Anda di halaman 1dari 24

KURANGNYA PAMAHAMAN YADNYA

(UPAKARA/BANTEN) DALAM KEHIDUPAN


SEHARI-HARI

Oleh:
Ni Gusti Ayu Putu Suryani
NIP. 19660915 199903 2 001

UPT-PPKB
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

"Om Swastyastu"

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat dan anugerah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu
yaitu makalah yang berjudul "KURANGNYA PAMAHAMAN YADNYA
(UPAKARA/BANTEN) DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI".
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari yang namanya
kata sempurna, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat, maupun isi. Oleh sebab itu
dengan segala kerendahan hati, kami selaku penulis menerima segala bentuk kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca sekalian.
Demikian sepatah kata yang dapat kami sampaikan, kami berharap bahwa
makalah ini dapat memberikan wawasan kepada para khalayak umum serta para
pembaca sekalian.

"Om Santih, Santih, Santih, Om"

Denpasar, 27 Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


1.1 Latar belakang masalah.. ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.. ............................................................................................. 2
1.3 Metode Penulisan....... ......................................................................................... 2
1.4 Tujuan Penulisan. ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN..... .................................................................................... 3


2.1 Pengertian Yadnya... ............................................................................................ 3
2.2 Tujuan Pelaksanaan Yadnya ................................................................................ 3
2.3 Bentuk dan Jenis Jenis Penerapan Yadnya dalam Kehidupan Sehari hari .......... 7
2.4 Sumber Sastra yang Berkaitan Dengan Yadnya.. ................................................ 11
2.5 Makna dari beberapa upakara/banten yang sering digunakan ............................. 14

BAB III PENUTUP.. ............................................................................................... 20


3.1 Kesimpulan... ....................................................................................................... 20
3.2 Saran .................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Alam semesta diciptakan oleh Tuhan/ Ida Sang Hyang Widhi dengan segala
augerah dan kuasaNya. Alam ini (Bhuana Agung) diciptakan olehTuhan/Ida Sang
Hyang Widhi dengan Yadnya. Tanpa proses penciptaan melalui Yadnya Hyang Widhi,
maka alam semesta beserta isinya termasuk manusia tidak mungkin ada sampai saat ini.
Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara telah berdiri
kerajaan-kerajaan besar seperti salah satu diantaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu
sebuah Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa
meyatukan seluruh wilayahnya sampai ke Madagaskar. Pada jaman itu sudah ada
hubungn dagang denagn Negara luar Negeri terutama engan Negeri Campa, yang saat
ini Negara Cina.
Kerajaan ini bertempat ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman
keemasanya dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya
bernama Gajah Mada. Pada jaman itu perkembangan budaya yang berlandaskan Agama
Hindu sangat pesat termasuk di Daerah Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan
bahwa para Arya dari Kerajaan Majapahit sebagian besar hijrah ke Bali dan di situ lah
para Arya-Arya tersebut lebih memantapkan ajaran-ajaran Agama Hindu samapi
sekarang.
Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada
ajaran Agama Hindu yang merupakan warisan leluhur Hindu di Bali terutama dalam
pelaksanaan upacara keagamaan/ ritualnya dan falsafah Tri Hita Karana. Arti kata Tri
Hita Karana, Tri artinya tiga Hita artinya kehidupan, Karana artinya penyebab. Jadi Tri
Hita Karana artinya : tiga kerhamonisan yang menyebabkan adanya kehidupan.
Diantaranya :
1. Parhyangan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan tuhan
2. Pawongan, hubungan yang harmonis anatar manusia dengan manusia
3. Palemahan, hubungan manusia dengan alam
Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan ajaran-ajaran Agama Hindu dalam kegiatan
upacara keagaaman berpatokan pada Panca yadnya.(Drs. I Made Purana, 2016)

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari yadnya ?
2. Apakah tujuan dari pelaksaan yadnya ?
3. Bagaimana bentuk dan jenis jenis penerapan yadnya dalam kedidupan sehari
hari ?
4. Apa sumber sastra yang berkaitan dengan yadnya ?
5. Apakah makna dari beberapa upakara/banten yang sering dibuat masyarakat
Hindu di Bali ?

