Oleh
Kelompok 2 :
I
Daftar Isi
Cover ....................................................................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................................................. ii
Kata Pengantar............................................................................................................................... iii
Bab 1 ....................................................................................................................................................... 1
1.1 Pengertian Tumpek Wayang ............................................................................................... 2
1.2 Sumber Sastra Yang Memuat Tentang Tumpek Wayang .................................................... 3
1.3Tata Cara Upakara................................................................................................................. 4
1.4Makna Tumpek Wayang ....................................................................................................... 5
Bab 2 ....................................................................................................................................................... 6
2.1 Pengertian Tumpek Wariga ................................................................................................. 7
2.2 Tata Cara Pelaksanaan Tumpek Wariga............................................................................... 8
2.3 Makna Dari Upakara Tumpek Wariga .................................................................................. 9
ii
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa , karena atas Asung
Kerta Wara Nugraha- Nyalah, tugas makalah yang berjudul “Tumpek Wayang Dan Tumpek
Bubuh” selesai tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kami
mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun demi keseempurnaan tugas ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerjasama,sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Semoga hasil makalah ini bermanfaat bagi
semua pihak.
iii
BAB I
Pelaksanaan upacara Tumpek Wayang itu ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam
manifestasinya sebagai Dewa Iswara dengan permohonan berupa keselamatan dan
atau kerahayuan umat. Dalam praktiknya, upacara Tumpek Wayang ini diperuntukkan
bagi semua jenis reringgitan seperti wayang, termasuk juga arca, tetabuhan (gong,
gender,gambang, genta gendongan).
Sedangkan secara batin, melalui perayaan Tumpek Wayang kita akan selalu
disadarkan bahwa hidup ini sebenarnya merupakan panggung wayang dimana
keberadaan kita, peranan yang didapat dan dilakukan dan kemana akhirnya tujuan kita
sudah diatur dan ditentukan oleh Sang Dalang Agung yaitu Hyang Widhi. Karena itu
kita diingatkan untuk senantiasa mendekatkan diri pada Hyang Widhi agar
memperoleh jagadhita dan moksa, kesejahtraan lahir dan kebahagian batin.
ii
1.2 Sumber Sastra yang Memuat Tentang Tumpek Wayang
Dalam lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa
Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku Wayang. Atas dasar isi
lontar tersebut, maka anak yang lahir bertepatan dengan hari ini harus melaksanakan
kegiatan upacara pementasan Wayang Sapuh Leger dengan peralatan yang lengkap.
Umat Hindu Bali percaya dan meyakini bahwa anak yang lahir pada Tumpek Wayang
memiliki sifat-sifat negatif karena hari itu dianggap memiliki nilai cemer (kotor) yang
membawa sial. Anak tersebut dikhawatirkan dirundung malapetaka, akibat dikejar-
kejar Dewa Kala. Dengan upacara mementaskan Wayang Sapuh Leger ini si anak
yang baru lahir tersebut di yakini dapat terhindar dari kejaran Dewa Kala dan juga
dapat memusnahkan sifat-sifat negatif pada anak tersebut. Menurut cerita dalam
Lontar Tatwa Kala, Wayang Sapu Leger menjadi sarana upacara permohonan ke
dewa Kala agar anak yang lahir pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon (sama dengan
hari kelahiran dewa Kala) tidak dimakan dan digantikan dengan banten/sesajen yang
sudah disediakan.
iii
(b) Upakara Ayaban
▪ Banten ayaban senistane tumpeng 5 bungkul
▪ Sesayut tumpeng agung
▪ Buah-buahan satu tamas
▪ Canang pesucian, penyeneng
(c) Kalau memiliki kesenian wayang upakaranya ditambah dengan:
▪ Banten pejati, suci alit asoroh
▪ Rayunan pemijian warnanya brumbun, lengkap dengan rerasmen, meulam
olahan ayam brumbun.
▪ Banten prayascita, bayekawonan
(d) Menjelang pajar, umat Hindu sudah mengambil sesuwuk yang dipasang pada hari
kemarin, serta dikumpulkan menjadi satu, diikat dengan benang tri datu, kemudian
dihaturkan dilebuh, disertai dengan segehan seliwah satu tanding, api dakep atau asep,
kemudian ayabang, perciki dengan tirtha, tetabuhan arah berem, dan semburkan
dengan mesui kesuna jangu.
Kemudian umat Hindu menata upakaranya, dan sang penganteb menyiapkan diri.
Selanjutnya sang penganteb mengucapkan mantra pengastawa antara lain:
▪ Kehadapan Sang Hyang Siwa Raditya
▪ Kehadapan Bhatara Guru
▪ Kehadapan Sang Hyang Maheswara
Untuk pelaksanaan selanjutnya sama dengan pelaksanaan hari tumpek lainnya.
Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam beberapa lontar penunjang, khususnya
Lelampahan Wayang Sapuh Leger disamping juga atas petunjuk dan hasil wawancara
(baca:Nunasang) kehadapan Ida Pandita Mpu Leger tentang pelaksanaan Upacara
Bebayuhan Weton Sapuh Leger, maka dapat disebutkan bahwa untuk upacaranya
sebagi berikut :
1. Ngadegang Sanggar Tuttuan / Tawang (sanggar tawang ).
2. Ring Sor Surya : Caru mancasata.
3. Banten Panebasan san Maweton.
4. Banten Arepan Kelir.
5. Ring Lalujuh Kelir.
6. Banten Sang Dalang Mpu Leger : Bebangkit Asoroh.
ii
7. Genah tirtha Mpu Leger, Sangku Suddhamala.
8. Tebasan Sungsang Sumbel.
9. Tebasan Sapuh Leger.
10. Tebasan Tadah Kala.
11. Tebasan Penolak Bhaya.
12. Tebasan Pangenteg Bayu.
13. Tebasan Pengalang Hati.
14. Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan.
15. Daksina Panebusan Bhaya.
16. Medudus Luwun setra lan luwun pempatan, luwun pasar, gumpang injin,
gumpang ketan, gumpang padi, rambut Ida Pandita lan menyan.
Sedangkan untuk tirtha pemuputnya adalah sebagai berikut :
1. Tirtha Kelebutan.
2. Tirtha Campuan.
3. Tirtha Segara.
4. Tirtha Melanting.
5. Tirtha Pancuran.
6. Tirtha Tukad Teben Sema/Setra.
7. Tirtha Padmasari.
8. Tirtha Merajan soang-soang.
9. Tirtha Pengelukatan Wayang.
10. Tirtha Jagat Nata.
11. Tirtha Pemuput/Sulinggih.
Disamping upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari mereka yang
dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antaranya berupa Suci pejati,
Peras Pengambean tumpeng 7 asoroh, daksina gede sesuai urip kelahiran, sesayut
pengenteg bayu, merta utama, pageh urip dan di Surya munggah Suci pejati, Bungkak
Nyuh Gading lan pengeresik jangkep dan dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan
kelahiran : 1. 2. 3. 4. 5. Wetu Redite : Sesayut Sweka Kusuma. Wetu Soma : Sesayut
Nila Kusuma Jati/Citarengga. Wetu Anggara : Sesayut Jinggawati Kusuma/Caru
Kusuma. Wetu Budha : Sesayut Pita Kusuma Jati/Purna Suka. Wetu Wraspati :
Sesayut Pawal Kusuma Jati/Gandha Kusuma Jati.
iii
1.4 Makna Tumpek Wayang
Makna dari pada Tumpek Wayang, sebagaimana kita ketahui kehidupan di dunia
selalu diliputi oleh dua kekuatan yang disebut Rwa Bhineda, yang sudah barang tentu
ada pada sisi ke hidupan manusia. Dengan bercermin dari tatwa, filsafat agama
mampu membawa kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat.
Dengan bercermin dari tattwa, filsafat agama mampu membawa kehidupan manusia
menjadi lebih bermartabat. Karena dari ajaran atau filsafat agama mampu akan
memberikan pencerahan kepada pikiran yang nantinya mampu pula menciptakan
moralitas seseorang menjadi lebih baik dari segi aktifitas agama sehari-hari kita
mendapatkan air cuci ke hidupan melalui tirta pengelukatan yang berfungsi untuk
meruak atau melebur dosa di dalam tubuh manusia, maka dari itu seorang Dalanglah
yang mendapat anugerah untuk melukat diri manusia baik alam pikirannya maupun
raganya.
Tumpek Wayang juga bermakna ”hari kesenian” karena hari itu secara ritual
diupacarai (kelahiran) berbagai jenis kesenian seperti wayang, barong, rangda, topeng,
dan segala jenis gamelan. Aktivitas ritual tersebut sebagai bentuk rasa syukur
terhadap Sang Hyang Taksu sering disimboliskan dengan upacara kesenian wayang
kulit, karena ia mengandung berbagai unsur seni atau teater total. Dalam kesenian ini,
semua eksistensi dan esensi kesenian sudah tercakup.
ii
BAB II
Tumpek wariga atau bubuh merupakan salah satu hari raya umat hindu di bali yang
diperingati 25 hari sebelum hari raya galungan yang bertepatan pada hari saniscara
kliwon wuku wariga dalam kalender caka (kalender di bali). Tumpek wariga
merupakan hari dimana umat hindu di bali menghaturkan sesajen kepada tumbuh-
tumbuhan yang ada di bumi sebagai rasa syukur manusia atas segala kelimpahan
makanan dan banyak fungsi dari tumbuh-tumbuhan yang membantu kehidupan
manusia. Karena itu, Tumpek wariga ini mesti dijadikan tonggak untuk memelihara
kelestarian lingkungan, khususnya tumbuh-tumbuhan. Apalagi, di Bali saat ini hutan-
hutan mulai gundul, bahkah kini telah ditebang untuk pemukiman. Ini tentu akan
sangat mengganggu ekosistem yang ada.
