Anda di halaman 1dari 10

Makna Pelaksanaan Upacara Tawur Agung dalam Penyambutan Hari Raya

Nyepi
 3:40 AM

 Holy Day

Perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan untuk memperingati tahun baru
Saka. Secara etimologi, kata Nyepi berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya sepi, simpeng atau
hening. Umat Hindu meyakini Nyepi sebagai hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera
yang membawa intisari amerta atau air hidup. Untuk itu, umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap
mereka. Perayaan Nyepi dilaksanakan dengan penuh keheningan dengan menghentikan segala aktifitas,
baik yang bersifat duniawi maupun dalam bentuk keinginan atau hawa nafsu. Berusaha mengendalikan
diri agar dapat tenang dan damai lahir batin dengan menjalankan Catur Brata Penyepian.

Kondisi India sebelum tahun Masehi, diwarnai dengan pertikaian yang panjang antara suku bangsa yang
memperebutkan kekuasaan sehingga Raja yang menguasai India silih berganti dari berbagai suku, yaitu:
Pahlawa, Yuwana, Malawa dan Saka. Diantara suku-suku itu, yang paling tinggi tingkat kebudayaannya
adalah suku Saka. Ketika suku Yuechhi di bawah Raja Kaniska berhasil mempersatukan India maka
secara resmi kerajaan menggunakan sistem kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada
tahun 78 Masehi. Pada tahun 456 Masehi atau tahun 378 Saka, orang India datang ke Indonesia
mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan agama Hindu di Jawa. Ketika
Majapahit berkuasa, (abad ke-13) sistem kalender tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Negara
Kertagama. Sejak saat itu, tahun Saka resmi digunakan di Indonesia. Masuknya agama Hindu ke Bali
kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14, dengan sendirinya membakukan
sistem tahun Saka di Bali hingga sekarang. Perpaduan budaya (akulturasi) Hindu India dengan kearifan
lokal budaya Hindu Indonesia (Bali) dalam perayaan tahun baru Saka inilah yang menjadikan
pelaksanaan hari raya Nyepi unik seperti saat ini.

Nyepi jatuh pada penanggal Apisan sasih Kedasa (tanggal 1 bulan ke-10 tahun baru Saka). Hari ini jatuh
pada hitungan Tilem Kesanga (IX). Umat Hindu merayakan tahun baru Saka selama 24 jam, dari
matahari terbit (jam 6 pagi) sampai jam 6 pagi besoknya. Demikianlah untuk masa baru, benar-benar
dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Saka pun,
dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada, suci dan bersih. Tiap
orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga
(menghubungkan jiwa dengan Paramatma atau Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi
(manunggal atau menyatu kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua itu
menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan
kehidupan pada tahun yang baru.

Rangkaian upacara Nyepi yang pertama adalah Melasti. Kata Melasti berasal dari kata Mala yang berarti
kotoran dan Asti yang berarti membuang atau memusnahkan. Melasti bertujuan untuk membersihkan
segala kotoran badan dan pikiran bagi kesejahteraan manusia. Upacara ini biasanya dilakukan dengan
membawa arca, pretima atau pun barong yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, diarak oleh umat Hindu menuju laut atau sumber air. Hal ini dilakukan untuk
memohon pembersihan dan tirta amertha (air suci kehidupan). Seperti dinyatakan dalam Rg Weda II,
“Apam napatam paritastur apah” yang artinya air yang berasal dari mata air dan laut mempunyai
kekuatan untuk menyucikan. Selesai melasti, pretima, arca dan sesuhunan barong biasanya dilinggihkan
di Bale Agung (Pura Desa) untuk memberkati umat.

Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Tawur Agung, tepatnya pada Tilem sasih
Kesanga dan dilaksanakan pada waktu tengah hari. Tawur artinya membayar atau mengembalikan, yaitu
mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Sari-sari alam itu dikembalikan melalui
upacara Tawur yang dipersembahkan kepada para Butha, dengan tujuan agar para Bhuta tidak
mengganggu manusia sehingga bisa hidup secara harmonis. Setelah upacara Tawur pada tengah hari,
dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu menyebar nasi tawur, mengobor-obori rumah dan
seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda apa saja
hingga bersuara ramai atau gaduh. Filosofi Tawur adalah agar kita selalu ingat akan posisi dan jati diri
kita, dan agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam lingkungan.
Puncak hari raya Nyepi adalah dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian. Kegiatan ini dilakukan
dengan penuh keheningan selama 24 jam. Adapun bagian dari Catur Brata Penyepian itu adalah Amati
Geni, Amati Karya, Amati Lelungan dan Amati Lelanguan. Amati Geni yaitu tidak boleh menyalakan api,
Amati Karya tidak bekerja, Amati Lelungan tidak bepergian, dan Amati Lelanguan yang berarti tidak
bersenang-senang. Dengan demikian, kita diharapkan mampu mengendalikan pikiran, perkataan dan
perbuatan, serta merenungi dan mengevaluasi ketiganya.

Ketika melaksanakan Nyepi, kita tidak boleh menyalakan api. Tidak menyalakan api dalam arti tidak
melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan menghidupkan api. Dan yang lebih utama adalah
mengendalikan sikap atau perilaku agar tidak dipengaruhi oleh api amarah (Krodha) dan api serakah
(Lobha). Kita harus belajar mengendalikan api yang ada dalam diri untuk mencapai kedamaian batin.
Kegiatan ini dalam Catur Brata Penyepian disebut dengan Amati Geni.

Selain Amati Geni, bagian Catur Brata Penyepian yang lain adalah Amati karya. Pada saat ini, umat
Hindu tidak boleh bekerja. Tidak diperbolehkannya aktivitas kerja karena Amati Karya bermakna sebagai
evaluasi diri dalam kaitan dengan karya (kerja). Merenungi hasil kerja dalam setahun dan sebelumnya,
dan apakah sudah bermanfaat bagi kehidupan manusia. Mengevaluasi kerja kita, apakah aktivitas kerja
itu sudah berlandaskan dharma atau sebaliknya. Kerja yang baik (subha karma) dapat menolong
manusia terhindar dari penderitaan. Aktualialisasi Amati Karya dalam konteks hari raya Nyepi merupakan
perenungan pikiran yang religius. Mengajarkan umat Hindu dalam evaluasi hasil kerja, yaitu menyisihkan
hasil kerja untuk yadnya, untuk Sang Hyang Widhi, untuk Rsi, untuk Leluhur maupun untuk Budhi.

Selanjutnya yaitu Amati Lelungan yang berarti tidak boleh bepergian. Tidak bepergian dalam arti tidak
pergi dan keluar dari rumah. Kegiatan ini berfungsi sebagai evaluasi diri dan sebagai sumber
pengendalian diri. Dalam konteks yang lebih luas berarti evaluasi diri terhadap pekerjaan, hubungan
dengan Tuhan, sesama dan alam sekitar, sehingga kita dapat menilai hasil kerja seobyektif mungkin.
Apakah mutu meningkat untuk kebaikan atau bahkan malah merosot, dan langkah selanjutnya bisa
menentukan sikap. Dengan melakukan evaluasi ini, diharapkan agar lebih memantapkan kualitas kerja
untuk hidup manusia.

Dan bagian Catur Brata Penyepian yang keempat adalah Amati Lelanguan yang artinya tidak boleh
bersenang-senang. Amati lelanguan yang dimaksud merupakan kegiatan seseorang untuk mulat sarira
atau mawas diri terhadap kegiatan yang berkaitan dengan wacika. Wacika adalah perkataan yang benar,
apakah dalam interaksi dengan sesama maupun dengan Tuhan sudah dilaksanakan atau belum.
Manusia Hindu telah diajarkan agar tetap melaksanakan wacika yang parisudha, artinya dalam proses
komunikasi tidak boleh berkata kasar dan tidak boleh menyebabkan orang tersinggung dan menderita.
Perkataan (wacika) yang diparisudha itulah yang patut dipahami dan menata sikap seseorang agar hidup
ini aman dan bahagia.

