Anda di halaman 1dari 14

Kontradiktif Masyarakat Bali Pada Tri Hita Karana

Sebagai Filosofi Hidup dan Nilai Hidup


Dosen Pengampu : Drs. I Ketut Suwena, M.Hum

Nama Anggota Kelompok :

Sebastian James Tandiari (2211521037)

Dita Maulidya Sari (2211521040)

Mutiara Nabila (2211521043)

Santo Corleone Sidauruk (2211521058)

S1 Industri Perjalanan
Wisata Fakultas Pariwisata
Universitas Udayana
2023
KATA PENGANTAR

Om Swastiastu, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Shalom, Namo


Buddhaya, Salam Sejahtera bagi kita semua.

Puji syukur kehadirat Tuhan atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Kontradiktif Masyarakat Bali pada Tri Hita
Karana Sebagai Filosofi Hidup dan Nilai Hidup" dengan tepat waktu.

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Drs. I Ketut Suwena, M.Hum selaku dosen
mata kuliah “Tri Hita Karana” yang telah membantu kami baik secara moral maupun materi.
Terimakasih juga saya ucapkan kepada teman – teman seperjuangan yang telah bekerja sama
sehingga kita bisa menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang kebudayaan di nusantara.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna,
dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan
agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat
untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan di bidang pariwisata.

Jimbaran, 27 April 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................3
Latar Belakang......................................................................................................................................4
Rumusan Masalah.................................................................................................................................5
Tujuan....................................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................................6
2.1 Pengertian dan Bagian Tri Hita Karana.................................................................................6
2.1.1 Trikotomi: Cikal Bakal THK dalam Era Prasejarah (Praaksara)........................................6
2.1.2 Pengaruh Agama (Hindu) pada Perumusan THK.................................................................8
2.2 Contoh Penerapan Tri Hita Karana oleh Masyarakat Bali...................................................9
2.3 Dikotomi Masyarakat Bali........................................................................................................9
BAB III.................................................................................................................................................11
KESIMPULAN....................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Filosofi hidup masyarakat bali seperti, “Tri Kaya Parisudha“ (Kelurusan berpikir,
berbicara dan bertindak), “Tri Hita Karana“ (menjaga hubungan harmonis manusia dengan
Tuhan, manusia dengan Lingkungan alam, dan manusia dengan manusia), “Desa Kala Patra“
tuntunan untuk selalu fleksibel terhadap tempat, waktu, dan keadaan, “Rwa bhineda“
(perbedaan itu selalu ada), “Tat Twam Asi“ (Aku adalah kamu, kamu adalah Aku) seperti
sudah tertata di sanubari setiap individu orang bali dan sudah mengalir bagai air di sungai
kehidupan bermasyarakat bali, yang mengajarkan bagaimana “bhineka Tunggal Ika”
keanekaragaman, kejujuran, keluwesan dalam beradaptasi, serta saling hormat menghormati
perbedaan, bisa menciptakan kenyamanan tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk
orang lain.

Tri Hita Karana merupakan konsep atau ajaran dalam agama Hindu yang selalu
menitikberatkan bagaimana antara sesama bisa hidup berdampingan, saling bertegur sapa
satu dengan yang lain, tidak ada riak-riak kebencian, penuh toleransi dan penuh rasa damai.
Tri Hita Karana bisa diartikan secara leksikal yang berarti tiga penyebab kesejahteraan.
Istilah ini terambil dari kata tri yang artinya tiga, hita yang artinya keseimbangan atau
sejahtera, dan karana yang artinya penyebab. Ketiga hal tersebut adalah Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan. unsur- unsur Tri Hita Karana itu meliputi : Sanghyang Jagat
Karana (Tuhan Yang Maha Esa), buana (alam), dan manusia. Unsur- unsur Tri Hita Karana
itu terdapat dalam kitab suci Bhagavad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut: “Sahayajnah
prajah sristva pura vaca prajapatih anena prasavisya dhvan esa vo'stivistah kamadhuk.” (Pada
jaman dahulu, Prajapati menciptakan manusia dengan yajna dan bersabda “dengan ini engkau
akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu). Penerapan Tri Hita
Karana dalam kehidupan umat Hindu selama ini adalah sebagai berikut: hubungan antara
manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya, hubungan manusia
dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya, sedangkan hubungan
antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.
Rumusan Masalah

a. Apa itu Tri Hita Karana dan bagian bagian nya

b. Apa saja contoh penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan keseharian masyarakat

