesi potong gigi ini memang membutuhkan biaya yang sangat mahal, karena
prosesinya membutuhkan beberapa kelengkapan sesajen dan juga banyak keluarga yang
hadir.Mahalnya biaya membuat orang Bali lebih memilih ritual Metatah ini dilakukan
berkelompok untuk menghemat biaya.
B. SARAN
Sebagai warga negara Indonesia khususnya sebagai masyarakat Bali senantiasa harus
selalu memahami dan menanamkan dalam diri dan kehidupan nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam adat istiadat khas Bali seperti Upacara Potong Gigi ini dan adat istiadat
lainnya, agar kita bias menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat,
bangsa dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Informasi ini di kutip dari:
- Buku berjudul: Manusa Yadnya
- Karangan : Rai, dkk
- Penerbit: Hanuman Sakti, Jakarta, 1994