Anda di halaman 1dari 9

Śruti: Jurnal Agama Hindu || Volume 1, No 1.

2020

Filsafat Tri Hita Karana sebagai landasan


menuju Harmonisasi dan Hidup Bahagia
Oleh
Putu Cory Candra Yhani1 & Made Supastri2
STAHN Mpu Kuturan Singaraja12
candrayaniputu@yahoo.co.id1, madesupastri@gmail.com2

Abstrak
Tri Hita Karana pada dasarnya adalah sikap seimbang dalam kehidupan antara
menyembah Tuhan dan melayani sesama manusia, serta mengembangkan kasih sayang
bagi sesama manusia dan mengembangkan kasih sayang bagi lingkungan alam. Mem-
bangun kehidupan yang harmonis, dinamis, dan produktif di bumi membutuhkan fon-
dasi filosofis yang kuat. Jika filosofi Tri Hita Karana mendarah daging menjadi sikap hidup
masyarakat, maka hal-hal negatif tidak akan terjadi dalam upaya mencapai keharmoni-
san dan hidup bahagia.
Kata kunci: Tri Hita Karana, Harmonis dan Bahagia
PENDAHULUAN
Bali yang memiliki julukan pulau yang indah, paradise island, sangat terkenal den-
gan pulau seribu pura, betul-betul pulau yang sudah dan menjanjikan kemakmuran bagi
siapa saja, yang hidup di Bali dan menjanjikan kebahagiaan bagi siapa saja yang datang
ke Bali. Bali dianugerahkan oleh Sang Hyang Widhi, tanah yang subur, pantai, gunung,
bukit yang indah, sungai, kekayaan laut yang berlimpah, bahkan arsitektur yang boleh
dikatakan dikagumi. Adanya konsep Tri Hita Karana yang menjiwai nafas kehidupan
orang Bali (Hindu) menjadikan Bali harmonis secara makrokosmos maupun mikrokos-
mos.
Hidup harmonis seperti aman, damai, sejuk, sejahtera dan sejenisnya merupa-
kan dambaan setiap orang yang normal di dunia ini. Membangun kehidupan bersama
harmonis, dinamis dan produktif di bumi ini memang membutuhkan landasan filosofis
yang benar, tepat, akurat dan kuat. Dengan demikian kehidupan bersama itu akan men-
jadi wadah setiap insan yang mendambakan kesejahteraan lahir bhatin secara utuh dan
berkesinambungan (Suadnyana, 2020).
Dalam Kitab Suci Bhagawad Gita III. 10 telah tercantum falsafah hidup berdasar-
kan Tri Hita Karana. Tri Hita Karana bukanlah sekedar tata ruang. Tidaklah tepat kalau ada
seseorang telah mendirikan tempat pemujaan apakah pura, merajan, sanggah sudah
melaksanakan Tri Hita Karana. Demikian juga seorang dagang bakso Bali di tempat da-
gangannya telah diisi “Pelangkiran” bukan berarti ia telah melaksanakan Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah “sikap hidup yang seimbang antara memuja Tu-
han dengan mengabdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada
sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan” (Wiana da-
lam Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, 2004:275).
Konsep hidup yang sangat ideal ini diterapkan abad kesebelas, yang bertujuan
menata kehidupan umat Hindu di Bali. Pada abad itu Mpu Kuturan mendampingi raja,
menata kehidupan umat Hindu di Bali. Dalam lontar Mpu Kuturan dinyatakan bahwa
Mpu Kuturanlah yang menganjurkan kepada raja untuk menata kehidupan di Bali, “Ma-
nut Lingih Sang Hyang Aji”, artinya menata kehidupan berdasarkan ajaran kitab suci (Un-