Pada Tumpek wariga ini manusia memberi penghargaan dan kasih sayang terhadap
tumbuh-tumbuhan agar berbuah banyak, berbunga lebat dan berumbi untuk
kepentingan yadnya persembahan kepada Tuhan pada hari raya Galungan, 25 hari
setelah Tumpek Pengatag. Sang Hyang Sangkara merupakan manifestasi Hyang
Widdhi dalam menciptakan tumbuh-tumbuhan, yang dalam pengider-ider berwarna
hijau, dengan arah barat laut. Diantara barat dengan Mahadewa sebagai dewatanya,
berwarna kuning, dan utara dengan Wisnu sebagai dewatanya, berwarna Hitam.
Dalam Ganapatti Tattwa warna Kuning melambangkan tanah, hitam adalah air. Jadi
tumbuhan bisa hidup jika ada pertemuan antara tanah dan air. Demikian pula tanah
iii
dan air akan terjaga jika ada tumbuhan. Karena itu, umat Hindu akan memuja Tuhan
sebagai Dewa Sangkara untuk memohon kekuatan jiwa dan raga dalam
mengembangkan tumbuh-tumbuhan. Pada zaman industri dewasa ini, sungguh tidak
mudah mengembangkan upaya agar tumbuh-tumbuhan dapat berkembang seimbang
sesuai dengan hukum ekologi.
ii
Mantra tersebut adalah mantra sesontengan (makna kiasan) secara turun menurun
diucapkan saat mempersembahkan upakara (banten) Tumpek Wariga.
iii
3 Tumpek wariga harus dijadikan momentum untuk menyadarkan kita akan betapa
pentingnya tanam-tanaman dalam arti luas, sebagai sumber makanan dan sumber
zat asam yang sehat bagi kelangsungan hidup manusia. Terpenting lagi agar
tanaman bisa menghasilkan sumber makanan yang sehat bagi tubuh manusia,
kendalikanlah penggunaan pestisida dan zat kimia lainnya. Kita perlu kembali ke
pertanian organik dalam rangka mengembalikan kesehatan tanah yang pada
akhirnya berpengaruh baik bagi kesehatan manusia.( Budi Utama)
Perayaan Tumpek Bubuh salah satu komponen penting dalam mengajegkan
konsep Tri Hita Karana yaitu :
1 Perahyangan yaitu hubungan manusia dengan tuhan
2 Pawongan yaitu hubungan manusia dengan manusia
3 Palemahan yaitu hubungan manusia dengan lingkungan
ii
memelihara dan melestarikan dirinya. Tetapi jika manusia hanya meminta dan
menyakiti tumbuh-tumbuhan dan tidak pernah menanam, memelihara, melestarikan
serta tidak pernah peduli padanya maka tumbuh-tumbuhan pun bisa mencelakakan
manusia sehingga terjadi bencana seperti : banjir, tanah longsor, gempa, angin ribut
yang mana semuanya akan membuat manusia dan hewan menjadi celaka dan sengsara.
Warisan budaya untuk melestarikan lingkungan seperti contoh setiap ada kayu besar
di Bali kebanyakan diisi saput poleng yang disakralkan oleh umat Hindu untuk
dijadikan tempat pemujaan yang dilestarikan secara rohani dengan jalan setiap hari
menghaturkan sesajen menurut kepercayaan agama Hindu bahwa disana diyakini ada
sesuatu yang bisa membuat kita celaka kalau kita lewat seperti : jin, tonya,
banaspatiraja dan sebagainya agar manusia itu tidak diganggu dalam kehidupannya
sehingga menjadi jagadhita dalam hidupnya. Tetapi jika kita pandang dari segi ilmu
bahwa pohon-pohon yang besar dapat berfungsi menghatur terjadinya sirkulasi air
dimana air laut dipanaskan oleh matahari akan menguap, kemudian dari uap akan
berubah menjadi embun, embun didaerah lembab akan menjadi hujan, air hujan
ditahan oleh akar-akar pohon kemudian dialirkan perlahan-lahan melalui sungai
menuju sumbernya (muaranya) lagi yaitu laut.
Maka melalui hari raya Tumpek Wariga ini manusia pada umumnya dan umat Hindu
pada khususnya mulai belajar untuk bisa menanam, memelihara tumbuh-tumbuhan
melalui reboisasi atau penghijauan kembali. Kita sebagai manusia yang disebut insan
Tuhan yang paling sempurna yang memiliki pikiran, janganlah kita selalu saling
memfitnah, menghina dan saling menyalahkan orang lain, dan kita sendiri harus sadar
bahwa yang lewat itu adalah dipakai guru yang paling berharga untuk belajar menuju
yang lebih baik dan sejahtera. Tumpek bubuh dipakai objek adalah tumbuh-tumbuhan
adalah pedoman bagi manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya agar
tumbuh dalam pikirannya untuk melestarikan lingkungannya dengan jalan saling
menghormati, saling menyayangi, saling memelihara, dan saling membantu serta
saling menolong diantara semua insan ciptaan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
iii
Suhardana, Drs. K.M. Sundarigama Sumber Sastra Rerahinan Hindu, seperti Galungan, Kuningan, Purnama,
Tilem, dan lain-lain. Surabaya: Paramita. 2010.
Sudarsana, Drs. I.B. Putu. Acara Agama. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya. 2003
ii