DISUSUN
DEMA ANGELIKA
NIM. 101211010141
FAKULTAS EKONOMI
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga Saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Perkembangan Budaya
Melayu Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia Di Wilayah Riau” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata
kuliah Budaya Melayu. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Perkembangan Budaya Melayu Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia Di Wilayah Riau bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ali Azhar, S.Sos.,M.H, selaku dosen
mata kuliah Budaya Melayu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang Saya tekuni. Saya juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang Saya tulis ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan Saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
perantara yang lihai sekaligus membawa Islam dan budaya Melayu ke segenap pelosok
Nusantara dan Asia.
2
3. Manfaat Bagi Universitas
Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi penulis selanjutnya dengan tujuan
agar keilmuan mereka bisa bertambah dan sebagai referensi ketika akan membuat
makalah. Selain itu, sebagai perbendaharaan perpustakaan Universitas Islam Indragiri.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya juga merupakan suatu pola hidup menyeluruh.
Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-
nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas
keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda
dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu
dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina.
Ada pendapat yang mengatakan kata melayu berasal dari kata mala (yang berarti mula)
yu (yang berarti negeri) seperti dinisbahkan kepada Ganggayu yang berarti negeri Gangga.
4
Pendapat ini bisa dihubungkan dengan cerita rakyat Melayu yang paling luas dikenal, yaitu
cerita si Kelambai atau sang Kelambai.
Dalam cerita itu disebutkan berbagai negeri, patung, gua, dan ukiran dan sebagainya,
yang dihuni atau disentuh oleh si kelembai, semuanya akan mendapat keajaiaban. Ini
member petunjuk bahwa negeri yang mula-mula dihuni oranag melayu pada zaman purba
itu, telah mempunyai peradapan yang cukup tinggi.
Kemudian kata melayu atau melayur dalam bahasa Tamil berarti tanah tinggi atau
bukit, disamping kata mala yang berarti hujan. Ini bersesuaian dengan negeri-negeri orang
melayu pada awalnya terletak pada perbukitan, seperti tersebut dalam sejarah melayu, bukit
Siguntung Mahameru. Negeri ini sebagai negeri yang banyak mendapat hujan, karena
terletak antara dua benua, yaitu Asia dan Australia.
Selanjutnya dalam bahasa jawa, kata melayu berarti lari atau berjalan cepat. Lalu kita
kenal pula ada sungai Melayu, diantara dekat johor dan Bangkahulu. Semua istilah dan
perkataan itu dapat dirangkumkan sehingga melayu dapat diartikan sebagai suatu negeri
yang mula-mula didiami, dan dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pengertian melayu merujuk kepada bangsa yang
berbahasa melayu yang mendalami semenanjung Tanah Melayu, pantai timur Sumatra, dan
beberapa tempat lainya di wilayah Nusantara. dalam arti sempit yang terdapat dalam
pelembagaan Malaysia yakni perkara 153 mengatakan bahwa seseorang itu dapat di
katagorikan sebagai melayu apabila memiliki ciri-ciri seperti :
5
Jadi dapat disimpulkan, sehingga melayui dapat diartikan sebagai suatu negeri yang
pertama didiami oleh seluruh penduduk yang ada di nusantara oleh sungai yang di beri nama
dengan sungai melayu.
Ras Melayu datang pertama kali ke daerah Riau sekitar tahun 2.500 SM. Mereka datang
dari daratan Asia bagian tengah dan menyeberang dari Semenanjung Malaysia. Kedatangan
kedua terjadi pada tahun 1.500 SM dan gelombang kedatangan ketiga sekitar tahun 300 SM.
Suku Melayu Riau adalah salah satu keturunan para migran dari daratan Asia tersebut. Dalam
sejarah kebudayaannya mereka juga telah mengalami beberapa pengaruh peradaban, seperti
Hindu, Islam, dan juga peradaban Cina dan Barat (Belanda, Inggris dan Portugis). Pada
abad-abad yang dulu mereka sempat mempunyai beberapa kerajaan, seperti Kesultanan
Bintan atau Tumasik, Kandis atau Kuantan, Gasib atau Siak, Kriteng atau Inderagin, Lingga,
Malaka, Rokan, Siak Sri Inderapura, Kampar, Pelalawan dan Singingi. Pada masa sekarang
populasi mereka di perkirakan berjumlah sekitar 1 juta jiwa, tersebar terutama di Provinsi
Riau maupun kepulauannya dan disekitar daerah aliran sungai-sungai besar di daratan
Sumatera bagian Timur.
