Oleh :
Ni Made Dwina Meidayanti (2001842020009)
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
TAHUN 2020/2021
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widi Wasa atas berkat dan
anugrah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Peranan Setiap Elemen
Masyarakat Hindu dalam Mengajegkan Adat Istiadat, Budaya Hindu dan Agama Hindu di Era
Globalisasi " dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Agama Hindu. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan menambah wawasan tentang betapa pentingnya peranan generasi muda Hindu
saat ini dalam mengajegkan adat istiadat, budaya dan agama Hindu di era globalisasi bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu / Bapak Dosen pengampu Mata Kuliah
Agama Hindu. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
Daftar Isi
3
BAB I
PENDAHULUAN
Selain itu, di era globalisasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga
berkembang dengan sangat pesat. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
banyak budaya luar/budaya asing yang masuk di Indonesia, termasuk Bali. Bali merupakan
salah satu provinsi yang ada di Indonesia yang terkenal dengan sebutan pulau seribu pura
Sehingga akibat adanya pengaruh globalisasi banyak kebudayaan Bali yang mulai memudar.
Dampak globalisasi terhadap pulau Bali telah menimbulkan situasi kegelisahan
sehingga masyarakat Bali perlu mengadakan suatu peng-ajeg-an (penegakan kembali) budaya
Bali sebagai salah satu langkah solutif penanggulangan beragam masalah. Pada konteks
sikap kaum muda atas invansi budaya misalnya, mereka lebih menampakkan sifat progresif,
inovatif, sekaligus sensitivitas terhadap perubahan.
Pemuda memegang peranan yang sangat penting dalam kesuksesan suatu Bangsa.
Ajeg Bali merupakan suatu politik identitas atau gerakan pemertahanan identitas etnik Bali yang
bertujuan untuk mengembalikan masyarakat Bali dalam kontek pengalaman ajaran agama
Hindu dan kebudayaan Bali (re-Balinisasi dan re-Hinduisasi). Ajeg Bali erat kaitanya dengan
implementasi konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat. Dimana dengan
diterapkannya konsep ajeg Bali diharapkan dapat terwujudnya keharmonisan di Bali dan
pelestarian tradisi dan budaya yang ada di Bali. Pemuda di Bali tidak menganggap Ajeg Bali
sebagai konsep stagnan tetapi lebih ke modernisasi yang sadar dan berkelanjutan. Dalam
praktiknya, pemuda Bali mampu mempertahankan identitas dan budaya mereka dari nilai-
nilai dan budaya baru yang diusung oleh globalisasi. Hegemoni budaya, telah menjadi hal
yang cukup menyakitkan bagi kalangan masyarakat Bali.
4
pada peningkatan kekuatan kaum muda Bali agar tidak jatuh dalam penaklukan hegemoni
budaya global. Desain Ajeg Bali meski harus sempat melewati komodifikasi kepentingan politik
praktis penguasa, namun pada perjalanannya desain ini lebih diidentikkan sebagai gerakan
kultural.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari Konsep Ajeg Bali.
2. Untuk mengetahui cara Mengajegkan Peradaban Adat dan Budaya Bali.
3. Untuk mengetahui cara mewujudkan Ajeg Bali melalui Konsep Tri Hita Karana.
4. Untuk mengetahui tahapan-tahapan Pengalaman Tri Hita Karana.
5. Untuk mengetahui peranan Taksu Bali sebagai Penyangga Ajeg Bali.
5
BAB II
PEMBAHASAN
7
Isi ulang kebalian dalam lintas generasi untuk membentuk kesadaran sebagai cakra
gilingan amutter tutur pinahayu artinya memutar cakra kesadaran dalam diri dengan ingat eling
akan adat (tradisi) dan budaya yang tidak meninggalkan dan alergi dengan modernisasi (kemajuan
iptek). Orang Bali harus bisa berpikir kesejagatan (mendunia) dengan adat tata kelakuan lokal
sebagai bentuk karakter orang Bali.