Sehari setelah Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Ngembak Geni. Dalam bahasa Indonesia, kata
ngembak berarti mengalir dan geni yang berarti api, yang merupakan simbol dari Brahma (Dewa
Pencipta). Pada saat Ngembak Geni inilah, tapa brata (Nyepi) yang telah dilaksanakan selama 24 jam
bisa diakhiri dan kembali beraktifitas seperti biasa. Memulai hari yang baru untuk berkarya dan mencipta,
berkreativitas kembali sesuai swadharma atau kewajiban masing-masing. Ngembak geni biasanya diisi
dengan kegiatan Persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Shanti, yaitu mengunjungi kerabat
atau saudara untuk bertegur sapa dan bermaaf-maafan.

Jika kita renungi secara mendalam, perayaan Nyepi mengandung makna dan tujuan yang sangat dalam
dan mulia. Seluruh rangkaian Nyepi merupakan sebuah dialog spiritual yang dilakukan umat Hindu, agar
kehidupan ini seimbang dan harmonis sehingga ketenangan dan kedamaian bisa terwujud. Mulai dari
Melasti, adalah dialog manusia dengan Sang Pencipta serta para leluhur. Tawur Agung dengan segala
rangkaiannya merupakan dialog manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya untuk menyucikan
Buana Alit dan Buana Agung. Pelaksanaan Catur Berata Penyepian merupakan dialog sang Atman dan
Paramatman. Dalam diri manusia ada Atman yang bersumber dari Sang Pencipta. Ngembak Geni
dengan Dharma Santhinya merupakan dialog spiritual antar sesama manusia untuk menjaga
keharmonisan dan kedamaian hidup.

Ada beberapa tujuan dilaksanakannya hari raya Nyepi. Dipandang dari aspek religius, merupakan suatu
proses penyucian Buana Agung dan Buana Alit. Untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir
batin (jagadhita dan moksa) dengan cara membina kehidupan yang berlandaskan kebenaran (satyam),
kesucian (siwam), dan keharmonisan (sundaram). Membiasakan diri untuk melakukan tapa, brata, yoga
dan semadi bagi masing-masing pribadi umat. Sedangkan dari aspek sosial budaya merupakan wahana
untuk intergrasi umat bersama-sama ngiring Ida Betara dari awal sampai nyejer di Bale Agung.
Percaya atau tidak, banyak bencana alam maupun kecelakaan yang terjadi menjelang pergantian tahun
baru Saka, tepatnya sekitar bulan Oktober hingga Februari. Hal ini menunjukkan bahwa alam mulai
kehilangan keseimbangan. Misalnya, bencana tsunami 26 Desember 2004 yang meratakan tanah Aceh.
Juga gunung Kelud yang meletus pada 13 Februari 2014, yang abunya sampai ke Jawa Tengah. Hingga
yang baru-baru ini terjadi yaitu longsor Banjarnegara dan kecelakaan pesawat Air Asia. Semua itu tidak
hanya sekedar terjadi karena takdir Tuhan, tetapi juga mengingatkan pada kita untuk mengembalikan
atau membayar apa yang telah kita ambil dari alam ini.

Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil dan menggunakan sumber-sumber alam untuk
mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma
wasana. Hal ini perlu diimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus
ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang,
sebagaimana umat Hindu yang selalu melaksanakan upacara Tawur Kesanga setiap menjelang tahun
baru Saka. Mengingat kata Tawur yang berarti mengembalikan atau membayar, umat Hindu melakukan
upacara ini untuk memohon keselamatan serta keseimbangan alam sehingga manusia bisa hidup di alam
ini dengan damai dan harmonis.

Makna etika upacara Nyepi adalah sebagai upaya pengendalian diri. Hari raya Nyepi merupakan salah
satu upacara yang dilaksanakan sebagai penentu jati diri umat Hindu, karena hanya hari raya inilah yang
diakui oleh pemerintah sebagai hari besar agama Hindu. Catur  Brata Penyepian merupakan etika Nyepi
yang dapat digunakan sebagai evaluasi diri dan pengendalian diri. Aspek teologi Nyepi merupakan
pengejawantahan dari moral umat.  Catur  Brata Penyepian sebagai sarana perenungan untuk evaluasi
kerja kita selama setahun dan mampu untuk mengendalikan pikiran dan mengendalikan diri. Kemampuan
untuk pengendalian diri berarti perlu suatu jalan untuk mengatasi permasalahan hidup. Jalan untuk
penyucian manacika, wacika, dan kayika, hingga akhirnya mampu mewujudkan “Jagadhita ya ca iti
dharma”
http://hindualukta.blogspot.co.id/2015/04/makna-pelaksanaan-upacara-tawur-agung.html
22

