Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman yang sangat modern ini, perkembangan teknologi juga
semakin pesat, namun tidak dengan pengetahuan agama. Pengetahuan agama semakin lama
semakin kurang, bahkan anak muda sekarang banyak yang acuh tak acuh terhadap pengetahuan
agama. Mereka lebih mementingkan teknologi dibandingkan agama. Padahal itu merupakan
perbuatan yang salah. Karena perkembangan teknologi dengan agama saling berhubungan.
Seperti ucapan seorang filsuf ”Ilmu pengetahuan (teknologi) tanpa agama akan buta sedangkan
agama tanpa ilmu pengetahuan (teknologi) akan lumpuh”.
Sebaiknya, Kita sebagai umat Hindu perlu mengetahui ajaran-ajaran agama kita sendiri.
Salah satunya adalah mempelajari ajaran menjalin hubungan yang harmonis kepada semua yang
hidup pada alam semesta ini dan yang menciptakan alam semesta. Ajaran Tri Hita Karana
merupakan ajaran untuk mencapai kebahagiaan, Menurut Wiana (2004:141) falsafah hidup
berdasarkan Tri Hita Karana ini memang sudah diajarkan dalam kitab suci Bhagawad Gita III.10,
meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana, dalam kitab tersebut  dinyatakan
Tuhan (Prajapati) telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena iti
manusia (Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja)
dan kepada lingkungannya (Kamadhuk).
Untuk bisa mencapai kebahagiaan yang dimaksud, kita sebagai umat manusia perlu
mengusahakan hubungan yang harmonis (saling menguntungkan) dengan ketiga hal yaitu
Tuhan, Lingkungan dan Sesama manusia. Karena melalui hubungan yang harmonis terhadap
ketiga hal tersebut, akan tercipta kebahagiaan dalam hidup setiap umat manussia. Oleh sebab itu
dapat dikatakan hubungan harmonis dengan ketiga hal tersebut diatas adalah suatu yang harus
dijalin dalam hidup setiap umat manusia. Jika tidak, manusia akan semakin jauh dari tujuan yang
dicita-citakan atau sebaliknya ia akan menemukan kesengsaraan.
Bagaikan “manik ring cacupu”, bagaikan bayi dalam kandungan, jika kandungannya
tidak terawat dengan baik, maka bayinya akan celaka juga. Demikian juga kita. Kita  mesti
merawat lingkungan tempat tinggal kita dengan baik agar ia mampu menyediakan kondisi yang
baik untuk menunjang dan memenuhi kebutuhan kita (Dalem :2007).

1
Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu
diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di
Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat
Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat
sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini
berkembang, meluas, dan memasyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun Rumusan Masalah yang menjadi dasar dalam latar balakang makalah ini :
1. Apa Pengertian Tri Hita Karana dan bagian-bagiannya ?
2. Apa yang dimaksud dengan Parhyangan?
3. Apa yang dimaksud dengan Pawongan?
4. Apa yang dimaksud jika Palemahan?
5. Bagaimana Penerapan Tri Hita Karana dan Manfaatnya pada Masyarakat Bali?

1.3 Tujuan Masalah


Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini;
1. Menambah wawasan tentang Tri Hita Karana.
2. Cara menerapkan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari.
3. Dapat Mengetahui sebab akibat hubungan dari Tri Hita Karana .
4. Membangun rasa ingin tahu lebih mendalam mengenai konsep Tri Hita Karana.

1.4 Manfaat Pembahasan


Adapun Manfaat yang dapat di capai dalam penyusunan makalah ini:
1. Dapat mengapresiasi Tri Hita Karana dalam kehidupan.
2. Dapat menjaga kelestarian dan keharmonisa di masyarakat dengan mengimplementasikan
ajarann konsep Tri Hita Karana .
3. Dapat membangun hubungan harmonis dengan Tuhan, Lingkungan dan sesame manusia,
dengan mengamalkan ajaran konsep Tri Hita Karana.
4. Dapat Mengerti akan pentingnya Konsep Tri Hita Karana bagi kehidupan manusia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tri Hita Karana


Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita =
sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga
penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: Manusia dengan
Tuhannya, Manusia dengan alam lingkungannya, Manusia dengan sesamanya.

Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, dimana kata Tri artinya tiga, Hita
artinya sejahtra atau bahagia dan Karana artinya sebab atau penyebab. Jadi Tri Hita Karana
artinya tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagiaan bagi umat manusia. Untuk
itu ketiga hal tersebut harus dijaga dan dilestarikan agar dapat mencapai hubungan yang
harmonis. Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan
itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:

1. Manusia dengan Tuhannya (Parhyangan).


2. Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan).
3. Manusia dengan sesamanya (Pawongan).
Sebagaimana dimuat dalam ajaran Agama Hindu bahwa ” kebahagiaan dan kesejahtraan
”adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hidup manusia, baik kebahagiaan atau kesejahtraan
pisik atau lahir yang disebut ” Jagadhita ” maupun kebahagiaan rohani dan batiniah yang disebut
”Moksa ” Untuk bisa mencapai kebahagiaan yang dimaksud, kita sebagai umat manusia perlu
mengusahakan hubungan yang harmonis ( saling menguntungkan ) dengan ketiga hal tersebut
diatas. Karena melalui hubungan yang harmonis terhadap ketiga hal tersebut diatas, akan tercipta
kebahagiaan dalam hidup setiap umat manussia. Oleh sebab itu dapat dikatakan hubungan
harmonis dengan ketiga hal tersebut diatas adalah suatu yang harus dijalin dalam hidup setiap
umat manusia. Jika tidak, manusia akan semakin jauh dari tujuan yang dicita-citakan atau
sebaliknya ia akan menemukan kesengsaraan.

3
2.2 Hubungan Manusia Dengan Tuhan (Paryhangan)
Parhyangan berasal dari kata hyang yang artinya Tuhan. Parhayangan berarti ketuhanan
atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja ida sang hyang widhi
wasa. Dalam arti yang sempit parhyangan berarti tempat suci untuk memuja tuhan. Menurut
tinjauan Dharma susilanya, manusia menyembah dan berbhakti kepada tuhan disebabkan oleh
sifat-sifat parama (mulia) yang dimilkinya. Rasa bhakti dan sujud pada tuhan timbul dalam hati
manusia oleh karena sanghyang widhi maha ada, maka kuasa, maha pengasih yang melimpahkan
kasih dan kebijaksanaan kepada umatnya. Kita Sebagai umat yang beragama yang bernaung
dibawah perlindungannya sangat berutang budi lahir bhatin kepada beliau. Dan utang budhi
tersebut tak akan terbalas oleh apapun. Karena hal tersebut diatas, maka satu-satunya
dharma/susila yang dapat kita sajikan kepada beliau hanyalah dengan jalan menghaturkan
parama suksmaning idep atau rasa terima kasih kita yang setinggi-tingginya kepada beliau.
Adapun contoh implementasi rasa syukur kita kepada tuhan adalah dengan jalan :
1. Dengan khidmat dan sujud bhakti menghaturkan yadnya dan persembahyangan kepada
tuhan yang maha esa).
2. Berziarah atau berkunjung ketempat-tempat suci atau tirta yatra untuk memohon kesucian
lahir dan bhatin
3. Mempelajari dengan sungguh-sungguh ajaran-ajaran mengenai ketuhanan, mengamalkan
serta menuruti dengan teliti segala ajaran-ajaran kerohanian atau pendidikan mental
spiritual. Dalam Bhagawadgita dikatakan bahwa :

“Satatam kirtayatom mam


Yatantas ca drsha vrtatah
Namasyantas ca mam bhatya
Ni tyayuktah upsate”
Bhagawadgita.IX.14
Artinya:
Berbuatlah selalu hanya untuk memuji-Ku dan lakukanlah tugas pengabdian itu dengan
tiada putus-putusnya. Engkau yang memujaku dengan tiada henti-hentinya itu serta dengan
kebaktian yang kekal adalah dekat dengan-Ku.

4
Disamping itu rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi wasa itu timbul dalam hati manusia
berupa sembah, puji-pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati dan rasa berkorban untuk
kebajikan. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan
memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan.
Dengan demikian jelaslah begaimana hubungan antara sanghyang widi dengan manusia.
Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir
bhatin. Sesuai dengan swadharmaning umat yangb religius, yakni untuk dapat mencapai
moksartam jagadhita ya ca itri dharma, yakni kebahagiaan hidup duniawi dan kesempurnaan
kebahagioan rohani yang langgeng (moksa).

2.3  Hubungan Manusia dengan Manusia (Pawongan)


Pawonan berasal dari kata wong (dalam bahasa jawa) yang artinya orang. Pawongan adalah
perihal yang berkaitan dengan orang dalam satu kehidupan masyarakat, dalam arti yang sempit
pawongan adalah kelompok manusia yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah.
Pada mulanya Tuhan yang lebih dulu menciptakan bhuwana atau alam, maka munculah
palemahan, setelah itu barulah beliau menciptakan manusia beserta mahluk hidup lainya. Setelah
manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan mendiami suatu
wilayah tertentu maka muncullah masyarakat yang disebut dengan pawongan.
Selain menyelaraskan hubungan atman dengan paramatman atau hubungan manusia dengan
tuhan, kita sebagai mahluk sosial juga harus membina hubungan dengan sesama Manusia dan
mahluk lainya. Yang dimaksud dengan hubungan antar manusia dan mahluk lain ini adalah
hubungan antar anggota keluarga , masyarakat, antara anak, suami dan istri dan lainnya.
Hubungan manusia dengan mahluk lainya hendaknya dapat menciptanya suasana rukun,
harmonis, dan damai serta saling bantu membantu satu sama lain dengan hati yang penuh dengan
cinta kasih. Yang mana kasih merupakan dasar kebajikan. Kasih muncul dari dalam kalbu yang
merupakan alam paramatman, yaitu lama ananda (kebahagiaan).
Dalam manu smerti II.138 disebut :
“satyam bruyat priyam bruyam
na bruyam satyam, priyam
canartam, bruyat esa dharmah sanatanah”

5
Artinya:
berkatalah yang sewajarnya jangan mengucapkan kata kata yang kasar. Walaupun kata-
kata itu benar, jangan pula mengucapkan kata-kata lemah lembut namun dusta. Inilah hukum
susila yang abadi(sanatana dharma).
Perilaku yang baik adalah dasar mutlak dalam kehidupan sebagai manusia, karena dengan
berbuat susila manusia dapat meningkatkan taraf hidupnya baik di alam sekala maupun di alam
niskala.

2.4 Hubungan Manusia dengan Lingungan (Palemahan)


Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana
atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah sutu pemukiman atau tempat
tinggal. Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, Kesejukan, ketenangan dan
kebahagiaan lahir dan bhatin. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa
bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang
melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.Untuk tetap
menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam, umat Hindu melaksanakan upacara tumpek uye
(tumpek kandang), yang bertujuan untuk menjaga kelestarian hidup binatang dan melaksanakan
upacara tumpek wariga (tumpek bubuh) untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan. Dalam Kitab
Suci Bhagawadgita,III.10, menyebutkan : Manusia sebagai komponen sentral dalam sistem
lingkungan ini sudah sepantasnya selalu menjaga keseimbangan diantara komponen-komponen
lingkungan yang lainnya. Dalam Kitab Bhagawadgita ada disebutkan demikian :

‘Istan bhogan hi vo deva, desvante yadnya bhavitah

Tair dattan aoradayai bhyo, yo blunte stena eva sah’

Artinya:

Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kesenangan yang kami ingini, ia yang
menikmati ini tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri.

