Anda di halaman 1dari 10

Makalah Yadnya AGAMA HINDU

BAB I
PENDAHULUAN
 Latar Belakang Masalah
Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah
berdiri Kerajaan-Kerajaan Besar seperti salah satu di antaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu
sebuah Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa
menyatukan seluruh wilayahnya sampai keMadagaskar.Pada jaman itu sudah ada hubungan
dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri Campa, yang saat ini Negara Cina.
Kerajaan ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman keemasannya dipimpin oleh seorang
Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya bernama Gajah Mada.
Pada jaman itu perkembangan budaya yang berlandaskan Agama Hindu sangat pesat
termasuk di Daerah Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari
Kerajaan Majapahit sebagian besar hijrah ke Bali dan di Daerah ini para Arya-Arya tersebut
lebih memantapkan ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang.Masyarakat Hindu di Bali
dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu warisan para
lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual dalam Falsafah Tri Hita Karana.
Arti kata Tri Hita Karana yakni Tiga keharmonisan yang menyebabkan adanya kehidupan,
diantaranya:
1. Parhyangan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan
2. Pawongan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia
3. Palemahan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam
Manusa yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan
membersihkan lahir bathin manusia mulai dari sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan
sampai pada akhir hidup manusia itu. Pembersihan lahir bathin manusia sangat perlu di lakukan
selama hidupnya, karena kebersihan itu dapat menimbulka adanya kesucian. Kebersihan
( kesucian ) secara lahir bathin ini dapat menghindarkan manusia itu sendiri dari jalan yang sesat.
Dengan kebersihan tersebut, manusia akan dapat berpikir, berkata dan berbuat yang benar
sehingga dapat meningkatkan dirinya ke taraf hidup yang lebih sempurna. Unsur-unsur
pembersihan di dalam Upacara Manusa Yadnya dapat di ketahui dengan adanya upakara-upakara
seperti tirtha panglukatan atau tirtha pembersihan dan lain sebagainya. Tirtha-tirtha ini adalah air
suci yang telah di berkati oleh sang sulinggih pandita ( pendeta ), sehingga air suci tersebut
mempunyai “ twah “ ( wasiat ), yang secara spiritual dapat menimbulkan adanya kebersihan
( kesucian ) itu. Di dalam Manusa yadnya, pada dasarnya terdapat empat rangkaian upacara yang
satu dengan yang lainnya tidak dapat di pisahkan. Adapun upacara-upacara teresbut antara lain
adalah Upacara Mabhyakala ( Mabhyakaonan ), Upacara Melukat ( Mejaya-jaya ), Upacara
Natab ( Ngayab ), dan Upacara Muspa. Masing-masing upacara ini mempunyai maksud dan
tujuan-tujuan tertentu.
Agama Hindu, merupakan satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat
manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan menciptakan manusia beserta makhluk
hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka hendaklah manusia memelihara dan
mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya sebagai jalan untuk memperbaiki dan
mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Sahayajñáh prajah strishtva
puro vácha prajápatih
anena prasavishya dhvam
esha va stv ishta kámadhuk
Dahulu kala Hyang Widhi (Prajapati), menciptakan manusia dengan jalan yadnya, dan bersabda:
“dengan ini (yadnya) engkau akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan (kamadhuk)
sesuai dengan keinginanmu”.
Deván bhávayatá nena
te devá bhávayantuvah
parasparambhávayantah
sreyah param avápsyatha.
Dengan ini (yadnya), kami berbakti kepada Hyang Widhi dan dengan ini pula Hyang Widhi
memelihara dan mengasihi kamu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan
mencapai kebaikan yang maha tinggi.
Tanpa penciptaan melalui yadnya-Nya Hyang Widhi maka alam semesta berserta segala isinya
ini, termasuk pula manusia tidak mungkin ada. Hyang Widhilah yang pertama kali beryadnya
menciptakan dunia dengan segala isinya ini dengan segala cinta kasih-Nya. Karena inilah
pelaksanaan yadnya di dalam kehidupan ini sangat penting artinya dan merupakan suatu
kewajiban bagi umat manusia di dunia. Karena itu pula kita dituntut untuk mengerti, memahami
dan melaksanakan yadnya tersebut di dalam realitas hidup sehari-hari sebagai salah satu amalan
ajaran agama yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
 Rumusan masalah
A. Makna dan Tujuan Yadnya?
B. Jenis-Jenis dan Tingkatan Pelaksanaan Yadnya?
C. Hubungan yadnya dengan Tri Guna?
 Tujuan
Tujuan dari ditulisnya makalah ini saya harapkan agar dapat para pembaca/ umat hindu agar
mengetahui makna dan tujuan yadnya, mengetahui jenis-jenis dan tingkatan pelaksanaan yadnya,
mengetahui hubungan yadnya dengan tri guna. Dan dapt menyampaikan hal-hal tersebut kepada
sesama nya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Yadnya
Jika ditinjau secara ethimologinya, kata yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari
kata “yaj” yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata itu juga
diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata ini timbul kata yaja
(kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh penghormatan), yajus (sakral, retus,
agama) dan yajna (pemujaan, doa persembahan) yang kesemuanya ini memiliki arti sama dengan
Brahma.
