OLEH:
JURUSAN MATEMATIKA
SINGARAJA
2019
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami
sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini. Dalam penyusunan makalah Budaya
Menurut Perspektif Hindu ini khususnya mengenai Tradisi Tumpek Uduh di dalam
Kehidupan Masyarakat Hindu. Maka dari itu melalui kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. I Wayan Santyasa, M.Si., selaku dosen pengampu mata kuliah
Agama Hindu
Penulis menyadari, bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Begitu pula dengan makalah
ini yang masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun.Penulis mohon maaf jika apa yang kami kerjakan pada tugas ini belum
memenuhi kriteria sempurna namun penulis sudah berusaha untuk membuat tugas ini
dengan sebaik-baiknya. Penulis berharap tugas ini dapat diterima dengan baik oleh Bapak
Dosen dan teman-teman pembaca sekalian.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
iii
DOA PEMBUKA
Ya Tuhan dalam manifestasi Dewi Saraswati, Hyang Maha Agung dan Maha Kuasa,
semoga Engkau memancarkan kekuatan rohani, kecerdasan pikiran, dan lindungilah hamba
selama-lamanya.
Om Pawakanah Saraswati
Wajebhir Wajiniwati
Yajnam Wastu Dhiyawasuh
Ya tuhan sebagai manifestasi Dewi Saraswati. Yang mahasuci anugrahilah hamba
kecerdasan. Dan terimalah persembahan hamba ini
Tumpek sangat erat kaitannya dengan Kalender Hindu di Bali. Tumpek dalam
metologi Hindu, dimasyarakat awam sering dikatakan otonannya, bisa dibilang ulang tahun
Bali otonan (6 bulan sekali ) sutu peringatan sebagai ungkapan rasa syukur dan trimakasih.
Di mana umat Hindu membuat sesajen/upakara untuk memuja Hyang Widhi Wasa, karena
beliau telah melimpahkan segala wara nugraha-Nya kepada kita dari hasil atau manfaat yang
kita dapat manfaatkan untuk membantu kita hidup. Pemerintah Indonesia telah menetapkan
tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia. Selain itu, Inilah upaya nyata
membangkitkan tradisi menanam pohon di kalangan masyarakat Indonesia guna mengurangi
dampak Global Warming atau Pemanasan Global sehingga bumi tetap nyaman untuk dihuni.
Di Bali khususnya dengan masyarakat beragama Hindu, sejatinya sejak lama sudah memiliki
tradisi untuk menghargai segala jenis tumbuh-tumbuhan (sarwa tumuwuh). Hindu Bali
mengenal tradisi hari Tumpek Wariga (disebut juga Tumpek Pengatag, Tumpek Bubuh serta
Tumpek Uduh) yang sejatinya sebagai hari peringatan agar manusia Bali menyadari betapa
besar dan pentingnya peranan tumbuhan dalam menopang hidup dan kehidupan.
1
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
diantaranya :
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penulisan makalah ini, adalah
sebagai berikut :
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam penulisan makalah ini, adalah sebagai
berikut :
2
BAB II
PEMBAHASAN
Tumpek Uduh, Tumpek Pengarah, atau Tumpek Bubuh. Hari ini adalah hari turunnya
Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan . Beliau
memelihara agar tumbuh-tumbuhan tetap subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari hama,
sehingga memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari yang sebelumnya dan
hemat walaupun dipakai atau dimakan. Masyarakat Hindu sering menyebutnya dengan
Tumpek Wariga. Disebut tumpek Wariga karena dilaksanakan pada Saniscara Kliwon
Wariga. Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga ini jatuhnya 25 hari sebelum hari Raya
Galungan.Dimana Sang Hyang Sangkara akan dipuja di arah wayabya (Barat Laut) atau
Kaja-Kauh dari pengider mata angin Bali. Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang
Hyang Sangkara digambarkan dengan warna hijau, yang mewakili tumbuhan. Sang Hyang
Sangkara adalah bagian dari perbanyakan Bhatara Siwa yang tidak berbeda dengan Beliau.
Tetapi, dalam etika dan upacaranya, pembagian dan pembedaan itu diadakan untuk
menggambarkan kekuatan Beliau yang tanpa batas dan agar manusia yang serba terbatas ini
dapat merealisasikan setiap energi Tuhan dalam kehidupannya.
Artinya, para Dewa manapun dan dalam wujud apapun mereka ingin melakukan
pemujaan dengan penuh keyakinan, maka Aku memantapkan kepercayaanya kepada para
Dewa (yang mereka sembah)
Perayaan Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga ini mendeskripsikan bagaimana alam
mendukung keberadaan antara satu dan lainnya. Di hari otonan tumbuh-tumbuhanan ini,
3
umat Hindu berharap hujan akan jatuh dari bapa akasa yang memandikan seluruh tumbuhan
agar menjadi bersih, memberikan siraman kesejukan kepada ibu pertiwi, agar ibu pertiwi bisa
memberikan kesuburan dan menghidupi tanam-tanamanan.Untuk mewujudkan hal tersebut
kita sebagai umat Hindu tidak cukup hanya dengan menghaturkan sesajen untuk tumbuh-
tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu juga diiringi dengan aksi nyata,
misalnya melakukan aksi penghijauan menanam pohon atau program sejenisnya.