36
Śruti: Jurnal Agama Hindu
tara, 2020). Hidup bahagia yang disebut hita dalam bahasa Sanskerta adalah tujuan dari
filosofi hidup Tri Hita Karana. Untuk mencapai tujuan hidup bahagia itu manusia hen-
daknya mengupayakan terwujudnya tiga kondisi yang diajarkan dalam filosofi Tri Hita
Karana itu. Oleh karena itu sebagai umat Hindu penting untuk mengetahui bahwa cara
mencapai harmonisasi dan kebahagiaan melalui Konsep Tri Hita Karana.
METODE
metode merupakan suatu cara untuk memahami obyek penelitian, karena keberhasi-
lan suatu penelitian akan banyak dipengaruhi oleh metode yang digunakan, sehingga
metode di katakan mempunyai peranan yang penting dalam mengadakan suatu pene-
litian. Dalam tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini dilakukan karena
salah satu ruang kerja pendekatan kualitatif adalah interprestasi terhadap suatu fenome-
na dengan menggunakan pikiran, perasaan, persepsi serta mental manusia untuk mem-
peroleh suatu makna yang berguna bagi perkembangan hidup manusia. pendekatan
penelitian kualitatif terhadap ajaran Tri Hita Karana akan diperoleh ajaran yang harmonis
secara filsafat.
PEMBAHASAN
a.Konsep Tri Hita Karana
Dalam kitab suci Hindu sangat mudah didapatkan petunjuk bagaimana umat
melakukan hubungan dengan Tuhan melalui jalan Bhakti. Demikian juga cara umat men-
ciptakan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan bagaimana melaku-
kan upaya untuk memelihara hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan
bagaimana melakukan upaya untuk memelihara dan menjaga kesejahteraan alam
lingkungan. Secara etimologis bahasa Sanskerta istilah Tri Hita Karana berasal dari kata
“tri, hita dan karana”. Tri artinya tiga, Hita artinya bahagia, dan Karana artinya Penyebab.
Dengan demikian Tri Hita Karana sebagai istilah berarti Tiga Penyebab Kebahagiaan.
Nama Tri Hita Karana inilah yang dijadikan judul untuk menyebutkan ajaran yang menga-
jarkan agar manusia mengupayakan hubungan harmonis dengan Tuhan, dengan sesama
manusia dengan alam lingkungannya.
Istilah Tri Hita Karana selalu digaungkan dari tahun 1966 oleh lembaga Hindu yang
pada saat itu bernama Badan Perjuangan Umat Hindu Dharma dan disingkat BPUHD, saat
itu ketuanya Bapak Made Japa,BA dengan didampingi oleh Bapak Wayan Merta Suteja
menceramahkan Tri Hita Karana. Unsur-unsur Tri Hita Karana yang diceramahkan pada
saat itu adalah Urip, Bhuana, dan Manusa. Istilah ini dalam beberapa waktu menjadi isti-
lah Widhi, Bhuana, dan Manusa. Landasan filosofi yang dipergunakan untuk menjelaskan
Tri Hita Karana pada saat itu adalah Bhagawad Gita III.10 , dalam sloka dijelaskan bahwa
ada tiga unsur yang dinyatakan saling beryajna. Tiga unsur tersebut adalah Prajapati se-
butan Tuhan sebagai Rajanya mahluk hidup di bumi ini, Praja sebagai unsur manusianya
dan Kamadhuk adalah symbol alam semesta yang disimbolkan sebagai sapi betina yang
menghasilkan susu yang tiada habis habisnya (Darmawan, 2020). Dilanjutkan pada tahun
1969 Bapak Gst Ketut Kaler mengadakan seminar tentang Tri Hita Karana di Universitas
Udayana Fakultas Sastra. Dirumuskan bahwa Tri Hita Karana adalah Parhyangan adalah
tempat pemujaan Hindu sebagai media bagi umat Hindu untuk menghubungkan diri
dengan Tuhan, Pawongan adalah media untuk membangun hubungan yang harmonis
dengan sesama manusia, Palemahan adalah media untuk membangun hubungan yang
penuh kasih manusia kepada alam lingkungannya. Seiring dengan perkembangannya
pada tahun 1986 Parisada Hindu Dharma Indonesia mengadakan seminar kesatuan tafsir

