Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TENTANG

TUMPEK WAYANG DAN TUMPEK BUBUH

Oleh

Kelompok 2 :

1. NI KADEK TIARA CANTIKA DEWI 202032122061


2. NI PUTU ALIKA ANGGRAINI 202032122034
3. I MADE SATRIA JAYA 202032122037
4. I GUSTI NGURAH RAKA ADITYA 202032122040
5. PUTU ARYA YUDISTIRA 202032122043
6. I NYOMAN ADI WIRYATAMA 202032122053
7. I DEWA GEDE OGIK KRISNA SAGITA 202032122058

I
Daftar Isi
Cover ....................................................................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................................................. ii
Kata Pengantar............................................................................................................................... iii
Bab 1 ....................................................................................................................................................... 1
1.1 Pengertian Tumpek Wayang ............................................................................................... 2
1.2 Sumber Sastra Yang Memuat Tentang Tumpek Wayang .................................................... 3
1.3Tata Cara Upakara................................................................................................................. 4
1.4Makna Tumpek Wayang ....................................................................................................... 5
Bab 2 ....................................................................................................................................................... 6
2.1 Pengertian Tumpek Wariga ................................................................................................. 7
2.2 Tata Cara Pelaksanaan Tumpek Wariga............................................................................... 8
2.3 Makna Dari Upakara Tumpek Wariga .................................................................................. 9

2.4 Pengertian Tumpek Wariga Dengan Pelestarian Alam ...................................................... 10

Daftar Pustaka ................................................................................................................................... 11

ii
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa , karena atas Asung
Kerta Wara Nugraha- Nyalah, tugas makalah yang berjudul “Tumpek Wayang Dan Tumpek
Bubuh” selesai tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kami
mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun demi keseempurnaan tugas ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerjasama,sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Semoga hasil makalah ini bermanfaat bagi
semua pihak.

Om Santhi, Santhi, Santhi Om

iii
BAB I

1.1 Pengertian Tumpek Wayang


Tumpek Wayang berasal dari dua kata yaitu Tumpek dan Wayang. Istilah Tumpek
lahir saat bertemunya hitungan terakhir dari dua wewaran yaitu Saniscara (Akhir
Sapta Wara) dan Kliwon (akhir dari Panca Wara). Setiap pertemuan Saniscara dan
Kliwon disebutlah Tumpek (Tu berarti metu atau lahir dan Pek berarti putus/berakhir).
Sedangkan kata wayang selain merupakan bagian dari wuku juga mengandung arti
sebagai bayang atau bayang-bayang.

Pelaksanaan upacara Tumpek Wayang itu ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam
manifestasinya sebagai Dewa Iswara dengan permohonan berupa keselamatan dan
atau kerahayuan umat. Dalam praktiknya, upacara Tumpek Wayang ini diperuntukkan
bagi semua jenis reringgitan seperti wayang, termasuk juga arca, tetabuhan (gong,
gender,gambang, genta gendongan).

Sedangkan secara batin, melalui perayaan Tumpek Wayang kita akan selalu
disadarkan bahwa hidup ini sebenarnya merupakan panggung wayang dimana
keberadaan kita, peranan yang didapat dan dilakukan dan kemana akhirnya tujuan kita
sudah diatur dan ditentukan oleh Sang Dalang Agung yaitu Hyang Widhi. Karena itu
kita diingatkan untuk senantiasa mendekatkan diri pada Hyang Widhi agar
memperoleh jagadhita dan moksa, kesejahtraan lahir dan kebahagian batin.

ii
1.2 Sumber Sastra yang Memuat Tentang Tumpek Wayang

Dalam lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa
Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku Wayang. Atas dasar isi
lontar tersebut, maka anak yang lahir bertepatan dengan hari ini harus melaksanakan
kegiatan upacara pementasan Wayang Sapuh Leger dengan peralatan yang lengkap.
Umat Hindu Bali percaya dan meyakini bahwa anak yang lahir pada Tumpek Wayang
memiliki sifat-sifat negatif karena hari itu dianggap memiliki nilai cemer (kotor) yang
membawa sial. Anak tersebut dikhawatirkan dirundung malapetaka, akibat dikejar-
kejar Dewa Kala. Dengan upacara mementaskan Wayang Sapuh Leger ini si anak
yang baru lahir tersebut di yakini dapat terhindar dari kejaran Dewa Kala dan juga
dapat memusnahkan sifat-sifat negatif pada anak tersebut. Menurut cerita dalam
Lontar Tatwa Kala, Wayang Sapu Leger menjadi sarana upacara permohonan ke
dewa Kala agar anak yang lahir pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon (sama dengan
hari kelahiran dewa Kala) tidak dimakan dan digantikan dengan banten/sesajen yang
sudah disediakan.

