Anda di halaman 1dari 10

SARASWATI

Masyarakat Hindu memprecayai bahwa Hari Raya Saraswati merupakan hari ilmu
pengetahuan, dimana Sang Hyang Widhi telah menciptakan ilmu pengetahuan bagi
umat manusia supaya bisa menyelaraskan dirinya dengan alam. Hari Raya Saraswati
ini dirayakan oleh penganut Hindu di Indonesia setiap 210 hari sekali atau setiap 6
bulan, yang dalam sistem perhitungan kalender Jawa hari raya ini jatuh pada hari
Sabtu.

Kata Saraswati sendiri berasal dari bahasa Sangsekerta yang memiliki makna
mengalir. Sehingga dalam penguraiannya lebih jauh lagi, Saraswati memiliki makna
air yang mengalir dari ketinggian menuju danau atau kolam. Kata Saraswati dalam
Veda memiliki arti merupakan mantra pujaan. Banyak Umat Hindu juga
menghubungkan Saraswati dengan pemujaan terhadap Dewa Visvedevah.

Manifestasi Saraswati diwujudkan dalam seorang dewi yang cantik dengan


berpakaian putih bersih, bertangan empat dengan membawa alat musik, pustakan
suci, teratai, dan duduk diatas angsa. Simbol-simbol yang berada dalam raga sang
Dewi memiliki makna-makna sebagai berikut;

1. Pakaian Putih : Simbol dari Ilmu pengatahuan itu putih tidak tercela.
2. Alat musik : Simbol terciptanya Alam lalu muncul nada dan melodi.
3. Gemitri/Tasbih : Simbol dari kekekalan antara ilmu pengetahuan dan tuhan.
4. Pustaka suci : Simbol dari sumber dari segala ilmu pengetahuan.
5. Teratai : Simbol dari Ilmu pengetahuan itu bersifat abadi.
6. Angsa : Simbol dari kebijaksaan, karena angsa dapat memisahkan antara air
dan lumpur saat dia meminum air bermanfaat juga merupakan perlambang
dari tiga kkuasa 3 di dunia bisa di air, darat dan udara.
Dalam upacara ini seluruh benda benda tersebut diatas diberikan mantra, Setelah
pemujaan terhadap Dewi Saraswati selesai, biasanya dilakukan semedhi ditempat
yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk
dengan tujuan menemukan pencerahan dari Ida Hyang Saraswati (Dewi Ilmu
pengetahuan). Esok harinya semua benda benda yang sudah di berkati tersebut di
atas di mandikan dan sambil memanjatkan doa ke Sang hyang Widhi agar tetap bisa
digunakan dan bermanfaat bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan khususnya.

ODALAN
Odalan adalah sebuah upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat
hindu bali untuk memperingati hari kelahiran pura. Upacara Odalan ada dua
macam, upacara enam bulanan dan upacara satu tahunan. Semakin tinggi
tingkat puranya, upacara yang diadakan semakin meriah.
Biasanya, upacara odalan satu tahunan lebih besar dan meriah. Odalan
tahunan pura desa dirayakan lengkap dengan tarian sepanjang malam.
Bagi umat Hindu, odalan adalah ritual yang memiliki makna untuk
memperingati lahirnya sebuah pura. Ritual ini sering disebut juga dengan
istilah tegak odalan. Jadi, odalan adalah ritual yang memiliki hakekat untuk
memperingati lahirnya tempat pemujaan yang suci atau sebuah pura.
Dengan adanya ritual odalan, umat Hindu diharapkan untuk ingat dan selalu

mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan). Di samping itu, tradisi
odalan ini juga bertujuan untuk meneguhkan daya rekat sosial dan
keagamaan bagi seluruh umat.
Pada saat ritual odalan, cita rasa seni sangat kental hadir dengan tampilnya
lantunan tembang atau mekidun dan metabuh, pentas tari pendet serta
gelaran kesenian lainnya. Ini berarti apresiasi budaya sangat melekat dalam
kehidupan keagamaan bagi umat Hindu.