Yadnya (yajna) dapat juga diartikan korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas
pengabdian dan cinta kasih. Pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan
Hyang Widhi yang telah menciptalan alam semesta dengan segala isinya dengan yadnya-Nya.
Yadnya adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia dengan Hyang
Widhi beserta semua manifestasinya untuk memperoleh kesucian jiwa dan persatuan Atman
dengan Paramatman. Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas
dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari yang suci dan tulus iklas sebagai
pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Dengan demikian jelaslah bahwa yadnya mempunyai arti sebagai suatu perbuatan suci
yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang tulus iklas dengan tanpa pamerih. Kita
beryadnya, karena kita sadar bahwa Hyang Widhi menciptakan alam ini dengan segala isinya
termasuk manusia dengan yadnyanya pula. Penciptaan Hyang Widhi ini didasarkan atas korban
suci-Nya, cinta dan kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini termasuk manusia
dan mahluk-mahluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan berkembang dengan baik.
Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta berserta segala isinya dengan hukum
kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan mahluk dengan menciptakan zat-zat hidup yang berguna
bagi mahluk hidup tersebut sehingga teratur dan harmonis. jadi untuk dapat hidup yang harmonis
dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan yadnya, baik kepada
Hyang Widhi beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua
yadnya yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup
makhluk di dunia.
Agnim ile purohitam yajnasya devam rtvijam,
hotaram ratna dhatanam
Hamba memuja Agni, pendeta agung upacara yadnya, yang suci, penganugrah, yang
menyampaikan persembahan (kepada para Dewa), dan pemilik kekayaan yang melimpah.
Ishtân bhogaân hi vo devâ
dâsyante yahjna bhâvitâh
tair dattân apradâyai byo
yo bhunkte stena eva sah.
Sebab dengan yadnyamu (pujaanmu) Hyang Widhi (dewata) akan memberkahi kebahagiaan
bagimy, dia yang tidak membalas rakhmat ini kepada-Nya, sesungguhnya adalah pencuri.
Yâjna sishtâsinah santo
muchyante sarva kilbishaih
bhunjate te ty agham pâpâ
ye paehamty atma karanat
Yang baik makan setelah upacara bakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan
makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini, sesungguhnya makan dosa.
Sesorang hendaknya menyadari , bahwa sesuatu yang dimakan, dipakai maupun yang digunakan
dalam hidup ini pada hakikatnya adalah karunia Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Berdosalah ia yang hanya suka menerima namun tidak mau memberi. Setiap orang ingin terlepas
dari segala dosa, maka itu setiap orang patut beryadnya. Dengan yadnya, Hyang Widhi akan
memberkahi kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dia yang tidak beryadnya, yang tidak
membalas rahmat yang ia terima sebagaimana yadnya dan anugrah yang diberikan oleh Hyang
Widhi, sesungguhnya ia itu adalah pencuri.
Jadi dengan memperhatikan beberapa sloka di atas, maka jelaslah bahwa yadnya adalah suatu
amal ibadah agama yang hukumnya adalah wajib atau setidak-tidaknya dianjurkan untuk
dilaksanakan oleh umat manusia yang iman terhadap Hyang Widhi. Seseorang hendaknya
mengabdikan diri kepada-Nya dengan penuh kesujudan dan rasa bakti dengan mengadakan
pemujaan dan persembahan yang dilakukan secara tulus iklas.
Patram pushpam phalam toyam
yo me bhaktya prayachchati
tad aham bhaaktypahritam
asnami prayatatmanah. 
Siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-
buahan atau seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.
Biasanya pemujaan dan persembahan itu dapat dilakukan dalam bentuk upacara yadnya,
yaitu persembahan berupa banten atau sajen-sajen, yang terdiri dari bahan-bahan seperti bunga,
daun-daun, air dan buah-buahan. Semuanya ini adalah persembahan yang bersifat simbolik.
Yang terutama adalah hati suci, pikiran terpusatkan dan jiwa dalam keseimbangan tertuju kepada
Hyang Widhi.
Ye yatha mam prapadyante
tams tathai va bhajamy aham
mama vartma nurvartante
manushyah partha sarvatah
Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku terima dari mana-mana semua
mereka menuju jalan-Ku oh Parta.
Hyang Widhi akan menemui setiap orang yang mengharapkan karunia daripada-Nya.
Hyang Widhi tidak menghapus harapan setiap orang yang melaksanakan yadnya menurut cara
dan kepercayaannya masing-masing. Disini tidak harus satu cara atau jalan tertentu untuk
mencapai hubungan dengan Hyang Widhi, sebab semuanya menuju kepada-Nya. Didalam
pelaksanaan upacara yadnya, hal-hal yang patut diperhatikan adalah Desa, kala, Patra. Desa
adalah menyesuaikan diri dengan bahan-bahan yang tersedia ditempat yang bersangkutan, di
tempat mana upakara yadnya itu dibuat dan dilaksanakan, karena biasanya antara tempat yang
satu dengan tempat yang yang lainnya mempunyai cara-cara yang berbeda. Kala adalah
penyesuaian terhadap waktu untuk beryadnya, atau kesempatan di dalam pembuatan dan
pelasksanaan yadnya tersebut. Sedangkan Patra adalah keadaan yang harus menjadi perhitungan
di dalam melakukan yadnya. Orang tidak dapat dipaksa untuk membuat yadnya besar atau yang
kecil. Yang penting disini adalah upakara dan upacara yang dibuat tidak mengurangi tujuan
yadnya itu dan berdasarkan atas bakti kepada Hyang Widhi, karena di dalam bakti inilah letak
nilai-nilai dari pada yadnya tersebut.