1.3 Tata Cara dan Upakara


(a) Upakara munggah di kemulan Rong Tengah
▪ Banten pejati asoroh
▪ Canang pasucian
▪ Upakaran yang munggah pada kelunan rong kanan dan kiri cukum dengan
banten soda saja.

iii
(b) Upakara Ayaban
▪ Banten ayaban senistane tumpeng 5 bungkul
▪ Sesayut tumpeng agung
▪ Buah-buahan satu tamas
▪ Canang pesucian, penyeneng
(c) Kalau memiliki kesenian wayang upakaranya ditambah dengan:
▪ Banten pejati, suci alit asoroh
▪ Rayunan pemijian warnanya brumbun, lengkap dengan rerasmen, meulam
olahan ayam brumbun.
▪ Banten prayascita, bayekawonan

(d) Menjelang pajar, umat Hindu sudah mengambil sesuwuk yang dipasang pada hari
kemarin, serta dikumpulkan menjadi satu, diikat dengan benang tri datu, kemudian
dihaturkan dilebuh, disertai dengan segehan seliwah satu tanding, api dakep atau asep,
kemudian ayabang, perciki dengan tirtha, tetabuhan arah berem, dan semburkan
dengan mesui kesuna jangu.
Kemudian umat Hindu menata upakaranya, dan sang penganteb menyiapkan diri.
Selanjutnya sang penganteb mengucapkan mantra pengastawa antara lain:
▪ Kehadapan Sang Hyang Siwa Raditya
▪ Kehadapan Bhatara Guru
▪ Kehadapan Sang Hyang Maheswara
Untuk pelaksanaan selanjutnya sama dengan pelaksanaan hari tumpek lainnya.
Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam beberapa lontar penunjang, khususnya
Lelampahan Wayang Sapuh Leger disamping juga atas petunjuk dan hasil wawancara
(baca:Nunasang) kehadapan Ida Pandita Mpu Leger tentang pelaksanaan Upacara
Bebayuhan Weton Sapuh Leger, maka dapat disebutkan bahwa untuk upacaranya
sebagi berikut :
1. Ngadegang Sanggar Tuttuan / Tawang (sanggar tawang ).
2. Ring Sor Surya : Caru mancasata.
3. Banten Panebasan san Maweton.
4. Banten Arepan Kelir.
5. Ring Lalujuh Kelir.
6. Banten Sang Dalang Mpu Leger : Bebangkit Asoroh.

ii
7. Genah tirtha Mpu Leger, Sangku Suddhamala.
8. Tebasan Sungsang Sumbel.
9. Tebasan Sapuh Leger.
10. Tebasan Tadah Kala.
11. Tebasan Penolak Bhaya.
12. Tebasan Pangenteg Bayu.
13. Tebasan Pengalang Hati.
14. Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan.
15. Daksina Panebusan Bhaya.
16. Medudus Luwun setra lan luwun pempatan, luwun pasar, gumpang injin,
gumpang ketan, gumpang padi, rambut Ida Pandita lan menyan.
Sedangkan untuk tirtha pemuputnya adalah sebagai berikut :
1. Tirtha Kelebutan.
2. Tirtha Campuan.
3. Tirtha Segara.
4. Tirtha Melanting.
5. Tirtha Pancuran.
6. Tirtha Tukad Teben Sema/Setra.
7. Tirtha Padmasari.
8. Tirtha Merajan soang-soang.
9. Tirtha Pengelukatan Wayang.
10. Tirtha Jagat Nata.
11. Tirtha Pemuput/Sulinggih.
Disamping upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari mereka yang
dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antaranya berupa Suci pejati,
Peras Pengambean tumpeng 7 asoroh, daksina gede sesuai urip kelahiran, sesayut
pengenteg bayu, merta utama, pageh urip dan di Surya munggah Suci pejati, Bungkak
Nyuh Gading lan pengeresik jangkep dan dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan
kelahiran : 1. 2. 3. 4. 5. Wetu Redite : Sesayut Sweka Kusuma. Wetu Soma : Sesayut
Nila Kusuma Jati/Citarengga. Wetu Anggara : Sesayut Jinggawati Kusuma/Caru
Kusuma. Wetu Budha : Sesayut Pita Kusuma Jati/Purna Suka. Wetu Wraspati :
Sesayut Pawal Kusuma Jati/Gandha Kusuma Jati.

iii
1.4 Makna Tumpek Wayang
Makna dari pada Tumpek Wayang, sebagaimana kita ketahui kehidupan di dunia
selalu diliputi oleh dua kekuatan yang disebut Rwa Bhineda, yang sudah barang tentu
ada pada sisi ke hidupan manusia. Dengan bercermin dari tatwa, filsafat agama
mampu membawa kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat.