Bali yang terkenal sikap toleransi yang tinggi, ramah tamah, dan mempunyai ikatan
kegotongroyongan yang kuat jangan sampai pupus di tengah gerusan teknologi dan keterbukaan
budaya dunia. Teknologi penting dalam peradaban umat manusia tapi jangan sampai
menghilangan nilai/norma adat dan budaya Bali sebagai karakter orang Bali.
Taksu dan roh Bali ada pada ketaatan menjalankan ibadah agama (Hindu), ajegnya adat,
dan lestarinya budaya. Bali merupakan bagian dan harus memiliki kontribusi khazanah budaya
yang didukung oleh adat yang kuat. Bali jangan menjadi Betawi Indonesia yang kedua karena
terlena oleh kemajuan teknologi dan kenikmatan kue pariwisata. Era milenial dengan kemajuan
industri 4.0 harus diimbangi dengan kemampuan membentengi diri dari gerusan dampak negatif
teknologi dan pariwisata.
Bali memang menjadi eksklusif karena memiliki adat yang kental dan budaya yang
adiluhung sebagai pemikat pariwisata. Tradisi adat dan budaya selalu memberikan makna yang
mendalam sesuai dengan konsep kehidupan masyarakat Bali. Ambil saja contoh budaya magibung
bagi orang Bali juga didasari oleh filsafat kehidupan dalam konteks kebersamaan. Di sana ada
konsep nilai kebersamaan yang sampai saat ini masih bertahan seperti di Karangasem. Setiap
denyut kehidupan agama sebagai barometer kehidupan, termasuk juga adat budaya menjadi
bagian kehidupan orang Bali. Akan tetapi, adat dan budaya bukanlah agama melainkan agama
adalah piranti mempertahankan adat dan budaya Bali.
Mengajegkan Bali dalam tatanan wacana memang gampang dan latah di telinga kita. Akan
tetapi, mudah terucap hanya realitas sangat sulit jika tidak bersatu padu dan tumbuh kesadaran
dalam diri orang Bali dan orang yang tinggal di Bali. Benteng terakhir yang memperkuat dan
ajegnya Bali adalah adat yang kuat, tegas tetapi bukan keras. Karena dalam tradisi adat ada nilai
hukum dan tingkat aturan khusus yang mengatur tata nilai budaya. Tata nilai memiliki nilai tinggi
apabila manusia (masyarakat) bekerja sama dengan sesamanya sebagai bentuk karakter sosial
orang Bali. Adat merupakan sistem pemerintahan tradisional dengan kearifan lokal (local genius)
dan sampai saat ini berjalan seiring sejalan dengan pemerintahan desa dinas yang disebut perbekel.
Desa adat memiliki sistem pengaturan yang otonom secara adat dengan undang-undang sendiri
yang disebut awig-awig. Memiliki lembaga keuangan sendiri yang disebut dengan LPD (Lembaga
Perkreditan Desa), memiliki pawongan keamanan adat yang disebut pecalang.
Pranata-pranata sosial seperti subak, dadia, lembaga keuangan adat jangan sampai
dimasuki/direcoki politik modern dan jika salah bisa pemecah belah persatuan adat. Seperti halnya
hajatan pemilihan bendesa adat harus berdasarkan paras paros, segilik saguluk salunglung
sabayantaka (musyawarah mufakat) sebagai jiwa sila keempat Pancasila sebagai dasar Republik
8
Indonesia. Politik memang perlu tetapi tetap berhati-hati kepentingan politik modern yang
memecah persatuan adat. Terbit Perda 4 tahun 2019 yang mengatur tentang adat di Bali sebagai
bukti bahwa adat di Bali mendapat legitimasi dari pemerintah pusat dan daerah. Mempertahankan
“ajeg Bali” tentu keterlibatan desa adat sebagai bentuk yang tidak bisa dipisahkan. Ketika euforia
masyarakat dengan kesibukan dan tuntutan hidup yang semakin kompleks-modern sehingga
tumbuh rasa ego-individualisme. Harapannya jangan sampai melupakan kebersamaan sebagai
bentuk dan ciri perilaku sosial lokal krama Bali yang patut dibertahankan.
Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan
dalam ajaran “Tri Hita Karana” yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kemakmuran. Ketiga
konsep tersebut adalah :
9
Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan).
Pawongan (hubungan manusia dengan sesama manusia).
Palemahan (hubungan manusia dengan alam).
Dalam pelaksanaannya konsep Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran, yaitu :
Ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri
kultural (cultural confidence) yang bersiat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal
semata. Satu contoh kecil, mengenai pemakaian bahasa daerah Bali khususnya di perkotaan sudah
semakin langka. Sampai-sampai pemerintah kota Denpasar menjadikan hari Rabu sebagai “Rahine
Ngangge Bahasa Bali” (hari memakai bahasa Bali). Betapa memprihatinkannya kemampuan
berbahasa Bali orang Bali di Bali (Denpasar). Contoh general lainnya “pertikaian” inter dan antar
warga adat yang beragam ditambah lagi pelaksanaan ajaran agama yang “mulo keto” ikut
mengusik rasa percaya diri orang Bali.
10
Dalam ketiga tataran tersebut, disepakati bahwa ajeg Bali bukanlah sebuah konsep yang
stagnan, melainkan upaya pembaharuan terus-menerus yang dilakukan secara sadar oleh manusia
Bali untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budayanya agar tidak jatuh di bawah penaklukan
hegemoni budaya global.
Pada praktiknya masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari Tri Hita Karana, apa yang
mereka lakukan selalu berlandaskan hal tersebut. Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari ritual
agama Hindu yang selalu mencari keseimbangan dalam hampir setiap kegiatan hidupnya. Kalau
kita berpikir sederhana, selama ada canang (sesajen dari janur kelapa berisi bunga dan dupa), nilai-
nilai agama hindu yang merupakan core of the culture, akan tetap bernafas tenang dalam kehidupan
manusia Bali.
11
oleh I Gusti Ketut Kaler pada tahun 1969 dalam suatu seminar tentang desa adat dalam wujud
tata ruang dan tata aktivitas dalam desa adat dengan unsur-unsur yang meliputi Parhyangan
(Tuhan), Pawongan (manusia), dan Palemahan (alam). Dalam suatu penyuratan awig-awig
(hukum adat), ada tiga hal pokok yang diatur yaitu:
Awig-awig desa adat dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dalam perkembangan
selanjutnya diharapkan awig-awig bersifat fleksibel dan memiliki daya tahan dalam
menghadapi arus globalisasi.
12
adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi kepada sesama
manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan.
Seperti sudah disinggung di depan bahwa hampir semua jenis kesenian Bali mengandung
tendensi untuk menunjang dan mengabdikan kehidupan agama Hindu di Bali. Pertautan yang erat
serta hubungan yang timbal-balik antara jenis-jenis kesenian dengan upacara adat aktivitas agama
Hindu, maka kesenian Bali pada dasarnya adalah seni keagamaan dan bukanlah kesenian untuk
seni semata-semata. Berdasarkan sebuah seminar pada tahun 1972, kesenian Bali digolongkan
menjadi seni wali, seni bebali, dan seni balih-balihan.
Organisasi sosial banjar adalah balai pengayom seni yang berperan signifikan. Di sini nilai-
nilai seni dilestarikan, dikembangkan, didiskusikan, dan diapresiasi. Kecintaan pada jagat seni dan
keterampilan warga banjar dalam bidang seni banyak terasah dari aktivitas seni yang berpusat di
arena bangunan umum milik banjar tersebut. Keberadaan seni pertunjukan Bali, seni tari dan
karawitan khususnya, sejak dulu umumnya disangga dan dimotivasi oleh komunitas banjar. Sekaa-
sekaa gamelan dan tari dilegetimasi oleh organisasi sosial banjar. Seniman-senimannya diakui
harkatnya oleh segenap warga banjar. Hasil karya seni atau wujud aktivitas seninya diklaim
sebagai milik banjar. Fanatisme terhadap seni babanjaran itu mengkristal kental.
Harkat sebuah bangsa sering diukur dari tinggi rendah seni budayanya. Sebab pada
kenyataannya bahwa kualitas seni budaya adalah ekspresi dan manifestasi dari tata nilai, prilaku
dan pola berpikir masyarakat. Atau keluhuran produk seni budaya tak lain dari kristalisasi dari
citra dan penyangga identitas sebuah bangsa. Taksu seni budaya Bali telah berperan sebagai pilar
yang menyangga ajeg Bali.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Konsep Ajeg Bali
Secara harfiah, kata “ajeg” bermakna kukuh, tidak goyah, tegak, dan lestari. Kalau
disandingkan, kata “ajeg” dan Bali berarti Bali yang kukuh atau Bali yang tidak goyah. Ajeg Bali
adalah upaya sepihak para intelektual organik yang memperoleh atau diberikan kekuasaan
berbicara oleh penguasa untuk menciptakan simbol-simbol baru kebudayaan demi menjaga
kebudayaan Bali. Menurut Wijaya, ada tiga belas sifat umum gerakan “Ajeg Bali”, di antaranya
diskriminatif, confidential, refleksif, pemaskaran, replikasi, komoditifikasi, sentimen, resesif,
desakralisasi, defensi dan agresi, kolaborasi, reproduksi, serta adverse. Menurut Seita (2004)
dalam Kertih dan Sukadi, menyatakan bahwa konsep ajeg Bali haruslah memiliki makna sebagai
lestarinya agama Hindu yang lebih universal, yang bersumber dari ajaran Weda.
Mengajegkan Bali dalam tatanan wacana memang gampang dan latah di telinga kita. Akan
tetapi, mudah terucap hanya realitas sangat sulit jika tidak bersatu padu dan tumbuh kesadaran
dalam diri orang Bali dan orang yang tinggal di Bali. Benteng terakhir yang memperkuat dan
ajegnya Bali adalah adat yang kuat, tegas tetapi bukan keras.
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah Daerah Bali untuk mengajegkan
(melestarikan) adat dan budaya Bali. Langkah dan upaya itu di antaranya pemberlakuan
penggunaan pakaian adat Bali setiap Purnama-Tilem dan setiap Kamis menggunakan bahasa Bali
adalah sebagai wujud kepedulian dari upaya pemerintah daerah Provinsi Bali. Pergub No. 79 tahun
2018 mengatur tentang penggunaan berbahasa Bali sebagai upaya Bali lestari dan Bali ajeg tentu
harus mendapat dukungan dari semua elemen masyarakat Bali. Pakaian juga mencerminkan
peradaban adat sedangkan bahasa merupakan cerminan peradaban budaya. Hal yang paling
prestesius kepedulian Pemerintah Daerah Bali adalah terbitnya Perda 4 tahun 2019 tentang Desa
Adat Bali sebagai bentuk legalitas keberadaan adat-adat di Bali yang betul-betul harus diajegkan.
Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan
dalam ajaran “Tri Hita Karana” yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kemakmuran. Ketiga
konsep tersebut adalah :
15
kesenian dengan upacara adat aktivitas agama Hindu, maka kesenian Bali pada dasarnya adalah
seni keagamaan dan bukanlah kesenian untuk seni semata-semata. Keberadaan seni pertunjukan
Bali, seni tari dan karawitan khususnya, sejak dulu umumnya disangga dan dimotivasi oleh
komunitas banjar. Sekaa-sekaa gamelan dan tari dilegetimasi oleh organisasi sosial banjar.
3.2 Saran
a. Bagi para pembaca diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai
pentingnya mengajegkan adat istiadat, budaya dan agama Hindu di era globalisasi
untuk Bali agar tetap lestari.
b. Bagi para pembaca selain mendapat pengetahuan dari makalah ini, diharapkan juga
dapat mempraktekkan atau menerapkan konsep-konsep atau cara-cara mengajegkan
adat istiadat dan agama Hindu seperti yang disebutkan diatas. Karena jika tidak kita
sebagai masyarakat asli Bali, siapa lagi yang akan mengajegkan Bali kita ini.
16