Tawur Kesanga adalah upacara pecaruan yang diadakan setahun sekali yang tepat


pada tilem kesanga yaitu setiap akhir pergatian tahun saka yang diatur dalam beberapa lontar : 
 Sanghyang Aji Swamandala, ("Tawur Kesanga dilangsungkan umat manusia dengan tujuan
membuat dan memohon kepada Tuhan untuk kesejahteraan alam lingkungan").
 Agastya Parwa, 
 Usana Bali, dan 
 Ekapratama.
Tawur Kesanga sebagai bagian dari upacara Bhuta Yadnya sehari sebelumhari raya nyepi yang
dipimpin oleh para sadhaka maupun sulinggih; Siwa, Buddha, dan Bujangga yang masing-masing
dengan tugas : 
 Sadhaka Siwa mensucikan Akasa (Swah loka) dengan Agniangelayang, 
 Sadhaka Buddha mensucikan Atmosfir (Bhuwah loka) dengan Agnisara, dan 
 Sadhaka Bujangga mensucikan Sarwaprani (Bhur loka) dengan Agnisinararasa.
Upacara Tawur ini dilaksanakan di Catuspata (Perempatan Agung) pada siang hari, kemudian di
setiap rumah tangga diadakan juga Bhuta Yadnya yang lebih sederhana, yaitu dengan cara
membuat sanggah cucuk di luar rumah / jaba pura berisi tetandingan banten: 
 tegteg daksina 
 peras, ajuman
 dandanan, 
 tumpeng ketan, 
 sesayut, 
 penyeneng, 
 jangan-janganan, 
 tipat kelanan, 
 sujang arak tuak berem, 
 segehan aperancak (segehan agung), 
 nasi warna 9 tanding dan nasi cacahan 100 tanding.
Setelah itu semua anggota keluarga yang sudah ketus gigi untuk mabeakala / maprayascita,
kemudian barulahngerupuk dan menebarkan nasi Tawur yang diperoleh dari Catuspata tadi,
demikian disebutkan upacara yadnya ini dalam kutipan Tahun Saka dan Hari Raya Nyepi (stiti
dharma online)
http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2011/12/tawur-kesanga.html