Dengan bercermin dari tattwa, filsafat agama mampu membawa kehidupan manusia
menjadi lebih bermartabat. Karena dari ajaran atau filsafat agama mampu akan
memberikan pencerahan kepada pikiran yang nantinya mampu pula menciptakan
moralitas seseorang menjadi lebih baik dari segi aktifitas agama sehari-hari kita
mendapatkan air cuci ke hidupan melalui tirta pengelukatan yang berfungsi untuk
meruak atau melebur dosa di dalam tubuh manusia, maka dari itu seorang Dalanglah
yang mendapat anugerah untuk melukat diri manusia baik alam pikirannya maupun
raganya.

Tumpek Wayang juga bermakna ”hari kesenian” karena hari itu secara ritual
diupacarai (kelahiran) berbagai jenis kesenian seperti wayang, barong, rangda, topeng,
dan segala jenis gamelan. Aktivitas ritual tersebut sebagai bentuk rasa syukur
terhadap Sang Hyang Taksu sering disimboliskan dengan upacara kesenian wayang
kulit, karena ia mengandung berbagai unsur seni atau teater total. Dalam kesenian ini,
semua eksistensi dan esensi kesenian sudah tercakup.

ii
BAB II

2.1 Pengertian dari Tumpek Wariga

Tumpek wariga atau bubuh merupakan salah satu hari raya umat hindu di bali yang
diperingati 25 hari sebelum hari raya galungan yang bertepatan pada hari saniscara
kliwon wuku wariga dalam kalender caka (kalender di bali). Tumpek wariga
merupakan hari dimana umat hindu di bali menghaturkan sesajen kepada tumbuh-
tumbuhan yang ada di bumi sebagai rasa syukur manusia atas segala kelimpahan
makanan dan banyak fungsi dari tumbuh-tumbuhan yang membantu kehidupan
manusia. Karena itu, Tumpek wariga ini mesti dijadikan tonggak untuk memelihara
kelestarian lingkungan, khususnya tumbuh-tumbuhan. Apalagi, di Bali saat ini hutan-
hutan mulai gundul, bahkah kini telah ditebang untuk pemukiman. Ini tentu akan
sangat mengganggu ekosistem yang ada.
Pada Tumpek wariga ini manusia memberi penghargaan dan kasih sayang terhadap
tumbuh-tumbuhan agar berbuah banyak, berbunga lebat dan berumbi untuk
kepentingan yadnya persembahan kepada Tuhan pada hari raya Galungan, 25 hari
setelah Tumpek Pengatag. Sang Hyang Sangkara merupakan manifestasi Hyang
Widdhi dalam menciptakan tumbuh-tumbuhan, yang dalam pengider-ider berwarna
hijau, dengan arah barat laut. Diantara barat dengan Mahadewa sebagai dewatanya,
berwarna kuning, dan utara dengan Wisnu sebagai dewatanya, berwarna Hitam.
Dalam Ganapatti Tattwa warna Kuning melambangkan tanah, hitam adalah air. Jadi
tumbuhan bisa hidup jika ada pertemuan antara tanah dan air. Demikian pula tanah

iii
dan air akan terjaga jika ada tumbuhan. Karena itu, umat Hindu akan memuja Tuhan
sebagai Dewa Sangkara untuk memohon kekuatan jiwa dan raga dalam
mengembangkan tumbuh-tumbuhan. Pada zaman industri dewasa ini, sungguh tidak
mudah mengembangkan upaya agar tumbuh-tumbuhan dapat berkembang seimbang
sesuai dengan hukum ekologi.

