Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH BUDAYA MELAYU

“Perkembangan Budaya Melayu Pasca Kemerdekaan

Republik Indonesia Di Wilayah Riau”

Dosen Pengampu : DR.ALI AZHAR, S.Sos.,M.H

DISUSUN

DEMA ANGELIKA

NIM. 101211010141

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga Saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Perkembangan Budaya
Melayu Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia Di Wilayah Riau” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata
kuliah Budaya Melayu. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Perkembangan Budaya Melayu Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia Di Wilayah Riau bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ali Azhar, S.Sos.,M.H, selaku dosen
mata kuliah Budaya Melayu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang Saya tekuni. Saya juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang Saya tulis ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan Saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tembilahan, 18 April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Budaya ........................................................................................................ 4


2.2 Pengertian Melayu ........................................................................................................ 4
2.3 Asal – Usul Budaya Melayu di Riau ............................................................................ 6
2.4. Perkembangan Budaya Melayu Pasca Kemerdekaan RI di Riau ................................ 8
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 15


3.2 Saran ............................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistemagama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan
secara genetis.
Provinsi Riau merupakan Provinsi yang terdiri dari berbagai suku dan budaya. Sementara
manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena
budaya lahir dari kegiatan dan kebiasaan manusia. Suatu kebudayaan merupakan cerminan
dalam suatu kehidupan manusia di lingkungan masyarakatnya. Kesenian merupakan salah
satu hasil karya manusia sebagai perwujudan dari kebudayaan. Kesenian adalah ekspresi
gagasan atau perasaan manusia yang diwujudkan melalui pola kelakuan yang menghasilkan
karya yang bersifat estetis dan bermakna. Dari pernyataan ini terlihat bahwa setiap manusia
dalam kehidupan memerlukan santapan estetis yang berwujud seni.
Kebudayaan Melayu Riau merupakan hasil cipta rasa dan karya orang Melayu di Riau.
Melayu adalah nama sub ras yang datang dari daratan Cina Selatan yang tersebar dari pulau
Pas di timur (Pasifik) ke barat sampai Madagaskar dan juga di Selandia Baru bagian selatan.
Sub ras ini dienal juga sebagai Proto melayu (Puak Melayu Tua) yang mendiami daerah
pedalaman terpencil di Riau dengan memegang adat dan tradisinya, kemudian Deutro
Melayu (Puak Melayu muda) yang lebih bersifat terbuka disbanding Puak Melayu Tua, yang
mendiami daerah pesisir pantai yang ramai disinggahi, karena menjadi jalur lalu lintas
perdagangan yang membuka peluang kepada penyerapan nilai-nilai budaya luar
Masyarakat Riau adalah mayoritas masyarakat Melayu yang menempati Riau, Kepulauan
Riau, dan Riau Daratan, sekaligus memiliki nilai budaya Melayu. Dalam sejarah telah
terungkap bahwa pada zaman lampau orang Melayu adalah bangsa “penakluk” dan berhasil
“memerintah” suku-suku lainnya di Nusantara. Orang Melayu dulunya adalah pedagang

1
perantara yang lihai sekaligus membawa Islam dan budaya Melayu ke segenap pelosok
Nusantara dan Asia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai
berikut :
1. Apa Yang di Maksud dengan Budaya ?
2. Apa Yang di Maksud dengan Melayu ?
3. Bagaimana Asal – Usul Budaya Melayu di Riau ?
4. Bagaimana Perkembangan Budaya Melayu Pasca Kemerdekaan di Riau ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Budaya
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Melayu
3. Untuk mengetahui asal – usul Budaya Melayu di Riau
4. Untuk mengetahui Perkembangan Budaya Melayu di Riau Pasca Kemerdekaan ?

1.4 Manfaat Penulisan


1. Manfaat Bagi Penulis
Dari hasil makalah ini diharapkan menambah pengetahuan penulis mengenai materi
yang dibahas berkenaan dengan Perkembangan Budaya Melayu Pasca Kemerdekaan
Republik Indonesia Di Wilayah Riau
2. Manfaat Bagi Program Studi Manajemen
Dengan adanya makalah ini bisa menambah referensi yang baru bagi Program Studi
Manajemen. Serta bisa dijadikan acuan dalam pembuatan makalah-makalah yang sejenis
untuk regenerasi berikutnya.

