Anda di halaman 1dari 12

PERLENGKAPAN SANGKARAYA DALAM UPACARA

RITUAL TIWAH/WARA

“PRAKTEK SENI SAKRAL”

Dosen Pengampu :
ANAK AGUNG GEDE WIRANATA, S.Ag., M.Ag

DISUSUN OLEH :

PENI LISARI (20 11 001)


JULIANDY ( 20 11 008 )
INDAH SRI REZEKI ( 20 11 019 )
LASMINI ( 20 11 013 )
CINDY DWI YANTI (20 11 022)

PRODI PRAMUWISATA BUDAYA DAN KEAGAMAAN


FAKULTAS DHARMA DUTA DAN BRAHMA WIDYA
INSTITUT AGAMA HINDU NEGERI TAMPUNG PENYANG
PALANGKA RAYA
2022
KATA PENGANTAR

Tabe Salamat Lingu Nalatai Salam Sujud Karendem Malempang


Om Swastyastu

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, Ranying Hatalla Langit atas berkat dan karunia-Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Perlengkapan Sangkaraya Dalam Upacara Ritual Tiwah/Wara” dengan
tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Praktek Seni Sakral.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang penulis peroleh
dari berbagai referensi . Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada pengajar
mata kuliah Seni Sakral atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis berharap, dengan membaca
makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang
lebih baik. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Om Santhi, Santhi, Santhi Om.


Sahiy.

Palangka Raya, 25 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................3
1.3 Tujuan......................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................4

2.1 Pengertian Sangkaraya.............................................................................................4


2.2 Alat dan Perlengkapan Dalam Sangkaraya...............................................................5

BAB III PENUTUP..........................................................................................................8

3.1 Kesimpulan..............................................................................................................8
3.2 Kritik dan Saran.......................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seni Sakral adalah kebudayaan dan kesenian Agama Hindu pada
umumnya maupun Hindu Kaharingan pada jaman dahulu yang merupakan
peninggalan dari para leluhur yang memiliki arti dan makna yang berbeda serta
tidak lepas dari tingkat kesakralannya masing-masing. Seperti tarian, alat musik
(gong/garantung, kecapi, kankanung, gendang dan lain-lain), dan lagu yang
bernafaskan keagamaan (karungut, sansana, deder, dan lain-lain). Seni Sakral ini
tidak hanya digunakan atau ditampilkan untuk ritus/ritual keagamaan saja, namun
bisa dipentaskan. Namun, didalam pementasan karya Seni Sakral ini diharapkan
tetap dapat menghormati dan menjaga kesakralannya masing-masing.

Religi dan ritus-ritus dalam hidup dari kelahiran, kehidupan, pengobatan,


dan kematian menunjukkan budaya keagamaan yang mempunyai kekuatan mistis.
Aktivitas mistis dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya kegiatan sakral yang
berhubungan dengan makhluk gaib penunggu pohon, gunung, sungai, dan
sebagainya, tetapi sebagai upacara sakral integrasi Tuhan. Religi dan ritus dengan
berbagai aktivitasnya yang mistis meruapakan usaha masyarakat Dayak,
khususnya umat Hindu Kaharingan Kalimantan untuk mencari dan mencapai
penyatuan diri kepada Ranying Hatalla langit. Sikap-sikap mistis dengan religi
dan ritus masyarakat Dayak, tetapi dilaksanakan, dilestarikan, dan dikembangkan
oleh umat Hindu Kaharingan di Kalimantan. Aktivitas itu juga mendapatkan
perlindungan dan dorongan dari ajaran agama Hindu setelah kepercayaan
Kaharingan berintegrasi dengan Agama Hindu tahun 1980. Aktivitas sakral yang
mistis pada masyarakat Dayak Kalimantan Tengah saja jumlahnya tidak
terhingga, karena suku Dayak sendiri terbagi menjadi banyak sub suku dayak
yang mempunyai religi, ritus, dan tradisi budaya mistis masing-masing.