c. Pengertian Pariwisata Berkelanjutan dan Prinsip Pariwisata Berkelanjutan

d. Apa Hubungan antara Tri Hita Karana dengan Pariwisata Berkelanjutan

Tujuan

a. Mengetahui pengertian dan bagian bagian dari Tri Hita Karana

b. Mengetahui penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan keseharian masyarakat

c. Mengetahui Pengertian Pariwisata berkelanjutan dan Prinsip Pariwisata berkelanjutan

d. Mengetahui Hubungan antara Tri Hita Karana dengan Pariwisata Berkelanjutan


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Bagian Tri Hita Karana

Konsep Tri Hita Karana pertamakali muncul pada 11 November 1966 saat Konferensi
Daerah I Badan Perjuangan Umat Hindu yang berlokasi di Perguruan Dwijendra Denpasar.
Terselenggaranya konferensi tersebut berlandaskan kesadaran umat hindu akan dharmanya
untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan
pancasila. Konsep Tri Hita Karana bersifat universal dan merupakan landasan hidup agar
terciptanya kesejahteraan lahir batin, sehingga kini konsep Tri Hita Karana telah berkembang
pesat di masyarakat.

Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa sansekerta yaitu "Tri" artinya tiga, "Hita"
artinya bahagia atau sejahtera, dan "Karana" yang artinya penyebab. Konsep Tri Hita Karana
dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

A. Parahyangan
Parahyangan merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Apabila manusia
memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan, maka dalam kehidupan seharinya akan
merasakan ketenangan dan kebahagiaan lahir batin. Mendekatkan diri dengan Tuhan dan selalu
menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya, mampu menciptakan manusia yang berakhlak
dan bermoral, sehingga dapat menjalankan kehidupan yang nyaman dan sejahtera.

B. Pawongan
Pawongan adalah hubungan antara manusia dengan manusia. Manusia pada dasarnya
adalah mahkluk sosial yang memerlukan bantuan orang lain untuk keberlangsungan hidupnya.
Konsep pawongan mengajarkan untuk membangun hubungan baik antar sesama manusia,
saling menghargai dan mengasihi. Hal ini juga berkaitan dengan istilah "Tat Twam Asi" yang
memiliki arti aku adalah kamu dan kamu adalah aku, di sini kita sebagai manusia harus
memiliki rasa simpati dan empati terhadap orang sekitar dengan cara saling tolong menolong
untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan bahagia.

C. Palemahan
Palemahan adalah hubungan antara manusia dengan alam atau lingkungan sekitarnya.
Sebagai umat manusia yang tinggal dan hidup di alam semesta, kita harus membangun
hubungan yang baik dengan lingkungan. Manusia menikmati sumber daya alam untuk
keberlangsungan hidupnya, maka manusia memiliki kewajiban untuk merawat dan menjaga
lingkungan alam sekitar. Seperti menjaga kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal dan
menjaga kelestarian sumber daya alam demi keberlangsungan hidup dan terciptanya hubungan
yang baik antara manusia dan alam.

Dengan begitu, konsep Tri Hita Karana merupakan landasan hidup dengan cara
menjaga hubungan baik dengan Tuhan, sesama manusia dan juga alam. Tujuan dari Tri Hita
Karana adalah menciptakan kehidupan yang harmonis. Konsep Tri Hita Karana juga sangat
berpengaruh ke berbagai aspek, termasuk pariwisata di Bali yang berlandaskan Tri Hita Kara
2.1.1 Pengaruh Agama (Hindu) pada Perumusan THK

- Masuknya Hindu ke Bali (Nusantara), menyebabkan terjadinya


Hinduisasi terhadap Trikotomi masyarakat prasejarah, khususnya pada
hubungan harmonis dengan roh leluhur ditambahkan dengan Brahman
(Tuhan) dan sinar sucinya (para Dewa).

- Konsep Ketuhanan agama Hindu yang bersifat pantheisme, dalam


artian Tuhan mampu berimanensi dalam tubuh manusia (atma) dan jagat raya,
menyebabkan semua manusia pada prinsipnya adalah bersaudara.

- Istilah THK dicetuskan pertama kali oleh Dr I Wayan Merta Suteja


pada Konferensi Daerah I Badan Pekerja Umat Hindu Bali di Perguruan
Dwijendra Denpasar, tanggal 11 November 1966. Konferensi itu dilaksanakan
berdasarkan kesadaran umat Hindu akan dharma-nya untuk berpartisipasi
dalam pembangunan bangsa guna mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan
makmur berdasarkan Pancasila.