2
3. Manfaat Bagi Universitas
Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi penulis selanjutnya dengan tujuan
agar keilmuan mereka bisa bertambah dan sebagai referensi ketika akan membuat
makalah. Selain itu, sebagai perbendaharaan perpustakaan Universitas Islam Indragiri.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya juga merupakan suatu pola hidup menyeluruh.
Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-
nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas
keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda
dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu
dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina.

Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan,


yang tercermin pada pola dan gaya hidup masing-masing. Di Indonesia terdapat 300 suku
bangsa dan menggunakan kurang lebih 250 bahasa daerah. Budaya adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki oleh sebuah kelompok dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.

2.2 Pengertian Melayu

Istilah melayu cukup banyak ragamnya, seorang cendikiawan melayu bernama


Bahanuddin Elhulaimy yang juga pernah menjadi ketua umum partai islam tanah melayu
dalam bukunya asas falsafah kebangsaan melayu, terbit pertama kali pada tahun 1950,
mencatat beberapa istilah kata tersebut.

Ada pendapat yang mengatakan kata melayu berasal dari kata mala (yang berarti mula)
yu (yang berarti negeri) seperti dinisbahkan kepada Ganggayu yang berarti negeri Gangga.

4
Pendapat ini bisa dihubungkan dengan cerita rakyat Melayu yang paling luas dikenal, yaitu
cerita si Kelambai atau sang Kelambai.

Dalam cerita itu disebutkan berbagai negeri, patung, gua, dan ukiran dan sebagainya,
yang dihuni atau disentuh oleh si kelembai, semuanya akan mendapat keajaiaban. Ini
member petunjuk bahwa negeri yang mula-mula dihuni oranag melayu pada zaman purba
itu, telah mempunyai peradapan yang cukup tinggi.

Kemudian kata melayu atau melayur dalam bahasa Tamil berarti tanah tinggi atau
bukit, disamping kata mala yang berarti hujan. Ini bersesuaian dengan negeri-negeri orang
melayu pada awalnya terletak pada perbukitan, seperti tersebut dalam sejarah melayu, bukit
Siguntung Mahameru. Negeri ini sebagai negeri yang banyak mendapat hujan, karena
terletak antara dua benua, yaitu Asia dan Australia.

Selanjutnya dalam bahasa jawa, kata melayu berarti lari atau berjalan cepat. Lalu kita
kenal pula ada sungai Melayu, diantara dekat johor dan Bangkahulu. Semua istilah dan
perkataan itu dapat dirangkumkan sehingga melayu dapat diartikan sebagai suatu negeri
yang mula-mula didiami, dan dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa pengertian melayu merujuk kepada bangsa yang
berbahasa melayu yang mendalami semenanjung Tanah Melayu, pantai timur Sumatra, dan
beberapa tempat lainya di wilayah Nusantara. dalam arti sempit yang terdapat dalam
pelembagaan Malaysia yakni perkara 153 mengatakan bahwa seseorang itu dapat di
katagorikan sebagai melayu apabila memiliki ciri-ciri seperti :

1. Lazimnya berbahasa melayu


2. Berkebudayaan melayu
3. Beragama islam

Pengertian melayu berdasarkan Ras, yaitu menerangkan penduduk seluruh Nusantara


berdasarkan kajian Geldara dan Kern. Mereka berasal dari satu kelompok bangsa kemudian
terebar keseluruh nusantara. pengertian mengikut ras ini lebih bertumpu kepada suatu
rumpun bangsa yang besar berkaitan.

5
Jadi dapat disimpulkan, sehingga melayui dapat diartikan sebagai suatu negeri yang
pertama didiami oleh seluruh penduduk yang ada di nusantara oleh sungai yang di beri nama
dengan sungai melayu.