37
Śruti: Jurnal Agama Hindu || Volume 1, No 1. 2020
terhadap aspek-aspek Agama Hindu dan yang menjadi pokok bahasan adalah Tri Hita
Karana. Dalam seminar tersebut makalah utama dibawakan oleh Drs. I Nengah Sudhar-
ma (Dosen IHD) dan Drs I Ketut Wiyana (Dosen IHD). Saat itu dasar filosofi Tri Hita Karana
tetap berdasarkan Bhagawad Gita III.10 yaitu unsur Tri Hita Karana adalah Prajapati, Praja
dan Kamadhuk. Sedangkan Parhyangan, Pawongan dan Palemahan sebagai wadah im-
plementasi filosofi dari Tri Hita Karana
Dalam menguraikan tentang konsepsi Tri Hita Karana tersebut melalui pendekat-
an filsafat yaitu aspek ontologi, aspek epistemologi dan aspek aksiologi.
1. Aspek Ontologi Tri Hita Karana
Secara harfiah Tri Hita Karana berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu Tri artinya tiga,
Hita artinya baik, senang, bahagia, Karana artinya sebab, maka Tri Hita Karana berarti
tiga hal yang menyebabkan manusia menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan itu timbul
karena adanya hubungan yang selaras antara manusia dengan Tuhan sebagai pencip-
ta alam semesta, manusia dengan sesama manusia dan antara manusia dengan alam
lingkungannya. Keselarasan ini sesuai dengan konsep tujuan agama Hindu yang hakiki
yaitu moksartham jagadhita ya ca iti dharma artinya tujuan agama Hindu adalah untuk
mencapai kebahagiaan dan keseimbangan hidup lahir dan bathin (Gunawijaya, 2020). Di
Bali unsur-unsur yang demikian itu sudah mengakar dan menjadi kepribadian kehidupan
masyarakat. Di samping itu unsur cipta, rasa dan karsa juga memegang peranan penting
sebagai inti dari nilai tradisi yang telah berjalan.
Ketiga unsur dari konsepsi Tri Hita Karana adalah (1) unsur parhyangan merupakan
tempat suci pemujaan bagi umat Hindu untuk mengadakan hubungan yang selaras den-
gan Tuhan sebagai pencipta alam beserta isinya, (2) unsur pawongan merupakan unsur
yang berkaitan dengan segala hal yang berhubungan dengan masalah manusia dalam
kemanusiaannya, (3) unsur palemahan yaitu tanah tempat tinggal atau alam lingkungan.
Konsepsi Tri Hita Karana merupakan suatu konsep yang universal menyangkut
kehidupan bhuwana agung (makrokosmos) dan bhuwana alit (mikrokosmos). Dalam
bhuwana agung ketiga unsur ini dapat diuraikan yaitu unsur parhyangan adalah Tuhan
sebagai pencipta alam beserta isinya, unsur pawongan adalah manusia serta unsur pale-
mahan adalah alam ini. Ketiganya juga dipakai sebagai maket atau pola oleh masyarakat
Bali dalam pembuatan pemukiman menjadi (1) parhyangan berupa pura, merajan se-
bagai unsur pencerminan Ketuhanan yang terletak pada utama mandala, (2) pawongan
berupa keorganisasian masyarakat adat sebagai perwujudan kemanusiaan yang dile-
takkan pada madya mandala, (3) palemahan berupa perwujudan unsur alam pada nista
mandala. Pada sebuah bangunan rumah dalam masyarakat Hindu Bali terdiri dari unsur
pamerajan sebagai perwujudan parhyangan, tegak umah sebagai unsur pawongan serta
teba adalah unsur palemahan. Konsep ini aka n semakin jelas bila penerapannya pada
konsep tri angga dalam tubuh manusia (bhuwana alit atau mikrokosmos) yaitu (1) utama
angga adalah kepala, (2) madya angga adalah badan, (3) nista angga adalah kaki.
2. Aspek Epistemologi Tri Hita Karana
Konsepsi Tri Hita Karana itu adalah bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai Maha
pencipta telah menciptakan manusia beserta alam yang mengandung segala potensi
bagi kehidupan manusia. Demi untuk melestarikan kehidupannya maka manusia melak-
sanakan kerja dan memfungsikan idep-nya untuk mengolah alam dengan penuh rasa
tanggung jawab. Sebab dalam susastra Hindu dijelaskan bahwa “dharmartha kama mok-
sanam sariram sadhanam” artinya tubuh adalah alat untuk mendapatkan dharma ,artha,