Secara filosofi pelaksanaan dari tumpek uduh ini sebagai ungkapan rasa syukur atas
segala karunia Hyang Widhi Wasa berupa berbagai jenis makanan yang dihasilkan oleh
tanam-tanaman. Perayaan ini juga disertai harapan agar tanam-tanaman dapat memberi hasil
dengan baik, karena di lihat dari jatuhnya Tumpek Uduh ini yaitu 25 hari sebelum Hari Raya
Galungan. Pastinya 25 harinya lagi adalah perayaan hari raya Galungan. Buah-buahan yang
dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan itu akan digunakan oleh umat Hindu untuk kepentingan
merayakan Galungan. Hari Raya Galungan yang merupakan hari dimana Dharma menang
melawan adharma. Upacara ini sesungguhnya mengingatkan kita bahwa manusia harus
merawat alam dan manusia tak akan bisa hidup dengan baik tanpa didukung oleh lingkungan
yang sehat.
Pandangan ini dilandasi dengan ajaran kitab suci Veda yang menyatakan bahwa “
semua makhluk sesungguhnya bersaudara” (vasudhaiva kutumbhakam). Kesadaran untuk
persaudaraan dan persatuan semesta ini menuntut kepada semua umat manusia untuk
senantiasa mengembangkan kerukunan hidup yang dinamis. Apabila semesta telah bersatu
4
maka menghasilkan lingkungan hidup yang baik. Lingkungan hidup yang baik adalah
sumber kehidupan bagi manusia. Oleh karena itu agama Hindu selalu memepringati hal itu
melalui perayaan Tumpek Wariga atau Tumpek Uduh.
Perayaan Tumpek Uduh salah satu komponen penting dalam melestarikan konsep Tri Hita
Karana yaitu :
Salah satu unsur penting dalam konsep itu adalah hubungan harmonis antara manusia dengan
lingkungannya dalam kaitan ini hubungan manusia dengan tumbuh-tumbuhan. Ajaran yang
terkandung dalam Tumpek Wariga atau Uduh ini sangat luhur. Umat tidak hanya menghargai
ciptaan Tuhan, tetapi sekaligus melestarikan tumbuh-tumbuhan yang telah mensejahterakan
kehidupannya
5
diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa pentingnya tumbuh-tumbuhan dalam memberi
hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari
tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.Karena itu pula, tradisi
perayaan Tumpek Utuh tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi ala
Tradisi Bali. Maka melalui hari raya Tumpek Uduh ini manusia pada umumnya dan umat
Hindu pada khususnya mulai belajar untuk bisa menanam, memelihara tumbuh-tumbuhan
melalui reboisasi atau penghijauan kembali. Tumpek Uduh dipakai objek adalah tumbuh-
tumbuhan adalah pedoman bagi manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya
agar tumbuh dalam pikirannya untuk melestarikan lingkungannya dengan jalan saling
menghormati, saling menyayangi, saling memelihara, dan saling membantu serta saling
menolong diantara semua insan ciptaan Tuhan.
Tumpek Uduh disebut juga Tumpek Bubuh, karena saat itu dihaturkan bubur sumsum
yang terbuat dari tepung. Bubur yang merupakan lambang kesuburan. Tradisi membuat dan
menghaturkan bubur saat Tumpek Uduh ini lebih merupakan tradisi lokal bali. Tradisi ini
kemudian di harmonisasi dengan Ajaran Agama Hindu. Pada umumnya Adapun banten atau
sarana yang diperlukan dan dihaturkan saat Tumpek Wariga adalah sebagai berikut :
a. Banten Prass.
b. Banten Nasi Tulung Sesayut.
c. Banten Tumpeng.
d. Bubur Sumsum (dibuat Tepung)
e. Banten Tumpeng Agung
f. Ulam itik (diguling), banten penyeneng.
g. Tetebusan, dan canang sari, ditambah dupa harum.
Banten tersebut dihaturkan menghadap Kaja-Kauh dan ayatlah Bhatara Sangkara sebagai
Dewanya tumbuhan. Kemudian, semua tanaman yang ada di sekitar rumah atau pekarangan
diberikan sasat gantungan dan diikat di bagian batangnya. Setelah itu, berikan bubur sumsum.