2.3 Asal – Usul Budaya Melayu di Riau

Ras Melayu datang pertama kali ke daerah Riau sekitar tahun 2.500 SM. Mereka datang
dari daratan Asia bagian tengah dan menyeberang dari Semenanjung Malaysia. Kedatangan
kedua terjadi pada tahun 1.500 SM dan gelombang kedatangan ketiga sekitar tahun 300 SM.
Suku Melayu Riau adalah salah satu keturunan para migran dari daratan Asia tersebut. Dalam
sejarah kebudayaannya mereka juga telah mengalami beberapa pengaruh peradaban, seperti
Hindu, Islam, dan juga peradaban Cina dan Barat (Belanda, Inggris dan Portugis). Pada
abad-abad yang dulu mereka sempat mempunyai beberapa kerajaan, seperti Kesultanan
Bintan atau Tumasik, Kandis atau Kuantan, Gasib atau Siak, Kriteng atau Inderagin, Lingga,
Malaka, Rokan, Siak Sri Inderapura, Kampar, Pelalawan dan Singingi. Pada masa sekarang
populasi mereka di perkirakan berjumlah sekitar 1 juta jiwa, tersebar terutama di Provinsi
Riau maupun kepulauannya dan disekitar daerah aliran sungai-sungai besar di daratan
Sumatera bagian Timur.

2.3.1 Bahasa Suku Melayu Riau

Bahasa Melayu ini tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang, malah
dianggap sebagai salah satu dasar bahasa Indonesia. Di sebut juga bahasa Melayu Tinggi,
karena awalnya digunakan sebagai bahasa sastra oleh masyarakat Indonesia pada akhir
abad yang lalu. Sebelum mengenal tulisan latin, masyarakat ini menuliskan gagasan
mereka dalam tulisan arab-melayu atau arab gundul.

2.3.2 Mata Pencaharian Suku Melayu Riau

Orang Melayu di Riau ini amat sedikit yang bertanam padi di sawah, karena keadaan
alamnya yang tidak memungkinkan untuk itu, namun sebagian kecil ada juga yang
berladang. Pada masa dulu mungkin mereka lebih mengandalkan mata pencaharian
mengolah sagu, mengumpulkan hasil hutan, menangkap ikan, berladang dan berdagang.
Tanaman mereka biasanya padi ladang, ubi, sayuran dan buah-buahan. Kemudian mereka

6
juga menanam tanaman keras yang sempat melambung harganya yaitu karet. Sebagai
masyarakat yang berdiam di wilayah perairan mereka juga banyak mengembangkan alat
transportasi di laut, seperti lancang (perahu layar dua tiang dengan sebuah pondok di
atasnya), penjajab (kapal kayu penjelajah), jung (perahu layar kecil), sampan balang
(perahu layar kecil untuk menangkap ikan). Untuk di sungai mereka menggunakan
sampan kolek, sampan kotak dan belukang, ketiganya tergolong perahu lesung yang
ramping bentuknya. Kemudian ada pula yang disebut perahu jalur, yaitu perahu panjang
yang digunakan untuk berlomba di sungai.