1.3 Metode Penulisan


Adapun metode penulisan yaitu :
1. Metode observasi perpustakaan
2. Beberapa website terkait

1.4 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian dari yadnya.
2. Untuk mengetahui apa tujuan dari pelaksanaan yadnya
3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan jenis jenis penerapan yadnya dalam
kedidupan sehari hari.
4. Untuk mengetahui sumber sastra yang berkaitan dengan yadnya.
5. Untuk mngetahui apa makna beberapa upakara/banten yang sering digunakan
masyarakat Hindu di Bali ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Yadnya


Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari akar kata "yaj" yang artinya
memuja. Secara etimologi, pengertian Yadnya adalah korban suci secara tulus ikhlas
atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari sebagai pengabdian
yang sejati kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa)
Yadnya menurut ajaran agama Hindu, merupakan suatu bentuk kewajiban yang
harus dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan
menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka
hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya
sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).(Sastra)

2.2 Tujuan pelaksanaan Yadnya


Sloka dari berbagai kitab menyatakan bahwa alam semesta beserta segala isinya
termasuk manusia, diciptakan, dipelihara dan dikembangkan melalui yadnya. Oleh
karena itu, yadnya yang dilakukan oleh manusia memiliki tujuan untuk mencapai
kebahagiaan manusia menurut konsep Hindu yakni Moksartham Jagaddhita
(Kebahagiaan sekala dan niskala/ jasmani dan rohani). Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, manusia harus melakukan aktivitas dan berkarma. Paling tidak empat hal yang
harus dilakukan manusia yaitu, penyucian diri, peningkatan kualitas diri, sembahyang,
dan senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Sang Pencipta. Empat hal di atas
dapat dicapai melalui Yadnya. Oleh karena itu Yadnya memiliki tujuan, diantaranya:
1. Untuk Penyucian
Pribadi dan jiwa manusia dalam aktivitasnya setiap hari berinteraksi dengan
sesama manusia dan alam lingkungan akan saling berpengaruh. Guna (sifat satwam,
rajas, dan tamas) orang akan saling mempengaruhi, demikian juga "guna" alam akan
mempengaruhi manusia. Untuk mencapai kebahagiaan maka manusia harus memiliki
imbangan Guna Satwam yang tinggi. Pribadi dan jiwa manusia harus dibersihkan dari
guna rajas dan guna tamas. Melalui Yadnya kita dapat menyucikan diri dan juga

3
menyucikan lingkungan alam sekitar. Jika manusia dan alam memiliki tingkatan guna
satwam yang lebih banyak maka keharmonisan alam akan terjadi. Kitab
ManawaDharmasastra V. 109 menyatakan:
"Adbhirgatrani suddhayanti mana satyena suddhayanti, Widyatapobhyam bhutatma
buddhir jnanena suddhayanti"
Artinya:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia
dibersihkan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dibersihkan dengan
pengetahuan yang benar.
Oleh karena itu, menjadikan aktivitas sehari-hari dan menjalankan kewajiban
dengan baik serta penuh kesadaran sudah termasuk dalam bentu pelaksanaan yadnya
yang berkaitan dengan tujuan mencapai kesucian dengan jalan yadnya. Demikian juga
untuk kesucian alam dan lingkungan, melakukan upacara/ ritual sesuai dengan sastra
agama sehingga kita akan senantiasa berada pada lingkungan yang suci. Lingkungan
yang suci akan memberikan kehidupan yang suci juga bagi manusia.
2. Untuk Meningkatkan Kualitas Diri
Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana atau sisa perbuatan
terdahulu. Demikian pula setiap kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas j i
watman sehingga tujuan tertinggi yaitu bersatunya atman dengan brahman (Brahman
Atman Aikyam) dapat tercapai. Hanya dilahirkan sebagai manusia memiliki sabda, bayu
dan idep dapat melakukan perbuatan baik sebagai cara untuk meningkatkan kualitas
jiwatman, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Sarasamuscayasloka 2 sebagai berikut:
"Ri sakwehning sarwa bhiita, ikingjanma wwangjuga wenang
gumawayaken ikangcubhacubhakarma, kunengpanentasakena ring
cubhakarma juga ikangacubhakarma, phalaning dadi wwang. "
Artinya:
Diantara semua mahluk hidup , hanya yang dilahirkan sebagai manusia saja yang
dapat melaksanakan perbuatan baik atau perbuatan buruk, oleh karena itu leburlah ke
dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya menjadi
manusia.