B. Panca Yadnya menurut ajaran


1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa.
2. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur
alam.
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah
meninggal.
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci
umat Hindu.

C. jenis-jenis Upacara Manusa Yadnya, di antaranya ada beberapa yang penting yaitu :

a. Upacara Pagedong-gedongan ( Garbha Wedana atau Upacara Bayi dalam Kandungan ) 


            Upacara ini bertujuan memohon kehadapan Hyang Widhi agar bayi yang ada di dalam
kandungan itu di berkahi kebersihan secara lahir bathin. Demikian pula ibu beserta bayinya ada
dalam keadaan selamat dan dikemudian setelah lahir dan dewasa dapat berguna di masyarakat
serta dapat memenuhi harapan orang tua. Di samping perlu adanya upacara semasih bayi ada di
dalam kan-dungan, agar harapan tersebut dapat berhasil, maka si ibu yang sedang hammil perlu
melakukan pantangan-pantangan terhadap perbuatan atau perkataan-perkataan yang kurang baik
dan sebaliknya mendengarkan nasehat-nasehat serta membaca membaca buku-buku wiracarita
atau buku lain yang mengandung pendidikan yang bersifat positif. Sebab tingkah laku dan
kegemaran si ibu di waktu hamil akan mempengaruhi sifat si anak yangmasih di dalam
kandungan.

b. Upacara Bayi Lahir.


            Upacara ini merupakan cetusan rasa gembira dan terima kasih serta angayu Bagia atas
kelahirannya si bayi kedunia dan mendoakan agar bayi tetap selamat serta sehat walafiat. Pada
saat bayi lahir, yang perlu juga di perhatikan adalah upacara perawatan Ari-ari. Ari-ari ini di cuci
dengan air bersih atau air kumkuman, kemudian di masukkan ke dalam sebutir kelapa yang di
belah dua dengan Ongkara ( pada bagian atas ) dan Ahkara pada bagian bawah. Kelapa tersebut
di bungkus dengan kain putih kemudian di pendam ( di tanam ) di muka pintu rumah ( yang laki
di sebelah kanan dan yang perempuan di sebelah kiri ). Setelah di tanam pada bagian atasnya
hendaknya di isi daun pandan yang berduri dengan tujuan untuk menolak gangguan dari
kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif.

c. Upacara Kepus Puser.