2.3.3 Masyarakat Melayu Riau

Setiap keluarga inti berdiam di rumah sendiri, kecuali pasangan baru yang biasanya
lebih suka menumpang di rumah pihak isteri sampai mereka punya anak pertama. Karena
itu pola menetap mereka boleh dikatakan neolokal. Keluarga inti yang mereka sebut
kelamin umumnya mendirikan rumah di lingkungan tempat tinggal pihak isteri. Prinsip
garis keturunan atau kekerabatan lebih cenderung parental atau bilateral. Hubungan
kekerabatan dilakukan dengan kata sapaan yang khas. Anak pertama dipanggil long, anak
kedua ngah, dibawahnya dipanggil cik, yang bungsu dipanggil cu atau ucu. Biasanya
panggilan itu ditambah dengan menyebutkan ciri-ciri fisik orang yang bersangkutan,
misalnya cik itam jika cik itu orang hitam, ngah utih jika Ngah itu orangnya putih, cu
andak jika Ucu itu orangnya pendek, cik unggal jika si buyung itu anak tunggal dan
sebagainya. Pada masa dulu orang Melayu juga hidup mengelompok menurut asal
keturunan yang mereka sebut suku. Kelompok keturunan ini memakai garis hubungan
kekerabatan yang patrilineal sufatnya. Tetapi orang Melayu Riau yang tinggal di daratan
Sumatera dan dekat dengan Minangkabau sebagian menganut faham suku yang
matrilineal. Ada pula yang menyebut suku dengan hinduk (induk atau cikal bakal). Setiap
suku dipimpin oleh seorang penghulu. Kalau suku itu berdiam di sebuah kampung maka
penghulu langsung pula menjadi Datuk Penghulu Kampung (Kepala Kampung). Setiap
penghulu dibantu pula oleh beberapa tokoh seperti batin, jenang, tua-tua dan monti. Di
bidang keagamaan dikenal pemimpin seperti imam dan khotib. Pelapisan sosial dalam
kehidupan masyarakat Melayu Riau ini tidak lagi tajam seperti di zaman kesultanan dulu.
Walaupun begitu masih ada golongan-golongan tertentu yang dianggap mempunyai ciri

7
keturunan sendiri. Misalnya golongan bangsawan yang terdiri dari keturunan sultan dan
raja, golongan datuk-datuk kepala suku, atau penghulu kepala kampung, kemudian ada
lagi golongan pemuka masyarakat yang disebut cerdik pandai, orang tua-tua, golongan
ulama dan orang-orang kaya.

2.3.4 Kesenian dan Budaya Suku Melayu Riau

Kesenian orang Melayu Riau kebanyakan bernafaskan budaya Islam. Disini


berkembang seni sastra keagamaan yang dinyanyikan pula dengan iringan musik rebana,
berdah, kerompang atau kompang dan sebagainya. Tari-tarian Melayu pernah populer
pada awal kemerdekaan Indonesia. Di lingkungan masyarakat ini pernah pula lahir teater
rakyat seperti mak yong, dul muluk, dan mendu. Musik Melayu dianggap sebagai dasar
dari perkembangan musik dangdut yang populer sekarang.

2.3.5 Agama Suku Melayu Riau

Masyarakat Melayu Riau memeluk agama Islam sejak abad kesebelas Masehi. Tetapi
dalam masyarakat ini juga masih dapat di temui tokoh-tokoh yang menguasai ilmu gaib
dan keyakinan animistis yang di sebut bomo (dukun). Mereka percaya bahwa ada
makhluk-makhluk halus yang bisa berubah wujud menjadi buaya putih, gajah memo, ular
bidai, harimau tengkis dan lain-lain.

2.4 Perkembangan Budaya Melayu Pasca Kemerdekaan RI di Riau

2.4.1 Posisi Riau dalam Keserantauan

Menempatkan Riau sebagai titik perhatian dalam konteks hubungan serantau,


mengandung implikasi pada dua hal. Pertama, Riau sebagai bagian dari Indonesia dan
kedua, Riau sebagai bagian dari puak Melayu. Sebagai bagian dari Indonesia, Riau
merupakan wilayah politik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia telah menjadi fakta
politik dari keindonesiaan. Sebagai puak Melayu, Riau mempunyai hubungan sosio-
kultural dengan komunitas yang melewati batas-batas geografi politik. Ia menjadi bagian
dari kebudayaan Melayu yang masyarakatnya berada dan mendiami wilayah
Semenanjung. Dengan begitu, ada dua sayap yang dapat dikembangkan Riau, yaitu sayap
politik yang berkaitan dengan persoalan keindonesiaan, dan sayap budaya yang

8
wilayahnya justru melampaui batas-batas politik negara kesatuan Indonesia. Oleh karena
itu, pembicaraan masa lalu, masa kini, dan masa depan Riau, di dalamnya terkait dua
aspek tadi, yaitu politik dan budaya.

2.4.2 Catatan Sejarah

Pembicaraan masa lalu Riau sesungguhnya berkaitan erat dengan sejarah lokal dan
sejarah sosial yang terjadi di kawasan Semenanjung. Di dalamnya, tidak terelakan, kita
harus menyinggung peristiwa “terbelahnya” kehidupan sosial politik yang diakibatkan
oleh Perjanjian London, Mei 1824, antara Inggris dan Belanda. Sebuah peristiwa politik
kolonial yang memisahkan masyarakat Sumatera dari masyarakat Melayu. Dalam
perjanjian itu, telah disepakati bahwa Inggris berhak menguasai Singapura dan Malaka
terhitung Agustus 1824, dan Belanda berhak atas Bangkahulu (Sumatera Selatan).
Perjanjian ini juga sekaligus berarti membagi dua kerajaan Riau— Lingga—Johor dan
Pahang dalam wilayah kekuasaan Inggris dengan sempadan Selat Singapura.

Itulah awal berpisahnya hubungan secara politik antara masyarakat Melaka, Johor,
Singapura, dan kawasan Semenanjung dengan masyarakat Riau dan komunitas Melayu
kepulauan itu. Keputusan politik itu tentu saja hanya didasari kepentingan pihak kolonial
(Belanda dan Inggris). Lewat perjanjian itu, Inggris dapat memusatkan kekuasaannya di
negeri-negeri Selat, sementara Belanda dapat lebih efektif mengontrol wilayah laut di
kawasan itu. Jadi, kesepakatan itu sama sekali tak mempertimbangkan aspek sosio-
kultural. Keputusan politik kolonial yang mengabaikan semangat dan dinamika budaya
masyarakat.

Meski secara politik ada batas geografi yang jelas antara masyarakat Semenanjung
dan Riau yang dikuasai oleh dua negara kolonial dengan kebijaksanaan politik yang
berbeda, hubungan sosio-kultural kedua masyarakat yang bersangkutan tetap berlangsung
seolah-olah perjanjian London itu tidak pernah ada. Dengan demikian, hubungan sosial-
budaya yang telah berlangsung sejak lama dalam kehidupan masyarakat rumpun Melayu,
tidak dapat dipisahkan begitu saja melalui keputusan politik. Inilah contoh, betapa
hubungan budaya jauh lebih mengakar dan dapat melampaui batas-batas politik dan
geografi.

9
Ketika Jepang memasuki Semenanjung Melayu menggantikan kekuasaan kolonial
Inggris, 15 Februari 1942,3 dan menduduki Jawa menggantikan kekuasaan Belanda, 8
Maret 1942,4 makin mempererat hubungan sosio-kultural kedua masyarakat di
Semenanjung ini. Jepang menyatukan Tanah Melayu dan Sumatera yang tentu saja
disambut gembira oleh kedua masyarakat di wilayah itu.

2.4.3 Selepas Zaman Jepang

Meski pendudukan Jepang, khasnya di Indonesia dan Semenanjung Melayu, telah


meninggalkan jejak yang amat dalam sebagai potret buram pemerintahan fasis, kalangan
sejarawan mengakui, bahwa di balik itu, ada angin kebangsaan nasionalisme yang
dihembuskan pihak Jepang, terlepas dari persoalan kepentingan yang melatar
belakanginya. Itulah pengalaman masa lalu bangsa-bangsa yang pernah merasakan
keganasan pendudukan Jepang. Sebuah catatan sejarah yang tidak patut terulang kembali
dalam bentuk apa pun.

Di Indonesia, pelarangan penggunaan bahasa Belanda telah menempatkan kedudukan


bahasa Indonesia menjadi sangat penting, baik untuk urusan resmi pemerintahan maupun
urusan hubungan kemasyarakatan. Di Malaysia, bahasa Inggris dinyatakan diganti oleh
bahasa Jepang atau bahasa Melayu. Pengaruhnya tentu saja besar dalam memapankan dan
mengangkat kedudukan bahasa Melayu. Dalam hal ini, terbuka peluang bagi tokohtokoh
pergerakan Melayu untuk menyebarkan semangat kebangsaan kemelayuan, sebagaimana
yang kemudian dilakukan Ibrahim Haji Yaakob, Abdul Rahim Kajai, atau Ishak Haji
Muhammad. Tambahan pula, pendudukan Jepang atas Malaysia di dalamnya tercakup
wilayah pulau Sumatera. Dengan demikian, pihak Jepang seolah-olah telah
“mengembalikan lagi” hubungan sosio-kultural Sumatera-Melayu yang pernah terputus
akibat perjanjian London itu.