4
Dari sloka di atas jelas kewajiban hidup manusia adalah untuk selalu
meningkatkan kualitas diri melalui perbuatan baik. Perbuatan baik yang paling utama
adalah melalui Yadnya. Dengan demikian setiap yadnya yang kita lakukan hasilnya
adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwatman.(Bagus, 1967)
3. Sebagai Sarana Menghubungkan Diri dengan Tuhan
Hindu mengajarkan tentang konsepsi ketuhanan yang Nirguna tattwam dan
sagunatattwam. Konsep Tuhan yang Nirguna berarti bahwa Tuhan itu satu dan tidak ada
yang kedua serta keberadaan Tuhan tidak dapat digambarkan karena sifat Tuhan yang
Acintya (tak terpikirkan). Sehingga untuk berhubungan dengan Tuhan harus dengan
cara melaksanakan yadnya. Tanpa yadnya manusia tidak akan bisa berhubungan dengan
Tuhan karena manusia telah dipengaruhi oleh Awidya (kegelapan, kebodohan,
ketidaktahuan). Dengan melaksanakan yadnya umat akan dapat merasakan kehadiran
Tuhan walaupun sebenarnya Tuhan itu ada dimana-mana (wyapi wyapaka nirwikara).
4. Sebagai Ungkapan Rasa Terima Kasih
Alam semesta beserta segala isinya diciptakan oleh Tuhan dengan yadnya-Nya.
Tuhan juga memberikan segala anugerah kepada umat manusia dan semua makhluk.
Jadi untuk menunjukan rasa terima kasih yang mendalam atas segala anugerah Tuhan/
Sang Hyang Widhi maka patutlah sebagai umat manusia khususnya Hindu
melaksanakan yadnya dengan cara melakukan pemujaan serta mempersembahkan
sebagian kecil dari anugerah-Nya dengan hati yang tulus dan ikhlas. Jangan sampai
ketika kita diberikan kebahagiaan, lalu kita lupa dengan kebesaran-Nya dan hanya ingat
bila mendapatkan kesusahan saja. Pada intinya manusia harus bisa berterima kasih pada
Sang Hyang Widhi dengan yadnya. Bekerja dengan benar dan giat, menolong orang
yang kesusahan, belajar giat, dan kegiatan lain yang didasari pengabdian dan rasa ikhlas
adalah salah satu contoh ungkapan rasa syukur dan ucapan terima kasih atas anugrah
Tuhan untuk kesehatan, keselamatan diri, rejeki, serta kehidupan yang kita
terima.Upacara/ritual yang dilakukan Umat Hindu baik yang bersifat rutin (contohnya
ngejot, maturan sehari-hari dsb ), maupun berkala (rahinan, odalan, serta hari suci
lainnya) salah satu tujuan utamanya sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih
kepada Hyang Widhi atas semua anugrah Beliau.

5
5. Untuk Menciptakan Kehidupan yang Harmonis
Hyang Widhi menciptakan alam dengan segala isinya untuk memutar
kehidupan. Sekecil apapun ciptaan-Nya memiliki fungsi tersendiri dalam kehidupan ini.
Dewa, Asura, manusia, binatang, tumbuhan, bulan, bintang, semuanya memiliki tugas
dan fungsi tersendiri dalam memutar kehidupan ini. Alam dengan segala isinya
memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain. Oleh karena itu manusia
sebagai bagian alam semesta mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugas dan
fungsinya untuk ikut menciptakan keharmonisan kehidupan. Selain itu, yadnya
memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam
semesta, antara bhuana agung dan bhuana alit. Yadnya menciptakan hubungan yang
harmonis antara manusia dengan Hyang Widhi, manusia dengan sesamanya dan
keharmonisan hubungan manusia dengan alam.
Dalam melaksanakan Yadnya ada tiga kewajiban utama yang harus dilunasi
manusia atas keberadaannya di dunia ini yang disebut Tri Rna (tiga hutang hidup). Tri
Rna ini dibayar dengan pelaksanaan Panca Yadnya. Perlu diingat bahwa Yadnya tidak
semata-mata dilaksanakan dengan upakara/ritual.
Tri Rna terdiri dari:
1. Dewa Rna, yaitu hutang hidup kepada Hyang Widhi yang telah menciptakan
alam semesta termasuk diri kita. Untuk semua ini wajib kita bayar dengan Dewa
Yanya dan Bhuta Yadnya. Dewa Yadnya dalam bentuk pemujaan kepada Hyang
Widhi serta melaksanakan Dharma. Butha Yadnya dilakukan untuk memelihara
alam lingkungan sebagai tempat kehidupan semua mahluk.
2. Rsi Rna, yaitu hutang kepada para Rsi yang mengorbankan kehidupannya
sehingga dapat memberikan pencerahan kepada manusia melalui ajaran-
ajarannya sehingga manusia dapat menjalani hidup dengan lebih baik. RsiRna
dilunasi dengan melaksanakan Rsi Yadnya.
3. Pitra Rna, yaitu hutang kepada orang tua dan leluhur. Leluhur dan orang tua
sangat memiliki peranan besar atas kehidupan kita saat ini. Karma leluhur dan
orang tua berpengaruh terhadap keberadaan setiap orang. Paling tidak kelahiran
kita di dunia karena adanya leluhur dan orang tua. Oleh karena itu maka sudah
menjadi kewajiban untuk membalas hutang tersebut. Membayar hutang kepada
orang tua dan leluhur dilakukan dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.

6
2.3 Bentuk Dan Jenis Jenis Penerapan Yadnya Dalam Kehidupan Sehari Hari
1. Bentuk - bentuk Yadnya
Kitab Bhagawad Gita dalam berbagai sloka menjelaskan bahwa bentuk-
bentuk yadnya terdiri dari:
− Yadnya dalam bentuk persembahan atau upakara
− Yadnya dalam bentuk pengendalian diri atau tapa
− Yadnya dalam bentuk aktivis atau perbuatan
− Yadnya dalam bentuk ilmu pengetahuan atau jnana
2. Jenis Jenis Yadnya dan Contoh Penerapannya dalam kehidupan
a. Dari segi waktu pelaksanaan Yadnya dapat dibedakan :
• Nitya Yadnya
Nitya Yadnya yaitu yadnya yang dilakukan secara rutin setiap
hari. Contoh penerapan:
− Persembahan berupa yadnya sesa atau mebanten saiban
− Persembahyangan sehari-hari atau melaksanakan Puja Tri Sandhya
• Naimitika Yadnya
Naimitika Yadnya yaitu yadnya atau yang dilaksanakan secara
berkala/ waktu-waktu tertentu.Contoh penerapan:
− Yadnya dalam bentuk persembahan atau upakara yaitu Upacara
Piodalan, Sembahyang Purnama dan Tilem, Hari Raya baik menurut
wewaran maupun sasih. Bagi bentuk yadnya yang lain tergantung
kebiasaan pribadi perorangan/kelompok orang.
− Yadnya yang dilakukan pada hari raya tertentu melaksanakan tapa
brata sebagai wujud yadnya pengendalian diri. Ada pula yang pada
waktu tertentu setiap tahun atau setiap bulan melakukan dana punia
baik dihaturkan kepada sulinggih, orang tidak mampu dan
sebagainya.
b. Berdasarkan nilai materi/jenis bebantenan suatu Yadnya digolongkan
menjadi:
1. Nista, artinya yadnya tingkatan kecil yang dapat dibagi lagi menjadi:
− Nistaning nista, adalah terkecil dari yang kecil.
− Madyaning nista, adalah tingkatan sedang dari yang kecil.

7
− Utamaning Nista, adalah tingkatan terbesar dari yang kecil.
2. Madya, yaitu yandnya tingkatan sedang yang dapat dibagi lagi menjadi:
− Nistaning Madya, adalah tingkatan terkecil dari yang sedang.
− Madyaning madya, adalah tingkatan sedang dari yang sedang.
− Utamaning madya, adalah tingkatan terbesar dari yang sedang.
3. Utama, yaitu yadnya tingkatan besar yang dapat dibagi menjadi:
− Nistaning utama, adalah tingkatan terkecil dari yang besar
− Madyaning Utama, adalah tingkatan sedang dari yang besar.
− Utamaning Utama, adalah tingkatan terbesar dari yang besar.
c. Ditinjau dari tujuan pelaksanaan atau kepada siapa yadnya tersebut
dilaksanakan, yadnya dapat digolongkan menjadi:
1) Dewa Yadnya
2) Rsi Yadnya
3) Pitra Yadnya
4) Manusa Yadnya
5) Bhuta Yadnya
Kelima yadnya tersebut digolongkan sebagai Panca Yadnya. Panca
Yadnya adalah lima macam korban suci dengan tulus ikhlas yang wajib
dilakukan oleh umat Hindu. Pelaksanaan Panca yadnya adalah sebagai
realisasi dalam melunasi kewajiban manusia yang hakiki yaitu Tri Rna (tiga
hutang hidup). Pengertian dan contoh penerapan dari masing-masing bagian
Panca Yadnya:
1. Dewa Yadnya adalah persembahan kepada para dewa yang
cenderungnya menghaturkan saji-sajian yang dipersembahkan dengan
penuh ramah tamah.
Contoh penerapan:
− Persembahan yang dilakukan dalam setiap Hari Purnama, Tilem,
Saraswati, Pagerwesi, Galungan Kuningan, pada setiap Tumpek dan
hari-hari suci keagamaan lainnya.
− Melakukan Tri Sandhya tiga kali dalam sehari.
− Selalu berdoa terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan.
− Menjaga kebersihan tempat suci.

8
− Mempelajari dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari.
− Melaksanakan persembahyangan pada hari-hari suci seperti Purnama
atau Tilem.
2. Pitra Yadnya ialah persembahan kepada roh leluhur dan pelaksanaan
upacara kematian (baik dalam penguburan maupun dalam pembakaran
mayat)
Contoh penerapan:
− Upacara Ngaben
− Berpamitan pada orang tua ketika akan bepergian.
− Menghormati orang tua.
− Menuruti nasehat orang tua.
− Membantu dengan rela pekerjaan yang sedang dilakukan orang tua.
− Merawat orang tua yang sedang sakit.
3. Rsi Yadnya yaitu persembahan dan perhormatan kepada para pendeta
atau para pinandita, sebagai ucapan terima kasih pada beliau yang telah
membantu umat dalam pelaksanaan yadnya.
Contoh penerapan:
− Menjalankan ajaran - ajaran suci beliau.
− Melindungi, menghormati, dan memberikan sesari serta daksina
pemuput untuk pemangku.
− Yadnya berupa punia kepada para Sulinggih, Pinandita, tempat suci
dsb.
− Yang sederhana patokan yadnya ini disebutkan adalah: ketulusan,
senyum sapa, hormat manggihin sulinggih pinandita.
4. Manusa Yadnya adalah upacara penyucian yang ditujukan kepada
manusia, mulai dari upacara pernikahan hingga ajal tiba.
Contoh penerapan:
− Tolong-menolong antar sesama.
− Belas kasihan terhadap orang yang menderita.
− Saling menghormati dan menghargai antar sesama.
− Melaksanakan upacara untuk menyucikan lahir bathin manusia.

9
5. Bhuta Yadnya yaitu upacara korban yang ditujukan pada para bhuta
kala, agar dunia ini selalu dalam keadaan somya. Contoh penerapan:
− Merawat dan memelihara tumbuh-tumbuhan dengan baik.
− Merawat binatang peliharaan dengan baik.
− Menjaga kebersihan lingkungan.
− Menyayangi makhluk lain.
d. Dari segi kualitas yadnya dapat dibedakan atas:
1) Satwika Yadnya yaitu yadnya yang dilaksanakan atas dasar sradha,
lascarya, sastra, daksina, mantra dan gita, annasewa dan nasmita. Contoh
penerapan:
− Apapun bentuk yadnya yang dilakukan seperti; persembahan,
pengendalian diri, punia, maupun jnana jika dilandasi bakti dan tanpa
pamrih maka tergolong Satwika Yadnya.
− Yadnya dalam bentuk persembahan/ upakara akan sangat mulia dan
termasuk satwika jika sesuai dengan sastra agama, daksina, mantra,
Annasewa, dan nasmita.
2) Rajasika Yadnya yaitu yadnya dilakukan dengan motif pamrih serta
pamer kemewahan, pamer harga diri, bagi yang melakukan punia
berharap agar dirinya dianggap dermawan. Contoh penerapan:
− Seorang guru/pendarmawacana memberikan ceramah panjang lebar
dan berapi-api dengan maksud agar dianggap pintar; semua bentuk
yadnya dengan motif di atas tergolong rajasika yadnya.
− Seorang yang melakukan tapa, puasa tetapi dengan tujuan untuk
memperoleh kekayaan, kesaktian fisik, atau agar dianggap sebagai
orang suci juga tergolong yadnya rajasika.
3) Tamasika Yadnya yaitu yadnya yang dilaksanakan tanpa sastra, tanpa
punia, tanpa mantra dan tanpa keyakinan. Ini adalah kelompok orang
yang beryadnya tanpa arah tujuan yang jelas,hanya ikut-ikutan. Contoh
penerapan:
− Contoh orang-orang yang tegolong melaksanakan tamasikan yadnya
antara lain orang yang pergi sembahyang ke pura hanya ikut-ikutan,
malu tidak ke pura karena semua tetangga pergi ke pura, orang

10
gotong royong di pura atau di tempat umum juga hanya ikut-ikutan
tanpa menyadari manfaatnya.
− Termasuk dalam katagori ini adalah orang yang beryadnya karena
terpaksa. Terpaksa maturan karena semua orang maturan. Terpaksa
memberikan punia karena semua orang melakukan punia. Terpaksa
puasa karena orang-orang berpuasa. Jadi apapun yang
dilaksanakannya adalah sia-sia, tiada manfaat bagi peningkatan
karman.

2.4 Sumber Sastra yang Berkaitan dengan Yadnya


• Di dalam kitab suci Bhagavad Gita 111.10, disebutkan :
"Sahayajnah prajaah ssristwa
Puro waaca praajapatih
Anena prasawisya dhiwam
Esa wo 'sstwista kamadhu. "
Artinya :
"Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan tuhan telah menciptakan manusia melalui
Yadnya dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana lembu perahan yang
memerah susunya karena keinginanmu (sendiri)."

• Di dalam Pustaka Atharwa Weda menyebutkan :


" Satyam brhad rtam ugram diksa,
tapo Brahma Yandnya pratiwim
dharayanti'
Artinya :
Sebenarnya yang menyangga dalam semesta ini sehingga menjadi ajeg adalah : Satya
(kebenaran), rtam (hukum alam), diksa (sarana), tapa (pengendalian diri), brahma
(orang-orang suci), dan yadnya (korban suci secaraa tulus ikhlas)

11
• Dalam susastra suci Rg Veda menyebutkan beberapa cara beryadnya :
"Rcam twah posagste pupuswam,
Gayatram two gayatri sawawarisu,
Brahma two wadatijata widyam,
Yadnyasya mantram wi mimita u twah "
(Reg Weda, X. 71 adh.II)
Artinya :
Yang pertama, menyembah Hyang Widhi (Sembahyang/Mebakti), Kedua membaca
/mengucapkan mantra-mantra dari pustaka suci (Weda). Ketiga, Menyanyikan kidung-
kidung suci/kekawin (Dharma gita/Kirtanam). Keempat, mempelajari agama dan
mengajarkan kepada orang lain. Kelima, berprilaku yang baik (Manacika, wacika, &
kayika/tri kaya parisudha). Keenam, melaksanakan Upacara Yadnya (Upacara Panca
Yadnya dll).

• Dalam susastra suci Bhagawad Gita, Sri Krisna, sebagai Awatara Tuhan bersabda :
"Dengan Yadnya (Yadnya sanatanam) manusia
berbhakti kepada Hyang Widhi dengan segala
bentuk manisfestasinya (Dewa-Dewi), dengan
yadnya pula Hyang Widhi menyayangi, memelihara
dan melindungi manusia dan alam semesta ini
untuk mencapai kebaikan, harmoni, Jagadhita dan
tujuan yang Maha tinggi "(Bhagawad Gita III. U)
Artinya :
Dengan korban suci Yadnya, penyucian jiwa, merupakan pengabdian pada Hyang
Widhi, maka manusia akan mencapai kebahagian yang sejati yakni "manunggal dengan
Tuhan" dan tak lagi mengikuti perputaaran cakra samsara/punarbhawa.

• Dalam kitab suci Bhagawad Gita menyebutkan :


"Patram Puspam Phalam Toyam,
Yo mebhaktya praya sehati,
Tad aham bhaktya pahritam,
Asnamipraya tat manah "(Bhagavad Gita DC.26)

12
Artinya :
Siapapun yang sujud kepada Tuhan, dengan mempersembahkan sehelai daun, sekuntum
bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air yang dilandasi hati yang tulus, suci dan ikhlas
(lascarya) akan diterima sebagai persebahan yang sempurna."

• Dalam Kitab suci Manawa Dharma Sastra Bab. 111.75, tertulis sebagai berikut:
"Swadhyaye nityayuktah
syaddaiwe caiweha karrmani,
daiwakarmani yukto hi
bibhar timdam caracaram "
Artinya :
"hendaknya setiap orang yang menjadi kepala rumah tangga setiap harinya
menghaturkan mantra-mantra suci weda dan juga melakukan upacara pada para Dewa
karena ia yang rajin menjalankan yadnya pada hakekatnya membantu ciptaan Tuhan
baik yang bergerak maupun yang tak bergerak"

• Dalam kitab suci Bhagavad Gita III.12-13 yang memuat sloka berikut
"Istan bhoan hi vo deva
dasyante yajna-bhavitah
tair dattan apradayaibhyo
yo bhunkte stena eva sah
Yadnya sishtasinsah santo
mucnyante sarva kilbishail
bhunjate te tv agham papa
ye pacanty atma karamat"
Artinya
"Sesungguhnya keinginan untuk menapat kesenangan telah diberikan kepada mu oleh
para Dewa karena Yadnya-mu, sedangkania yang telah memperoleh kesenangan tanpa
member Yadnya sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa Yadnya akan
terepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sndiri,
sesungguhnya maknan dosa."

13
• Dalam kitab suci Manawa Dharma Sastra, Bab III sloka 68, sebagai berikut:
"Panca suna grhasthasya
culli pesanyu paskarah,
kandani codakumbhacca badha
yate yastu wahayan "
Artinya :
"Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan yaitu tempat
masak, batu pengasah, sapu lesung dan alunya, tempayan tempat air dengan pemakaian
mana ia diikat oelh belenggu dosa."

• Dalam kitab suci Bhagavad Gita Bab III sloka 15, sebagi berikut:
"Anand bhawanti bhutani
prajnyad annasambhwah
yadjnad bhawati prajanyo
yadjnad karma samadbawah'
Artinya :
"Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya maakaann karena hujan, adanya hujn
karenaa yadnya, sedangkan adanya yadnya adaalarr kaerena perbuatan (karma)."
(Humaidah, 2008)

2.5 Makna dari Beberapa Upakara/Banten yang Sering digunakan Masyarakat


Hindu di Bali
1) Banten Pejati

Pejati adalah rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan


manifestasiNya untuk melaksanakan suatu upacara yadnya dan mohon
dipersaksikan yang bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu
upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin, agar mendapatkan
keselamatan. Banten pejati sering dibuat, ketika pertama kali masuk dan

14
sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa
Pemangku atau Pedanda, "meluasang" kepada seorang balian/seliran atau untuk
melengkapi upakara.
Oleh karena itu dalam sumber kutipan Makna Canang Sari, Daksina,
Peras, Pejati, Ajuman, Sesayutpejati dipandang sebagai banten yang utama,
maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan
di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
Banten Pejati yang sering juga disebut "Banten Peras Daksina"
dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu :
Daksina kepada Sanghyang Brahma
Peras kepada Sanghyang Isvara
Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
Ajuman kepada SanghyangMahadeva
Secara sederhana, banten adalah persembahan dan sarana bagi umat
Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sang Pencipta.
Merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti pada beliau karna telah
dilimpahi wara nugrahaNya. Namun, secara mendasar banten dalam agama
Hindu juga adalah bahasa agama.
Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam
berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda
Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa
lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia
disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa
Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya
diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa
Mona itu adalah banten.Dalam "Lontar YajnaPrakrtl" disebutkan:
"Sahananingbebantenpinakaragantatuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara,
pinakaandabhuana "
Artinya:
Semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang
kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Dalam "Lontar Tegesing Sarwa Banten", dinyatakan:

15
Banten mapitegespakahyunan, nga; pakahyunanesanejangkep galang"
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran
yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan
banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik
mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk
banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis
filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan
rasa cinta, bhakti dan kasih.

Makna Pejati
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata "jati" mendapat awalan "pa-". Jati
berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati
menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah
pekerjaan yang sungguh-sungguh. Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok
banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan
Hya ng Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan
mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten
pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Panca
Yajna.Banten Pejati sering juga disebut "Banten Peras Daksina". Ketika
pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika
seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, "meluasang" kepada seorang
balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, bantenpejati sering dibuat. Oleh
karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set
banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan
untuk keperluan apa saja.

16
2) Banten Saiban

Mebanten saiban atau ngejot merupakan suatu tradisi Hindu di Bali yang
biasa dilakukan setiap hari setelah selesai memasak di pagi hari. Mesaiban
/Mejotan juga disebut dengan Yadnya Sesa, merupakan yadnya yang paling
sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam
kehidupan sehari-hari.
Mebanten Saiban atau Ngejot merupakan suatu tradisi Hindu di Bali
yang biasa dilakukan setiap hari setelah selesai memasak di pagi hari. Mesaiban
/Mejotan juga disebut dengan Yadnya Sesa, merupakan yadnya yang paling
sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam
kehidupan sehari-hari. Mesaiban/Mejotan biasanya dilakukan setelah selesai
memasak atau sebelum menikmati makanan. Dan sebaiknya memang
mesaiban dahulu, baru makan. Seperti yang dikutip Bhagawadgita
(percakapan ke-3, sloka 13) yaitu :
"Yajna Sishtasinah Santo, Muchyante Sarva Kilbishaih, Bhunjate Te Tv
Agham Papa, Ye Pachanty Atma Karanat. "
Artinya :
Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi
menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini
sesungguhnya makan dosa.
Makna dan Tujuan Mesaiban
Yadnya sesa atau mebantensaiban merupakan penerapan dari ajaran
kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu
tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan
kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa
manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa
makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini.

17
Tujuannya mesaiban yaitu sebagai wujud syukur atas apa yang di
berikan Hyang Widhi kepada kita. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya
sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa
untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan
Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam
beserta dengan isinya.
3) Segehan

Segehan adalah tingkatan kecil / sederhana dari Upacara Bhuta Yadnya.


Sedangkan tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur. Kata segehan,
berasal kata "Sega" berarti nasi jika dalam bahasa Jawa adalah sego. Oleh sebab
itu, bantensegehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya,
lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi
tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut)
kecil-kecil atau dananan.
Wujud bantensegehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi
nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti "bawang merah, jahe,
garam" dan lain-lainnya, dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut
kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau
swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta
berem.

Makna Segehan
Segehan artinya "Suguh" (menyuguhkan), dalam hal ini segehan di
haturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu dan juga Ancangan
Iringan Para Betara dan Betari, yang tak lain adalah akumulasi dari
limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia
dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat
menetralisir dan menghilangkan pengaruh negative dari limbah tersebut.

18
Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia
dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di
bawah/sudut- sudut natar Merajan/Pura atau di halaman rumah dan di gerbang
masuk bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga Caru banyak disinggung
dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti
(Manavadharrnasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya
melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan
persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan,
pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.

19
BAB II
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian materi mengenai Yadnya diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut.
1) Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari akar kata "yaj" yang artinya
memuja.Yadnya menurut ajaran agama Hindumerupakan korban suci secara tulus
ikhlas atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari sebagai
pengabdian yang sejati kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha
Esa) serta merupakan suatu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat
manusia di dalam kehidupannya sehari-hari.
2) Tujuan daripada Yadnya itu sendiri diantaranya adalah untuk penyucian, sarana
meningkatkan kualitas diri, untuk menghubungkan diri kepada Tuhan/Ida Sang
Hyang Widhi, sebagai tanda/ ucapan rasa terimakasih serta untuk mewujudkan
keharmonisan. Selain itu, Yadnya juga bertujuan untuk menebus 3 hutang manusia
dalam Hindu yang dikenal dengan sebutan Tri Rna.
3) Bentuk dan jenis Yadnya dapat digolongkan menjadi 4 bagian, yaitu Yadnya
berdasarkan waktu pelaksanaannya, berdasarkan nilai materi/kualitas Yadnya,
berdasarkan tujuan pelaksanaan dan berdasarkan kualitas Yadnya itu sendiri.
Penerapan Yadnya juga dilakukan berdasarkan kategori atau penggolongan jenis
Yadnya.

3.2 Saran
Sebagai masyarakat khususnya umat Hindu hendaknya melaksanakan Yadnya
didasari atas hati yang ikhlas. Karena Yadnya yang baik adalah Yadnya yang tulus
tanpa didasarkan atas rasa pamrih.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, I. (1967). Mantra. Denpasar: Ahli Bahasa PHDIP.

Drs. I Made Purana, M. (2016). Pelaksanaan Tri Hita Karana Dalam Kehidupan Umat
Hindu. Kajian Pendidikan Widya Accarya FKIP Universitas Dwijendra
ISSNNO. 2085-0018, 67-72.

Humaidah, E. (2008). Makna Yadnya Sesa Bagi Kehidupan Keseharian Umat Hindu,
keagamaan ,4-7.

https://filsafatpendidikans.wordpress.eom/2016/l 1/14/arti-banten-pejati-dan-makna-
unsur-unsur-filosofi-dalam-banten-pejati/ Diakses pada tanggal 15
September 2019

http://inputbali.com/budava-bali/mengetahui-lebih-dalam-makna-dari-segehan. Diakses
pada tanggal 16 September 2019

http://www.desaabiansemal.badungkab.go.id/baca-artikel/203/Makna-Mebanten-
Saiban-Ngejot-dalam-Tradisi-HinduBali.html Diakses pada tanggal 16
September 2019

21

Anda mungkin juga menyukai