            Upacara ini juga di sebut Upacara Mapanelahan. Setelah puser itu putus maka puser
tersebut di bungkus dengan secarik kain, lalu di masukkan ke dalam sebuah tipat kukur yang di
sertai dengan bumbu-bumbu dan kemudian tipat tersebut di gantungkan di atas tempat tidur si
bayi. Mulai saat inilah si bayi di buatkan Kumara, yaitu tempat memuja Dewa Kumara sebagai
pelindung anak-anak.

d. Upacara Bayi berumur 42 hari.


            Upacara ini disebut juga upacara tutug kambuhan. Pada usia 42 hari bayi di buatkan
upacara “ Macolongan “. Tujuannya adalah memohon pembersihan dari segala keletehan
( kekotoran dan noda ), terutama si ibu dan bayinya di beri tirtha pangklutan pabersihan,
sehingga si ibu dapat memasuki tempat-tempat suci seperti Pura, Merajan dan sebagainya.

e. Upacara Nyambutin.
            Upacara Nyambutin ini diadakan setelah bayi tersebut berumur 105 hari. Pada umur ini si
bayi telah di anggap suatu permulaan untuk belajar duduk, sehingga di adakan upacara
Nyambuitn di sertai dengan upacara “ Tuwun di pane “ dan mandi sebagai penyucia atas
kelahirannya di dunia. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar
jiwatman si bayi benar-benar kembali kepada raganya.

f. Upacara Satu Oton.


            Upacara satu oton atau yang di sebut dengan Otonan ini di lakukan setelah bayi berumur
210 hari, dengan mempergunakan perhitungan pawukon. Upacara ini bertujuan agar segala
keburukan dan kesalahan-kesalahan yang mungkin di bawa oleh si bayi dan semasa hidupnya
terdahulu dapat di kurangi atau di tebus, sehingga kehidupan yang sekarang benar-benar
merupakan kesempatan untuk memperbaiki serta meningkatkan diri untuk mencapai kehidupan
yang sempurna. Serangkaian pula dengan Upacara Otonan ini adalah upacara pemotongan
rambut yang pertama kali, yang bertujuan untuk membersihkan ubun-ubun ( Ciwa Dwara ).
Pelaksanaan upacara satu oton ini juga di maksudkan untuk memohon kehadapan Ibu Pertiwi
agar ikut mengasuh si bayi sehingga si bayi tidak mendapatkan kesulitan, selamat dan tumbuh
dengan sempurna. Untuk ini di adakan pula upacara turun tanah yang di injakkan untuk pertama
kalinya di beri gambar bedawang nala sebagai lambang dasar dunia, sedangkan si bayi di tutupi
dengan sangkar yang di sebut sudamala.

g. Upacara Meningkat Dewasa ( Munggah Daa ).


            Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar yang bersangkutan
di berikan petunjuk atau bimbingan secara gaib sehingga ia dapat mengendalikan diri dalam
menghadapi masa pancaroba. Upacara ini pada umumnya di titikberatkan pada anak perempuan.
Hal ini mungkin di sebabkan karena wanita di anggap kaum yang lemah serta lebih banyak
menanggung akibat pertimbangan-pertimbangan. Di samping itu, menurut Hindu bahwa kaum
wanita dapat di anggap sebagai barometer tingi rendah atau baik dan buruknya martabat dari
suatu keluarga dan lain-lain.

h. Upacara Potong Gigi.


            Upacara ini dapat di lakukan baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan yang
sudah menginjak dewasa. Dalam Upacara potong gigi ini, maka gigi yang di potong ada 6 ( enam
) buah, yaitu empat buah gigi atas dan dua buah lagi gigi taring atas. Secara rohaniah
pemotongan terhadap ke enam gigi tersebut merupakan simbolis untuk mengurangi ke enam sifat
Sad Ripu yang sering menyesatkan dam menjerumuskan manusia ke dalam penderitaan atau
kesengsaraan. Sifat-sifat Sad Ripu yang di maksud adalah nafsu birahi, kemarahan, keserakahan,
kemabukkan, kebingungan dan sifat iri hati. Tetapi secara lahiriah, pemotongan gigi itu dapat
pula di anggap untuk memperoleh keindahan, kecantikan dan lain sebagainya. Pelaksanaan
Upacara Potong gigi ini bertujuan, di samping agar yang bersangkutan kelak nanti setelah mati
dapat bertemu dengan para leluhurnya dan bersatu dengan Hyang Widhi, juga agar yang
bersangkutan selalu sukses dalam segala usaha, terhindar dari segala penyakit serta dapat
mengendalikan diri dan mengusir kejahatan.