Siwaratri
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari
Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut
Sang Hyang Siwa beryoga.
Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada
usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha
menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya).
Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra.
Siwartri juga disebut hari suci pajagran.
Brata Siwartri terdiri dari:

Utama, melaksanakan:
1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
3. Jagra (berjaga, tidak tidur).

Madhya, melaksanakan:
1. Upawasa.
2. Jagra.

Nista, hanya melaksanakan:


Jagra.

Monabrata berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai
malam (12 jam).

Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai
dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih dengan garam dan
minum air putih (air tawar tanpa gula).
Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36
jam).

Nyupat Bhuta Kala


Nyupat Bhuta Kala adalah bermakna meningkatkan status hidup atau keadaan dari
Bhuta Kala menjadi tingkatan yang bagus dan bermakna yang dapat memberikan
kebaikan pada kehidupan di alam semesta ini.
Nyupat Bhuta Kala yang sebagai bagian dari salah satu upacara Bhuta Yadnya yang
bertujuan agar para bhuta kala tersebut tidak mengganggu kehidupan manusia
sehingga

terjadi keseimbangan dan kestabilan antara Bhwuana Agung dan Bhwuana


Alit, demikian disebutkan dalam sumber kutipan konsep panca yadnya dan
filosofi nilai dalam kelangsungan hidup menurut umat hindu dilaksanakan
dengan upakara nista, madya dan utama.

yang secara niskala Nyupat Bhuta Kala ini mempergunakan sarana-sarana


bebantenan bhuta yadnya seperti :

Banten segehan atau banten caru atau dalam tingkatan madya


mempergunakan caru ayam brumbun dll serta melaksanakan upacara eka
dasa rudra dll dalam tingkatan utamanya.

Dengan yadnya banten itu diharapkan status Bhuta kala dapat


dipelihara, disucikan dan disupat tentunya agar menjadi tingkatan dewa
kemudian dapat memberikan kebaikan pada kehidupan manusia di alam
semesta ini.

Aataupun dengan pulegembal agar terciptanya keharmonisan.

Untuk itu para bhuta kala ini disucikan agar bisa menyatu dengan sang hyang

tunggal, maka dari itu pada mantram ngalukat bhuta kala yang dilaksanakan dalam
rangkaian upacara tawur
MAPAKELEM

Mapakelem atau Mulang Pakelem adalah upacara butha hita sebagai media
permohonan kepada Tuhan agar

sumber - sumber air dapat berfungsi dengan baik,

menjadi sumber kehidupan di alam nyata ini.

yang upacaranya biasanya dilaksanakan di hutan, danau, laut dll

Dalam Lontar Purana Bali sebagaimana disebutkan kutipan kliping media hindu,
sumber air tersebut dijelaskan perlu dijaga kelestariannya sehingga upacara ini
yang merupakan :

bagian dari upacara bhuta yadnya

sebagai implementasi dari ajaran Sad Kerti

yang bertujuan untuk menanamkan jiwa cinta kasih kepada sumber-sumber


alam.

Karena demikian pentingnya kedudukan air dalam hidup ini tampaknya hal itulah yang
menyebabkan dalam Manawa Dharmasastra IV.56,

sangat dilarang membuang air kencing, kotoran, barang yang beracun ke


sungai.

sangat dilarang berludah, membuang darah, hal-hal yang berbisa serta tidak
boleh melemparkan kata-kata yang tidak suci ke sungai.

Begitu pula dalam Bhagavad Gita III.14 disebutkan bahwa,

Dari makanan makhluk hidup menjelma, makanan berasal dari tumbuhtumbuhan, tumbuh-tumbuhan datangnya dari hujan, dari yadnya lahirnya
hujan/air yadnya lahir dari karma.

Demikian pentingnya air atau hujan. Karena tanpa hujan bumi ini tidak akan
dapat melahirkan tumbuh-tumbuhan yang menjadi bahan pokok makanan
makhluk hidup seperti manusia dan hewan.
o Jadi kedudukan air dalam kehidupan makhluk hidup ini sangat penting.
o Air yang berasal dari hujan itu ditampung oleh hutan dan dari hutan itu
mengalir menjadi sumber-sumber air seperti danau dan terus menjadi
sungai yang akhirnya ditampung di laut.