Apabila manusia hanya ingin mencari kesenangan tanpa terlebih dahulu memberi kesenangan
terhadap makhluk lain adalah pencuri. Manusia yang semena-mena menjadikan sumber
hidupnya sebagai obyek kesenangan tidak disertai tindakan memelihara sama dengan perilaku

6
pencuri. Mengambil tanpa sebelumnya memberi, menikmati dengan tidak memberi,
menggunakan tanpa sikap memelihara, sama dengan perilaku pencuri.

Dalam Manawa Dharmasastra IV.56 juga disebutkan bagaimana hendaknya agar tidak
membuang sampah sembarangan yang dijelaskan sebagai berikut :

”Napsu mutram purisam wa sthiwanam wa samutrsjet,

amedhya lipya menyadwa lohitam wa wisaniwa”.

Artinya :

Hendaknya ia jangan kencing atau berak dalam air sungai, danau, dan laut, tidak pula
meludah, juga tidak boleh berkata-kata kotor, tidak pula melemparkan sampah, darah, atau
sesuatu yang berbisa atau beracun.

Sloka ini juga menyarankan bagaimana baiknya untuk tetap menjaga lingkungan dengan tidak
membuang sampah.

 2.5 Penerapan Tri Hita Karana


Adapun bidang penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat,adalah
sebagai berikut:
1.    Bhuana dan Karang Desa. (Palemahan)
Bhuana adalah alam semesta. Karang Desa adalah wilayah territorial dari suatu
desa adat yang telah ditentukan secara definitif batas kewilayahannya dengan suatu upacara
adat keagamaan
2.    Kerama Desa Adat (Pawongan)
Yaitu kelompok manusia yang bermasyarakat dan bertempat tinggal di wilayah
desa adat yang dipimpin oleh seorang Bendesa Adat dan dibantu oleh prajuru (aparatur)
desa adat lainnya seperti kelompok-kelompok Mancagra, Mancakriya dan pemangku
bersama-sama  masyarakat desa membangun keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
3. Tempat Suci (Parahyangan)
Adalah tempat untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Widhi
sebagai pujaan bersama yang diwujudkan dalam tindakan dan tingkah laku sehari-hari.
Tempat pemujaan ini diwujudnyatakan dalam bentuk Pura Kayangan Tiga. Setiap desa

7
adat di Bali wajib memilikinya.. Pura Kayangan Tiga itu adalah : Pura Desa,Pura
Puseh,Pura Dalem.Pura Kahyangan Tiga di desa adat di Bali seolah-olah merupakan jiwa
dari Karang Desa yang tak terpisahkan dengan seluruh aktifitas dan kehidupan desa.

2.6 Manfaat Tri Hita Karana dalam Kehidupan Masyarakat Bali


Dalam Rangka Melestarikan Lingkungan Hidup di dalam kehidupan masyarakat Hindu di
Bali, kesehariannya menganut pola Tri Hita Karana. Tiga unsur ini melekat erat setiap hati
sanubari orang Bali. Penerapannya tidak hanya pada pola kehidupan desa adat saja, namun
tercermin dan berlaku dalam segala bentuk kehidupan bermasyarakat, maupun berorganisasi.
Desa Adat terdiri dari kumpulan kepala keluarga (KK). Mereka bertanggung jawab atas
kelangsungan hidup keluarganya.Setiap keluarga menempati Karang Ayahan Desa, yang disebut
karang sikut satak. Disinilah setiap KK bebas mengatur keluarganya. Pola Kehidupan mereka
tank lepas dari pola Tri Hita Karana, hal ini dapat dilihat dari Karang  Sikut  Satak yang
ditempati. Secara umum penempatan bangunan di karang itu berpolakan: Utama Mandala,
tempat bangunan suci untuk memuja Sang Hyang Widhi dan Para Leluhur, letaknya di Timur
Laut pekarangan dinamakan Sanggah Kemulan. Madya Mandala tempat untuk membangun
rumah, Balai Delod, Dapur, Kamar Mandi, Lumbung dan bangunan lainnya.
Nista Mandala tempat membangun Kori Agung,Candi Bentar, Angkul-angkul tempat
masuk ke pekarangan sikut satak. Di luar pekarangan sikut satak namanya teba. Di teba inilah
tempat krama Bali membangun ekonominya dengan bercocok taman seperti kelapa, pisang,
nangka, durian dan tanaman lain yang memiki nilai ekonomis. Di tempat ini pula anggota
keluarga membuat kandang sapi, babi, ayam, itik, kambing dan peliharanaan lainnya, sebagai
wujud pelestarian lingkungan.

8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab
kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita
Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan
hubungan antara: Manusia dengan Tuhannya, Manusia dengan alam lingkungannya, Manusia
dengan sesamanya Ketika manusia tidak lagi menghiraukan lingkungannya maka lingkungan
pula tidak akan pernah bersahabat dengan kita.begitu pula ketika manusia dan sesamanya tidak
memiliki hubungan yang harmonis maka akan terjadilah gesekan-gesekan yang menyebabkan
hal-hal yang tidak kita inginkan bersama, apalagi ketika manusia dengann Sang pencipta tidak
terjadi hubungan yang harmonis, tentu akan berdampak sangat buruk bagi manusia dalam
menjalankan kelangsungan hidupnya.
Demikianlah penjelasan mengenai pembagian dari tri hita karana tersebut. Arti penting
ajaran Tri hita karana ini merupakan ajaran agama hindu yang universal. Ajaran tri hita karana
mengarahkan manusia untuk selalu mengharmoniskan hubungan manusia dengan sang pencipta,
manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia dengan alam semesta atau lingkunganya.
Arah dan sasaran dari tri hita karana adalah mencapai mokrastham jagad hita ya ca iti dharma,
yakni mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin sehingga dengan keharmonisan maka tercapailah
kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir dari agama hindu yakni bersatunya atman dengan
paramatman.

3.2 Saran
Saya berharap kepada seluruh umat hindu, khususnya bagi mahasiswa agar menjaga
hubungan harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi,karena dari situlah kita mampu mengimbangi
kesadaran kita sebagai umat manusia sadar akan kepentingan kita,dengan sesama dan lingkungan
kita.beliau mengajarkan pada umatnya agar mengindahkan ciptaannya agar terjadi keselarasan
hidup yang ingin dicapai.

9
DAFTAR PUSTAKA

Dalem, A.A.G Raka.2007.Sistem Manajeman Lingkungan, Tri Hita Karana dan


Implementasinya. Jurnal Penelitian: UNUD

Kertih dan Sukadi. 2007. Konsep Ajeg Bali (Hindu) Berbasis Ideologi   
Trihita Karana Dimaknai Di Lingkungan Sekolah.Surabaya: Paramita

Mantra,Prof.Dr. IB. 1992. Bhagawadgita Alih Bahasa dan Penjelasan.


Denpasar: Upada Sastra

Prabhavananda, Swami.2006. Agama Veda dan Filsafat. Surabaya: Paramita.

Puja,G.2005. Bhagawad Gita Pancama Veda.Surabaya: Paramita

Puja,G. dan Tjokorda Rai Sudharta. 1996. Manawa Dharmasastra.


Jakarta: Hanuman Sakti

Wiana, I Ketut.2004. Mengapa Bali disebut Bali ?. Surabaya: Paramita.

Wiana, I Ketut.2004. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan.


Jakarta: Pustaka Manik Geni.

Widana, I Gusti Ketut.2002. Mengenal Budaya Hindu di Bali.


Denpasar: PT. BP Denpasar.

10

Anda mungkin juga menyukai