i. Upacara Perkawinan.
            Upacara perkawinan merupakan suatu persaksian, baik kehadapan Hyang Widhi Wasa
maupun kepada mayarakat luas, bahwa kedua mempelai mengikat dan mengikrarkan diri sebagai
pasangan suami istri yang sah. Di samping itu, di tinju dari segi rohaniah, upacara perkawinan ini
merupakan pembersihan diri terhadap kedua orang mempelai, terutama terhadap benih atau bibit
baik laki maupun perempuan ( Sukla dan Swanita ), apabila bertemu agar bebas dari pengaruh-
pengaruh buruk sehingga dapat di harapkan atman yang akan menjelma adalah atman yang dapat
memberi sinar dan mempunyai kelahiran yang baik dan sempurna. Upacara perkawinan, pada
umumnya dapat di bagi atas dua bagian, yaitu Upacara Makala-kalaan dan Natab. Upacara
Makala-kalaan sebagai rangkaian dari upacara perkawinan merupakan kebahagiaan tersendiri,
karena secara Samskara kedua mempelai ini di hadapkan kepada Hyang Widhi mohon
pembersihan dan persaksian atas upacara yang di laksanakan. Sedangkan upacara Natab
bertujuan untuk meningkatkan pembersihan, memberi bimbingan hidup dan menentukan status
kedua mempelai. 

Kegiatan Yadnya ini didasari oleh Tri Rna yaitu tiga hutang yang mesti dibayar
sehubungan dengan keberadaan kita. adapun tri rana tersebut adalah
1. Dewa Rna, hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai para dewata
yang telah memberikan anungrahnya kepada setiap mahluk.
2. Pitra Rna, hutang kepada para leluhur termasuk orang tua, sehubungan dengan kelahiran kita
serta perhatiannya semasahidup.
3. Rsi Rna, hutang kepada para sulinggih, pemangku dan para guru lainya atas bimbingannya
selama ini.
Hutang – hutang tersebut kemudian dibayar dengan yadnya, yang kemudian
diaplikasikan dengan Panca Yadnya. adapun cara pembayaran tersebut adalah:
1. Dewa Rna, dibayar melalui Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
2. Pitra Rna, dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
3. Rsi Rna, dibayar melalui Rsi Yadnya.
Sesuai dengan agama dan tradisi di Bali, masyarakat Bali Hindu sesungguhnya manusia
yang penuh ritual agama yang terbungkus dalam Panca Yadnya. Ritual agama itu dilakukan
terhadap manusia Bali Hindu dari sejak dalam kandungan, dari lahir sampai menginjak dewasa,
dari dewasa sampai mulih ke tanah wayah (meninggal).
Pemberkahan demi pemberkahan dilakukan untuknya dengan segala bebantenan serta
mantra-mantranya agar munusia Bali Hindu itu menjadi manusia yang berbudi luhur atau
memiliki sifat kedewataan di mayapada ini dan bisa amoring acintya dengan Sanghyang Widhi
di alam vaikunta (alam keheningan).

Semua upacara di atas disertai dengan bebantenan sesuai dengan fungsi atau
peruntukannya. Daftar ritual agama di atas menunjukkan bahwa manusia Bali Hindu secara
tradasi penuh dengan ritual agama. Seolah-olah tiada hidup tanpa ritual agama baik pada dunia
maya ini maupun pada dunia akhirat (sekala dan niskala).
Jika semua upacara itu bisa diterapkan sesuai dengan aturannya, maka manusia Bali
diharapkan menjadi manusia yang memiliki sifat yang mengarah kesifat kedewataan, pergerakan
perilaku dari tamasik- rajasik mengarah ke rajasik-satwika atau bahkan pada satwika. Perputaran
perilaku itu dapat dihasilkan dari begitu dalam makna tahap demi tahap ritual agama itu utk
menghantarkan menjadi manusia yang bersifat rajasik-satwika atau satwika dari getaran-getaran
energi positif getaran bebantenan dan mantra-mantranya secara sinergistik.

Tingkatan Yadnya didasari oleh besar kecilnya upakara yang dipersembahkan dan
dibedakan menjadi tiga tingkatan,yaitu :
– Nista
– Madya
– Utama
Masing-masing dari ketiga tingkatan diatas dapat dibedakan dalam tiga tingkatan lagi
berdasarkan dari besar kecilnya upakara yang menjadi sarana persembahannya, yaitu :
– Nistaning Nista
– Nistaning Madya
– Nistaning Utama
– Madyaning Nista
– Madyaning Madya
– Madyaning Utama
– Utamaning Nista
– Utamaning Madya
– Utamaning Utama
Perbedaan tingkatan yadnya ini disesuaikan dengan tingkat kemampuan umat yang akan
melaksanakan karena tujuan yadnya yang menuju kesejahtraan dan kebahagian tidak
memberiikan penderitaan bagi umat.Dandari segi kualitas kesembilan tingkatan yadnya tersebut
tidaklah ada perbedaan sepanjang dilaksanakan dengan rasa bakti,ketulusan dan kesucian hati.

D. Hubungan Yadnya Dengan Tri Guna


Dilihat dari segi kualitas tri guna yang melatar belakangi pelaksanaan yadnya, Bhagawadgita
membedakan tiga jenis yadnya, yaitu :
 Sattwika Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan dengan keiklasan tanpa mengharapkan hasilnya dan
dilaksanakan sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan, serta sesuai dengan sastranya.
Aphalakanksibhir yajno vidhi-drsto ya ijyate,
Yastavyam eveti manah samadhaya sa sattvikah
(bhagawadgita.XVII.11)
Artinya :
Yadnya yang dihaturkan sesuai dengan sastranya, oleh mereka yang tidak mengharapkan
buahnya dan teguh kepercayaannya, bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryadnya,
adalah satwika(baik)
 Rajasika Yadnya
Adalah yadnya yang dipersembahkan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan serta
terikat dengan keinginan untuk memperoleh buahnya.
Abhisandhaya tu phalam dambhartham api caiva yat,
Ijyate bharata-srestha tam yajnam vidhi rajasam
(bhagawadgita. XVII.12)
Artinya :
Akan tetapi apa yang dihaturkan degan pengharapan akan buahnya atau hanya untuk
memamerkan, ketahuilah oh arjuna, bahwa yadnya itu adalah rajasika(bernafsu).
 Tamasika Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan sastranya,
tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan, tidak ada
daksina, serta tidak dilandasi keyakinan dan kepercayaan.
Vidhi-hinam asrstannam mantram-hinam adaksinam,
Sraddha-vivirahitam yajnam tamasam paricaksate.
(bhagawadgita, XVII.13)
Artinya:
Yadnya yang tidak sesuai degan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak
ada mantra, syair yang dinyanyikan dan tidak ada punia daksina yang diberikan, tidak
mengandung kepercayaan, mereka sebut yadnya yang tamasika(bodoh).
Dengan demikian tinkat kualitas yadnya dibedakan atas dasar pengaruh tri guna yang memberi
motivasi dalampelaksanaannya.Dalam tingkatan ini besar kecilnya tingkatan yadnya tidak
menjadi ukuran, namun tingkat spiritual suatu persembahan/yadnya lebih ditentukan oleh sradha,
bakti, keimanan, keiklasan serta jauh dari rasa ego

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Panca yadnya merupakan korban suci yang tulus iklas yang didasari atas rasa bhakti dan kasih
sayang serta tanpa pamrih.Yadnya memiliki lima pembagian (panca yadnya), yaitu dewa yadnya,
manusa yadnya, butha yadnya, pitra yadnya dan rsi yadnya.Pelaksanaan yadnya ini bukan
ditentukan oleh tingkatan yadnya, namun oleh tri guna.Karena bagaimanapun besarnya sebuah
upacara, jika tanpa didasari oleh ketulusan, iklas,bhakti, kasih sayang dan tanpa pamrih(phala).
Upacara tersebut tidak akan menjadi sempurna (kurang bermakna).
Saran
Berdasarkan uraian diatas hendaknya kita menyadari bahwa nilai sebuah yadnya bukan
ditentukan oleh tingkatan yadnya, namun bagaimana cara kita belajar untuk iklas, tulus, penuh
kasih sayang dan didasari oleh hati yang suci nirmala dalam melaksanakan sebuah pengorbanan
(yadnya).
http://adidocsite.blogspot.co.id/2015/02/makalah-yadnya-agama-hindu.html

Anda mungkin juga menyukai