2.2 Tata Cara Pelaksanaan Tumpek Wariga


Umat Hindu setiap enam bulan sekali selalu diingatkan betapa pentingnya
melestarikan lingkungan (tumbuh-tumbuhan), melalui perayaan Tumpek Bubuh
merupakan awal dari rentetan hari raya galungan dimana Tumpek bubuh ini jatuh 25
hari sebelum hari Raya Galungan. Adapun banten atau sarana yang diperlukan dan
dihaturkan saat Tumpek Wariga adalah sebagai berikut :
• Banten Prass
• Banten Nasi Tulung Sesayut
• Banten Tumpeng
• Bubur Sumsum (dibuat Tepung)
• Banten Tumpeng Agung
• Ulam itik (diguling), banteng penyeneng
• Tetebusan, dan canang sari, ditambah dupa harum
Banten tersebut dihaturkan menghadap Kaja-Kauh dan ayatlah Bhatara Sangkara
sebagai Dewa nya tumbuhan. Kemudian, semua tanaman yang ada di sekitar rumah
atau pekarangan diberikan saat gantungan dan diikat di bagian batangnya. Setelah itu,
itu berikan bubur sumsum, Lalu “atag” ,pukulkan tiga kali dengan pisau tumpul (titik
tumpul) dengan mengucapkan mantra sebagai berikut :
“Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeed-
ngeed-ngeed-ngeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kauh, buin selae lemeng
galungan mebuah paan ngeeed”
Artinya :
“Kakek-kakek, nenek dimana? Nenek dirumah sakit panas mengigil. Mengigil lebatt-
lebatt-lebattt-lebattt, lebat utara,lebat selatan, lebat timur, lebat barat, lagi dua puluh
lima hari hari raya galungan berbualah dengan lebat”.

ii
Mantra tersebut adalah mantra sesontengan (makna kiasan) secara turun menurun
diucapkan saat mempersembahkan upakara (banten) Tumpek Wariga.

2.3 Makna dari Upakara Tumpek Wariga


Tumpek wariga ini memiliki makna yang sangat mulia. Dimana kita sebagai manusia
harus saling menjaga hubungan baik dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan
sesama manusia, dan hubungan baik dengan lingkungan (tumbuh-tumbuhan) sesuai
dengan ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab keseimbangan alam semesta).
Dengan dilaksanakannya tumpek wariga ini, manusia setidaknya bisa ingat atas jasa-
jasa tumbuhan kepada manusia, sehingga manusia dapat menjaga lingkungan, dan
sebaliknya lingkungan juga dapat menjaga kita sesuai dengan hukum aksi reaksi.
Upacara Tumpek Wariga Menurut Beberapa Tokoh Agama :
1 Dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Drs. Wayan Budi Utama,
Jumat (16/4). Secara filosofi makna dari tumpek bubuh ini sebagai ungkapan rasa
syukur atas segala karunia Hyang Widhi Wasa berupa berbagai jenis makanan
yang dihasilkan oleh tanam-tanaman. Upacara ini sesungguhnya mengingatkan
kita bahwa manusia harus merawat alam dan manusia tak akan bisa hidup dengan
baik tanpa didukung oleh lingkungan yang sehat. Oleh karena itu agama Hindu
selalu mengingatkan tentang hal ini melalui perayaan Tumpek Wariga atau
Tumpek Bubuh.
2 Hal yang sama dikatakan dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar
Wayan Suadnyana, S.Ag. bahwa perayaan Tumpek Bubuh ini mengingatkan umat
manusia agar selalu merawat alam dalam hal ini tumbuh-tumbuhan penghasil
sumber makanan dan sumber oksigen. Melalui perayaan Tumpek Bubuh ini umat
Hindu diingatkan untuk selalu menjaga hubungan harmonis dengan palemahan
(alam), selain menjaga hubungan harmonis dengan parahyangan dan pawongan
dalam konsep Tri Hita Karana. Melalui perayaan Tumpek Bubuh ini sejatinya
umat diingatkan betapa pentingnya merawat alam dengan menanam tumbuh-
tumbuhan. ”Tak hanya tumbuhan yang buahnya berguna untuk sumber makanan,
tetapi juga pohon-pohon untuk menjaga keseimbangan alam menghasilkan
oksigen dan menyerap polusi udara,

iii
3 Tumpek wariga harus dijadikan momentum untuk menyadarkan kita akan betapa
pentingnya tanam-tanaman dalam arti luas, sebagai sumber makanan dan sumber
zat asam yang sehat bagi kelangsungan hidup manusia. Terpenting lagi agar
tanaman bisa menghasilkan sumber makanan yang sehat bagi tubuh manusia,
kendalikanlah penggunaan pestisida dan zat kimia lainnya. Kita perlu kembali ke
pertanian organik dalam rangka mengembalikan kesehatan tanah yang pada
akhirnya berpengaruh baik bagi kesehatan manusia.( Budi Utama)
Perayaan Tumpek Bubuh salah satu komponen penting dalam mengajegkan
konsep Tri Hita Karana yaitu :
1 Perahyangan yaitu hubungan manusia dengan tuhan
2 Pawongan yaitu hubungan manusia dengan manusia
3 Palemahan yaitu hubungan manusia dengan lingkungan