1
Ritus daur hidup umat Hindu Kaharingan Dayak Ngaju yang paling besar
adalah ritual kematian. Dalam upacara kematian ada tiga jenis jenjang upacara
yang harus dilakukan yakni : upacara pemakaman, upacara balian tantulak
ambun rutas matei, dan upacara tiwah. Upacara Tiwah menjadi Upacara terakhir
dalam tata urutan upacara kematian umat Hindu Kaharingan Dayak Ngaju.
Upacara Tiwah menjadi upacara paling besar sepanjang daur hidup manusia
ditinjau dari biaya, waktu, dan sarana yang digunakan. Bagi sebagian masyarakat
upacara Tiwah disebut Pesta Tiwah. Pendapat ini ada benarnya, karena dalam
upacara Tiwah selain keluarga tiwah (upun gawi) juga banyak masyarakat yang
datang untuk sekedar melihat atau terlibat karena ada hubungan kekerabatan.

Semua Ritual ini tertulis di dalam Kitab Suci Panaturan yang digunakan
sebagai pedoman hidup umat Hindu Kaharingan dimuka bumi ini dalam
melaksanakan berbagai jalan kehidupan, baik itu upacara untuk kehidupan
maupun upacara kematian. Di dalam Kitab Suci Panaturan, Ritual Tiwah terdapat
di Pasal 33. Pelaksanaan Tiwah Suntu.

Ritual Tiwah merupakan ritual dalam kepercayaan Agama Hindu


Kaharingan yang dianut oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Ritual ini juga
termasuk dalam seni sakral karena di dalamnya terdapat sebuah kesenian yang
dipersembahkan kepada Tuhan. Ritual Tiwah yaitu prosesi mengantarkan roh
leluhur yang telah meninggal dunia ke Lewu Tatau (Surga) bersama Ranying
Hatalla Langit (Sang Pencipta). Jenazah yang sudah dikubur akan digali lagi,
tulang belulangnya dibersihkan dan dimasukkan ke dalam Sandung. Salah satu
unsur seni yang terdapat di dalam ritual Tiwah ialah Sangakaraya.

2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang menjadi perhatian dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apa Pengertian dari Sangkaraya ?

2. Apa saja Alat dan Perlengkapan serta maknanya dalam Sangkaraya ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Sangkaraya.

2. Mengetahui Makna dari Alat dan Perlengkapan dalam Sangkaraya.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sangkaraya


Sangkaraya terdiri dari dua kata Sangka dan Raya. Sangka artinya penahan
dan Raya artinya ramai. Jadi, sangkaraya adalah tempat menahan atau
mengumpulkan orang-orang banyak dan roh leluhur nenek moyang. Tujuan
Sangkaraya jika digunakan untuk upacara ritual Tiwah, yang dalam Bahasa
Sangiang Garing Sangkara Hundan Mendeng Hundan Pamaruruk Bungai
Lumpung Ngadurui Ruhung, yaitu sebagai pertanda bahwa ada orang yang
meniwahkan keluarganya yang sudah meninggal dunia. Tiwah merupakan ritual
mengantarkan arwah/roh Nenek Moyang kembali kepada Ranying Hatalla Langit
Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Raja Tuntung Matan Andau ke Lewu Tatau
Dia Rumpang Tulang Rundung Raja Bakalusu Uhat atau sorga dan dijadikan
(Nyaluh oleh Sangiang untuk jadi panatau Simpan Liau Haring Kaharingan).