Bahasa Melayu ini tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang, malah
dianggap sebagai salah satu dasar bahasa Indonesia. Di sebut juga bahasa Melayu Tinggi,
karena awalnya digunakan sebagai bahasa sastra oleh masyarakat Indonesia pada akhir
abad yang lalu. Sebelum mengenal tulisan latin, masyarakat ini menuliskan gagasan
mereka dalam tulisan arab-melayu atau arab gundul.
Orang Melayu di Riau ini amat sedikit yang bertanam padi di sawah, karena keadaan
alamnya yang tidak memungkinkan untuk itu, namun sebagian kecil ada juga yang
berladang. Pada masa dulu mungkin mereka lebih mengandalkan mata pencaharian
mengolah sagu, mengumpulkan hasil hutan, menangkap ikan, berladang dan berdagang.
Tanaman mereka biasanya padi ladang, ubi, sayuran dan buah-buahan. Kemudian mereka
6
juga menanam tanaman keras yang sempat melambung harganya yaitu karet. Sebagai
masyarakat yang berdiam di wilayah perairan mereka juga banyak mengembangkan alat
transportasi di laut, seperti lancang (perahu layar dua tiang dengan sebuah pondok di
atasnya), penjajab (kapal kayu penjelajah), jung (perahu layar kecil), sampan balang
(perahu layar kecil untuk menangkap ikan). Untuk di sungai mereka menggunakan
sampan kolek, sampan kotak dan belukang, ketiganya tergolong perahu lesung yang
ramping bentuknya. Kemudian ada pula yang disebut perahu jalur, yaitu perahu panjang
yang digunakan untuk berlomba di sungai.
Setiap keluarga inti berdiam di rumah sendiri, kecuali pasangan baru yang biasanya
lebih suka menumpang di rumah pihak isteri sampai mereka punya anak pertama. Karena
itu pola menetap mereka boleh dikatakan neolokal. Keluarga inti yang mereka sebut
kelamin umumnya mendirikan rumah di lingkungan tempat tinggal pihak isteri. Prinsip
garis keturunan atau kekerabatan lebih cenderung parental atau bilateral. Hubungan
kekerabatan dilakukan dengan kata sapaan yang khas. Anak pertama dipanggil long, anak
kedua ngah, dibawahnya dipanggil cik, yang bungsu dipanggil cu atau ucu. Biasanya
panggilan itu ditambah dengan menyebutkan ciri-ciri fisik orang yang bersangkutan,
misalnya cik itam jika cik itu orang hitam, ngah utih jika Ngah itu orangnya putih, cu
andak jika Ucu itu orangnya pendek, cik unggal jika si buyung itu anak tunggal dan
sebagainya. Pada masa dulu orang Melayu juga hidup mengelompok menurut asal
keturunan yang mereka sebut suku. Kelompok keturunan ini memakai garis hubungan
kekerabatan yang patrilineal sufatnya. Tetapi orang Melayu Riau yang tinggal di daratan
Sumatera dan dekat dengan Minangkabau sebagian menganut faham suku yang
matrilineal. Ada pula yang menyebut suku dengan hinduk (induk atau cikal bakal). Setiap
suku dipimpin oleh seorang penghulu. Kalau suku itu berdiam di sebuah kampung maka
penghulu langsung pula menjadi Datuk Penghulu Kampung (Kepala Kampung). Setiap
penghulu dibantu pula oleh beberapa tokoh seperti batin, jenang, tua-tua dan monti. Di
bidang keagamaan dikenal pemimpin seperti imam dan khotib. Pelapisan sosial dalam
kehidupan masyarakat Melayu Riau ini tidak lagi tajam seperti di zaman kesultanan dulu.