2.4 Hubungan Antara Tumpek Wariga dengan Pelestarian Alam.


Sesungguhnya, perayaan tumpek wariga salah satu komponen penting dalam
mengajegkan konsep Tri Hita Karana. Salah satu unsur penting dalam konsep itu
adalah hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya dalam kaitan ini
hubungan manusia dengan tumbuh-tumbuhan. Ajaran yang terkandung dalam
Tumpek Bubuh ini sangat luhur. Umat bukan hanya mesti menghargai ciptaan Tuhan,
tetapi sekaligus melestarikan tumbuh-tumbuhan yang telah mensejahterakan
kehidupannya, kata tokoh agama Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U.
Upacara tumpek wariga itu merupakan media pembelajaran bagi masyarakat untuk
belajar saling menghormati dan saling menyayangi. Baik sesama manusia maupun
terhadap lingkungan. Kenapa dalam hal ini yang dipakai obyek penghormatannya
adalah tumbuh-tumbuhan. Karena tumbuh-tumbuhan telah banyak berjasa terhadap
manusia dengan tulus ikhlas memberikan kesempatan kepada manusia untuk memetik
daunnya, buahnya bahkan sampai batangnyapun ditebang dia rela. Tumbuh-tumbuhan
memiliki rasa kasihan dan rasa peduli kepada yang lainnya walaupun dia tidak
sekelompok speciesnya namun dia mampu memberi makan dan menyediakan
kebutuhan binatang dan manusia untuk keperluan sehari-harinya seperti sayur, buah,
kayu, rasa aman tempat berteduh dan sebagainya.
Tetapi walaupun demikian tumbuh-tumbuhan tidak pernah memiliki rasa benci,
memfitnah, irihati kepada binatang dan manusia, jika binatang dan manusia ingat

ii
memelihara dan melestarikan dirinya. Tetapi jika manusia hanya meminta dan
menyakiti tumbuh-tumbuhan dan tidak pernah menanam, memelihara, melestarikan
serta tidak pernah peduli padanya maka tumbuh-tumbuhan pun bisa mencelakakan
manusia sehingga terjadi bencana seperti : banjir, tanah longsor, gempa, angin ribut
yang mana semuanya akan membuat manusia dan hewan menjadi celaka dan sengsara.
Warisan budaya untuk melestarikan lingkungan seperti contoh setiap ada kayu besar
di Bali kebanyakan diisi saput poleng yang disakralkan oleh umat Hindu untuk
dijadikan tempat pemujaan yang dilestarikan secara rohani dengan jalan setiap hari
menghaturkan sesajen menurut kepercayaan agama Hindu bahwa disana diyakini ada
sesuatu yang bisa membuat kita celaka kalau kita lewat seperti : jin, tonya,
banaspatiraja dan sebagainya agar manusia itu tidak diganggu dalam kehidupannya
sehingga menjadi jagadhita dalam hidupnya. Tetapi jika kita pandang dari segi ilmu
bahwa pohon-pohon yang besar dapat berfungsi menghatur terjadinya sirkulasi air
dimana air laut dipanaskan oleh matahari akan menguap, kemudian dari uap akan
berubah menjadi embun, embun didaerah lembab akan menjadi hujan, air hujan
ditahan oleh akar-akar pohon kemudian dialirkan perlahan-lahan melalui sungai
menuju sumbernya (muaranya) lagi yaitu laut.
Maka melalui hari raya Tumpek Wariga ini manusia pada umumnya dan umat Hindu
pada khususnya mulai belajar untuk bisa menanam, memelihara tumbuh-tumbuhan
melalui reboisasi atau penghijauan kembali. Kita sebagai manusia yang disebut insan
Tuhan yang paling sempurna yang memiliki pikiran, janganlah kita selalu saling
memfitnah, menghina dan saling menyalahkan orang lain, dan kita sendiri harus sadar
bahwa yang lewat itu adalah dipakai guru yang paling berharga untuk belajar menuju
yang lebih baik dan sejahtera. Tumpek bubuh dipakai objek adalah tumbuh-tumbuhan
adalah pedoman bagi manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya agar
tumbuh dalam pikirannya untuk melestarikan lingkungannya dengan jalan saling
menghormati, saling menyayangi, saling memelihara, dan saling membantu serta
saling menolong diantara semua insan ciptaan Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

iii
Suhardana, Drs. K.M. Sundarigama Sumber Sastra Rerahinan Hindu, seperti Galungan, Kuningan, Purnama,
Tilem, dan lain-lain. Surabaya: Paramita. 2010.
Sudarsana, Drs. I.B. Putu. Acara Agama. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya. 2003

ii

Anda mungkin juga menyukai