6
Lalu, "atag", pukulkan tiga kali dengan pisau tumpul (tiuk tumpul) dengan mengucapkan
mantra sebagai berikut :
"Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeed-ngeed-
ngeeed-ngeeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng
galungan mebuah pang ngeeed"
Yang artinya:
"Kakek-kakek, nenek dimana? Nenek dirumah sakit panas mengigil. Mengigil lebatt-lebatt-
lebattt-lebattt, lebat utara, lebat selatan, lebat timur, lebat barat, lagi dua puluh lima hari
hari raya galungan berbuahlah dengan lebat"
Mantra tersebut adalah mantra sesontengan (makna kiasan) secara turun temurun
diucapkan saat mempersembahkan upakara (banten) Tumpek Atag. Penyebutan kaki-
dadong dalam konteks ini adalah upaya penunjukan yang ditujukan untuk memuliakan
tumbuhan yang jauh lebih dulu ada dari pada manusia dan makhluk lain yang ada di
permukaan Bumi. Mantram tersebut kerap terdengar setiap rerahinan Tumpek Uduh tersebut
memiliki tujuan atau pun harapan yang sama. Yakni, sebagai wujud kepedulian umat Hindu
akan kelestarian lingkungan di sekitarnya, khususnya tumbuh-tumbuhan. Selain itu, sebagai
ungkapan terimakasih serta puji syukur ke hadapan Ida Sanghyang Widi Wasa atas segala
rahmat yang dianugerahkannya berupa tumbuh-tumbuhan yang subur, dengan batang yang
kokoh dan daun serta buah yang lebat sebagai sumber kemakmuran bagi seluruh umat
manusia .
Swadiyayanarcaret sam simnhomair dewa nya thawidhi,
Pitrcm craddhaicca nrman naibhutani balikarmana
(Manawadharma Sastra Bab II, 81)
Artinya, “Hendaklah ia sembahyang yang sesuai menurut peraturan kepada Rsi dengan
pengucapan Weda, kepada Dewa dengan haturan yang dibakar, kepada para leluhur dengan
Sraddha, kepada manusia dengan pemberian makanan, dan kepada para Bhta dengan
upacara Kurban.
Saat ini beberapa tempat di Bali ada yang menyebut rerahinan jagat tersebut dengan istilah
Tumpek Bubuh (mungkin karena salah satu isi sesajen yang dihaturkan berupa bubur), ada
pula yang menyebutnya dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah (mungkin pula sebagai
7
pemberitahuan terkait datangnya Hari Raya Galungan, karena rerahinan ini jatuhnya persis
25 hari menjelang Hari Raya Galungan). Ada pula yang menyebutnya sebagai Tumpek
Wariga, karena bertepatan dengan wuku Wariga. Sementara sebagian masyarakat lagi ada
yang mengistilahkan upacara ini sebagai otonan punyan-punyanan. Dalam meteologi Hindu
ada penggambaran Sang Hyang Sangkara lebih didominasi dengan tampilan yang terkesan
seperti di hutan rimba. Hyang Sangkara duduk di bawah pohon beringin (pippala) yang
memiliki akar gantung ribuan banyaknya serta lebat dan besar. Sedangkan di Bali, Beliau
digambarkan menyatu dengan pangider Buana dengan Dewata Nawa Sanga Lainnya.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Upacara Uduh atau Tumpek Wariga merupakan suatu upacara yang bermanfaat bagi
kelestarian lingkungan khususnya dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan. Karena memiliki
makna yang sangat mulia. Dimana kita sebagai manusia harus saling menjaga hubungan baik
dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, dan hubungan baik dengan
lingkungan sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab keseimbangan alam semesta
Manfaat perayaan Tumpek Uduh bagi kehidupan manusia, yaitu dengan membuat sarana
upakara (Banten) tersebut dengan mengucapkan mantra itu, diharapkan tanaman yang
berbunga akan berbunga lebat, yang berbuah akan berbuah lebat. Nantinya, buah ataupun
bunga tersebut akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, khususnya saat Galungan.
Masyarakat Hindu Bali yang akan merakakan hari raya Galungan yang jatuhnya pada hari
rabu Wuku Dungulan yaitu 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Dengan penuh rasa syukur
agar ada tanaman buah yang berbuah sehingga bisa dipetik untuk sarana upakara saat
perayaan hari raya Galungan. Disebut juga hari raya Tumpek Uduh, Tumpek Pengarah,
Tumpek Pengatag, atau Tumpek Bubuh. Hari ini adalah hari turunnya Sanghyang Sangkara
yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau
memelihara agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari hama
penyakit, agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari yang sudah-
sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan.
3.2 Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. I Wayan Santyasa, M.Si. 2016. Pendidikan Agama Hindu. Universitas Pendidikan
Ganesha
http://umathindu.blogspot.com/p/doa-mohon-inspirasi-om-prano-dewi.html
https://www.hindu-dharma.org/2009/06/hubungan-agama-dan-budaya-dalam-hindu/
https://www.balitoursclub.com/berita_146_Makna_Tumpek_Uduh.html
https://www.babadbali.com/piodalan/tpk-uduh.htm
https://bali.tribunnews.com/2018/12/01/tumpek-wariga-penghormatan-untuk-tumbuhan-
mantranya-kaki-kaki-i-dadong-dija?