38
Śruti: Jurnal Agama Hindu
kama dan moksa. Sesuai kata hati nurani tuntutan hidup, manusia selalu ingin hidup
sejahtera dan bahagia secara lahir dan bathin (Gunawijaya, 2020). Dalam usaha untuk
memenuhi tuntutan hidupnya manusia senantiasa tergantung secara langsung atau tak
langsung pada manusia lain, alam dan mahluk lainnya sesama ciptaan Tuhan. Dalam
Bhagawadgita III.10 dijelaskan :
“Saha-yajñāh prajāh sŗşţva,
purovaca prajāpatih,
anena prasavişyadhvam,
eşa vo’stv işţa kāmadhuk.
Terjemahannya :
Dahulu kala Prajapati menciptakan manusia dengan yajna dan bersabda : dengan
ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini menjadi kamadhuk bagi keingi-
nanmu.
Perkataan prajah berarti manusia dan perkataan prajapati berarti Tuhan atau
Brahman, sedangkan kata Kamadhuk berarti sapi kepunyaan Dewa Indra yaitu seekor
sapi yang ajaib yang dapat memenuhi segala keinginan manusia. Jadi singkatnya bahwa
pada saat Tuhan menciptakan manusia, ia telah diberikan bekal seekor sapi untuk diperas
susunya.
Apabila dikaji lebih mendalam, maka terdapat tiga unsur utama dalam kehidupan
manusia yaitu (1) Prajapati yaitu Brahman sebagai pencipta alam semesta beserta isinya ;
(2) Prajah yaitu manusia ; (3) Kamadhuk sebagai simbol alam semesta (prethiwi) yang ber-
potensi menyediakan segala keinginan hajat hidup manusia. Manusia hendaknya selalu
tekun dan gigih mengolah alam (memeras) yang berlandaskan yajna guna memperoleh
“susu” demi meningkatkan kualitas hidupnya.
Hubungan eksistensi manusia dengan alam sebagai perwujudan nyata Kamad-
huk itu sifatnya sangat identik dengan hubungan bayi dengan ibunya, bahwa pada ibun-
ya telah tersedia susu untuk bahan makanan pokok pertama si bayi yang harus ia isap
sendiri dalam belaian mesra kasih ibunya itu.
Alam pikiran umat Hindu di Bali memandang alam sebagai objek dan subjek ke-
hidupan yang diidentikkan dan dipersonifikasikan seperti manusia. Alam beserta isinya
itu berjiwa dan hidup. Kesadaran itu tumbuh karena manusia dilandasi dengan falsafah
“Tat twam asi” yang artinya “Dikaulah (semua) itu”; Engkaulah awal mula jiwa dan prakerti
(jasmani) semua mahluk. Aku ini adalah mahluk yang berasal dari-Mu. Jiwaku dan jas-
maniku berasal dari-Mu, demikian juga jiwa dan jasmani semua mahluk dan semua cip-
taan-Mu. Karena itu jiwaku dan jasmaniku hakekatnya tunggal dengan jiwa dan jasmani
semua mahluk dan dikau sumberku dan sumber ciptaan semua mahluk. Oleh karena itu
Aku adalah engkau. “Aham Brahmasmi” artinya Aku adalah Brahman.
Berdasarkan konsepsi alam pikiran itu, maka Tri Hita Karana tidak cukup hanya
diyakini sebagai tuntunan hidup untuk mencapai kesempurnaan hidup kerohanian na-
mun juga harus diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan masyarakat karena secara
langsung atau tidak langsung menyangkut harkat dan martabat serta kualitas manusia.