333

Memaknai Ritual Tawur Agung Kesanga, Melebur Sifat Buruk, Menyucikan Alam 20 Maret 2015
10:59:04 Diperbarui: 17 Juni 2015 09:23:22 Dibaca : 786 Komentar : 1 Nilai : 0 UPACARA Tawur
Agung Kesanga adalah upacara Butha Yadnya yang dilakukan untuk kesejahteraan alam. UMAT
Hindu akan memperingati Hari Nyepi atau Tahun Baru Caka 1937 pada Sabtu (15/3). Sehari
sebelum Nyepi, ada upacara Tawur Agung Kesanga, lalu pada sore hingga malam hari digelar
Pengerupukan dengan arak-arakan ogoh-ogoh di seluruh pelosok. Tawur Agung Kesanga,
sebagaimana dijelaskan oleh ketua PHDI kecamatan Bangorejo Wintoyo, menyitir Lontar Sang
Hyang Aji Swamandala, termasuk upacara Butha Yadnya. “Yadnya ini dilaksanakan manusia untuk
kesejahteraan alam. Dalam Sarasamuscaya disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia
harus menyejahterakan semua mahluk. Dalam Bhagavadgita pun disebut, karena makanan, mahluk
hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan atau yadnya turunlah
hujan, dan yadnya lahir karena kerja,” paparnya. Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali, imbuh
Wintoyo, disebutkan Brahma berputra tiga orang — Siwa, Budha dan Bujangga. Ketiganya diberi
tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. “Karenanya, pada saat upacara Tawur
Kesanga, upacara dipimpin oleh Romo Mangku dan Romo Manggala. Mereka menyucikan secara
spiritual tiga alam ini — bhur loka, bhwah loka dan swah loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Agung
Kesanga, digelar upacara Melasti atau Melis,” jelasnya. Tawur Agung Kesanga, rinci Wintoyo, juga
berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan
mengingat kata tawur berarti ‘mengembalikan’ atau ‘membayar’. “Manusia selalu mengambil
sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perilaku mengambil perlu diimbangi
dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan yang ikhlas. Ini berarti, Tawur Agung
Kesanga bermakna memotivasi keseimbangan jiwa,” katanya. Secara harfiah, Hari Nyepi
bersangkutan dengan siklus hidup. Dalam satu siklus, selalu ada titik nol dan pada saat itulah
disebut sepi atau Nyepi. Menurut Roni Hanwasisto Jebolan IHDN Denpasar S2, titik nol merupakan
titik balik, titik perhentian dari perjalanan kemarin mempersiapkan perjalanan berikutnya. Dijelaskan
Roni Hanwasito, dalam perjalanan waktu, di orbit makro atau bhuana agung (bumi) dan mikro atau
bhuana alit (mahluk hidup di bumi) terjadi dinamika hidup, ada sisi positif dan negatifnya. Untuk itu,
sebelum menuju titik nol (Nyepi), umat Hindu melaksanakan serangkaian upacara seperti Melasti
dan Pengrupukan. Melasti bertujuan membersihkan pretima atau benda yang disakralkan. Menurut
Roni Hanwasisto, di Hari Nyepi, sifat-sifat buruk dilebur dan dikendalikan agar tidak muncul lagi di
tahun berikutnya. Maka, sifat-sifat buruk itu diwujudkan sebagai ogoh-ogoh, yaitu sosok-sosok
boneka yang digambarkan sesuai dengan sifat negatif manusia. “Umumnya, sifat pemarah
digambarkan dengan mata ogoh-ogoh yang melotot, gigi bertaring dan bentuk wajah menyeramkan.
Namun seiring perkembangan zaman, ogoh-ogoh mulai bervariasi. Kehadirannya merupakan
kreativitas seseorang dan bentuk apapun tidak salah,” imbuhnya. Pada Pengrupukan, ogoh-ogoh
diarak. Saat upacara Pecaruan, diundanglah semua bhuta kala dari sembilan penjuru arah mata
angin. “Rangkaian upacara inilah yang disebut Tawur Agung Kesanga. Secara harfiah, caru yang
disajikan berupa makanan enak untuk bhuta kala. Sehingga, nanti pada saat umat melaksanakan
brata penyepian di hari Nyepi, bhuta kala ini dapat dikendalikan dan pada tahun yang baru kita tidak
lagi dipengaruhi sifat buruk,” papar Roni Hanwasisito. Proses Pecaruan ini dilakukan dengan
berkeliling ke segala penjuru rumah dan halaman. Diikuti pula dengan suara teriakan yang berarti
pelampiasan emosi, secara psikologis setelah melepaskan emosi seseorang akan menjadi tenang
dan siap menyambut hari Nyepi.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ekoprastyo/memaknai-ritual-tawur-agung-kesanga-
melebur-sifat-buruk-menyucikan-alam_552fe8946ea834805d8b4598

http://www.kompasiana.com/ekoprastyo/memaknai-ritual-tawur-agung-kesanga-melebur-sifat-buruk-
menyucikan-alam_552fe8946ea834805d8b4598

4444
Ritual Tawur Agung Kesanga Sambut Nyepi

Written by Nopiyanti

Monday, 07 February 2011

Usai Tawur Agung/ Foto-foto: Nopi TNOLUMAT


Hindu akan merayakan hari raya Nyepi tahun Saka 1933 pada 5 Maret mendatang. Nah,
untuk menyambut hari raya tersebut serangkaian acara pun digelar. Mulai dari bakti sosial
berupa pengobatan gratis, pembagian sembako sampai donor darah.

Acara berlangsung dari 3 Februari di Pura Kerta Jaya, Rawamangun. Berlanjut 13 Februari
di Pura Segara Cilincing dan 20 Februari di Pura Candra Prabha, Jelambar, Jakarta Barat.
Selanjutnya, digelar upacara Melasti pada 2 Maret mendatang di Pura Segara, Cilincing.

"Upacara Melasti dilakukan dua atau tiga hari sebelum hari raya Nyepi," ucap Anggota
Bidang Publikasi dan Dokumentasi Panitia Nasional Dharma Shanti Perayaan Hari Raya
Nyepi tahun baru Saka 1933 Ida Bagus Alit Wiratmaja.

Persembahyangan...Pada hari itu, umat Hindu berduyun-


duyun membawa segala sarana persembahyangan yang ada di Pura. Tak ketinggalan
membawa sesaji untuk diarak menuju laut atau danau. Laut dan danau adalah sumber air
suci yang bisa menyucikan segala kotoran dalam diri manusia dan alam.

Sehari sebelum hari raya Nyepi, umat Hindu melaksanakan Tawur Kesanga, upacara Buta
Yadnya dengan jenis caru atau sesaji di segala tingkatan masyarakat. Mulai dari masing-
masing keluarga, banjar, desa, kecamatan dan seterusnya.

Makna dari Tawur atau Pecaruan adalah untuk menyucikan bumi beserta isinya dari segala
kekotoran atau penyucian mikrocosmos dan makrocosmos. Upacara Tawur ditandai dengan
menyebarkan nasi tawur, mengobor-obori rumah. Plus seluruh pekarangan serta memukul
benda yang biasanya berbentuk kentongan bambu sampai bersuara ramai.

Upacara Tawur Kesanga..Tujuannya,


mengusir kejahatan
dan kotoran dari lingkungan sekitar. Pada saat Tawur, biasanya dimeriahkan dengan pawai
Ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh merupakan perwujudan Buta Kala atau simbol kejahatan yang
diarak keliling lingkungan dan kemudian dibakar. Maknanya, membakar segala kejahatan
atau kebatilan di muka bumi.

Di Jakarta, upacara Tawur Agung Kesanga berlangsung di Monas pada 4 Maret. Berdasarkan
rencana sejumlah tokoh lintas agama akan menghadiri acara tersebut.
"Seluruh tokoh lintas agama di Indonesia akan datang menyaksikannya," imbuh ketua
panitia nasional Dharma Shanti hari raya Nyepi tahun baru Saka 1933 Erlangga Mantik
kepada TNOL di Pura Aditya Jaya, Kamis (3/2).

Erlangga MantikAcara tersebut juga akan dihadiri Gubernur DKI


Jakarta Fauzi Bowo. Tak heran, pihak panitia akan menggabungkannya dengan konsep
budaya dan pariwisata DKI Jakarta dan kesenian nasional lainnya seperti menampilkan
tarian Jaipong serta Barongsai.

Ketua Bakti Sosial hari raya Nyepi I.B. Djayapati menambahkan, nantinya ada sekitar 14
Ogoh-ogoh yang diarak. Ditambah lagi menampilkan Ondel-ondel dan Marawis. "Acara
ritualnya mulai pukul 14.00 WIB," ucap Djayapati.

Setelah rangkaian Nyepi usai, umat Hindu menghentikan segala aktifitas pas hari raya
Nyepi. Mereka melakukan Catur Brata Penyepian. Yaitu, Amati Geni atau tidak menyalakan
api yang memiliki makna mengendalikan hawa nafsu, marah dan dengki.

Umat Hindu tertib mengikuti acara..Amati


karya, tidak bekerja
lantaran untuk intropeksi. Amati Lelungan, tidak bepergian yang mempunyai arti
mengendalikan hura-hura. Kemudian Amati Lelanguan, tidak mendengarkan hiburan.

Semua bertujuan agar umat Hindu memiliki kesiapan jasmani dan rohani menghadapi
setiap tantangan kehidupan dalam memasuki tahun baru. Keesokan harinya mereka
melakukan Ngembak Geni yang ditandai dengan saling maaf memaafkan.

Puncak peringatan Nyepi di tingkat nasional sendiri akan diselenggarakan Dharma Shanti
atau silaturahmi pada 20 Maret di Cilangkap. Berdasarkan rencana Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan sejumlah menteri turut hadir.(Subhan)
http://www.tnol.co.id/sosial/8137-ritual-tawur-agung-kesanga-sambut-nyepi.html

Anda mungkin juga menyukai