Pengangkatan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kedua setelah bahasa Jepang
dalam kebijaksanaan pemerintah pendudukan Jepang di Semenanjung Melayu, tentu saja
mendapat sambutan yang baik dari pihak masyarakat Melayu sendiri. Bagi Ibrahim Haji
Yaakob dan tokoh-tokoh pergerakan Melayu lulusan Maktab Perguruan Sultan Idris,
terangkatnya bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris, boleh jadi dianggap sebagai

10
“kemenangan” psikologis dalam tarik-menarik menghadapi pengaruh golongan terpelajar
lulusan Maktab Perguruan Kuala Kangsar yang menempatkan bahasa Inggris sebagai
bahasa utama. Dengan begitu, di samping keberhasilan propaganda Jepang dalam
mengangkat harkat bangsa Asia, kedatangan Jepang ke Malaysia, awalnya –sedikit banyak
—mendapat sambutan positif dari kalangan tokoh pergerakan Malaysia sendiri.

Selain itu, hubungan golongan terpelajar dan para pemuda pergerakan Indonesia—
Melayu yang berasal dari Maktab Perguruan Sultan Idris yang sejak awal berdirinya
maktab itu memang sudah terjalin dengan baik, makin memberi penyadaran akan adanya
kesamaan perasaan senasib—sepenanggungan dan tujuan cita-cita yang sama: mencapai
kemerdekaan dan terlepas dari belenggu penjajahan. Kedekatan hubungan itu ditandai
pula dengan tersebar luasnya bahan-bahan bacaan dari Indonesia di tanah Melayu.

Di Indonesia, tanggapan yang baik atas kedatangan Jepang, juga datang dari tokoh-
tokoh pergerakan, termasuk golongan terpelajar dan seniman. Propaganda Jepang
mengenai kebesaran kebudayaan bangsa Timur yang sangat bertentangan dengan
kebijaksanaan kolonial pemerintah Belanda, telah berhasil menggugah emosi dan
sentimen tokoh-tokoh pejuang Indonesia. Hal tersebut memang merupakan salah satu cara
yang dilakukan pihak Jepang untuk menarik simpati, dan lebih jauh lagi, dukungan bangsa
Asia, khususnya bangsa yang wilayahnya berada dalam pendudukan Jepang, dalam usaha
tentara Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pidato P.J.M. Goenseikan pada
saat peresmian Kantor Besar Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) di Jakarta, 18
September 1943 yang sebagian dikutip di bawah ini, memperlihatkan bagaimana besarnya
perhatian pihak Jepang dalam 'memanfaatkan' kebudayaan sebagai alat propaganda.

Terlepas dari kepentingan politik yang ingin dicapai pihak Jepang di balik
propagandanya mengangkat kebudayaan Timur, bagi beberapa tokoh pergerakan di
Malaysia, masalah itu justru makin menguatkan tekad mereka untuk menyatukan tanah
Melayu ke dalam wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, ketika di Indonesia dibentuk Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia,8 Maret 1945, Ibrahim Haji
Yaakob segera mendesak pihak Jepang bahwa jika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, Tanah Melayu agar dimasukkan pula ke dalam wilayah Indonesia Raya.
Usaha itupun diikuti dengan menghubungi golongan nasionalis Indonesia yang sedang