39
Śruti: Jurnal Agama Hindu || Volume 1, No 1. 2020
3. Aspek Aksiologi Tri Hita Karana
Dalam teori relasi, Tri Hita Karana mengandung konsep saling berhubungan yang
mencerminkan adanya interaksi internal dan saling ketergantungan di antara berbagai
bagian atau komponen sistem dan antara sistem dengan lingkungannya. Dalam konsep
Tri Hita Karana sebagai suatu relasi akan terlihat jelas adanya saling berhubungan itu,
dan biasanya dapat dibedakan ke dalam hubungan yang bersifat vertikal dan horizontal.
Secara vertikal konsepsi Tri Hita Karana akan terlihat hubungan yang harmonis antara
manusia dengan Tuhan sebagai pencipta. Sedangkan secara horizontal dapat terlihat
hubungan manusia dengan alam dan sesama manusia (Untara, 2019).
Agama Hindu dalam menginterpretasikan hubungan timbal balik antara manusia
dengan Tuhan dan alam lingkungannya, dituangkan dalam kerangka dasar agama Hindu
yaitu Tattwa, Susila dan Upacara. Tattwa memberikan petunjuk filosofis yang mendalam
mengenai pokok-pokok keyakinan (sraddha) maupun konsepsi Ketuhanan. Ajaran Susi-
la memuat tentang aturan tingkah laku yang baik dan benar yang sesuai dengan dhar-
ma, sedangkan upacara merupakan kerangka dasar yang berhubungan dengan bentuk
persembahan kepada Tuhan melalui yajna yang didasari oleh ketulusikhlasan untuk
membayar rna (hutang manusia).
Implementasi dari konsep Tri Hita Karana telah masuk ke dalam peraturan adat
tradisional (awig-awig) antara lain : (1) hubungan manusia dengan Tuhan disebut sukerta
tata agama ; (2) hubungan manusia dengan manusia disebut sukerta tata pawongan ; (3)
hubungan manusia dengan alam lingkungannya disebut sukerta tata palemahan.
Dalam kitab suci Hindu sangat mudah didapatkan petunjuk bagaimana umat
melakukan hubungan dengan Tuhan melalui jalan Bhakti. Demikian juga cara umat
menciptakan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan melakukan upaya
untuk memelihara dan menjaga alam lingkungan. Ketiga upaya tersebut banyak sekali
diajarkan dalam berbagai pustaka Hindu, baik yang tergolong kitab Sruti maupun kitab
Smerti atau jenis kitab-kitab Sastra Hindu. Ajaran yang mengajarkan umat manusia un-
tuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan
dengan alam lingkungan, maka akan terwujud kehidupan yang bahagia lahir batin. Tiga
Hubungan yang harmonis itulah yang disebut dengan Tri Hita Karana.
2.2 Menuju Harmonisasi dan Kebahagiaan dalam hidup
Tri Hita Karana merupakan filosofi hidup untuk mewujudkan sikap hidup seim-
bang dan konsisten untuk mencapai keharmonisan dan kebahagiaan. Hidup bahagia itu
bukanlah berarti hidup bersenang senang, karena dibalik kesenangan itu ada kedukaan,
(Wiyana,2007).
Di dalam kitab Bhagawad Gita II.15 disebutkan yam hi na vyathayanti ete purusam pu-
rusarsabha, sama-dukkha-sukham dhiram so mrtatvaya kalpate, maksudnya orang yang
teguh pikirannya adalah orang yang dapat merasakan sama dan seimbang antara suka
dan duka, Orang yang seperti itulah yang patut mendapatkan kehidupan yang kekal aba-
di, (Mantra, 1967).
Mencari kepuasan dan mengharapkan hidup sukses adalah merupakan realita
dari dinamika kehidupan manusia. Mencari kepuasan dan merasakan keberhasilan dalam
hidup ini mungkin yang paling banyak menyita berbagai potensi yang dimiliki manusia
di bumi ini. Hiruk pikuk kehidupan manusia mencari kepuasan dan keberhasilan patut
dijadikan renungan mendalam sebagai upaya mencari kebahagiaan menurut konsep Tri

