Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH WEDA II

“RITUAL KEAGAMAAN AGAMA HINDU DI BALI”

Dosen Pengampu: Ida Ayu Adi Armini, S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh:

I KOMANG PUTRA YASA WIRAWAN

01/2011011002

PAH B2 DENPASAR/III

UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA

FAKULTAS DHARMA ACARYA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

2021
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Om A No Bhadrah Kratawo Yantu Wiswatah

Semoga semua pikiran yang baik datang dari segala penjuru.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
senantiasa memberikan jalan sinar suci penerangan sehingga penulis mendapatkan
kemudahan dalam setiap kesulitan. penulis yakin bahwa cahaya cemerlang datang
dari segala penjuru menyinari setiap kegelapan dalam upaya penulis menyelesaikan
Makalah Mata Kuliah Weda II dengan judul “Ritual Keagamaan Agama Hindu di
Bali” yang merupakan penulisannya bertujuan untuk pemenuhan tugas dalam mata
kuliah ini.

Penulisan makalah ini bertujuan memenuhi tugas pada mata kuliah Weda II
pada Program Studi Pendidikan Agama Hindu Semester III. Pada makalah ini,
teruraikan mengenai bagaimana hakikat ritual, bentuk ritual-ritual keagamaan
Agama Hindu di Bali serta kaiatannya dengan isi ucap kitab suci Weda. Hasil
makalah ini terkumpulkan dalam bentuk softcopy (.pdf) yang dikirimkan pada
kolom tugas pada Google Classroom mata kuliah Weda II.

Terlepas dari semua aspek, penulis menyadari bahwasannya makalah ini jauh
dari kata sempurna. Besar harapan penulis agar pembaca dan/atau Bapak/Ibu Dosen
Pengampu mata kuliah Weda II berkenan memberikan umpan balik berupa kritik
dan saran. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Om Santhi, Santhi, Santhi Om

Denpasar, November 2021

(Penulis)

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................1

1.1. Latar Belakang Makalah .........................................................1


1.2. Rumusan Masalah ...................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan .....................................................................2
1.4. Manfaat Penulisan ...................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................4

2.1. Hakikat Ritual .........................................................................4


2.1.1. Definisi Ritual .............................................................5
2.1.2. Macam Ritual ..............................................................6
2.2. Ritual Keagamaan Agama Hindu............................................7
2.3. Yadnya ..................................................................................10
2.4. Ritual Agama Hindu (Yadnya) dalam kaitannya dengan isi
ucap Kitab Suci Weda ...........................................................14

BAB III PENUTUP .....................................................................................18

3.1. Kesimpulan ...........................................................................18


3.2. Saran ......................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Makalah


Pulau Bali merupakan salah satu tempat yang menjadi icon atau ciri khas dari
Indonesia. Bahkan tidak sedikit wisatawan asing yang menyebutkan bahwa Pulau
Bali merupakan sebuah negara yang berbeda dengan Indonesia. Terkenalnya Pulau
Bali dimata dunia tidaklah melalui proses yang singkat. Pariwisata Bali sendiri telah
berlangsung sejak tahun 1930-an. Tentu ini merupakan proses yang sangat lama.
Namun, hal tersebut terbayarkan dengan termashyurnya nama Bali di mata dunia.
Pulau Bali memiliki berbagai nama sebutan yang dilontarkan oleh para
wisatawannya, baik wisatawan domestic maupun internasional. Sebutan-sebutan
tersebut antara lain Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, dan The Island of God.
Sebutan-sebutan tersebut tentunya berdasarkan keadaan Pulau Bali yang dasarnya
masih sangat kental dengan kebudayaan tradisi. Di Bali sendiri, tradisi sangatlah
dijaga dengan baik. Hal ini dikarenakan bagi masyarakat Bali tradisi inilah yang
akan memunculkan suatu aura dari Pulau Bali yang nantinya dapat menarik
perhatian para wisatawan. Aura tersebut dalam istilah Hindu disebut dengan Taksu.
Bicara Pulau Bali tentunya tidak terlepas dari hal kebudayaan, tradisi, dan
ritual keagamaan. Kebudayaan, tradisi dan ritual keagamaan di Pulau Bali sangatlah
banyak dan masih dijalankan hingga hari ini. Inilah yang menyebabkan Pulau Bali
selalu mempunyai keunikan tersendiri. Kehidupan di Pulau Bali tidaklah dapat
terlepas dari adanya suatu ritual keagamaan bahkan dalam kehidupan sehari-
harinya.
Ritual merupakan suatu bentuk kegiatan yang dilaksanakan oleh manusia
dalam maksud dan tujuan tertentu. Di Pulau Bali sangatlah banyak ada ritual
keagamaan (Hindu) yang masih diselenggarakan hingga saat ini. Ritual-ritual
tersebut diselenggarakan guna memohon keselamatan dunia beserta isinya
termasuk segala mahkluk hidupnya. Di Bali ritual sering juga disebut dengan
upacara. Ritual dengan upacara memiliki arti yang berbeda.
Ritual adalah hal-hal yang dilakukan dalam rangka mengadakan sebuah
upacara. Manusia dalam kehidupannya juga melaksanakan ritual-ritual. Ritual
tersebut dilaksanakan seperti pada saat bangun tidur pagi, sebelum makan, ketika
akan memulai kegiatan, hingga akan sebelum tidur, bahkan banyak pula jenis
bentuk persiapan masyarakat dalam akan memulai sesuatu kegiatan yang
dilaksanakan secara rutin, demikianlah yang disebut dengan ritual. Dalam upacara
keagamaan, ritual dilaksanakan dalam upacara mempersiapkan suatu jalannya
upacara. Ritual-ritual tersebut dilaksanakan dimaksudkan untuk memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa guna memohon kelancaran
daripada jalannya upacara.

1
Istilah ipacara berasal dari bahasa Sansekerta yang berakarkan pada kata upa
dan cara. Upa yang berarti dekat, berada di sekeliling, atau menunjuk segalanya.
Sedangkan, cara berarti suatu bentuk kegiatan. Sehingga dapat disebutkan
bahwasannya Upacara merupakan segala gerakan sekeliling kehidupan manusia
dalam upaya menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa. Samarnya perbedaan antara ritual dan upacara ini menyebabkan
kedua istilah tersebut dinyatakan memiliki arti yang sama. Hal tersebut pun akan
sukar untuk diubah karena telah menyatu dengan kehidupan masyarakat di Pulau
Bali.
Maka dengan demikian, upacara dan ritual akan diartikan sama pada
penulisan ini. Hal ini didasarkan dengan apa yang telah berkembang di masyarakat.
Yang kemudian nantinya pembaca yang merupakan bagian dari masyarakat, Bali
khususnya, tidak mengalami kebingungan akan penyebutan kedua istilah tersebut.
Dalam penulisan ini, akan dibahas secara mendalam terkait dengan ritual-ritual
keagamaan di Bali dan bentuk-bentuk ritualnya serta bagaimana kaitan ritual
keagamaan Hindu dengan isi ucap dari Kitab Suci Weda., baik Weda Sruthi
maupun Weda Smrthi.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah merupakan hal-hal yang nantinya akan dibahas pada
bagian pembahasan. Rumusan masalah pada makalah ini bersumber pada
pembahasan-pembahasan yang terdapat pada pedoman utama penulisan makalah
ini, yaitu Buku Upadesa Tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu. Berikut merupakan
bahasan-bahasan yang akan dibahas pada makalah ini yang tidak disusun menjadi
kalimat tanya.
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan Ritual?
1.2.2. Bagaimana bentuk ritual keagamaan di Bali?
1.2.3. Apa yang dimaksud dengan Yadnya?
1.2.4. Bagaimana kaitan ritual agama Hindu atau Yadnya dengan isi ucap
Kitab Suci Weda?