Walaupun begitu masih ada golongan-golongan tertentu yang dianggap mempunyai ciri
7
keturunan sendiri. Misalnya golongan bangsawan yang terdiri dari keturunan sultan dan
raja, golongan datuk-datuk kepala suku, atau penghulu kepala kampung, kemudian ada
lagi golongan pemuka masyarakat yang disebut cerdik pandai, orang tua-tua, golongan
ulama dan orang-orang kaya.
Masyarakat Melayu Riau memeluk agama Islam sejak abad kesebelas Masehi. Tetapi
dalam masyarakat ini juga masih dapat di temui tokoh-tokoh yang menguasai ilmu gaib
dan keyakinan animistis yang di sebut bomo (dukun). Mereka percaya bahwa ada
makhluk-makhluk halus yang bisa berubah wujud menjadi buaya putih, gajah memo, ular
bidai, harimau tengkis dan lain-lain.
8
wilayahnya justru melampaui batas-batas politik negara kesatuan Indonesia. Oleh karena
itu, pembicaraan masa lalu, masa kini, dan masa depan Riau, di dalamnya terkait dua
aspek tadi, yaitu politik dan budaya.
Pembicaraan masa lalu Riau sesungguhnya berkaitan erat dengan sejarah lokal dan
sejarah sosial yang terjadi di kawasan Semenanjung. Di dalamnya, tidak terelakan, kita
harus menyinggung peristiwa “terbelahnya” kehidupan sosial politik yang diakibatkan
oleh Perjanjian London, Mei 1824, antara Inggris dan Belanda. Sebuah peristiwa politik
kolonial yang memisahkan masyarakat Sumatera dari masyarakat Melayu. Dalam
perjanjian itu, telah disepakati bahwa Inggris berhak menguasai Singapura dan Malaka
terhitung Agustus 1824, dan Belanda berhak atas Bangkahulu (Sumatera Selatan).
Perjanjian ini juga sekaligus berarti membagi dua kerajaan Riau— Lingga—Johor dan
Pahang dalam wilayah kekuasaan Inggris dengan sempadan Selat Singapura.
Itulah awal berpisahnya hubungan secara politik antara masyarakat Melaka, Johor,
Singapura, dan kawasan Semenanjung dengan masyarakat Riau dan komunitas Melayu
kepulauan itu. Keputusan politik itu tentu saja hanya didasari kepentingan pihak kolonial
(Belanda dan Inggris). Lewat perjanjian itu, Inggris dapat memusatkan kekuasaannya di
negeri-negeri Selat, sementara Belanda dapat lebih efektif mengontrol wilayah laut di
kawasan itu. Jadi, kesepakatan itu sama sekali tak mempertimbangkan aspek sosio-
kultural. Keputusan politik kolonial yang mengabaikan semangat dan dinamika budaya
masyarakat.
Meski secara politik ada batas geografi yang jelas antara masyarakat Semenanjung
dan Riau yang dikuasai oleh dua negara kolonial dengan kebijaksanaan politik yang
berbeda, hubungan sosio-kultural kedua masyarakat yang bersangkutan tetap berlangsung
seolah-olah perjanjian London itu tidak pernah ada. Dengan demikian, hubungan sosial-
budaya yang telah berlangsung sejak lama dalam kehidupan masyarakat rumpun Melayu,
tidak dapat dipisahkan begitu saja melalui keputusan politik. Inilah contoh, betapa
hubungan budaya jauh lebih mengakar dan dapat melampaui batas-batas politik dan
geografi.
9
Ketika Jepang memasuki Semenanjung Melayu menggantikan kekuasaan kolonial
Inggris, 15 Februari 1942,3 dan menduduki Jawa menggantikan kekuasaan Belanda, 8
Maret 1942,4 makin mempererat hubungan sosio-kultural kedua masyarakat di
Semenanjung ini. Jepang menyatukan Tanah Melayu dan Sumatera yang tentu saja
disambut gembira oleh kedua masyarakat di wilayah itu.
Pengangkatan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kedua setelah bahasa Jepang
dalam kebijaksanaan pemerintah pendudukan Jepang di Semenanjung Melayu, tentu saja
mendapat sambutan yang baik dari pihak masyarakat Melayu sendiri. Bagi Ibrahim Haji
Yaakob dan tokoh-tokoh pergerakan Melayu lulusan Maktab Perguruan Sultan Idris,
terangkatnya bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris, boleh jadi dianggap sebagai
10
“kemenangan” psikologis dalam tarik-menarik menghadapi pengaruh golongan terpelajar
lulusan Maktab Perguruan Kuala Kangsar yang menempatkan bahasa Inggris sebagai
bahasa utama. Dengan begitu, di samping keberhasilan propaganda Jepang dalam
mengangkat harkat bangsa Asia, kedatangan Jepang ke Malaysia, awalnya –sedikit banyak
—mendapat sambutan positif dari kalangan tokoh pergerakan Malaysia sendiri.
Selain itu, hubungan golongan terpelajar dan para pemuda pergerakan Indonesia—
Melayu yang berasal dari Maktab Perguruan Sultan Idris yang sejak awal berdirinya
maktab itu memang sudah terjalin dengan baik, makin memberi penyadaran akan adanya
kesamaan perasaan senasib—sepenanggungan dan tujuan cita-cita yang sama: mencapai
kemerdekaan dan terlepas dari belenggu penjajahan. Kedekatan hubungan itu ditandai
pula dengan tersebar luasnya bahan-bahan bacaan dari Indonesia di tanah Melayu.
Di Indonesia, tanggapan yang baik atas kedatangan Jepang, juga datang dari tokoh-
tokoh pergerakan, termasuk golongan terpelajar dan seniman. Propaganda Jepang
mengenai kebesaran kebudayaan bangsa Timur yang sangat bertentangan dengan
kebijaksanaan kolonial pemerintah Belanda, telah berhasil menggugah emosi dan
sentimen tokoh-tokoh pejuang Indonesia. Hal tersebut memang merupakan salah satu cara
yang dilakukan pihak Jepang untuk menarik simpati, dan lebih jauh lagi, dukungan bangsa
Asia, khususnya bangsa yang wilayahnya berada dalam pendudukan Jepang, dalam usaha
tentara Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pidato P.J.M. Goenseikan pada
saat peresmian Kantor Besar Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) di Jakarta, 18
September 1943 yang sebagian dikutip di bawah ini, memperlihatkan bagaimana besarnya
perhatian pihak Jepang dalam 'memanfaatkan' kebudayaan sebagai alat propaganda.
Terlepas dari kepentingan politik yang ingin dicapai pihak Jepang di balik
propagandanya mengangkat kebudayaan Timur, bagi beberapa tokoh pergerakan di
Malaysia, masalah itu justru makin menguatkan tekad mereka untuk menyatukan tanah
Melayu ke dalam wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, ketika di Indonesia dibentuk Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia,8 Maret 1945, Ibrahim Haji
Yaakob segera mendesak pihak Jepang bahwa jika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, Tanah Melayu agar dimasukkan pula ke dalam wilayah Indonesia Raya.
Usaha itupun diikuti dengan menghubungi golongan nasionalis Indonesia yang sedang
11
menyusun Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, agar kemerdekaan Indonesia mengikutsertakan
Tanah Melayu,yang ternyata disetujui pula oleh golongan nasionalis Indonesia. Dengan
demikian, tidak ada lagi keraguan bagi tokoh-tokoh pergerakan Melayu dalam usahanya
mencapai kemerdekaan. Dalam pada itu, pihak Jepang sendiri terkesan ikut mendorong
usahausaha itu. Realisasinya adalah diadakannya pertemuan antara Prof. Akamatsu dari
pihak Jepang dan wakil Kesatuan Melayu Muda (KMM), Ibrahim Yaakob, Hassan
Manan, Onan Siraj, dan Ramly Hj. Tahir, 26 Juli 1945 di Singapura. Hasilnya adalah
bahwa pihak Jepang menyatakan kesediaannya untuk memberi kemerdekaan bagi Tanah
Melayu. Dua hari berikutnya, diadakan pula pertemuan kedua yang dari pihak Jepang
diwakili Prof. Itagaki. Dalam pertemuan itu, pihak Jepang meminta agar Ibrahim Yaakob
dan kawan-kawan segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepentingan
kemerdekaan Tanah Melayu. Dari sinilah kemudian dibentuk KRIS (Kesatuan Rakyat
Indonesia Semenanjung), akhir Juli 1945, yang merupakan semacam penyusunan kembali
KMM,11 dengan Ibrahim Yaakob dan Dr. Burhanuddin Al-Helmy sebagai pimpinannya.
Pada era globalisasi budaya Melayu Riau cepat dapat pengaruh seperti yang sudah
diuraikan sebelumnya. Hal ini dapat kita lihat bahwa sifat malu sudah mulai pudar
12
misalnya tayangan televisi baik RTV maupun TVRI khusus Riau, penyanyi tidak kalah
dari penyanyi tingkat baik nasional maupun internasional mereka berpakaian terbuka yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang dianut oleh puak Melayu Riau. Selain itu, suara
KKN masih terngiang-ngiang walaupun sulit membuktikan. Semuanya itu terjadi karena
budaya Melayu sudah mulai rusak karena pengaruh dari luar dan tidak pemalu lagi. Untuk
menangkal pengaruh luar itu budaya Melayu Riau perlu dilestarikan. Pelestarian budaya
Melayu Riau bukanlah mengurung diri pengaruh luar. Akan tetapi, pengertian lestari disini
mempunyai sifat dinamis. Dengan sifat yang dinamis budaya Melayu Riau memiliki lentur
terhadap perubahan, tetapi tetap kukuh.
13
jika ada orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Misalnya
orang yang terjerumus ke lembah narkoba tetap dihukum, walau pun anak siapa saja.
Hukuman itu setimpal dengan kesalahan yaitu pengedar dihukum mati, dan peniakai
narkoba diobati.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya juga merupakan suatu pola hidup menyeluruh.
Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pengertian melayu merujuk kepada bangsa yang
berbahasa melayu yang mendalami semenanjung Tanah Melayu, pantai timur Sumatra, dan
beberapa tempat lainya di wilayah Nusantara. dalam arti sempit yang terdapat dalam
pelembagaan Malaysia yakni perkara 153 mengatakan bahwa seseorang itu dapat di
katagorikan sebagai melayu apabila memiliki ciri-ciri seperti :
Corak budaya Melayu sesuai dengan sifat, ciri dan penampilan orang Melayu. Orang
Melayu Riau mempunyai sifat pemaiu, sehingga tingkah lakunya terpelihara, mereka malu
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agarna Islam. Budaya Melayu Riau
dalam era giobatisasi perlu dibina dan dikembangkan karena budaya Melayu Riau cepat
dipengaruhi oleh budaya lain akibat Provinsi Riau terletak pada posisi silang yang
merupakan tempat strategis masuknya pengaruh budaya luar. Pembinaan dan
pengembangan budaya Melayu Riau dapat dilakukan dengan menimbulkan sikap positif
masyarakat terhadap budaya Melayu Riau. Selain itu dalam kegiatan budaya Melayu Riau
perlu melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan.
15
3.2 Saran
Dalam makalah ini penyusun sadar, materi yang disampaikan banyak kekurangan.
Sehingga Saya berharap kepada semua pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson, “Pikiran Islam dan Tradisi Melayu,” Anthony
Reid & David Marr, Dari Raja Ali Haji hingga Hamka (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm.
98—100.
Groeneboer, Kees. 1995. Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda 1600—1950.
Jakarta: Erasmus Taalcentrum.
Hall, D.G.E. 1987. Sejarah Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hussain, Shaharom. 1985. Biografi Perjuangan Politik Dato' Jaafar. Petaling Jaya: Fajar Bakti.
Kamaruzzaman Abd. Kadir, Nasionalisme dalam Puisi Melayu Modern: 1933--1957, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1982), hlm. 14.
Li Chuan Siu. 1967. Ikhtisar Sejarah Pergerakan dan Kesusasteraan Melayu Modern 1945—
1965. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia
(Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 3.
Said Dahlan. (2004). Budaya Melayu Riau Pada Era Globalisasi. Jurnal Ilmu Budaya, 01(01),
11-19.
Uu. Hamadiy. 1423. Lagad Melayu dalam lintas Budaya Riau. Pekanbaru : Kajian Masyarakat
Melayu.
17