40
Śruti: Jurnal Agama Hindu
Hita Karana. Kalau manusia salah melangkah dalam mencari kepuasan dan keberhasilan,
dapat menimbulkan hal yang sebaliknya. Sesuai dengan wacana Sri Krisna dalam Sloka
Bhagawad Gita tersebut diatas, kebahagiaan itu justru dicapai dengan sikap teguh, sama
dan seimbang dalam menerima suka dan duka dalam hidup ini.
Terdapat syair suci dalam Sastra Sanskrta “sukhamduhkham jayate” artinya
menanglah menghadapi suka dan duka. Banyak orang gagal dalam hidupnya karena
sukses. Hal ini mengandung makna bahwa karena tidak bisa memelihara keseimban-
gan diri dalam menerima keberhasilan itu akhirnya orang tersebut lupa diri. Lupa diri
artinya setiap melangkah dalam hidupnya ini selalu tidak berdasarkan pertimbangan
dengan kesadaran akal buddhi, karena tidak sadar sehingga lupa diri dari mana mereka
mendapatka dukungan sampai berhasil dalam suatu tahap kehidupan, (Wiyana,2007).
Karenanya untuk mencari kepuasan dan keberhasilan dalam hidup ini perlu dilakukan
dengan wawasan yang benar, baik dan tepat. Wawasan tersebut akan tumbuh dalam
diri manusa apabila unsur-unsur Tri Hita Karana sudah terserap kedalam diri manusia se-
hingga menjadi bagian yang integral, dan menyebabkan hidup ini selalu “tusta”. Untuk
mencari kepuasa hidup yang disebut tusta mencapai hita ada dinyatakan dalam kitab
Wrhaspati Tattwa 32. Didalam Wrhaspati Tattwa kepuasa disebut tusti. Kepuasan itu
ada dua jenis kepuasan hidup duniawi disebut Wahya Tusti, sedangkan kepuasan hidup
rokhani disebut Adhyatmika Tusti. Dua kepuasa itu dalam kitab Wrhaspati Tattwa disebut
dengan Asta Tusti ataudelapan kepuasan,
Delapan kepuasan tersebut adalah pertama dari Wahya Tusti yaitu (1) Arjana art-
inya penghasilan atau rejeki , sepanjang manusia sudah bekerja secara maksimal dan
normative berapapun hasilnya hendaknya puas dengan hasil tersebut dalam Canakya Ni-
tisastra dinyatakan puaslah pada tiga hal yaitu rejeki yang mampu kita hasilkan, makanan
yang kita hidangkan serta pasangan hidup atau keluarga yang kita miliki. Tetapi jangan-
lah pernah puas pada tiga hal juga yaitu berbakti kepada Tuhan, berdana punia, dan
belajar mencari ilmu, (Ditjen Bimas Hindu dan Budha,1995). (2) Raksana , raksana adalah
menjaga dan mengamankan penggunaan rejeki atau arjana itu agar penggunaannya
tepat tidak menyimpang dari tujuan kita mencar rejeki itu. Dalam Sarasamuccaya 262
dinyatakan bahwa Ikang sabhaga sadhana rikasiddhaning dharma, ikang kaping rwan-
ing bhaga sadhana ri kasiddhaning kama ika, ikang kaping tiga sadhana ri kasiddhaning
artha ika wrddhyakene muwah. Yang artinya sebagian rejeki itu sebagai sarana untuk
mensukseskan Dharma, yang kedua sebagian untuk mensukseskan tujuan mengenda-
likan Kama dan yang ketiga sebagai sarana untuk mensukseskan mencapai Artha. Kem-
bangkanlah hal itu, gunakanlah rejeki atau arjana yng berhasil diperoleh dengan berpe-
doman pada Dharma, Kama dan Artha, (Kadjeng, 1991: 2015). (3) Sangga maksudnya
adanya keharmonisan yang dirasakan dalam hidup ini. Salah satu kebutuhan manusia
sebagai mahluk sosial adalah kebutuhan sosiologis. Artinya manusia sebagai mahluk
sosial membutuhkan kasih saying lingkungan. Kasih sayang yang sudah dimiliki puas-
kanlah hal itu betapapun kekurangannya. Hidup didunia yang berada dalam hukum Rwa
Bhineda artinya semua ciptaan Tuhan tidak ada yang sempurna tentu ada sisi baik dan
buruknya. Kalau ingin hidup sama sekali tidak ada yang tidak senang dengan diri manu-
sia hal itu sudah tergolong loba, (Wiyana,20017). (4) Himsa artinya mencari makan
dengan tidak menyakiti pihak lain, makanan yang dikonsumsi karena menyiksa pihak lain
akan menimbulkan vibrasi buruk pada jiwa. Carilah makanan dengan jalan Dharma. (5)
Ksaya adalah merasa puas dalam hidup jika dapat mengatasi persoalan yang muncul da-
lam hidup ini dengan cara-cara yang baik dan benar dan tidak terlalu menguras tenaga,
pikiran, perasaan, harta dan waktu.