11
menyusun Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, agar kemerdekaan Indonesia mengikutsertakan
Tanah Melayu,yang ternyata disetujui pula oleh golongan nasionalis Indonesia. Dengan
demikian, tidak ada lagi keraguan bagi tokoh-tokoh pergerakan Melayu dalam usahanya
mencapai kemerdekaan. Dalam pada itu, pihak Jepang sendiri terkesan ikut mendorong
usahausaha itu. Realisasinya adalah diadakannya pertemuan antara Prof. Akamatsu dari
pihak Jepang dan wakil Kesatuan Melayu Muda (KMM), Ibrahim Yaakob, Hassan
Manan, Onan Siraj, dan Ramly Hj. Tahir, 26 Juli 1945 di Singapura. Hasilnya adalah
bahwa pihak Jepang menyatakan kesediaannya untuk memberi kemerdekaan bagi Tanah
Melayu. Dua hari berikutnya, diadakan pula pertemuan kedua yang dari pihak Jepang
diwakili Prof. Itagaki. Dalam pertemuan itu, pihak Jepang meminta agar Ibrahim Yaakob
dan kawan-kawan segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepentingan
kemerdekaan Tanah Melayu. Dari sinilah kemudian dibentuk KRIS (Kesatuan Rakyat
Indonesia Semenanjung), akhir Juli 1945, yang merupakan semacam penyusunan kembali
KMM,11 dengan Ibrahim Yaakob dan Dr. Burhanuddin Al-Helmy sebagai pimpinannya.

Sementara itu, di Indonesia sendiri pematangan ke arah kemerdekaan Indonesia terus


dipersiapkan. Situasinya menjadi amat mungkin karena kondisi balatentara Jepang yang
terus mengalami kekalahan dalam berbagai pertempuran. Puncak kekalahan itu terjadi saat
bom atom dijatuhkan di Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Di
luar kehancuran kedua kota di Jepang itu, di Jakarta, 7 Agustus 1945, dibentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menggantikan kedudukan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Situasi Jepang yang makin
terpojok itu, ditambah dengan adanya pernyataan perang terhadap Jepang dari Uni Soviet,
8 Agustus 1945, telah memaksa Jepang memasuki saat yang paling sulit; menyerah kalah
kepada pihak Sekutu dan melepaskan semua wilayah pendudukannya. Bagi Panglima
Wilayah Selatan (Panglima Tertinggi Tentara Jepang untuk Asia Tenggara) Marshall
Terauchi Hisaichi, tak ada pilihan, kecuali memenuhi janji memberi kemerdekaan kepada
Indonesia, di dalamnya termasuk Tanah Melayu.

2.4.4 Pengembangan Budaya Melayu Riau dalam Era Globalisasi

Pada era globalisasi budaya Melayu Riau cepat dapat pengaruh seperti yang sudah
diuraikan sebelumnya. Hal ini dapat kita lihat bahwa sifat malu sudah mulai pudar

12
misalnya tayangan televisi baik RTV maupun TVRI khusus Riau, penyanyi tidak kalah
dari penyanyi tingkat baik nasional maupun internasional mereka berpakaian terbuka yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang dianut oleh puak Melayu Riau. Selain itu, suara
KKN masih terngiang-ngiang walaupun sulit membuktikan. Semuanya itu terjadi karena
budaya Melayu sudah mulai rusak karena pengaruh dari luar dan tidak pemalu lagi. Untuk
menangkal pengaruh luar itu budaya Melayu Riau perlu dilestarikan. Pelestarian budaya
Melayu Riau bukanlah mengurung diri pengaruh luar. Akan tetapi, pengertian lestari disini
mempunyai sifat dinamis. Dengan sifat yang dinamis budaya Melayu Riau memiliki lentur
terhadap perubahan, tetapi tetap kukuh.

Membina dan mengembangkan budaya Melayu Riau berkaitan dengan usaha


melestarikan ciri khas Melayu Riau dari wujud budaya ckonomi, sastra dan yang lainnya,
schingga tergambar Riau yang teduh. aman, lesteri, teratur, tertib dan jiwa kebersamaan
yang tetap. Peranan budaya Melayu sebagai bagian dari budaya Indonesia, merealisasikan
wujud masyarakat Riau yang sejahtera atau masyarakat yang adil dan makmur material
dan spritual. Apabila pembinaan dan pengembangan budaya Melayu ini tercapai, maka
masyarakat yang dicita-citakan oleh ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila tercapai.

Pembagian budaya Melayu Riau adalah kegiatan yang berkenaan dengan


membudidayakan budaya Melayu Riau. Yang perlu diperhatikan dalam membina budaya
adalah adanya sifat positif masyarakat Melayu terhadap budaya sendiri, sikap positif itu
mencakup :

1. Kebanggaan terhadap budaya Melayu Riau


2. Setia terhadap budaya Melayu Riau
3. Sadar akan fungsi dan makna budaya itu.
Di atas telah dijelaskan bahwa budaya Melayu Riau diwarnai oleh ajaran Islam. Ajaran
Islam harus dilaksanakan secara keseluruhan jangan sepenggal misalnya salat
dilakukan, karena hal itu merupakan ajaran Islam yang perlu ditegakkan. Akan tetapi,
di tempat kerja melakukan konipsi, atau salat dilakukan tetapi narkoba ketagihan.
Semuanya menunjukkan bahwa ajaran Islam dilakukan secara sepenggal dalam
membina kebudayaan itu Sebagai perbandingan kita dapat melihat bagaimana ketaatan
masyarakat Malaysia dalam melaksanakan ajaran Islam dalam kegiatan kebudayaan,

13
jika ada orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Misalnya
orang yang terjerumus ke lembah narkoba tetap dihukum, walau pun anak siapa saja.
Hukuman itu setimpal dengan kesalahan yaitu pengedar dihukum mati, dan peniakai
narkoba diobati.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya juga merupakan suatu pola hidup menyeluruh.
Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa pengertian melayu merujuk kepada bangsa yang
berbahasa melayu yang mendalami semenanjung Tanah Melayu, pantai timur Sumatra, dan
beberapa tempat lainya di wilayah Nusantara. dalam arti sempit yang terdapat dalam
pelembagaan Malaysia yakni perkara 153 mengatakan bahwa seseorang itu dapat di
katagorikan sebagai melayu apabila memiliki ciri-ciri seperti :

1. Lazimnya berbahasa melayu


2. Berkebudayaan melayu
3. Beragama islam

Corak budaya Melayu sesuai dengan sifat, ciri dan penampilan orang Melayu. Orang
Melayu Riau mempunyai sifat pemaiu, sehingga tingkah lakunya terpelihara, mereka malu
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agarna Islam. Budaya Melayu Riau
dalam era giobatisasi perlu dibina dan dikembangkan karena budaya Melayu Riau cepat
dipengaruhi oleh budaya lain akibat Provinsi Riau terletak pada posisi silang yang
merupakan tempat strategis masuknya pengaruh budaya luar. Pembinaan dan
pengembangan budaya Melayu Riau dapat dilakukan dengan menimbulkan sikap positif
masyarakat terhadap budaya Melayu Riau. Selain itu dalam kegiatan budaya Melayu Riau
perlu melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan.

15
3.2 Saran

Dalam makalah ini penyusun sadar, materi yang disampaikan banyak kekurangan.
Sehingga Saya berharap kepada semua pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson, “Pikiran Islam dan Tradisi Melayu,” Anthony
Reid & David Marr, Dari Raja Ali Haji hingga Hamka (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm.
98—100.

Groeneboer, Kees. 1995. Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda 1600—1950.
Jakarta: Erasmus Taalcentrum.

Hadi Pramono. (2021).Riau headline.Sejarah Asal Usul Suku Melayu Riau.

Hall, D.G.E. 1987. Sejarah Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hussain, Shaharom. 1985. Biografi Perjuangan Politik Dato' Jaafar. Petaling Jaya: Fajar Bakti.

Kamaruzzaman Abd. Kadir, Nasionalisme dalam Puisi Melayu Modern: 1933--1957, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1982), hlm. 14.

Li Chuan Siu. 1967. Ikhtisar Sejarah Pergerakan dan Kesusasteraan Melayu Modern 1945—
1965. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.

Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia
(Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 3.

Said Dahlan. (2004). Budaya Melayu Riau Pada Era Globalisasi. Jurnal Ilmu Budaya, 01(01),
11-19.

Uu. Hamadiy. 1423. Lagad Melayu dalam lintas Budaya Riau. Pekanbaru : Kajian Masyarakat
Melayu.

17

Anda mungkin juga menyukai