1.3. Tujuan Penulisan


Dalam beberapa rumusan masalah yang telah dikemukakan, akan
menghasilkan beberapa tujuan yang didasarkan pada rumusan masalah tersebut.
Berikut tujuan penulisan terkait bahan bahasan yang telah dikemukakan.
1.3.1. Untuk mengetahui tentang hakikat dari ritual.
1.3.2. Untuk mengetahui bentuk ritual keagamaan di Bali.

2
1.3.3. Untuk menambah wawasan terkait Yadnya yang berlangsung di Bali.
1.3.4. Untuk menambah wawasan tentang kaitan ritual Hindu dengan isi
ucap Kitab Suci Weda.

1.4. Manfaat Penulisan


1.4.1. Bagi penulis, diharapkan memperoleh wawasan dan pemahaman baru
mengenai informasi dan ajaran-ajaran tentang
1.4.2. Bagi pembaca, diharapkan dari hasil penulisan ini dapat
meningkatkan pemahaman mengenai informasi dan ajaran-ajaran
tentang

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Ritual


Ritual ialah suatu upaya membentuk suatu tata cara kebiasaan menjadi suci.
Ritual membangun dan memelihara mitos, juga tata cara sosial serta agama, sebab
ritual adalah agama pada tindakan. Ritual mampu pribadi atau berkelompok, dan
menghasilkan disposisi pribadi asal pelaku ritual sinkron dengan adat dan budaya
masing-masing. sebagai kata sifat, ritual merupakan dari segala yang dihubungkan
atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti upacara kelahiran, kematian,
pernikahan dan juga ritual sehari-hari untuk menandakan diri kepada kesakralan
suatu menuntut diperlakukan secara spesifik.
Pada dasarnya, ritual bukanlah tujuan dari hidup manusia itu sendiri. Ritual
merupakan sebuah alat, media, atau sarana yang akan mendorong umatnya guna
lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa dan tercapainya suatu kesadaran akan
Tuhannya sendiri. Aktivitas ritual sebenarnya ialah menjadi media penguatan
religiositas yang pemahaman dan penalarannya juga berkenaan dengan segi-segi
inteletual. Hal tersebut seirama dengan hasil penelitian disertasi Donder (2013: 513-
515) dengan judul “Logical Interpretation of Some Performing Hindu Rituals” yang
tersurat dalam Jurnal Widyanatha 2, mengungkapkan bahwa:
“Ritual is a tool and not a final goal of human being. The final goal of human life
is self-realization, that is, unity with God. Ritual is an important part of religion,
especially in the Hindu religion. Because of the rituals’ importance, the rituals
have survived for so long, but many people still misunderstand the Hindu rituals;
and this misunderstanding is due to their ignorance to the rituals, they never
wanted to know properly about the rituals.”
Terjemahan:
Ritual adalah alat dan bukan tujuan akhir manusia. Tujuan akhir kehidupan manusia
adalah realisasi diri, yaitu persatuan dengan Tuhan. Ritual adalah bagian penting
dari agama, terutama dalam agama Hindu. Karena pentingnya ritual tersebut, ritual
tersebut bertahan begitu lama, namun banyak orang masih salah mengerti ritual
Hindu; dan kesalahpahaman ini disebabkan oleh ketidaktahuan mereka terhadap
ritual, mereka tidak pernah ingin mengetahui dengan benar tentang ritual tersebut.
Ritual adalah hal-hal yang dilakukan dalam rangka mengadakan sebuah
upacara. Manusia dalam kehidupannya juga melaksanakan ritual-ritual. Ritual
tersebut dilaksanakan seperti pada saat bangun tidur pagi, sebelum makan, ketika
akan memulai kegiatan, hingga akan sebelum tidur, bahkan banyak pula jenis
bentuk persiapan masyarakat dalam akan memulai sesuatu kegiatan yang
dilaksanakan secara rutin, demikianlah yang disebut dengan ritual. Dalam upacara

4
keagamaan, ritual dilaksanakan dalam upacara mempersiapkan suatu jalannya
upacara. Ritual-ritual tersebut dilaksanakan dimaksudkan untuk memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa guna memohon kelancaran
daripada jalannya upacara.
Guna mengetahui hal-hal lebih detail terhadap hakikat daripada ritual, berikut
akan dijabarkan beberapa hal yang telah penulis rangkum dalam beberapa sub
bab.
2.1.1. Definisi Ritual
Ritual identik dengan ritus. Ritual berasal dari bahasa Latin ritus, atau
seperangkat ritus, praktik atau tindakan yang ditetapkan yang merupakan
bagian dari liturgi serta tradisi, serta yang mengatur upacara dan kultus suatu
kepercayaan di kawasan suci guna menyembah Tuhan atau alam, Ritual
merupakan suatu bentuk kegiatan yang dilaksanakan oleh manusia dalam
maksud dan tujuan tertentu. Di Pulau Bali sangatlah banyak ada ritual
keagamaan (Hindu) yang masih diselenggarakan hingga saat ini. Ritual-ritual
tersebut diselenggarakan guna memohon keselamatan dunia beserta isinya
termasuk segala mahkluk hidupnya. Di Bali ritual sering juga disebut dengan
upacara.
Ritual sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku
kesejahteraan individu bayangan. Hal itu semua dimaksudkan untuk
mengontrol, dengan cara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan
nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan. Ritual
merupakan suatu bentuk metode yang dijalankan oleh manusia guna
menjadikan suatu hal kebiasaan menjadi suci. Disamping definisi demikian,
beberapa ahli dan tokoh juga mengemukakan pendapatnya terhadap definisi
ritual. Berikut telah dirangkum beberapa definisi dari ritual yang diungkapkan
oleh beberapa para ahli dan tokoh.
1. Menurut Susane Longer, yang dikutip oleh Mariasusai
Dhavarnony, mengatakan bahwa ritual adalah sesuatu ungkapan
yang lebih bersifat logis dari pada yang bersifat psikologis, ritual
memperlihatkan tatanan atas simbul-simbul yang diobjekkan,
simbul-simbul ini memperlihatkan perilaku dan peranan serta
bentuk pribadi para pemuja dan mengikuti mengikuti masing-
masing.
2. Menurut Mercea Eliade, sebagaimana dikutip oleh Mariasusai
Dhavamory, menyatakan bahwa “ritual adalah sesuatu yang
mengakibatkan suatu perubahan ontologis pada manusia dan
mentransformasikannya pada situasi keberadaan yang baru,
misalnya; penempatan-penempatan pada lingkup yang kudus”.
Dalam makna religiusnya, ritual merupakan gambaran yang suci
dari pergulatan tingkat dan tindakan, ritual mengingatkan
peristiwa-peristiwa primordial dan juga memelihara serta

5
menyalur pada masyarakat, para pelaku menjadi setara dengan
masa lampau yang suci dan melanggengkan tradisi suci serta
memperbaharui fungsi-fungsi hidup anggota kelompok tersebut.
3. Para ahli seperti Arnold Van Gennep, Victor Turner, Clifford
Geertz, Catherine Bell, Emile Durkeim dan Roy Rappaport,
dalam melihat ritual lebih menekankan pada bentuk ritual sebagai
suatu penguatan ikatan tradisi sosial dan individu dengan struktur
sosial dari kelompok. Intergrasi itu dikuatkan dan diabdikan
melalui simbolisasi ritual. Jadi ritual bisa dikatakan sebagai
perwujudan esensial dari kebudayaan.
2.1.2. Macam Ritual
Sesuai dengan keperluan masing-masing individu dalam upaya
memperkokoh religiusitas dan mempererat hubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa dalam kehidupan manusia, terbentuklah beberapa macam ritual,
antala lain:
1. Ritual Suku-Suku Primitif
Kepercayaan suku-suku primitif terhadap ritual ialah berupa
bentuk-bentuk yang berasal dari sesajian sederhana, seperti buah-
buahan yang ditaruh pada hutan atau ladang, hingga pada
upacara-upacara yang rumit pada daerah-daerah yang diklaim
suci. Suku-suku primitif ini menyelenggarakan ritual
menggunakan cara tari-tarian serta melaksanakan upacara yang
rumit. di upacara tersebut, para peserta memakai topeng-topeng
dengan maksud mengidentikkan diri mereka dngan roh-roh.
Tujuan dari ritual ini merupakan guna mewujudkan atau
mengulangi insiden memorial di daerah asalnya, sebagai
akibatnya global, kekuatan-kekuatan penting, hujan, serta
kesuburan diperbaharui dan roh-roh leluhur atau ilahi-dewa
dipuaskan serta keamanan mereka dijamin.
2. Ritual Hindu
Ada dua bentuk ritual Hindu, yakni ritual Vedis dan ritual
Agamis.
a. Ritual Vedis pada pokoknya mencakup korban-korban suci
kepada para dewa. Suatu korban suci berupa melakukan
persembahan seperti mentega cair, buah-buah padi, sari buah
soma, serta pada kesempatan tertentu dapat pula
mempersembahkan hewan kepada suatu dewata. Umumnya,
sesajian ini ditempatkan di baki suci lalu dilemparkan ke
dalam api suci yang sudah dinyalakan di atas altar
pengorbanan. Pendeta yang memimpin jalannya ritual

6
mempersembahkan korban-korban suci melalui perantara
dewi api (Agni) yang sebagai mediator yang kuasa dengan
manusia.
b. Ritual Agamis memusatkan perhatian pada penyembahan
puja-pujaan, pelaksanaan puasa dan pesta-pesta yang
termasuk bagian agama Hindu. Orang Hindu tidak
memandang pujaan menjadi penyerapan semua eksistensi
yang kuasa. Mereka memandang ilustrasi itu menjadi suatu
lambang untuk Tuhan, serta bahkan saat menyembah alam,
mereka melihat manifestasi dari kekuatan yang kuasa di
dalamnya.
3. Ritual Jawa
Jawa mempunyai tradisi serta aneka macam macam ritual yang
majemuk. Ritual Jawa ditujukan guna keselamatan, baik diri
sendiri, keluarga serta orang lain. Dalam istilah Jawa ritual
disebut slametan. Slametan ialah suatu aktivitas mistik yang
bertujuan guna memohon keselamatan baik di dunia dan di
akhirat, ritual juga menjadi wadah bersama masyarakat, yang
mempertemukan aneka macam aspek kehidupan sosial serta
perseorangan pada waktu-waktu tertentu. Contohnya: Ritual
Kematian, ialah proses menuju kehidupan selanjutnya. Pada
masyarakat Jawa, kematian merupakan suatu hal yang sakral
yang mana wajib diadakan ritual agar mayat bisa sempurna dan
arwahnya mampu diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam
kebiasaan orang Jawa kerabat dan keluarga mengadakan
beberapa acara ritual, antara lain: ritual surtanah, slametan telung
dino, mitung Dino, metang puluh dino, nyatus dino, nyewu dino
serta terahir slametan mendak.

2.2. Ritual Keagamaan Agama Hindu


Pada dasarnya ajaran agama Hindu terangkum menjadi tiga bagian yang
dikenal dengan istilah Tri Kerangka Agama Hindu, yaitu tiga kerangka dasar ajaran
agama Hindu. Bagian Tri Kerangka Agama Hindu antara satu sama lainnya
sangatlah saling berhubungan. Keterkaitan tersebut merupakan suatu kesatuan yang
bulat yang patut dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan agama Hindu yaitu
Moksa atau kebebasan/kebahagiaan tertinggi dan jagadhita atau kesejahteraan
hidup. Tri Kerangka Agama Hindu terdiri dari Tattwa (filsafat), Susila (Etika), dan
Acara (Ritual atau praktek keagamaan). Dalam tattwa dijabarkan inti ajaran agama
Hindu yang dimana nantikan dapat menuntun dan membimbing umat beragama
Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup. Ajaran Susila menjelaskan bagaimana
tata cara kehidupan manusia dalam hubungannya antar sesama, antar
lingkungannya, dan dengan Tuhannya. Dalam ajaran Susila ini, umat manusia

7
diberi ajaran tentang bagaimana berperilaku dan beretika yang baik yang dapat
menciptakan suasana yang tentram dalam hidupnya. Kemudian, bagian yang ketiga
disebut dengan Acara. Ajaran acara ini meliputi pustaka suci, orang suci, hari suci,
wariga, mantra, dan yadnya dalam berbagai bentuk dan kualitasnya.
Dengan demikian pernyataan di atas, sudah jelas bahwa bagian Tri Kerangka
Agama Hindu antara satu sama lain saling isi mengisi atau berhubungan. Tattwa
sebagai landasan filosofis dalam pelaksanaan ajaran-ajaran agama Hindu. Susila
sebagai landasan etis atau perilaku dari umat manusia antara hubungannya dengan
sesama manusia, dengan lingkungannya, dan dengan Tuhannya. Dan acara
merupakan landasan perilaku dalam tradisi dan kebudayaan religious. Acara
mengimplementasikan ajaran tattwa dan Susila dalam wujud tata keberagamaan
pada dimensi kebudayaan. Tanpa adanya acara, agama hanyalah seperangkat ajaran
yang subyektif pada dunia ini.
Acara agama merupakan bagian yang paling luar sehingga tampak dalam
kegiatan hidup beragama. Acara agama sekalipun menduduki posisi paling luar
tidak berarti acara agama ini tidak begitu penting. Kedudukan acara agama ini juga
tersurat dalam kitab Mānava Dharmaśāstra II.6 sebagai berikut:
Vedo ‘khilo dharma mūlam
smṛtiśīle ca tadvidām
ācāraścaiva sādhūnām
ātmanastuṣṭir eva ca
Terjemahan:
Seluruh pustaka suci Veda merupakan sumber pertama dari dharma, kemudian adat
istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami
ajaran suci Veda, juga tata cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan pribadi
(Pudja, 2004: 31).
Berkenaan dengan hal tersebut, jikalau dilihat dari antara bagian Tri Kerangka
Agama Hindu, acara merupakan bagian terluar yang dimana merupakan bagian
yang akan paling nampak pelaksanaannya di lingkungan kehidupan masyarakat.
Hal ini dikenal juga sebagai ritual atau sebuah ekspresi daripada sebuah yadnya.
Ritual agama Hindu di Bali sangatlah beragam adanya. Setiap daerah di Bali
memiliki ritualnya masing-masing yang dibarengi dengan tradisi lokalnya. Ritual
yang ada di Bali merupakan ritual turun-menurun dari leluhur yang telah diwarisi
selama ratusan tahun. Ritual-ritual yang telah diturunkan tersebut masih
diselenggarakan oleh masyarakat (lokal daerah yang bersangkutan) sampai saat ini.
Penyelenggaraan ritual tersebut dimaksudkan untuk memohon keselamatan dan
ketentraman alam semesta beserta isinya agar senantiasa damai dan sejahtera.
Sangat banyak jenis ritual yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur sejak
zaman dahulu. Mulai dari ritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida
Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, kepada leluhur, kepada manusia
itu sendiri, dan lain sebagainya.

8
Pelaksanaan ritual di Bali yang dikenal dengan sebutan yadnya tidak dapat
lepas dari kehidupan umat beragama Hindu. Dalam kondisi apapun sebaiknya
pelaksanaan ritual atau yadnya diusahakan untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan
pelaksanaan ritual atau yadnya tersebut merupakan suatu swadharma atau
kewajiban umat beragama Hindu. Namun, dalam melaksanakan ritual atau yadnya
perlu diperhatikan dan dipahami tattwa yang tersirat dalam ritual tersebut. Tidak
ada yadnya yang memberikan pengaruh yang optimal terhadap umatnya apabila
ritual atau yadnya tersebut tidak dilaksanakan dengan didasarkan oleh bhakti dan
tulus ikhlas atau lascarya. Hal di atas juga tersirat pada kutipan sloka berikut:
aphalākāṅkṣhibhir yajño
vidhi-driṣhṭo ya ijyate
yaṣhṭavyam eveti manaḥ
samādhāya sa sāttvikaḥ
(Bhagavad Gītā, XVII.11)
Terjemahan:
Persembahan korban suci yang dilakukan oleh mereka yang sudah tidak
menginginkan hasil dari persembahan korban suci yang dilakukan, persembahan
korban suci yang dilakukan sesuai dengan aturan peraturan kitab-kitab suci, yang
dilakukan setelah memantapkan dalam hati bahwa persembahan korban suci yang
dilakukan adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan, persembahan korban
suci seperti itu adalah korban suci dalam sifat kebaikan.
Pelaksanaan upacara yadnya atau ritual merupakan suatu penerapan ajaran
dharma yang penerapannya patut dilaksanakan dengan ikhlas dan tulus. Upacara
yadnya atau ritual ini merupakan suatu hasil karya suci yang penerapannya wajib
didasari akan ketulusikhlasan. Pelaksanaan ritual atau yadnya ini mengandung
nilai-nilai suci, yakni rasa bhakti dan memuja Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, leluhur, pendeta atau Rsi, dan manusia itu sendiri. Disamping
itu, pelaksanaan yadnya harus disesuaikan dengan keadaan, kondisi, dan
kemampuan masing-masing umat dan tentunya harus melaksanakannya sesuai
dengan desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan) yang berlaku di wilayah
atau Kawasan yang bersangkutan. Termuat makna bhakti di dalam pengaplikasian
ritual tersebut, bahwasanya melalui pelaksanaan ritual suci atau yadnya, manusia
mampu melakukan komunikasi dengan para dewa, serta atas yajna tersebut para
dewa akan memberikan anugerah kepada manusia. Inilah puncak dari konsep
bhakti, yaitu manusa bhakti dewa asih (manusia beryajna guna menerima kasih
tuhan). Sebuah ritual yang suci pula adalah kegiatan yajna yang mampu
memurnikan jiwa seorang. Sejalan dengan hal di atas dalam Mānava Dharmaśāstra
III.72 menjelaskan akan pentingnya melaksanakan sebuah ritual agama sebagai
berikut:
Devatātithi bhṛtyānām
pitṛṇāmātmanaśca yaḥ
na nirvapati pancānam
ucchvasanna sa jīvati

9
Terjemahan:
Tetapi ia yang tidak memberikan persembahan kepada kelima macam tadi yaitu
kepada para Dewa, para tamunya, mereka yang harus pelihara, para leluhur dan ia
sendiri, pada hakekatnya tidak hidup walaupun bernafas.
Sebuah pengorbanan ataupun pelaksanaan kegiatan keagamaan dalam keadaan
apapun penting untuk dilaksanakan, karena manusia wajib mensyukuri kehidupan
dan memiliki tugas untuk mengharmoniskan kehidupan semesta ini. Pemujaan,
persembahan atau pengorbanan ditujukan kepada Tuhan Yang maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya, leluhur dan bahkan kepada sesama
manusia dan mahluk hidup lainnya yang merupakan ciptaan-Nya, menyiratkan
bahwa manusia ikut aktif dalam memutar roda yajna.

2.3. Yadnya
Umat Hindu di Bali merupakan masyarakat yang religious. Hal ini dapat
dilihat dari aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu yang selalu
melaksanakan ritual. Adanya suatu rutinitas keagamaan melalui pelaksanaan
yadnya merupakan suatu wujud bhakti masyarakat umat Hindu kepada Tuhan Yang
Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam melaksanakan upacara yadnya
umat Hindu di Bali selalu berpegangan dengan tatanan atau nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat sebagai ciri kehidupan sosiologi dalam kehidupan
bermasyarakat, salah satu ciri tatanan atau teknis dalam pelaksanaan yadnya di bali
yaitu adanya pembagian tugas atau kewajiban yang dilaksanakan dengan penuh
tanggungjawab. Konsepsi ajaran Yadnya dengan jelas bersumber pada kitab suci
Veda. Kitab Rg Veda sebagai Veda yang tertua sekaligus juga Veda terpenting
dalam salah satu mantranya ada menyebutkan hal sebagai berikut.
yat punisena lavisa,
deva Yadnyam atasvata,
vasanlo asyasid ajyam,
grisirna idhsnah saraddhhavih
(Rg Veda; X 90.6)
Artinya:
Ketika para Dewa mengadakan upacara korban, dengan purusa sebagai
persembahan maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarya adalah musim
panas, dan sesajen persembahannya adalah musim gugur.
Pelaksanaan yadnya di Bali ini dilatarbelakangi adanya suatu hutang. Hutang-
hutang tersebut telah dibawa sejak lahir oleh manusia. Hutang tersebut wajib
hukumnya untuk dibayar dengan jalan melaksanakan yadnya dengan tulus ikhlas
dan tanpa adanya suatu keterpaksaan. Hutang yang dimaksud ada tiga yang disebut
dengan Tri Rna. Tri Rna merupakan tiga hutang manusia yang telah dibawa sejak
lahir yang patut dibayarkan dengan melaksanakan yadnya. Tri Rna terdiri dari:

10
- Dewa Rna
Dewa Rna merupakan suatu hutang manusia kepada Tuhan Yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Melunasi Dewa
Rna ini dapat dilakukan dengan menyayangi ciptaan-Nya, selalu berbhakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta
manifestasinya, dan tidak lupa wajib hukumnya selalu melaksanakan Dewa
Yadnya yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing dan menurut
desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan) yang berlaku di Kawasan
atau daerah yang bersangkutan.
- Pitra Rna
Pitra Rna merupakan hutang kepada leluhur. Dalam upaya melunasin Pitra
Rna ini, umat Hindu dapat melakukannya dengan menghormati dan
menghargai Beliau ketika masih hidup dan melaksanakan upacara Pitra
Yadnya setelah Beliau meninggal dunia.
- Rsi Rna
Rsi Rna merupakan hutang kepada maha rsi, orang suci, atau guru. Dalam
upaya pelunasannya, hendaknya dibayar dengan menghormati, menghargai,
dan berdana punia kepada guru atau orang suci yang dimana telah berjasa
dalam menuntun jalannya kehidupan umat manusia yang sesuai dengan
ajaran kebenaran atau Dharma.
Selain adanya ketiga hutang tersebut, dalam jurnal Ilmu Agama karya I Ketut
Wartayasa menyebutkan bahwa pelaksanaan yadnya juga dilatarbelakangi oleh
sebagai berikut:
- Masyarakat Hindu Bali menyadari alam semesta ini beserta isinya
diciptakan oleh Hyang Widi berdasarkan Yadnya. Oleh sebab itu, sudah
sewajarnya kita membalasnya juga dengan jalan pelaksanaan Yadnya.
- Konsep Ngayah. ngayah adalah perwujudan rasa bhakti umat Hindu
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan kerja
dan tidak mengharapkan imbalan karena ia yakin bahwa kerja yang
dilakukan adalah kewajiban atau swadharma. Jagi ngayah merupakan
sikap dan sifat sosio-religius masyarakat Hindu Bali yang dijadikan sistem
nilai dan norma kemudian diimplementasikan dalam sistem tindakan
sosial di Desa Pakraman, serta diwujudkan dalam bentuk material-material
budaya yang agung dan sebagai falsafah masyarakat Hindu Bali.
Yadnya dalam pelaksanaannya memberikan peluang besar bagi umat Hindu
di manapun mereka berada untuk beraktivitas dan berkreasi sesuai dengan adat
budaya yang mereka hayati, sehingga Yadnya yang merupakan salah satu aspek
ajaran Agama Hindu menyatu dengan adat budaya setempat (Ni Made Sukrawati,
2019:13). Secara etimologi kata Yadnya adalah kata yang berasal dari Bahasa
Sansekerta. Dalam Bahasa Sansekerta, kata Yadnya berasal dari urat kata Yaj yang

11
berarti memuja atau mempersembahkan atau memberi pengorbanan. Dalam Reg
Weda VIII.40.4 menyebutkan bahwa:
abhyarca nabhaakavadindraagnii
yajasaa giraa, yayorvisvabhidam
dyauh prthivi mahyu pasthe bibhrto
vasu nabhantaamanyake same.
Terjemahan:
Memujalah, seperti Nabhaka, Indra dan Agni dengan pengorbanan dan pujian,
semua yang ada di dunia ini, kepada pangkuan sorga dan bumi yang luas ini yang
menyimpan kekeyaan berharga mereka: semoga semua musuh kami binasa.
Yadnya dalam agama Hindu adalah aspek keimanan dan upacara dalam
ajaran Hindu merupakan bagian daripada Yadnya. Yadnya mempunyai arti yang
sangat luas sekali. Yadnya merupakan suatu korban suci yang tulus ikhlas.
Pelaksaaan yadnya pada hakikatnya merupakan bertujuan untuk membantu
manusia untuk terpeas dari belenggu duniawi guna mencapai suatu kelepasan yang
tidak terbatas atau abadi yang disebut dengan moksa. Pelaksanaan yadnya di Bali
dilaksanakan berdasarkan kepada siapa korban suci itu ditujukan. Di Bali dikenal
ada lima yadnya yang dilaksanakan yang disebut dengan Panca Maha Yadnya atau
Panca Yadnya. Kelima yadnya tersebut ialah:
- Dewa Yadnya, merupakan korban suci yang tulus ikhlas, baik berupa
material atau non material yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Pelaksanaan ini
dapat dilakukan dengan menjaga kesucian tempat suci, melaksanakan
persembahyangan dengan baik dan benar, dan lascarya.
- Pitra Yadnya, merupakan korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan
kepada leluhur. Menghormati orang tua merupakan salah satu
pengimplementasian pitra yadnya di kehidupan sehari-hari, mendengarkan
dan melaksanakan nasihatnya, serta melaksanakan upacara pitra yadnya
untuk pendahulu keluarga yang telah meninggal dunia.
- Rsi Yadnya, merupakan korban suci tulus ikhlas yang ditujukan kepada
orang suci atau guru. Contoh pelaksanaan rsi yadnya ini ialah upacara
pawintenan bagi sang eka jati, yaitu pinandita atau pemangku dan upacara
pediksan bagi sang dwi jati, yakni pandita atau sulinggih.
- Manusia Yadnya, merupakan korban suci tulus ikhlas yang ditujukan
untuk manusia itu sendiri guna mencapai suatu kesempurnaan,
kesejahteraan, dan ketentraman hidup, baik ketika berada di dunia ini
maupun di kehidupan berikutnya. Upacara manusa yadnya ini, antara lain
seperti upacara potong gigi atau metatah, pawiwahan, magedong-
gedonngan, dan sebagainya.

12
- Bhuta Yadnya, merupakan korban suci tulus ikhlas yang ditujukan kepada
mahluk bawah atau bhutakala. Penerapan bhuta yadnya ini dapat
dilaksanakan dengan mesegehan ketika mebanten yang diletakkan di
bawah pelinggih, merawat binatang dan tumbuhan, serta ahimsa.
Pelaksanaan yadnya di Bali khususnya ada dua macam, yakni secara berkala
atau pada waktu tertentu dan dilakukan setiap hari. Pelaksanaan yadnya yang
dilaksanakan pada saat hari tertentu saja disebut dengan Naimitika Karma Yadnya.
Contoh pelaksanaannya ialah yadnya pada saat hari raya suci seperti Galungan,
Kuningan, Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Saraswati, dan lain-lain. Sedangkan,
pelaksanaan yadnya yang dilaksanakan setiap hari disebut dengan Nitya Karma
Yadnya. Contoh pelaksanaannya ialah mebanten saiban, mesegehan, mebanten
canang, dan lain sebagainya.
Menurut Bhagawad Gita Bab XVII sloka 11 s/d 12, menyebutkan bahwa ada
tiga kualitas dari pelaksanaan suatu yadnya, antara lain:
- Sattwika Yadnya, yakni pelaksanaan yadnya yang mengutamakan
keheningan, ketulusan, kesucian, kemampuan, keikhlasan dan berdasarkan
akan sastra agama.
- Rajasika Yadnya, yakni pelaksanaan yadnya yang didasarkan pada
kemewahan, pamer, popularitas, dan kemegahan.
- Tamasika Yadnya, yakni pelaksanaan yadnya yang tidak diketahui latar
belakang pelaksanaannya dikarenakan kurangnya keyakinan dan adanya
suatu kebingungan.
Berdasarakan uraian di atas, dapat disimpulan, bahwa pelaksanaan yadnya wajib
dilandaskan dengan:
- Sradha, ialah yakin kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa ketika
beryadnya.
- Sastra, ialah pelaksanaan yadnya sudah seharusnya memang didasarkan
pada sastra agama.
- Lascarya, ialah dalam melaksanakan yadnya sudah semestinya dilandasi
oleh keheningan, tulus ikhlas, suci, tanpa pamrih, dan lainnya.
- Daksina, yakni segala bentuk alat/banten untuk beryadnya harus sesuai
dengan sastra.
- Mantra dan Gita, yakni yadnya dilaksanakan dengan pemujaan mantra-
mantra suci dan nyanyian-nyanyian suci (kekidungan).
- Annasewa, yakni adanya suatu suguhan yang disiapkan untuk para tamu
atau dikenal dengan istilah atiti yadnya.

13
- Nasmita, yakni yadnya dilaksanakan bukan sebagai ajang pencitraan dan
pamer akan kemewahan dan kemegahan.
Kemudian dalam pelaksanaan jalannya yadnya, tentunya ada yang mengadakan
atau pelaksana dari jalannya yadnya tersebut. Dalam Susastra Hindu, disebutkan
bahwa ada tiga pelaksana yadnya yang disebut dengan Tri Manggalaning Yadnya.
Tri Manggalaning Yadnya ini terdiri dari:
- Sang Yajamana, yaitu sang pelaksana atau seseorang atau kelompok
masyarakat yang menyelenggarakan upacara yadnya tersebut.
- Sang Widya atau Pancagra, yaitu ahli bebantenan atau serati banten.
- Sang Sadhaka, yaitu orang suci yang memuput upacara yadnya, dapat
seorang pinandita atau pemangku dan dapat juga seorang pandita atau
sulinggih.
Arti yadnya sebenarnya adalah suatu pengorbanan, persembahan yang
dihaturkan secara tulus ikhlas. Korban suci yang dihaturkan atau yang
dipersembahkan wajib didasarkan akan penuh kesadaran, baik dari segi pikiran,
perkataan, dan tata perilaku atau perbuatan yang tulus, niat yang berasal dari hati
Nurani, ikhlas serta tulus demi kesejahteraan alam semesta beserta isinya. Inti dari
pelaksanaan yadnya adalah pengorbanan dan persembahan, sedangkan upacara
merupakan suatu wujud bhakti umat manusia kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida
Sang Hyang Widhi Wasa.
2.4. Ritual Agama Hindu (Yadnya) dalam kaitannya dengan isi ucap Kitab Suci
Weda
Ritual-ritual keagamaan agama Hindu di Bali tentunya tidak asal laksana.
Segala bentuk dan jenis ritual keagamaan agama Hindu di Bali atau yang biasa
dikenal dengan sebutan yadnya tentunya telah termuat dalam sastra suci Hindu atau
Kitab Suci Weda. Tidak hanya jenis ritual keagamannya, ajaran-ajaran dasar
pelaksanaan yadnya di Bali, seperti dasar pelaksanaan, tujuan, peran atau hal
lainnya yang menjadi dasar atau keterkaitan lainnya dalam pelaksanaan yadnya
juga termuat dalam Kitab Suci Weda. Salah satu contohnya ialah dalam Reg Weda
VIII.40.4 yang menyebutkan terkait definisi yadnya. Disebutkan sebagai berikut:
abhyarca nabhaakavadindraagnii
yajasaa giraa, yayorvisvabhidam
dyauh prthivi mahyu pasthe bibhrto
vasu nabhantaamanyake same.
Terjemahan:
Memujalah, seperti Nabhaka, Indra dan Agni dengan pengorbanan dan
pujian, semua yang ada di dunia ini, kepada pangkuan sorga dan bumi yang luas ini
yang menyimpan kekeyaan berharga mereka: semoga semua musuh kami binasa.

14
Kemudian dalam buku Kitab Jayurweda Samhita terjemahan Dewanto, dijelaskan
bahwa:
Katyayana Srauta-sutra;
Dravyam devata tyagah (1.1)
Terjemahan:
Untuk mempersembahkan materi yang khusus dalam pandangan devata yang
khusus yang disebut dengan Uajna.
Karkacarya lebih lanjut menjelaskan konsep ini sebagai berikut:
Agnyadidevatamuddisya yo dravyasya purodasadeh tyaga utsargah sa
yajnah.tenaitat siddham devatoddesyena dravyatyago yago yajanamistiriti
paryayah.
Terjemahan:
Yajna mempersembahkan purodasa, dll. Material dalam bentuk Agni, dll. Devata
dan ini disetujui bahwa yaga, yajana isti atau apapun itu disebut, ini selalu pemujaan
material dalam panadangan Dewata.
Pada kenyataannya semua yadnya yang dijelaskan di yajurweda tidaklah
merupakan pemujaan dalam arti yang harfiah, tetapi mereka lebih merupakan
pelaksanaan perumpamaan symbol fisik, perbintangan dan kepentingan spiritual.
Terlepas dari hal tersebut, dalam Atharwa Weda XII.1.1, menyebutkan bahwa
yadnya merupakan salah satu penyangga bumi. Disebutkan sebagai berikut:
Satyam brhad rtam ugra diksa tapo
Brahma yajnah prthivim dharayanti,
Sa no bhutasya bhavy asya
Patniurum lokam prithivim nah krnotu
Terjemahan:
Sesungguhnya kebenaran (satya) hukum yang agung, yang kokoh dan suci (rta),
diksa, tapa brata, Brahma dan juga Yajña yang menegakkan dunia semoga dunia
ini, ibu kami sepanjang masa memberikan tempat yang lega bagi kami.
Demikian disebutkan dalam kitab Atharvaveda. Pemeliharaan kehidupan di dunia
ini dapat berlangsung terus sepanjang Yajña terus menerus dapat dilakukan oleh
umat manusia (Ida Bagus Sudirga dan dan I Nyoman Yoga Segara, 2014:5). Pada
dasarnya, tujuan dari pelaksanaan yadnya adalah untuk mencapai suatu kebebasan
atau kelepasan yang mutlak. Dalam Manawa Dharmasastra VI, 35 disebutkan:
Rinani trinyaprakritya manomokse niwesayet,
anaprakritya moksamtu sewamano wrajatadhah.

15
Terjemahan:
Kalau telah membayar hutang tiga macam hutangnya (kepada Tuhan, Leluhur dan
Rsi) hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk mencapai kebebasan terakhir, ia
yang mengejar kebebasan terakhir tanpa menyelesaikan tiga macamhutang (Tri
Rna) terbayar di alam kehidupan ini.
Keikhlasan dan kesucian diri adalah dasar melaksanakan suatu Yadnya.
Kesucian diri dicerminkan dalam kehidupan yang benar memiliki kesiapan rohani
dan jasmani seperti mantapnya Śraddhā, rasa bhakti, keimanan, kesucian hati
maupun kehidupan yang suci sesuai dengan moral dan spiritual. Veda menguraikan
empat cara yang berbeda untuk mengungkapkan ajaran Veda.
ṛcāṁ tvaḥ poṣamāste pupuṣvām
gāyatraṁ tvo gāyati śakvaīṣu,
brahmā tvo vadati jātavidyāṁ
Yajñasya māntrām vi mimīta u tvaḥ
(Ṛgveda, X.71.II)
Terjemahan:
Seorang bertugas mengucapkan śloka- śloka Veda, seorang melakukan nyanyian
pujaan dalam sakrawari, seorang lagi yang menguasai pengetahuan Veda
mengajarkan isi Veda, dan yang lain mengajarkan tata cara melaksanakan korban
(Yajña).
Demikianlah yadnya merupakan salah satu cara mengungkapkan ajaran Veda. Oleh
karena itu yadnya merupakan simbol pengejawantahan ajaran Veda, yang
dilukiskan dalam bentuk simbol-simbol (Ida Bagus Sudirga dan dan I Nyoman
Yoga Segara, 2014:5).
Kemudian, pelaksanaan-pelaksanaan upacara yadnya dapat dilakukan dengan
berbagai bentuk aktivitas. Sebagaimana disebutkan pada pustaka suci Reg Weda:
Rcam twah posagste pupuswam,
Gayatram two gayatri sawawarisu,
Brahma two wadati jata widyam,
Yadnyasya mantram wi mimita u twah.
(Reg Veda X.71.2)
Terjemahan:
Yang pertama, Menyembah Hyang Widhi (Sembahyang/ Mebakti), Kedua
membaca/ mengucapkan mantra-mantra dari pustaka suci (Weda). Ketiga,
Menyanyikan kidung-kidung suci/ kekawin (Dharma gita/ Kirtanam). Keempat,
mempelajari agama dan mengajarkan kepada orang lain. Keempat, berprilaku yang
baik (Manacika, wacika, & kayika/ tri kaya parisudha). Kelima, melaksanakan
Upacara Yadnya (Upacara Panca Yadnya dll)

16
Tentunya berkenaan dengan hal di atas, pelaksanaan yadnya dapat dilakukan
dengan berbagai jenis ritual atau aktivitas keagamaan. Pelaksanaan yadnya di era
sekarang ini sering dipandang merupakan hal yang sangat sakral, mistis dan besar.
Padahal sujatinya pelaksanaan yadnya ini harus didasari akan kemampuan dari sang
yajamana atau pelaksana yadnya. Dalam susastra Hindu dan Pustaka Hindu, tidak
pernah disebutkan bahwa pelaksanaan yadnya harus selalu menggunakan tingkatan
yang tertinggi (Utamaning Yadnya). Namun, pelaksanaan yadnya harus
berdasarkan kemampuan (material) dari sang yajamana. Pelaksanaan yadnya yang
besar (Utamaning Yadnya) namun pada kenyataannya sang yajamana harus
meminjam dana ke berbagai pihak yang menyebabkan adanya suatu beban ketika
seusai pelaksanaan yadnya tersebut sama saja artinya dengan memaksakan dan
menyusahkan diri. Yang pada dasarnya pelaksanaan yadnya ini guna mencapai
suatu kesejahteraan hidup, namun dengan melaksanaan yadnya yang berada diluar
kemampuan sang yajamana sama aja mempersulit diri. Dan, ketika seseorang
melaksanakan yadnya yang sederhana sekalipun (Nistaning Yadnya) namun itu
merupakan suatu hasil dari jerih payahnya yang memang sudah disiapkan untuk
yadnya tentunya tidak akan melahirkan suatu beban karena tidak ada tanggungan
yang perlu dibayar materi kembali seusai yadnya berlangsung. Pelaksanaan yadnya
yang sesuai dengan kemampuan walaupun hanya pada kualitas nistaning yadnya
akan melahirkan suatu suka cita dan kepuasan tersendiri.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Ritual berasal dari bahasa Latin ritus, atau seperangkat ritus, praktik atau
tindakan yang ditetapkan yang merupakan bagian dari liturgi serta tradisi, serta
yang mengatur upacara dan kultus suatu kepercayaan di kawasan suci guna
menyembah Tuhan atau alam, Ritual merupakan suatu bentuk kegiatan yang
dilaksanakan oleh manusia dalam maksud dan tujuan tertentu. Di Pulau Bali
sangatlah banyak ada ritual keagamaan (Hindu) yang masih diselenggarakan hingga
saat ini. Ritual agama Hindu di Bali sangatlah beragam adanya. Setiap daerah di
Bali memiliki ritualnya masing-masing yang dibarengi dengan tradisi lokalnya.
Ritual yang ada di Bali merupakan ritual turun-menurun dari leluhur yang telah
diwarisi selama ratusan tahun.
Pelaksanaan ritual di Bali yang dikenal dengan sebutan yadnya tidak dapat
lepas dari kehidupan umat beragama Hindu. Dalam kondisi apapun sebaiknya
pelaksanaan ritual atau yadnya diusahakan untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan
pelaksanaan ritual atau yadnya tersebut merupakan suatu swadharma atau
kewajiban umat beragama Hindu. Pelaksanaan yadnya di Bali ini dilatarbelakangi
adanya suatu hutang. Hutang yang dimaksud ada tiga yang disebut dengan Tri Rna.
Tri Rna merupakan tiga hutang manusia yang telah dibawa sejak lahir yang patut
dibayarkan dengan melaksanakan yadnya. Tri Rna terdiri dari:
- Dewa Rna merupakan suatu hutang manusia kepada Tuhan Yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Melunasi Dewa
Rna ini dapat dilakukan dengan menyayangi ciptaan-Nya, selalu berbhakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta
manifestasinya, dan tidak lupa wajib hukumnya selalu melaksanakan
Dewa Yadnya yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing dan
menurut desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan) yang berlaku di
Kawasan atau daerah yang bersangkutan.
- Pitra Rna merupakan hutang kepada leluhur. Dalam upaya melunasin Pitra
Rna ini, umat Hindu dapat melakukannya dengan menghormati dan
menghargai Beliau ketika masih hidup dan melaksanakan upacara Pitra
Yadnya setelah Beliau meninggal dunia.
- Rsi Rna merupakan hutang kepada maha rsi, orang suci, atau guru. Dalam
upaya pelunasannya, hendaknya dibayar dengan menghormati,
menghargai, dan berdana punia kepada guru atau orang suci yang dimana
telah berjasa dalam menuntun jalannya kehidupan umat manusia yang
sesuai dengan ajaran kebenaran atau Dharma.

18
Secara etimologi kata Yadnya adalah kata yang berasal dari Bahasa
Sansekerta. Dalam Bahasa Sansekerta, kata Yadnya berasal dari urat kata Yaj yang
berarti memuja atau mempersembahkan atau memberi pengorbanan. Yadnya dalam
agama Hindu adalah aspek keimanan dan upacara dalam ajaran Hindu merupakan
bagian daripada Yadnya. Pelaksanaan yadnya di Bali khususnya ada dua macam,
yakni secara berkala atau pada waktu tertentu (Naimitika Karma Yadnya) dan
dilakukan setiap hari (Nitya Karma Yadnya). Di Bali dikenal ada lima yadnya yang
dilaksanakan yang disebut dengan Panca Maha Yadnya atau Panca Yadnya. Kelima
yadnya tersebut ialah:
- Dewa Yadnya, merupakan korban suci yang tulus ikhlas, baik berupa
material atau non material yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Pelaksanaan ini
dapat dilakukan dengan menjaga kesucian tempat suci, melaksanakan
persembahyangan dengan baik dan benar, dan lascarya.
- Pitra Yadnya, merupakan korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan
kepada leluhur. Menghormati orang tua merupakan salah satu
pengimplementasian pitra yadnya di kehidupan sehari-hari, mendengarkan
dan melaksanakan nasihatnya, serta melaksanakan upacara pitra yadnya
untuk pendahulu keluarga yang telah meninggal dunia.
- Rsi Yadnya, merupakan korban suci tulus ikhlas yang ditujukan kepada
orang suci atau guru. Contoh pelaksanaan rsi yadnya ini ialah upacara
pawintenan bagi sang eka jati, yaitu pinandita atau pemangku dan upacara
pediksan bagi sang dwi jati, yakni pandita atau sulinggih.
- Manusia Yadnya, merupakan korban suci tulus ikhlas yang ditujukan
untuk manusia itu sendiri guna mencapai suatu kesempurnaan,
kesejahteraan, dan ketentraman hidup, baik ketika berada di dunia ini
maupun di kehidupan berikutnya. Upacara manusa yadnya ini, antara lain
seperti upacara potong gigi atau metatah, pawiwahan, magedong-
gedonngan, dan sebagainya.
- Bhuta Yadnya, merupakan korban suci tulus ikhlas yang ditujukan kepada
mahluk bawah atau bhutakala. Penerapan bhuta yadnya ini dapat
dilaksanakan dengan mesegehan ketika mebanten yang diletakkan di
bawah pelinggih, merawat binatang dan tumbuhan, serta ahimsa.
Segala bentuk dan jenis ritual keagamaan agama Hindu di Bali atau yang
biasa dikenal dengan sebutan yadnya tentunya telah termuat dalam sastra suci
Hindu atau Kitab Suci Weda. Tidak hanya jenis ritual keagamannya, ajaran-ajaran
dasar pelaksanaan yadnya di Bali, seperti dasar pelaksanaan, tujuan, peran atau hal
lainnya yang menjadi dasar atau keterkaitan lainnya dalam pelaksanaan yadnya
juga termuat dalam Kitab Suci Weda. Salah satu contohnya ialah dalam Reg Weda
VIII.40.4 yang menyebutkan terkait definisi yadnya. Disebutkan sebagai berikut:

19
abhyarca nabhaakavadindraagnii
yajasaa giraa, yayorvisvabhidam
dyauh prthivi mahyu pasthe bibhrto
vasu nabhantaamanyake same.
Terjemahan:
Memujalah, seperti Nabhaka, Indra dan Agni dengan pengorbanan dan pujian,
semua yang ada di dunia ini, kepada pangkuan sorga dan bumi yang luas ini yang
menyimpan kekeyaan berharga mereka: semoga semua musuh kami binasa.
Kemudian dalam buku Kitab Jayurweda Samhita terjemahan Dewanto,
dijelaskan bahwa:
Katyayana Srauta-sutra;
Dravyam devata tyagah (1.1)
Terjemahan:
Untuk mempersembahkan materi yang khusus dalam pandangan devata yang
khusus yang disebut dengan Uajna.
Pada kenyataannya semua yadnya yang dijelaskan di yajurweda tidaklah
merupakan pemujaan dalam arti yang harfiah, tetapi mereka lebih merupakan
pelaksanaan perumpamaan symbol fisik, perbintangan dan kepentingan spiritual.
Pada dasarnya, tujuan dari pelaksanaan yadnya adalah untuk mencapai suatu
kebebasan atau kelepasan yang mutlak. Dalam Manawa Dharmasastra VI, 35
disebutkan:
Rinani trinyaprakritya manomokse niwesayet,
anaprakritya moksamtu sewamano wrajatadhah.
Terjemahan:
Kalau telah membayar hutang tiga macam hutangnya (kepada Tuhan, Leluhur dan
Rsi) hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk mencapai kebebasan terakhir, ia
yang mengejar kebebasan terakhir tanpa menyelesaikan tiga macamhutang (Tri
Rna) terbayar di alam kehidupan ini.
Pelaksanaan yadnya di era sekarang ini sering dipandang merupakan hal yang
sangat sakral, mistis dan besar. Padahal sujatinya pelaksanaan yadnya ini harus
didasari akan kemampuan dari sang yajamana atau pelaksana yadnya. Dalam
susastra Hindu dan Pustaka Hindu, tidak pernah disebutkan bahwa pelaksanaan
yadnya harus selalu menggunakan tingkatan yang tertinggi (Utamaning Yadnya).
Namun, pelaksanaan yadnya harus berdasarkan kemampuan (material) dari sang
yajamana. Pelaksanaan yadnya yang sesuai dengan kemampuan walaupun hanya
pada kualitas nistaning yadnya akan melahirkan suatu suka cita dan kepuasan
tersendiri.

20
3.2. Saran
Pelaksanaan yadnya di era sekarang ini sering dipandang merupakan hal yang
sangat sakral, mistis dan besar. Padahal sujatinya, pelaksanaan yadnya ini harus
didasari akan kemampuan dari sang yajamana. Pelaksanaan yadnya yang besar
(Utamaning Yadnya) namun pada kenyataannya sang yajamana harus meminjam
dana ke berbagai pihak yang menyebabkan adanya suatu beban ketika seusai
pelaksanaan yadnya tersebut sama saja artinya dengan memaksakan dan
menyusahkan diri. Yang pada dasarnya pelaksanaan yadnya ini guna mencapai
suatu kesejahteraan hidup, namun dengan melaksanaan yadnya yang berada diluar
kemampuan sang yajamana sama aja mempersulit diri. Dan, ketika seseorang
melaksanakan yadnya yang sederhana sekalipun (Nistaning Yadnya) namun itu
merupakan suatu hasil dari jerih payahnya yang memang sudah disiapkan untuk
yadnya tentunya tidak akan melahirkan suatu beban karena tidak ada tanggungan
yang perlu dibayar materi kembali seusai yadnya berlangsung. Pelaksanaan yadnya
yang sesuai dengan kemampuan walaupun hanya pada kualitas nistaning yadnya
akan melahirkan suatu suka cita dan kepuasan tersendiri.

21
DAFTAR PUSTAKA

Angelina, Patricia Jessy dan Laksmi K. Wardani. “Makna Ruang Ritual dan
Upacara pada Interior Keraton Surakarta”. Jurnal Intra 2, No. 2 (2014), h.
296.
Ariasna, Ketut Gede. (2018). Memahami Yadnya dari Tinjauan Filsafat Tatwa
Jnana. Diakses pada 27 November 2021, dari
https://medium.com/@hindujatim/memahami-yadnya-dari-tinjauan-filsafat-
tatwa-jnana-371236cdf18
Darnopolii, Muljono. (2013). Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah: Makalah,
Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Laporan Penelitian. Cet. 1; Makassar: Alauddin
Press.
Rg Veda Samhita: Mandala VIII, IX, X. Terj. Dewanto. Surabaya: Paramitha, 2005.
Somawati, Ayu Veronika dan Ni Made Yunitha Asri Diantary. “Etika Ritual Hindu
Di Bali Menghadapi Masa Pandemi”. Jurnal Studi Agama Satya Widya 4, No.
1 (2021), h. 46-52.
Sudirga, Ida Bagus dan I Nyoman Yoga Segara. (2014). Pendidikan Agama Hindu
dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas X. Cet. 1. Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI PRESS.
Upacara, Ritual, dan Kuasa. (2018). Diaskes pada 27 November 2021, dari
https://indonesia.go.id/kategori/komoditas/275/upacara-ritual-dan-kuasa
Wartayasa, I Ketut. “Pelaksanaan Upacara Yadnya Sebagai Implementasi
Peningkatan Dan Pengamalan Nilai Ajaran Agama Hindu”. Jurnal Ilmu
Agama 1, No. 3 (2018), h. 187-190.
Widana, I Gusti Ketut, dkk. “Ritual Agama Hindu Dalam Perspektif Kontemporer”.
Jurnal Widyanatha 2, No. 1 (2020), h. 64-65.
Widodo, Agus Pratomo Andi. (2018). Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Cet. 1;
Sidoarjo: Nizamia Learning Center.
Yajurweda Samhita: Srimad Vajasaneyi Madhyandina (Sukla Yajurweda Samhita).
Terj. Dewanto. Surabaya: Paramitha, 2005.

Anda mungkin juga menyukai