Karena adanya laut akan menimbulkan hujan, merupakan tempat hidup flora dan
fauna dan menciptakan iklim yang kondusip bagi kehidupan ini yang dalam kearifan
lokal masyarakat bali dalam pelestarian lingkungan hidup maka perlunya sumber air
tersebut senantiasa harus dijaga kebersihannya jangan sampai tercemar.
Hal ini diaplikasikan dalam kehidupan beragama oleh masyarakat di Bali dengan
upacara Mapekelem, yang mempunyai makna memohon kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi dalam manifestasi Dewa Baruna sebagai penjaga samudra, semoga kehidupan
di laut yang berfungsi untuk kehidupan ini berjalan dengan baik.

Bhuta Yadnya Untuk Mensucikan Palemahan


mengharmoniskan areal palemahan atau wilayah :

yang

bertujuan

Caru Eka Sata | digunakan untuk mengharmoniskan karang perumahan.

untuk

o Caru karang panas untuk menghindari penyakit bagi penghuninya


o Caru karang gering untuk menghindari penghuninya selalu kesakitan.

Caru panca sata | digunakan untuk membersihkan pekarangan rumah yang


dilaksanakan tiap 5 tahun sekali.

Caru Bumi Sudha untuk menyeimbangkan atau mengharmoniskan bumi atau


alam sekitar dan lingkungannya.

Caru Sasih untuk menyeimbangkan atau mengharmoniskan ruang dan waktu.

Caru Oton atau bea kaluning rare metu untuk mengharmoniskan perilaku
manusia atas pengaruh kelahiran.

Caru Panca Sanak | simbol dari Bhuta Kala yang dibawah kekuasaan Dewa
Rudra yang berada di barat daya.

Caru Sanak Madurga | penakluk marana


penangkalan desa pada sasih keenem.

Caru Rsi Gana untuk menghadirkan Dewa Gana sebagai Penghulun


Natangan

yang

diselenggarakan

di

Diksa
Diksa (atau juga disebut dengan "divya jnyana") adalah upacara untuk menerima
sinar suci ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk melenyapkan kegelapan pikiran
agar mencapai kesempurnaan yang merupakan salah satu bagian dari saptangga
dharma yaitu dengan cara menjalankan upacara inisisai agar dapat menunggalkan diri
dengan Tuhan.
Di Bali, proses inisiasi ini dilakukan dengan cara seda raga untuk mengetahui jalan
ke nirwana / swah loka sehingga bila jadi Sulinggih, nanti bisa menuntun atma-atma
yang diupacarai dalam prosesi upacara Pitra Yadnya.
Kata diksa dalam kutipan berita di Bali Post, "Makna Tatwa Upacara Atma Wedana",
diksa disebutkan berasal dari bahasa sansekerta dari akar kata ''di'' dan ''ksa''.

''Di'' artinya divya Jnyana atau sinar ilmu pengetahuan,

sedangkan ''ksa'' artinya ksaya atau melenyapkan, menghilangkan.

Dengan demikian ''diksa'' artinya divya jnana atau sinar suci ilmu
pengetahuan yang melenyapkan kegelapan atau kebodohan itu, demikian
dijelaskan

Dalam sesana pinandita disebutkan bahwa mediksa sebagai suatu upacara umat
Hindu dipimpin oleh seorang pedande nabe untuk meningkatkan kesucian diri guna
mencapai kesempurnaan, karena lewat kesucian diri itulah manusia dapat
berhubungan dengan sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kutipan artikel tersebut juga dijelaskan bahwa, untuk dapat menjaga
kesucian dirinya, seseorang yang telah melaksanakan upacara mediksa, berkewajiban
agar setiap hari menyucikan diri dengan melakukan puja Parikrama atau Surya
Sewana.
Mengenai waktunya adalah: pagi, siang, dan sore hari. Maka dari itulah sang diksita
atau wiku tidak kena cuntaka dan juga tidak nyuntakain (kecuali wiku wanita yang
sedang dalam keadaan Haid).
Mediksa merupakan klimaks dalam meningkatkan kesucian diri dari tingkatan Ekajati
ke tingkatan Dwijati.
Disebutkan pula beberapa makna diksa :

Sebagai salah satu bagian dalam menguatkan iman atau sraddha, (diksa;
sembahyang).