Sangkaraya didirikan setelah mampendeng/mendirikan Balai Nyahu dan


Pasah Kanihi. Sebelum mendirikan itu semua, seorang Basir melakukan
mamapas petak (penyucian tempat). Mamapas Petak oleh Basir menggunakan
sesaji seekor babi, empat ekor ayam berwarna putih, satu-tiga ekor berwarna
bebas kecuali hitam. Basir dalam mamapas menggunakan dawen sawang gagar,
danum karak, danum nyanyah, dan ayam yang nanti akan dipotong. Daun Sawang
menjadi sarana pokok dalam mamapas ini. Setelah selesai mamapas
petak.binatang yang disediakan untuk persembahan disembelih di atas tempat
yang akan di bangun balai nyahu dan pasha kanihi serta lokasi pelaksanaan
upacara tiwah secara keseluruhan.terutama tempat yang akan dibangun
sangkaraya sebagai pusat pelaksanaan upacara tiwah,darah binatang tersbut
sedikit dicampur keberas,ditaburkan untuk ganan petak danum,nyaringpali ganan
lunuk hupun,talun ije tau kuman daha manta ( roh penungu tanah air,penunggu
pohon beringin,dan para mahluk gaib lainnya yang makan darah ). Ritual itu
menunjukan bahwa manusia bersahabat dengn alam lingkungan memohon ijin
kepada bumi beserta seluruh mahluk untuk mendirikan sarana upacara agar

4
keberadaannya menjadi sakral. Segala bahan yang akan digunakan sebagai sarana
upacara terlebih dahulu dipalas (disucikan dengan darah) untuk menetralkan dari
dosa.
Sangkaraya sebagai sarana pokok mendapatkan perhatian khusus karena
sebagai pusat symbol dan ritual Tiwah. Sangkaraya ini merupakan penghubung
langit, bumi, dan alam bawah, tempat suci dimana dunia terpisah dari yang sakral
dan yang profan disatukan. Ketika Tabuh (acara puncak persembahan hewan
kurban) masyarakat akan melaksanakan tari nganjan (tarian sakral
kematian/persembahan) dan dilanjutkan dengan tari manasai (tari
kemasyarakatan) mengelilingi hewan yang telah diikat di sapundu. Tarian nganjan
merupakan symbol persembahan hewan korban kepada Tuhan dan Liau leluhur
serta ucapan rasa syukur. Tari Nganjan mengelilingi hewan yang disapundukan
sebanyak 7 (tujuh) kali dilanjutkan tari manasai. Tarian Manasai merupakan tarian
persahabatan masyarakat Dayak sebagai symbol persahabatan dan kegembiraan
seluruh masyarakat dalam melaksanakan upacara tiwah. Dibalik kebersamaan
yang terjalin, terkandung sebuah nilai keindahan yang terekspresi dari masyarakat
itu sendiri yang bahagia, keanekaragaman busana yang terpakai, dan teriakan
malahap yang bersahutan.

2.2 Alat dan Perlengkapan Dalam Sangkaraya

1. Sababulu
Sababulu merupakan tiang yang terbuat dari bambu yang dikuliti
dibuat berserabut. Sababulu ini dibuat oleh anggota peserta tiwah
(tarantang nule). Sababulu diletakkan di setiap pintu masuk rumah anggota
tiwah, setiap kuburan yang akan di-tiwah, balai anjung-anjung, tiang
bendera sangkaraya dan tiang bendera liau.
2. Pandung bawui
Pandung bawui merupakan kandang babi yang terbuat dari kayu bulat
yang dibentuk persegi empat memanjang dan didirikan disamping

5
sangkaraya. Disamping pandung bawui ini terdapat ayam yang diikat.babi
dan ayam ini sebagai hewan kurban dari keluarga yang meniwahkan.
3. Bendera
Terdapat dua jenis bendera yang digunakan pada saat tiwah, yaitu
bendera merah putih dan bendera yang mengunakan kain bahalai/kain
panjang. Bendera-bendera ini didirikan berdampingan dengan sababulu
membentuk sebuah lingkaran yang bernama sangkaraya. Makna bendera
merah putih menandakan bahwa kita merupakan bagian dari Negara
Indonesia. Sedangkan bendera bahalai sebagai tanda adanya pelaksanan
ritual Tiwah. Bendera-bendera ini tidak hanya diletakkan di sangkaraya
saja, tetapi juga diletakkan di samping pintu rumah keluarga yang
melaksanakan tiwah.
4. Pantar
Pantar merupakan tiang yang didirikan paling tinggi dari yang
lainnya di mana Pantar ini merupakan tanda dari terlaksananya Ritual
Tiwah,Biasanya Pantar di didirikan sesuai arah Balai Basarah dari
kampung tersebut jika Balai Basarah di Hulu maka Pantar akan di
didirikan dekat Sangkaraya di Arah Hulu juga.Pantar didirikan ketika hari
Tabuh (puncak Tiwah) Sudah dekat (satu hari sebelum Hari H).