41
Śruti: Jurnal Agama Hindu || Volume 1, No 1. 2020
Jenis kepuasan yang kedua adalah Adhyatmika Tusti ada tiga baian yaitu (1) Bha-
gya dalam Wrhspati Tattwa dinyatakan Bhagya adalah prilaku buddhi yang selalu meng-
harapkan kesenangan, kendati tidak menemukan kesenangan, katanya agama Hindu
barangkali tidak ada perbuatan baikku dahulu, sehingga tidak memperoleh kesenangan
sekarang. Sebab itu aku sekarang mengusahakan perbuatan baik, agar tidak begini pada
penjelmaan berikutnya. Hal itu tusti juga namanya, (Rai Mirsha, 1994). Berbuat baik dan
benar itu tetap dilakukan meskipun duka yang diterima, harus tetap puas itulah yang
disebut bhagya. (2) Kala adalah kesadaran rokhani bahwa manusia berada dalam batasan
ruang dan juga waktu. Setiap langkah yang dilakukan seyogyanga memperhitungkan
waktu dengan secermat mungkin. Dalam kaitannya dengan Tri Hita Karana ini hubungan
harmonis dengan lingkungan juga berarti harmonis dengan waktu. Swami Satya Naraya-
na menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh disia siakan yaitu uang, waktu,
tenaga dan makanan, (Wiyana,2007). (3) Atma adalah mencapai kepuasan Atma. Dalam
kitab Manawa Dharmsastra II.6 dinyatakan ada enam pedoman untuk membumikan
Veda yaitu Sruti, Smrti, Sila, Acara dan Atmanastuti. Dari Veda Sruti diterapkan kedalam
Veda Smrti terus kedalam Sila yang merupakan pedoman tingkah laku yang Subha Kar-
ma, diterapkan ke dalam tradisi sosial beragama Hindu yang disebut Acara (Gunawijaya,
2020). Acara adalah pengamalan apa yang diajarkan kitab suci, dengan tujuan kepuasan
Atman. Kepuasan Atman adalah kepuasan yang tidak berdasarkan pemenuhan tuntutan
indriya. Atmanastuti itu tujuan tertinggi dari pada hidup didunia ini yang sudah berada
diatas suka dan duka. Selain untuk mencapai kepuasan diri , dituntun pula bagaimana
cara umat hindu di dalam mencapai hidup suskses, hal ini termuat di dalam kitab Wrspati
Tattwa 33.
Ada 2 tahap untuk mencapai hidup sukses yang pertama Wahya Siddhi yang mer-
upakan hidup sukses menurut ukuran duniawi terdiri dari Dhyayana berarti orang diang-
gap sukses apabila didalam dirinya ada upaya untuk terus belajar, Tarka Jnana yaitu suatu
kemampuan untuk mewujudkan ilmu yang didapat dalam kehidupan empiris, sehing-
ga secara nyata ilmu itu dapat berdaya guna untuk meningkatkan harkat dan martabat,
Dana artinya memberikan dengan ikhlas baik berupa materi maupun non materi. Tahap
kedua adalah Adhyatika Siddhi artinya sukses menurut ukuran rokhani , ada tiga uku-
ran yaitu Adibautika Duhka, Adhyatmika Duhka , Adi Dewika Duhka. Barang siapa yang
mampu mengatasi tiga sumber duka ini dialah yang dapat digolongkan hidup sukses
secara rokhani. Adibautika Duhka adalah duka yang disebabkan oleh pukulan dari luar
diri, misalnya fitnah, dilecehkan, dihina dan disingkirkan yang kesemuanya itu merupa-
kan pukulan batin. Diharapkan agar umat Hindu dapat mendudukkan antara dipuji dan
dicaci secara seimbang, sehingga dapat dikatakan sukses hidupnya secara rokhani di
dunia ini. Adhyatmika duhka merupakan penderitaan yang disebabkan oleh keadaan
diri sendiri. Saat derita yang dating ari dalam diri sendiri itu muncul kesadaran rokha-
ni dikuatkan sehingga derita yang dirasakan tidak begitu dirasakan menimbulkan duka.
Adi Dewika Duhka adalah derita yang disebabkan oleh karma buruk pada penjelmaan di
masa lampau. Banyak orang dalam kehidupan saat ini demikian banyak berbuat Dharma.
Keadaan dirinyapun demikian sempurna lahir bathin, namun mereka menerima nasib
buruk. Derita yang demikian ini sangat mungkin disebabkan karena Adi Dewika Duhka.
Untuk menyeimbangkannya maka umat Hindu diharapkan untuk tidak merasa mender-
ita karena Adi Dewika Duhka agar merasakan suskses dalam hidupnya. Orang yang tidak
tercekam deritanya dalam menghadapi tiga sumber duka itu dapat dikategorikan sudah
mencapai Adhyatmika Siddhi atau hidup sukses secara rohani. Hidup sukses adalah salah
satu ciri hidup bahagia atau Hita Purusa yang menjadi Tujuan utama Tri Hita Karana.
Dalam buku Hidup Sehat dan Bugar oleh Harvey seorang guru besar ilmu nutri-