- Rumusan THK dilegitimasi dengan Pustaka Suci Bhagawadgita III. 10,


yang menyatakan bahwa manusia (praja) diciptakan oleh Tuhan (Prajapati),
dan agar bisa tumbuh dan berkembang maka disediakan lingkungan alam
(kamadhuk = sapi perahan) yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya.

- Komponen THK mencakup Parhyangan (Prajapati/Tuhan), Pawongan


(praja/manusia), dan Palemahan (kamadhuk, lembu, bumi, lingkungan alam).
2.2 Contoh Penerapan Tri Hita Karana oleh Masyarakat Bali

Masyarakat Bali terkenal sangat religius. Tri Hita Karana adalah filsafat hidup yang
begitu mendalam dalam kehidupan masyarakat Bali yang cenderung agraris. Suku Bali hidup
dalam kelompok-kelompok yang disebut "sekaha". Tri Hita Karana bermakna 3 hal, yaitu :
hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia
dengan manusia.

Masyarakat Bali hidup harmonis dalam kelompok-kelompok "sekaha". Hidup


bergotong-royong membangun saluran irigasi "subak" merupakan ciri khas orang Bali.
Demikian juga bersama-sama mendirikan dan menjaga tempat ibadah "pura" yang
memperkokoh sendi-sendi keagamaan dari dulu menjadi benteng tradisi yang kuat. Jadi
masyarakat Bali hidup berdampingan secara harmonis.

Tumbuh-tumbuhan dipelihara oleh orang Bali dan diperingati dalam ritus keagamaan
"tumpek". Demikian juga binatang ternak yang membantu untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat tradisional pada hari raya "tumpek" diupacarai bersamaan dengan alat-alat bertani
di sawah seperti bajak, cangkul dan sabit. Kehidupan religius dan harmonis masyarakat Bali
dengan alam sekitar adalah wujud nyata filsafat hidup yang dihayati sepanjang perjalanan
hidup di dunia ini.

Orang Bali membangun tempat ibadah "pura" di tiap-tiap desa. Di samping itu
dibangun juga tempat ibadah keluarga yang disebut "sanggah". Manusia Bali menjaga
hubungan yang harmonis dengan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur semua
mahluk yang ada di jagat raya ini. Setiap hari raya keagamaan (Hindu) orang Bali melakukan
pemujaan kepada Tuhan di " pura" atau menghaturkan sesajen dalam sebuah ritual
"piodalan". Tri Hita Karana adalah filsafat hidup multidimensi masyarakat Bali yang masih
relevan sampai zaman sekarang yang sudah modern.

2.3 Dikotomi Masyarakat Bali

Penduduk Indonesia yang banyak dan beragam merupakan sebuah gambaran


semboyan Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.
Tetapi keberagaman tersebut seringkali membawa benih-benih konflik. Ketakutan terhadap
masuknya budaya yang berbeda telah muncul berabad-abad yang lalu. Ketakutan akan
penjajahan budaya yang dilakukan oleh pendatang telah menimbulkan kebencian penduduk
asli terhadap pendatang. Setelah terjadinya ledakan bom di Kuta dan Jimbaran pada 1
Oktober 2005, hubungan antara penduduk asli Bali dengan penduduk pendatang domestik di
Bali semakin merenggang. Pelaku peledakan yang merupakan penduduk pendatang domestik
telah memberikan gambaran buruk terhadap seluruh penduduk pendatang domestik.
Beredarnya pesan singkat yang berisi ancaman bagi pendatang di Bali pasca ledakan bom
Bali 2005 telah memunculkan benih-benih konflik di antara penduduk asli Bali dengan
pendatang. Munculnya benih-benih konflik antara penduduk asli Bali dengan penduduk
pendatang telah memisahkan penduduk Bali menjadi dua kelompok, yaitu penduduk asli Bali
dengan penduduk pendatang. Pengelompokan antara penduduk lokal dan pendatang ini
semakin memperkuat konflik antarsuku yang masih belum terlihat namun sudah dirasakan.
Dalam keseharian yang tampak harmonis terdapat sebuah potensi konflik antarsuku yang
harus segera diantisipasi.

Dikotomi masyarakat asli Bali dengan penduduk pendatang berupa bentuk sebutan
untuk penduduk asli Bali dan penduduk pendatang yaitu, nak Bali dan nak Jawa. Istilah ini
hanya sebagai penanda yang tidak berbobot, tetapi apabila bergeser pada sikap etnosentris
nak Bali lebih baik dari nak Jawa karena nilai-nilai lokal dan budayanya lebih baik. Penilaian
negatif merupakan salah satu dari penyebab munculnya tindak diskriminasi. Oleh karena itu,
penilaian negatif terhadap penduduk pendatang akan membawa dampak kepada penduduk
Bali secara keseluruhan. Potensi tindak diskriminasi dan konflik antarsuku akan semakin
meningkat di Bali.
BAB III

KESIMPULAN

Tri Hita Karana (THK) berasal dari kata Tri (berarti tiga), Hita (berarti sejahtera,
bahagia, dan damai), serta Karana (berarti penyebab). Dimana THK ini dipandang sebagai
hubungan harmonis yang melibatkan ketiga domain parahyangan, pawongan, dan palemahan.
Mengingat nilai-nilainya yang bersifat universal, istilah THK berkembang luas dan menjadi
landasan filosofi berbagai tatanan kehidupan.

Berpijak pada kesadaran akan keberadaan Tuhan, manusia selalu berupaya untuk
menjaga hubungan harmonis dengan-Nya melalui berbagai jalan yang diimaninya dalam
bentuk aktivitas keagamaan yang bersifat eksoterik. Atas dasar itu, beragama tidak hanya
memerlukan ketaatan, tetapi juga kebijaksanaan dalam memandang perbedaan yang
ditawarkan oleh setiap agama untuk meraih kebahagiaan.

Hubungan harmonis antar sesama manusia juga penting dalam mewujudkan suasana
yang damai, sejahtera, dan bahagia. Seperti contoh prinsip Tat Twam Asi dijadikan asas
kekeluargaan atau asas kebersamaan yang di dalamnya mencakup suka dan duka dirasakan
bersama. Untuk mewujudkan kondisi itu, sangat perlu dikembangkan sikap saling asih, saling
asah, dan saling asuh. Artinya, saling menyayangi, saling memberi tahu jika ada kekeliruan,
dan saling membantu antar sesama.

Agar bisa hidup ramah dan harmonis dengan lingkungan alam, manusia harus
memahami etika lingkungan. Etika lingkungan hidup tidak hanya berbicara mengenai
perilaku manusia terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan
alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan
antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan (Keraf,
2002). Itu sebabnya mengapa lingkungan harus dimanfaatkan dengan baik oleh manusia agar
tetap terjaga keseimbangannya.

Dari semua hal yang terdapat pada Tri Hita Karana, perlu dibenahi dan diperbaiki lagi
dalam penerapannya sehari-hari. Kontradiktif atau hal yang kurang sesuai dengan prinsip
THK harus segera diperbaiki, seperti konflik yang terjadi di kehidupan sehari-hari masih saja
berlanjut. Manusia harus disadarkan oleh aturan-aturan baik yang tertulis maupun tidak
tertulis agar kehidupan yang bahagia dapat tercapai. Semua bisa dimulai dari hal kecil
terutama dari diri sendiri, mulai dengan menjalin hubungan yang harmonis kepada Tuhan
seperti berdoa dan beribadah sesuai ajaran masing-masing. Lalu saling menghargai dan
menghormati sesama manusia serta menghindari kebencian antar perbedaan. Dan sebagai
manusia yang memiliki akal dan kesadaran senantiasa tidak merusak lingkungan alam sekitar
dan akan lebih baik lagi jika membuat lingkungan alam tersebut menjadi bermanfaat bagi
banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA

Raymundus I Made Sudhiarsa, Ph.D, Purnawan, Yohanes I Wayan “Tri Hita Karana

Sebagai Filosofi Hidup Bersama Masyarakat Bali (Tinjauan Antropologis-Filosofis)” STFT

Widya Sasana : Malang., 2010

I Wayan Budiwartawan “Tri Hita Karana Filsafat Hidup Masyarakat Bali” NusaBali.com

I Putu Juni Antara, I Dewa Ayu Sugiarica Joni, Ni Nyoman Dewi Pascarani
“Stereotip Penduduk Pendatang di Bali: Analisis Framing terhadap Harian Bali Post”

PENYUSUN, T. (2020). PANDUAN IMPLEMENTASI NILAI-NILAI TRI HITA


KARANA DALAM BERKEHIDUPAN KAMPUS

Anda mungkin juga menyukai