5. Batang Pajunjung
Batang Pajunjung merupakan tiang dari Ancak atau Kalangkang
(anyaman yang terbuat dari bambu berwarna kuning). Ancak ini
digunakan untuk menyimpan buah kelapa tembaga. Buah kelapa ini
sebagai pengganti dari kepala manusia.
6. Garantung/Gong

Gong ini diletakkan diatas beberapa tiang kayu bulat, gong ini
dibalik dan diisi dengan pakaian sebagai pengganti orang yang ditiwahkan
kemudian ditutup menggunakan payung.

6
7. Halu

Halu atau Alu dalam bahasa Indonesianya dianggap sebagai


pengganti badan kasar dari Liau atau orang yang telah meninggal atau
yang ingin ditiwahkan.

8. Tarinting Pali

Tarinting Pali merupakan tali pembatas yang terbentuk dari daun


sawang yang ditusuk ujungnya menggunakan rotan begitu seterusnya, di
kelopak daun sawang dibuatkan gambar cacak burung (+) dari kapur sirih.
Tarinting Pali ini dibentangkan dari Balai ke Sangkaraya. Tarinting Pali
ini menandakan bahwa dimulainya pali/pantangan dari Upacara Tiwah
tersebut bagi anggota/peserta tiwah (tarantang nule).

9. Lampu

Lampu di dekat sangkaraya biasanya hanya digunakan sebagai alat


bantu atau penerang ketika malam hari, zaman dahulu orang menggunakan
lampu tembok sebagai penerang, namun seiring dengan perkembangan
zaman sekarang lampu yang digunakan menggunakan lampu listrik.

7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Sangkaraya terdiri dari dua kata Sangka dan Raya. Sangka artinya
penahan,dan Raya artinya ramai. Jadi, sangkara adalah tempat menahan atau
mengumpulkan orang-orang banyak dan roh leluhur nenek moyang. Tujuan
Sangkaraya jika digunakan untuk upacara ritual Tiwah,yang dalam Bahasa
Sangiang Garing Sangkara Hundan Mendeng Hundan Pamaruruk Bungai
Lumpung Ngadurui Ruhung ,yaitu sebagai pertanda bahwa ada orang yang
meniwahkan keluarganya yang sudah meninggal dunia. Tiwah merupakan ritual
mengantarkan arwah/roh Nenek Moyang kembali kepada Ranying Hatalla Langit
Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Raja Tuntung Matan Andau ke Lewu Tatau
Dia Rumpang Tulang Rundung Raja Bakalusu Uhat atau sorga dan dijadikan
(Nyaluh oleh Sangiang untuk jadi panatau Simpan Liau Haring Kaharingan).

3.2 Kritik dan Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekuarangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, untuk memperbaiki makalah tersebut. Kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan penulis.

8
DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. 2009. Panaturan. Denpasar. Widya Dharma.

Buhol, Dkk, 2016. Panaturan Sebagai Pedoman Hidup Umat Hindu Kaharingan,
Palangka Raya : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang
(STAHN-TP) Palangka Raya

Dr. Mujiyono, S.Ag., M.Ag. 2017. Eksistensi Liau Pada Upacara Tiwah, Dalam
Kosmologi Hindu Kaharingan Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Surabaya.
Paramita Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai