Anda di halaman 1dari 16

AGAMA HINDU

Peranan Setiap Elemen Masyarakat Hindu dalam Mengajegkan


Adat Istiadat, Budaya Hindu dan Agama Hindu di Era
Globalisasi

Oleh :
Ni Made Dwina Meidayanti (2001842020009)

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
TAHUN 2020/2021
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widi Wasa atas berkat dan
anugrah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Peranan Setiap Elemen
Masyarakat Hindu dalam Mengajegkan Adat Istiadat, Budaya Hindu dan Agama Hindu di Era
Globalisasi " dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Agama Hindu. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan menambah wawasan tentang betapa pentingnya peranan generasi muda Hindu
saat ini dalam mengajegkan adat istiadat, budaya dan agama Hindu di era globalisasi bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu / Bapak Dosen pengampu Mata Kuliah
Agama Hindu. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, 9 Juni 2021

Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................................................ 2


Daftar Isi ......................................................................................................................................... 3
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 5
1.3 Tujuan.................................................................................................................................... 5
BAB II ............................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 6
2.1 Konsep Ajeg Bali .................................................................................................................. 6
2.2 Mengajegkan Peradaban Adat dan Budaya Bali ................................................................... 7
2.3 Mewujudkan Ajeg Bali melalui Konsep Tri Hita Karana ..................................................... 9
2.4 Tahapan Pengalaman Tri Hita Karana ................................................................................ 11
2.5 Taksu Bali sebagai Penyangga Ajeg Bali ........................................................................... 13
BAB III ......................................................................................................................................... 14
PENUTUP..................................................................................................................................... 14
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................... 14
3.2 Saran .................................................................................................................................... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada saat ini bisa dirasakan jika globalisasi memberikan dampak yang sangat besar
terhadap keberlangsungan kehidupan adat dan budaya masyarakat di berbagai negara termasuk di
Indonesia sendiri. Di Indonesia, globalisasi tentu saja memberikan pengaruh yang sangat besar
dalam tatanan kebudayaan local yang ada di Indonesia. Jika hal ini tidak ditindaklanjuti maka
bangsa Indonesia yang kaya akan budaya dan tradisi kearifan lokal akan mengalami pergeseran
terhadap tingkah masyarakat yang lebih memilih mengikuti kebudayaan barat/asing. Maka
identitas masyarakat tradisional pun sedikit demi sedikit akan bergeser dan berubah menjadi
masyarakat modern yang bergantung akan perkembangan budaya barat. Sehingga pengaruh
globalisasi ini menjadi ancaman yang sangat besar bagi kelestarian budaya local di Indonesia.

Selain itu, di era globalisasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga
berkembang dengan sangat pesat. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
banyak budaya luar/budaya asing yang masuk di Indonesia, termasuk Bali. Bali merupakan
salah satu provinsi yang ada di Indonesia yang terkenal dengan sebutan pulau seribu pura
Sehingga akibat adanya pengaruh globalisasi banyak kebudayaan Bali yang mulai memudar.
Dampak globalisasi terhadap pulau Bali telah menimbulkan situasi kegelisahan
sehingga masyarakat Bali perlu mengadakan suatu peng-ajeg-an (penegakan kembali) budaya
Bali sebagai salah satu langkah solutif penanggulangan beragam masalah. Pada konteks
sikap kaum muda atas invansi budaya misalnya, mereka lebih menampakkan sifat progresif,
inovatif, sekaligus sensitivitas terhadap perubahan.
Pemuda memegang peranan yang sangat penting dalam kesuksesan suatu Bangsa.
Ajeg Bali merupakan suatu politik identitas atau gerakan pemertahanan identitas etnik Bali yang
bertujuan untuk mengembalikan masyarakat Bali dalam kontek pengalaman ajaran agama
Hindu dan kebudayaan Bali (re-Balinisasi dan re-Hinduisasi). Ajeg Bali erat kaitanya dengan
implementasi konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat. Dimana dengan
diterapkannya konsep ajeg Bali diharapkan dapat terwujudnya keharmonisan di Bali dan
pelestarian tradisi dan budaya yang ada di Bali. Pemuda di Bali tidak menganggap Ajeg Bali
sebagai konsep stagnan tetapi lebih ke modernisasi yang sadar dan berkelanjutan. Dalam
praktiknya, pemuda Bali mampu mempertahankan identitas dan budaya mereka dari nilai-
nilai dan budaya baru yang diusung oleh globalisasi. Hegemoni budaya, telah menjadi hal
yang cukup menyakitkan bagi kalangan masyarakat Bali.

Hingga kemudian pendefinisian kembali peranan seluruh elemen masyarakat Bali,


khususnya kaum muda, berusaha untuk mengembalikan makna budaya dan tradisi Bali dalam
nafas keseharian masyarakatnya. Upaya penjagaan tradisi diatas gerakan Ajeg Bali bermuara

4
pada peningkatan kekuatan kaum muda Bali agar tidak jatuh dalam penaklukan hegemoni
budaya global. Desain Ajeg Bali meski harus sempat melewati komodifikasi kepentingan politik
praktis penguasa, namun pada perjalanannya desain ini lebih diidentikkan sebagai gerakan
kultural.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Konsep Ajeg Bali?
2. Bagaimana cara Mengajegkan Peradaban Adat dan Budaya Bali?
3. Bagaimanakah cara mewujudkan Ajeg Bali melalui Konsep Tri Hita Karana?
4. Apa saja Tahapan Pengalaman Tri Hita Karana?
5. Apakah peranan Taksu Bali sebagai Penyangga Ajeg Bali?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari Konsep Ajeg Bali.
2. Untuk mengetahui cara Mengajegkan Peradaban Adat dan Budaya Bali.
3. Untuk mengetahui cara mewujudkan Ajeg Bali melalui Konsep Tri Hita Karana.
4. Untuk mengetahui tahapan-tahapan Pengalaman Tri Hita Karana.
5. Untuk mengetahui peranan Taksu Bali sebagai Penyangga Ajeg Bali.

5
BAB II

PEMBAHASAN

Semangat mengajegkan Bali muncul setelah pemberlakuan Undang-undang Otonomi


Daerah tahun 1999. Arah semangat ini mengerucut pada artikulasi Bali sebagai konsep
kebudayaan yang dimaknai sempit, bahwa Bali memiliki bahasa daerah yakni bahasa Bali,
memiliki adat yakni adat Bali, memiliki agama yakni agama Hindu, memiliki keseniaan yakni
seni tradisional Bali, dan berpenduduk yakni orang-orang Bali yang beragama Hindu. Semua
komponen itu harus diajegkan serta dilindungi dari upaya-upaya penghancuran yang
dilakukan oleh pihak dalam maupun luar Bali.

2.1 Konsep Ajeg Bali


Secara harfiah, kata “ajeg” bermakna kukuh, tidak goyah, tegak, dan lestari. Kalau
disandingkan, kata “ajeg” dan Bali berarti Bali yang kukuh atau Bali yang tidak goyah. Menurut
Wijaya dalam penelitiannya “Ajeg Bali” merupakan semua bentuk kegiatan yang bercita-cita
menjaga identitas kebalian orang Bali, yang dibentuk dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai
konsep kebudayaan, yang dimaknai sebagai adat dan agama leluhur. Ajeg Bali adalah upaya
sepihak para intelektual organik yang memperoleh atau diberikan kekuasaan berbicara oleh
penguasa untuk menciptakan simbol-simbol baru kebudayaan demi menjaga kebudayaan Bali.
Menurut Wijaya, ada tiga belas sifat umum gerakan “Ajeg Bali”, di antaranya diskriminatif,
confidential, refleksif, pemaskaran, replikasi, komoditifikasi, sentimen, resesif, desakralisasi,
defensi dan agresi, kolaborasi, reproduksi, serta adverse. Pemikiran tentang “Ajeg Bali” bukan
berlandaskan pada realitas ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan bersifat artifisial dan
ahistoris yang mengakibatkan terjadinya pertemuan timbal balik dan dialektis antara intelektual
dan masyarakat. Padahal, penataan Bali semestinya dilakukan dengan cara terlebih dahulu
mengganti sistem kebudayaan Bali dari yang berorientasi ke masa lampau menjadi ke masa depan.
Beberapa praktisi agama dan rohaniwan Hindu yang concern dan komit terhadap ajaran
Hindu yang lebih universal, misalnya, memberikan makna ajeg Bali atau Ajeg Hindu sebagai
upaya pemurnian pelaksanaan ajaran Hindu yang bersumber dari Weda dengan menekankan pada
jiwa ajeg Bali atau inner power agama Hindu itu sendiri, yaitu tapas, yadnya, dan dharma (Agastya,
2004) dalam Kertih dan Sukadi. Tidak jauh berbeda dari pandangan ini. Menurut Seita (2004)
dalam Kertih dan Sukadi, menyatakan bahwa konsep ajeg Bali haruslah memiliki makna sebagai
lestarinya agama Hindu yang lebih universal, yang bersumber dari ajaran Weda. Tidak
ketinggalan, para seniman dan budayawan besar Bali juga berkomentar bahwa ajeg Bali harus
dimaknai sebagai upaya pengembangan kehidupan berkesenian orang Bali sebagai inti
persembahan kepada kemegahan dan keindahan Tuhan yang memungkinkan orang Bali Hindu
berkereativitas dalam pengembangan budaya untuk meningkatkan rasa kepercayaan diri cultural
(cultural confidence) (Erawan, 2004; Geriya, 2004) dalam Kertih dan Sukadi.
6
2.2 Mengajegkan Peradaban Adat dan Budaya Bali
Membangun Bali dalam jalinan kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya
dengan tidak mengorbankan atau menghancurkan adat dan budaya Bali bagian dari visi pemerintah
daerah. Era baru dalam menata Bali suatu harapan ke depan tetapi tradisi adat dan budaya tetap
ajeg (lestari).
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah Daerah Bali untuk mengajegkan
(melestarikan) adat dan budaya Bali. Langkah dan upaya itu di antaranya pemberlakuan
penggunaan pakaian adat Bali setiap Purnama-Tilem dan setiap Kamis menggunakan bahasa Bali
adalah sebagai wujud kepedulian dari upaya pemerintah daerah Provinsi Bali. Pergub No. 79 tahun
2018 mengatur tentang penggunaan berbahasa Bali sebagai upaya Bali lestari dan Bali ajeg tentu
harus mendapat dukungan dari semua elemen masyarakat Bali. Pakaian juga mencerminkan
peradaban adat sedangkan bahasa merupakan cerminan peradaban budaya. Hal yang paling
prestesius kepedulian Pemerintah Daerah Bali adalah terbitnya Perda 4 tahun 2019 tentang Desa
Adat Bali sebagai bentuk legalitas keberadaan adat-adat di Bali yang betul-betul harus diajegkan.
Dukungan mengajegkan Bali sebagai bentuk isi ulang kebalian orang Bali disambut
antusias oleh para pimpinan adat (bendesa) dari masing-masing desa adat. Program ini, ibarat
gayung bersambut oleh kelompok media Bali Post kepedulian tentang keberadaan adat dan budaya
di Bali. Program pemilihan Siswa Ajeg Bali (SAB) dan Guru Ajeg Bali (GAB) tahun 2019 adalah
satu bentuk komitmen kelompok media Bali post peduli dengan adat dan budaya Bali.
Program ini jelas sebagai pemantik untuk menjadikan Bali yang modern/baru, Bali yang
maju, dan Bali yang menginternasional tetapi tanpa kehilangan roh kebaliannya. Roh Bali ada
pada tradisi adat budaya yang kuat dan ajeg. Adat yang kuat, budaya yang adiluhung, dan taat
menjalankan ibadah keagamaan dengan penuh keikhlasan lascarya itulah jati diri/karakter orang
Bali. Karena tidak bisa dimungkiri bahwa adat dan budaya sangat dipengaruhi oleh kehinduan
orang Bali.
Kebudayaan memiliki wujud kelakuan sedangkan adat merupakan wujud ideal
kebudayaan. Implementasi lengkap bisa disebut adat tata kelakuan karena adat adalah berfungsi
mengatur kelakuan sebagai acuan norma/nilai budaya. Sistem tata kelakuan sebagai acuan norma
diatur melalui awig-awig yang ada pada masing-masing desa adat. Secara umum bahwa awig-awig
mengatur tentang patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat setempat
berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat yang didasari oleh konsep Tri Hita
Karana.
Ketika berbicara masalah adat dan budaya Bali perlu diapresiasi oleh segenap masyarakat
Bali. Mengisi ulang kebalian orang Bali untuk pemertahanan peradaban adat dan budaya Bali
harus disambut baik oleh semua orang yang tinggal di Bali. Mengisi ulang kebalian orang Bali
merupakan keharusan masyarakat (krama) Bali.

7
Isi ulang kebalian dalam lintas generasi untuk membentuk kesadaran sebagai cakra
gilingan amutter tutur pinahayu artinya memutar cakra kesadaran dalam diri dengan ingat eling
akan adat (tradisi) dan budaya yang tidak meninggalkan dan alergi dengan modernisasi (kemajuan
iptek). Orang Bali harus bisa berpikir kesejagatan (mendunia) dengan adat tata kelakuan lokal
sebagai bentuk karakter orang Bali.

Bali yang terkenal sikap toleransi yang tinggi, ramah tamah, dan mempunyai ikatan
kegotongroyongan yang kuat jangan sampai pupus di tengah gerusan teknologi dan keterbukaan
budaya dunia. Teknologi penting dalam peradaban umat manusia tapi jangan sampai
menghilangan nilai/norma adat dan budaya Bali sebagai karakter orang Bali.
Taksu dan roh Bali ada pada ketaatan menjalankan ibadah agama (Hindu), ajegnya adat,
dan lestarinya budaya. Bali merupakan bagian dan harus memiliki kontribusi khazanah budaya
yang didukung oleh adat yang kuat. Bali jangan menjadi Betawi Indonesia yang kedua karena
terlena oleh kemajuan teknologi dan kenikmatan kue pariwisata. Era milenial dengan kemajuan
industri 4.0 harus diimbangi dengan kemampuan membentengi diri dari gerusan dampak negatif
teknologi dan pariwisata.
Bali memang menjadi eksklusif karena memiliki adat yang kental dan budaya yang
adiluhung sebagai pemikat pariwisata. Tradisi adat dan budaya selalu memberikan makna yang
mendalam sesuai dengan konsep kehidupan masyarakat Bali. Ambil saja contoh budaya magibung
bagi orang Bali juga didasari oleh filsafat kehidupan dalam konteks kebersamaan. Di sana ada
konsep nilai kebersamaan yang sampai saat ini masih bertahan seperti di Karangasem. Setiap
denyut kehidupan agama sebagai barometer kehidupan, termasuk juga adat budaya menjadi
bagian kehidupan orang Bali. Akan tetapi, adat dan budaya bukanlah agama melainkan agama
adalah piranti mempertahankan adat dan budaya Bali.
Mengajegkan Bali dalam tatanan wacana memang gampang dan latah di telinga kita. Akan
tetapi, mudah terucap hanya realitas sangat sulit jika tidak bersatu padu dan tumbuh kesadaran
dalam diri orang Bali dan orang yang tinggal di Bali. Benteng terakhir yang memperkuat dan
ajegnya Bali adalah adat yang kuat, tegas tetapi bukan keras. Karena dalam tradisi adat ada nilai
hukum dan tingkat aturan khusus yang mengatur tata nilai budaya. Tata nilai memiliki nilai tinggi
apabila manusia (masyarakat) bekerja sama dengan sesamanya sebagai bentuk karakter sosial
orang Bali. Adat merupakan sistem pemerintahan tradisional dengan kearifan lokal (local genius)
dan sampai saat ini berjalan seiring sejalan dengan pemerintahan desa dinas yang disebut perbekel.
Desa adat memiliki sistem pengaturan yang otonom secara adat dengan undang-undang sendiri
yang disebut awig-awig. Memiliki lembaga keuangan sendiri yang disebut dengan LPD (Lembaga
Perkreditan Desa), memiliki pawongan keamanan adat yang disebut pecalang.

Pranata-pranata sosial seperti subak, dadia, lembaga keuangan adat jangan sampai
dimasuki/direcoki politik modern dan jika salah bisa pemecah belah persatuan adat. Seperti halnya
hajatan pemilihan bendesa adat harus berdasarkan paras paros, segilik saguluk salunglung
sabayantaka (musyawarah mufakat) sebagai jiwa sila keempat Pancasila sebagai dasar Republik

8
Indonesia. Politik memang perlu tetapi tetap berhati-hati kepentingan politik modern yang
memecah persatuan adat. Terbit Perda 4 tahun 2019 yang mengatur tentang adat di Bali sebagai
bukti bahwa adat di Bali mendapat legitimasi dari pemerintah pusat dan daerah. Mempertahankan
“ajeg Bali” tentu keterlibatan desa adat sebagai bentuk yang tidak bisa dipisahkan. Ketika euforia
masyarakat dengan kesibukan dan tuntutan hidup yang semakin kompleks-modern sehingga
tumbuh rasa ego-individualisme. Harapannya jangan sampai melupakan kebersamaan sebagai
bentuk dan ciri perilaku sosial lokal krama Bali yang patut dibertahankan.

2.3 Mewujudkan Ajeg Bali melalui Konsep Tri Hita Karana


Beragam pendapat masyarakat Bali terhadap kondisi Bali yang sekarang terjadi akibat
perkembangan arus globalisasi yang begitu pesat. Sebagian beranggapan bahwa globalisasi
merupakan “polusi kebudayaan” yang akan mengikis ke-Bali-an Bali. Dengan adanya pengaruh
globalisasi yang begitu deras hingga konsep “ajeg Bali” muncul di tengah-tengah masyarakat
sebagai respon terhadap perubahan yang muncul di masyarakat berkat kemajuan teknologi. Istilah
“ajeg” merujuk kepada pengertian stabil , tetap, dan konstan. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia (1976) disebutkan bahwa “ajeg” atau “ajek” (Jawa) bermakna tetap; tidak berubah. Satu
hal yang tetap dalam kebudayaan adalah perubahannya. Yang ingin dipertahanakan oleh
masyarakat Bali adalah nilai, yaitu agama Hindu yang menjadi nafas kehidupan masyarakat Bali.
Teknologi menyebabkan perubahan praktik dan perubahan keemasan, namun esensinya harus
tetap bertahan.
Ajeg Bali meliputi berbagai hal di Bali, mulai dari sitem religi, ekonomi, seni-budaya,
niaga, politik, lingkungan, politik, pendidikan, tata ruang, kependudukan, kesehatan, pendidikan,
pariwisata, dan hal-hal lain yang menyangkut cara hidup masyarakat. Dalam sistem persubakan,
misalnya, dilakukan “sterilisasi” wilayah subak dari pembangunan perumahan untuk melestarikan
kondisi ekologis sekitar subak. Sosialisasi budaya Bali, seperti membuat janur, ditanamkan
semenjak kanak-kanak dan merupakan bentuk ajeg Bali. Di sekolah perlu dikembangkan program
pendidikan yang dapat memberdayakan siswa dalam ikut berpartisipasi mewujudkan nilai-nilai
“Tri hita Karana” dalam hubungannya dengan bagaimana menjaga Bali sekarang dan kedepan
karena mereka nanti sebagai pewaris tanah Bali. Kesadaran itu penting karena Bali yang identik
dengan keindahan, kenyamanan, dan keharmonisan sudah mulai terusik. Faktanya tanah Bali yang
merupakan bagaian dari tanah adat makin banyak berpindah tangan. Jumlah pendatang (terutama
dari Jawa) semakin menjadi ancaman, peluang kerja orang Jawa cukup banyak sementara
masyarakat Bali sibuk dengan banyaknya upacara, orang Jawa mengambil alih waktu-waktu
tersebut di sektor ekonomi.

Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan
dalam ajaran “Tri Hita Karana” yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kemakmuran. Ketiga
konsep tersebut adalah :

9
Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan).
Pawongan (hubungan manusia dengan sesama manusia).
Palemahan (hubungan manusia dengan alam).
Dalam pelaksanaannya konsep Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran, yaitu :

 Dalam Tataran Individu

Ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri
kultural (cultural confidence) yang bersiat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal
semata. Satu contoh kecil, mengenai pemakaian bahasa daerah Bali khususnya di perkotaan sudah
semakin langka. Sampai-sampai pemerintah kota Denpasar menjadikan hari Rabu sebagai “Rahine
Ngangge Bahasa Bali” (hari memakai bahasa Bali). Betapa memprihatinkannya kemampuan
berbahasa Bali orang Bali di Bali (Denpasar). Contoh general lainnya “pertikaian” inter dan antar
warga adat yang beragam ditambah lagi pelaksanaan ajaran agama yang “mulo keto” ikut
mengusik rasa percaya diri orang Bali.

 Dalam Tataran Lingkungan Kultural


Ajeg Bali dimaknai sebagai sebuah ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif,
multikultur, dan selektif terhadap pengaru-pengaruh luar. Bila multikultur yang disoroti, tak ada
yang menyangkal, di Bali tidak kurang dari 1400 Desa Pekraman yang masing-masing bisa
memberikan ruang pada “Desa Kala Patra” dalam posisi yang aman. Bagaimana kemudian dengan
inklusifisme, apakah masyarakat Bali sangat tertutup atau malah sebaliknya? Untuk yang terakhir
ini, dari dulu keterbukaan, toleransi manusia Bali tidak perlu diuji, Dibalik keterbukaan dan
toleransi yang kesohor di Nusantara, banyak yang mencibir dengan berkata, “mekerah ngajak
nyame” (sama “tetangga” toleran, sama saudara sendiri bertengkar), lihatlah kasus kasus adat yang
tidak (untuk menganti kata jarang) pernah bersinggungan dengan pendatang, tetapi justru sering
“perang” dengan (antara) adat sendiri.
Berikutnya masalah filterisasi budaya luar, kesulitan terjadi manakala gempuran “badai”
budaya luar demikian kencangnya, dunia informasi demikian bebasnya, sementara budaya lokal
belum dipegang kuat. Harus diakui perjalanan peradaban manusia Bali dengan agama Hindunya
penuh dengan dinamika dan bila ingin mempertemukan inklusifisme dalam multikulutur dan
intensitas serbuan budaya luar (asing) tantangannya adalah ketahanan mental dan identitas jati diri.

 Dalam Tataran Proses Kultural


Ajeg bali merupakan interaksi manusia dengan ruang hidup budayanya guna melahirkan
produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-
nilai moderat (tidak terjebak pada romantisme masa lalu maupun godaan dunia modern), non-
dikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural, dan kearifan lokal, serta memiliki kesadaran ruang
(spasial) dan waktu yang mendalam.

10
Dalam ketiga tataran tersebut, disepakati bahwa ajeg Bali bukanlah sebuah konsep yang
stagnan, melainkan upaya pembaharuan terus-menerus yang dilakukan secara sadar oleh manusia
Bali untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budayanya agar tidak jatuh di bawah penaklukan
hegemoni budaya global.
Pada praktiknya masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari Tri Hita Karana, apa yang
mereka lakukan selalu berlandaskan hal tersebut. Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari ritual
agama Hindu yang selalu mencari keseimbangan dalam hampir setiap kegiatan hidupnya. Kalau
kita berpikir sederhana, selama ada canang (sesajen dari janur kelapa berisi bunga dan dupa), nilai-
nilai agama hindu yang merupakan core of the culture, akan tetap bernafas tenang dalam kehidupan
manusia Bali.

2.4 Tahapan Pengalaman Tri Hita Karana


Tri Hita Karana harus diamalkan dalam kehidupan individu dan kehidupan bersama.
Pada hakekatnya manusia di samping berhadapan dengan dirinya juga dengan masyarakat
lingkungannya. Konsep Tri Hita Karana wajib diamalkan dalam kehidupan bersama (masyarakat):

1. Pengamalan dalam Kehidupan Individu


Tri Hita Karana harus ditanamkan dalam kehidupan individu, yaitu bakti kepada
Tuhan, mengabdi pada sesama sesuai dengan swadharma (profesi atau bakat masing-masing)
dengan dasar saling hormat menghormati dan sayang menyayangi berdasarkan yadnya dan
menjaga kelestarian alam secara aktif merupakan implementasi dari ajaran Tri Hita Karana.

2. Dalam Kehidupan Keluarga


Setiap anggota-anggota keluarga hendaknya percaya dan rajin berbakti kepada Tuhan,
saling menyayangi sesama anggota keluarga dan menanamkan cinta kasih dengan alam
lingkungan. Untuk membangun sikap itu hendaknya tempat tinggal ditempati dengan tempat
pemujaan yang memadai. Halaman rumah hendaknya ditanami apotek hidup, pasar hidup,
dan taman keluarga. Hal ini akan dapat menumbuhkan rasa bakti pada Tuhan. Seperti diketahui
bahwa, ruang tempat tinggal umat Hindu dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu Utama Mandala
adalah ruang menempatkan tempat pemujaan biasanya diletakkan di bagian uranus. Madya
mandala adalah ruang menempatkan bangunan rumah, dan terakhir adalah Nista Mandala
adalah tempat untuk membuang sampah.

3. Dalam Kehidupan Desa Adat / Desa Pakraman


Di setiap desa seharusnya ada unsur-unsur Tri Hita Karana yaitu adanya parhyangan
sebagai tempat melakukan srada dan bhakti kepada Tuhan, ada pawongan, yaitu tata tertib yang
menata hubungan antara anggota krama desa dan pelemahan, yaitu wilayah desa adat dengan
batas-batas desa yang jelas dan pasti. Oleh karena itu, setiap desa adat memiliki awig-awig
yang mengandung sukerta tata agama. Istilah Tri Hita Karana diimplementasikan pertama kali

11
oleh I Gusti Ketut Kaler pada tahun 1969 dalam suatu seminar tentang desa adat dalam wujud
tata ruang dan tata aktivitas dalam desa adat dengan unsur-unsur yang meliputi Parhyangan
(Tuhan), Pawongan (manusia), dan Palemahan (alam). Dalam suatu penyuratan awig-awig
(hukum adat), ada tiga hal pokok yang diatur yaitu:

 Sukerta Tata Agama artinya menata tata tertib hidup beragama.


 Sukerta Tata Pawongan maksudnya menata hubungan saling mengabdi atau basuka
duka antara sesama warga (krama) desa.
 Sukerta Tata Palemahan maksudnya menata tata guna wilayah desa agar kegiatan hidup
untuk memuja Tuhan, mengabdi kepada sesama manusia dan alam lingkungan
terakomodasi secara seimbang dan adil (Wiana dalam Bali Menuju Jagaditha: Aneka
Perspektif, 2004:265).

Awig-awig desa adat dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dalam perkembangan
selanjutnya diharapkan awig-awig bersifat fleksibel dan memiliki daya tahan dalam
menghadapi arus globalisasi.

4. Dalam Kehidupan Kerja


Setiap pekerjaan ada ruang kerjanya. Dalam ruang kerja tersebut tercermin adanya
unsur-unsur Tri Hita Karana. Sebagai contoh, dalam sawah dan ladang ada tempat pemujaan untuk
mendoakan agar mereka dalam bekerja mendapatkan wara nugraha Ida Sang Hyang Widi
Wasa. Di bagian hulu sawah ada Pura Bedugul. Ladang memiliki Pura Alas Rasmini. Dengan
selalu ingat memuja Tuhan mereka memiliki kesadaran untuk memperhatikan ruang dan alat-alat
kerjanya secara seimbang.

5. Dalam Kehidupan Global


Dalam Kitab Yajur Weda (XXXX,1) dinyatakan bahwa “Tuhan beristana di alam semesta
(Bhuana Agung) yang bergerak maupun yang tidak bergerak”. Demikian juga dalam
lontar Mpu Kuturan dinyatakan bahwa Bali dikembangkan sebagai Padma Bhuana (Wiana,
2004:272).
Di sembilan penjuru Bali terletak Kahyangan Jagat. Kahyangan Jagat itu adalah tempat
pemujaan pada sembilan manifestasi Tuhan yang disebut Dewata Nawa Sangga. Pura Pusering
Jagat sebagai Pusar Bali. Begitu pula Pura Besakih sebagai Huluning Bali Rajya, yang terletak
di Timur Laut (ersania). Ini menggambarkan bahwa Tuhan ada di mana-mana. Kesembilan Pura
Kahyangan Jagat ini bertujuan untuk memotivasi umat Hindu ke arah mana pun pergi hendaknya
selalu ingat memuja Tuhan.

6. Praktek Realita Tri Hita Karana


Falsafah hidup berdasarkan Tri Hita Karana telah dimuat dalam Kitab Suci Bhagawad Gita
(III.10). Tri Hita Karana bukanlah sekedar konsep tata ruang. Tri Hita Karana pada hakikatnya

12
adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi kepada sesama
manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan.

2.5 Taksu Bali sebagai Penyangga Ajeg Bali


Di Bali tiada hari tanpa berkesenian. Lebih-lebih dalam kehidupan keagamaan. Bahkan tak
ada ritual agama Hindu di pulau ini yang dianggap sempurna tanpa greget dan penampilan nilai-
nilai seni. Begitu menyatunya antara agama dan seni sering membuat orang luar Bali kagum
sekaligus bingung menyaksikan gemuruh pementasan seni ditengah religiusitas upacara agama.
Pada dasarnya di Pulau Dewata ini kesenian memang persembahan, ibadah dan sekaligus ekspresi
estetik. Kesenian Bali merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali yang sudah
diwarisi sejak zaman lampau. Untungnya bentuk-bentuk itu masih hidup sampai sekarang, dimana
kehidupannya didukung oleh agama Hindu. Hampir tidak ada satu pun upacara keagamaan yang
selesai tanpa ikut sertanya suatu pameran atau pertunjukan kesenian (Bandem, 1983: 1).

Seperti sudah disinggung di depan bahwa hampir semua jenis kesenian Bali mengandung
tendensi untuk menunjang dan mengabdikan kehidupan agama Hindu di Bali. Pertautan yang erat
serta hubungan yang timbal-balik antara jenis-jenis kesenian dengan upacara adat aktivitas agama
Hindu, maka kesenian Bali pada dasarnya adalah seni keagamaan dan bukanlah kesenian untuk
seni semata-semata. Berdasarkan sebuah seminar pada tahun 1972, kesenian Bali digolongkan
menjadi seni wali, seni bebali, dan seni balih-balihan.

Organisasi sosial banjar adalah balai pengayom seni yang berperan signifikan. Di sini nilai-
nilai seni dilestarikan, dikembangkan, didiskusikan, dan diapresiasi. Kecintaan pada jagat seni dan
keterampilan warga banjar dalam bidang seni banyak terasah dari aktivitas seni yang berpusat di
arena bangunan umum milik banjar tersebut. Keberadaan seni pertunjukan Bali, seni tari dan
karawitan khususnya, sejak dulu umumnya disangga dan dimotivasi oleh komunitas banjar. Sekaa-
sekaa gamelan dan tari dilegetimasi oleh organisasi sosial banjar. Seniman-senimannya diakui
harkatnya oleh segenap warga banjar. Hasil karya seni atau wujud aktivitas seninya diklaim
sebagai milik banjar. Fanatisme terhadap seni babanjaran itu mengkristal kental.
Harkat sebuah bangsa sering diukur dari tinggi rendah seni budayanya. Sebab pada
kenyataannya bahwa kualitas seni budaya adalah ekspresi dan manifestasi dari tata nilai, prilaku
dan pola berpikir masyarakat. Atau keluhuran produk seni budaya tak lain dari kristalisasi dari
citra dan penyangga identitas sebuah bangsa. Taksu seni budaya Bali telah berperan sebagai pilar
yang menyangga ajeg Bali.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Konsep Ajeg Bali
Secara harfiah, kata “ajeg” bermakna kukuh, tidak goyah, tegak, dan lestari. Kalau
disandingkan, kata “ajeg” dan Bali berarti Bali yang kukuh atau Bali yang tidak goyah. Ajeg Bali
adalah upaya sepihak para intelektual organik yang memperoleh atau diberikan kekuasaan
berbicara oleh penguasa untuk menciptakan simbol-simbol baru kebudayaan demi menjaga
kebudayaan Bali. Menurut Wijaya, ada tiga belas sifat umum gerakan “Ajeg Bali”, di antaranya
diskriminatif, confidential, refleksif, pemaskaran, replikasi, komoditifikasi, sentimen, resesif,
desakralisasi, defensi dan agresi, kolaborasi, reproduksi, serta adverse. Menurut Seita (2004)
dalam Kertih dan Sukadi, menyatakan bahwa konsep ajeg Bali haruslah memiliki makna sebagai
lestarinya agama Hindu yang lebih universal, yang bersumber dari ajaran Weda.

3.1.2 Mengajegkan Peradaban Adat dan Budaya Bali

Mengajegkan Bali dalam tatanan wacana memang gampang dan latah di telinga kita. Akan
tetapi, mudah terucap hanya realitas sangat sulit jika tidak bersatu padu dan tumbuh kesadaran
dalam diri orang Bali dan orang yang tinggal di Bali. Benteng terakhir yang memperkuat dan
ajegnya Bali adalah adat yang kuat, tegas tetapi bukan keras.
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah Daerah Bali untuk mengajegkan
(melestarikan) adat dan budaya Bali. Langkah dan upaya itu di antaranya pemberlakuan
penggunaan pakaian adat Bali setiap Purnama-Tilem dan setiap Kamis menggunakan bahasa Bali
adalah sebagai wujud kepedulian dari upaya pemerintah daerah Provinsi Bali. Pergub No. 79 tahun
2018 mengatur tentang penggunaan berbahasa Bali sebagai upaya Bali lestari dan Bali ajeg tentu
harus mendapat dukungan dari semua elemen masyarakat Bali. Pakaian juga mencerminkan
peradaban adat sedangkan bahasa merupakan cerminan peradaban budaya. Hal yang paling
prestesius kepedulian Pemerintah Daerah Bali adalah terbitnya Perda 4 tahun 2019 tentang Desa
Adat Bali sebagai bentuk legalitas keberadaan adat-adat di Bali yang betul-betul harus diajegkan.

3.1.3 Mewujudkan Ajeg Bali melalui Konsep Tri Hita Karana

Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan
dalam ajaran “Tri Hita Karana” yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kemakmuran. Ketiga
konsep tersebut adalah :

Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan).


14
Pawongan (hubungan manusia dengan sesama manusia).
Palemahan (hubungan manusia dengan alam).
Dalam pelaksanaannya konsep Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran, yaitu :

 Dalam Tataran Individu


Ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri
kultural (cultural confidence) yang bersiat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal
semata.

 Dalam Tataran Lingkungan Kultural


Ajeg Bali dimaknai sebagai sebuah ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif,
multikultur, dan selektif terhadap pengaru-pengaruh luar.

 Dalam Tataran Proses Kultural


Ajeg bali merupakan interaksi manusia dengan ruang hidup budayanya guna melahirkan
produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-
nilai moderat (tidak terjebak pada romantisme masa lalu maupun godaan dunia modern), non-
dikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural, dan kearifan lokal, serta memiliki kesadaran ruang
(spasial) dan waktu yang mendalam.
Pada praktiknya masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari Tri Hita Karana, apa yang
mereka lakukan selalu berlandaskan hal tersebut. Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari ritual
agama Hindu yang selalu mencari keseimbangan dalam hampir setiap kegiatan hidupnya.

3.1.4 Tahapan Pengalaman Tri Hita Karana


Tri Hita Karana harus diamalkan dalam kehidupan individu dan kehidupan bersama.
Pada hakekatnya manusia di samping berhadapan dengan dirinya juga dengan masyarakat
lingkungannya. Konsep Tri Hita Karana wajib diamalkan dalam kehidupan bersama (masyarakat):
1. Pengamalan dalam Kehidupan Individu.
2. Dalam Kehidupan Keluarga.
3. Dalam Kehidupan Desa Adat / Desa Pakraman.
4. Dalam Kehidupan Kerja.
5. Dalam Kehidupan Global.
6. Praktek Realita Tri Hita Karana.

3.1.5 Taksu Bali sebagai Penyangga Ajeg Bali


Taksu seni budaya Bali telah berperan sebagai pilar yang menyangga ajeg Bali. Hampir
semua jenis kesenian Bali mengandung tendensi untuk menunjang dan mengabdikan kehidupan
agama Hindu di Bali. Pertautan yang erat serta hubungan yang timbal-balik antara jenis-jenis

15
kesenian dengan upacara adat aktivitas agama Hindu, maka kesenian Bali pada dasarnya adalah
seni keagamaan dan bukanlah kesenian untuk seni semata-semata. Keberadaan seni pertunjukan
Bali, seni tari dan karawitan khususnya, sejak dulu umumnya disangga dan dimotivasi oleh
komunitas banjar. Sekaa-sekaa gamelan dan tari dilegetimasi oleh organisasi sosial banjar.

3.2 Saran

a. Bagi para pembaca diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai
pentingnya mengajegkan adat istiadat, budaya dan agama Hindu di era globalisasi
untuk Bali agar tetap lestari.
b. Bagi para pembaca selain mendapat pengetahuan dari makalah ini, diharapkan juga
dapat mempraktekkan atau menerapkan konsep-konsep atau cara-cara mengajegkan
adat istiadat dan agama Hindu seperti yang disebutkan diatas. Karena jika tidak kita
sebagai masyarakat asli Bali, siapa lagi yang akan mengajegkan Bali kita ini.

16

Anda mungkin juga menyukai