42
Śruti: Jurnal Agama Hindu
si di Kalifornia ada menyatakan empat ciri hidup sukses (Wiyana,2007) yaitu: (1) Bisa ket-
awa, dalam hal ini ketawa yang wajar dan sehat, (2) Ada harapan, (3) Ada cinta, dalam hal
ini ada yang mencintai dan dicintai, (4) Ada Agama, artinya semua proses itu tidak akan
berkualitas apabila tidak didasarkan keyakinan pada Tuhan sebagai sesuatu yang Ma-
haesa. Ciri utama kehidupan beragama adalah kepercayaan dan keyakinan pada Tuhan.
Ketawa atau kegembiraan, harapan dan cinta, tidak ada tuahnya kalua tidak didasarkan
pada kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan. Salah satu aspek Tuhan adalah sosok
kasih sayang tanpa batas. Sehingga kunci hidup sukses adalah “love”atau Prema Vahini
sebagaimana disabdakan oleh Swami Satya Narayana, Bangkitlah cinta kasih dalam diri
sebagai perwujudan Atman. Atman adalah percikan atau bagian dari Brahman. Brahman
Atman Aikyam artinya Atman itu tiada lain adalah Brahman. Demikian kitab Upanisad
menyatakan. Proses cinta kasih yang murni adalah Santi atau hidup damai, ciri hidup da-
mai adalah Ahimsa atau tidak ada kekerasan. Kesemuanya itu dapat dicapai apabila ada
tiga keharmonisan yang sinergi, mantap dan berkesinambungan sebagaimana diajarkan
oleh ajaran Tri Hita Karana.
SIMPULAN
Tri Hita Karana berasal dari kata “tri, hita dan karana”. Tri artinya tiga, Hita artinya
bahagia, dan Karana artinya Penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana sebagai istilah
berarti Tiga Penyebab Kebahagiaan. Landasan filosofi yang dipergunakan untuk men-
jelaskan Tri Hita Karana pada saat itu adalah Bhagawad Gita III.10 , dalam sloka dijelaskan
bahwa ada tiga unsur yang dinyatakan saling beryajna. Unsur Tri Hita Karana adalah Pra-
japati, Praja dan Kamadhuk. Sedangkan Parhyangan, Pawongan dan Palemahan sebagai
wadah implementasi filosofi dari Tri Hita Karana. Sikap hidup yang dibentuk oleh terpa-
dunya Tri Hita Karana dalam diri ini menyebabkan hidup itu selalu tusta artinya memper-
oleh kepuasan rohani maupun duniawi. Terdapat dua jenis kepuasan yaitu Wahya Tusti
yang bagiannya Arjana, Raksana, Sangga, Himsa dan Ksaya, dan Adhyatmika Tusti yaitu
Bhagya, Kala, dan Atma. Disebutkan juga cara mencapai kesuksesan secara rohani dan
duniawi yaitu pertama Wahya Siddhi terdiri dari Dhyayana, Tarka Jnana, dan Dana. Kedua
adalah Adhyatmika Siddhi terdiri dari Adibautika Duhka, Adhyatmika Duhka, dan Adi
Dewika Duhka. Dikatakan pula ciri hidup sukses secara rohani dan jasmani adalah bisa
ketawa, ada harapan, ada cinta, dan ada Agama. Sehingga kebahagiaan hidup itu dapat
dicapai jika adanya keharmonisan sinergi yang mantap berlandaskan Tri Hita Karana.

DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, I. P. A., & Krishna, I. B. W. (2020). Konsep Ketuhanan dalam Suara Gamelan
Menurut Lontar Aji Ghurnnita. Genta Hredaya, 3(1).
Gunawijaya, I. W. T. (2020). Konsep Teologi Hindu dalam Geguritan Gunatama (Tattwa,
Susila, dan Acara). Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 2(1).
Gunawijaya, I. W. T., & Srilaksmi, N. K. T. (2020). Hambatan Pembelajaran Agama Hindu
Terhadap Siswa Tuna Netra di Panti Mahatmia. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(3),
510-520.
Gunawijaya, I. W. T. (2019). Kelepasan dalam Pandangan Siwa Tattwa Purana. Jñānasid-
dhânta: Jurnal Teologi Hindu, 1(1).

Kajeng, I Nyoman dkk., 1991. Saramuscaya Alih Bahasa. Jakarta Yayasan Dharma Sarati

Mantra, Ida Bagus, 1967. Bhagawad Ghita, Alih Bahasa. PHDIP

43
Śruti: Jurnal Agama Hindu || Volume 1, No 1. 2020
____________, 2004. Menuju Bali Jagadhita: Tri Hita Karana Sehari-Hari dalam Bali: Menu-
ju Jagadhita Aneka Perspektif.

Mirsa, I Gusti Ngurah Rai, Ketua Tim Penterjemah, 1994 Wrhspati Tattwa, Kajian Teks dan
terjemahan, PT Upada Sastra
Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Ajaran Agama Hindu Dalam Geguritan Kunjarakarna. Genta
Hredaya, 3(1).
Untara, I. M. G. S. (2019). Kosmologi Hindu dalam Bhagavadgītā. Jñānasiddhânta: Jurnal
Teologi Hindu, 1(1).
Untara, I. M. G. S., & Gunawijaya, I. W. T. (2020). Estetika dan Religi Penggunaan Rerajahan
pada Masyarakat Bali. Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 2(1), 41-50.

Wiana,I Ketut,2007, Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu, Surabaya:: Paramita.

44

Anda mungkin juga menyukai