Menjaga tegaknya kelestarian ibu pertiwi, (diksa; Tri Sadhaka).

Eka Jati
Ekajati atau (Eka Jati) adalah tingkatan pertama dari kesucian seorang sulinggih
sebagai pemangku pura atau pinandita dengan cirinya menggunakan udeng
"mebongkos nangka", yang mempunyai tugas dan kewajiban dalam hubungan
kemasyarakatan
sebagai
seorang
walaka.
Proses upacara ekajati yang dilaksanakan dengan cara mewinten sebagaimana
disebutkan dalam syarat - syarat menjadi pemangku, ekajati berasal dari bahasa
sanskerta eka dan jati.

Eka berarti satu

Jati seperti berasal dari akar kata ja yang berarti lahir.

Jadi Ekajati berarti lahir sekali, yakni lahir hanya dari ibu kandungnya sendiri.
Rokhaniawan yang tergolong dalam kelompok Ekajati antara lain :

Pemangku atau Jero Mangku,

Jero Gede atau

sebutan lain sesuai dengan desa kala patra dan tingkat kepemangkuannya

Dalam Maha Sabha II tahun 1968 Parisada Hindu Dharma, tujuan ekajati ini
dilaksanakan agar seorang ekajati dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan
dapat meningkatkan kesulinggihannya pada tingkatan Dwi Jati untuk dapat
mendalami ajaran Weda selengkapnya.

Dwi Jati
Dwi Jati ("Dwijati") berasal dari dua suku kata yaitu "Dwi & Jati", Dwi = 2
sedangkan Jati berasal dari akar kata "Ja" yang berarti lahir sehingga,
Dwi Jati adalah lahir untuk kedua kalinya (reinkarnasi) sebagaimana disebutkan
sesana pinandita sebagai seorang sulinggih,
1. Lahir yang pertama dari kandungan ibu,
2. Lahir yang kedua dari guru suci nabe melalui upacara mediksa.
Dalam Lontar Siwa Sasana disebutkan bahwa sejak seseorang mendapat diksa
dalam upacara penyucian ini, mereka dikenal sebagai Dwijati dan dari padanya
diharapkan mulai mematuhi segala peraturan kebrahmanaan.
Rohaniawan/pandita dan pinandita yang melalui proses tata upacara diksa inilah yang
mempunyai wewenang luas dan lengkap dalam pelaksanaan Loka Pala Sraya itu yakni
wewenang dalam memimpin atau menyelesaikan berbagai yaja termasuk dalam
memberikan Air Suci (Tirtha).

Seorang Dwijati disebutkan pula dalam kesulinggihan dalam Stiti Dharma Online,
Seorang Dwijati yang sudah berubah dibanding ketika masih walaka yaitu:
1. Amari Sesana, artinya perubahan kebiasan dan disiplin kehidupan,
2. Amari Aran, artinya perubahan nama (Bhiseka),
3. Amari Wesa, artinya perubahan tata berpakaian.
Sehingga beliau yang telah melaksanakan upacara dwijati ini, yang dalam siwa
buddha disebutkan mereka yang telah dapat menjalankan dharma Kabrahmanan.

PANCA YADNYA

NAMA ANGGOTA :
1.
2.
3.
4.

Made Adelasari Wirya Putri


(01)
I Gusti Ayu Made Dewi Cahaya Ningrat (11)
A.A. Sinta Bella Ekayasa
(32)
Ni Luh Putu Sindy Mikela
(34)

Anda mungkin juga menyukai